Oleh :
FAKULTAS KEDOKTERAN
2018
BAB I
PENDAHULUAN
ditandai dengan nekrosis dan pengelupasan epidermis yang luas dan dapat
diklasifi kasikan menjadi tiga: sindrom Stevens-Johnson (SSJ, jika luas lesi
<10%), overlap SSJ/nekrolisis epidermal toksik (SSJ-NET, jika luas lesi 10-
gejala sistemik dengan karakteristik yang mengenai kulit, mata dan selaput
terhadap obat; infeksi HIV, penyakit jaringan ikat dan kanker merupakan
penyebabnya.
1.2. Tujuan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui lebih jauh
1.3. Manfaat
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Syndrome (SJS) merupakan suatu penyakit akut yang dapat mengancam jiwa
yang ditandai dengan nekrosis dan pelepasan epidermis yang dikenal dengan
trias kelainan pada kulit vesikobulosa, mukosa orifisium dan mata disertai
2.2. Epidemiologi
kasus per 1 juta pasien per tahun, lebih jarang pada pria dengan sex ratio 0,6.
Insidensi SJS diperkirakan 2-3% per juta populasi per tahun di Amerika
sekitar 12 kasus per tahun. Alopurinol adalah obat yang paling sering
Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hong Kong. Angka kematian pada kasus
SJS secara keseluruhan mencapai 5-15% dari jumlah total kasus. Kasus SSJ
paling sering ditemukan setelah dekade ke-4. Kondisi ini sering terjadi pada
bulan. Sindrom Stevens-Johnson juga dilaporkan lebih sering terjadi pada ras
Kaukasia.
2.3. Etiologi
kontraseptif)
3. Makanan (coklat)
5. Radioterapi
6. Keganasan,
7. Idiopatik
Risiko SSJ terutama pada 8 minggu pertama setelah pemberian obat. Pada
karbamazepin (20%) dan jamu (13,3%). Sebagian besar jamu dibubuhi obat.
Sebab yang lain adalah amoksisilin, fenitoin, klorokuin, seftriakson, dan zat
adiktif.
2.4. Patofisiologi
Patogenesis SSJ sampai saat ini masih belum jelas, walaupun sering
B*1502) dari HLA-B dan SSJ akibat karbamazepin dan fenitoin, dan antara
HLA-B58 (alel B*5801) dan SSJ akibat alopurinol pada orang Asia.
Baik SJS maupun TEN ditandai dengan kelainan pada kulit dan
mukosa. Makula eritem merupakan lesi yang sering terdapat pada lokasi
tubuh dan kaki bagian proksimal lalu berkembang secara progresif menjadi
kedua kondisi ini hanya dapat bisa dibedakan dengan total body surface area.
Dikatakan SJS apabila total body surface area yang terkena <10% dan
dikatakan TEN apabila total body surface area yang terkena >30%. Apabila
total body surface area yang terkena 10-30% disebut SJS-TEN overlap,
Pada kasus ini, terlihat trias kelainan berupa kelainan kulit, kelainan
selaput lendir di orifisium, dan kelainan mata. Kelainan kulit terdiri atas
eritema, vesikel, dan bula. Vesikel dan bula kemudian pecah sehingga terjadi
erosi luas. Di samping itu dapat terjadi purpura. Pada bentuk yang berat
wajah, ekstremitas termasuk telapak kaki dan tangan. Kelainan selaput lendir
4%).
kepala, rinitis, batuk, dan malaise, dapat timbul satu sampai tiga hari sebelum
di atas kulit yang tampak normal atau yang eritematosa dan generalisata. Tes
tanda tersebut, pertama dengan menekan dan menggeser kulit di antara dua
bula, kulit akan terkelupas. Cara kedua dengan menekan bula, maka bula akan
a. Anamnesis
b. Pemeriksaan fisik
c. Pemeriksaan Penunjang
Elektrolit
Albumin
Protein Darah
Apabila tidak ada mukosa yang terkena atau hanya 1 lokasi mukosa
Linear IgA bullous disease dan pemfigus paraneoplastik biasanya tidak begitu
terkena lebih ringan dan tidak mengenai organ dalam. Selain itu, awitannya
cepat dan lepuh yang timbul lebih besar dan berbatas jelas.
2.7. Tatalaksana
kulit terbaas dan dengan skor SCORTEN 0 atau I dapat diobati di bangsal
IKKK. Yang lain, harus ditansfer ke intensive care unit atau burn centers,
untuk menurunkan risiko infeksi, lama rawat, dan angka kematian, bila unit
Pada pasien SSJ terjadi kehilangan cairan melalui erosi yang dapat
Epidermal disertai dengan kehilangan cairan nyata akibat erosi, yang dapat
sebaiknya antara 28oC dan 32oC untuk nengurangi kehilangan cairan melalui
kulit. Tirah baring dengan retrofleksi leher l5o-20o. Pemakaian air-fluidized
mungkin dan iumlah cairan yang dibutuhkan disesuaikan tiap hari. Volume
infus biasanya lebih sedikit daripada kasus luka bakar dengan luas lesi yang
ml/kg/jam atau minimal 50-80 ml/jam, atau 30-50 ml/jam. Infus hentikan bila
dapat menelan dan tidak ada gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
transfuse adalah bila infus gagal dan didapati purpura luas. Hari pertama 300
ml, setelah habis, dlberikan l0 cc kalsium glukonat 10% (lewat infus lain);
Pemberian nutrisi awal (hari ke-2 rawat inap) melalui nasogastric tube
Jumlah kalori yang dibutuhkan adalah 1500 kalori dalam 1500 ml, pada 24
hari.
ampul/24jam, i.v.
samping sepsis.
2.8. Komplikasi
organ multisystem dan komplikasi paru didapati pada > 30% dffi 15% kasus.
dan defisiensi stem cell dalam limbus mengakibafkan rnetaplasia epitel komea
kasus.
oftalmologis.
Gejala yang memberi kesan adanya gangguan stress paska sakit tidak
2.9. Prognosis
luas permukaan kulit yang terkena, umumnya berkisar 5-12%. Jika ditangani
dengan cepat dan tepat, prognosis cukup memuaskan. Lesi biasanya sembuh
dalam 1-2 minggu, kecuali bila terjadi infeksi sekunder. Sebagian besar pasien
tergantug pada keparahan penyakit dan kondisi umum awal pasien. Selama
periode ini, komplikasi berat seperti sepsis atau gagal organ sistemik dapat
terjadi.
tetapi kemudian dipakai pada SSJ, luka bakar, dan reaksi obat.
KESIMPULAN
dengan nekrosis dan pengelupasan epidermis yang luas dan dapat menyebabkan
kematian. NE ialah penyakit yang jarang tetapi berat, disebabkan terutama akibat obat
oleh molekul FasL dan granulysin. Makula konfluen eritematosa.dan purpurik yang
pada badan, disertai dengan lebih dari 1 lesi pada mukosa (mulut, mata, dan genital).
dengan karakteristik yang mengenai kulit, mata dan selaput lendir orifisium. Etiologi
dari SJS sulit ditentukan dengan pasti karena penyebabnya meliputi berbagai faktor,
walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat.
Makula eritem merupakan lesi yang sering terdapat pada lokasi tubuh dan kaki bagian
proksimal lalu berkembang secara progresif menjadi bula flaccid yang menyebabkan
adalah menghentikan obat yang diduga sebagai penyebab. Jika ditangani dengan
3. Djuanda, Adhi dkk. 2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 6. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia