Anda di halaman 1dari 19

ILMU PENYAKIT PROTOZOA

TRYPANOSOMIASIS (SURRA) PADA BADAK

Oleh :
FACHRUR ROZI
NIM 061511535005

PRODI KEDOKTERAN HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
BANYUWANGI
2018
PENDAHULUAN

Trypanosoma ditemukan di mamalia termasuk manusia yang merupakan

parasit darah dan jaringan yang masuk pada ordo Kinetiplasida, famili

Trypanosomatidae, genus Trypanosoma. Trypanosoma disebarkan oleh serangga

penghisap darah yang mana kebanyakan dari mereka mengalami siklus biologis.

Siklus hidup Trypanosoma dibagi menjadi 2 kelompok: Stercoraria, merupakan

bentuk infektif yang dikeluarkan oleh vektor bersama dengan fesesnya termasuk

Trypanosoma cruzi, dan juga parasit intraseluler ini yang menyebabkan utamanya

penyakit pada manusia yang mempengaruhi sekitar 15 juta orang dan ancaman bagi

100 juta orang di Amerika Latin (Coura and Borges-Pereira., 2010), dan Saliva,

yang mana bentuk infektifnya berada pada saliva dan keluar bersama salivanya,

seperti kebanyakan Trypanosoma menyerang peternakan di Afrika termasuk

peyakit tidur dan utamanya penyakit pada manusia yang mempengaruhi hampir

setengah juta orang dan ancaman bagi 60 juta orang di Afrika (Rodgers., 2009).

Trypanosoma sebagian besar penyebarannya oleh siklus hidup dari lalat

Tsetse yang mana midgut mengalami perubahan siklus dan memperbanyak diri

menjadi bentuk metacyclic infektif, yang mana kemungkinan di inokulasikan ke

host baru oleh lalat Tsetse melalui salivanya (Hoare., 1972). Vektor lain yang

menjadi peranan penting dalam dunia kesehatan hewan dan dikenal memiliki

peranan penting dalam transmisi penyakit surra yang disebabkan oleh Trypanosoma

evansi dari sapi-sapi yang dipelihara selama pengisapan darah adalah Tabanus

(Chandra et al., 2015). Penyakit ini tidak hanya menyerang sapi tetapi juga pada

mamalia lain seperti unta, kuda, anjing, dan gajah (Hopla et al., 1994). Menurut
Nevill (1994), badak sangat disukai oleh tabanid karena warna kulit yang seragam

karena lalat Tabanid menyukai warna yang agak gelap atau warna yang tidak

menghalangi sinar matahari. Pernah dilaporkan pada bulan Oktober sampai bulan

November 2003 Badak Sumatra mati secara beruntun di penangkaran badak

Semenanjung Malaysia dan ditemukan parasit darah Trypanosoma evansi di dalam

darah serta otaknya (Vellayan et al., 2004). Penyakit ini memiliki potensi besar

untuk menjangkiti spesies badak lainnya di Indonesia yaitu Badak Jawa, dengan

populasi sangat sedikit di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) tersisa 63 ekor

dan termasuk sangat rentan mengalami kepunahan. Beberapa penyakit yang telah

disurvey di daerah Javan Rino Study and Conservation Area (JRSCA) adalah SE

14% dan Trypanosomiasis 90% (YABI., 2015 dalam Kalbuadi dkk., 2016).

Menurut Hopla et al (1994), penyakit infeksius merupakan salah satu

masalah terbesar dalam konservasi satwa langka, kerbau lumpur diketahui sebagai

salah satu inang dari agen protozoa Trypanosoma yang dapat ditransmisikan oleh

lalat Tabanus. Transmisi ini memungkinkan dapat terjadi dilihat melalui perilaku

lalat Tabanus yang berpindah-pindah ketika menghisap darah dari satu spesies ke

spesies lain dimana Badak di Indonesia termasuk Badak Jawa juga berbagi habitat

dengan Kerbau Lumpur dan Banteng di dalam kawasan Taman Nasional Ujung

Kulon, kerbau dan sapi juga diketahui sebagai salah satu reservoir dari

Trypanosoma sehingga resiko kepunahan Badak di Indonesia cukup besar akibat

potensi kemunculan peyakit infeksius yang ditransmisikan oleh lalat Tabanus dari

Kerbau dan Banteng.


1. Etiologi

Penyakit Penyakit Surra disebabkan oleh protozoa yang merupakan parasit

darah, yaitu Trypanosoma evansi. Parasit ini dapat ditemukan di dalam sirkulasi

darah pada fase infeksi akut. T. evansi memiliki ukuran panjang 15 to 34 μm dan

dapat membelah (binary fission) untuk memperbanyak diri. Bentuknya yang khas

seperti daun atau kumparan dicirikan dengan adanya flagella yang panjang sebagai

alat gerak. Di bagian tengah tubuh terdapat inti. Salah satu ujung tubuh berbentuk

lancip, sedangkan ujung tubuh yang lain agak tumpul dan terdapat bentukan yang

disebut kinetoplast. Trypanosoma evansi memiliki morfologi yang mirip dengan

trypanosoma lainnya seperti T. equiperdum, T. brucei, T. gambiense dan T.

rhodesiense. Permukaan tubuh T. evansi diselubungi oleh lapisan protein tunggal

yaitu glikoprotein yang dapat berubah-ubah bentuk (variable surface glycoprotein).

Dengan kemampuan glikoprotein yang dapat berubah bentuk, maka T. evansi dapat

memperdaya sistem kekebalan tubuh inang (host). Konsekuensinya akan terjadi

variasi antigenik (antigenic variation) dimana tubuh akan selalu berusaha

membentuk antibodi yang berbeda-beda sesuai dengan protein permukaan yang

ditampilkan oleh T. Evansi (Civas., 2014).

Di alam Terdapat berbagai jenis Trypanosoma pada hewan (animal

Trypanosomes) yang dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu non-patogen dan

patogen. Trypanosoma lewisi, merupakan Trypanosoma non-patogen yang

ditemukan pada tikus dan ditularkan melalui pinjal (rat flea). Trypanosoma patogen

meliputi Trypanosoma brucei yang menyebabkan penyakit Nagana pada ternak di

Afrika, Trypanosoma equiperdum menyebabkan penyakit Dourine pada kuda yang


ditularkan melalui perkawinan (venereal disease), Trypanosoma equinum

menyebabkan penyakit Mal de Caderes pada kuda di Amerika Selatan ditularkan

secara mekanis oleh lalat Tabanus. Di Afrika terdapat Trypanosoma vivax dan

Trypanosoma congolense yang ditularkan oleh lalat Tsetse dan dapat mnginfeksi

ternak serta manusia (human trypanosomiasis), adapun Trypanosoma evansi yang

ditularkan secara mekanik oleh lalat Tabanus dan dapat menyebabkan penyakit

Surra pada kuda, sapi, dan Kerbau (Pathak et al., 1997).

2. Siklus Hidup

Gambar 1. Siklus hidup Trypanosoma evansi pada Kerbau

Penyakit ini ditularkan Penyakit ini ditularkan secara mekanik oleh lalat

penghisap darah dari genus Tabanus dan Stomoxys (Soulsby, 1982). Lalat

memindahkan Trypanosoma evansi pada saat menghisap makanan/darah pada

tubuh hewan, karena terganggu lalat tersebut kemudian pindah ke hewan lain

dengan cepat untuk melanjutkan kegiatan makannya. Parasit darah ini dapat hidup

dalam mulut lalat selama 30 menit sampai 6 jam (Sukanto, 1994). Didalam tubuh
vektor, dimulai sejak lalat menghisap darah penderita, bersama darah juga akan

terhisap gamon (mikro dan makro)-gamet, didalam tubuh lalat mikrogamet akan

secara aktif mencari makrogamet untuk kawin, hasil perkawinan terbentuklah zygot

berbentuk bulat kemudian berkembang lebih lanjut bentuknya berubah memanjang

dan dapat bergerak disebut ookinet, ookinet bergerak menuju dinding usus tengah

untuk membentuk ookista, ookista mengalami proses sprogony (pembentukan

sporozoit) dengan menbelahan berlipat ganda (skizogoni) menghasilkan sporozoit,

sporozoit akan bermigrasi menuju kelenjar air liur sehingga lalat menjadi infektif.

Didalam tubuh hewan peka, dimulai juga saat lalat infektif menghisap darah,

sporozoit yang berada didalam kelenjar ludah akan ikut tersebar kedalam peredaran

darah, kemudian akan memasuki sel endotel (ginjal, hati dan paru-paru) serta

didalam ruangan berisi darah atau didalam jaringan (jantung, limpa, pankreas,

thymus, otot-otot, usus, tarakhea, ovarium, kelenjar adrenal, dan otak. Sporozoit

mengalami proses merogony (pembentukan merozoit) dengan cara pembelahan

berlipat ganda (skizogoni) sehingga dibebaskan banyak merozoit. Merogoni

berlangsung beberapa kali, kemudian mengalami proses gametogony

(pembentukan gamet) akhirnya terbentuklah (mikro dan makro)-ganet. Gamet ini

akan ikut terhisap saat lalat menghisap darah maka terulanglah siklus seperti diatas

(Dwinurmijayanto, 2011).
3. Patogenesa

Vektor utama Vektor utama adalah lalat dan nyamuk (Stomoxys calcitrans,

Lyperosia, Glossina dan Tabanus). Trypanosoma evansi diketahui hanya berbentuk

tunggal (monomorfik) berbeda dengan spesies lain yang berbentuk ganda

(pleomorfik). Dalam keadaan tertentu, protozoa ini tidak dapat tertangkap saat

dilakukan pemeriksaan karena dapat bersembunyi di dalam kelenjar limfe. Penyakit

Tripanosomiasis ditularkan secara mekanik melalui gigitan vektor setelah ia

menghisap darah penderita, baik hewan ternak maupun anjing. Setelah memasuki

peredaran darah, trypanosoma segera memperbanyak diri secara biner. Dalam

waktu pendek penderita mengalami parasitemia dan suhu tubuh biasanya

mengalami kenaikan. Sel darah penderita yang tersensitisasi oleh parasit segera

dikenali oleh makrofag dan dimakan oleh sel darah putih tersebut. Bila sel darah

merah yang dimakan makrofag cukup banyak, penderita segera mengalami anemia

normositik dan normokromik. Sebagai akibat anemia, penderita tampak lesu, malas

bergerak, bulu kusam, nafsu makan menurun dan mungkin juga terjadi oedem di

bawah kulit maupun serosa (Subronto, 2006).

4. Gejala Klinis

Efek dari T. evansi seperti penyakit yang lain pada trypanosoma di

mamalia, termasuk demam, anemia, kehilangan nafsu makan dan berat badan,

penurunan kesehatan dan produksi, gejala abnormal pada sistem saraf, cachexia,

dan kematian dengan atau tidaknya gejala yang khas pada spesies host (Gardiner

and Mahmoud., 1990). Efek sangat penting dari Surra adalah penurunan sistem
imun, yang mana akan terlihat di bagian selanjutnya. Surra pada dasarnya

merupakan penyakit pada unta dan kuda, yang mana memperlihatkan tanda yang

khas tetapi efek dari penyakit yang bervariasi tergantung pengawasan pada hewan

domestik dan hewan liar.

4.1 Surra pada Unta dan Kuda

Gejala yang dapat ditimbulkan pada kuda ataupun unta yaitu adanya gejala

akut berupa demam tinggi, anemia, kelemahan / lesu dan dalam beberapa bulan

dapat menyebabkan kematian, tapi penyakit ini bisa bertahan 2 - 3 tahun ini disebut

Tibersa (Parsani et al., 2008). Tanda-tanda dari penyakit ini dalah dimana hewan

mengalai demam interminten yang mencapai 41o C, dalam kurun waktu seminggu

hewan akan mengalami kepucatan serta stress dan selanjutnya akan diikuti dengan

rontoknya bulu/ rambut, turunya nafsu makan dan berat badan, aborsi pada hewan

bunting, oedema (bagian perut, ambing atau skrotum, dan selubung), anemia

dengan lender, dan petekie atau perdarahan echymos. Semua kelompok usia dapat

terinfeksi surra, pada umumnya mulai terjadi setelah penyapihan (Stephen., 1986).

4.2 Surra pada Sapi dan Kerbau

Pada sapi maupun kerbau penyakit surra kadang kadang tidak menimbulkan

gejala spesifik yang dimana tingkat kematiannya mencapai 90 % (Gill., 1977).

Dampak umum yang dapat diakibatkan oleh surra ialah anemia, kekurusan yang

mengarah ke gangguan dalam siklus estrus, aborsi, dan gangguan produksi susu

(Payne et al., 1993). Di Thailand, tanda-tanda klinis dicatat dalam kerbau adalah
demam, kekakuan, konjungtivitis, kekurusan, edema (pembengkakan kaki),

inappetence, dyspnea, anemia, penyerahan diri, diare, aborsi, dan kematian. Gejala

pada sistem saraf menunjukan meningoencephalitis. (Marc Desquesnes et al.,

2013).

4.3 Surra pada Kambing dan Domba

Infeksi alami tidak terlihat gejala khusus, tapi biasanya gejala surra terutama

demam (40°C), kurang nafsu makan, dan anemia. Selama hipertermia, modifikasi

perilaku seperti kelelahan atau agresivitas tiba-tiba telah diamati; anemia bisa surut

setelah 2 bulan; parasitemia umumnya rendah (105 parasit / mL) dan menurun

sampai tidak terdeteksi selama beberapa bulan. Namun, dalam kondisi tertentu

seperti pembatasan makanan atau transportasi stres, parasit bisa kambuh ke dalam

darah dan tanda-tanda klinis muncul kembali (Boehtinger and Prosen., 1961;

Desquesnes., 1997), pada nfeksi eksperimental domba dengan isolat Nigeria T.

evansi, akut dan evolusi kronis yang diamati, dengan demam, selaput lendir pucat,

epifora, kehilangan nafsu makan, kekurusan, kusam, dan mantel berambut kasar; di

evolusi akut binatang mati dalam waktu 2 minggu; Pengamatan postmortem

menunjukkan pembesaran limpa dan kelenjar getah bening (Audu et al., 1999).

Sedangkan pada kambing memiliki kerentanan yang rendah terhadap penyakit ini

(Rottcher et al., 1987), gejala yang ditimbulkan hampir sama seperti pada domba

tetapi pada beberapa kejadian bisa juga terdapat peradangan sendi (Gutierrez et al.,

2004).
4.4 Surra pada Babi

Infeksi pada babi telah lama dilaporkan sebagai sangat ringan atau tanpa

gejala; Namun, gejala-gejala seperti demam, anoreksia, kekurusan, dan aborsi.

Infeksi babi sering kronis dengan tidak hanya demam intermiten, anemia,

kehilangan berat badan, aborsi, dan ruam kulit, tetapi juga lambat dalam

penerimaan rangsang, dan kelumpuhan kaki belakang (Arunasalam et al., 1995).

4.5 Surra pada Karnivora

Anjing sangat rentan terhadap T. evansi, dan mereka sering menunjukkan

tanda-tanda klinis yang kuat menyebabkan kematian, kadang-kadang dalam

seminggu dan paling sering dalam waktu satu bulan dalam kasus akut (Gill., 1977),

terutama pada anjing liar yang tidak diobati (Herrera et al., 2004) dan juga kadang-

kadang bahkan meskipun perawatan klinis tanda-tanda demam intermiten (39°C-

41°C), edema di kepala, termasuk laring (dibedakan dari rabies), edema dinding

perut dan kaki, anemia, kelemahan, kurang nafsu makan menyebabkan kekurusan

dan, kadang-kadang, paresis di bagian belakangnya. Selain itu kasus myocarditis

dan tanda tanda gairah seksual juga telah dilaporkan dalam beberapa kasus. Tanda-

tanda pada mata adalah paling sering ditemukan pada anjing, dengan konjungtivitis,

lachrymation, keratitis, opacity kornea, dan / atau tanda-tanda perdarahan, yang

dapat menyebabkan fibrin deposito di ruang anterior mata (Savani et al., 2005).
4.6 Surra pada Hewan Liar

Penyakit surra ini juga menyerang beberapa hewan liar diantaranya yang

pernah dilaporkan adalah seperti kelelawar vampir, capybaras, coatis, babi hutan,

rusa, dan hewan pengerat. Tanda-tanda klinisnya ialah anoreksia, kelemahan,

ataksia, dan anemia, sedangkan otopsi mengungkapkan perikarditis, splenomegali

dan gastritis colitis dan enteritis (Reid et al., 2001). Pada badak sumatera gejala

yang dapat ditimbulkan dari surra ini seperti depresi, anoreksia, inkoordinasi,

tremor otot, perdarahan hidung, lemas, dan sesak napas diikuti dengan kematian

(Khan et al., 2004).

5. Distribusi Penyakit

Surra dari Marathi berarti nafas berat melalui lubang hidung merupakan

penyakit yang menyerang mamalia. Surra adalah sebuat penyakit yang bersifat akut

dan kronis yang umunya fatal jika tidak diobati. Penyakit surra ini desebabkan oleh

parasit protozoa darah trypanosoma evansi. Merupakan penyakit mamalia

trypanosoma yang pertama dijelaskan di dunia oleh Griffith Evans, 1880 pada darah

kuda India dan unta. Awalnya penyakit ini ditemukan pada unta tetapi

perkembanganya merabah ke hospes lainnya seperti kuda, anjing dan lainnya (Marc

Desquesnes 2013). Penyakit surra ini bersifat zoonosis (Powar et all 2013)

Trypanosoma evansi diduga berasal dari T. brucei (siklis ditularkan oleh lalat

tsetse), tetapi tidak lagi mampu menjalani siklus di Glossina karena hilangnya

maxicircles dari kinetoplastic DNA mitokondria. Ketika fenomena ini terjadi tidak

diketahui, dan beberapa penulis bahkan baru-baru ini menyarankan bahwa mungkin
telah terjadi dalam beberapa kasus. Penyebaran awal T. evansi arah timur, analisis

data historis menunjukkan bahwa surra sudah hadir di India sejak zaman dahulu,

setidaknya VIII abad SM, dan ternak yang harus menderita dalam ketiadaan

pengobatan. Hal ini hadir di iklim sub-Sahara dan Mediterania tetapi dapat

ditemukan di daerah beriklim serta gurun gersang dan stepa semi kering. (Marc

Desquesnes et all 2013). Adapun penyebaran dari trypanosoma evansi meliputi

daerah pertama ditemukan Afrika bagian utara, Asia barat, tengah, selatan, tenggara

dan amerika selatan.

Gambar 2. Lalat Penyebar Surra

Penularan T. evansi secara mekanis, non-siklis, dengan lalat haematophagus

seperti horseflies (Tabanus), lalat yang stabil (Stomoxys) dan Haematobia sp yang

endemik di Afrika, Asia dan Amerika Selatan; meskipun di Amerika kelelawar

vampir juga bertindak sebagai vektor serta waduk host (Urquhartet al., 1996).
6. Diagnosa

Dikarenakan gejala klinis infeksi T. evansi tidak bersifat khas

(patognomonis), maka pemeriksaan gejala klinis sebaiknya juga ditunjang dengan

pengujian di laboratorium untuk konfirmasi agen penyebab. Uji parasit, uji serologi

dan uji molekuler merupakan teknik pengujian yang digunakan untuk diagnosis

konfirmatif di laboratorium. Uji parasit diantaranya pemeriksaan haematologi,

Hematocrit Centrifugation Technique (MHCT) dan mouse inoculation test (MIT)

(Woo PTK., 1969). Uji serologi dapat dilakukan dengan metode card agglutination

test for trypanosomes (CATT) dan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA),

sedangkan uji molekuler menggunakan polymerase chain reaction (PCR).

Pemeriksaan haematologi dengan teknik ulas darah tipis terkadang mengalami

hambatan karena agen T. evansi hanya dapat dideteksi pada saat terjadi parasitemia

yang tinggi. Sedangkan pada kasus infeksi yang berjalan kronis, diperlukan

pemeriksaan ulas darah tebal, MHCT dan MIT. Diagnostik terhadap

trypanosomiasis, pengujian dengan teknik CATT memiliki sensitifitas lebih tinggi

dibandingkan teknik MIT dan MHCT. Disamping itu, teknik CATT dapat

digunakan untuk melakukan uji tapis (screening test) dan kemudian dapat

dilanjutkan dengan uji PCR untuk konfirmasi agen T. evansi (Desquesnes et al.,

2011).
7. Pengobatan

Biasanya pengobatan hanya diberikan secara individual kepada hewan yang

diduga terinfeksi dengan obat trypanocidal, berdasarkan dari gejala klinis sakit,

akan tetapi untuk hewan karier masih sulit, karena tidak menunjukkan gejala.

Rendahnya sensitivitas tes secara parasitology dan gejala klinis yang tidak spesifik

menyebabkan pengobatan tidak dapat diaplikasikan secara efektif. Obat

trypanocidal yang sudah digunakan untuk mengobati penyakit Surra di berbagai

negara adalah: suramin, diminazene, isomedium, quinapyramine dan cymelarsan.

Diminazen telah berhasil baik untuk pengobatan Surra pada sapi dan kerbau di

India, Vietnam, Thailand dan Indonesia. Isomedium dipakai di Malaysia dan

Vietnam. Beberapa penelitian melaporkan adanya resistensi obat terhadap beberapa

strain Tripanosoma di Vietnam (Stevenson et al., 1985), terbukti hampir semua

isolate yang ada di BBalitvet resisten terhadap isometamidium dan sebagian isolat

resisten terhadap Diminazen azeturat (Sukanto., 1994). Sampai saat ini ternyata

hanya Suramin yang efektif untuk pengendalian Surra, karena tidak menimbulkan

resistensi dan mempunyai efek residual selama tiga bulan sehingga dapat digunakan

sebagai pencegahan dan pengendalian, namun demikian obat ini sulit diperoleh dan

jika ada harganya sangat mahal (Muharsini et al., 2006). Oleh karenanya

pengobatan terhadap Trypanosomiasis (Surra) selayaknya dilakukan secara

strategis yaitu pada awal terjadi infeksi agar penyakit tidak menyebar dan perlu

dicarikan obat alternative yang murah, efektif, mudah aplikasinya serta mudah

didapat. Untuk menyembuhkan infeksi T. evansi pada kuda dan anjing WHO

menganjurkan pemakaian kuinapiramin (antrycide), diberikan secara subkutan


sebagai sulfat yang dilarutkan dalam konsentrasi 10% dalam air dingin; dosisnya 5

mg/kg berat badan. Suramin larutan 10%, dosis 10 mg/kg berat badan, disuntikkan

IV. Diminazene aceturat, dosis 3,5 mg/kg, disuntikkan IM, dan Isometamedium,

dosis 0,25 – 0,5 mg/kg disuntikkan IM (Subronto., 2006).

8. Pencegahan

Pencegahan dapat dilakukan dengan pembasmian serangga penghisap darah

dengan tindakan penyemprotan kandang dan ternak dengan Asuntol atau insektisida

lain yang aman bagi ternak, pembersihan tempat yang basah dan rimbun,

pengeringan tanah dan penertiban pembuangan kotoran dan sampah sisa makanan

ternak, pemotongan hewan yang sakit di malam hari untuk menghindari lalat.

Ternak yang sakit dapat dipotong dan dikonsumsi dibawah pengawasan dokter

hewan. Pengangkutan ternak sakit ke Rumah Potong Hewan (RPH) hanya dapat

dilakukan pada malam hari untuk menghindari penyebaran oleh lalat. Seluruh sisa

pemotongan harus dibakar dan dikubur dalam-dalam setelah pemotongan (Astiti,

2010).
Kesimpulan

Penyakit surra merupakan penyakit yang disebabkan oleh trypanosome

evansi dan dapat menyerang hewan vertebrata jenis apapun. Penyakit ini tergolong

PHMS atau penyakit hewan menular strategis dan sangat berbahaya karena bersifat

akut dan kronis, juga tidak memiliki gejala yang spesifik. Penyebaran penyakit ini

sendiri tergantung pada vector penyebarannya. Epidemiologi dari penyakit ini telah

meyebar mulai dari afrika, asia tengahm selatan dan tenggara, dan juga amerika

selatan. Siklus hidupnya sendiri dapat beberapa fase leismania. Leptomonas,

kritidia dan trypanosome. Siklus penularannya terjadi karena 2 vektor yaitu vektor

mekanik yang melalui perantara lalat dan biologis melalui perantara daging dan

darah.

Gejala klinis yang dapat ditimbulkan dari infeksi trypanosome evansi ini

berbeda beda setiap hospes tetapi tidak memiliki gejala yang amat spesifik.

Umumnya gejalanya berupa demam tinggi berulang yang diikuti dengan gejala

sekunder berupa anorexsia, kelemahan, aborsi, kekurusan dan penurunan produksi.

Diagnose yang dapat dipakai untuk mendeteksi adanya trypanosome ialah dengan

melakukan uji serologi dapat dilakukan dengan metode card agglutination test for

trypanosomes (CATT). Pencegahan tentunya mengendalikan factor lingkungan dan

security kandang. Sedangkan pengobatan dapat diberikan antrycide secara sub

cutan, suramin secara intra vena, diminazeneacceturat secara intra musculara, dan

isometadium secara intra muscular.


Daftar Pustaka

Arunasalam, V., P. Chandrawathani., and S. Sivanandan. An Outbreak of


Trypanosoma evansi infection in pigs. Malaysian Journal of Veterinary
Research. Vol.7. pp.71-73.

Astiti, L.G.S. 2010. Petunjuk Praktis Manajemen Pencegahan dan Pengendalian


Penyakit Pada Ternak Sapi. Kementerian Pertanian Badan Penelitian Dan
Pengembangan Pertanian Balai Besar Pengkajian Dan Pengembangan
Teknologi Pertanian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB. Hal 10.

Audu, P.A., K.A.N. Esievo., G. Mohammed., and O.J. Ajanusi. 1999. Studies of
Infectivity and Pathogenicity of an Isolate of Trypanosoma evansi in
Yankasa sheep. Veterinary Parasitology. 86(3). pp.185-190.

Boehringer, E.G., and A.F. Prosen. 1961. Transmision experimental del Mal de
Caderas. Anales del Instituto de Medicina Regional Argentina. Vol. 5.p.69.

Chandra, K., S. Halder., A. Raha., P. Parui., D. Banerjee. 2015. Tabanid flies


(Insecta: Diptera) from Chhattisgarh, India. Journal of Threatened Taxa.
7(10): 7720-7725.

Civas. 2014. Trypanosomiasis (Surra).


http://civas.net/2014/02/25/trypanosomiasis-surra/2/ [17 April 2019]

Coura, J.R, and J. Borges-Pereira. 2010. “Change disease: 100 years after its
discovery. A systemic review”. Acta Tropical. Vol.115. no 1-2. Pp. 5-13.

Desquesnes, M. 1997. Les Trypanosomoses du betail en Amerique Latine, etude


speciale dans le Plateau des Guyanes [Ph.D. thesis]. Lille II University.
P.409.

Desquesnes, M., K. Kamyingkird., T. Vergne., N. Sarataphan. R. Pranee., S.


Jittapalapong. 2011. An Evaluation of Melarsomine Hydrochloride Efficacy
for Parasitological Cure in Experimental Infection of Dairy Cattle with
Trypanosoma evansi in Thailand. Parasitology. 138(9):1134-1142.

Dwinurmijayanto. 2011. Parasitologi [online] [Diakses tanggal 17 April 2019]


tersedia pada: http://www.doctoc.com/docs/101453419/PARASITOLOGI#

Gardiner, P.R., and M.M. Mahmoud. 1990. In Salivarian Trypanosomes Causing


Disease in Livestock Outside Sub-Saharan Africa Parasitc Protozoa. J.R
Baker. Academic Press. New York. USA. Vol 3. Pp.1-68.

Gill, B. 1977. Trypanosomes and Trypanosomiases of Indian Livestock. ICAR:


Indian Council of Agricultural Research. New Delhi. India. 1st edition.
Gutierrez, C., J.A. Corbera., M. Morales., and P. Buscher. 2004. Performance of
Serological Tests for Trypanosoma evansi in experimentally inoculated
goats. Annals of the New York Academy of Sciences. Vol 1026. Pp.152-153.

Herrera, H.M., A.M.R. Davilla., A. Norek. 2004. Enzootiology of Trypanosoma


evansi in Pantanal. Veterinary Parasitology. Brazil. 125(3-4). pp.263-275.

Hoare, C.A. 1972. The Trypanosomes of Mammals: A Zoological Monograph.


Blackwell Scientific Publications. Oxford. UK.

Kalbuadi, Z.G., D.S. Pahlawan., G. Alvernita., D. Lukitaningsih., K.O. Khairani.,


Supriyono., U.K. Hadi. 2016. Keanekaragaman Spesies Lalat Tabanidae
Sebagai Vektor Trypanosoma Pada Badak Jawa di Dua Desa Penyangga
Taman Nasional Ujung Kulon. FKH Universitas Nusa Cendana. Kupang.
21-29.

Khan, M., T. Foose., and N. van Strien. 2004. Asian Rhino Specialist Group Report.
Pachyderm. 36(2). 11-13.

Marc Desquesnes., P. Holzmuller., De-Hua Lai., A. Dargantes., Zhao-Rong Lun.,


and S. Jittaplapong. 2013. Trypanosoma evansi and Surra: A Review and
Perspectives on Origin, History, Distribution, Taxonomy, Morphology,
Hosts, and Pathogenic Effects. BioMed Research International.

Muharsini, S., L. Natalia., Suhardono dan Darminto. 2006. Inovasi Teknologi


dalam Pengendalian Penyakit Ternak Kerbau. Makalah disampaikan pada
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau di Indonesia. Diselenggarakan
oleh Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan,
Dirjen Peternakan, di Sumbawa 4-5 Agustus 2006.

Nevill, E.M., B.R. Stuckenberg., R.J. Phelps. 1994. Vectors: Tabanidae. In:
COETZER, J.A.W. and R.C. TUSTIN. (eds.) Infectious disease of
livestock. Cape Town: Oxford University Press.

Parsani, H.R., H.R.S.V., and R.R. Momin. 2008. Common Parasitic Disease of
Camel. Veterinary World. 1(10):pp.317-318.

Pathak, K.M., Y. Singh., N. van Meirvenne., M. Kapoor. 1997. Evaluation of


various diagnositic techniques for Trypanosoma evansi infections in
naturally infected camels. Vet Parasitol. 69:49-54.

Payne, R.C., I.P. Sukanto., K. Bazeley., and T.W. Jones. 1993. The Effect of
Trypanosoma evansi Infection on the Oestrous Cycle of Friesian Holstein
Heifers. Veterinary Parasitology. 51(1-2). Pp.1-11.
Reid, S.A., A. Husein., S. Partoutomo., and D.B. Copeman. 2001. The
Susceptibility of Two Species of Wallaby to Infection with Trypanosoma
evansi. Australian Veterinary Journal. 79(4). 285-288.

Rodgers, J. 2009. “Human African Trypanosomiasis, Chemotherapy and CNS


disease”. Journal of Neuroimmunology. Vol 211. No 1-2. Pp. 16-22.
Rottcher, D., D. Schillinger., and E. Sweygarth. 1987. Trypanosomiasis in the
camel. Revue Scientifique et Technique (Office International des
Epizooties). Vol. 11. Pp.285-294.

Savani, E.S., V.L. Nunes., E.A. Galati. 2005. Ocurrence of co-infection by


Leishmania (Leishmania) chagasi and Trypanosoma (Trypanozoon) evansi
in a dog in the state of Mato Grosso do Sul. Memorias do Instituto Oswaldo
Cruz. Brzil. 100(7). 739-741.

Soulsby. 1982. Helminth, Arthropods, and Protozoa of Domesticated Animals.


Seventh Edition. Lea & Febiger. Philadelphia.

Stephen, L. 1986. Trypanosomiasis: A Veterinary Perspective. Pergamon Press.


New York. USA.

Stevenson, P., S. Partoutomo., A.J. Wilson., I. Prasetyawati., and A. Day. 1985.


Trypanosomiasis in Indonesia with Particular Reference to Chemotherapy.
Proc. 18th Meet. Int. Sci. Council for Trypanosomiasis Research and
Control, 4-9 March, Harare, Zimbabwe.

Subronto. 2006. Penyakit Infeksi Parasit & Mikroba pada Anjing & kucing.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Sukanto, I.P. 1994. Petunjuk Parasit Darah Trypanosoma, Babesia dan Anaplasma
dan Ringkasan Hasil Seminar Penelitian Parasit Darah Pada Ruminansia
Besar di Indonesia. Proyek Kerjasama Balivet-ODA (1986-1992).
Puslitbang Peternakan. Bogor. 3-31.

Vellayan, S., A. Mohamad., R.W. Radcliffe., L.J. Lowenstine., J. Epstein., S.A.


Reid., D.E. Paglia., R.M. Radcliffe., T.L. Roth., T.J. Foose. 2004.
Trypanosomiasis (Surra) in the captive Sumatran Rhinoceros (Dicerorhinus
Sumatrensis) in Peninsular Malaysia. [Proceeding]. 11th International
Conference Of The Association Of Institutions For Tropical Veterinary
Medicine And 16th Veterinary Association Malaysia Congress: 23-27
Augustus 200: SUNWAY PYRAMID CONVENTION CENTER.
PETALING JAYA. Hlm 187-189.

Woo PTK. 1969. The Haematocrit Centrifuge for the Detection of Trypanosomes
in Blood. Canadian Journal of Zoology. 47(5):921-923.

Anda mungkin juga menyukai