Oleh :
FACHRUR ROZI
NIM 061511535005
parasit darah dan jaringan yang masuk pada ordo Kinetiplasida, famili
penghisap darah yang mana kebanyakan dari mereka mengalami siklus biologis.
bentuk infektif yang dikeluarkan oleh vektor bersama dengan fesesnya termasuk
Trypanosoma cruzi, dan juga parasit intraseluler ini yang menyebabkan utamanya
penyakit pada manusia yang mempengaruhi sekitar 15 juta orang dan ancaman bagi
100 juta orang di Amerika Latin (Coura and Borges-Pereira., 2010), dan Saliva,
yang mana bentuk infektifnya berada pada saliva dan keluar bersama salivanya,
peyakit tidur dan utamanya penyakit pada manusia yang mempengaruhi hampir
setengah juta orang dan ancaman bagi 60 juta orang di Afrika (Rodgers., 2009).
Tsetse yang mana midgut mengalami perubahan siklus dan memperbanyak diri
host baru oleh lalat Tsetse melalui salivanya (Hoare., 1972). Vektor lain yang
menjadi peranan penting dalam dunia kesehatan hewan dan dikenal memiliki
peranan penting dalam transmisi penyakit surra yang disebabkan oleh Trypanosoma
evansi dari sapi-sapi yang dipelihara selama pengisapan darah adalah Tabanus
(Chandra et al., 2015). Penyakit ini tidak hanya menyerang sapi tetapi juga pada
mamalia lain seperti unta, kuda, anjing, dan gajah (Hopla et al., 1994). Menurut
Nevill (1994), badak sangat disukai oleh tabanid karena warna kulit yang seragam
karena lalat Tabanid menyukai warna yang agak gelap atau warna yang tidak
menghalangi sinar matahari. Pernah dilaporkan pada bulan Oktober sampai bulan
darah serta otaknya (Vellayan et al., 2004). Penyakit ini memiliki potensi besar
untuk menjangkiti spesies badak lainnya di Indonesia yaitu Badak Jawa, dengan
populasi sangat sedikit di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) tersisa 63 ekor
dan termasuk sangat rentan mengalami kepunahan. Beberapa penyakit yang telah
disurvey di daerah Javan Rino Study and Conservation Area (JRSCA) adalah SE
14% dan Trypanosomiasis 90% (YABI., 2015 dalam Kalbuadi dkk., 2016).
masalah terbesar dalam konservasi satwa langka, kerbau lumpur diketahui sebagai
salah satu inang dari agen protozoa Trypanosoma yang dapat ditransmisikan oleh
lalat Tabanus. Transmisi ini memungkinkan dapat terjadi dilihat melalui perilaku
lalat Tabanus yang berpindah-pindah ketika menghisap darah dari satu spesies ke
spesies lain dimana Badak di Indonesia termasuk Badak Jawa juga berbagi habitat
dengan Kerbau Lumpur dan Banteng di dalam kawasan Taman Nasional Ujung
Kulon, kerbau dan sapi juga diketahui sebagai salah satu reservoir dari
potensi kemunculan peyakit infeksius yang ditransmisikan oleh lalat Tabanus dari
darah, yaitu Trypanosoma evansi. Parasit ini dapat ditemukan di dalam sirkulasi
darah pada fase infeksi akut. T. evansi memiliki ukuran panjang 15 to 34 μm dan
dapat membelah (binary fission) untuk memperbanyak diri. Bentuknya yang khas
seperti daun atau kumparan dicirikan dengan adanya flagella yang panjang sebagai
alat gerak. Di bagian tengah tubuh terdapat inti. Salah satu ujung tubuh berbentuk
lancip, sedangkan ujung tubuh yang lain agak tumpul dan terdapat bentukan yang
Dengan kemampuan glikoprotein yang dapat berubah bentuk, maka T. evansi dapat
ditemukan pada tikus dan ditularkan melalui pinjal (rat flea). Trypanosoma patogen
secara mekanis oleh lalat Tabanus. Di Afrika terdapat Trypanosoma vivax dan
Trypanosoma congolense yang ditularkan oleh lalat Tsetse dan dapat mnginfeksi
ditularkan secara mekanik oleh lalat Tabanus dan dapat menyebabkan penyakit
2. Siklus Hidup
Penyakit ini ditularkan Penyakit ini ditularkan secara mekanik oleh lalat
penghisap darah dari genus Tabanus dan Stomoxys (Soulsby, 1982). Lalat
tubuh hewan, karena terganggu lalat tersebut kemudian pindah ke hewan lain
dengan cepat untuk melanjutkan kegiatan makannya. Parasit darah ini dapat hidup
dalam mulut lalat selama 30 menit sampai 6 jam (Sukanto, 1994). Didalam tubuh
vektor, dimulai sejak lalat menghisap darah penderita, bersama darah juga akan
terhisap gamon (mikro dan makro)-gamet, didalam tubuh lalat mikrogamet akan
secara aktif mencari makrogamet untuk kawin, hasil perkawinan terbentuklah zygot
dan dapat bergerak disebut ookinet, ookinet bergerak menuju dinding usus tengah
sporozoit akan bermigrasi menuju kelenjar air liur sehingga lalat menjadi infektif.
Didalam tubuh hewan peka, dimulai juga saat lalat infektif menghisap darah,
sporozoit yang berada didalam kelenjar ludah akan ikut tersebar kedalam peredaran
darah, kemudian akan memasuki sel endotel (ginjal, hati dan paru-paru) serta
didalam ruangan berisi darah atau didalam jaringan (jantung, limpa, pankreas,
thymus, otot-otot, usus, tarakhea, ovarium, kelenjar adrenal, dan otak. Sporozoit
akan ikut terhisap saat lalat menghisap darah maka terulanglah siklus seperti diatas
(Dwinurmijayanto, 2011).
3. Patogenesa
Vektor utama Vektor utama adalah lalat dan nyamuk (Stomoxys calcitrans,
(pleomorfik). Dalam keadaan tertentu, protozoa ini tidak dapat tertangkap saat
menghisap darah penderita, baik hewan ternak maupun anjing. Setelah memasuki
mengalami kenaikan. Sel darah penderita yang tersensitisasi oleh parasit segera
dikenali oleh makrofag dan dimakan oleh sel darah putih tersebut. Bila sel darah
merah yang dimakan makrofag cukup banyak, penderita segera mengalami anemia
normositik dan normokromik. Sebagai akibat anemia, penderita tampak lesu, malas
bergerak, bulu kusam, nafsu makan menurun dan mungkin juga terjadi oedem di
4. Gejala Klinis
mamalia, termasuk demam, anemia, kehilangan nafsu makan dan berat badan,
penurunan kesehatan dan produksi, gejala abnormal pada sistem saraf, cachexia,
dan kematian dengan atau tidaknya gejala yang khas pada spesies host (Gardiner
and Mahmoud., 1990). Efek sangat penting dari Surra adalah penurunan sistem
imun, yang mana akan terlihat di bagian selanjutnya. Surra pada dasarnya
merupakan penyakit pada unta dan kuda, yang mana memperlihatkan tanda yang
khas tetapi efek dari penyakit yang bervariasi tergantung pengawasan pada hewan
Gejala yang dapat ditimbulkan pada kuda ataupun unta yaitu adanya gejala
akut berupa demam tinggi, anemia, kelemahan / lesu dan dalam beberapa bulan
dapat menyebabkan kematian, tapi penyakit ini bisa bertahan 2 - 3 tahun ini disebut
Tibersa (Parsani et al., 2008). Tanda-tanda dari penyakit ini dalah dimana hewan
mengalai demam interminten yang mencapai 41o C, dalam kurun waktu seminggu
hewan akan mengalami kepucatan serta stress dan selanjutnya akan diikuti dengan
rontoknya bulu/ rambut, turunya nafsu makan dan berat badan, aborsi pada hewan
bunting, oedema (bagian perut, ambing atau skrotum, dan selubung), anemia
dengan lender, dan petekie atau perdarahan echymos. Semua kelompok usia dapat
terinfeksi surra, pada umumnya mulai terjadi setelah penyapihan (Stephen., 1986).
Pada sapi maupun kerbau penyakit surra kadang kadang tidak menimbulkan
Dampak umum yang dapat diakibatkan oleh surra ialah anemia, kekurusan yang
mengarah ke gangguan dalam siklus estrus, aborsi, dan gangguan produksi susu
(Payne et al., 1993). Di Thailand, tanda-tanda klinis dicatat dalam kerbau adalah
demam, kekakuan, konjungtivitis, kekurusan, edema (pembengkakan kaki),
inappetence, dyspnea, anemia, penyerahan diri, diare, aborsi, dan kematian. Gejala
2013).
Infeksi alami tidak terlihat gejala khusus, tapi biasanya gejala surra terutama
demam (40°C), kurang nafsu makan, dan anemia. Selama hipertermia, modifikasi
perilaku seperti kelelahan atau agresivitas tiba-tiba telah diamati; anemia bisa surut
setelah 2 bulan; parasitemia umumnya rendah (105 parasit / mL) dan menurun
sampai tidak terdeteksi selama beberapa bulan. Namun, dalam kondisi tertentu
seperti pembatasan makanan atau transportasi stres, parasit bisa kambuh ke dalam
darah dan tanda-tanda klinis muncul kembali (Boehtinger and Prosen., 1961;
evansi, akut dan evolusi kronis yang diamati, dengan demam, selaput lendir pucat,
epifora, kehilangan nafsu makan, kekurusan, kusam, dan mantel berambut kasar; di
menunjukkan pembesaran limpa dan kelenjar getah bening (Audu et al., 1999).
Sedangkan pada kambing memiliki kerentanan yang rendah terhadap penyakit ini
(Rottcher et al., 1987), gejala yang ditimbulkan hampir sama seperti pada domba
tetapi pada beberapa kejadian bisa juga terdapat peradangan sendi (Gutierrez et al.,
2004).
4.4 Surra pada Babi
Infeksi pada babi telah lama dilaporkan sebagai sangat ringan atau tanpa
Infeksi babi sering kronis dengan tidak hanya demam intermiten, anemia,
kehilangan berat badan, aborsi, dan ruam kulit, tetapi juga lambat dalam
seminggu dan paling sering dalam waktu satu bulan dalam kasus akut (Gill., 1977),
terutama pada anjing liar yang tidak diobati (Herrera et al., 2004) dan juga kadang-
41°C), edema di kepala, termasuk laring (dibedakan dari rabies), edema dinding
perut dan kaki, anemia, kelemahan, kurang nafsu makan menyebabkan kekurusan
dan tanda tanda gairah seksual juga telah dilaporkan dalam beberapa kasus. Tanda-
tanda pada mata adalah paling sering ditemukan pada anjing, dengan konjungtivitis,
dapat menyebabkan fibrin deposito di ruang anterior mata (Savani et al., 2005).
4.6 Surra pada Hewan Liar
Penyakit surra ini juga menyerang beberapa hewan liar diantaranya yang
pernah dilaporkan adalah seperti kelelawar vampir, capybaras, coatis, babi hutan,
dan gastritis colitis dan enteritis (Reid et al., 2001). Pada badak sumatera gejala
yang dapat ditimbulkan dari surra ini seperti depresi, anoreksia, inkoordinasi,
tremor otot, perdarahan hidung, lemas, dan sesak napas diikuti dengan kematian
5. Distribusi Penyakit
Surra dari Marathi berarti nafas berat melalui lubang hidung merupakan
penyakit yang menyerang mamalia. Surra adalah sebuat penyakit yang bersifat akut
dan kronis yang umunya fatal jika tidak diobati. Penyakit surra ini desebabkan oleh
trypanosoma yang pertama dijelaskan di dunia oleh Griffith Evans, 1880 pada darah
kuda India dan unta. Awalnya penyakit ini ditemukan pada unta tetapi
perkembanganya merabah ke hospes lainnya seperti kuda, anjing dan lainnya (Marc
Desquesnes 2013). Penyakit surra ini bersifat zoonosis (Powar et all 2013)
Trypanosoma evansi diduga berasal dari T. brucei (siklis ditularkan oleh lalat
tsetse), tetapi tidak lagi mampu menjalani siklus di Glossina karena hilangnya
maxicircles dari kinetoplastic DNA mitokondria. Ketika fenomena ini terjadi tidak
diketahui, dan beberapa penulis bahkan baru-baru ini menyarankan bahwa mungkin
telah terjadi dalam beberapa kasus. Penyebaran awal T. evansi arah timur, analisis
data historis menunjukkan bahwa surra sudah hadir di India sejak zaman dahulu,
setidaknya VIII abad SM, dan ternak yang harus menderita dalam ketiadaan
pengobatan. Hal ini hadir di iklim sub-Sahara dan Mediterania tetapi dapat
ditemukan di daerah beriklim serta gurun gersang dan stepa semi kering. (Marc
daerah pertama ditemukan Afrika bagian utara, Asia barat, tengah, selatan, tenggara
seperti horseflies (Tabanus), lalat yang stabil (Stomoxys) dan Haematobia sp yang
vampir juga bertindak sebagai vektor serta waduk host (Urquhartet al., 1996).
6. Diagnosa
pengujian di laboratorium untuk konfirmasi agen penyebab. Uji parasit, uji serologi
dan uji molekuler merupakan teknik pengujian yang digunakan untuk diagnosis
(Woo PTK., 1969). Uji serologi dapat dilakukan dengan metode card agglutination
hambatan karena agen T. evansi hanya dapat dideteksi pada saat terjadi parasitemia
yang tinggi. Sedangkan pada kasus infeksi yang berjalan kronis, diperlukan
dibandingkan teknik MIT dan MHCT. Disamping itu, teknik CATT dapat
digunakan untuk melakukan uji tapis (screening test) dan kemudian dapat
dilanjutkan dengan uji PCR untuk konfirmasi agen T. evansi (Desquesnes et al.,
2011).
7. Pengobatan
diduga terinfeksi dengan obat trypanocidal, berdasarkan dari gejala klinis sakit,
akan tetapi untuk hewan karier masih sulit, karena tidak menunjukkan gejala.
Rendahnya sensitivitas tes secara parasitology dan gejala klinis yang tidak spesifik
Diminazen telah berhasil baik untuk pengobatan Surra pada sapi dan kerbau di
isolate yang ada di BBalitvet resisten terhadap isometamidium dan sebagian isolat
resisten terhadap Diminazen azeturat (Sukanto., 1994). Sampai saat ini ternyata
hanya Suramin yang efektif untuk pengendalian Surra, karena tidak menimbulkan
resistensi dan mempunyai efek residual selama tiga bulan sehingga dapat digunakan
sebagai pencegahan dan pengendalian, namun demikian obat ini sulit diperoleh dan
jika ada harganya sangat mahal (Muharsini et al., 2006). Oleh karenanya
strategis yaitu pada awal terjadi infeksi agar penyakit tidak menyebar dan perlu
dicarikan obat alternative yang murah, efektif, mudah aplikasinya serta mudah
didapat. Untuk menyembuhkan infeksi T. evansi pada kuda dan anjing WHO
mg/kg berat badan. Suramin larutan 10%, dosis 10 mg/kg berat badan, disuntikkan
IV. Diminazene aceturat, dosis 3,5 mg/kg, disuntikkan IM, dan Isometamedium,
8. Pencegahan
dengan tindakan penyemprotan kandang dan ternak dengan Asuntol atau insektisida
lain yang aman bagi ternak, pembersihan tempat yang basah dan rimbun,
pengeringan tanah dan penertiban pembuangan kotoran dan sampah sisa makanan
ternak, pemotongan hewan yang sakit di malam hari untuk menghindari lalat.
Ternak yang sakit dapat dipotong dan dikonsumsi dibawah pengawasan dokter
hewan. Pengangkutan ternak sakit ke Rumah Potong Hewan (RPH) hanya dapat
dilakukan pada malam hari untuk menghindari penyebaran oleh lalat. Seluruh sisa
2010).
Kesimpulan
evansi dan dapat menyerang hewan vertebrata jenis apapun. Penyakit ini tergolong
PHMS atau penyakit hewan menular strategis dan sangat berbahaya karena bersifat
akut dan kronis, juga tidak memiliki gejala yang spesifik. Penyebaran penyakit ini
sendiri tergantung pada vector penyebarannya. Epidemiologi dari penyakit ini telah
meyebar mulai dari afrika, asia tengahm selatan dan tenggara, dan juga amerika
kritidia dan trypanosome. Siklus penularannya terjadi karena 2 vektor yaitu vektor
mekanik yang melalui perantara lalat dan biologis melalui perantara daging dan
darah.
Gejala klinis yang dapat ditimbulkan dari infeksi trypanosome evansi ini
berbeda beda setiap hospes tetapi tidak memiliki gejala yang amat spesifik.
Umumnya gejalanya berupa demam tinggi berulang yang diikuti dengan gejala
Diagnose yang dapat dipakai untuk mendeteksi adanya trypanosome ialah dengan
melakukan uji serologi dapat dilakukan dengan metode card agglutination test for
cutan, suramin secara intra vena, diminazeneacceturat secara intra musculara, dan
Audu, P.A., K.A.N. Esievo., G. Mohammed., and O.J. Ajanusi. 1999. Studies of
Infectivity and Pathogenicity of an Isolate of Trypanosoma evansi in
Yankasa sheep. Veterinary Parasitology. 86(3). pp.185-190.
Boehringer, E.G., and A.F. Prosen. 1961. Transmision experimental del Mal de
Caderas. Anales del Instituto de Medicina Regional Argentina. Vol. 5.p.69.
Coura, J.R, and J. Borges-Pereira. 2010. “Change disease: 100 years after its
discovery. A systemic review”. Acta Tropical. Vol.115. no 1-2. Pp. 5-13.
Khan, M., T. Foose., and N. van Strien. 2004. Asian Rhino Specialist Group Report.
Pachyderm. 36(2). 11-13.
Nevill, E.M., B.R. Stuckenberg., R.J. Phelps. 1994. Vectors: Tabanidae. In:
COETZER, J.A.W. and R.C. TUSTIN. (eds.) Infectious disease of
livestock. Cape Town: Oxford University Press.
Parsani, H.R., H.R.S.V., and R.R. Momin. 2008. Common Parasitic Disease of
Camel. Veterinary World. 1(10):pp.317-318.
Payne, R.C., I.P. Sukanto., K. Bazeley., and T.W. Jones. 1993. The Effect of
Trypanosoma evansi Infection on the Oestrous Cycle of Friesian Holstein
Heifers. Veterinary Parasitology. 51(1-2). Pp.1-11.
Reid, S.A., A. Husein., S. Partoutomo., and D.B. Copeman. 2001. The
Susceptibility of Two Species of Wallaby to Infection with Trypanosoma
evansi. Australian Veterinary Journal. 79(4). 285-288.
Subronto. 2006. Penyakit Infeksi Parasit & Mikroba pada Anjing & kucing.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Sukanto, I.P. 1994. Petunjuk Parasit Darah Trypanosoma, Babesia dan Anaplasma
dan Ringkasan Hasil Seminar Penelitian Parasit Darah Pada Ruminansia
Besar di Indonesia. Proyek Kerjasama Balivet-ODA (1986-1992).
Puslitbang Peternakan. Bogor. 3-31.
Woo PTK. 1969. The Haematocrit Centrifuge for the Detection of Trypanosomes
in Blood. Canadian Journal of Zoology. 47(5):921-923.