Anda di halaman 1dari 17

Refarat

FIXED DRUG ERUPTION

Oleh :
Dinda Prastika Sari (19360239)

Pembimbing :
dr. Satria Yanis, Sp.KK

BAGIAN PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI
2021
1

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI……………………………………………………….............1

1. Pendahuluan…………….

……………………………………………....2
2. Definisi…………………………………………………………........

....3
3. Sinonim………………………………………………………………

...3
4. Epidemiologi………………………………………………………….

...3
5. Etiopatogenesis………………………………………………………

….3
6. Gambaran
klinis………………………………………………………....8

7. Pemeriksaan penunjang…………………………………………….

…….9
8. Diagnosis…………………………………………………………...

…..9
9. Penatalaksanaan……………………………………………………….

.10
10. Prognosis……………………………………………………………..

.11
2

11. Laporan
kasus………………………………………………………….12

12. Pembahasan…………………………………………………………

…15
13. Penutup………………………………………………………………

..17
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………18

Lampiran…………………………………………………………….……19
3

PENDAHULUAN

Fixed drug eruption (FDE) adalah reaksi alergi dengan manifestasi berupa lesi
kulit yang muncul ditempat yang sama dan dapat bertambah akibat pemberian atau
pemakaian jenis obat-obatan tertentu.1,2
Beberapa penelitian tentang morfologi dan agen pencetus pada pasien-pasien
dengan erupsi obat dirumah sakit atau bagian kulit kelamin pada tahun 1986-1990
dilaporkan pada 135 kasus terdapat kasus FDE sebanyak 16%.3
Gambaran klinik dari FDE berupa timbulnya satu atau beberapa lesi kulit
yang eritematous berbentuk bulat atau oval. Pada mulanya terbentuk efloresensi
berupa makula berbatas tegas berwarna ungu atau coklat.2
Diagnosis FDE ditegakkan berdasarkan anamnesa adanya riwayat penggunaan
obat sebelum timbulnya lesi dan gambaran klinik yang ditemukan. Namun jika
diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan jaringan
kulit secara patologi anatomi dimana akan didapatkan gambaran mikroskopis berupa
terdapatnya makrofag-makrofag dan adanya penumpukan pigmen melanin.1,4
Penatalaksanaan yang dipakai adalah dengan pengobatan kausal berupa
mengetahui dan menghindari terpaparnya kembali dengan obat-obatan penyebab dan
pengobatan simptomatis berupa pemberian obat-obatan secara sistemis seperti
kortikosteroid dan antihistamin maupun secara topikal.4
FDE bukan merupakan kasus yang mengancam jiwa dimana akan
menyembuh bila obat penyebab dapat diketahui dan disingkirkan. Namun demikian
dilihat dari sudut pandang kosmetik sangat mengganggu dan menimbulkan perasaan
tidak nyaman. Jika tidak diterapi secara kausal maka dapat bertambah parah dengan
adanya penambahan jumlah lesi.1
4

TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI
Fixed drug eruption (FDE) adalah reaksi alergi pada kulit atau daerah
mukokutan yang terjadi akibat pemberian atau pemakaian jenis obat-obatan tertentu
yang biasanya dikarakteristik dengan timbulnya lesi berulang pada tempat yang sama
dan tiap pemakaian obat akan menambah jumlah dari lokasi lesi.1,2

SINONIM
Eksantema fikstum, fixed exanthema.1

EPIDEMIOLOGI
Beberapa penelitian tentang morfologi dan agen pencetus pada pasien-pasien
dengan erupsi obat dirumah sakit atau bagian kulit dan kelamin pada tahun 1986-
1990 dilaporkan pada 135 kasus didapatkan perubahan morfologik akibat erupsi obat
yang paling sering adalah eksantematous (39%), urtikaria/angioedema (27%), FDE
(16%), eritema multiform (5,4%) dan reaksi kulit lainnya (18%). Sejak tahun 1956
proporsi dari reaksi erupsi obat berupa urtikaria menurun dan terjadi peningkatan
angka kejadian FDE.3

ETIOPATOGENESIS
Obat-obatan yang paling sering menyebabkan FDE adalah kontrasepsi oral,
barbiturat, fenolftalein, fenasetin, salisilat, naproksen, nistatin, minosiklin,
sulfonamide, tetrasiklin, metronidazol, doriden, sulindac, tolmetin, maolate,
bleomysin, busulfan, zidovudine, klorpromasin, hidantoin, cyclofosfamid,
klofasimin, antimalaria, prokarbasin, doksorubisin.2,3,4,5
Reaksi kulit terhadap obat dapat terjadi melalui mekanisme imunologik atau non
imunologik. Yang dimaksud dengan erupsi obat adalah alergi terhadap obat yang
terjadi melalui mekanisme imunologik. Hal ini terjadi pada pemberian obat kepada
5

pasien yang sudah mempunyai hipersesitivitas terhadap obat tersebut.disebabkan oleh


berat molekulnya yang rendah, biasanya obat itu berperan pada mulanya sebagai
antigen yang tidak lengkap atau hapten. Obat atau metaboliknya yang berupa hapten,
harus berkombinasi terlebih dahulu dengan protein, misalnya jaringan, serum atau
protein dari membran sel untuk membentuk kompleks antigen yaitu kompleks hapten
protein. Kekecualiannya ialah obat-obat dengan berat molekul yang tinggi yang dapat
berfungsi langsung sebagai antigen yang lengkap.
Ada beberapa faktor yang berperan dalam menentukan sejauh mana kapasitas dari
sebuah obat dalam menimbulkan respon imun :
1. Karakteristik molekular dan sensitisasi.
Sebuah molekul yang imunogenik biasanya mempunyai berat molekul lebih dari
1000 dalton. Kebanyakan molekul obat tidak sebesar itu dan untuk memberikan
respon imun harus berikatan dengan makromolekul jaringan yang berperan
sebagai hapten. Hapten adalah sebuah substansi yang tidak imunogenik tetapi
menjadi imunogenik ketika berikatan dengan karier makromolekul. Ikatan yang
terjadi haruslah sangat kuat dan biasanya bersifat kovalen.
Untuk sebuah ikatan obat dan makromolekul jaringan kompleks menjadi
imunogenik harus diproses oleh antigen dan sel yang bersangkutan (seperti sel
langerhans dari kulit). Bersama-sama dengan antigen histokompatibiliti ke sebuah
limfosit T sebagai hasil dari presentasi terjadi aktivasi dari populasi sel T yang
berbeda dan setiap populasi sel T dapat menimbulkan reaksi klinik yang berbeda
pada aktivasi TH1 tipe sel T menyebabkan produksi dari interferon γ dan
interleukin 2 yang akan diikuti dengan terjadinya reaksi obat morbiliform pada
kontak dermatitis atau mungkin nekrolisis epidermal toksis. Aktivasi tipe sel TH2
menyebabkan terjadinya produksi interleukin -4, -5, atau -13, yang akan
menyebabkan terjadinya produksi dari antibodi IgE dan reaksi klinik seperti
urtikaria atau anafilaktik. Mekanisme yang menentukan tipe terakhir dari aktivasi
sel T belum diketahui.3
2. Variasi metabolik individu.
6

Variasi metabolik individu merupakan jalur yang dilewati oleh obat dimana dapat
memberi reaksi intermediet atau diekskresi. Reaktivasi intermediet berlaku
sebagai hapten yang dapat melakukan ikatan kovalen pada makromolekul sel
yang dapat menyebabkan kematian sel atau merangsang respon imun sekunder.3
3. Kemampuan imunogenetik.
Respon imun dari antigen-antigen yang bervariasi biasanya dikontrol secara
genetik dan berbeda-beda pada tiap individu. Beberapa observasi klinik
mengatakan bahwa kontrol genetik mempunyai suatu peranan yang besar dalam
reaktivasi obat. Mereka percaya bahwa reaksi anafilaktik lebih sering terjadi pada
individu atopik dibanding dengan non-atopik. Wanita memiliki angka kejadian
35% lebih tinggi daripada pria. Sebagai tambahan pasien dengan SLE dapat
meningkatkan prevalensi dari reaksi alergi obat, tetapi belum jelas apakah hal ini
berhubungan dengan abnormalitas imun atau frekuensi pemaparan obat-obatan.
Demonstrasi yang paling jelas tentang pentingnya sistem imun terhadap resiko
obat adalah pada kasus infeksi HIV. Reaksi obat pada pasien HIV 10 x lebih
tinggi daripada mereka yang tidak terinfeksi dan resiko ini meningkat seiring
dengan perjalanan penyakitnya. Demikian pula untuk pasien yang melakukan
transplantai sumsum tulang, dimana terjadi peningkatan resiko reaksi obat.3
4. Usia
Usia dapat menentukan kemampuan respon imun dari pemberian suatu obat,
dimana dikatakan alergi lebih sering ditemukan pada anak-anak dan pada manula,
mungkin karena ketidakmatangan atau involusi dari sistem imun.3

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya FDE :


1. Paparan obat.
Pemberian obat dapat mengakibatkan terjadinya reaksi komplit antigen antibodi
dengan terbentuknya hapten. Yang penting juga adalah pola morfologik yang
spesifik yang dapat meningkat atau menurun pada pemberian obat yang
menyebabkan terjadinya reaksi kulit tersebut. Sebagai contoh FDE lebih sering
7

ditemukan pada pemberian barbiturat daripada penisilin, walaupun penisilin


memiliki kemungkinan menimbulkan reaksi kulit karena obat yang lebih tinggi.3
2. Waktu kejadian.
Kebanyakan reaksi obat pada kulit terjadi dalam 1 - 2 minggu dari terapi pertama.
Beberapa tipe reaksi terutama sindrom hipersensitivitas dapat memberikan onset
yang tertunda bahkan sampai lebih dari 2 bulan setelah pemberian obat. Untuk
beberapa reaksi yang lebih serius, resiko yang berhubungan dengan pemberian
obat lebih dari 2 bulan tampak lebih rendah.3
3. Uji eliminasi pemakaian obat.
Kebanyakan reaksi kulit karena obat akan berkurang dengan penghentian
pemakaian obat tersebut. Sebuah reaksi kulit tidak mungkin berhubungan dengan
obat jika reksi terus berlanjut setelah dilakukan penghentian pemakaian obat
tersebut.3
4. Pemaparan obat ulangan.
Pemberian obat ulangan memberikan informasi pasti apakah obat tersebut
menyebabkan terjadinya reaksi kulit walaupun pemberian yang sering tidak
dimungkinkan karena tidak menjamin keselamatan dari pasien kecuali terjadi
perubahan pola status imunologik pasien.3

Secara umum terdapat 4 tipe reaksi imunologi yang dikemukakan oleh


Coombs & Gell; suatu reaksi alergi terhadap obat dapat mengikuti salah satu dari ke
empat jalur berikut ini;
1. Tipe I Reaksi Anafilaktik
Reaksi obat yang diperantarai IgE biasanya terjadi karena penisilin atau
golongannya. Reaksi dapat terjadi dalam beberapa menit setelah pemakaian obat.
Gejala biasanya bervariasi seperti pruritus, urtikaria, spasme bronkus, dan edema
laring bahkan dapat menyebabkan terjadinya syok anafilaktik dengan hipotensi
dan kematian. Sel mast dan basofil yang tersentisisasi akan melepaskan mediator-
mediator kimia (histamin) atau lemak (leukotriens/prostaglandin) yang akan
8

menimbulkan gejala klinik yang berbeda-beda tergantung dari interaksi organ


target (kulit, sistim respirasi, GIT atau sistim kardiovaskuler) dengan mediator
kimia tersebut. Penelitian terbaru mengatakan reaksi obat perantaraan IgE lebih
diakibatkan peran basofil daripada sel mast. Pelepasannya dipicu ketika terjadi
konjugasi protein obat polifalen yang terbentuk secara in vivo dan behubungan
dengan molekul IgE yang mensensitisasi sel-sel.3,6
2. Tipe II Reaksi Sitotoksik
Reaksi tipe ini dapat disebabkan oleh obat, dan memerlukan penggabungan antara
IgE dan IgM dengan antigen yang melekat pada sel. Jika sistem komplemen
teraktivasi akan dipacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan lisis.1
3. Tipe III Reaksi Kompleks Imun
Antibodi mengadakan reaksi dengan antigen membentuk kompleks antigen
antibodi yang kemudian mengendap pada salah satu tempat dalam jaringan tubuh
dan mengakibatkan reaksi radang. Dengan adanya aktivasi sistim komplemen
terjadi pelepasan anafilaktosin yang merangsang pelepasan berbagai mediator
oleh mastosit. Dengan adanya aktivasi komplemen akan terjadi kerusakan
jaringan.1
4. Tipe IV Reaksi Alergi Selular Tipe Lambat
Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersentisisasi mengadakan reaksi
dengan antigen. Reaksi ini di sebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12 - 48
jam setelah pajanan dengan antigen.1
FDE termasuk dalam reaksi tipe III dengan adanya reaksi kompleks antigen antibodi.

GAMBARAN KLINIK
9

FDE dikarakteristik dengan 1 atau beberapa lesi eritematous. Lesi ini


seringkali timbul pada wajah dan daerah genital dan menyebabkan terjadinya luka
seperti luka bakar walaupun inflamasi akut sembuh secara perlahan-lahan tapi
hiperpegmentasi lokal akan menetap dengan pemaparan obat yang berulang, lesi akan
muncul kembali pada tempat yang sama.3
Lesi baru berbentuk bulat atau oval dan berbentuk plak dengan gambaran eritematous
dan bula pada kulit akan berubah berwarna ungu atau coklat. Lesi biasanya
berkembang dalam waktu 30 menit - 8 jam setelah pemberian obat, kadang-kadang
lesi pada awalnya soliter tapi pada pemberian obat yang berulang lesi baru dapat
muncul lagi dan lesi lama yang sudah ada dapat bertambah besar.
Lesi lebih sering muncul pada anggota gerak daripada badan. tangan, kaki, genitalia
(glans penis) dan daerah perianal adalah tempat favorit munculnya lesi. Lesi juga
dapat muncul di sekeliling mulut dan mata. Daerah genital dapat terjadi berhubungan
dengan lesi pada kulit atau terjadi sendiri. Apabila terjadi penyembuhan timbul
pengelupasan yang diikuti dengan perubahan warna yang menetap pada daerah lesi
dimana warna berubah menjadi kecoklatan. Hal ini dapat menghilang seiring waktu
tapi sering menetap diantara pemaparan obat. Pigmentasi terjadi lebih lama pada
orang dengan kulit coklat. Pigmentasi dari FDE menghilang apabila penderita tidak
diberikan obat penyebab. FDE non pigmentasi dilaporkan pada pemberian
pseudoefedrin dan piroksikan bisa terdapat gejala-gejala lokal atau umum yang
menemani perjalanan penyakit fixed drug eruption yang berupa gejala ringan atau
tidak ada.2,4

Beberapa gambaran karakteristik ke arah dugaan adanya FDE :


1. Reaksi hanya terjadi setelah pajanan ulang dengan obat. Pada penggunaan
pertama kali, waktu reaksi berkisar antara 8-9 hari.4
2. Manifestasi erupsi obat tidak bergantung pada kegunaan farmakologik dan
kimiawi obat tersebut.4
10

3. Jumlah obat yang sangat sedikit dapat memacu reaksi yang berat meskipun
obat tersebut telah dipakai dalam jangka waktu lama.4
4. Obat yang sama dapat menyebabkan reaksi yang berbeda pada orang yang
sama pada waktu yang berlainan, sebaliknya berbagai obat dapat menyebabkan
reaksi atau manifestasi klinik yang sama.4

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membantu memastikan diagnosa
FDE dengan pemeriksaan histopatologi.
Pada pemeriksaan histopatologi didapatkan adanya degenarasi hidrotik pada
lapisan sel basal yang akan menuju pada inkontinens pagmentari, dimana
dikarakteristik dengan adanya melanin dalam jumlah yang banyak diantara makrofag
yang terdapat pada lapisan atas kulit (Tarnowsky). Sebagai tambahan terdapat
penyebaran dari diskeratotik keratonicytes dengan sitoplasma yang eosinifilik dan inti
pignotik sering terlihat pada epidermis (Furuya, dkk). Pada pemeriksaan dengan
mengunakan mikroskop elektron diskeratotik keratonicytes terisi dengan tonofilamen
tipis yang homogen dan menunjukkan sedikit dari sisa-sisa organel sel dan inti.7

DIAGNOSIS
Diagnosis FDE berdasarkan :
1. Anamnesis :
Adanya hubungan antara timbulnya erupsi dengan penggunaan obat dan
diketahui mengenai :
- obat-obatan yang didapat
- kelainan timbul secara akut atau dapat juga beberapa hari
sesudah masuknya obat.
- Rasa gatal yang dapat pula disertai demam yang biasanya
subfebril.
11

2. Kelainan Klinis :
Adanya kelainan klinis berupa lesi yang selalu timbul pada tempat yang sama
akibat pemaparan obat. Penghentian obat yang diikuti penurunan gejala
klinis merupakan petunjuk kemungkinan erupsi disebabkan oleh obat
tersebut.
3. Pemeriksaan Khusus :
Saat ini belum diketahui cara yang cukup sensitif dan dapat dipercaya untuk
mendeteksi obat penyebab FDE.1,4

PENATALAKSANAAN
Pengobatan FDE belum memuaskan, antara lain karena kesukaran dalam
memastikan penyebabnya, apakah oleh obatnya sendiri atau metabolitnya.
Pengobatan dibagi dalam :
1. pengobatan kausal
Dilaksanakan dengan menghindari obat tersangka (apabila obat tersangka telah
dapat dipastikan). Dianjurkan pula untuk menghindari obat yang mempunyai
struktur kimia mirip dengan obat tersangka (satu golongan).
2. pengobatan sistemik
a. kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Dosis
standar untuk fixed drug eruption pada orang dewasa ialah 3 x 10 mg
prednisone sehari.
b. antihistamin
Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan, jika terdapat rasa
gatal. Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang bila dibandingkan dengan
kortikosteroid
3. pengobatan topikal
12

Pengobatan topikal bergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering atau
basah. Pada FDE, jika kelainan membasah dapat diberi kompres dan jika kering
dapat diberi krim kortikosteroid, misalnya krim hidrokortison 1% atau 2 ½ %.1,3,4
Identifikasi dari obat penyebab FDE dilakukan apabila hanya 1 obat yang
digunakan biasanya kita mencurigai beberapa obat sebagai petunjuk yang kita
gunakan adalah mengetahui kronologis pemberian obat-obatan tersebut. Hanya obat-
obatan yang baru digunakan (8-21 hari) yang dimasukkan dalam daftar yang
dicurigai.
Identifikasi yang jelas dari obat penyebab dan catatan tertulis tentang obat-
obat penyebab yang diberikan pada pasien oleh dokter merupakan langkah
pencegahan yang sangat penting. Pemberian obat spesifik (kortikosteroid, obat-
obatan imunosupresif/terapi anti sitokin, immunoglobulin) seharusnya tidak diberikan
sesuai standar pemberian obat sebelum terdapat bukti efisiensi penggunaannya
terhadap pasien, kadang-kadang penggunaan obat-obatan tersebut dapat berbahaya
bagi pasien.8

PROGNOSIS
Pada dasarnya FDE akan menyembuh bila penyebabnya dapat diketahui dan
segera disingkirkan. Akan tetapi beberapa bentuk, misalnya eritroderma dan kelainan-
kelainan berupa sindrom Lyell dan sindrom Steven Johnson, prognosis dapat menjadi
buruk bergantung pada luas kulit yang terkena.1
13

PEMBAHASAN

Diagnosa FDE pada kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan klinik dan pemeriksaan patologi anatomi.
Dari anamnesis diketahui keluhan utama berupa timbulnya bercak kehitaman
muncul pada sekitar mulut, tangan, lengan, kaki, paha dan dada. Sebelumnya pada
tahun 2001 penderita pernah mengalami sakit seperti ini dengan bercak kehitaman
yang hanya muncul pada tangan saja. Seperti yang kita ketahui fixed drug eruption
disebabkan oleh pemakaian obat-obatan dengan lesi eritematous dan berubah menjadi
kehitaman yang muncul pada tempat yang sama dimana pada paparan dengan obat
berikutnya akan menyebabkan penambahan jumlah lesi.
Pada kasus ini, berdasarkan pemeriksaan fisik lesi hiperpigmentasi didapatkan
pada daerah sekitar mulu FDE t, tangan, kaki. Sesuai dengan kepustakaan bahwa
tempat predileksi FDE di sekitar mulut, terutama di daerah bibir dan daerah penis
pada laki-laki, sehingga sering disangka penyakit kelamin. Tetapi dengan anamnesis
yang teliti, adanya residif ditempat yang sama dan gambaran klinisnya, diagnosis
FDE dapat ditegakkan.
Dilakukan pemeriksaan patologi anatomi dan didapatkan hasil jaringan
epidermis dengan beberapa sel lapis basal mengalami degenerasi hidropik. Papilari
dermis edematous dan terdapat pervaskuler infiltrasi terdiri dari sel limfosit, plasma,
eosinofil dengan sel makrofag berisi pigmen melanin. Hal ini sesuai dengan
kepustakaan dimana didapatkan adanya degenerasi hidrotik pada lapisan sel basal
yang menuju pada inkontinens pigmentasi dimana di karakteristik dengan adanya
melanin dalam jumlah yang banyak diantara makrofag yang terdapat pada lapisan
atas kulit.
14

Yang menjadi faktor penyebab timbulnya FDE pada kasus ini adalah
pemaparan pertama dengan obat penyebab, dosis obat dan pemberian obat ulangan.
Dimana pada pemaparan pertama dapat menyebabkan terjadinya reaksi komplit
antigen-antibodi dan beberapa reaksi kulit tergantung dari dosis dan akumulasi toksik
obat. Pemakaian obat penyebab yang berulang mengakibatkan bertambahnya jumlah
lesi. Pada kasus ini berdasarkan anamnesa diduga obat penyebab terjadinya FDE
adalah salisilat.
Pengobatan pada FDE belum memuaskan karena kesukaran dalam
memastikan penyebabnya, apakah oleh obatnya sendiri atau metaboliknya. Pada
kasus ini hanya diberikan pengobatan secara simptomatik, dimana diberikan
antihistamin karena obat ini bersifat sedatif dan dapat menghilangkan rasa gatal. Obat
lainnya yang diberikan adalah kortikosteroid yang diberikan secara topikal, yang
berguna sebagai anti inflamasi.
Prognosis pada kasus ini adalah dubia ad bonam karena FDE akan
menyembuh bila obat penyebabnya dapat diketahui dan dapat disingkirkan.
15

PENUTUP

Demikianlah tinjauan pustaka dan laporan kasus tentang FDE. Diharapkan


agar makalah yang sederhana ini dapat berguna bagi pembaca, juga bagi penulis
sesuai dengan maksud dibuatnya makalah ini, dan terutama bagi upaya kita untuk
tidak sekedar memahami tentang FDE, tetapi juga membuka wawasan dan menambah
pengalaman dalam hal penanganan kasus-kasus penyakit akibat reaksi pemakaian
obat-obatan khususnya pada FDE.
16

DAFTAR PUSTAKA

1. Prof. DR. Adhi Djuanda, Dr. Mochtar Hamzah, Dr. Siti Aisah. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin, edisi ketiga. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai Penerbit FKUI, Jakarta,
1999:139-142
2. DermNet Editorial Board. Fixed Drug Eruption. Available from URL:
www.dermnetnz.org/reaction/fixed-drug-eruption.html. Last updated : September
30, 2004.
3. Freedberg Irwin, Eisen Arthur, Wolff Klaus et al. Dermatology in General
Medicine, 5th edition Vol. 1. McGrow Hill Companies, Inc. United States of
America,1999:1633-41
4. Seobaryo R, Suherman S. Erupsi Obat Alergik. Dalam: Sularsito Sri,dkk.
Erupsi Obat Alergik. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. FKUI.1995:3-
7,63-4
5. Thiers B. Disorders of Hyperpigmentation. In: Dermatologics Clinics. W.B
Saunders Company.2000:95-7
6. Arnold H, Odom R, James W. Contact Dermatitis in Drug Eruption. In:
Diseases of The Skin. 8th edition. W.B Saunders Company.1990
7. Lever Walter, Schaumberg G. Eruptions Due to Drugs, In: Histopathology of
The Skin. J.B Lippincott Company.1983:259-61
8. Revuz Jean. Serious Drug Reactions. In : Abstracts IX International Congress
of Dermatology. May 19-22, 2004. Beijing China:5

Anda mungkin juga menyukai