Anda di halaman 1dari 23

TRIPANOSOMA

OLEH :

1. NI MADE SUKRENI P07134018010

2. NI PUTU GITARANI PUTRI P07134018026

3. PUTU NOPIK ANGGANINGSIH P07134018033

4. NI WAYAN PRAMI HASTARI P071340180

5. NI PUTU NIA PUSPAYANTI P07134018055

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS
2020
I. Pengertian Tripanosoma
Trypanosoma adalah protozoa berflagel yang bersifat parasit didalam
darah atau jaringan berbagai jenis vertebrata, bentuknya panjang bergelombang,
kedua ujungnya lancip dan menulari manusia melalui gigitan lalat pengisap darah
atau melalui feses arthropoda. Infeksi karena Trypanosoma disebut
trypanosomiasis. Dalam siklus hidupnya, Trypanosoma memiliki dua bentuk,
yaitu berflagela pada fase ekstrakuler dan tidak berflagel pada fase intraseluler.
Sebagian dari siklus hidupnya melekat di sel lambung atau menghisap darah
manusia. Hospes perantara Trypanosoma adalah hewan-hewan penghisap darah.
Secara umum Trypanosomidae mempunyai 4 bentuk / morfologi yang
berbeda, yaitu:
a. Bentuk Amastigot (Leismanial form)
Bentuk bulat atau lonjong, mempunyai satu inti dan satu kinetoplas
serta tidak mempunyai flagela. Bersifat intraseluler. Besarnya 2-3
mikron.
b. Bentuk Promastigot (Leptomonas form)
Bentuk memanjang mempunyai satu inti di tengah dan satu flagela
panjang yang keluar dari bagian anterior tubuh tempat terletaknya
kinetoplas, belum mempunyai membran bergelombang, ukurannya 15
mikron.
c. Bentuk Epimastigot (Critidial form)
Bentuknya memanjang dengan kinetoplas di depan inti yang letaknya
di tengah mempunyai membran bergelombang pendek yang
menghubungkan flagela dengan tubuh parasit, ukurannya 15-25
mikron.
d. Bentuk Tripomastigot (Trypanosome form)
Bentuk memanjang dan melengkung langsing, inti di tengah,
kinetoplas dekat ujung posterior, flagela membentuk dua sampai empat
kurva membran bergelombang, ukurannya 20-30 mikron .
II. Jenis-jenis Tripanosoma
a. Trypanosoma lewisi
1. Pengertian Trypanosoma lewisi
Trypanosoma lewisi adalah parasit dari spesies Rattus dan hewan
pengerat lainnya seperti tikus dan tikus kanguru di Amerika. Di antara
spesies inang adalah dua spesies endemik tikus: Rattus macleari dan
Rattus nativitatis. Keduanya sekarang diyakini sudah punah. Tidak terlalu
jelas apakah parasit yang sama menginfeksi kedua spesies. Namun, kedua
parasit ini sangat mirip. Kutu tikus utara, Nosopsyllus fasciatus bertindak
sebagai vektor untuk parasit, menyimpan tahap epimastigote di midgut-
nya (Hakim, 1964). Parasit ini juga muncul di kotoran kutu. Menelan kutu
atau kotorannya selama perawatan menginfeksi hewan pengerat inang
dengan parasit (Proulx, 1989). T. lewisi biasanya non-patogen tetapi
diketahui telah menghasilkan infeksi fatal pada tikus.
2. Morfologi
Kelompok lewisi, memiliki panjang tubuh bervariasi antara 20-90 m,
bentuk monomorfik, ujung posterior tajam. Kinetoplast sangat lebar, letak
terminal atau subterminal, membrane undulans tidak nyata. Flagel bebas
ada dan nukleusnya terletak anterior (Natadisastra, 2009).
3. Siklus Hidup
Seekor kutu menggigit tikus yang terinfeksi dan mencerna darahnya.
Dalam waktu enam jam, parasit bermigrasi dan bereproduksi di sel epitel
perut kutu inang mereka. Mereka kemudian pergi lebih jauh ke lumen
lambung dan akhirnya pindah ke rektum serangga (Olsen, 1986).
Trypomastigote metacyclic parasit menginfeksi tikus setelah memakan
kutu inang atau kotoran kutu. Begitu masuk ke dalam tubuh tikus, parasit
kemudian akan mulai mereproduksi epimastigotes dalam kapiler darah
inang. Setelah sekitar lima hari, trypanosom akan mulai muncul dalam
darah perifer inang, dengan munculnya cacing kental. Parasit ini biasanya
diserang oleh ablastin, antibodi IgG trypanocidal yang diproduksi oleh
sistem kekebalan inang mereka mulai 2-4 hari pasca infeksi (Giannini,
1987). Setelah beberapa minggu, trypanosoma berhenti tumbuh dan
menghilang dari aliran darah. Tikus kemudian mengembangkan kekebalan
terhadap infeksi ulang (Linardi, 2002).
4. Gejala Klinis
Trypanosoma lewisi disebabkan oleh tikus liar. Penelitian yang telah
dilakukan oleh Allians di Malaysia menunjukkan bahwa, tikus liar dapat
menjadi perantara tripanosomiasis pada manusia. Hal ini didukung oleh
kepadatan populasi tikus liar dan manusia yang terdapat di dalam satu
wilayah dengan tingkat kebersihan yang rendah. Trypanosoma lewisi tidak
menunjukkan gejala klinis yang spesifik pada manusia.
Kasus T. lewisi pertama kali ditemukan pada tahun 1933 pada seorang
bayi berumur empat bulan. Gejala klinis yang nampak adalah lemah
selama tiga minggu, demam selama 11 hari, dan anoreksia. Gejala klinis
serupa juga ditemukan pada penderita bayi yang berada di Gambia,
Thailand dan Bagpat, India. Gejala klinis yang nampak adalah demam,
depresi, tidak nafsu makan dan batuk. Peluang terjadinya infeksi T. lewisi
di Indonesia sangat tinggi mengingat banyak populasi tikus yang terdapat
di Indonesia, begitu juga dengan populasi kutu 14 tikus (X. cheopis)
(Novita, 2019).
5. Diagnosa
Diagnosis spesies Trypanosoma umumnya menggunakan preparat ulas
darah yang diwarnai dengan Giemsa. Hasil positif dinyatakan jika
ditemukan morfologi parasit pada pemeriksaan mikroskop. Uji antibodi
dapat menggunakan uji aglutinasi langsung, ELISA. Uji lanjutan untuk
membedakan antar spesies Trypanosoma perlu pemeriksaan biomolekular
seperti Polymerase Chain Reaction (PCR). Uji PCR sangat sensitif
sehingga sering ditemukan hasil false positif. Untuk mensiasati hal
tersebut, diagnosis juga dapat dilakukan dengan uji ampliikasi sinyal asam
nukleus yang spesiik terhadap masing-masing spesies Trypanosoma
(Novita, 2019).
6. Epidemiologi
Infeksi T. lewisi pertama kali ditemukan oleh Kent tahun 1880. Induk
semang T. Lewisi bersifat spesiik, yang berarti T.lewisi hanya menginfeksi
tikus, yaitu spesies Rattus rattus dan Rattus norvegicus. Penelitian yang
telah dilakukan oleh Archana Verma, 2011 yaitu menginfeksi mencit
dengan T. lewisi. Indikator positif adalah tidak terjadi pertumbuhan pada
mencit pascainfeksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pascainfeksi
dengan T. lewisi, kondisi mencit dalam keadaan sehat dan tidak
mengalami gangguan pertumbuhan tubuh. Terdapat 10 kasus tripanosoma
pada manusia, diantaranya sebanyak enam kasus terdapat pada bayi.
Kasus T. lewisi pertama kali ditemukan pada tahun 1933 pada seorang
bayi berumur empat bulan (Novita, 2019).

b. Trypanosoma evansi
1. Pengertian Trypanosoma evansi
Trypanosoma evansi berbentuk seperti daun, aktif membelah
dengan binary fission. Di bagian tengah tubuh terdapat inti yang
mengandung kariosoma (trofonukleus) yang besar dan terletak hampir
sentral (Ausvetplan, 2006).
2. Morfologi
Trypanosoma evansi mempunyai karakteristik ramping, ukuran kecil,
dibandingkan dengan Trypanosoma theileri, tetapi lebih besar
dibandingkan dengan T. congolense, mempunyai flagela bebas dan
bergerak aktif (Desquesnes et al., 2002). Pada Gambar terlihat bahwa
flagela timbul pada ujung posterior dari bagian parabasal dan membentang
sampai bagian anterior. Flagela di luar ujung anterior tubuh sebagai
flagela bebas berbentuk seperti cambuk. Flagela di sepanjang tubuh
membentuk membran bergelombang yang disebut undulating membran.
Trypanosoma evansi mempunyai panjang 15-34 µm dengan rata – rata 24
µm. Tubuh berbentuk silinder, tetapi kadang berbentuk stumpy/gemuk
(Levine, 1985).
3. Siklus hidup
Trypanosoma evansi berkembangbiak dengan pembelahan biner yang
memanjang pada bentuk trymastigot, struktur pertama yang membelah
menjadi dua adalah kinetoplast. Flagellum baru terbentuk dimulai dengan
tumbuh keluar sepanjang tepi membrana undulate. Nukleus kemudian
membelah menjadi dua dan yang terakhir pembelahan tubuh mulai dari
ujung anterior ke posterior (Wardhana, 2012). Lalat akan berhenti
menggigit host yang terinfeksi, dan terbang ke hewan lain untuk mulai
menggigit lagi. Ketika pertama kali serangga menggigit, maka didalam
mulut berisi sejumlah darah melalui kekuatan kapiler diperkirakan 1-12 nl
di Tabanus dan 0,03 nl di Stomoxys. Kemungkinan sebagian darah di
inkolusi ke hewan lain selama tahap berikutnya untuk menggigit. Ketika
inkolusi serangga, sebagian kecil air liur digunakan untuk antikoagulan
sebelum mengisap darah host yang kedua. Sebuah penemuan baru bahwa
sekitar 20-30 Tabanids pada host, hal ini menunjukkan bahwa probabilitas
transmisi menjadi signifikan pada kondisi parasitemia (Radita, 2017).
Stomoxys menunjukkan bahwa Trypanosoma evansi dapat ditularkan
48 jam setelah makan darah. Hal ini disebabkan karena sisa darah di mulut
yang dibuktikan dengan survival sekitar 30 menit di Stomoxys), hal ini
juga untuk regurgitasi darah yang terinfeksi. Namun, pada Stomoxys
kemungkinan secara alami memiliki dua cara memakan darah yaitu di hari
yang sama atau pada interval 24 jam. Pengamatan ini berpotensi memiliki
dampak epidemiologi yang sangat tinggi karena "menggigit" akan
memungkinkan transmisi lebih lama. interval ini dapat berkisar dari
beberapa jam ke beberapa hari. Penularan bisa 10 terjadi antara kawanan
di tempat yang sama (serangga stasioner) atau antara kawanan diserang
oleh lalat. Stomoxys dapat menginfeksi hewan yang sehat (4 - 48 jam).
Transmisi mekanik dari Trypanosoma evansi disebabkan lalat tabanus dan
Stomoxys. Namun, Hippoboscids sebelumnya dicurigai, terutama di unta
dan kuda. Culicidae, Ceratopogonidae juga memungkinkan memiliki
peran penting dalam transmisi dalam kondisi lokal tertentu (Radita, 2017).
4. Pathologis
Patogenesis penyaki surra bermula dari kelenjar saliva vektor lalat dan
ditularkan pada inang melalui gigitan (Wiser, 1999). Infeksi ditularkan
dengan penetrasi T. evansi ke dalam jaringan subkutan atau submukosa
(Losos, 1986). Parasit tersebut kemudian memasuki sistem peredaran
darah, berkembang dan akan bertambah secara logaritmik di dalam darah
dalam waktu satu sampai tiga hari setelah parasit ditemukan di dalam aliran
darah (Noble and Noble., 1982; Jefrey et al., 1983). Kerusakan endotel
pembuluh darah menyebabkan oedema dan perdarahan (Ressang, 1984).
Trypanosoma evansi menyebabkan reaksi inflamasi pada jaringan darah
dengan diikuti multifikasi parasit (Losos, 1986). Trypanosoma evansi
bertambah dalam darah secara berkala dan hal ini disertai demam pada
hewan. Serangan demam yang berulang disebabkan oleh invasi masal T.
evansi ke dalam darah atau perkembangbiakan yang cepat dalam darah
(Ressang, 1984).
Trypanosoma evansi mengeluarkan toksin yang dikenal dengan nama
trypanotoksin yang dapat mempengaruhi sistem kerja tubuh hewan yang
terinfeksi (Levine, 1985). Trypanotoksin dapat merusak membran eritrosit
yang dimulai dengan ikatan antara kompleks antigen–antibodi atau
komplemen, proses tersebut menyebabkan anemia hemolitik (Morrison et
al., 1981). Gangguan imunopatologik yang paling penting pada
trypanosomiasis adalah imunosupresi yang ditandai anemia. Ikatan kompleks
antigen – antibodi atau komplemen yang beredar dalam darah pada
permukaan eritrosit, bertanggung jawab terhadap destruksi eritrosit dan
proses ini menyebabkan terjadi hemolisis (Noble and Noble., 1982).
5. Gejala Klinis
Gejala klinis yang khas penyakit surra adalah adanya oedema atau
pembengkakan pada daerah ventral atau bagian bawah tubuh seperti leher,
legok lapar dan kaki. Gejala klinis lain adalah terjadi perdarahan di bawah
kulit, hidung, mata dan anus. Gejala lain adalah anemia, demam selang
seling (intermittent fever) dan pada akhirnya terjadi kematian. Gejala
klinis rambut rontok dapat terjadi karena kondisi tubuh hewan yang menurun
dan nafsu makan berkurang (Ismudiono dkk., 2006). Gejala klinis khas yang
lain apabila parasit menuju cairan cerebrospinal akan menimbulkan gejala
inkoordinasi gerak (Levine, 1985).
Bentuk akut penyakit dapat berlangsung sampai tiga bulan dan ditandai
dengan demam tidak teratur, penurunan berat badan yang progresif,
keratokonjungtivitis berulang dan plak urtikaria pada leher. Tanda klinis
pada kasus kronis kurang terlihat jelas. Pada hewan yang terinfeksi T.
evansi, produksiakan turun, hewan tampak lesu, rambut kasar, anemia dan
demam berulang (Hoare, 1972).
6. Diagnosa
Diagnosis penyakit surra berdasarkan gejala klinis yang muncul dan
dilakukan uji parasit, uji serologis dan uji molekuler untuk diagnosis
konfirmatif di laboratorium. Uji parasit diantaranya dilakukan dengan
pemeriksaan haematologi (mikroskopik), Microhematocrite Centrifugation
Technique (MHCT) dan Mouse Inoculation Test (MIT). Uji serologi dapat
dilakukan dengan metode Card Agglutination Test For Trypanosomes
(CATT) dan Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA), sedangkan
uji molekuler menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR) (Solihat,
2002).
7. Epidemiologi
Kejadian Surra di Indonesia pertama kali dilaporkan pada tahun 1897
yang menyerang populasi kuda di Pulau Jawa, tetapi literatur lain
menyebutkan bahwa Trypanosoma sp. di Indonesia telah terjadi sejak
tahun 1808. Menurut Payne et al. (1991) Kurang dari kurun waktu 10
tahun sejak dilaporkan, seluruh Pulau Jawa menjadi daerah endemis Surra
dan dalam waktu relatif singkat Indonesia teridentifikasi sebagai daerah
endemis Surra berdasarkan hasil uji serologis (Yuniarto, 2016).
Prevalensi Surra pada kerbau di Sumatera, Jawa, Kalimantan Selatan,
Lombok, Sulawesi Selatan dan Utara berkisar 5,8-7%. Menurut
Partoutomo (1996), prevalensi Surra akan meningkat dengan
bertambahnya umur ternak. Hasil survei yang dilakukan oleh Davison et
al. (2000) di lima kabupaten di Jawa Tengah menunjukkan bahwa dengan
MHCT 4% kerbau positif Surra dan dengan Ag ELISA lebih dari 50%
positif Surra.
Kasus terbaru di Indonesia terjadi di Pulau Sumba Provinsi Nusa
Tenggara Timur pada tahun 2010 – 2011. Kasus tersebut mengakibatkan
4268 ekor ternak (kuda 1608, kerbau 2464, sapi 196) terjangkit
trypanosomiasis (Ditkeswan, 2012). Kematian akibat Surra di pulau
Sumba tersebut dilaporkan sebanyak 1760 ekor, terdiri dari kuda 1159
ekor, kerbau 600 ekor dan sapi 1 ekor (Ditkeswan 2012). Menurut hasil
surveilans Balai Veteriner Banjarbaru tahun 2012 di wilayah Kalimantan
terjadi 14 kasus Surra, tahun 2013 terjadi 25 kasus dan pada tahun 2014
terjadi 26 kasus Surra melalui pemeriksaan ulas darah.

c. Trypanosoma gambiense dan Trypanosoma rhodesiense1.


1. Pengertian Trypanosoma gambiense dan Trypanosoma rhodesiense
Trypanosoma gambiense dan Trypanosoma rhodesiensem ini
merupakan penyebab penyakit sleeping sickness, dan daerah
penyebarannya di daerah afrika barat, sedangkan nama penyakit yang
disebabkan oleh Trypanosoma gambiense dapat disebut gambie
trypanosimiasis, dan vektor penyebarannya adalah lalat glossina palpalis.
jenis penyakit tidur Afrika Barat (Gambia) yang disebabkan oleh
trypanosoma gambiense pertama kali dilaporkan oleh Forde di tahun 1902
ketika organisme ditemukan di dalam darah seorang kapten yang bekerja
di sungai gambia ( kean dkk, 1978)
Perbedaan dengan Trypanosoma gambiense :
 Distribusi : Penyakit tidur Afrika Timur distribusinya lebih terbatas
daripada T.gambiense yaitu ditemukan di Afrika timur bagian tengah.
 Vektor : Lalat tse-tse dan hutan, yaitu Glossina morsitant dan Glossina
scoynnatoni
 Hospes reservoir : binatang liar pada T.rhodesiense tidak ada hospes
reservoir.
 Gejala Klinis : Penyakit T.rhodesiense lebih cepat fatal jika tidak
sempat diobati
2. Morfologi

Pada penderita Trypanosomiasis rhodesiense (juga pada hewan


vertebrata yang terinfeksi) umumnya ditemukan bentuk Trypomastigot.
Trypomastigot ini memiliki bentuk mirip bulan sabit dengan ukuran
panjang 15-35 mikron dan lebar 1,5 – 3,5 mikron. Didalamnya terdapat
organella antara lain :
a. Inti besar berbentuk lonjong, terletak di tengah dan berfungsi untuk
menyediakan makanan. Disebut juga Troponukleus.
b. Kinetoplas, berbentuk bulat atau batang. Ukuran lebih kecil dari inti
dan terletak di depan atau di belakang inti. Kinetoplas terdiri dari 2
bagian yaitu benda parabasal dan blefaroplas.
c. Flagela merupakan cambuk halus yang keluar dari blefaroplas dan
berfungsi untuk bergerak.
d. Undulating membrane (membran bergelombang), adalah selaput yang
terjadi karena flagela melingkari badan parasit, sehingga terbentuk
kurva-kurva. Terdapat 3-4 gelombang membran
Pada stadium akhir, di dalam darah penderita, Trypomastigot memiliki
beberapa bentuk yang berbeda, yaitu :
 Bentuk panjang dan langsing, memiliki flagela
 Bentuk pendek dan lebih gemuk, sebagian tidak berflagela
 Bentuk intermediet dengan inti terkadang ditemukan di posterior.
Karena bentuknya yang bervariasi, trypomastigot ini disebut
Pleomorphic trypanosoma.
Perbedaan dengan T. gembiense adalah:
- Virulensinya lebih besar dari pada T. gambiense
- Vector penularan pada T. rhodesiense adalah :
1) Glossina morsitans
2) Glossina scoynnertoni
3. Siklus Hidup

Selama makan
darah pada host mamalia,
sebuah lalat tsetse terinfeksi (genus Glossina) menyuntikkan
trypomastigotes metacyclic ke dalam jaringan kulit. Parasit memasuki
sistem limfatik dan masuk ke aliran darah Jumlah 1. Di dalam tuan rumah,
mereka berubah menjadi aliran darah trypomastigotes Jumlah 2, dibawa
ke situs lain di seluruh tubuh, mencapai cairan darah lainnya (misalnya,
getah bening, cairan tulang belakang), dan terus replikasi dengan
pembelahan biner Jumlah 3. Seluruh siklus hidup dari trypanosomes
Afrika diwakili oleh tahap ekstraseluler. Lalat tsetse menjadi terinfeksi
dengan trypomastigotes aliran darah saat mengambil makan darah pada
host mamalia terinfeksi (Jumlah 4, Nomor 5). Dalam midgut lalat, parasit
berubah menjadi trypomastigotes procyclic, kalikan dengan pembelahan
biner Jumlah 6, meninggalkan midgut, dan berubah menjadi epimastigotes
Jumlah 7. Para epimastigotes mencapai kelenjar ludah terbang dan terus
perkalian dengan pembelahan biner Jumlah 8. Siklus di fly berlangsung
sekitar 3 minggu. Manusia merupakan reservoir utama untuk
Trypanosoma brucei gambiense, tetapi spesies ini juga dapat ditemukan
pada hewan. Hewan buruan liar merupakan reservoir utama dari
T.rhodesiense.
4. Patologi dan Gejala Klinis
Timbulnya kelainan yang disebabkan oleh Trypanosoma rhodesiense
lebih cepat, dan lebih berat.
a. Tahap pertama (Haemoflagellates stage)
Ditandai dengan timbulnya reaksi inflamasi lokal pada daerah
gigitan lalat tsetse. Reaksi inflamasi dapat berkembang menjadi bentuk
ulkus atau parut ( primary chancre). Reaksi inflamasi ini biasanya
mereda dalam waktu 1-2 minggu. Setelah beberapa minggu infeksi,
parasit masuk ke dalam darah dan kelenjar getah bening (parasitemia).
Gejala klinis yang sering muncul adalah demam yang tidak teratur,
sakit kepala, nyeri pada otot dan persendian, dan pembesaran kelenjar
getah bening.Kelainan pada kelenjar limfe kurang terlihat,
lymphadenitis yang terjadi pada bagian posterior kelenjar cervical
(Winterbotton’s sign) mungkin tidak ada, lebih sering timbul demam
dan miokarditis atau gejala kuning. Prosesnya lebih progresif sehingga
kematian dapat terjadi sebelum kelainan SSP yang berat, meskipun
demikian kelainan pada SSP timbul dini. Penyakit ini ganas dan akut,
dalam satu bulan penderita akan mati.
b. Tahap kedua (Meningoencephalitic stage)
Pada fase ini, setelah beberapa minggu infeksi, parasit menyerang
sistem saraf pusat dan dan mengakibatkan terjadinya
meningoenchepalitis difusa dan meningomyelitis. Selain itu,
menyebabkan kerusakan mental dan masalah neurologis lainnya.
Kematian terjadi kemudian biasanya dalam beberapa bulan.
5. Diagnosa
Diagnosis trypanosomiasis Afrika dilakukan melalui metode
laboratorium, karena fitur klinis infeksi tidak cukup spesifik. Diagnosis
terletak pada menemukan parasit dalam cairan tubuh atau jaringan dengan
mikroskop.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menegakkan diagnosa adalah :
a. Mengetahui riwayat tempat tinggal dan riwayat bepergian ke daerah
endemik.
b. Menemukan parasit pada pemeriksaan :
 Darah tepi dengan pewarnaan.
 Biopsi aspirasi pada ‘primary chancre’
 Cairan kelenjar getah bening
c. Tidak dilakukan pengujian serologi, karena deteksi mikroskopis
parasit sangatlah mudah.
6. Epidemologi
Ditemukan di daerah pusat dari timur dan tenggara Afrika. Insiden dari
infeksi Trypanosoma rhodesiense lebih sedikit dibanding Trypanosoma
gambiense dan fokus distribusinya lebih sempit karena lalat tse tse, vektor
dari T.rhodesiense adalah umumnya pengisap darah binatang buruan dan
dapat menularkan penyakit ini dari manusia ke manusia atau dari hewan
ke manusia. Setiap tahun beberapa ratus kasus dilaporkan ke Organisasi
Kesehatan Dunia. Lebih dari 95% dari kasus infeksi manusia terjadi di
Tanzania, Uganda, Malawi, dan Zambia. Hewan merupakan reservoir
utama dari infeksi. Penyakit ini berbahaya bagi orang yang yang bekerja
di daerah perburuan dan ancaman bagi pengunjung taman perburuan.
Trypanosoma rhodesiense dapat diisolasi dari berbagai jenis binatang
buruan (Bushbuck, Hertebeeste, Singa, dll) dan binatang pemeliharaan
(sapi, domba).

d. Trypanosona Cruzi

1. Pengertian Trypanosona Cruzi


Trypanosoma cruzi merupakan parasit jenis protozoa yang menjadi
etiologi penyakit Chagas yang ditularkan ke manusia oleh Triatoma yang
berperan sebagai hospes perantara. Pada manusia, T. cruzi ditemukan
dalam dua bentuk, amastigot dan tripomastigot.

2. Morfologi Trypanosoma Cruzi


Morfologi Trypanosoma dalam darah
tampak sebagai flagelata yang pipih
panjang (kira-kira 15-20 mikron), berujung
runcing di bagian posterior, mempunyai
flagel kurang dari sepertiga panjang tubuh,
mempunyai sitoplasma dengan granula inti
di tengah yang berwarna tua, serta terdapat
kinetoplast.
Morfologi yang seperti ini dapat membuat Trypanosoma bergerak aktif
secara berombak dan memutar disebabkan oleh flagel kontraktilnya.
Manusia merupakan hospes Trypanosoma cruzi ini dan hospes reservoar
adalah binatang peliharaan (anjing dan kucing) atau binatang liar ( tupai,
armadillo, kera dan lain-lain). Triatoma atau residual insect berperan
sebagai hospes perantara. Vektor utama Trypanosoma cruzi ini adalah
Triatoma infestans, Triatoma sordida, Panstrongylus megistus, dan
Rhodnius prolixus, penyakitnya disebut tripanosomiasis Amerika atau
penyakit Chagas. Penyakit Cronic Chagas merupakan masalah kesehatan
yang tinggi, karena banyak masalah yang terjadi di negara - negara latin
Amerika, dengan peningkatan kasus, perpindahan penduduk dan
penularan yang menjadi permasalahan tersendiri di negara- negara
Amerika Latin.

3. Siklus hidup dari Trypanosoma cruzi


Di badan manusia, Trypanosoma cruzi ini terdapat dalam dua stadium
yaitu stadium tripomastigot dan stadium amastigot. Stadium tripomastigot
hidup di luar sel (ekstraselular ) dalam darah dan tidak berkembang biak,
sehingga di dalam darah tidak ditemukan bentuk yang membelah.
Trypanosoma cruzi ini panjangnya 20 mikron dan menyerupai huruf “C”
atau huruf “S” dengan kinetoplas yang besar. Stadium amastigot, yang
besarnya hanya 2-3 mikron, terdapat intraselular dalam sel RE dan
berkembangbiak secara belah pasang longitudinal. Setelah penuh, sel RE
pecah dan stadium amastigot melalui stadium promastigot berubah
menjadi stadium epimastigot, kemudian menjadi stadium tripomastigot
yang masuk kembali ke dalam darah. Stadium amastigot ditemukan
dalam sel RE limpa, hati, kelenjar limfe, sumsum tulang, sel otot jantung
dan sel otak. Bila Triatoma menghisap darah seorang penderita
tripanosomiasis, stadium tripomastigot dan stadium amastigot berubah
menjadi stadium epimastigot dalam usus tengah (midgut), kemudian
stadium epimastigot ini berkembang biak secara belah pasang
longitudinal dan bermigrasi ke bagian posterior (hindgut) untuk berubah
menjadi stadium tripomastigot metasiklik yang merupakan bentuk
infektif. Siklus ini berlangsung selama kira-kira 10 hari.

Ketika menusuk orang lain untuk mengisap darahnya, Triatoma juga


mengeluarkan sedikit tinjanya yang mengandung bentuk infektif dan
diletakkan pada kulit. Oleh karena tusukan terasa gatal, maka orang
menggaruk sehingga Trypanosoma cruzi masuk ke dalam luka dan
terjadilah infeksi. Cara infeksi ini disebut posterior contaminative.
Trypanosoma cruzi dapat pula masuk melalui kulit yang utuh, misalnya
melalui selaput lendir mata atau kulit bayi yang utuh.

Siklus hidup pada host tetap

Siklus hidup Trypanosoma cruzi dengan infeksi host mamalia dengan


metasiklik tripomastigot hadir dalam kotoran dari darah dengan reduviid
bug sebagai vektor. Host dengan kontaminasi gigitan luka serangga.
Bentuk metasiklik mampu menyerang dengan fagositosis dan
nonfagositosis. Pada sel-sel berinti, awalnya memasuki membran terikat
vakuola (parasitophorous). Setelah masuk, tripomastigot metasiklik mulai
berdiferensiasi menjadi bentuk amastigot dan lolos ke dalam sitoplasma
sel dimana terjadi transformasi morfologi, termasuk involusi flagella.
Amastigot kembali memasuki siklus sel dan berproliferasi sampai sel
mengisi dengan bentuk-bentuk. Pada titik ini amastigot memanjang ,
reacquiring flagela panjang, yang membedakan dengan bentuk ramping
tripomastigot melalui intraseluler epimastigot menengah. Tripomastigot
Slender dapat menyerang sel-sel yang berdekatan, mereka dapat masuk ke
dalam darah dan getah bening, dalam hal ini mereka mungkin mulai
untuk membedakan ekstrasel. Diferensiasi ekstraseluler menimbulkan ke
luas tripomastigot dan amastigot ekstraseluler. Campuran dari tiga bentuk
mungkin ada dalam darah orang yang terinfeksi dan dapat diambil di
blood feeding bug reduvuid .

4.2Siklus hidup pada host perantara

Siklus hidup Trypanosoma Cruzi dengan infeksi didalam reduvuid bug,


tripomastigot tersisa berdiferensiasi menjadi amastigot. Sebagai populasi,
amastigot pertama memperpanjang masa flagela menjadi spheromastigot,
yang kemudian memperpanjang menjadi Midlog epimastigot. Epimastigot
terus memanjang sebagai nutrisi dari blood feeding habis.
Akhirnya,setelah migrasi ke bagian rektum atau usus belakang (hindgut),
yang memanjang latelog epimastigot menempel pada usus kutikula lilin
oleh flagela mereka dan berdiferensiasi menjadi tripomastigot metasiklik
menular melalui rektum dan menyelesaikan siklus hidup di dalam
reduvuid bug.

4. Epidemiologi

Infeksi-infeksi manusia oleh T. Cruzi endemik di Meksiko, Amerika


Tengah, dan Amerika Selatan dimana diperkirakan 8-11 juta orang
terinfeksi.Manusia bertindak sebagai reservoir bersama dengan lebih dari
150 species binatang baik binatang peliharaan seperti anjing, kucing, dan
binatang liar .Semua umur rentan terhadap infeksi dan biasanya
perjalanan penyakit lebih berat pada penderita usia muda. Infeksi juga
dapat terjadi dari ibu ke bayi (bawaan), terkontaminasi produk darah
(transfusi), organ transplantasi dari donor yang terinfeksi, laboratorium
kecelakaan, makanan dan minuman yang terkontaminasi (jarang).
5. Gejala Umum

Terdapat tiga stadium yaitu masa tunas, stadium akut dan stadium
kronis.

- Masa tunas
Masa tunas berlangsung 7-30 hari, diawali keluarnya Trypanosoma cruzi
bersama tinja vektor (sterkoraria) pada stadium trypomastigot.
Selanjutnya Trypanosoma cruzi masuk melalui luka gigitan vektor. Di
dalam tubuh hospes, pada tempat luka gigitan, Trypanosoma cruzi
difagositosis oleh histiosit, Trypanosoma cruzi tidak mati melainkan akan
berkembang biak di dalam sel ini.
- Stadium akut
Stadium ini akan jelas terlihat pada anak- anak, ditandai demam setiap
hari, kemerahan pada kulit, radang kelenjar limfe leher, ketiak, ilika serta
kelenjar lainnya. Pada stadium ini Trypanosoma cruzi sering menyerang
mesenkim, miokardium, retikuloendotelium serta sel saraf, akan tetapi
organ lain pun dapat diserang.
- Stadium kronis
Gangguan pada stadium kronis disebabkan oleh kerusakan neuron dari
ganglion autonom pada dinding alat dalaman seperti esophagus, kolon
dan ureter yang dapat menimbulkan megaesofagus, megakolon serta
megaureter. Pada stadium ini mungkin juga terjadi hepatosplenomegali.

6. Cara Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan :
1) Menemukan Trypanosoma cruzi dalam darah pada waktu demam atau
dalam biopsy kelenjar limfe, limpa ,hati dan sumsum tulang (stadium
tripomastigot dan stadium amastigot).
2) Pengujian ELISA biasanya tidak digunakan selama fase akut Chagas
karena sistem kekebalan tubuh memproduksi antibodi chagasic. Sebuah
uji ELISA mirip dengan yang digunakan untuk AIDS dan telah dirancang
untuk mendeteksi keberadaan T. antibodi cruzi, meskipun kadang-kadang
tidak membedakan T. cruzi antibodi dari yang dihasilkan dalam
menanggapi parasit kurang berbahaya atau tidak berbahaya lainnya
3) Xenodiagnosis dengan percobaan serangga Triatoma atau
Cimex.Xenodiagnosis adalah teknik yang efektif yang mirip dengan
teknik pertumpahan darah dengan lintah yang tanggal kembali ke Abad
Pertengahan. Dalam tes ini, vinchucas terinfeksi ditempatkan dalam botol
dan terselip di bawah ketiak seorang pasien diduga terinfeksi.

III. SIMPULAN

Trypanosoma adalah protozoa berflagel yang bersifat parasit didalam


darah atau jaringan berbagai jenis vertebrata, bentuknya panjang
bergelombang, kedua ujungnya lancip dan menulari manusia melalui
gigitan lalat pengisap darah atau melalui feses arthropoda. Infeksi karena
Trypanosoma disebut trypanosomiasis. Secara umum Trypanosomidae
mempunyai 4 bentuk / morfologi yaitu Bentuk Amastigot (Leismanial
form), Bentuk Promastigot (Leptomonas form), Bentuk Epimastigot
(Critidial form), Bentuk Tripomastigot (Trypanosome form). Beberapa
Jenis-jenis Tripanosoma diantaranya Trypanosoma lewis,
Trypanosoma evans, Pengertian Trypanosoma gambiense dan
Trypanosoma rhodesiense,
DAFTAR PUSTAKA

AH Wardhana. 2018. Surra: Trypanosomiasis pada Ternak yang Berpotensi sebagai


Penyakit Zoonosis. Diakses dari
http://medpub.litbang.pertanian.go.id/index.php/wartazoa/article/download/
1835/1605 pada tanggal 5 februari 2020.

Ausvetplan. 2006. Disease Strategy Surra. Australia: Primary Industries Ministerial


Council OIE. 2008. Trypanosoma Evansi Infection (including surra). Belgium.

Davison HC, Thrusfield MV, Husein A, Muharsini S, Partoutomo S, Rae P and


Luckins AG. 2000. The occurrence of Trypanosoma evansi in buffaloes in
Indonesia, estimated using various diagnostic tests. Epidemiol. Infect. 124 :
163 – 172.

Desquesnes, M., and A.M.R. Dávila. 2002. Applications of PCR-based tools for
detection and identification of animal Trypanosomes: a review and
perspectives. Vet.Parasitol. 109:213–231.

Direktorat Kesehatan Hewan. 2012. Pedoman pengendalian dan pemberantasan


penyakit Trypanosomiasis (Surra). Jakarta (ID): Direktorat Kesehatan
Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Giannini, M Suzanne Holmes. 1987. "Respons Kekebalan Khusus Anti Parasit Tikus
Bebas Kuman dan Konvensional yang Terinfeksi Trypanosoma lewisi".
Jurnal Parasitologi. 73 (1): 144–148. doi : 10.2307 / 3282358 . JSTOR
3282358.

Hakim, David M. 1964. "Ultrastruktur Trypanosoma lewisi". Jurnal Parasitologi. 50


(6): 757-762. doi : 10.2307 / 3276198 . JSTOR 3276198.

Levine, N. D. 1985. Veterinary Protozoology. 1st Edition.Iowa Statet University


Press. Ames.

Linardi, Pedro Marcos; José Ramiro. 2002. "Prevalensi Trypanosoma lewisi di Rattus
norvegicus dari Belo Horizonte". Negara Bagian Minas Gerais, Brasil.
Nona. Inst. Oswaldo Cruz . 97 (3): 411–414. doi : 10.1590 / s0074-
02762002000300024.

Losos, G.J. 1986. Infectious Tropical Disease of Domestic Animal.IDRC. Canada.


Hlm : 183 – 263.

Natadisastra, Djaenudin. 2009. Parasitologi Kedokteran: Ditinjau dari Organ Tubuh


Yang Diserang. Jakarta: EGC.

Noble, E.R and G.A. Noble., 1982. Parasitologi (Biologi Parasit Hewan). Gadjah
Mada University Press. Hlm: 67 – 69.

Novita, Risqa. 2019. Kajian Potensi Tripanosomiasis sebagai Penyakit Zoonosis


Emerging di Indonesia. 13 (1): 21-32. Jurnal Vektor Penyakit.

Olsen, O. Wilford. 1986. Parasit hewan: siklus hidup dan ekologi mereka. New York:
Dover. hal. 29. ISBN 978-0-486-65126-2 .

Proulx, Chantal; Olivier, Martin; Mora, Lydia; Tanner, CE. 1989. "Infektivitas dan
Rute Penetrasi pada Tikus setelah Inokulasi Oral dan Intraperitoneal dari
Aliran Darah dan Bentuk Metacyclic yang Dibudidayakan Secara In vitro
dari Trypanosoma lewisi". Jurnal Parasitologi . 75 (6): 964–969. doi :
10.2307 / 3282878 . JSTOR 3282878 .

Radita, Besse. 2017. Deteksi Trypanosoma evansi Pada Kuda (Equss caballus) di
Kabupaten Wajo. Makassar. Universitas Hasanuddin.

Wardhana, A. H. 2012. Penyakit Surra: Perkembangan Penelitian Dalam Upaya


Pengendaliannya. Pertemuan Penyusunan pedoman pengendalian penyakit
Surra.

Yuniarto, Ichwan. 2016. Karakterisasi Protein Isolat Trypanosoma evansi dari


Wilayah Kasus Surra di Indonesia. Bogor. Institut Pertanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai