REFERAT SIFILIS
Disusun Oleh :
Nama
NIM
: 09711011
Dosen Pembimbing
SIFILIS
Latar Belakang
Sifilis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum ,
yang merupakan penyakit kronis dan bersifat sistemik . selama perjalanan penyalit ini
dapat menyerang seluruh organ tubuh. Factor resiko yang berkaitan dengan sifilis
antara lain adalah penyalahgunaan zat , terutama crack cocaine : pelacuran , tidak
adanya perawatan antenatal prenatal , usia muda status social ekonomi lemah dan
banyak pasangan seksual.
Insiden sifilis telah menurun dalam beberapa tahun terakhir, dilaporkan
53.000 kasus pada tahun 1996, sedangkan pada tahun 1992 113.000 kasus. Angka
sifilis di Amerika Serikat pada tahun 1999 merupakan rekor angka terendah yaitu 2, 3
kasus per 100. 000 orang dan centers for disease control and prevention ( COC) telah
menciptakan national paln for syphilis elimination. Namun, jumlah kasus sifilis
primer dan sekunder meningkat pada tahun 2000-2007.Pada tahun 2007, 11.466
kasus dilaporkan kepada US Centers for Disease Control and Prevention.Sebagian
besar dari peningkatan ini terjadi pada pria, terutama pada pria yang berhubungan
seks dengan pria lain. Keseluruhan kasus yang dilaporkan pada wanita menurun.
Lebih dari 80% kasus yang dilaporkan di selatan Amerika Serikat. Kecenderungan
untuk kasus sifilis kongenital terjadi penurunan selama sepuluh tahun terakhir.
Angka Kematian dan Kesakitan. Komplikasi utama pada orang dewasa
meliputi neurosifilis, sifilis kardiovaskular, dan gumma. Kematian akibat dari sifilis
terus terjadi. Satu studi menemukan bahwa dari 113 kematian akibat penyakit
menular seksual, 105 disebabkan oleh sifilis, dengan jantung dan neurosifilis; Angkaangka ini terus meningkat sejak munculnya epidemi AIDS, karena penyakit ulkus
kelamin (termasuk sifilis) adalah kofaktor untuk penularan HIV. Selain itu, pasien
yang tidak diobati beresiko mengalami perkembangan yang cepat untuk neurosifilis
dan untuk komplikasi; Kongenital sifilis adalah hasil yang paling serius sifilis pada
wanita telah menunjukkan bahwa proporsi yang lebih tinggi bayi terpengaruh jika ibu
telah diobati sifilis sekunder, dibandingkan dengan sifilis laten yang tidak diobati
SIFILIS
A. Definisi
Sifilis adalah suatu penyakit menular seksual (PMS /STD [sexually
transmitted disease]) atau disebut juga veneral disease (beberapa penyakit infeksi
kelamin lain seperti gonore, klamidia, herpes dan granuloma inguinal) adalah salah
satu bentuk penyakit infeksi yang ditularkan melalui hubungan sex atau dari
seorang ibu kepada bayi yang dikandungnya. Sifilis disebabkan oleh Treponema
pallidum yang dapat bersifat akut dan kronis diawali dengan adanya lesi primer
kemudian terjadi erupsi sekunder pada kulit dan selaput lendir dan akhirnya
sampai pada periode laten dengan lesi pada kulit, lesi pada tulang, saluran
pencernaan, sistem syaraf pusat dan sistem kardiovaskuler. Setiap orang rentan
terhadap penyakit sifilis, tetapi 30 % orang yang terpapar akan terkena infeksi.
Setelah infeksi biasanya terbentuk antibodi terhadap T. pallidium dan kadang kala
terbentuk antibodi heterologus terhadap treponema lain. Antibodi ini tidak
terbentuk apabila pengobatan dilakukan pada stadium satu dan dua. Adanya
infeksi HIV menurunkan kemampuan penderita melawan T. pallidum.
B. Epidemiologi
Sifilis tersebar diseluruh dunia dan telah dikenal sebagai penyakit kelamin
klasik yang dapat dikendalikan dengan baik. Di Amerika Serikat kejadian sifilis
dan sifilis kongenital yang dilaporkan meningkat sejak tahun 1986 dan berlanjut
sampai dengan tahun 1990 dan kemudian menurun sesudah itu. Peningkatan ini
terjadi terutama di kalangan masyarakat dengan status sosial ekonomi rendah dan
di kalangan anak-anak muda dengan kelompok usia yang paling sering terkena
infeksi adalah golongan usia muda berusia antara 20 29 tahun, yang aktif secara
seksual. Adanya perbedaan prevalensi penyakit pada ras yang berbeda lebih
disebabkan oleh faktor sosial daripada faktor biologis. Dari data tahun 1981-1989
insidensi sifilis primer dan sekunder di Amerika Serikat meningkat 34% yaitu
18,4% per 100.000 penduduk. Dibanyak wilayah di AS, terutama di daerah
perkotaan dan di daerah pedesaan bagian selatan faktor risiko yang
melatarbelakangi peningkatan prevalensi sifilis pada kelompok ini antara lain
pemakaian obat-obat terlarang, prostitusi, AIDS dan hubungan seks pertama kali
pada usia muda. Pada tahun 2003-2004 terjadi peningkatan prevalensi sifilis
sebanyak 8 % dari 2,5 menjadi 2,7 per 100.000 populasi. Sedangkan pada tahun
2006 2007 terjadi peningkatan 12% dari 3,3 menjadi 3,7 per 100.000 populasi.
: Eubacteria
Filum
: Spirochaetes
Kelas
: Spirochaetes
Ordo
: Spirochaetes
Familia
: Treponemataceae
Genus
: Treponema
Spesies
: Treponema pallidum
D. Klasifikasi
Pembagian sifilis menurut WHO ialah sifilis dini dan sifilis lanjut dengan
waktu diantaranya 2 tahun, ada yang mengatakan 4 tahun:
a. Sifilis Dini
1. Sifilis primer (S1)
2. Sifilis sekunder (S2)
3. Sifilis laten dini
b. Sifilis Lanjut
1. Sifilis laten lanjut
2. Sifilis tertier (S3)
3. Sifilis kardiovaskuler
4. Neurosifilis
E. Patogenesis
Treponema pallidum tidak dapat tumbuh dalam media kultur sehingga
pengetahuan tentang imunopatogenesis penyakit sifilis hanya diperoleh dari
keadaan penderita (berdasarkan tanda dan gejala yang tampak), model pada
binatang percobaan dan data in vitro dari ekstraksi jaringan spirocaeta. Setelah
mengeksposure permukaan epitel, spirocaeta akan berpenetrasi dan menyerang
lapisan sel endotel, yang merupakan tahap penting dalam tingkat virulensi
treponema (meskipun mekanisme yang jelas sampai saat ini belum diketahui).
Histopatologi dari chancre primer tergantung pada banyaknya spirocaeta
dan infiltrasi seluler yang pada mulanya terdiri dari T limfosit yang terjadi 6 hari
postinfeksi, kemudian makrofag pada hari ke 10 dan sel plasma. Aktivasi
makrofag akan merangsang pelepasan sitokin dari T limfosit yaitu interleukin 2
(IL 2) dan interferon gamma (IFN).
Antibodi spesifik akan muncul dalam serum pada awal infeksi yang akan
menghalangi spirocaeta merusak sel dan Ig G dengan bantuan komplemen akan
dapat membunuh T. pallidum serta meningkatkan kemampuan netrofil dan
makrofag memfagosit treponema tersebut. Antibodi berperanan dalam
menghancurkan protein membran luar yang tipis dari treponema pallidum
(TROMPs).
Secara umum tingkat kekebalan yang timbul karena infeksi oleh T.
pallidum relevan dengan level antibodi pada TROMPs. Meskipun humoral
immunity juga dibutuhkan dalam melawan infeksi dari treponema, respon antibodi
ini dapat juga menyebabkan kelainan. Adanya kompleks imun pada sifilis
6
sekunder mungkin menjelaskan patologi timbulnya lesi pada kulit dan deposit di
ginjal yang menyebabkan terjadinya nefropati sifilik. Antibodi kardiolipin yang
merupakan penentu pada sifilis primer dan menjadi dasar tes nontreponemal pada
penyakit ini, tidak sejalan dengan terjadinya sindrom antibodi antifosfolipid.
Pemeriksaan histologik menunjukkan banyaknya sel T pada daerah lesi.
Pada chancre primer CD4 lebih banyak berperanan sedangkan pada lesi sekunder
lebih banyak ditemukan CD8. Gumma yang lebih sering timbul pada sifilis tertier
menunjukkan adanya reaksi hipersensitivitas tipe lambat, dengan tanda khas
berupa granuloma. Peranan sel T pada sifilis yang belum jelas menimbulkan
dugaan adanya cross infeksi HIV pada penderita sifilis. Para ilmuwan di Spanyol
meneliti adanya perubahan viral load dan jumlah CD4 selama terinfeksi sifilis dan
menemukan bahwa infeksi sifilis pada pasien HIV-positif berhubungan dengan
peningkatan viral load dan penurunan jumlah CD4.
Penurunan jumlah CD4 dan peningkatan viral load ditemukan pada hampir
sepertiga pasien yang diamati. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa satusatunya faktor yang dikaitkan dengan peningkatan viral load adalah karena
penderita tidak menggunakan terapi antiretroviral (ART), sementara satu-satunya
faktor yang dikaitkan dengan penurunan jumlah CD4 sebanyak lebih dari 100,
adalah jumlah CD4 pasien sebelum terinfeksi sifilis (pasien yang mempunyai
jumlah CD4 lebih tinggi sebelum sifilis mengalami penurunan yang lebih besar),
tetapi tidak ada perbedaan pada perubahan virologi berdasarkan stadium sifilis.
Temuan lain dari penelitian ini menunjukkan lebih dari dua pertiga kasus
sifilis ditemukan pada pasien yang sebelumnya didiagnosis HIV-positif. Dalam hal
ini, para peneliti menyoroti perilaku pasien yang berisiko dan strategi pencegahan
yang lemah. Sehingga perlu adanya upaya kesehatan masyarakat untuk mencegah
infeksi sifilis baru dan secepatnya mengenal serta mengobati pasien terinfeksi
sifilis, dengan tujuan mengurangi penyebaran baik infeksi sifilis maupun HIV.
Stadium Dini
Pada sifilis yang didapat, Treponema pallidum masuk ke dalam kulit melalui
mikrolesi atau selaput lendir, biasanya melalui senggama. Kuman tersebut
berkembang biak, jaringan bereaksi dengan membentuk infiltrat yang terdiri
atas sel-sel limfosit dan sel-sel plasma, terutama di perivaskuler, pembuluhpembuluh darah kecil berproliferasi dikelilingi oleh Treponema pallidum dan
sel-sel radang. Enarteritis pembuluh darah kecil menyebabkan perubahan
hipertrofi endotelium yang menimbulkan obliterasi lumen (enarteritis
obliterans). Pada pemeriksaan klinis tampak sebagai S I. Sebelum S I terlihat,
kuman telah mencapai kelenjar getah bening regional secara limfogen dan
berkembang biak, terjadi penjalaran hematogen yang menyebar ke seluruh
jaringan tubuh. Multiplikasi diikuti oleh reaksi jaringan sebagai S II yang
terjadi 6-8 minggu setelah S I. S I akan sembuh perlahan-lahan karena kuman
di tempat tersebut berkurang jumlahnya. Terbentuklah fibroblas-fibroblas dan
akhirnya sembuh berupa sikatrik. S II juga mengalami regresi perlahan-lahan
lalu menghilang. Timbul stadium laten. Jika infeksi T.pallidum gagal diatasi
oleh proses imunitas tubuh, kuman akan berkembang biak lagi dan
menimbulkan lesi rekuren. Lesi dapat timbul berulang-ulang.
Stadium Lanjut
Stadium laten berlangsung bertahun-tahun karena treponema dalam keadaan
dorman. Treponema mencapai sistem kardiovaskuler dan sistem saraf pada
waktu dini, tetapi kerusakan perlahan-lahan sehingga memerlukan waktu
bertahun-tahun untuk menimbulkan gejala klinis. Kira-kira dua pertiga kasus
dengan stadium laten tidak memberi gejala.
F. Manifestasi Klinis
1. Sifilis Primer ( S I )
Sifilis primer biasanya ditandai oleh tukak tungga (disebut chancre ),
tetapi bisa juga terdapat tukak lebih dari satu. Tukak dapat terjadi di mana saja
di daerah genetalia externa, 3 minggu setelah kontak. Lesi awal biasanya
berupa papul yang mengalami erosi, teraba keras karena terdapat indurasi.
Permukaan dapat tertutup krusta dan terjadi ulserasi. Ukurannya berfariasi dari
beberapa mm sampai dengan 1-2cm bagian yang mengelilingi lesi meniggi dan
keras. Bila tidak disertai infeksi bakteri lain maka akan berbentuk khas dan
hamper tidak ada rasa nyeri. Kelainan tersebut di namakan efek primer. Pada
pria tempat yang sering dikenai ialah sulkus koronarius, sedangkan pada wanita
di labia minor dan mayor. Selain itu juga dapat di externa genital, misalnya di
lidah, tonsil, dan anus. Pada pria selalu disertai pembesaran kelenjar limfe
inguinal medial unilateral/bilateral.
Seminggu setelah efek primer, biasa terdapat pembesaran kelenjar getah
bening regional di ingunalis medialis. Keseluruhannya di sebut kompleks
primer. Kelenjar tersebut solitary, indolen, tidak lunak, besarnya biasanya
lentikular, tidak suporatif, dan tidak terdapat periadenitis. Kulit diatas tidak
menunjukkan tanda-tanda radang akut. Istilah symphilis demblee dipakai, jika
tidak terdapat afek primer. Kuman masuk ke jaringan yang lebih dalam,
misalnya pada transfuse darah atau suntikan.
8
2. Sifilis sekunder ( S II )
Biasanya S II timbul setelah 6-8 minggu sejak S I dan sejumlah sepertiga
kasus masih disetai S I. lama SII dapat sampai 9 bulan. Berbeda dengan SI yang
tanpa disertai gejala konstitusi, pada SII dapat disertai gejala tersebut yang
terjadi sebelum atau selama SII. Gejala umumnya tidak berat, berupa anaroksia
turunnya berat badan malese, nyeri kepala, demam yang tidak tinggi, dan
altralgia.
Manifestasi klinis sifilis sekunder dapat berupa berbagai ruam pada kulit,
selaput lender, dan organ tubuh. Dapat disertai demam, malaise. Juga adanya
kelainan kulit dan selaput lender dapat diduga sifilis sekunder, bila ternyata
pemerikasaan serologis reaktif lesi kulit biasanya simetris, dapat berupa
macula, papul, folikulitis, papulaskuomosa, dan pustu. Jarang dijumpai keluhan
gatal. Lesi vesikobulosa dapat ditemukan pada sifilis konggingital.
Kelainan kulit dapat menyerupai berbagai penyakit kulit sehingga disebut
the great imitator. Selain member kelainan pada kulit, SII dapat juga member
kelainan pada mukosa, kelenjar getah bening, mata, hepar, tulang dan saraf.
Gejala lainnya adalah merasa tidak enak badan ( malaise ) kehilangan nafsu
makan , mual, lelah, demam, dan anemia.
Pada S II yang masih dini sering terjadi kerontokan rambut, umumnya
bersifat difus dan tidak khas, disebut alopecia difusa. Pada S II yang lanjut
dapat terjadi kerontokan setempatsetempat, tampak sebagai bercak yang
9
ditumbuhi oleh rambut yang tipis, jadi tidak botak seluruhnya, seolah-olah
seperti digigit ngengat dan disebut alopesia areolaris. Gejala dan tanda sifilis
sekunder dapat hilang tanpa pengobatan, tetapi bila tidak diobati, infeksi akan
berkembang menjadi sifilis laten atau sifilis stadium lanjut.
3. Sifilis laten
Sifilis laten merupakan stadium sifilis tanpa gejala klinis, akan tetapi
pemeriksaan serologis reaktif. Dalam perjalanan penyakit sifilis selalu melalui
tingkat laten, selama bertahun-tahun atau seumur hidup. Akan tetapi bukan
berarti penyakit akan berhenti pada tingkat ini, sebab dapat berjalan menjadi
sifilis lanjut, berbentuk gumma, kelainan susunan syaraf pusat dan
kardiovaskuler. Tes serologik darah positif, sedangkan tes likuor
serebrospinalis negatif. Tes yang dianjurkan ialah VDRL dan TPHA.
Fase ini bisa berlangsung bertahun-tahun atau berpuluh-puluh tahun atau
bahkan sepanjang hidup penderita. Pada awal fase laten kadang luka yang
infeksius kembali muncul.
10
Sifilis lanjut
Perbedaan karakteristik sifilis dini dan sifilis lanjut ialah sebagai berikut:
a. Pada sifilis dini bersifat infeksius, pada sifilis lanjut tidak, kecuali
kemungkinan pada wanita hamil.
b. Pada sifilis dini hasil pemeriksaan lapangan gelap ditemukanTpallidum, pada
sifilis lanjut tidak ditemukan.
c. Pada sifilis dini infeksi ulang dapat terjadi walau telah diberi pengobatan yang
cukup, sedangkan pada sifilis lanjut sangat jarang.
d. Pada sifilis dini tidak bersifat destruktif, sedangkan pda sifilis lanjut
destruktif.
e. Pada sifilis dini hasil tes serologis selalu reaktif dengan titer tinggi, setelah
diberi pengobatan yang adekuat akan berubah menjadi non reaktif atau titer
rendah, sedangkan pada sifilis lanjut umumnya reaktif, selalu dengan titer
rendah dan sedikit atau hampir tidak ada perubahan setelah diberi pengobatan.
Titer yang tinggi pada sifilis lanjut dijumpai pada gumma dan paresis.
1. Sifilis laten lanjut
Biasanya tidak menular, diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan tes
serologik. Lama masa laten beberapa tahun hingga bertahun-tahun, bahkan
dapat seumur hidup. Likuor serebrospinalis hendaknya diperiksa untuk
menyingkirkan neurosifilis asimtomatik. Demikian pula sinar-X aorta untuk
melihat, apakah ada aorititis.
2. Sifilis tersier (S III)
Lesi pertama umumnya terlihat antara tiga sampai sepuluh tahun setelah S
I. Kelainan yang khas ialah guma, yakni infiltrat sirkumskrip, kronis, biasanya
melunak, dan destruktif. Besar guma bervariasi dari lentikular sampai sebesar
telur ayam. Kulit di atasnya mula-mula tidak menunjukkan tanda-tanda radang
akut dan dapat digerakkan. Setelah beber pa bulan mulai melunak, biasanya
mulai dari tengah, tanda-tanda radang mulai tampak, kulit menjadi eritematosa
dan livid serta melekat terhadap guma tersebut. Kemudian terjadi perforasi dan
keluarlah cairan seropurulen, kadang-kadang sanguinolen; pada beberapa kasus
disertai jaringan nekrotik.
Tempat perforasi akan meluas menjadi ulkus, bentuknya lonjong/bulat,
dindingnya curam, seolah-olah kulit tersebut terdorong ke luar. Beberapa ulkus
11
Selain guma, kelainan yang lain pada S III ialah nodus. Mula- mula di
kutan kemudian ke epidermis, pertumbuhannya lambat yakni beberapa
minggu/bulan dan umumnya meninggalkan sikatriks yang hipotrofi. Nodus
tersebut dalam perkembangannya mirip guma, mengalami nekrosis di tengah
dan membentuk ulkus. Dapat pula tanpa nekrosis dan menjadi sklerotik.
Perbedaannya dengan guma, nodus lebih superfisial dan lebih kecil (miliar
hingga lentikular), lebih banyak, mempunyai kecenderungan untuk
bergerombol atau berkonfluensi; selain itu tersebar (diseminata). Warnanya
merah kecoklatan.
Nodus-nodus yang berkonfluensi dapat tumbuh terns secara serpiginosa.
Bagian yang belum sembuh dapat tertutup skuama seperti lilin dan disebut
psoriasiformis. Kelenjar getah bening regional tidak membesar. Kelainan yang
jarang ialah yang disebut nodositas juxta articularis berupa nodus-nodus
subkutan yang fibrotik, tidak melunak, indolen, biasanya pada sendi besar.
12
umur disertai pemeriksaan serologis darah reaktif, pada tahap pertama hares
diduga sifilis kardiovaskuler, sampai dapat dibuktikan lebih lanjut. Pemeriksaan
serologis umumnya menunjukkan reaktif.
4. Neurosifilis
Pada perjalanan penyakit neurosifilis dapat asimtomatik dan sangat jarang
terjadi dalam bentuk murni.Pada semua jenis neurosifilis terjadi perubahan
berupa endarteritis obliterans pada ujung pembuluh darah disertai degenerasi
parenkimatosa yang mungkin sudah atau belum menunjukkan gejala pada saat
pemeriksaan.
Neurosifilis dibagi menjadi empat macam:
Neurosifilis asimtomatik.
Sifilis meningovaskular (sifilis serebrospinalis), misalnya meningitis,
meningomielitis, endarteritis sifilitika.
Guma.
a. Neurosifilis asimtomatik
Diagnosis berdasarkan kelainan pada likuor serebrospinalis. Kelainan
tersebut belum cukup memberi gejala klinis.
b. Sifilis meningovaskular.
Terjadi inflamasi vaskular dan perivaskular. Pembuluh darah di otak dan
medula spinalis mengalami endarteritis proliferatif dan infiltrasi perivaskular
berupa limfosit, sel plasma, dan fibroblas.
Pembentukan jaringan fibrotik menyebabkan terjadinya fibrosis sehingga
perdarahannya berkurang akibat mengecilnya lumen. Selain itu jugs dapat
terjadi trombosis akibat nekrosis jaringan karena terbentuknya gums kecil
multipel.
Bentuk ini terjadi beberapa bulan hingga lima tahun sejak S I. Gejalanya
bermacam-macam bergantung pada letak lesi. Gejala yang sering terdapat
ialah: nyeri kepala, konvulsi fokal atau umum, papil nervus optikus sembab,
14
gangguan mental, gejala-gejala meningitis basalis dengan kelumpuhan sarafsaraf otak, atrofi nervus optikus, gangguan hipotalamus, gangguan piramidal,
gangguan miksi dan defekasi, stupor, atau koma. Bentuk yang sering dijumpai
ialah endarteritis sifilitika dengan hemiparesis karena penyumbatan arteri
otak.
c. Sifilis parenkim
Termasuk golongan ini ialah tabes dorsalis dan demensia paralitika.
Tabes dorsalis
Timbulnya antara delapan sampai dua betas tahun setelah infeksi pertama.
Kira-kira seperempat kasus neurosifilis berupa tabes dorsalis. Kerusakan
terutama pada radiks posterior dan funikulus dorsalis daerah torakolumbalis. Selain itu beberapa saraf otak dapat terkena, misalnya nervus
optikus, nervus trigeminus, dan nervus oktavus. Gejala klinis di antaranya
ialah gangguan sensibilitas berupa ataksia, arefleksia, gangguan virus,
gangguan rasa nyeri pada kulit, dan jaringan dalam. Gejala lain ialah
retensi dan inkontinensia urin. Gejala tersebut terjadi berangsur- angsur
terutama akibat demielinisasi dan degenerasi funikulus dorsalis.
Demensia paralitika
Penyakit ini biasanya timbul delapan sampai sepuluh tahun sejak infeksi
primer, umumnya pada umur antara tiga puluh sampai lima puluh tahun.
Sejumlah 10-15% dari seluruh kasus neurosifilis berupa demensia
paralitika.
Prosesnya ialah meningoensefalitis yang terutama mengenai otak, ganglia
basal, dan daerah sekitarventrikel ketiga. Lambat laun terjadi atrofi pada
korteks dan substansi albs sehingga korteks menipis dan terjadi
hidrosefalus.
Gejala klinis yang utama ialah demensia yang terjadi berangsur-angsur
dan progresif. Mula-mula terjadi kemunduran intelektual, kemudian
15
16
17
18
19
d. Stigmata
Lesi sifilis kongenital dini dan lanjut dapat sembuh Berta
meninggalkan parut dan kelainan yang khas. Parut dan kelainan demikian
merupakan stigmata sifilis kongenita, akan tetapi hanya sebagian penderita
yang menunjukkan gambaran tersebut.
Stigmata lesi dini.
Gambaran muka yang menunjukkans addlenose.
Gigi menunjukkan gambaran gigi insisor Hutchinson dan gigi
Mullberry
Ragades
Atrofi dan kelainan akibat peradangan
Koroidoretinitis, membentuk daerah parut putih dikelilingi pigmentasi
pada retina.
Stigmata dan lesi lanjut.
Lesi pada kornea: kekaburan kornea sebagai akibat ghost vessels
Lesi tulang: sabre tibia, akibat osteoeriostitis
Atrofi optik, tersendiri tanpa iridoplegia
Ketulian syaraf
Tanda dan gejala
Masa inkubasi antara 10-90 hari, dngan gejala:
a. Tahap 1
9-90 hari setelah terinfeksi. Timbul: luka kecil, bundar dan tidak sakit
chancre- tepatnya pada kulit yang terpapar/kontak langsung dengan penderita.
Chancre tempat masuknya penyakit hampir selalu munci di dalam dan sekitar
genetalia, anus bahkan mulut. Pada kasus yang tidak dibobati (sampai tahai 1
berakhir), setelah beberapa minggu, chancre akan menghilang tapi bakteri
tetap berada di tubuh penderita.
20
b. Tahap 2
1-2 bulan kemudian, muncul gejala lain: sakit tenggorokan, sakit pada bagian
dalam mulut, nyeri otot, dmam, lesu, rambut rontok dan terdapat bintil.
Beberapa bulan kemudian akan menghilang. Sejumlah orang tidak mengalami
gejala lanjutan.
c. Tahap 3
Dikenal sebagai tahap akhir sifilis. Pada fase ini chancre telah menimbulkan
kerusakan fatal dalam tubuh penderita. Dalam stase ini akan muncul gejala:
kebutaan, tuli, borok pada kulit, penyakit jantung, kerusakan hati, lumpuh dan
gila. Tahap letal.
G. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis sifilis dapat ditegakkan dengan cara melihat langsung organisme
dengan mikroskop lapangan gelap atau pewarnaan antibodi fluoresen langsung dan
kedua dengan mendeteksi adanya antibodi dalam serum dan cairan serebrospinal.
Tes serologis merupakan tes konfirmasi untuk melihat adanya antibodi terhadap
organisme penyebab sifilis. Tes serologis juga diperlukan untuk menegakkan
diagnosis infeksi sifilis pada masa laten sifilis dimana tidak tampak adanya gejalagejala penyakit. Ada dua kelompok tes serologis yang dapat digunakan dalam
mendiagnosis penyakit sifilis yaitu tes serologis antibodi non treponema dan
antibodi treponema.
1. Tes Serologis Antibodi Non Treponemal
Yaitu antibodi yang terbentuk akibat adanya infeksi oleh penyakit sifilis
atau penyakit infeksi lainnya. Antibodi ini terbentuk setelah penyakit menyebar
ke kelenjar limpe regional dan menyebabkan kerusakan jaringan serta dapat
menimbulkan reaksi silang dengan beberapa antigen dari jaringan lain. Tes
serologis non treponema mendeteksi antibodi yang merupakan kompleks dari
lecitin, kolesterol dan kardiolipin dan digunakan untuk skrining adanya infeksi
oleh T. pallidum. Termasuk tes ini adalah Venereal Disease Research
Laboratory (VDRL) dan Rapid Plasma Reagen (RPR) yang memberikan hasil
21
positif setelah 4 6 minggu terinfeksi (positif pada 70% pasien dengan lesi
primer dan stadium lanjut). Tetapi tes ini dapat memberikan positif palsu pada
kondisi seperti kehamilan, kecanduan obat, keganasan, penyakit autoimun dan
infeksi virus. Imunoasai ini menggunakan antibodi nontreponemal dan lipoid
sebagai antigen, termasuk pemeriksaan ini adalah:
a. Veneral Disease Research Laboratory (VDRL)
b. Rapid Plasma Reagin (RPR)
c. Cardiolipin Wassermann (CWR)
d. Unheated Serum Reagin (USR)
e. Toulidone Red Unheated Serum Test (TRUST)
f. ELISA
Tes ini bertujuan untuk mendeteksi adanya reaksi antara antibodi dari sel
yang rusak dan kardiolipin dari treponema. Digunakan untuk skrining penderita
dan monitoring penyakit setelah pemberian terapi. Tes-tes seperti Veneral
Disease Research Laboratory (VDRL), Rapid Plasma Reagin (RPR), Unheated
Serum Reagin (USR) dan Toulidone Red Unheated Serum Test (TRUST)
mendeteksi adanya reaksi antigen-antibodi dengan menilai presipitasi yang
terbentuk baik secara makroskopik (RPR dan TRUTS) maupun mikroskpoik
(VDRL dan USR).
Antibodi yang terdeteksi biasanya timbul 1 4 minggu setelah
munculnya chancre primer. Pengambilan spesimen pada stadium primer akan
mempengaruhi sensitivitas tes dimana titer antibodi meningkat selama tahun
pertama dan selanjutnya menurun secara nyata sehingga memberikan hasil
negatif pada pemeriksaan ulang.
Dapat ditemukan hasil tes positif palsu maupun negatif palsu. Positif
palsu terjadi karena adanya penyakit bersifat akut seperti hepatitis, infeksi
virus, kehamilan atau proses kronik seperti kerusakan pada jaringan
penyambung. Sedang hasil negatif palsu terjadi karena tingginya titer antibodi
(prozone phenomenon) yang sering ditemukan pada sifilis sekunder.
22
Tes RPR efektif untuk skrining seseorang yang terinfeksi penyakit sifilis
tetapi belum menunjukkan gejala klinik.
2. Tes VDRL selain digunakan untuk skrining penyakit sifilis juga dapat
digunakan untuk monitoring respon terapi, deteksi kelainan saraf dan
membantu diagnosis pada sifilis kongenital. Dasar tes adalah reaksi antibodi
pasien dengan difosfatidil gliserol. Tes
24
25
26
H. Diagnosis
27
I. Diagnosis banding
1. Diagnosis banding SI
Dasar diagnosis S I sebagai berikut. Pada anamnesis dapat diketahui mass
inkubasi; gejala konstitusi tidak terdapat, demikian pula gejala setempat yaitu
tidak ada rasa nyeri. Pada afek primer yang penting ialah terdapat erosi/ulkus
yang bersih, solitar, bulat/lonjong, teratur, indolen dengan indurasi: T.pallidum
positif. Kelainan dapat nyeri jika disertai infeksi sekunder. Kelenjar regional
dapat membesar, indolen, tidak berkelompok, tidak ada periadenitis, tanpa
supurasi. Tes serologik setelah beberapa minggu bereaksi positif lemah.
Sebagai diagnosis banding dapat dikemukakan berbagai penyakit.
a. Herpes simpleks
Penyakit ini residif dapat disertai rasa gataV nyeri, lesi berupa vesikel di alas
kulit yang eritematosa, berkelompok. Jika telah pecah tampak kelompok
erosi, sering berkonfluensi dan polisiklik, tidak terdapat indurasi.
b. Ulkus piogenik
Akibat trauma misalnya garukan dapat terjadi infeksi piogenik. Ulkus
tampak kotor karena mengandung pus, nyeri, tanpa indurasi. Jika terdapat
limfadenitis regional disertai tanda-tanda radang akut dapat terjadi supurasi
yang serentak, dan terdapat leukositosis pada pemeriksaan darah tepi.
c. Skabies
Pada skabies lesi berbentuk beberapa papul atau vesikel di genitalia eksterna,
terasa gatal pada malam hari. Kelainan yang sama terdapat pula pada tempat
predileksi, misalnya lipat jari Langan, perianal. Orang-orang yang serumah
juga akan menderita penyakit yang sama.2
d. Balanitis
Pada balanitis, kelainan berupa erosi superficial pada glans penis disertai
eritema, tanpa indurasi. Faktor predisposisi: diabetes melitus dan yang tidak
disirkumsisi.
28
30
32
33
34
Daftar Pustaka
Djuanda, Adhi, dkk. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima. Jakarta.
FKUI.
Leveno, Kenneth J. 2009. Obstetri Williams. EGC: Jakarta
Prawirohardjo, Sarwono. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta: YBPS
Wolff, Klaus et all.2008. Fitzpatricks Dermatology in General Medicin Seventh
Edition. USA. The McGraw-Hill Companies.
35