Anda di halaman 1dari 40

VIROLOGI

INOKULASI DAN PANEN VIRUS PADA

TELUR AYAM BEREMBRIO

KELOMPOK 7

I GUSTI NGURAH TEJA PRATAMA (P07134016001)

NI PUTU HENY YUDIANI LESTARI (P07134016006)

NI KOMANG SETYANINGSIH (P07134016013)

NI KOMANG TRISNA UTAMI (P07134016017)

KADEK DWIYANTI WAHYUNI (P07134016024)

NI KOMANG AYU ANDRENA PARMITA DEWI (P07134016028)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHTAN DENPASAR

JURUSAN ANALIS KESEHATAN

2018
BAB. I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Virus adalah organisme submikroskopik, yang dapat diintroduksi ke


dalam sel-sel hidup yang spesifik serta berkembang biak hanya di dalam sel
hidup saja. Bawden mengatakan bahwa virus merupakan wujud
submikroskopik yang infektof dan dapat berkembang biak hanya dalam sel
hidup dan dapat menimbulkan penyakit. Virus dapat dipisahkan dari sel inang
menjadi molekul-molekul mikroprotein dan dari keadaan murni ini virus
dikatakan dalam fase pasif (1).

Virus menunjukkan ciri kehidupan hanya jika pada sel organism lain
(sel inang). Sel inang virus berupa bakteri, mikroorganisme eukariot (seperti
protozoa dan khamir), sel tumbuhan, sel hewan, dan sel manusia. Virus yang
menyerang tumbuhan dapat masuk ke dalam tumbuhan inang, melalui
perantara serangga (vektor). Virus yang menyerang hewan atau manusia
dapat memasuki tubuh inang misalnya melalui makanan, minuman, udara,
darah, luka atau gigitan (1).

Menurut hipotesis virus sudah menjadi parasit sejak organisme


selullar pertama. Selanjutnya sejalan dengan evolusi organisme viruspun
mengalami evolusi dan tetap bertahan parasit hingga saat ini. virus mampu
menyebabkan berbagai macam penyakit dan dapat menyebar di antara
organisme, para peneliti pada akhir 1800-an menganggap ada kesamaan
antara bakteri dan mengajukan virus sebagai bentuk kehidupan yang paling
sederhana. Akan tetapi virus tidak dapat bereproduksi atau melaksanakan
aktivitas metabolisme di luar sel inang. Kebanyakan ahli biologi yang
mempelajari virus saat ini mungkin akan setuju bahwa virus tidak hidup,
namun berada di wilayah abu-abu antara bentuk kehidupan dan zat kimiawi
(2)

Semakin berkembangnya zaman, virus bersifat patogen yang


menginfeksi manusia bahkan hewan yang memberikan dampak pada
kehidupan manusia yang dapat meningkatkan angka kesakitan maupun pada
bisnis unggas. Dalam rangka menegakkan diagnosis penyakit pada unggas
maupun pada manusia dapat dilakukan dengan isolasi virus penyebab
penyakit terkait. Isolasi dan propagasi virus dapat dilakukan dengan
menggunakan telur berembrio (in ovo). Pemilihan rute inokulasi dan umur
embrio yang akan digunakan ditentukan oleh selektivitas virus terhadap
membran tertentu atau fase perkembangan embrio. Virus sebagai makhluk
hidup dapat dikembangbiakan di sautu laboratorium dengan teknik
tertentu, seperti kultur sel atau jaringan Kultur sel diperoleh dengan cara
menumbuhkan sel yang diambil secara aseptik dari organ tubuh hewan
percobaan. Sel dari organ tersebut kemudian dipisah - pisahkan dengan
menggunakan enzim yang kemudian ditumbuhkan pada permukaan cawan
petri. Sel - sel tersebut kemudian menghasilkan substrat semacam
glikoprotein yang berfungsi untuk menempelkan sel pada permukaan
meida setelah diinkubasi pada temperatur ruangan. Media yang
digunakan untuk kultur sel terdiri dari asam amino, vitamin, garam, gula
dan buffer bikarbonat. Untuk memperoleh hasil yang lebih baik, maka
ke dalam medium ditambahkan serum dalam jumlah yang sedikit (2). In
vitro pada sel yang ditumbuhkan dalam bentuk potongan organ (biakan
organ), potongan kecil jaringan (biakan jaringan), sel-sel yang telah
dilepaskan dari pengikatnya (biakan sel). Biakan organ dan biakan jaringan
hanya dapat bertahan dalam beberapa hari sampai beberapa minggu saja.
Sedangkan biakan sel dapat bertahan beberapa hari sampai beberapa waktu
yang tak terbatas, tergantung pada jenis biakan. Virus dapat
dikembangbiakan pada telur ayam yang sudah berisi embrio dengan
cara menyuntikkan biakan virus tersebut dengan alat khusus dan
kemudian diinkubasikan, sehingga terbentuklah virus-virus baru (3).

Pembuatan inokulum Usapan hidung (Cotton Swab) yang disimpan


didalam ampul-ampul yang berisi tansport media diputar atau disentrifugasi
dengan kecepatan 3.000 rpm selama 30 menit. Supernatannya diambil dan
digunakan sebagai inokulum untuk diinokulasikan pada telur ayam betunas
umur 1 1 hari. Untuk semua organ antara lain yaitu Otak, Trachea, Limpa,
Proventrikulus, Ginjal, Limpa, Usus, Caecal Tonsil yang disimpan didalam
transport media secara terpisah digerus hingga halus dengan menggunakan
mortal dan paste kemudian ditambahkan PBS yang mengandung antibiotik
(Penstrep 1000 IU) dijadikan larutan 10% , larutan tadi disentrifugasi dengan
kecepatan 3.000 rpm selama 30 menit dalam suhu 4°C.Supernatan diambil
dan dipakai sebagai inokulum yang siap untuk ditumbuhkan kedalam telur
ayam bertunas umur 11 hari (3).

Penyakit yang disebabkan oleh Virus salah satunya avian influenza


(AI) terbagi atas tiga tipe, yaitu tipe A, B, dan C, berdasarkan atas perbedaan
antigen pada protein inti (nucleoprotein) dan protein matriks. Virus influenza
A dapat menginfeksi berbagai spesies unggas, mamalia, dan manusia, dan
merupakan patogen utama yang berperan dalam pandemi influenza di seluruh
dunia. Virus influenza A dikelompokkan berdasarkan pada dua antigen
permukaan virus, yaitu protein hemaglutinin (HA) dan protein neuraminidase
(NA), yang sampai saat ini telah ditemukan 18 HA (H1-H1) dan 11 NA (N1-
N11). Identifikasi dan karakterisasi virus AI dapat dilakukan dengan beberapa
cara, baik secara konvensional maupun dengan metode diagnosis secara
molekuler. Penggunaan mikroskop elektron, kultur jaringan, isolasi virus
pada telur ayam bertunas yang specific pathogen free (SPF) dan pemeriksaan
secara serologis sudah umum dilakukan (4).

Virus Hepatitis dapat didefenisikan sebagai suatu proses


nekroinflamatorik yang mengenai sel-sel hati. Prosesnya sendiri dapat
disebabkan oleh berbagai hal seperti oleh virus, bahan kimia, obat-obatan
dan lain-lain. Saat ini vrus yang mengakibatkan hepatitis diketahui
ada tujuh macam yaitu virus hepatitis A,B, C, D, E, G dan yang terakhir
TT. Hepatitis yang disebabkan oleh virus hepatitis B pertama kali
ditemukan oleh Blumberh tahun 1965. Penelitian Blumberh
menunjukkan adanya antibodi yang dihasilkan terhadap senyawa
poliprotein dari dua orang penderita hemopili yang sering
mendapatkan transfusi darah, mereka memiliki antibodi yang dapat
bereaksi dengan antigen dari seorang aborigin Australia (4).
Alat untuk deteksi virus adalah PCR adalah suatu teknik sintesis dan
amplifikasi Asam deoksiribosa nukleat (ADN) secara in vitro. PCR
membutuhkan template untai ganda yang mengandung ADN target (ADN
yang akan diamplifikasi), enzim ADN polimerase, nukleosida trifosfat, dan
sepasang primer oligonukleotida.Untuk merancang urutan nukleotida primer,
perlu diketahui urutan nukleotida pada awal dan akhir ADN target. Primer
oligonukleotida tersebut disintesis menggunakan suatu alat yang disebut
ADN synthesizer. Pada kondisi tertentu, kedua primer tersebut berikatan
dengan untaian ADN komplemennya yang terletak pada awal dan akhir ADN
target. Kedua primer tersebut masing-masing mengenal kedua untai ADN
tersebut dan berfungsi untuk menyediakan gugus hidroksil bebas pada
karbon. Setelah kedua primer berikatan dengan ADN template, ADN
polymerase tahan panas (tahan hingga suhu 95°C) mengkatalis proses
pemanjangan kedua primer tersebut dengan menambahkan nukleotida yang
komplemen dengan urutan nekleotida templatenya (4). Dengan melihat
pentingnya virus sebagai sumber inokulum yang berperan dalam identifikasi
perkembangan dan isolasi virus, sehingga menjadi topik utama dalam
penyusunan laporan ini.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang didapat sebagai berikut :
1.2.1 Bagaimana tekhnik dan cara inokulasi virus pada ruang alantois dan
membran allantois telur ayam berembrio?
1.2.2 Bagaimana cara mengidentifikasi telur ayam bertunas yang baik
digunakan untuk inokulasi virus.
1.2.3 Bagaimana cara mengidentifikasi embrio ayam yang telah terinfeksi
virus dan melakukan panen membran alantois TAB
1.3 Tujuan
Berdasarkan masalah yang ditentukan pada pratikum ini, adapun tujuan dari
laporan ini adalah sebagai berikut
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui teknik dan cara inokulsi virus pada ruang alantois
dan membran alantois telur ayam bertunas
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Untukdapat mengetahui cara mengidentifikasi telur ayam berembrio
bertunas yang baik digunakan untuk inokulasi virus.
b. Untuk dapat mengidentifikasi embrio ayam yang telah terinfeksi virus
dan melakukan panen cairan alantois dan membran alantois yang
mengandung virus.

1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Penulis
Menambah informasi serta pengetahuan dan wawasan penulis
mengenai cara pembuatan inokulum berasal dari swab
hidung/tenggorokan atau jaringan dengan baik dan benar serta sebagai
tugas laporan akhir mata kuliah virologi.
1.4.2 Bagi Pembaca
Meemberikan informasi serta menambah wawasan pembaca mengenai
persiapan dan pembuatan inokulum dengan baik dan benar serta
menjadi referensi bagi pembaca untuk laporan terkait.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Virus

2.1.1 Pengertian Virus

Virus adalah mikroorganisme terkecil diantara mikroorganisme lain


(bakteri, parasit, klamedia, riketsia). Ukuran virus sangat kecil (ukuran virus
20-30 nm) sehingga tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, tidak dapat
dilihat dengan mikroskop cahaya. Virus hanya bias dilihat dengan mikroskop
elektron. Namun demikian virus dapat diketahui berdasarkan atas sifat
biologinya. Virus disebut sebagai parasit obligat karena virus mutlak
memerlukan sel hidup untuk menunjuang keperluannya hidupnya, untuk
memperbanyak diri atau yang disebut bereplikasi. Virus hanya mampu
bereplikasi pada sel hidup yang disukainya, virus tidak bisa hidup dan
bereplikasi pada benda mati. Oleh karena itu perbanyakan virus hanya dapat
dilakukan dengan cara diisolasikan pada media hidup, misalnya: telur ayam
bertunas (telur berembrio), pada biakan sel atau kultur jaringan, atau
diisolasikan pada hewan percobaan atau menggunakan hospes alami (5).

2.1.2 Perbedaan Virus dengan Mikroorganisme Lain

Mikroorganisme lain yang disebut disini meliputi : parasit, bakteri,


klamedia, dan riketsia. Secara umum ada beberapa perbedaan yang mendasar
diantara mikroorganisme tersebut. Perbedaan tersebut dapat ditinjau dari
beberapa aspek, diantaranya adalah : (5).

1. Tempat hidup : Virus adalah mikroorganisme yang bersifat intraseluler,


artinya virus hanya hidup di dalam sel. Sementara mikroorganisme yang
lain dapat hidup dan berkembang di luar sel.

2. Pemilikan membran plasma : Virus tidak memiliki membran plasma,


sementara mikroorganisme yang lain memiliki membrane plasma.
3. Pembelahan biner : untuk memperbanyak diri maka virus melakukan
dengan cara bereplikasi, sementara mikroorganisme yang lain dengan cara
membelah diri secara biner.

4. Ukuran : Virus memiliki ukuran yang paling kecil diantara


mikroorganisme yang lain. Bakteri, parasit, klamidia dan roketsia dapat
melewati saringan bakteri yang menandakan ukurannya lebih besar
darivirus. Sementara itu, virus jika disaring dengan saringan bakteri maka
akan dapat melewati saringan bakteri.

5. Pemilikan Asam nukleat (DNA/ RNA) : DAN dan RNA adalah asam
nukleat virus. Virus hanya memiliki satu macam asam nukleat saja, yakni
DNA atau RNA. Sehingga virus dikelompokkan menjadi kelompok virus
DNA dan kelompok virus RNA. Berbeda halnya dengan bakteri yang
memiliki keduanya (DNA dan RNA).

6. Pemilikan Ribosom : Virus tidak memiliki ribosom, mikroorganisme


yang lain memiliki ribosom

7. Kepekaan terhadap antibiotika : Virus tidak peka terhadap antibiotika,


karenanya virus tidak dapat dibunuh dengan pemberian antibiotika.
Mikroorganisme lain terbunuh dengan pemberian antibiotika. Itulah
sebabnya untuk mengatasi penyakit virus yang lebih diutamakan adalah
upaya pencegahan dengan meberikan vaksinasi secara teratur. Pemberian
antibiotika pada penyakit virus ditujukan untuk mencegah infeksi sekunder
oleh bakteri (5).

2.1.3 Struktur dan Komposisi Virus

Virus yang paling sederhana terdiri dari genom DNA atau RNA
(sering disebut inti) serta diselubungi oleh protein yang disebut dengan
kapsid. Virus yang paling sederhana adalah Sirkovirus dengan kapsid yang
hanya disusun oleh dua protein saja, sedangkan virus pox sebagai contoh
virus kompleks tersusun atas puluhan protein. Protein kapsid dengan
genom membentuk nukleokapsid, bentuknya bermacam-macam, ada
berbentuk ikosahedral, heliks, dan komplek (5).
2.1.4 Cara Mendiagnosis Penyakit Virus

Diagnosis penyakit virus diawali dari sejarah kasus di lapangan.


Diagnosis lapang meliputi: data epidemiologi, laporan tentang gejala
klinis. Hewan yang sakit kemudian dibunuh untuk mengetahui organ yang
mengalami perubahan patologi anatomi. Organ-organ tersebut selanjutnya
dijadikan sampel untuk bahan uji di laboratorium. Selain sampel organ
dari hewan sakit, bahan untuk isolasi virus dapat pula diambil dari hewan
sehat yang dicurigai dengan melakukan pengambilan sampel dari swab
kloaka, dan swab trakea. Selanjutnya dilakukan isolasi dan identifikasi
agen penyebab penyakit. Identifikasi virus dapat dilakukan secara serologi
dan molekuler (misalnya dengan uji hemaglutinasi dan uji molekuler
dengan Polymerase Chain Reaction=PCR)(5).

2.2 Komponen Telur Ayam

Gambar 1. Komponen Telur Ayam

Sumber : Zaheer, 2015(6)

Telur terdiri dari kuning telur di tengah, dikelilingi oleh albumen,


keduanya tertutup di dalam cangkang. Formasi dan perkembangan kuning telur
terjadi di ovarium kiri ayam . Setelah ovulasi, pembentukan telur berlanjut di
meninggalkan saluran telur di mana albumen dan kemudian cangkang
diendapkan. Struktur rinci diilustrasikan dalam Kulit, albumen dan kuning telur
membentuk 9% - 12%, 60% dan 30% - 32% dari telur masing-masing. Masing-
masing untuk tottal padatan dari albumen dan kuning telur adalah 11% - 12% dan
50% - 52%. Albumen atau putih telur terdiri dari 90% air dan 10% protein. Di
dalam kuning telur adalah sel germinal (atau germinal disc). Ini adalah situs
pembelahan sel jika telur itu subur. Warna kuning telur bervariasi (kuning muda
atau kuning intens dll) tergantung pada ayam petelur diet. Namun warna kuning
telur tidak memiliki hubungan dengan nilai gizi telur. Cangkangnya adalah 94%
kalsium kristal karbonat. Struktur berpori semi-permeabel membatasi lintasan
udara dan air. Variabilitas dalam warna kulit telur adalah karena genetika ayam.
Kerang lebih sering putih atau coklat, tetapi mungkin biru atau hijau. Warna
mempengaruhi permintaan konsumen regional tetapi tidak mempengaruhi kualitas
atau rasa telur. Beberapa membran menjaga komponen telur tetap teratur. Lapisan
kulit luar, kutikula, membantu untuk mengecualikan bacteria dan debu. Selaput
kulit telur bagian dalam dan luar yang memisahkan cangkang dan albumen adalah
protein transparan membran yang memberikan pertahanan yang efisien terhadap
invasi bakteri serta landasan dasar untuk shell pembentukan. Sel-sel udara
terbentuk, antara membran luar dan dalam pada ujung tumpul telur, sebagai isi
telur. dingin dan kontrak setelah oviposisi. Sel udara tumbuh lebih besar seiring
bertambahnya usia. Chalazae, tali opak putih telur, Pegang kuning telur di tengah
telur dan tempelkan selubung kuning ke selaput yang melapisi cangkang. Vitelline
membran, penghalang transparan yang menyelimuti kuning telur, mencegah
kebocoran isi kuning telur ke dalam albumen. Komposisi telur relatif konsisten
dalam hal total protein, asam amino esensial, lipid total, fosfolitikpids, fosfor, dan
besi. Komponen lain seperti komposisi asam lemak, kandungan mineral, vitamin,
carotenoids, antioksidan, dan konten kolesterol dipengaruhi oleh diet ayam dan
lebih bervariasi. Ini Perbedaan persentase komponen dapat disebabkan oleh
ketegangan, usia, dan kondisi lingkungan. Disebabkan oleh penurunan dalam
beberapa proporsi telur saat usia ayam, kawanan diganti setelah 1 siklus produksi
oleh yang lebih muda ternak untuk menghindari perbedaan seperti itu. Namun
molting cenderung mengembalikan proporsi telur ayam umur (6).
2.3 Teknik Kultur Telur Ayam Bertunas

2.3.1 Media Isolasi Virus (Telur Ayam Bertunas)

Media yang digunakan untuk isolasi virus antara lain : telur ayam bertunas
(TAB), biakan sel, hewan percobaan maupun hospes alami.

Alasan pemilihan telur ayam bertunas sebagai media isolasi Virus antara
lain:

a. Mudah diperoleh

b. Relative bebas dari mikroorganisme pathogen

c. Peka terhadap infeksi virus ND dan AI

d. Dapat diberikan tanda (ditulis dengan pensil : kode isolat, asal isolat,
tanggal inokulasi, jenis penyakit).

Sebelum digunakan telur diperiksa (candling) terlebih dahulu dengan


menggunakan candler (teropong telur) (5).

2.3.2 Candling Telur Ayam Bertunas

Pemeriksaan telur ayam bertunas disebut candling yang dilakukan


pada ruangan gelap untuk mengamati pergerakan embrionya. Teropong
telur (candler) dihidupkan lalu telur diperiksa di depan Canler. Diamati
pergerakan ambrio dan pembuluh darahnya. Telur yang fertile ditandai
dengan pergerakan aktif dan darahnya merah. Sebaliknya telur yang
infertile tidak ada pergerakan embrio dan pembuluh darahnya tampak
hitam. Telur ayam bertunas beserta bagian-bagiannya (5).

Diperiksa telebih dahulu di dalam ruangan gelap dengan


menggunakan eggs candler atau teropong telur. Hal ini bertujuan untuk
menentukan fertilitas telur dan untuk memastikan keadaan embrio masih
dalam keadaan sehat. Caranya adalah dengan melihat gerakan embio dan
mengamati keadaan pembuluh darahnya yang masih tampak merah.
Setelah didapatkan telur yang sehat maka langkah selanjutnya adalah
membuat tanda pada kantong udara dengan menggunakan pensil. Di
bagian atas kantong udara juga diberikan tanda dengan menggunakan
pensil untuk tempat melubangi telur. Langkah selanjutnya adalah
memberikan tanda angka pengenceran virus yang akan diinokulasikan
pada setiap telur yang digunakan (7).

Gambar 2. Telur Ayam Bertunas

Sumber : Ayu & Kencana, 2017 (5).

2.3.3 Isolasi Virus pada Telur Ayam Bertunas

Jalur inokulasi yang umum dilakukan pada telur ayam bertunas


diantaranya adalah (5) :

a. inokulasi melalui ruang alantois

b. inokulaasi melalui membrane korioalantois (Chorioalantoic membrane=


CAM)

c. inokulasi kantong kuning telur (Yolk Sac)

d. inokulasi melaui ruang amnion (amnionic cavity)

e. inokulasi melalui otak (intracerebtum)

f. inokulasi melalui pembuluh darah (intra vena)

2.2.3.1 Cara inokulasi virus melalui Ruang Alantois


Telur yang digunakan biasanya berumur 9-10 hari. Jalur inokulasi adalah
sebagai berikut (5) :

a. Telur di candling untuk menentukan fertilatau tidak

b. Ditandai ruang udaranya dengan menggunakan pensil

c. Kulit telur didesinfeksi dengan alkohol 70%.

d. Dibuat lubang pada cangkang telur dengan menggunakan jarum


penusuk

e. Dilakukan inokulasi 0.2 ml inokulum/ butir telur dengan menggunakan


spuit dengan jarum berukuran 1 ml.

f. Lubang tempat suntikan tadi ditutup dengan menggunakan kuteks

g. Diberikan label pada telur tentang isolat yang diisolasikan.

h. Telur diinkubasikan di inkubator bersuhu 37ºC dan diamati setiap hari


dengan cara di canding

i. Kematian telur kurang dari 24 jam diabaikan dan dianggap telur


terkontaminasi.

j. Telur yang mati lebih dari 24 jam atau telur dengan embrio yang sudah
lemah selanjutnya dimasukkan ke almari pendingin selama satu malam.

k. Dilakukan pemanenen cairan alantois.

2.3.3.2 Cara Inokulasi Virus Melalui Membran Korioalantois (CAM)

Inokulasi melalui membrane korioalantois dilakukan untuk


mengisolasi virus –virus yang bersifat epiteliotrofik, misalnya: virus
Marek, Gumboro, Distemper, Pox, Variola, Vaccinia. Biasanya
pertumbuhan virus bersifat lambat yang ditandai dengan pembentukan pox
pada CAM (5).

Cara inokulasi CAM :


a. Telur dipilih yang fertile dan berumur 11-13 hari

b. Dilakukan candling dan ditandai ruang udaranya dengan pensil.

c. Dibuat satu tanda (x) dibagian horizontal yang dekat dengan pembuluh
darah.

d. Kulit telur didesinfeksi dengan alkohol 70 % kemudian dibuat lubang


pada posisi ruang udara alami dengan menggunakan jarum penusuk
steril.

e. Dibuat lubang satu lagi di bagian horizontal yang telah diberikan tanda

f. Udara dihisap keluar dari lubang ruang udara alami (point d) untuk
membuat ruang udara buatan pada lubang (point e)

g. Diinokulasikan 0,1 ml inokulum melalui ruang udara buatan, lalu


lubang tadi didesinfeksi dan ditutup dengan kutek

h. Telur diinkubasikan pada inkubator bersuhu 37ºC dengan posisi


horizontal, dan diamati setiap hari selama maximal 5 hari.

i. Telur dipanen dan dimasukkan ke almari pendingin (5).

2.3.4 Panen Virus

Telur yang sudah diinokulasi virus selanjutnya dikeluarkan dari almari


pendingin untuk dipanen. Sebelum dipanen disediakan alat-alat bedah yang terdiri
dari: gunting, pinset. Disiapkan pula cawan petri, tabung steril, spatula, pipet
Pasteur, sarung tangan dan masker, satu kantong plastik tempat menampung
sampah bekas panen (5).

2.2.4.1 Cara Panen Cairan Alantois

a. Telur dikeluarkan dari almari pendingin, lalu dipotong cangkang telur


pada bagian ruang udaranya secara melingkar dengan menggunakan
gunting.
b. Dikuakkan selaput korioalantoisnya dengan menggunakan pinset
sehingga tampak embrio yang dikelilingi cairan alantois berwarna jernih.
Apabila cairan alantoisnya tampak keruh itu menandakan terjadi
kontaminasi bakteri dan tidak layak untuk diuji.

c. Cairan alantois dipanen dengan cara diisap dengan pipet steril dan
ditampung pada tabung steril. Embrio ditekan dengan spatula untuk
mendapatkan cairan yang bebih banyak, lalu cairan alantois ditampung
pada tabung steril kemudian diberi label untuk di uji HA/HI (5).

2.3.4.2 Cara Panen CAM

a. Telur dikeluarkan dari almari pendingin, lalukulit telur digunting


melingkar secara horizontal.

b. Embrio dikeluarkan dari cangkang telur dan ditampung pada cawan


petri steril

c. Ambil selaput CAM yang menempel pada cangkang telur


danditempatkan pada cawan petri lain yang telah diisi PBS.

d. CAM dicuci dengan PBS, digoyang-goyangkan sampai bersih dan


diamati adanya bentuk pox pada CAM.

e. Bagian CAM yang terinfeksi (bentuk pox) kemudian dipotong dan


disimpan untuk bahan uji pada PCR atau uji AGPT (5).

2.4 Jenis Virus

2.4.1 Penyakit tetelo atau Newcastle disease (ND)

Penyakit tetelo atau Newcastle disease (ND) merupakan salah satu


penyakit menular pada unggas. Penyakit yang memiliki karakteristik mudah
menular, mudah menyebar dan dapat menyerang unggas semua umur ini
disebabkan oleh virus Newcastle Disease (VND) atau strain virulen dari avian
paramyxovirus tipe 1 (APMV-1). Virus ini termasuk dalam genus Avulavirus
anggota dari subfamili Paramyxovirinae dan famili Paramyxoviridae.
Paramyxoviridae merupakan jenis virus dengan genom untai tunggal RNA negatif
sense, panjang genomnya 15-16 kb dan mempunyai amplop dengan dua lapis
lemak (bilayer lipid membrane) dan kapsid simetris heliks,tidak bersegmen,
berdiameter 13-18 nm). Virus ini menginfeksi lebih dari 250 spesies dari 27
golongan unggas. Spesies yang biasa terinfeksi antara lain ayam, kalkun, merpati
dan bebek. Lima manifestasi klinis ND, antara lain Viscerotropic Velogenic ND
(VVND), Neurotropik Velogenic ND (NVND), Mesogenic ND, Lentogenic ND,
dan Asymthomatic(8).

a. Struktur dan karakteristik virus tetelo atau Newcastle disease (ND)

Paramyxoviridae merupakan jenis virus dengan genom untai tunggal RNA


negatif sense, panjang genomnya 15-16 kb dan mempunyai amplop dengan dua
lapis lemak (bilayer lipid membrane) dan kapsid simetris heliks, tidak bersegmen,
berdiameter 13-18 nm. Di sekeliling amplop terdapat dua jenis glikoprotein yaitu
protein haemagglutininneuraminidase (HN) dan fusion (F). Dua jenis glikoprotein
ini merupakan protein kompleks yang bekerjasama dalam proses infeksi. Diantara
membran lipid ini ada sebuah lapisan yang protein matriks (M) hydrophobic non-
glycosylated, yang tidak hanya dikaitkan dengan membran tetapi juga dengan
segmen N-terminal dari protein HN yang berlokasi di permukaan dalamnya.
Protein M diperkirakan berinteraksi dengan protein nukleokapsid (NP) yang
merakit morfologi herringbone klasik yang dapat dilihat jelas ketika membran
virus rusak. Struktur seperti herringbone terdiri dari beribu subunit NP yang
terkait erat dengan beberapa copy dari phosphoprotein (P) dan large protein (L)
(9).
Gambar 3. Skema struktur VND

Sumber : Pupimadita Tizar Afdora (2015) (9).

b. Replikasi Virus tetelo atau Newcastle disease (ND)

Proses infeksi virus dimulai dengan penempelan membran sel virus


dengan sel target. Ikatan glikoprotein HN dengan asam sialik pada permukan sel
target. menggertak protein F untuk melakukan fusi sel. Setelah fusi terjadi,
kompleks ribonukleoprotein (RNP kompleks) yang terdiri dari genom RNA yang
terbungkus oleh Nukleoprotein bekerjasama dengan komplek polimerase
membentuk protein L dan P. Nukleokapsid masuk ke sitoplasma sel. Virus ND
mempunyai genom negatif-sense RNA, maka RNA dependent RNA polymerase
(L) diperlukan untuk masuk ke dalam sel dan genom RNA diperlukan untuk
transkripsi terjadi. Positif-sense RNA intermediates terbentuk yang bertindak
sebagai mRNA. Virus menggunakan mekanisme sel inang untuk translasi protein.
Protein virus di transportasikan ke membran sel untuk pembentukan virion.
Membran sel inang dimodifikasi dan membentuk amplop virus yang baru. Protein
nukleokapsid akan tersusun dalam membran baru untuk membentuk RNP yang
kompleks. Partikel-partikel virus baru yang dibebaskan dengan budding melalui
membran sel inang. Semua peristiwa replikasi virus ini terjadi di dalam sitoplama
sel inang (9).

c. Inang (Host) virus tetelo atau Newcastle disease (ND)

Newcastle disease dapat menginfeksi lebih dari 250 spesies dari 27


golongan unggas. Sebagian jenis unggas ada yang terserang virus ini menujukkan
gejala sementara ada beberapa jenis unggas yang lain tetap tidak menunjukkan
gejala. Contoh jenis unggas yang peka terhadap penyakit ini antara lain ordo
Psittaciformes, Struthioniformes, Columbiformes, Charadriiformes, Strigiformes,
Pelecaniformes, dan Passeriformes. Sedangkan jenis unggas yang resisten ataupun
tidak menunjukkan gejala klinis walaupun terinfeksi ND antara lain golongan
Raptor dan ordo Anseriformes. Tingkat kejadian dan kematian terhadap infeksi
ND bergantung pada jenis atau strain virus yang menyerang. Selain pada
golongan Unggas, penyakit ini juga dapat menyerang manusia. Manifestasi yang
terjadi adalah konjungtivitis, oedema pada kelopak mata, dan hemoragic pada
bagian sub-conjuctival dilaporkan terjadi 24 jam setelah terinfeksi VND pada
bagian mata. Manifestasi ini dapat menjadi akut apabila manusia yang terinfeksi
memiliki kondisi immunosupresi, karena ditemukan isolat seperti APMV-1 pada
jaringan paru-paru, urin dan feses dari pasien yang meninggal karena pneumonia.
Namun sampai saat ini masih belum ada laporan bahwa penyakit in dapat
menyebar antar manusia (9).

2.4.2 Avian Influenza (AI)

Avian influenza (AI) merupakan penyakit viral akut pada unggas yang
disebabkan oleh virus influenza type A subtipe H5 dan H7. Semua unggas dapat
terserang virus influenza A, tetapi wabah AI sering menyerang ayam dan kalkun.
Penyakit ini bersifat zoonosis dan angka kematian sangat tinggi karena dapat
mencapai 100% (9).

a. Etiologi Avian Influenza (AI)

Penyebab avian influenza (AI) merupakan virus ss-RNA yang tergolong


family Orthomyxoviridae, dengan diameter 80-120 nm dan panjang 200-300 nm.
Virus ini memiliki amplop dengan lipid bilayer dan dikelilingi sekitar 500
tonjolan glikoprotein yang mempunyai aktivitas hemaglutinasi (HA) dan enzim
neuraminidase (NA). Virus influenza dibedakan atas 3 tipe antigenik berbeda,
yakni tipe A, B dan C. Tipe A ditemukan pada unggas, manusia, babi, kuda dan
mamalia lain, seperti cerpelai, anjing laut dan paus. Tipe B da C hanya ditemukan
pada manusia (9).

Virus AI tipe A tersusun atas 8 segmen gen yang memberikan 10 sandi


protein, yaitu polymerase basic-2 (PB2), polymerase basic-1 (PB1), polymerase
acidic (PA), hemaglutinin (HA), nukleoprotein (NP), neuraminidase (NA), matrix
(M) dan non-struktural (NS). Masing-masing segmen memberikan satu macam
sandi protein, kecuali segmen M memberikan sandi protein M1 dan M2, serta
segmen NS memberikan sandi protein NS1 dan NS2. Berat molekul protein
berturut-turut adalah: 87, 96, 85, 77, 50-60, 48-63, 24, 15, 26, dan 12 kDa. Protein
HA dan NA merupakan protein terpenting di dalam menimbulkan respons imun
dan sebagai penentu subtype virus AI. Berdasarkan perbedaan genetik antar virus
AI, sehingga sekarang telah diketahui adanya 16 subtipe hemaglutinin (H1-16)
dan 9 subtipe neuraminidase (N1-9) (9).

b. Sifat Alami Gen

Virus AI mudah mati oleh panas, sinar matahari dan desinfektan (deterjen,
ammonium kuartener, formalin 2-5%, iodium kompleks, senyawa fenol,
natrium/alium hipoklorit). Panas dapat merusak infektifitas virus AI. Pada suhu
56ºC, virus AI hanya dapat bertahan selama 3 jam dan pada 60ºC selama 30
menit. Pelarut lemak seperti deterjen dapat merusak lapisan lemak ganda pada
selubung virus. Kerusakan selubung virus ini mengakibatkan virus influenza
menjadi tidak infektif lagi. Faktor lain adalah pH asam, nonisotonik dan kondisi
kering. Senyawa ether atau sodium dodecylsulfate akan mengganggu amplop
tersebut, sehingga merusak protein hemaglutinin dan neuramidase. Media
pembawa virus berasal dari ayam sakit, burung, dan hewan lainnya, pakan,
kotoran ayam, pupuk, alat transportasi, rak telur (egg tray), serta peralatan yang
tercemar. Strain yang sangat ganas (virulen) dan menyebabkan Flu Burung adalah
subtype A H5N1. Virus tersebut dapat bertahan hidup di air sampai 4 hari pada
suhu 22°C dan lebih dari 30 hari pada 0°C (9).

c. Pengaruh Lingkungan

Virus AI dikenal sebagai virus yang mudah mengalami mutasi, yaitu


perubahan yang menyangkut nukleotida atau asam amino di dalam gen. Pengaruh
perjalanan waktu dan perbedaan inang telah menyebabkan perubahan tersebut
terjadi. Sebagai contoh, subtipe H5N1 yang menginfeksi manusia di Hongkong
pada 1997 mengandung 8 segmen gen virus AI yang berasal dari unggas di
Eurasia. Meskipun virus ini berhasil dimusnahkan dengan jalan membakar semua
unggas yang ada di Hongkong, tetapi gen HA muncul sebagai donor pada H5N1
angsa di Cina Tenggara. Munculnya genotipe baru ini sangat mematikan pada
ayam tetapi tidak pada itik. Selama 5 tahun berikutnya tidak ada variasi genetik
dan baru pada akhir 2002 terjadi mutasi. Tampaknya mutasi H5N1 ini menjadi
cikal bakal flu burung di Asia, terbukti menimbulkan kematian pada ayam dan
korban jiwa manusia (9).
2.4.3 Canine Parvovirus

Canine parvovirus tipe 2 (CPV-2) merupakan virus paling penting


penyebab enteritis pada anak anjing umur dua bulan (Appel et al., 1979). Canine
parvovirus berkerabat sangat dekat dengan feline panleukopenia virus (FPV),
mink eneteritis virus (MEV) dan raccoon parvovirus (RPV). Berdasarkan
pendekatan antigenesitas dan genetika, CPV tidak berhubungan dengan canine
minute virus (CnMV) yang sebelumnya diketahui sebagai CPV-1. Virus CPV-1
dapat menyebabkan kematian pada anak anjing yang baru dilahirkan. Parvovirus
memerlukan sel host ntuk bereplikasi khususnya pada inti sel. Replikasi virus
hanya terjadi pada sel yang membelah dengan cepat seperti pada sel epitel
intestinal, sel sumsum tulang, dan sel miokardium. Replikasi virus menyebabkan
kematian pada sel akibat kegagalan mitosis. Pada tahun 1980 dua varian antigenik
CPV diketahui berdasarkan identifikasi menggunakan antibodi mono-klonal yaitu
CPV-2a dan CPV-2b. Pada tahun 2000 varian CPV-2c ditemukan di Italia. Varian
ini menyebabkan enteritis hemoragis pada anjing (10).

Virus CPV diketahui mempunyai daya aglutinasi terhadap sel darah


merah babi, kera dan kucing pada suhu 4°C dan 25°C pada pH 6,0–7,2
tetapi tidak pada suhu 37°C. CPV telah diketahui tidak mengaglutinasi darah
anjing, marmot, sapi, kambing, domba, tikus, hamster, kuda, ayam, kalkun dan
manusia tipe O dan A. Konsentrasi Red Blood Cell (RBC) yang digunakan
pada uji ini juga berpengaruh terhadap titer Hemaglutinasi (HA) yang
dihasilkan. Titer HA terbesar akan diperoleh pada konsentrasi RBC babi yang
digunakan 0,5% dibanding 2%, sebaliknya titer HI tertinggi diperoleh pada
penggunaan RBC babi pada konsentrasi 2% (10).

Virus CPV akan berkembang biak dengan baik pada biakan


jaringan yang telah ditripsinasi, sesuai dengan sifat virus itu yang
menyenangi sel yang sedang aktif membelah. Virus CPV dapat berbiak
dengan baik pada beberapa jenis biakan jaringan lestari seperti crandell feline
kidney, canine foetal kidney, canine melanoma, canine fibroblastic cells,
A72 canine fibroma, dan Mardin Darby canine kidney (MDCK) dan
biakan jaringan primer fetus anjing organ ginjal, jantung, paru - paru dan hati.
Biakan jaringan yang berasal dari anjing atau kucing, CPV juga dapat
tumbuh pada biakan jaringan VERO, racoon salivary gland dan bovine foetal
spleen pada kondisi biakan jaringan tidak membentuk sel selapis (10).

2.4.4 Egg Drop Syndrome

Egg drop syndrome merupakan penyakit infeksius pada ayam betina layer
yang menifestasinya berupa penurunan produksi telur secara cepat, kegagalan
mencapai puncak produksi, telur yang berbentuk tidak teratur, kerabang lembek
atau tanpa kerabang, dan depigmentasi). Penyakit tersebut ditimbulkan oleh virus
dan telah menjadi penyebab utama penurunan produksi telur di seluruh dunia.
Virus EDS sebagai salah satu adenovirus memiliki bentuk simetris ikosahedral,
mengandung molekul linear tunggal dari double stranded deoxyribonucleic acid
(ds DNA), tidak beramplop, dan bereplikasi di nucleus membentuk benda inklusi.
Virus EDS secara ultrastruktur berukuran 76 nm hingga 80 + 5 nm dan memiliki
sisi segitiga dengan 6 kapsomer di tepi serta fiber 25 nm yang menonjol dari tiap
penton. Estimasi berat molekular DNA-nya 22,6 x 106 d. Virus EDS memiliki 13
polipeptida structural. Benda inklusi intranukleus yang dihasilkan merupakan
salah satu struktur spesifik yang dapat dihasilkan virus EDS. Ukurannya jauh
lebih besar dari partikel virus dan seringkali memiliki afinitas terhadap
pengecatan asam (2).

Virus EDS tumbuh baik pada embrio bebek dan mampu mengaglutinasi
eritrosit unggas, namun tidak mengaglutinasi eritrosit mamalia. Kemampuan
hemaglutinasinya disebabkan oleh adanya fiber, yaitu suatu trimer polipeptida.
Fiber tersebut akan membentuk ikatan dengan reseptor sel hospes dan bertindak
sebagai hemagglutinin spesifik. Fiber tersebut memiliki panjang 25 nm dan
diameter 2 nm (2).

Penyakit EDS umumnya menyerang ayam layer betina berumur lebih dari
36 minggu. Masa inkubasinya berlangsung singkat yaitu antara tiga sampai empat
hari. Penyakit EDS pada ayam broiler ditemukan pada umur lima sampai enam
minggu, tetapi bersifat subklinis. Gejala awal infeksi virus EDS berupa hilangnya
pigmentasi pada telur. Hal tersebut diikuti munculnya telur berkerabang tipis,
lembek, atau bahkan tanpa kerabang. Kerabang yang tipis seringkali memiliki
permukaan yang kasar dengan tekstur seperti pasir atau memiliki granula kasar di
salah satu ujungnya. Telur yang dihasilkan menjadi mudah pecah akibat kualitas
kerabang yang jelek. Ayam juga mengalami kegagalan mencapai target produksi
dan tertundanya waktu berproduksi. Penurunan produksi telur mirip dengan gejala
penyakit infectious bronchitis (IB), Newcastle disease (ND), dan avian influenza
(AI), namun ketiga penyakit virus ini selalu menunjukkan gejala sakit sementara
EDS bersifat subklinis. Infeksi EDS alami dapat menyebabkan penurunan ukuran
telur. Gejala lain yang dapat muncul adalah penurunan kekentalan albumin telur
bagian luar, berbeda pada penyakit IB yang semua albuminnya (luar dan dalam)
menjadi encer. Mortalitas hanya terjadi pada kasus-kasus tertentu dan kematian
tersebut disebabkan oleh salphingitis dan peritonitis (2).

2.4.5 Avian Reovirus

Avian reo (respiratory enteric orphan)-virus (ARV) merupakan agen


penyakit penting pada peternakan ayam dan kalkun di seluruh dunia. Infeksi ARV
menyebabkan kondisi multi penyakit, se perti viral arthritis, tenosynovitis,
stunting/runting syndrome, penyakit pernafasan, penyakit enteric dan
malabsorption syndrome. Virus dapat diisolasi dari berbagai jaringan, seperti
jantung, hati, limpa, ginjal, bursa, hock-joint dan sumsum tulang (11).

Avian reovirus merupakan anggota dari genus Orthoreovirus, satu dari


sembilan genera family Reoviridae. Virion ARV berukuran 70-80 nm, tidak
beramplop, berbentuk ikosahedral dan berreplikasi di dalam sitoplasma sel
terinfeksi . Selubung kapsid terdiri dari dua lapis protein dan genom virus terbagi
menjadi 10 segmen ds-RNA, yang menyandi delapan protein struktural dan dua
protein non -struktural. Segmen genom terbagi menjadi empat k elas berdasar
ukuran, yakni large (L), medium (M) dan small (S) (11).

Genom L menyandi protein lambda (λA, λB dan λC), genom M dengan


protein mu (μA, μB, μBC, μBN dan μNS) dan genom S menyandi protein sigma
(σA, σB, σC dan σNS). Protein μB, μBC, μBN, σB dan σC merupakan komponen
luar dari kapsid, sedangkan protein λA, λB, μA dan σA adalah bagian dari inti
virus. Protein λC terletak pada kedua komponen, mulai dari lapisan dalam inti
sampai lapisan luar kapsid. Protein μBC dan μBN merupakan produk site-specific
cleavage dari μB (11).
BAB III

METODE

3.1. WAKTU DAN TEMPAT

a. Waktu : Kamis, 4 Oktober 2018 pukul (14.00-16.50 wita)


Senin, 8 Oktober 2018 pukul (14.00-16.50 wita)
Kamis, 18 Oktober 2018 pukul (14.00-16.50 wita)

b. Tempat :
 Laboratorium Bakteriologi Jurusan Analis Kesehatan

3.2. ALAT DAN BAHAN

Alat
 Teropong telur
 Sample cup
 Inkubator
 Lemari es
 Pisau bedah (scalpel)
 Gunting lurus dan lengkung
 Penjepit/pinset
 Kapas
 Sarung tangan
 Bio safety Cabinet
 Refrigerator

Bahan
 Telur ayam bertunas (berembrio)
 Inokulum
 Alcohol 70%
 Kutek
3.3. CARA KERJA

a. Teknik inokulasi pada Telur Bertunas

1) Penanganan awal telur bertunas

- Telur sebaiknya memiliki cangkang yang berwarna putih

- Telur sebaiknya bebas dari mikroorganisme pathogen (SPF)

- Sebelum diinokulasi, telur dieramkan pada pengenceran


bertemperatur 370C -400C dengan kelembaban 50-70% sampai
mencapai umur tertentu

2) Pemeriksaan Telur

- Telur diperiksa pada ruangan gelap dengan menggunakan teropong


telur

- Dilihat infertilitas, keadaan embrio (tunas) apakah mati atau sehat


dan keadaan pembuluh darah pada telur tersebut

3) Pemilihan Telur

- Telur yang dipilih adalah telur dengan embrio yang masih hidup
dan sehat

4) Jalur dan teknik inokulasi telur bertunas :

a. Membran korioalantois (Chorioallantoic Membrane/CAM)

1. Diperiksa telur dengan embrio yang telah berumur 8-13 hari menggunakan
teropong telur dan ditandai daerah ruang udara alami dan daerah di salah
satu sisi telur yang bebas dari pembuluh darah

2. Dengan alat penusuk/bor telur, dibuat lubang pada cangkang telur didaerah
kantong udara secara alami dan pada daerah di salah satu sisi yang bebas
dari pembuluh darah sesuai dengan tanda sebelumnya. Pembuatan lubang
pada sisi telur tersebut hendaknya dilakukan sedemikian rupa sehingga
jarum tidak nampak menembus membran

3. Dikeluarkan perlahan-lahan udara dari ruang udara alami dengan


menghisap dari karet (rubber teat). Dengan cara demikian akan terbentuk
ruang udara buatan pada salah satu sisi telur

4. Dengan menggunakan tuberculine syringe (1ml), disuntikkan inoculum


kedalam rongga udara buatan dengan dosis 0,1-0,8 ml

5. Ditutupi lubang yang terdapat pada cangkang dengan kuteks atau paraffin.
Dan diberikan label, dieramkan pada pengeram dengan temperatur 370C-
400C pada posisi horizontal selama ±7 hari

6. Dilakukan pengamatan setiap harinya terhadap perubahan yang terjadi.

Panen Membran

1. Dimasukkan telur yang siap untuk dipanen ke dalam lemari es (-5)0C


selama beberapa jam untuk mengurangi perdarahan pada saat membuka
telur

2. Dibuka dan dipotong cangkang telur di daerah kantong udara buatan


dengan gunting, dikeluarkan isi telur dan diperhatikan apakah CAM-nya
masih melekat pada bagian dalam kulit atau ikut bersama-sama isi telur.
Kemudian diambil membrane tersebut dengan pinset dan diletakkan dalam
cawan petri

3. Diamati secara cermat adanya bercak-bercak putih (pock’s) pada CAM


tersebut.
b. Ruang Allantois (allantois cavity)

1. Digunakan telur ayam bertunas selama 8-11 hari

2. Dilakukan pengamatan telur terutama keadaan embrionya dengan


teropong. Ditandai daerah kantong udara dengan pensil

3. Dibuat lubang pada cangkang telur diatas garis perbatasan antara kantong
udara dengan daerah embrionya

4. Dilakukan inokulasi dengan menyuntikkan inoculum dengan syringe


berukuran 1 ml dan langsung dimasukkan ke ruang allantois dengan dosis
0,1-0,2 ml/butir telur

5. Ditutup lubang pada cangkang telur dengan kuteks, dan diberikan label
seperlunya, selanjutnya dieramkan kembali pada alat pengeram

6. Diamati telur setiap hari (bila perlu dua kali sehari)

Panen Cairan Allantois

1. Dikeluarkan dari inkubator telur yang embrionya telah mati setelah


diinokulasikan dengan bahan pemeriksaan dan dimasukkan ke dalam
almari es selama beberapa jam

2. Dibuka dan dipotong dengan gunting cangkang telur di daerah kantong


udara

3. Diisap cairan allantois dengan pipet pasteur atau pipet jenis lain dan
ditampung dengan tabung steril. Untuk menambahkan pengambilan
cairan allantois, maka ditekan embrio kearah samping bawah dengan
spatula.
BAB IV

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil pengamatan

TEKNIK INOKULASI HASIL KETERANGAN

Pengambilan cairan
alantois dimana,
sebelum cairan diambil
maka harus melihat
apakah terjadi
pendarahan atau tidak,
kemudian di lanjutkan
memipet seluruh cairan
alantois dengan pipet
kemudian di masukan ke
dalam tabung.

Ruang Koreoallantois

Cairan alantois yang


sudah di pipet di
masukan ke dalam
tabung evendop,
kemudian di simpan
dalam freezer. Cairan
yang berwarna agak
merah disebabkan
karena terjadinya
pendarahan di dalam
embrio , jika warnanya
bening agak keruh
berarti tidak terjadi
pendarahan.

Panen membrane
korioalantois ini dimana
embrio dikeluarkan dari
membrannya dan dilihat
apakah membrane
korioalantois melekat
dalam cangkang telur
atau ikut bersama
embrio, kemudia di
amati apakah terdapat
adanya bercak bercak
Membran putih (pock’s) pada
Koreoallantois membrane korioalantois
tersebut.

Setelah membrane
korioalantois dipisahkan
dengan embrio atau
cangkang telurnya
kemudian di cuci sampai
bersih menggunakan
larutan PBS dan di
masukan ke dalam
tabung evendop.
4.2 Pembahasan

Virus adalah mikroorganisme terkecil, bersifat sebagai parasit obligat


intraseluer yang artinya untuk dapat eksis berkembang maka virus mutlak
memerlukan sel hidup. Virus tidak dapat dibunuh dengan antibiotika, oleh
karena itu cara terbaik untuk mencegah penyakit virus adalah dengan
melakukan vaksinasi dan meningkatkan biosekuriti. Untuk mendiagnosa
penyakit virus dapat dilakukan dengan melakukan isolasi dan identifikasi
agen dari sampel hewan yang diduga terinfeksi virus (diagnosa sementara).
Sampel untuk bahan isolasi virus dapat diambil organ (pada hewan yang
dibunuh) maupun dari swab (pada hewan yang masih hidup). Identifikasi
virus dapat dilakukan secara serologi maupun secara molekuler (5).

Inokulasi virus atau isolasi virus bertujuan untuk menemukan agen


penyebab penyakit yang diduga akibat virus.Disamping itu isolasi virus dapat
dilakukan untuk memperbanyak virus misalnya untuk bahan pembuatan
vaksin.Untuk pembuatan inokulum virus diperlukan sampel bahan yang
mengandung virus untuk diisolasi.Sampel untuk bahan pembuatan inokulum
dapat diambil dari organ-organ yang mengalami perubahan menciri.Biasanya
semakin menciri perubahan patologi anatominya maka semakin tinggi pula
titer virus hasil dipanen. Sampel organ diambil dalam keadaan segar, dan
usahakan pengambilan organ seseteril mungkin. Organ ditempatkan di dalam
tabung kaca steril selanjutnya dibuat inokulum untuk diinokulasikan pada
media isolasi virus.Sampel darah juga dapat digunakan sebagai bahan
pembuatan inokulum.Pada hewan yang masih hidup, sampel pemeriksaan
dapat diambil dengan menggunakan swab.Pada unggas diambil dari swab
trakea, swab kloaka. Pada mamalia juga dapat diambil dari swab
kerongkongan, swab vagina, swab preputium(13).).Semua peralatan yang
digunakan sebaiknya sekali pakai, jika tidak harus disterilkan dengan
autoclave. Idealnya, semua langkah untuk persiapan inokulum harus
dilakukan dalam biosafety cabinet (5).

Sampel untuk bahan pembuatan inokulum diambil dari organ-organ


yang mengalami perubahan menciri.Biasanya semakin menciri perubahan
patologi anatominya maka semakin tinggi pula titer virus hasil dipanen.
Sampel organ diambil dalam keadaan segar, dan usahakan pengambilan organ
seseteril mungkin. Organ ditempatkan di dalam tabung kaca steril selanjutnya
dibuat inokulum untuk diinokulasikan pada media isolasi virus. Media yang
umum digunakan untuk isolasi virus ND dan AI adalah telur ayam bertunas
(TAB) (5).

Alasan pemilihan telur ayam bertunas sebagai media isolasi Virus ND


dan AI , antara lain:

a. Mudah diperoleh

b. Relative bebas dari mikroorganisme pathogen

c. Peka terhadap infeksi virus ND dan AI

d. Dapat diberikan tanda (ditulis dengan pensil: kode isolat, asal isolat,
tanggal inokulasi, jenis penyakit).

Pemeriksaan telur ayam bertunas disebut candling yang dilakukan


pada ruangan gelap untuk mengamati pergerakan embrionya. Teropong telur
(candler) dihidupkan lalu telur diperiksa di depanCanler. Diamati pergerakan
ambrio dan pembuluh darahnya.Telur yang fertile ditandai dengan pergerakan
aktif dan darahnya merah. Sebaliknya telur yang infertile tidak ada
pergerakan embrio dan pembuluh darahnya tampak hitam (5).

Cara inokulasi yang umum dilakukan pada telur ayam bertunas


diantaranya adalah: inokulasi melalui ruang allantois dan inokulaasi melalui
membrane korioalantois (Chorioalantoic membrane= CAM). Perbedaan
metode korioalantois dan korioalantois membran terdapat pada prosedurnya,
dimana pada metode CAS hanya dibuat lubang pada kantung hawa dan
kemudian virus di inokulasikan di cairan korioalantois. Pada metode ini
ditumbuhkan virus yang akan menimbulkan gejala klinis pada tubuh embrio.
Sedangkan pada metode CAM dibuat dua lubang yaitu pada kantung hawa
dan lokasi embrio, dimana lubang ini diperlukan untuk pembuatan kantung
hawa buatan.Kemudian virus di inokulasikan di kantung udara buatan yang
dibuat. Pada metode ini dapat ditumbuhkan virus yang akan menimbulkan
gejala klinis pada membran korioalantois telur ayam berembrio seperti pox
virus (12).

Pada Membran Korioalantois biasanya pertumbuhan virus ditandai


dengan pembentukan pox pada CAM dimana kerusakan epitel pembuluh
darah akan menghambat proses pertukaran oksigen dan karbondioksida pada
membran tersebut. Kadar oksigen yang rendah menyebabkan terjadinya
anoksia sel yang diikuti dengan proses nekrosis dan degenerasi sel.
Karbondioksida merupakan hasil metabolisme embrio yang bersifat toksik
terhadap sel, sehingga penumpukan karbondioksida pada membran
korioalantois akan mempercepat proses kematian sel (12).

Keberhasilan inokulasi virus pada telur ayam berembrio dapat


disebabkan oleh beberapa faktor seperti faktor internal dan faktor eksternal.

1. Faktor Internal
a) Umur embrio
Embrio yang berumur sekitar 7-9 hari mempunyai bagian
organ yang sempurna dan mempunyai sistem imun yang baik,
sehingga pada saat terinfeksi virus akan mudah diamati gejalanya.
b) Status Imun dan Dosis virus

Dosis virus yang diinokulasikan, semakin banyak volume


virus yang diinokulasikan, maka semakin banyak sel yang
terinfeksi, sehingga akan semakin cepat kematiannya

2. Faktor eksternal

Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi yaitu seperti temperatur,


virus yang menular dapat bertahan hidup hingga berbulan-bulan dalam
temperatur kamar pada telur ayam yang terinfeksi virus. Aplikasi rute
pemberian terhadap bagian dari telur (embrio, alantois, kantung kuning telur,
kantung hawa, amnion), virus mempunyai bagian sel tertentu untuk
menginfeksi, misalnya NDV hanya akan menginfeksi bagian yang nantinya
akan menjadi pembuluh darah seperti chorioalantois. Kemampuan
penyerapan bahan oleh embrio, dan struktur farmakologi dari bahan itu
sendiri juga dapat mempengaruhi keberhasilan inokulasi (12).

Pada praktikum yang telah dilakukan pada 27 September 2018


mengenai pembuatan inokulum.Dan setelah pembuatan inokukum
selanjutnya dilakukan tahap Inokulasi Virus Pada TAB (Telur Ayam
Bertunas) pada tahap inokulasi virus pada TAB ini dilakukan inokulasi
virus melalui ruang alantois dan membrane korioalantois (CAM).
Pada tanggal 4 Oktober 2018 dilakukan tahap inokulasi virus pada
telur ayam bertunas melalui ruang alantois.Ruang alantois ini
mengandung cairan alantois ,cairan alantoismerupakan bagian dari cairan
albumin yang sebagianbesar terdiri dari air. Senyawa yang terlarut dalam
cairan alantois akan berdifusi masuk ke dalam cairan amnion. Selanjutnya
senyawa tersebut diserap secara perlahan ke dalam tubuh embrio melalui
mulut dan trakhea sehingga tidak terjadi penumpukan senyawa dalam
embrio.Virus yang diinokulasikan ke cairan allantois telur ayam
berembrio adalah parvovirus.Parvo virus merupakan virus DNA rantai
tunggal , berukuran kecil dan tidak berkapsul.
Parvo virus yang menyerang anjing adalah Canine
Parvovirus.Canine parvovirus (CPV) adalah virus yang paling berbahaya
dan menular yang mempengaruhi anjing yang tidak terlindungi.Penularan
penyakit yang disebabkan oleh virus ini terjadi secara langsung melalui
kontak langsung dengan anjing yang sakit, sedangkan penularan tidak
langsung dapat melalui kotoran yang terkontaminasi.Anjing yang
terinfeksi canine parvovirus dapat mengeluarkan lebih dari 1 juta partikel
virus melalui feses, selama periode akut dan 8–10 hari sesudah itu.
Periode inkubasi berkisar 3–8 hari, sedangkan penyebaran virus terjadi 3
hari sebelum muncul gejala klinis (13).
Selanjutnya setelah embrio dalam telur tersebut mati maka akan
dilakukan pemanenan virus pada cairan allantois, pertama Telur
dikeluarkan dari almari pendingin, lalu dilakukan swab menggunakan
kapas alkohol pada cangkang telur, kemudian di pecahkan cangkang telur
pada bagian ruang udaranya secara melingkar dengan menggunakan
pinset kemudian Dikuakkan selaput korioalantoisnya dengan
menggunakan pinset sehingga tampak embrio yang dikelilingi cairan
alantois berwarna jernih. Apabila cairan alantoisnya tampak keruh itu
menandakan terjadi kontaminasi bakteri dan tidak layak untuk diuji dan
selanjutnya Cairan alantois dipanen dengan cara diisap dengan pipet steril
dan ditampung pada tabung steril kemudian diberi label untuk pengujian
selanjutnya dan disimpan dikulkas pada suhu -20oC.
Pada praktikum selanjutnya pada tanggal 11 Oktober 2018
dilakukan Inokulasi Virus melalui Karioalantois Membran. Injeksi
dilakukan ke dalan cairan korio-alantois untuk membuat daerah aman
sehingga lingkungan internal embrio tidak terganggu dan agar virus
mudah menyebar dan melekat pada sel yang mempunyai reseptor yang
cocok dengan virus sebab pada ruang korio-alantois terdapat banyak
pembuluh darah , yang nantinya dapat membawa virus memasuki
inangnya dan melakukan infeksi lebih cepat (5). Inokulasi melalui
membrane korioalantois dilakukan untuk mengisolasi virus–virus yang
bersifat epiteliotrofik.Virus yang diinokulasikan pada membran
korioalantois adalah jenis poxvirus.
Poxvirus (family Poxviridae) adalah keluarga virus DNA untai
ganda (dsDNA) dengan genom yang sangat besar (130–360 kb
panjangnya), biasanya mengkodekan lebih dari 150 gen per genom.
Poxviridae dibagi menjadi dua subfamili: Entomopoxvirinae, menginfeksi
serangga; dan Chordopoxvirinae, menginfeksi vertebrata. Replikasi
Poxvirus terjadi di sitoplasma, sehingga mencegah virus menggunakan
enzim nuklir dari host dan membutuhkannya untuk mengkode enzim
sendiri untuk replikasi DNA. Replikasi DNA diperlukan untuk
menyediakan templat DNA dari mana produk gen menengah dapat
diekspresikan dan pada gilirannya mengatur proses transkripsi akhir
menghasilkan protein virion. Terjadinya setidaknya sebagian dari siklus
hidup virus dalam sitoplasma tuan adalah berbagi poxvirus karakteristik
dengan semua anggota klad yang diusulkan dari virus DNA besar dari
eukariota, DNA Nucleo-Sitoplasma Besar Virus (14).
Kemudian jika embrio pada telur telah mati maka selanjutnya
dilakukan pemanenan virus pada membrane allantois, pertama telur
dikeluarkan dari almari pendingin, lalu kulit telur digunting melingkar
secara horizontal, kemudian Embrio dikeluarkan dari cangkang telur dan
ditampung pada cawan petri steril kemudian diambil selaput CAM yang
menempel pada cangkang telur dan ditempatkan pada cawan petri lain
yang telah diisi PBS dan terakhir CAM dicuci dengan PBS, digoyang-
goyangkan sampai bersih dan diamati adanya bentuk pox pada CAM,
tujuan dari penggunaan PBS karena merupakan larutan isotonis dan
mempunyai pH 7,2 dan ditampung pada tabung steril kemudian diberi
label untuk pengujian selanjutnya dan disimpan dikulkas pada suhu -
20oC.

.
BAB. V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa :

1. Panen virus pada cairan alantois, sebelumnya pastikan embrio dalam


keadaan mati dan dimasukan kedalam lemari es, kemudian potong dan
gunting cangkang telur di daerah kantong udara, dilihat apakah adanya
perdarahan atau tidak, dilanjutkan dengan isap cairan alantois dengan pipet
Pasteur dan masukan ke dalam tabung evendop.

2. Panen virus pada membrane korioalantois, dimana pastikan embrio sudah


mati dan di simpan di lemari es sebelum di lakukan panen membrane
korioalantois untuk mengurangi terjadinya perdarahan. Kemudian buka
dan potong cangkang telur di daerah kantong udara buatan dengan
gunting, kemudian keluarkan isi telur dan perhatikan apakah membrane
korioalantaoisnya masih melekat pada bagian dalam kulit atau keluar
bersama dengan isi telur. Pisahkan membrane korioalantois dan di
tempatkan pada cakram disk amati apakah terdapat bercak bercak putih
(pock’s) pada membrane korioalantois tersebut, membrane karioalantaois
dicuci menggunakan larutan PBH sampai bersih dan masukan ke dalam
tabung evendop.

5.2 Saran

Berdasarkan pratikum yang telah dilakukan mengenai inokulasi virus pada


telus ayam berembrio serta panen virus pada cairan allantois dan membrane,
penulis menyarankan dalam inokulasi virus pada telus ayam berembrio serta
panen virus pada cairan allantois dan membrane diperhatikan seetiap hal yang
dapat mempengaruhi hasil akhir inokulasi seperti higenis atau sterilnya setiap
alat dan bahan yang dipergunakan, lingkungan pendukung saat pratikum serta
kondisi sampel biopsi/jaringan yang digunakan, sehingga dapat memberikan
hasil akhir sesuai tujuan yang diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Wibowo MH, Asmara W. Isolasi dan Identifiicasi Serologis Virus Avian


Influenza Dari Sampel Unggas Yang Diperoleh di D . I . Yogyakarta dan
Jawa Tengah = Isolation and Serological Identification of Avian I. J Sain
Vet ISSN 0126-0421. 2006;24(1):77–83.

2. Fitrawati F, Wibowo MH, Amanu S, Sutrisno B. Isolasi dan Identifikasi


Egg Drop Syndrome Virus dengan Uji Hemaglutinasi dan Hemaglutinasi
Inhibisi. J Sain Vet ISSN 0126-0421. 2015;33(1):59–68.

3. Wibowo MH, Asmara W. Isolasi dan Propagasi Agen Penyebab Penyakit


dari Kasus Terdiagnosa Penyakit Infectious Laryngotraceitis (ILT) pada
Telur Ayam Berembrio. J Sain Vet ISSN 0126-0421. 2002;20(2):52–7.

4. Putra HH, Wibowo MH, Untari T, Kurniasih. Studi Lesi Makroskopis dan
Mikroskopis Embrio Ayam yang Diinfeksikan Virus Newcastle Disease
Isolat Lapang yang Virulen. J Sain Vet ISSN 0126-0421. 2012;30(1):57–
67.

5. Kencana Y. Modul Training CARA MENGISOLASI VIRUS


DANMENGIDENTIFIKASI DENGAN UJI SEROLOGI
HEMAGLUTINASI. Lab Virol Fak Kedokt HEWAN Univ UDAYANA
DENPASAR Disampaikan pada Acara Train dan Work Lab Timor Leste
Pada tanggal 13-21 Nop 2017, di Denpasar, Bali. 2017;13–21.

6. Zaheer K. An Updated Review on Chicken Eggs : Production ,


Consumption , Management Aspects and Nutritional Benefits to Human
Health. Food Nutr Sci 2015, 6, 1208-1220. 2015;6(October):1208–20.

7. Kencana Y, Suartha N, Nurhandayani A, Ramadhan M. Kepekaan Telur


Spesific Pathogen Free dan Clean Egg Terhadap Virus Flu Burung. J Vet
Maret 2014 ISSN 1411 - 8327. 2014;15(1):87–93.

8. Afdora PT. Kajian kontaminasi virus newcastle disease (vnd) dari beberapa
pasar tradisional di wilayah jawa barat dan banten. Sekol Pascasarj Inst
Pertan BOGOR BOGOR 2015. 2015;1–54.
9. Pudjiatmoko, Syibli, Muhammad N, Nurtanto S, Lubis N, Syafrison,
Yulianti S, et al. MANUAL PENYAKIT UNGGAS. Vol. Cetakan ke.
2014. 1-227 p.

10. Winaya O, Berata IK, Adi AAAM, Kardena IM. ASPEK PATOLOGIS
INFEKSI PARVOVIRUS PADA ANAK ANJING DI KOTA DENPASAR
Pathological Aspect of Canine Parvovirus Infection in Denpasar. J Kedokt
Hewan ISSN 1978-225X. 2014;8(2):85–9.

11. Rahardjo AP, Widjaja NS, Rahmahani J, Ernawati R, Rantam FA.


Identifikasi Avian Reovirus pada Ayam Penderita Tenosynovitis
menggunakan Indirect Sandwich -ELISA dan Karakterisasi Protein dengan
Western Blot. Media Kedokt Hewan. 2008;24(1):15–20.

12. Murtini S, Murwani R, Satrija F, Malole MB. Penetapan Rute dan Dosis
Inokulasi pada Telur Ayam Berembrio sebagai Media Uji Khasiat Ekstrak
Benalu Teh ( Scurrula oortiana ). JITV Vol 11 No 2 Th 2006.
2006;11(2):137–43.

13. Nandi S, Kumar M. Canine Parvovirus : Current Perspective. Indian J Virol


(Jan-June 2010) 21(1)31–44. 2010;21(1):31–44.

14. Hughes AL, Irausquin S, Friedman R. The Evolutionary Biology of


Poxviruses. Infect Genet Evol 2010 January ; 10(1) 50
doi101016/j.meegid200910001. 2011;10(1):1–22.
LAMPIRAN GAMBAR

Proses Candling

Proses Inokulasi

Panen Virus

Ruang Coreo Allantois


Coreo Allantois Membrane

Anda mungkin juga menyukai