OLEH :
b. Trypanosoma evansi
1. Pengertian Trypanosoma evansi
Trypanosoma evansi berbentuk seperti daun, aktif membelah
dengan binary fission. Di bagian tengah tubuh terdapat inti yang
mengandung kariosoma (trofonukleus) yang besar dan terletak hampir
sentral (Ausvetplan, 2006).
2. Morfologi
Trypanosoma evansi mempunyai karakteristik ramping, ukuran kecil,
dibandingkan dengan Trypanosoma theileri, tetapi lebih besar
dibandingkan dengan T. congolense, mempunyai flagela bebas dan
bergerak aktif (Desquesnes et al., 2002). Pada Gambar terlihat bahwa
flagela timbul pada ujung posterior dari bagian parabasal dan membentang
sampai bagian anterior. Flagela di luar ujung anterior tubuh sebagai
flagela bebas berbentuk seperti cambuk. Flagela di sepanjang tubuh
membentuk membran bergelombang yang disebut undulating membran.
Trypanosoma evansi mempunyai panjang 15-34 µm dengan rata – rata 24
µm. Tubuh berbentuk silinder, tetapi kadang berbentuk stumpy/gemuk
(Levine, 1985).
3. Siklus hidup
Trypanosoma evansi berkembangbiak dengan pembelahan biner yang
memanjang pada bentuk trymastigot, struktur pertama yang membelah
menjadi dua adalah kinetoplast. Flagellum baru terbentuk dimulai dengan
tumbuh keluar sepanjang tepi membrana undulate. Nukleus kemudian
membelah menjadi dua dan yang terakhir pembelahan tubuh mulai dari
ujung anterior ke posterior (Wardhana, 2012). Lalat akan berhenti
menggigit host yang terinfeksi, dan terbang ke hewan lain untuk mulai
menggigit lagi. Ketika pertama kali serangga menggigit, maka didalam
mulut berisi sejumlah darah melalui kekuatan kapiler diperkirakan 1-12 nl
di Tabanus dan 0,03 nl di Stomoxys. Kemungkinan sebagian darah di
inkolusi ke hewan lain selama tahap berikutnya untuk menggigit. Ketika
inkolusi serangga, sebagian kecil air liur digunakan untuk antikoagulan
sebelum mengisap darah host yang kedua. Sebuah penemuan baru bahwa
sekitar 20-30 Tabanids pada host, hal ini menunjukkan bahwa probabilitas
transmisi menjadi signifikan pada kondisi parasitemia (Radita, 2017).
Stomoxys menunjukkan bahwa Trypanosoma evansi dapat ditularkan
48 jam setelah makan darah. Hal ini disebabkan karena sisa darah di mulut
yang dibuktikan dengan survival sekitar 30 menit di Stomoxys), hal ini
juga untuk regurgitasi darah yang terinfeksi. Namun, pada Stomoxys
kemungkinan secara alami memiliki dua cara memakan darah yaitu di hari
yang sama atau pada interval 24 jam. Pengamatan ini berpotensi memiliki
dampak epidemiologi yang sangat tinggi karena "menggigit" akan
memungkinkan transmisi lebih lama. interval ini dapat berkisar dari
beberapa jam ke beberapa hari. Penularan bisa 10 terjadi antara kawanan
di tempat yang sama (serangga stasioner) atau antara kawanan diserang
oleh lalat. Stomoxys dapat menginfeksi hewan yang sehat (4 - 48 jam).
Transmisi mekanik dari Trypanosoma evansi disebabkan lalat tabanus dan
Stomoxys. Namun, Hippoboscids sebelumnya dicurigai, terutama di unta
dan kuda. Culicidae, Ceratopogonidae juga memungkinkan memiliki
peran penting dalam transmisi dalam kondisi lokal tertentu (Radita, 2017).
4. Pathologis
Patogenesis penyaki surra bermula dari kelenjar saliva vektor lalat dan
ditularkan pada inang melalui gigitan (Wiser, 1999). Infeksi ditularkan
dengan penetrasi T. evansi ke dalam jaringan subkutan atau submukosa
(Losos, 1986). Parasit tersebut kemudian memasuki sistem peredaran
darah, berkembang dan akan bertambah secara logaritmik di dalam darah
dalam waktu satu sampai tiga hari setelah parasit ditemukan di dalam aliran
darah (Noble and Noble., 1982; Jefrey et al., 1983). Kerusakan endotel
pembuluh darah menyebabkan oedema dan perdarahan (Ressang, 1984).
Trypanosoma evansi menyebabkan reaksi inflamasi pada jaringan darah
dengan diikuti multifikasi parasit (Losos, 1986). Trypanosoma evansi
bertambah dalam darah secara berkala dan hal ini disertai demam pada
hewan. Serangan demam yang berulang disebabkan oleh invasi masal T.
evansi ke dalam darah atau perkembangbiakan yang cepat dalam darah
(Ressang, 1984).
Trypanosoma evansi mengeluarkan toksin yang dikenal dengan nama
trypanotoksin yang dapat mempengaruhi sistem kerja tubuh hewan yang
terinfeksi (Levine, 1985). Trypanotoksin dapat merusak membran eritrosit
yang dimulai dengan ikatan antara kompleks antigen–antibodi atau
komplemen, proses tersebut menyebabkan anemia hemolitik (Morrison et
al., 1981). Gangguan imunopatologik yang paling penting pada
trypanosomiasis adalah imunosupresi yang ditandai anemia. Ikatan kompleks
antigen – antibodi atau komplemen yang beredar dalam darah pada
permukaan eritrosit, bertanggung jawab terhadap destruksi eritrosit dan
proses ini menyebabkan terjadi hemolisis (Noble and Noble., 1982).
5. Gejala Klinis
Gejala klinis yang khas penyakit surra adalah adanya oedema atau
pembengkakan pada daerah ventral atau bagian bawah tubuh seperti leher,
legok lapar dan kaki. Gejala klinis lain adalah terjadi perdarahan di bawah
kulit, hidung, mata dan anus. Gejala lain adalah anemia, demam selang
seling (intermittent fever) dan pada akhirnya terjadi kematian. Gejala
klinis rambut rontok dapat terjadi karena kondisi tubuh hewan yang menurun
dan nafsu makan berkurang (Ismudiono dkk., 2006). Gejala klinis khas yang
lain apabila parasit menuju cairan cerebrospinal akan menimbulkan gejala
inkoordinasi gerak (Levine, 1985).
Bentuk akut penyakit dapat berlangsung sampai tiga bulan dan ditandai
dengan demam tidak teratur, penurunan berat badan yang progresif,
keratokonjungtivitis berulang dan plak urtikaria pada leher. Tanda klinis
pada kasus kronis kurang terlihat jelas. Pada hewan yang terinfeksi T.
evansi, produksiakan turun, hewan tampak lesu, rambut kasar, anemia dan
demam berulang (Hoare, 1972).
6. Diagnosa
Diagnosis penyakit surra berdasarkan gejala klinis yang muncul dan
dilakukan uji parasit, uji serologis dan uji molekuler untuk diagnosis
konfirmatif di laboratorium. Uji parasit diantaranya dilakukan dengan
pemeriksaan haematologi (mikroskopik), Microhematocrite Centrifugation
Technique (MHCT) dan Mouse Inoculation Test (MIT). Uji serologi dapat
dilakukan dengan metode Card Agglutination Test For Trypanosomes
(CATT) dan Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA), sedangkan
uji molekuler menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR) (Solihat,
2002).
7. Epidemiologi
Kejadian Surra di Indonesia pertama kali dilaporkan pada tahun 1897
yang menyerang populasi kuda di Pulau Jawa, tetapi literatur lain
menyebutkan bahwa Trypanosoma sp. di Indonesia telah terjadi sejak
tahun 1808. Menurut Payne et al. (1991) Kurang dari kurun waktu 10
tahun sejak dilaporkan, seluruh Pulau Jawa menjadi daerah endemis Surra
dan dalam waktu relatif singkat Indonesia teridentifikasi sebagai daerah
endemis Surra berdasarkan hasil uji serologis (Yuniarto, 2016).
Prevalensi Surra pada kerbau di Sumatera, Jawa, Kalimantan Selatan,
Lombok, Sulawesi Selatan dan Utara berkisar 5,8-7%. Menurut
Partoutomo (1996), prevalensi Surra akan meningkat dengan
bertambahnya umur ternak. Hasil survei yang dilakukan oleh Davison et
al. (2000) di lima kabupaten di Jawa Tengah menunjukkan bahwa dengan
MHCT 4% kerbau positif Surra dan dengan Ag ELISA lebih dari 50%
positif Surra.
Kasus terbaru di Indonesia terjadi di Pulau Sumba Provinsi Nusa
Tenggara Timur pada tahun 2010 – 2011. Kasus tersebut mengakibatkan
4268 ekor ternak (kuda 1608, kerbau 2464, sapi 196) terjangkit
trypanosomiasis (Ditkeswan, 2012). Kematian akibat Surra di pulau
Sumba tersebut dilaporkan sebanyak 1760 ekor, terdiri dari kuda 1159
ekor, kerbau 600 ekor dan sapi 1 ekor (Ditkeswan 2012). Menurut hasil
surveilans Balai Veteriner Banjarbaru tahun 2012 di wilayah Kalimantan
terjadi 14 kasus Surra, tahun 2013 terjadi 25 kasus dan pada tahun 2014
terjadi 26 kasus Surra melalui pemeriksaan ulas darah.
Selama makan
darah pada host mamalia,
sebuah lalat tsetse terinfeksi (genus Glossina) menyuntikkan
trypomastigotes metacyclic ke dalam jaringan kulit. Parasit memasuki
sistem limfatik dan masuk ke aliran darah Jumlah 1. Di dalam tuan rumah,
mereka berubah menjadi aliran darah trypomastigotes Jumlah 2, dibawa
ke situs lain di seluruh tubuh, mencapai cairan darah lainnya (misalnya,
getah bening, cairan tulang belakang), dan terus replikasi dengan
pembelahan biner Jumlah 3. Seluruh siklus hidup dari trypanosomes
Afrika diwakili oleh tahap ekstraseluler. Lalat tsetse menjadi terinfeksi
dengan trypomastigotes aliran darah saat mengambil makan darah pada
host mamalia terinfeksi (Jumlah 4, Nomor 5). Dalam midgut lalat, parasit
berubah menjadi trypomastigotes procyclic, kalikan dengan pembelahan
biner Jumlah 6, meninggalkan midgut, dan berubah menjadi epimastigotes
Jumlah 7. Para epimastigotes mencapai kelenjar ludah terbang dan terus
perkalian dengan pembelahan biner Jumlah 8. Siklus di fly berlangsung
sekitar 3 minggu. Manusia merupakan reservoir utama untuk
Trypanosoma brucei gambiense, tetapi spesies ini juga dapat ditemukan
pada hewan. Hewan buruan liar merupakan reservoir utama dari
T.rhodesiense.
4. Patologi dan Gejala Klinis
Timbulnya kelainan yang disebabkan oleh Trypanosoma rhodesiense
lebih cepat, dan lebih berat.
a. Tahap pertama (Haemoflagellates stage)
Ditandai dengan timbulnya reaksi inflamasi lokal pada daerah
gigitan lalat tsetse. Reaksi inflamasi dapat berkembang menjadi bentuk
ulkus atau parut ( primary chancre). Reaksi inflamasi ini biasanya
mereda dalam waktu 1-2 minggu. Setelah beberapa minggu infeksi,
parasit masuk ke dalam darah dan kelenjar getah bening (parasitemia).
Gejala klinis yang sering muncul adalah demam yang tidak teratur,
sakit kepala, nyeri pada otot dan persendian, dan pembesaran kelenjar
getah bening.Kelainan pada kelenjar limfe kurang terlihat,
lymphadenitis yang terjadi pada bagian posterior kelenjar cervical
(Winterbotton’s sign) mungkin tidak ada, lebih sering timbul demam
dan miokarditis atau gejala kuning. Prosesnya lebih progresif sehingga
kematian dapat terjadi sebelum kelainan SSP yang berat, meskipun
demikian kelainan pada SSP timbul dini. Penyakit ini ganas dan akut,
dalam satu bulan penderita akan mati.
b. Tahap kedua (Meningoencephalitic stage)
Pada fase ini, setelah beberapa minggu infeksi, parasit menyerang
sistem saraf pusat dan dan mengakibatkan terjadinya
meningoenchepalitis difusa dan meningomyelitis. Selain itu,
menyebabkan kerusakan mental dan masalah neurologis lainnya.
Kematian terjadi kemudian biasanya dalam beberapa bulan.
5. Diagnosa
Diagnosis trypanosomiasis Afrika dilakukan melalui metode
laboratorium, karena fitur klinis infeksi tidak cukup spesifik. Diagnosis
terletak pada menemukan parasit dalam cairan tubuh atau jaringan dengan
mikroskop.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menegakkan diagnosa adalah :
a. Mengetahui riwayat tempat tinggal dan riwayat bepergian ke daerah
endemik.
b. Menemukan parasit pada pemeriksaan :
Darah tepi dengan pewarnaan.
Biopsi aspirasi pada ‘primary chancre’
Cairan kelenjar getah bening
c. Tidak dilakukan pengujian serologi, karena deteksi mikroskopis
parasit sangatlah mudah.
6. Epidemologi
Ditemukan di daerah pusat dari timur dan tenggara Afrika. Insiden dari
infeksi Trypanosoma rhodesiense lebih sedikit dibanding Trypanosoma
gambiense dan fokus distribusinya lebih sempit karena lalat tse tse, vektor
dari T.rhodesiense adalah umumnya pengisap darah binatang buruan dan
dapat menularkan penyakit ini dari manusia ke manusia atau dari hewan
ke manusia. Setiap tahun beberapa ratus kasus dilaporkan ke Organisasi
Kesehatan Dunia. Lebih dari 95% dari kasus infeksi manusia terjadi di
Tanzania, Uganda, Malawi, dan Zambia. Hewan merupakan reservoir
utama dari infeksi. Penyakit ini berbahaya bagi orang yang yang bekerja
di daerah perburuan dan ancaman bagi pengunjung taman perburuan.
Trypanosoma rhodesiense dapat diisolasi dari berbagai jenis binatang
buruan (Bushbuck, Hertebeeste, Singa, dll) dan binatang pemeliharaan
(sapi, domba).
d. Trypanosona Cruzi
4. Epidemiologi
Terdapat tiga stadium yaitu masa tunas, stadium akut dan stadium
kronis.
- Masa tunas
Masa tunas berlangsung 7-30 hari, diawali keluarnya Trypanosoma cruzi
bersama tinja vektor (sterkoraria) pada stadium trypomastigot.
Selanjutnya Trypanosoma cruzi masuk melalui luka gigitan vektor. Di
dalam tubuh hospes, pada tempat luka gigitan, Trypanosoma cruzi
difagositosis oleh histiosit, Trypanosoma cruzi tidak mati melainkan akan
berkembang biak di dalam sel ini.
- Stadium akut
Stadium ini akan jelas terlihat pada anak- anak, ditandai demam setiap
hari, kemerahan pada kulit, radang kelenjar limfe leher, ketiak, ilika serta
kelenjar lainnya. Pada stadium ini Trypanosoma cruzi sering menyerang
mesenkim, miokardium, retikuloendotelium serta sel saraf, akan tetapi
organ lain pun dapat diserang.
- Stadium kronis
Gangguan pada stadium kronis disebabkan oleh kerusakan neuron dari
ganglion autonom pada dinding alat dalaman seperti esophagus, kolon
dan ureter yang dapat menimbulkan megaesofagus, megakolon serta
megaureter. Pada stadium ini mungkin juga terjadi hepatosplenomegali.
6. Cara Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan :
1) Menemukan Trypanosoma cruzi dalam darah pada waktu demam atau
dalam biopsy kelenjar limfe, limpa ,hati dan sumsum tulang (stadium
tripomastigot dan stadium amastigot).
2) Pengujian ELISA biasanya tidak digunakan selama fase akut Chagas
karena sistem kekebalan tubuh memproduksi antibodi chagasic. Sebuah
uji ELISA mirip dengan yang digunakan untuk AIDS dan telah dirancang
untuk mendeteksi keberadaan T. antibodi cruzi, meskipun kadang-kadang
tidak membedakan T. cruzi antibodi dari yang dihasilkan dalam
menanggapi parasit kurang berbahaya atau tidak berbahaya lainnya
3) Xenodiagnosis dengan percobaan serangga Triatoma atau
Cimex.Xenodiagnosis adalah teknik yang efektif yang mirip dengan
teknik pertumpahan darah dengan lintah yang tanggal kembali ke Abad
Pertengahan. Dalam tes ini, vinchucas terinfeksi ditempatkan dalam botol
dan terselip di bawah ketiak seorang pasien diduga terinfeksi.
III. SIMPULAN
Desquesnes, M., and A.M.R. Dávila. 2002. Applications of PCR-based tools for
detection and identification of animal Trypanosomes: a review and
perspectives. Vet.Parasitol. 109:213–231.
Linardi, Pedro Marcos; José Ramiro. 2002. "Prevalensi Trypanosoma lewisi di Rattus
norvegicus dari Belo Horizonte". Negara Bagian Minas Gerais, Brasil.
Nona. Inst. Oswaldo Cruz . 97 (3): 411–414. doi : 10.1590 / s0074-
02762002000300024.
Noble, E.R and G.A. Noble., 1982. Parasitologi (Biologi Parasit Hewan). Gadjah
Mada University Press. Hlm: 67 – 69.
Olsen, O. Wilford. 1986. Parasit hewan: siklus hidup dan ekologi mereka. New York:
Dover. hal. 29. ISBN 978-0-486-65126-2 .
Proulx, Chantal; Olivier, Martin; Mora, Lydia; Tanner, CE. 1989. "Infektivitas dan
Rute Penetrasi pada Tikus setelah Inokulasi Oral dan Intraperitoneal dari
Aliran Darah dan Bentuk Metacyclic yang Dibudidayakan Secara In vitro
dari Trypanosoma lewisi". Jurnal Parasitologi . 75 (6): 964–969. doi :
10.2307 / 3282878 . JSTOR 3282878 .
Radita, Besse. 2017. Deteksi Trypanosoma evansi Pada Kuda (Equss caballus) di
Kabupaten Wajo. Makassar. Universitas Hasanuddin.