Anda di halaman 1dari 35

STASE KULIT DAN KELAMIN

REFERAT SIFILIS

Disusun Oleh :
Nama

: Agus Eko Radittyanto

NIM

: 09711011

Dosen Pembimbing

: dr. Muh. Wahyu Riyanto Sp.KK

JURUSAN PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2014

SIFILIS
Latar Belakang
Sifilis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum ,
yang merupakan penyakit kronis dan bersifat sistemik . selama perjalanan penyalit ini
dapat menyerang seluruh organ tubuh. Factor resiko yang berkaitan dengan sifilis
antara lain adalah penyalahgunaan zat , terutama crack cocaine : pelacuran , tidak
adanya perawatan antenatal prenatal , usia muda status social ekonomi lemah dan
banyak pasangan seksual.
Insiden sifilis telah menurun dalam beberapa tahun terakhir, dilaporkan
53.000 kasus pada tahun 1996, sedangkan pada tahun 1992 113.000 kasus. Angka
sifilis di Amerika Serikat pada tahun 1999 merupakan rekor angka terendah yaitu 2, 3
kasus per 100. 000 orang dan centers for disease control and prevention ( COC) telah
menciptakan national paln for syphilis elimination. Namun, jumlah kasus sifilis
primer dan sekunder meningkat pada tahun 2000-2007.Pada tahun 2007, 11.466
kasus dilaporkan kepada US Centers for Disease Control and Prevention.Sebagian
besar dari peningkatan ini terjadi pada pria, terutama pada pria yang berhubungan
seks dengan pria lain. Keseluruhan kasus yang dilaporkan pada wanita menurun.
Lebih dari 80% kasus yang dilaporkan di selatan Amerika Serikat. Kecenderungan
untuk kasus sifilis kongenital terjadi penurunan selama sepuluh tahun terakhir.
Angka Kematian dan Kesakitan. Komplikasi utama pada orang dewasa
meliputi neurosifilis, sifilis kardiovaskular, dan gumma. Kematian akibat dari sifilis
terus terjadi. Satu studi menemukan bahwa dari 113 kematian akibat penyakit
menular seksual, 105 disebabkan oleh sifilis, dengan jantung dan neurosifilis; Angkaangka ini terus meningkat sejak munculnya epidemi AIDS, karena penyakit ulkus
kelamin (termasuk sifilis) adalah kofaktor untuk penularan HIV. Selain itu, pasien
yang tidak diobati beresiko mengalami perkembangan yang cepat untuk neurosifilis
dan untuk komplikasi; Kongenital sifilis adalah hasil yang paling serius sifilis pada
wanita telah menunjukkan bahwa proporsi yang lebih tinggi bayi terpengaruh jika ibu
telah diobati sifilis sekunder, dibandingkan dengan sifilis laten yang tidak diobati

dini.Karena Treponema pallidum tidak menginvasi jaringan atau plasenta janin


sampai usia kehamilan bulan kelima, sifilis menyebabkan keguguran, bayi lahir mati,
atau kematian segera setelah melahirkan.
Di Amerika Serikat, sifilis yang lebih umum di kalangan orang-orang dari ras
dan etnis minoritas. Prevalensi sifilis yang dilaporkan antara orang kulit hitam agak
lebih tinggi daripada kelompok etnis lain. Namun demikian, tingkat ini telah menurun
secara drastis dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2000-2003, sifilis menurun
dari 12 kasus per 100.000 penduduk hingga 7,8 kasus per 100.000 penduduk pada
kelompok etnis ini.
Di Indonesia, pada beberapa puluh tahun yang lalu, nama PHS yang
paling terkenal adalah Raja Singa, yang menjadi korban umunya adalah kaum
dewasa, antara usia 19-35 tahun. Tetapi yang kini muncul dan lebih
memprihatinkan adalah penderita penderita PHS bukan hanya orang-orang yang
telah dewasa, tetapi dari kalangan remaja telah menjadi korbannya. Hal ini,
bukan rahasia lagi.

SIFILIS
A. Definisi
Sifilis adalah suatu penyakit menular seksual (PMS /STD [sexually
transmitted disease]) atau disebut juga veneral disease (beberapa penyakit infeksi
kelamin lain seperti gonore, klamidia, herpes dan granuloma inguinal) adalah salah
satu bentuk penyakit infeksi yang ditularkan melalui hubungan sex atau dari
seorang ibu kepada bayi yang dikandungnya. Sifilis disebabkan oleh Treponema
pallidum yang dapat bersifat akut dan kronis diawali dengan adanya lesi primer
kemudian terjadi erupsi sekunder pada kulit dan selaput lendir dan akhirnya
sampai pada periode laten dengan lesi pada kulit, lesi pada tulang, saluran
pencernaan, sistem syaraf pusat dan sistem kardiovaskuler. Setiap orang rentan
terhadap penyakit sifilis, tetapi 30 % orang yang terpapar akan terkena infeksi.
Setelah infeksi biasanya terbentuk antibodi terhadap T. pallidium dan kadang kala
terbentuk antibodi heterologus terhadap treponema lain. Antibodi ini tidak
terbentuk apabila pengobatan dilakukan pada stadium satu dan dua. Adanya
infeksi HIV menurunkan kemampuan penderita melawan T. pallidum.
B. Epidemiologi
Sifilis tersebar diseluruh dunia dan telah dikenal sebagai penyakit kelamin
klasik yang dapat dikendalikan dengan baik. Di Amerika Serikat kejadian sifilis
dan sifilis kongenital yang dilaporkan meningkat sejak tahun 1986 dan berlanjut
sampai dengan tahun 1990 dan kemudian menurun sesudah itu. Peningkatan ini
terjadi terutama di kalangan masyarakat dengan status sosial ekonomi rendah dan
di kalangan anak-anak muda dengan kelompok usia yang paling sering terkena
infeksi adalah golongan usia muda berusia antara 20 29 tahun, yang aktif secara
seksual. Adanya perbedaan prevalensi penyakit pada ras yang berbeda lebih
disebabkan oleh faktor sosial daripada faktor biologis. Dari data tahun 1981-1989
insidensi sifilis primer dan sekunder di Amerika Serikat meningkat 34% yaitu
18,4% per 100.000 penduduk. Dibanyak wilayah di AS, terutama di daerah
perkotaan dan di daerah pedesaan bagian selatan faktor risiko yang
melatarbelakangi peningkatan prevalensi sifilis pada kelompok ini antara lain
pemakaian obat-obat terlarang, prostitusi, AIDS dan hubungan seks pertama kali
pada usia muda. Pada tahun 2003-2004 terjadi peningkatan prevalensi sifilis
sebanyak 8 % dari 2,5 menjadi 2,7 per 100.000 populasi. Sedangkan pada tahun
2006 2007 terjadi peningkatan 12% dari 3,3 menjadi 3,7 per 100.000 populasi.

C. Etiologi dan Morfologi


Sifilis disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum yang merupakan
spesies Treponema dari famili Spirochaetaceae, ordo Spirochaetales. Treponema
pallidum berbentuk spiral, negatif-Gram dengan panjang rata-rata 11 m (antara 620 m) dengan diameter antara 0,09 0,18 m. Treponema pallidum mempunyai
titik ujung terakhir dengan 3 aksial fibril yang keluar dari bagian ujung lapisan
bawah. Treponema dapat bergerak berotasi cepat, fleksi sel dan maju seperti
gerakan pembuka tutup botol.
Kuman ini bergerak secara aktif dan karena spiralnya sangat lembut maka
hanya dapat dilihat dengan mikroskop lapang gelap atau dengan teknik
imunofluorosensi. Sukar diwarnai dengan zat warna aniline tetapi dapat mereduksi
perak nitrat menjadi logam perak yang tinggal melekat pada permukaan sel
kuman.
Kuman ini berkembang biak dengan cara pembelahan melintang. Dalam
keadaan anaerob pada suhu 25oC, T. pallidum bergerak secara aktif dan tetap
hidup selama 4-7 hari dalam pembenihan cair yang mengandung albumin, natrium
karbonat, piruvat, sistein, ultrafiltrat serum sapi. Waktu pembelahan kuman ini
kira-kira 30 jam.
Ada tiga macam antigen T. pallidum yaitu protein tidak tahan panas,
polisakarida, dan antigen lipoid. Antigen treponema yang paling khas antara lain
dapat diperiksa dengan tes imobilisasi T. pallidum (TPI). Tes ini memerlukan
komplemen dalam reaksinya pengeraman selama 18 jam dan suhu 35oC. selain
dengan menggunakan tes ini, ada banyak tes-tes lain yang dapat dilakukan untuk
memeriksa keberadaan bakteri ini berdasarkan antigennya.
Adapun klasifikasi bakteri penyebab penyakit sifilis adalah sebagai berikut:
Kingdom

: Eubacteria

Filum

: Spirochaetes

Kelas

: Spirochaetes

Ordo

: Spirochaetes

Familia

: Treponemataceae

Genus

: Treponema

Spesies

: Treponema pallidum

D. Klasifikasi
Pembagian sifilis menurut WHO ialah sifilis dini dan sifilis lanjut dengan
waktu diantaranya 2 tahun, ada yang mengatakan 4 tahun:
a. Sifilis Dini
1. Sifilis primer (S1)
2. Sifilis sekunder (S2)
3. Sifilis laten dini
b. Sifilis Lanjut
1. Sifilis laten lanjut
2. Sifilis tertier (S3)
3. Sifilis kardiovaskuler
4. Neurosifilis
E. Patogenesis
Treponema pallidum tidak dapat tumbuh dalam media kultur sehingga
pengetahuan tentang imunopatogenesis penyakit sifilis hanya diperoleh dari
keadaan penderita (berdasarkan tanda dan gejala yang tampak), model pada
binatang percobaan dan data in vitro dari ekstraksi jaringan spirocaeta. Setelah
mengeksposure permukaan epitel, spirocaeta akan berpenetrasi dan menyerang
lapisan sel endotel, yang merupakan tahap penting dalam tingkat virulensi
treponema (meskipun mekanisme yang jelas sampai saat ini belum diketahui).
Histopatologi dari chancre primer tergantung pada banyaknya spirocaeta
dan infiltrasi seluler yang pada mulanya terdiri dari T limfosit yang terjadi 6 hari
postinfeksi, kemudian makrofag pada hari ke 10 dan sel plasma. Aktivasi
makrofag akan merangsang pelepasan sitokin dari T limfosit yaitu interleukin 2
(IL 2) dan interferon gamma (IFN).
Antibodi spesifik akan muncul dalam serum pada awal infeksi yang akan
menghalangi spirocaeta merusak sel dan Ig G dengan bantuan komplemen akan
dapat membunuh T. pallidum serta meningkatkan kemampuan netrofil dan
makrofag memfagosit treponema tersebut. Antibodi berperanan dalam
menghancurkan protein membran luar yang tipis dari treponema pallidum
(TROMPs).
Secara umum tingkat kekebalan yang timbul karena infeksi oleh T.
pallidum relevan dengan level antibodi pada TROMPs. Meskipun humoral
immunity juga dibutuhkan dalam melawan infeksi dari treponema, respon antibodi
ini dapat juga menyebabkan kelainan. Adanya kompleks imun pada sifilis
6

sekunder mungkin menjelaskan patologi timbulnya lesi pada kulit dan deposit di
ginjal yang menyebabkan terjadinya nefropati sifilik. Antibodi kardiolipin yang
merupakan penentu pada sifilis primer dan menjadi dasar tes nontreponemal pada
penyakit ini, tidak sejalan dengan terjadinya sindrom antibodi antifosfolipid.
Pemeriksaan histologik menunjukkan banyaknya sel T pada daerah lesi.
Pada chancre primer CD4 lebih banyak berperanan sedangkan pada lesi sekunder
lebih banyak ditemukan CD8. Gumma yang lebih sering timbul pada sifilis tertier
menunjukkan adanya reaksi hipersensitivitas tipe lambat, dengan tanda khas
berupa granuloma. Peranan sel T pada sifilis yang belum jelas menimbulkan
dugaan adanya cross infeksi HIV pada penderita sifilis. Para ilmuwan di Spanyol
meneliti adanya perubahan viral load dan jumlah CD4 selama terinfeksi sifilis dan
menemukan bahwa infeksi sifilis pada pasien HIV-positif berhubungan dengan
peningkatan viral load dan penurunan jumlah CD4.
Penurunan jumlah CD4 dan peningkatan viral load ditemukan pada hampir
sepertiga pasien yang diamati. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa satusatunya faktor yang dikaitkan dengan peningkatan viral load adalah karena
penderita tidak menggunakan terapi antiretroviral (ART), sementara satu-satunya
faktor yang dikaitkan dengan penurunan jumlah CD4 sebanyak lebih dari 100,
adalah jumlah CD4 pasien sebelum terinfeksi sifilis (pasien yang mempunyai
jumlah CD4 lebih tinggi sebelum sifilis mengalami penurunan yang lebih besar),
tetapi tidak ada perbedaan pada perubahan virologi berdasarkan stadium sifilis.
Temuan lain dari penelitian ini menunjukkan lebih dari dua pertiga kasus
sifilis ditemukan pada pasien yang sebelumnya didiagnosis HIV-positif. Dalam hal
ini, para peneliti menyoroti perilaku pasien yang berisiko dan strategi pencegahan
yang lemah. Sehingga perlu adanya upaya kesehatan masyarakat untuk mencegah
infeksi sifilis baru dan secepatnya mengenal serta mengobati pasien terinfeksi
sifilis, dengan tujuan mengurangi penyebaran baik infeksi sifilis maupun HIV.
Stadium Dini
Pada sifilis yang didapat, Treponema pallidum masuk ke dalam kulit melalui
mikrolesi atau selaput lendir, biasanya melalui senggama. Kuman tersebut
berkembang biak, jaringan bereaksi dengan membentuk infiltrat yang terdiri
atas sel-sel limfosit dan sel-sel plasma, terutama di perivaskuler, pembuluhpembuluh darah kecil berproliferasi dikelilingi oleh Treponema pallidum dan
sel-sel radang. Enarteritis pembuluh darah kecil menyebabkan perubahan
hipertrofi endotelium yang menimbulkan obliterasi lumen (enarteritis
obliterans). Pada pemeriksaan klinis tampak sebagai S I. Sebelum S I terlihat,

kuman telah mencapai kelenjar getah bening regional secara limfogen dan
berkembang biak, terjadi penjalaran hematogen yang menyebar ke seluruh
jaringan tubuh. Multiplikasi diikuti oleh reaksi jaringan sebagai S II yang
terjadi 6-8 minggu setelah S I. S I akan sembuh perlahan-lahan karena kuman
di tempat tersebut berkurang jumlahnya. Terbentuklah fibroblas-fibroblas dan
akhirnya sembuh berupa sikatrik. S II juga mengalami regresi perlahan-lahan
lalu menghilang. Timbul stadium laten. Jika infeksi T.pallidum gagal diatasi
oleh proses imunitas tubuh, kuman akan berkembang biak lagi dan
menimbulkan lesi rekuren. Lesi dapat timbul berulang-ulang.
Stadium Lanjut
Stadium laten berlangsung bertahun-tahun karena treponema dalam keadaan
dorman. Treponema mencapai sistem kardiovaskuler dan sistem saraf pada
waktu dini, tetapi kerusakan perlahan-lahan sehingga memerlukan waktu
bertahun-tahun untuk menimbulkan gejala klinis. Kira-kira dua pertiga kasus
dengan stadium laten tidak memberi gejala.
F. Manifestasi Klinis
1. Sifilis Primer ( S I )
Sifilis primer biasanya ditandai oleh tukak tungga (disebut chancre ),
tetapi bisa juga terdapat tukak lebih dari satu. Tukak dapat terjadi di mana saja
di daerah genetalia externa, 3 minggu setelah kontak. Lesi awal biasanya
berupa papul yang mengalami erosi, teraba keras karena terdapat indurasi.
Permukaan dapat tertutup krusta dan terjadi ulserasi. Ukurannya berfariasi dari
beberapa mm sampai dengan 1-2cm bagian yang mengelilingi lesi meniggi dan
keras. Bila tidak disertai infeksi bakteri lain maka akan berbentuk khas dan
hamper tidak ada rasa nyeri. Kelainan tersebut di namakan efek primer. Pada
pria tempat yang sering dikenai ialah sulkus koronarius, sedangkan pada wanita
di labia minor dan mayor. Selain itu juga dapat di externa genital, misalnya di
lidah, tonsil, dan anus. Pada pria selalu disertai pembesaran kelenjar limfe
inguinal medial unilateral/bilateral.
Seminggu setelah efek primer, biasa terdapat pembesaran kelenjar getah
bening regional di ingunalis medialis. Keseluruhannya di sebut kompleks
primer. Kelenjar tersebut solitary, indolen, tidak lunak, besarnya biasanya
lentikular, tidak suporatif, dan tidak terdapat periadenitis. Kulit diatas tidak
menunjukkan tanda-tanda radang akut. Istilah symphilis demblee dipakai, jika
tidak terdapat afek primer. Kuman masuk ke jaringan yang lebih dalam,
misalnya pada transfuse darah atau suntikan.
8

2. Sifilis sekunder ( S II )
Biasanya S II timbul setelah 6-8 minggu sejak S I dan sejumlah sepertiga
kasus masih disetai S I. lama SII dapat sampai 9 bulan. Berbeda dengan SI yang
tanpa disertai gejala konstitusi, pada SII dapat disertai gejala tersebut yang
terjadi sebelum atau selama SII. Gejala umumnya tidak berat, berupa anaroksia
turunnya berat badan malese, nyeri kepala, demam yang tidak tinggi, dan
altralgia.
Manifestasi klinis sifilis sekunder dapat berupa berbagai ruam pada kulit,
selaput lender, dan organ tubuh. Dapat disertai demam, malaise. Juga adanya
kelainan kulit dan selaput lender dapat diduga sifilis sekunder, bila ternyata
pemerikasaan serologis reaktif lesi kulit biasanya simetris, dapat berupa
macula, papul, folikulitis, papulaskuomosa, dan pustu. Jarang dijumpai keluhan
gatal. Lesi vesikobulosa dapat ditemukan pada sifilis konggingital.
Kelainan kulit dapat menyerupai berbagai penyakit kulit sehingga disebut
the great imitator. Selain member kelainan pada kulit, SII dapat juga member
kelainan pada mukosa, kelenjar getah bening, mata, hepar, tulang dan saraf.
Gejala lainnya adalah merasa tidak enak badan ( malaise ) kehilangan nafsu
makan , mual, lelah, demam, dan anemia.
Pada S II yang masih dini sering terjadi kerontokan rambut, umumnya
bersifat difus dan tidak khas, disebut alopecia difusa. Pada S II yang lanjut
dapat terjadi kerontokan setempatsetempat, tampak sebagai bercak yang
9

ditumbuhi oleh rambut yang tipis, jadi tidak botak seluruhnya, seolah-olah
seperti digigit ngengat dan disebut alopesia areolaris. Gejala dan tanda sifilis
sekunder dapat hilang tanpa pengobatan, tetapi bila tidak diobati, infeksi akan
berkembang menjadi sifilis laten atau sifilis stadium lanjut.
3. Sifilis laten
Sifilis laten merupakan stadium sifilis tanpa gejala klinis, akan tetapi
pemeriksaan serologis reaktif. Dalam perjalanan penyakit sifilis selalu melalui
tingkat laten, selama bertahun-tahun atau seumur hidup. Akan tetapi bukan
berarti penyakit akan berhenti pada tingkat ini, sebab dapat berjalan menjadi
sifilis lanjut, berbentuk gumma, kelainan susunan syaraf pusat dan
kardiovaskuler. Tes serologik darah positif, sedangkan tes likuor
serebrospinalis negatif. Tes yang dianjurkan ialah VDRL dan TPHA.
Fase ini bisa berlangsung bertahun-tahun atau berpuluh-puluh tahun atau
bahkan sepanjang hidup penderita. Pada awal fase laten kadang luka yang
infeksius kembali muncul.

10

Sifilis lanjut
Perbedaan karakteristik sifilis dini dan sifilis lanjut ialah sebagai berikut:
a. Pada sifilis dini bersifat infeksius, pada sifilis lanjut tidak, kecuali
kemungkinan pada wanita hamil.
b. Pada sifilis dini hasil pemeriksaan lapangan gelap ditemukanTpallidum, pada
sifilis lanjut tidak ditemukan.
c. Pada sifilis dini infeksi ulang dapat terjadi walau telah diberi pengobatan yang
cukup, sedangkan pada sifilis lanjut sangat jarang.
d. Pada sifilis dini tidak bersifat destruktif, sedangkan pda sifilis lanjut
destruktif.
e. Pada sifilis dini hasil tes serologis selalu reaktif dengan titer tinggi, setelah
diberi pengobatan yang adekuat akan berubah menjadi non reaktif atau titer
rendah, sedangkan pada sifilis lanjut umumnya reaktif, selalu dengan titer
rendah dan sedikit atau hampir tidak ada perubahan setelah diberi pengobatan.
Titer yang tinggi pada sifilis lanjut dijumpai pada gumma dan paresis.
1. Sifilis laten lanjut
Biasanya tidak menular, diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan tes
serologik. Lama masa laten beberapa tahun hingga bertahun-tahun, bahkan
dapat seumur hidup. Likuor serebrospinalis hendaknya diperiksa untuk
menyingkirkan neurosifilis asimtomatik. Demikian pula sinar-X aorta untuk
melihat, apakah ada aorititis.
2. Sifilis tersier (S III)
Lesi pertama umumnya terlihat antara tiga sampai sepuluh tahun setelah S
I. Kelainan yang khas ialah guma, yakni infiltrat sirkumskrip, kronis, biasanya
melunak, dan destruktif. Besar guma bervariasi dari lentikular sampai sebesar
telur ayam. Kulit di atasnya mula-mula tidak menunjukkan tanda-tanda radang
akut dan dapat digerakkan. Setelah beber pa bulan mulai melunak, biasanya
mulai dari tengah, tanda-tanda radang mulai tampak, kulit menjadi eritematosa
dan livid serta melekat terhadap guma tersebut. Kemudian terjadi perforasi dan
keluarlah cairan seropurulen, kadang-kadang sanguinolen; pada beberapa kasus
disertai jaringan nekrotik.
Tempat perforasi akan meluas menjadi ulkus, bentuknya lonjong/bulat,
dindingnya curam, seolah-olah kulit tersebut terdorong ke luar. Beberapa ulkus
11

berkonfluensi sehingga membentuk pinggiryang polisiklik. Jikatelah menjadi


ulkus, maka infiltrat yang terdapat di bawahnya yang semula sebagai benjolan
menjadi datar. Tanpa pengobatan guma tersebut akan bertahan beberapa bulan
hingga beberapa tahun. Biasanya guma solitar, tetapi dapat pula multipel,
umumnya asimetrik. Gejala umum biasanya tidak terdapat, tetapi jika guma
multipel dan perlunakannya cepat, dapat disertai demam.

Selain guma, kelainan yang lain pada S III ialah nodus. Mula- mula di
kutan kemudian ke epidermis, pertumbuhannya lambat yakni beberapa
minggu/bulan dan umumnya meninggalkan sikatriks yang hipotrofi. Nodus
tersebut dalam perkembangannya mirip guma, mengalami nekrosis di tengah
dan membentuk ulkus. Dapat pula tanpa nekrosis dan menjadi sklerotik.
Perbedaannya dengan guma, nodus lebih superfisial dan lebih kecil (miliar
hingga lentikular), lebih banyak, mempunyai kecenderungan untuk
bergerombol atau berkonfluensi; selain itu tersebar (diseminata). Warnanya
merah kecoklatan.
Nodus-nodus yang berkonfluensi dapat tumbuh terns secara serpiginosa.
Bagian yang belum sembuh dapat tertutup skuama seperti lilin dan disebut
psoriasiformis. Kelenjar getah bening regional tidak membesar. Kelainan yang
jarang ialah yang disebut nodositas juxta articularis berupa nodus-nodus
subkutan yang fibrotik, tidak melunak, indolen, biasanya pada sendi besar.

12

a. S III pada mukosa


Guma jugs ditemukan di selaput lendir, dapat setempat atau menyebar.
Yang setempat biasanya pada mulut dan tenggorok atau septum nasi. Seperti
biasanya akan melunak dan membentuk ulkus, bersifat destruktif jadi dapat
merusak tulang rawan septum nasi atau palatum mole hingga terjadi
perforasi. Pada lidah yang tersering ialah guma yang nyeri dengan fisur-fisur
tidak teratur serta leukoplakia.
b. S III pada tulang
Paling sering menyerang tibia, tengkorak, bahu, femur, fibula, dan
humerus. Gejala nyeri, biasanya pada malam had. Terdapat dua bentuk,
yakni periostitis gumatosa dan osteitis gumatosa, kedua-duanya dapat
didiagnosis dengan sinar-X.
c. S III pada organ dalam
Hepar merupakan organ intra abdominal yang paling sering diserang.
Guma bersifat multipel, jika sembuh terjadi fibrosis, hingga hepar
mengalami retraksi, membentuk lobus-lobus tidak teratur yang disebut hepar
lobatum. Esofagus dan lambung dapat pula dikenai, meskipun jarang. Guma
dapat menyebabkan fibrosis. Pada paru juga jarang, guma solitar dapat
terjadi di dalam atau di luar bronkus; jika sembuh terjadi fibrosis dan
menyebabkan bronkiektasi. Guma dapat menyerang ginjal, vesika urinaria,
dan prostat, meskipun jarang. S III pada ovarium jarang, pada testis kadangkadang berupa guma atau fibrosis interstisial, tidak nyeri, permukaannya rata
dan unilateral. Kadang-kadang memecah ke bagian anterior skrotum.
3. Sifilis kardiovaskuler
Sifilis kardiovaskular bermanifestasi pada S III, dengan masa laten 15-30
tahun. Umumnya mengenai usia 40-50 tahun. Insidens pada pria lebih banyak
tiga kali daripada wanita.Biasanya disebabkan karena nekrosis aorta yang
berlanjut ke arch katup. Tanda-tanda sifilis kardiovaskuler adalah insufisiensi
aorta atau aneurisms, berbentuk kantong pada aorta torakal. Bila komplikasi ini
telah lanjut, akan sangat mudah dikenal. Secara teliti harus diperiksa
kemungkinan adanya hipertensi, arteriosklerosis, penyakit jantung rematik
sebelumnya. Aneurisms aorta torakales merupakan tanda sifilis kardiovaskuler.
Bila ada insufisiensi aorta tanpa kelainan katup pada seseorang yang setengah
13

umur disertai pemeriksaan serologis darah reaktif, pada tahap pertama hares
diduga sifilis kardiovaskuler, sampai dapat dibuktikan lebih lanjut. Pemeriksaan
serologis umumnya menunjukkan reaktif.
4. Neurosifilis
Pada perjalanan penyakit neurosifilis dapat asimtomatik dan sangat jarang
terjadi dalam bentuk murni.Pada semua jenis neurosifilis terjadi perubahan
berupa endarteritis obliterans pada ujung pembuluh darah disertai degenerasi
parenkimatosa yang mungkin sudah atau belum menunjukkan gejala pada saat
pemeriksaan.
Neurosifilis dibagi menjadi empat macam:

Neurosifilis asimtomatik.
Sifilis meningovaskular (sifilis serebrospinalis), misalnya meningitis,
meningomielitis, endarteritis sifilitika.

Sifilis parenkim: tabes dorsalis dan demensia paralitika.

Guma.

a. Neurosifilis asimtomatik
Diagnosis berdasarkan kelainan pada likuor serebrospinalis. Kelainan
tersebut belum cukup memberi gejala klinis.
b. Sifilis meningovaskular.
Terjadi inflamasi vaskular dan perivaskular. Pembuluh darah di otak dan
medula spinalis mengalami endarteritis proliferatif dan infiltrasi perivaskular
berupa limfosit, sel plasma, dan fibroblas.
Pembentukan jaringan fibrotik menyebabkan terjadinya fibrosis sehingga
perdarahannya berkurang akibat mengecilnya lumen. Selain itu jugs dapat
terjadi trombosis akibat nekrosis jaringan karena terbentuknya gums kecil
multipel.
Bentuk ini terjadi beberapa bulan hingga lima tahun sejak S I. Gejalanya
bermacam-macam bergantung pada letak lesi. Gejala yang sering terdapat
ialah: nyeri kepala, konvulsi fokal atau umum, papil nervus optikus sembab,

14

gangguan mental, gejala-gejala meningitis basalis dengan kelumpuhan sarafsaraf otak, atrofi nervus optikus, gangguan hipotalamus, gangguan piramidal,
gangguan miksi dan defekasi, stupor, atau koma. Bentuk yang sering dijumpai
ialah endarteritis sifilitika dengan hemiparesis karena penyumbatan arteri
otak.
c. Sifilis parenkim
Termasuk golongan ini ialah tabes dorsalis dan demensia paralitika.
Tabes dorsalis
Timbulnya antara delapan sampai dua betas tahun setelah infeksi pertama.
Kira-kira seperempat kasus neurosifilis berupa tabes dorsalis. Kerusakan
terutama pada radiks posterior dan funikulus dorsalis daerah torakolumbalis. Selain itu beberapa saraf otak dapat terkena, misalnya nervus
optikus, nervus trigeminus, dan nervus oktavus. Gejala klinis di antaranya
ialah gangguan sensibilitas berupa ataksia, arefleksia, gangguan virus,
gangguan rasa nyeri pada kulit, dan jaringan dalam. Gejala lain ialah
retensi dan inkontinensia urin. Gejala tersebut terjadi berangsur- angsur
terutama akibat demielinisasi dan degenerasi funikulus dorsalis.
Demensia paralitika
Penyakit ini biasanya timbul delapan sampai sepuluh tahun sejak infeksi
primer, umumnya pada umur antara tiga puluh sampai lima puluh tahun.
Sejumlah 10-15% dari seluruh kasus neurosifilis berupa demensia
paralitika.
Prosesnya ialah meningoensefalitis yang terutama mengenai otak, ganglia
basal, dan daerah sekitarventrikel ketiga. Lambat laun terjadi atrofi pada
korteks dan substansi albs sehingga korteks menipis dan terjadi
hidrosefalus.
Gejala klinis yang utama ialah demensia yang terjadi berangsur-angsur
dan progresif. Mula-mula terjadi kemunduran intelektual, kemudian

15

kehilangan dekorum, bersikap apatis, euforia, waham megaloman, dan


dapat terjadi depresif atau maniakal.Gejala lain di antaranya ialah
disartria, kejang-kejang umum atau fokal, muka topeng, dan tremor
terutama otot-otot muka. Lambat laun terjadi kelemahan, ataksia, gejalagejala piramidal, inkontinensia urin, dan akhirnya meningga
d. Guma
Umumnya terdapat pada meninges, rupanya terjadi akibat perluasan pada
tulang tengkorak. Jika membesar akan menyerang dan menekan parenkim
otak. Guma dapat solitar atau multipel pada verteks atau dasar otak.
Keluhannya nyeri kepala, mual, muntah, dan dapat terjadi konvulsi dan
gangguan visus. Gejalanya berupa udema papil akibat peninggian tekanan
intrakranial, paralisis nervus kranial, atau hemiplegia.
5. Sifilis congenital
Sifilis kongenital pada bayi terjadi, jika ibunya terkena sifilis, terutama
sifilis dini sebab banyak T. pallidum beredar dalam darah. treponema masuk
secara hematogen ke janin melalui plasenta yang sudah dapat terjadi pada saat
mass kehamilan 10 minggu.
Sifilis yang mengenai wanita hamil gejalanya ringan. Pada tahun I setelah
infeksi yang tidak diobati terdapat kemungkinan penularan sampai 90%. Jika
ibu menderita sifilis laten dini, kemungkinan bayi sakit 80%, bila sifilis lanjut
30 %.
Pada kehamilan yang berulang, infeksi janin pada kehamilan yang
kemudian menjadi berkurang. Misalnya pada hamil pertama akan terjadi
abortus pada bulan kelima, berikutnya lahir mati pada bulan kedelapan,
berikutnya janin dengan sifilis kongenital yang akan meninggal dalam beberapa
minggu, diikuti oleh dua sampai tiga bayi yang hidup dengan sifilis kongenital.
Akhirnya akan lahir seorang atau lebih bayi yang sehat. Keadaan ini disebut
hukum Kossowitz.

16

Pemeriksaan dengan mikroskop elektron tidak terlihat adanya atrofi


lengkap. Hal yang demikian saat ini tidak dianut lagi sebab ternyata infeksi bayi
dalam kandungan dapat terjadi pada saat 10 minggu masa kehamilan. Setiap
infeksi sebelum 20 minggu kehamilan tidak akan merangsang mekanisme
imunitas, sebab sistem imun bayi yang dikandung belum berkembang dan tidak
tampak kelainan histologi reaksi bayi terhadap infeksi. Gambaran klinis dapat
dibagi menjadi sifilis kongenital dini (prekoks), sifilis kongenital lanjut (tarda),
dan stigmata.2,3 Batas antara dini dan lanjut ialah dua tahun. Yang dini bersifat
menular, jadi menyerupai S 11, sedangkan yang lanjut berbentuk gums dan
tidak menular. Stigmata berarti jaringan parut atau deformitas akibat
penyembuhan kedua stadium tersebut.
a. Sifilis kongenital dini
Kelainan kulit yang pertama kali terlihat pada waktu lahir ialah bula
bergerombol, simetris pada telapak tangan dan kaki, kadang-kadang pada
tempat lain di badan. Cairan bula mengandung banyak T.pallidum. Bayi
tampak sakit. Bentuk ini adakalanya disebut pemfigus sifilitika.
Kelainan lain biasanya timbul pada waktu bayi berumur beberapa
minggu dan mirip erupsi pada S II, pada umumnya berbentuk papul atau
papulo-skuamosa yang simetris dan generalisata. Dapat tersusun teratur,
misalnya anular. Pada tempat yang lembab papul dapat mengalami erosi
seperti kondilomata lata. Ragades merupakan kelainan umum yang terdapat
pada sudut mulut, lubang hidung, dan anus; bentuknya memancar
(radiating).
Wajah bayi berubah seperti orang tua akibat turunnya berat badan
sehingga kulit berkeriput. Alopesia dapat terjadi pula, terutama pada sisi dan
belakang kepala Kuku dapat terlepas akibat papul di bawahnya; disebut
onikia sifilitika. Jika tumbuh kuku yang baru akan kabur dan bentuknya
berubah.

17

Pada selaput lendir mulut dan tenggorok dapat terlihat plaques


muqueuses seperti pada S II. Kelainan semacam itu sering terdapat pada
daerah mukoperiosteum dalam kavum nasi yang menyebabkan timbulnya
rinitis dan disebut syphilitic snuffles. Kelainan tersebut disertai sekret yang
mukopurulen atau seropurulen yang sangat menular dan menyebabkan
sumbatan. Pernapasan dengan hidung sukar. Jika plaques muqueuses
terdapat pada laring suara menjadi parau. Kelenjar getah bening dapat
membesar, generalisata, tetapi tidak sejelas pada S 11.
Hepardan lien membesar akibat invavasi T. pallidum sehingga terjadi
fibrosis yang difus. Dapat terjadi udema dan sedikit ikterik (fungsi hepar
terganggu). Ginjal dapat diserang, pada urin dapat terbentuk albumin,
hialin, dan anular cast. Pada umumnya kelainan ginjal ringan. Padaparu
kadang-kadang terdapat infiltrasi yang disebut "pneumonia putih".
Tulang sering diserang pada waktu bayi berumur beberapa minggu.
Osteokondritis pada tulang panjang umumnyaterjadi sebelum berumur enam
bulan dan memberi gambaran khas pada waktu pemeriksaan dengan sinar-X.
Ujung tulang terasa nyeri dan bengkak sehingga tidak dapat digerakkan;
seolah-olah terjadi paralisis dan disebut pseudo paralisis Parrot. Kadangkadang terjadi komplikasi berupa terlepasnya epifisis, fraktur patologik, dan
artritis supurativa. Pada pemeriksaan dengan sinar-X terjadi gambaran yang
khas. Tanda osteokondritis menghilang setelah dua belas bulan, tetapi
periostitis menetap. Koroiditis dan uveitis jarang. Umumnya terdapat anemia
berat sehingga rentan terhadap infeksi.
Neurosifilis aktif terdapat kira-kira 10%. Akibat invasi T. pallidum
pada otak waktu intrauterin menyebabkan perkembangan otak terhenti.
Bentuk neurosifilis meningovaskular yang lebih umum pada bayi muda
menyebabkan konvulsi dan defisiensi mental. Gangguan nervus II terjadi
sekunder akibat korioditis atau akibat meningitis karena guma. Destruksi

18

serabut traktus piramidalis akan menyebabkan hemiplegia/ diplegia.


Demikian pula dapat terjadi meningitis sifilitika akuta.
b. Sifilis kongenital lanjut
Umumnya terjadi antara umur tujuh sampai lima belas tahun.Guma
dapat menyerang kulit, tulang, selaput lendir, dan organ dalam. Yang khas
ialah guma pada hidung dan mulut. Jika terjadi kerusakan di septum nasi
akan terjadi perforasi, bila meluas terjadi destruksi seluruhnya hingga hidung
mengalami kolaps dengan deformitas. Guma pada palatum mole dan durum
jugs sering terjadi sehingga menyebabkan perforasi pada palatum.
Periostitis sifilitika pada tibia umumnya mengenai sepertiga tengah
tulang dan menyebabkan penebalan yang disebut sabre tibia. Osteoperiostitis
setempat pada tengkorak berupa tumor bulat yang disebut Parrot nodus,
umumnya terjadi pada daerah frontal dan parietal.
Keratitis interstisial merupakan gejala yang paling umum, biasanya
terjadi antara umur tiga sampai tiga puluh tahun, insidensnya 25% dari
penderita dengan sifilis kongenital dan dapat menyebabkan kebutaan. Akibat
diserangnya nervus VIII terjadi ketulian yang biasanya bilateral.
Pada kedua sendi lutut dapat terjadi pembengkakan yang nyeri disertai
efusi dan disebut Glutton's joints. Kelainan tersebut terjadi biasanya antara
umur sepuluh sampai dua puluh tahun, bersifat kronik. Efusi akan
menghilang tanpa meninggalkan kerusakan.
c. Neurosifilis berbentuk paralisis generalisata atau tabes dorsalis.
Neurosifilis meningovaskular jarang, dapat menyebabkan palsi nervus
kranial, hemianopia, hemiplegia, atau monoplegia. Paralisis generalisata
juvenilia biasanya terjadi antara umur sepuluh sampai tujuh betas tahun.
Taber juvenilia umumnya terjadi kemudian dan belum bermanifestasi hingga
dewasa muda. Aortitis sangat jarang terjadi.

19

d. Stigmata
Lesi sifilis kongenital dini dan lanjut dapat sembuh Berta
meninggalkan parut dan kelainan yang khas. Parut dan kelainan demikian
merupakan stigmata sifilis kongenita, akan tetapi hanya sebagian penderita
yang menunjukkan gambaran tersebut.
Stigmata lesi dini.
Gambaran muka yang menunjukkans addlenose.
Gigi menunjukkan gambaran gigi insisor Hutchinson dan gigi
Mullberry
Ragades
Atrofi dan kelainan akibat peradangan
Koroidoretinitis, membentuk daerah parut putih dikelilingi pigmentasi
pada retina.
Stigmata dan lesi lanjut.
Lesi pada kornea: kekaburan kornea sebagai akibat ghost vessels
Lesi tulang: sabre tibia, akibat osteoeriostitis
Atrofi optik, tersendiri tanpa iridoplegia
Ketulian syaraf
Tanda dan gejala
Masa inkubasi antara 10-90 hari, dngan gejala:
a. Tahap 1
9-90 hari setelah terinfeksi. Timbul: luka kecil, bundar dan tidak sakit
chancre- tepatnya pada kulit yang terpapar/kontak langsung dengan penderita.
Chancre tempat masuknya penyakit hampir selalu munci di dalam dan sekitar
genetalia, anus bahkan mulut. Pada kasus yang tidak dibobati (sampai tahai 1
berakhir), setelah beberapa minggu, chancre akan menghilang tapi bakteri
tetap berada di tubuh penderita.

20

b. Tahap 2
1-2 bulan kemudian, muncul gejala lain: sakit tenggorokan, sakit pada bagian
dalam mulut, nyeri otot, dmam, lesu, rambut rontok dan terdapat bintil.
Beberapa bulan kemudian akan menghilang. Sejumlah orang tidak mengalami
gejala lanjutan.
c. Tahap 3
Dikenal sebagai tahap akhir sifilis. Pada fase ini chancre telah menimbulkan
kerusakan fatal dalam tubuh penderita. Dalam stase ini akan muncul gejala:
kebutaan, tuli, borok pada kulit, penyakit jantung, kerusakan hati, lumpuh dan
gila. Tahap letal.
G. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis sifilis dapat ditegakkan dengan cara melihat langsung organisme
dengan mikroskop lapangan gelap atau pewarnaan antibodi fluoresen langsung dan
kedua dengan mendeteksi adanya antibodi dalam serum dan cairan serebrospinal.
Tes serologis merupakan tes konfirmasi untuk melihat adanya antibodi terhadap
organisme penyebab sifilis. Tes serologis juga diperlukan untuk menegakkan
diagnosis infeksi sifilis pada masa laten sifilis dimana tidak tampak adanya gejalagejala penyakit. Ada dua kelompok tes serologis yang dapat digunakan dalam
mendiagnosis penyakit sifilis yaitu tes serologis antibodi non treponema dan
antibodi treponema.
1. Tes Serologis Antibodi Non Treponemal
Yaitu antibodi yang terbentuk akibat adanya infeksi oleh penyakit sifilis
atau penyakit infeksi lainnya. Antibodi ini terbentuk setelah penyakit menyebar
ke kelenjar limpe regional dan menyebabkan kerusakan jaringan serta dapat
menimbulkan reaksi silang dengan beberapa antigen dari jaringan lain. Tes
serologis non treponema mendeteksi antibodi yang merupakan kompleks dari
lecitin, kolesterol dan kardiolipin dan digunakan untuk skrining adanya infeksi
oleh T. pallidum. Termasuk tes ini adalah Venereal Disease Research
Laboratory (VDRL) dan Rapid Plasma Reagen (RPR) yang memberikan hasil
21

positif setelah 4 6 minggu terinfeksi (positif pada 70% pasien dengan lesi
primer dan stadium lanjut). Tetapi tes ini dapat memberikan positif palsu pada
kondisi seperti kehamilan, kecanduan obat, keganasan, penyakit autoimun dan
infeksi virus. Imunoasai ini menggunakan antibodi nontreponemal dan lipoid
sebagai antigen, termasuk pemeriksaan ini adalah:
a. Veneral Disease Research Laboratory (VDRL)
b. Rapid Plasma Reagin (RPR)
c. Cardiolipin Wassermann (CWR)
d. Unheated Serum Reagin (USR)
e. Toulidone Red Unheated Serum Test (TRUST)
f. ELISA
Tes ini bertujuan untuk mendeteksi adanya reaksi antara antibodi dari sel
yang rusak dan kardiolipin dari treponema. Digunakan untuk skrining penderita
dan monitoring penyakit setelah pemberian terapi. Tes-tes seperti Veneral
Disease Research Laboratory (VDRL), Rapid Plasma Reagin (RPR), Unheated
Serum Reagin (USR) dan Toulidone Red Unheated Serum Test (TRUST)
mendeteksi adanya reaksi antigen-antibodi dengan menilai presipitasi yang
terbentuk baik secara makroskopik (RPR dan TRUTS) maupun mikroskpoik
(VDRL dan USR).
Antibodi yang terdeteksi biasanya timbul 1 4 minggu setelah
munculnya chancre primer. Pengambilan spesimen pada stadium primer akan
mempengaruhi sensitivitas tes dimana titer antibodi meningkat selama tahun
pertama dan selanjutnya menurun secara nyata sehingga memberikan hasil
negatif pada pemeriksaan ulang.
Dapat ditemukan hasil tes positif palsu maupun negatif palsu. Positif
palsu terjadi karena adanya penyakit bersifat akut seperti hepatitis, infeksi
virus, kehamilan atau proses kronik seperti kerusakan pada jaringan
penyambung. Sedang hasil negatif palsu terjadi karena tingginya titer antibodi
(prozone phenomenon) yang sering ditemukan pada sifilis sekunder.
22

Pemeriksaan antibodi nontreponemal yang sering digunakan sekarang


adalah:
1. Tes Rapid Plasma Reagen, adalah tes untuk melihat antibodi nonspesifik
dalam darah penderita yang diduga terinfeksi sifilis, terdiri dari uji kualitatif
dan uji kuantitatif.
a. Uji RPR kualitatif adalah pemeriksaan penapisan dengan serum pasien
yang tidak diencerkan dicampur dengan partikel arang berlapis
kardiolipin di atas karton, setelah rotasi mekanis beberapa waktu sedian
diperiksa untuk melihat ada tidaknya aglutinasi secara makroskopis. Cara
kerja:
1 tetes serum + 50 uL antigen dicampur diatas kartu tes memenuhi
lingkaran.
putar di atas rotator selama 8 menit dengan kecepatan 100 rpm.
Lihat hasil terbentuknya flokulasi dengan mikroskop cahaya
dengan pembesaran 10 x 10.
Hasil tes yang reaktif dilanjutkan dengan tes kuantitatif
b. Uji RPR kuantitatif menggunakan serum yang diencerkan secara serial
dan hasil pemeriksaan adalah nilai akhir pengenceran dimana masih
terjadi penggumpalan partikel. Cara kerjanya sebagai berikut:
Siapkan 6 tabung reaksi, isi masing-masing dengan 50 uL NaCl
0,9%
Tambahkan 50 uL sampel ke tiap tabung, kocok rata
Pindahkan 50 uL isi tabung I ke tabung 2 (pengenceran kali)
Lakukan seterusnya untuk tabung ke 3 dengan mengambil isi dari
tabung 2 (pengenceran ), demikian juga untuk tabung 4, 5, dan 6.
Ambil dari tiap tabung 50 uL larutan, teteskan di atas kertas tes
dan tambahkan 50 uL antigen pada tiap sampel, aduk rata dan
rotasi selama 8 menit. Baca titer pada pengenceran tertinggi yang
masih terjadi flokulasi.
23

Tes RPR efektif untuk skrining seseorang yang terinfeksi penyakit sifilis
tetapi belum menunjukkan gejala klinik.
2. Tes VDRL selain digunakan untuk skrining penyakit sifilis juga dapat
digunakan untuk monitoring respon terapi, deteksi kelainan saraf dan
membantu diagnosis pada sifilis kongenital. Dasar tes adalah reaksi antibodi
pasien dengan difosfatidil gliserol. Tes

VDRL dapat mendeteksi

antikardiolipin antibodi (IgG, IgM atau IgA). Beberapa kondisi dapat


memberikan hasil positif palsu seperti penyakit hepatitis virus, kehamilan,
demam rematik, leprosi dan penyakit lupus. Tes VDRL semikuantitatif juga
digunakan untuk mengevaluasi kejadian neurosifilis di mana hasil reaktif tes
hampir selalu merupakan indikasi adanya neurosifilis.
3. Tes Cardiolipin Wassermann (CWR) merupakan uji fiksasi komplemen
dimana reaksi antibodi dan antigen kardiolipin akan membentuk kompleks
yang akan mengikat komplemen. Sebagai indikator terjadinya reaksi
pengikatan komplemen maka pada tes ditambahkan sel darah merah (domba)
dan zat hemolisin anti SDM. Disebut uji CWR positif apabila tidak terjadi
reaksi hemolisis yang menunjukkan bahwa terjadi reaksi Ag-Ab yang
mengikat komplemen, sedang hasil negatif berarti tidak terjadi reaksi Ag-Ab
yang tidak mengikat komplemen. Sampel pasien berasal dari darah atau
cairan cerebrospinal yang reaksikan dengan antigen kardiolipin dan
intensitas reaksi sebanding dengan beratnya kondisi pasien.
4. Tes ELIZA nontreponemal menilai terjadinya flokulasi dan nilai absorban
dihitung berdasarkan prinsip spektrofotometer.
2. Antibodi treponemal
Bertujuan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap antigen treponema
dan sebagai konfirmasi dari hasil positif tes skrining nontreponemal atau
konfirmasi adanya proses infeksi pada hasil negatif tes nontreponemal pada
fase late atau laten disease dapat dibedakan atas 2 jenis antibodi yaitu:

24

a. Grup treponemal antibodi, antibodi terhadap antigen somatik yang terdapat


pada semua jenis treponema. Imunoasai berdasarkan pada penggunaan
beberapa strain saprofitik dari treponema, yaitu Reiter Protein Complement
Fixation (RPCF).
b. Antibodi treponema spesifik, antibodi yang spesifik untuk antigen dari T.
pallidum. beberapa tes yang termasuk diantaranya adalah:
Treponema pallidum Complement Fixation
Treponemal Wassermann (T-WR)
Treponema pallidum Immobilization (TPI)
Treponema pallidum Immobilization Lyzozym (TPIL)
Treponema pallidum Immobilization-symplification
Fluorecense Treponemal Antibody (FTA)
Treponema pallidum Hemagglutination (TPHA)
Treponema pallidum Immuneadherence (TPIA)
ELISA T. pallidum
Sedangkan Tes serologik treponemal yang banyak digunakan adalah:
1. Tes Treponema pallidum Immobilization (TPI)
Sensitifitas tes rendah pada beberapa stadium penyakit terutama stadium I ,
tetapi spesifisitasnya paling baik dibanding tes serologis lain dan
merupakan satu-satunya tes yang hampir tidak memberi hasil positif semu.
Tes menggunakan serum penderita yang tidak aktif ditambah dengan T.
pallidum yang mobil dan komplemen, lalu diinkubasi pada suhu 35 C
selama 16 jam selanjutnya dilihat di bawah mikroskop. Hasil positif terlihat
dengan T. pallidum yang tidak mobil.
2. Fluorescent treponemal antibody-absorbed double strain test (FTA-ABS
DS).
Sebelum tes serum pasien diinaktifkan dengan pemanasan dan diserap
dengan sorbent untuk membersihkan dari antibodi terhadap treponema
komensal, kemudian dicampur dengan apusan T. pallidum pada kaca
obyek, inkubasi lalu bilas hati-hati. Tambahkan konjugat antibodi antiimunoglobulin human yang dilabel dengan tetrametil-rodamin isotiosinat
[TMRITC] tutup dengan kaca penutup, inkubasi dan bilas. Periksa apusan
di bawah mikroskop pengcahayaan ultraviolet. Hasil positif ditunjukkan
dengan adanya treponema berfluoresensi-TMRITC pada apusan. Tes FTA
adalah imunoasai yang sangat sensitif dan spesifik sehingga baik

25

digunakan untuk diagnosis tetapi tidak dipakai dalam pemantauan terapi


sebab hasil tes positif akan tetap positif walaupun telah diberi pengobatan
sampai sembuh.
3. Tes Treponema pallidum Hemagglutination (TPHA)
Merupakan uji hemaglutinasi pasif secara kualitatif dan semi kuantitatif
yang dapat mendeteksi anti T. pallidum antibodi dalam serum atau plasma,
di mana hasil positif didapatkan bila terjadi aglutinasi. Sensitivitas dan
spesifisitas cukup baik kecuali untuk sifilis stadium I, tes ini juga cukup
praktis, mudah dan sederhana serta harganya relatif murah. Sebagai antigen
dipakai T .pallidum strain Nichol dan sebagai carrier digunakan sel darah
merah kalkun. Sel darah merah kalkun yang diliputi Ag T . pallidum dan
Ab serum penderita lalu diinkubasi, antibodi T. pallidum dalam serum akan
mengikat antigen pada sel darah merah membentuk kompleks Ag-Ab dan
hasil positif dinilai dengan melihat adanya aglutinasi.

26

H. Diagnosis

27

I. Diagnosis banding
1. Diagnosis banding SI
Dasar diagnosis S I sebagai berikut. Pada anamnesis dapat diketahui mass
inkubasi; gejala konstitusi tidak terdapat, demikian pula gejala setempat yaitu
tidak ada rasa nyeri. Pada afek primer yang penting ialah terdapat erosi/ulkus
yang bersih, solitar, bulat/lonjong, teratur, indolen dengan indurasi: T.pallidum
positif. Kelainan dapat nyeri jika disertai infeksi sekunder. Kelenjar regional
dapat membesar, indolen, tidak berkelompok, tidak ada periadenitis, tanpa
supurasi. Tes serologik setelah beberapa minggu bereaksi positif lemah.
Sebagai diagnosis banding dapat dikemukakan berbagai penyakit.
a. Herpes simpleks
Penyakit ini residif dapat disertai rasa gataV nyeri, lesi berupa vesikel di alas
kulit yang eritematosa, berkelompok. Jika telah pecah tampak kelompok
erosi, sering berkonfluensi dan polisiklik, tidak terdapat indurasi.
b. Ulkus piogenik
Akibat trauma misalnya garukan dapat terjadi infeksi piogenik. Ulkus
tampak kotor karena mengandung pus, nyeri, tanpa indurasi. Jika terdapat
limfadenitis regional disertai tanda-tanda radang akut dapat terjadi supurasi
yang serentak, dan terdapat leukositosis pada pemeriksaan darah tepi.
c. Skabies
Pada skabies lesi berbentuk beberapa papul atau vesikel di genitalia eksterna,
terasa gatal pada malam hari. Kelainan yang sama terdapat pula pada tempat
predileksi, misalnya lipat jari Langan, perianal. Orang-orang yang serumah
juga akan menderita penyakit yang sama.2
d. Balanitis
Pada balanitis, kelainan berupa erosi superficial pada glans penis disertai
eritema, tanpa indurasi. Faktor predisposisi: diabetes melitus dan yang tidak
disirkumsisi.

28

e. Limfogranuloma venereum (L.G.V.)


Afek primer pada L.G.V. tidak khas, dapat berupa papul, vesikel, pustul,
ulkus, dan biasanya cepat hilang. Yang khas ialah limfadenitis regional,
disertai tanda-tanda radang akut, supurasi tidak serentak, terdapat
periadenitis. L.G.V. disertai gejala konstitusi: demam, malese, dan artralgia.
f. Karsinoma sel skuamosa
Umumnya terjadi pada orang usia lanjut yang tidak disirkumsisi. Kelainan
kulit berupa benjolan-benjolan, terdapat indurasi, mudah berdarah. Untuk
diagnosis, perlu biopsi.
g. Penyakit Behcet
Ulkus superficial, multipel, biasanya pada skrotum/labia. Terdapat pula
ulserasi pada mulut dan lesi pada mata.
h. Ulkus mole
Penyakit ini kini langka. Ulkus lebih dari satu, disertai tanda-tanda radang
akut, terdapat pus, dindingnya bergaung. Haemophilus Ducreyi positif. Jika
terjadi limfadenitis regional juga disertai tanda-tanda radang akut, terjadi
supurasi serentak.
2. Diagnosis banding S II
Dasar diagnosis S II sebagai berikut. S II timbul enam sampai delapan
minggu sesudah S I. Seperti telah dijelaskan, S II ini dapat menyerupai berbagai
penyakit kulit. Untuk membedakannya dengan penyakit lain ads beberapa
pegangan. Pada anamnesis hendaknya ditanyakan, apakah pernah menderita
luka di alai genital (S I) yang tidak nyeri.
Klinis yang penting umumnya berupa kelainan tidak gatal. Pada S II dini
kelainan generalisata, hampir simetrik, telapak tangan/kaki jugs dikenai. Pada S
II lambat terdapat kelainan setempatsetempat, berkelompok, dapat tersusun
menurut susunan tertentu, misalnya: arsinar, polisiklik, korimbiformis.
Biasanya terdapat limfadenitis generalisata. Tes serologik positif kuat pada S II
dini, lebih kuat lagi pada S II lanjut.
29

Seperti telah diterangkan, sifilis dapat menyerupai berbagai penyakit


karena itu diagnosis bandingnya sangat banyak, tetapi hanya sebagian yang
akan diuraikan.
a. Erupsi obat alergik
Pada anamnesis dapat diketahui timbulnya alergi karena obat yang dapat
disertai demam. Kelainan kulit bermacam-macam, di antaranya berbentuk
eritema sehingga mirip roseala pada S II. Keluhannya gatal, sedangkan pada
sifilis biasanya tidak gatal.
b. Morbili
Kelainan kulit berupa eritema seperti pada S II. Perbedannya: pada morbili
disertai gejala konstitusi (tampak sakit, demam), kelenjar getah bening tidak
membesar.
c. Pitiriasis roses
Terdiri atas banyak bercak eritematosa terutama di pinggir dengan skuama
halus, berbentuk lonjong, lentikular, susunannya sejajar dengan lipatan kulit.
Penyakit ini tidak disertai limfadenitis generalisata seperti pada S II.
d. Psoriasis
Persamaannya dengan S II : terdapat eritema dan skuama. Pada psoriasis
tidak didapati limfadenitis generalisata; skuama berlapis-lapis serta terdapat
tanda tetesan lilin dan Auspitz.
e. Dermatitis seboroika
Persamaannya dengan S II ialah terdapatnya eritema dan skuama.
Perbedaannya pada dermatitis seboroik; tempat predileksinya pada tempat
seboroik, skuama berminyak dan kekuning-kuningan, tidak disertai
limfadenitis generalisata.
f. Kondiloma akuminatum
Penyakit ini mirip kondiloma lata, kedua-duanya berbentuk papul.
Perbedaannya: pada kondiloma akuminata biasanya permukaannya runcing-

30

runcing, sedangkan papul pada kondiloma lata permukaannya datar serta


eksudatif.
g. Alopesia areata
Kebotakan setempat; penyakit ini mirip alopesia areolaris pada S II.
Perbedaannya: pada alopesia areata lebih besar (numular) dan hanya
beberapa, sedangkan alopesia areolaris lebih kecil (lentikular) dan banyak
serta seperti digigit ngengat.
3. Diagnosis banding S III
Kelainan kulit yang utama pada S III ialah guma. Guma juga terdapat
pada penyakit lain: tuberkulosis, frambusia, dan mikosis profunda. Tes
serologik pada S III dapat negatif atau positif lemah, karena itu yang penting
ialah anamnesis, apakah penderita tersangka menderita S I atau S II dan
pemeriksaan histopatologik.
a. Mikosis dalam yang dapat menyerupai S III ialah sporotrikosis dan
aktinomikosis. Perbedaannya: pada sporotrikosis berbentuk nodus yang
terletak sesuai dengan perjalanan pembuluh getah bening, dan pada
pembiakan akan ditemukan jamur penyebabnya. Aktinomikosis sangat
jarang di Indonesia. Penyakit ini juga terdiri atas infiltrat yang melunak
seperti guma S III. Lokalisasinya khas yakni di leher, dada, dan abdomen.
Kelainan kulitnya berbeda, yakni terdapat fistel multipel; pada pusnya
tampak butir-butir kekuningan yang disebut sulfur granules. Pada biakan
akan tumbuh Actinomyces.
b. Tuberkulosis kutis gumosa mirip gums S III. Cara membedakannya dengan
pemeriksaan histopatologik. Demikian pula frambusia stadium lanjut. Guma
S III bersifat kronis dan destruktif, karena itu kelainan tersebut mirip
keganasan. Cara membedakannya dengan pemeriksaan histopatologik.
J. Penatalaksanaan
Pada pengobatan jangan dilupakan agar mitra seksualnya juga diobati, dan
selama belum sembuh penderita dilarang bersanggama. Pengobatan dimulai sedini
mungkin, makin dini hasilnya makin balk. Pada sifilis laten terapi bermaksud
31

mencegah proses lebih lanjut. Pengobatannya menggunakan penisilin dan


antibiotik lain.
1. Penisilin
Obat yang merupakan pilihan ialah penisilin. Obat tersebut dapat
menembus placenta sehingga mencegah infeksi Pada janin dan dapat
menyembuhkan janin yang terinfeksi; juga efektif untuk neurosifilis.
Kadar yang tinggi dalam serum tidak diperlukan, asalkan jangan kurang
dari 0,03 unit/ml. Yang penting ialah kadar tersebut hares bertahan dalam
serum selama sepuluh sampai empat betas hari untuk sifilis dini dan lanjut, dua
puluh sate hari untuk neurosifilis dan sifilis kardiovaskular. Jika kadarnya
kurang dari angka tersebut, setelah lebih dari dua puluh empat sampai tiga
puluh jam, maka kuman dapat berkembang biak. Menurut lama kerjanya,
terdapat tiga macam penisilin:
a. Penisilin G prokain dalamakua dengan lama kerja dua puluh empat jam,
jadi bersifat kerja singkat.
b. Penisilin G prokain dalam minyak dengan aluminium monostearat
(PAM), lama kerja tujuh puluh dua jam, bersifat kerja sedang.
c. Penisilin G benzatin dengan dosis 2,4 juts unit akan bertahan dalam
serum dua sampai tiga minggu, jadi bersifat kerja lama.
Ketiga obat tersebut diberikan intramuskular. Derivat penisilin per oral
tidak dianjurkan karena absorpsi oleh saluran cerma kurang dibandingkan
dengan suntikan. Cara pemberian penisilin tersebut sesuai dengan lama kerja
masing-masing; yang pertama diberikan setiap hari, yang kedua setiap tiga hari,
dan yang ketiga biasanya setiap minggu.
Penisilin G benzatin karena bersifat kerja lama, make kadar obat dalam
serum dapat bertahan lama dan lebih praktis, sebab penderita tidak perlu
disuntik setiap hari seperti pada pemberian penisilin G prokain dalam akua.
Obat ini mempunyaikekurangan, yakni tidak dianjurkan untuk neurosifilis
karens sukar masuk ke dalam darah di otak, sehingga yang dianjurkan ialah

32

penisilin G prokain dalam akua. Karena penisilin G benzatin memberi rasa


nyeri pada tempat suntikan, ada penyelidik yang tidak menganjurkan
pemberiannya kepada bayi. Demikian pule PAM memberi rasa nyeri pada
tempat suntikan dan dapat mengakibatkan abses jika suntikan kurang dalam;
obat ini kini jarang digunakan.
Pada sifilis kardiovaskular terapi yang dianjurkan ialah dengan penisilin
G benzatin 9,6 juta unit, diberikan 3 kali 2,4 juta unit, dengan interval
seminggu. Untuk neurosifilis terapi yang dianjurkan ialah penisilin G prokain
dalam akua 18-24 juta unit sehari, diberikan 3-4 juta unit, i.v. setiap 4 jam
selama 10-14 hari.
Pada sifilis kongenital, terapi anjurannya ialah penisilin G prokain dalam
aqua 100.000-150.000 satuan/kg B.B. per hari, yang diberikan 50.000 unit/kg
B.B., i.m., setiap hari selama 10 hari.
2. Antibiotik lain
Selain penisilin, masih ada beberapa antibiotik yang dapat digunakan
sebagai pengobatan sifilis, meskipun tidak seefektif penisilin.
Bagi yang alergi terhadap penisilin diberikan tetrasiklin 4 x 500 mg/hari,
atau aeritromisin 4 x 500 mg/hri, atau doksisiklin 2 x 100 mg/hari. Lama
pengobatan 15 hari bagi S I dan S II dan 30 hari bagi stadium laten. Eritromisin
bagi yang hamil, efektivitasnya meragukan. Doksisiklin absorbsinya lebih baik
daripada tetrasiklin, yakni 90-100%, sedangkan tetrasiklin hanya 60-80%.
Pada penelitian terbaru didapatkan bahwa doksisiklin atau eritromisin
yang diberikan sebagai terapi sifilis primer selama 14 hari, menunjukkan
perbaikan.
Obat yang lain ialah golongan sefalosporin, misalnya sefaleksin 4 x 500
mg sehari selama 15 hari. Juga seftriakson setiap hari 2 gr, dosis tunggal i.m.
atau i.v. selama 15 hari.

33

Azitromisin juga dapat digunakan untuk S I dan S 11, terutama dinegara


yang sedang berkembang untuk menggantikan penisilin.10 Dosisnya 500 mg
sehari sebagai dosis tunggal. Lama pengobatan 10 hari. Menurut laporan
Verdun dkk. Penyembuhannya mencapai 84,4%. Lama pengobatan 10 hari.
Menurut laporan Verdun dkk., penyembuhannya mencapai 84,4%.

34

Daftar Pustaka
Djuanda, Adhi, dkk. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima. Jakarta.
FKUI.
Leveno, Kenneth J. 2009. Obstetri Williams. EGC: Jakarta
Prawirohardjo, Sarwono. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta: YBPS
Wolff, Klaus et all.2008. Fitzpatricks Dermatology in General Medicin Seventh
Edition. USA. The McGraw-Hill Companies.

35

Anda mungkin juga menyukai