OLEH
P07134016 017
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut tujuan dari penulisan laporan ini
adalah sebagai berikut:
1.3.1 Dapat mengetahui tentang Madu Hutan.
1.3.2 Dapat mengetahui dan melakukan uji fitokimia secara kualitatif terhadap
sampel madu hutan NTT
1.3.3 Dapat mengetahui kandungan fitokimia dalam sampel madu hutan NTT
secara kualitatif.
1.3.4 Dapat mengetahui dan melakukan uji kandungan total fenol terhadap madu
Hutan.
1.3.5 Dapat mengetahui kandungan total fenol dalam madu hutan
1.3.6 Dapat mengetahui dan melakukan uji aktivitas antioksidan terhadap madu
hutan
1.3.7 Dapat mengetahui aktivitas antioksidan dri madu hutan NTT
1.3.8 Dapat mengetahui dan melakukan uji antibakteri dari madu hutan NTT
1.3.9 Dapat mengetahui daya anti bakteri pada sampel madu NTT.
1.4 Manfaat
Penulisan laporan ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1.4.1 Bagi penulis
Dapat menjadi referensi untuk penelitian selanjutnya.
1.4.2 Bagi masyarakat
Memberikan informasi mengenai potensi Madu Hutabn NTT sebagai
antioksidan alami.
1.4.3 Bagi ilmu pengetahuan
Menambah khasanah ilmu pengetahuan mengenai antioksidan di bidang
kesehatan.
BAB. II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.BOTANI Madu
2.5 FITOKIMIA
2.5.1 ALKALOID
2.5.3 TERPENOID
2.5.4 SAPONIN
Saponin adalah suatu glikosida alamiah yang terikat dengan steroid atau
triterpena. Saponin mempunyai aktifitas farmakologi yang cukup luas
diantaranya meliputi: immunomodulator, anti tumor, anti inflamasi,
antivirus, anti jamur, dapat membunuh kerang-kerangan, hipoglikemik,
dan efek hypokholesterol. Saponin juga mempunyai sifat bermacam-
macam, misalnya: terasa manis, ada yang pahit, dapat berbentuk buih,
dapat menstabilkan emulsi, dapat menyebabkan hemolisis. Dalam
pemakaiannya saponin bisa dipakai untuk banyak keperluan, misalnya
dipakai untuk membuat minuman beralkohol, dalam industry pakaian,
kosmetik, membuat obat-obatan, dan dipakai sebagai obat tradisional.
Biarpun saponin bisa diisolasi dari binatang tingkat rendah, sebenarnya
saponin ditemukan terutama dalam tumbuhtumbuhan. Namanya diambil
dari Genus suatu tumbuhan yaitu Saponaria, akar dari famili
Caryophyllaceae dapat dibuat sabun. Saponin juga bisa didapatkan dalam
beberapa famili tumbuhan yang lain(Sri et al., 2013)
2.5.6 KUINON
2.5.7 TANIN
2.6 ANTIOKSIDAN
3. Bakteriolitik menyebabkan sel menjadi lisis atau pecah sel sehingga jumlah
sel berkurang atau terjadi kekeruhan setelah penambahan antimikrobia.
Hal ini ditunjukkan dengan penambahan antimikrobia pada kultur
mikrobia yang berada pada fase logaritmik. Setelah penambahan zat
antimikrobia pada fase logaritmik, jumlah sel total maupun jumlah sel
hidup menurun.
b. Difusi agar
Metode difusi digunakan untuk menentukan aktivitas agen antimikroba.
Piringan yang berisi agen antimikroba diletakkan pada media agar yang
telah ditanami mikroorganisme yang akan berdifusi pada media agar
tersebut. Area jernih pada permukaan media agar mengindikasikan adanya
hambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh agen antimikroba.
c. Metode dilusi
Metode dilusi dibedakan menjadi dua yaitu dilusi cair dan dilusi padat.
2) Metode dilusi padat Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun
menggunakan media padat (solid). Keuntungan metode ini adalah satu
konsentrasi agen antimikroba yang diuji dapat digunakan untuk menguji
beberapa mikroba uji.
BAB. III
METODE
Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah sampel madu hutan NTT,
pelarut teknis klroroform, asam sulfat pekat, asam sulfat 2 N, anhidrida
asetat, pelarut teknis etanol, akuades, indikator universal, kertas saring,
aluminium foil, metanol, DPPH,HCI 2%, FeCl3.6H2O 1%, asam klorida 2 N,
asam klorida 37%, etanol 95%, NaOH 2 N, sebuk Mg, reagen lieberman-
burchard, reagen mayer, reagen dragendorff, reagen Wagner, reagen follin-
Cicalteau, Na2CO3, asam galat, reagen quarcetin, AlCl3, kalium asetat 1 M,
asam askorbat, metanol, agar Muller-Hinton, kertas cakram, NaCl 0,85% ,
aluminium foil dan alkohol. Alat yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah
neraca analitik, magnetic stirer, soklet, vorteks, beaker glass, rak tabung,
tabung reaksi, labu ukur, pipet ukur, pipet volume, pipet tetes, spatula, batang
pengaduk, gelas arloji, spektrofotometer, pinset, bunsen, ose, inkubator,
densitometer, dan alat lainnya.
3.4.2 Pengujin pH
3. 8 Uji Antioksidan
Pada tahap ini dilakukan uji aktivitas antioksidan terhadap ekstrak Euchema
cottoni. Pengujian aktivitas antioksidan lanjut ini dengan menggunakan
metode DPPH. Pengukuran aktivitas antioksidan dengan metode ini
berdasarkan pada DPPH free radical scavanging activity. Sebanyak 2 mL
larutan sampel yang sudah diukur dengan berbagai konsetrasi (1600 ppm, 800
ppm, 400 ppm, 100 ppm, 50 ppm, 20 ppm) dimasukkan kedalam tabung
reaksi kemudian ditambahkan dengan 2 mL DPPH 0,1. Kemudian dikocok
dan diinkubasi pada tempat gelap pada suhu 37 selama 30 menit lalu diukur
dengan spektrofotometer UV-Vis (panjang gelombang DPPH = 517 nm).
Uji aktivitas antibakteri pada ekstrak ini dilakukan dengan metode difusi
cakram. Tahap ini diawali dengan membuat larutan dengan berbagai
konsentrasi (100, 75, 50, 25 dan 10 %), kontrol positif (antibiotik
Chloramfenikol). Diambil masing – masing 20µL dengan mikropipet dan
diteteskan pada kertas cakram, dibiarkan mengering. Selanjutnya dibuat
suspensi bakteri yang diuji (E. coli dan Staphylococcus aureus) dengan
mengambil dari biakan bakter, dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang
berisi NaCl 0,85%, kemudian dihomogenkan. Konsentrasi ini kemudian
dibaca pada densitometer, disesuaikan hingga suspensi ini mencapai 0,5 Mc.
Tahap selanjutnya, kaps steril dicelupkan pada suspensi bakteri dengan cara
menekan dan memutar kapas dinding tabung sebanyak dua kali. Kapas steril
ini kemudian diusapkan pada kapas steril secara merata pada media Muller
Hinton Agar. Biakan bakteri ini dikeringkan kemudian. Kertas cakram yang
telah berisi ekstrak, dibiarkan kering dan diletakkan pada lempeng agar MHA
dengan menggunakan pinset. Untuk mendapatkan hasil ini, selanjutnya
dilakukan inkubasi pada suhu 370C selama 24 jam.
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
4.1 RENDEMEN
Berat vial kosong : 12,3940 g
Berat vial + ekstrak : 16,5123 g
Berat ekstrak : 4, 1183 g
Berat simplisia : 50 g
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘
𝑅𝑒𝑛𝑑𝑒𝑚𝑒𝑛 = × 100%
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑖𝑚𝑝𝑙𝑖𝑠𝑖𝑎
4, 1183 g
𝑅𝑒𝑛𝑑𝑒𝑚𝑒𝑛 = × 100%
50 g
𝑅𝑒𝑛𝑑𝑒𝑚𝑒𝑛 = 8,24%
Terbentuk
endapan berwarna
merah jingga
Alkaloid
Tidak terbentuk
endapan putih
kekuningan
0,1 mg serbuk Mg
ditambah 0,4 ml
Flavonoid Positif (+)
amil alcohol dan 4
ml etanol
Terbentuk warna
kuning
Tidak terbentuk
busa
Terbentuk warna
hijau biru
Fenol
Terbentuk warna
kuning/ tidak
terbentuk warna
hijau biru
Kuinon NaOH 1 N Negative (-)
Tidak terbentuk
warna kuning
Keterangan:
C sampel : konsentrasi fenol dalam sampel yang diperoleh dari perhitungan
dengan persamaan regresi linier larutan standar (mg/L).
fp : faktor pengenceran sampel
V sampel : volume sampel ekstrak
mg sampel : massa ekstrak (mg)
𝑦 = 7,022𝑥 + 9,367
50 = 7,022𝑥 + 9,367
50 − 9.367 = 7,022𝑥
50 − 9.367
𝑥=
7,022
𝐼𝐶50 = 5.79
15
10
y = 0.0092x + 9.342
5 R² = 0.8837
0
0 500 1000 1500
X
𝑦 = 0,009 + 9,342
50 = 0,009𝑥 + 9,342
50 − 9.342 = 0,009𝑥
50 − 9.342
𝑥=
0,009
𝐼𝐶50 = 4.517,6
- 𝐴𝐴𝐼 = 8,64
- Nilai Aktivitas Antioksidan Eucheuma cottonii
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝐷𝑃𝑃𝐻
- 𝐴𝐴𝐼 = ( )
𝐼𝐶50
50 𝑝𝑝𝑚
- 𝐴𝐴𝐼 = ( 4.517,6 )
- 𝐴𝐴𝐼 = 0,011
Flavonoid
Flavonoid merupakan senyawa polar karena mempunyai gugus hidroksil
yang tak tersulih, atau suatu gula, sehingga flavonoid cukup larut dalam pelarut
polar seperti etanol, metanol, butanol dan air. Flavonoid umumnya terikat pada
gula sebagai glukosida dan aglikon flavonoid.Uji warna yang penting dalam
larutan alkohol ialah direduksi dengan serbuk Mg dan HCl pekat. Diantara
flavonoid hanya flavalon yang menghasilkan warna merah ceri kuat.Warna merah
pada uji flavonoid disebabkan karena terbentuknya garam flavilium (Wijaya, Y,
A, & Rizal, 2016).
Flavonoid mempunyai kerangka dasar 15 atom karbon yang terdiri dari
dua cincin benzene (C6) terikat pada suatu rantai propane (C3) sehinggga
membentuk suatu susunan C6-C3-C6. Kerangka karbonnya terdiri atas dua gugus
C6 (cincin benzene tersubstitusi) disambungkan oleh rantai alifatik tiga karbon.
Pengelompokan favonoid debedakan berdasarkan cincin heterosiklis-oksigen
tambahan dan gugus hidroksilnya. Salah satu kelompok senyawa flavonoid adalah
Quersetin yang memiliki lima gugus hidroksil yang mampu meredam radikal
bebas. Sebagian besar flavonoid di alam ditemukan dalam bentuk glikosida
dimana unit flavonoid terikat pada satu gula. Gikosida adalah kombinasi antara
suatu gula dan suatu alcohol yang saling berikatan melalui ikatan glikosida.
Flavonoid dapat ditemukan sebagai mono, di, atau triglikosida. Flavonoid yang
berupa glikosida merupakan senyawa polar sehingga dapat diekstrak dengan
etanol, methanol ataupun air (Latifah, 2015).
Ekstrak sampel yang mengandung senyawa flavonoid, maka setelah
penambahan logam Mg dan HCl akan terbentuk garam flavilium berwarna merah
atau jingga. Penambahan HCl pekat dalam uji flavonoid pada metode Wilstater
dimaksudkan untuk menghidrolisis flavonoid menjadi aglikonnya, yaitu dengan
menghidrolisis O-glikosil. Glikosil akan tergantikan oleh H+ dari asam karena
sifat elektrofilik. Glokosida berupa gula yang biasa dijumpai yaitu glukosa,
galaktosa dan ramnosa. Reduksi dengan Mg dan HCl pekat ini menghasilkan
senyawa kompleks yang berwarna merah atau jingga pada flavonol, flavanon,
flavanol, dan xanton (Latifah, 2015). Warna merah sampai jingga diberikan oleh
senyawa flavon, warna merah tua diberikan oleh flavonol atau flavonon, warna
hijau sampai biru diberikan oleh aglikon atau glikosida (Marliana & Suryanti,
2005).
Fenol
Uji fenol secara kualitatif dilakukan dengan 2 metode yaitu dengan
penambahan pereaksi FeCl3 dan dengan pereaksi Folin Ciocalteau. Uji fenol
dengan pereaksi FeCl3 menunjukan hasil negative karena tidak terbentuk warna
hijau. Sedangkan uji fenol dengan pereaksi Folin Ciocalteau ditambah Na2CO3
menunjukan hasil positif karena terbentuk warna biru. Pereaksi FeCl3
dipergunakan secara luas untuk mengidentifikasi senyawa fenol termasuk tanin.
Penambahan FeCl3 berfungsi sebagai sumber atom pusat, dimana tanin
merupakan ligan yang membutuhkan atom pusat untuk membentuk kompleks
yang stabil, sehingga terbentuklah kompleks antara atom pusat Fe3+ dengan ligan
tanin.Pada penambahan larutan FeCl3 1% diperkirakan larutan ini bereaksi dengan
salah satu gugus hidroksil yang ada pada senyawa tanin. Hasil pengujian yang
dilakukan pada tabung reaksi yang menggunakan larutan FeCl3 menunjukkan
timbulnya warna hijau (Wijaya et al., 2016).
Prinsip dari metode Folin Ciocalteau adalah terbentuknya kompleks
berwarna biru. Pereaksi ini mengoksidasi fenolat (garam alkali) atau gugus
fenolik-hidroksi mereduksi asam heteropoli (fosfomolibdat-fosfotungstat) yang
terdapat dalam pereaksi Folin Ciocalteau menjadi suatu kompleks molybdenum-
tungsten. Senyawa fenolik bereaksi dengan reagen Folin Ciocalteau hanya dalam
suasana basa agar terjadi disosiasi proton pada senyawa fenolik menjadi ion
fenolat. Untuk membuat suasana basa digunakan Na2CO3 (Alfian & Susanti,
2012). Gugus hidroksil pada senyawa fenolik bereaksi dengan reagen Folin
Ciocalteau membentuk kompleks molybdenum-tungsten yang berwarna biru.
Saponin
Saponin merupakan senyawa glikosida kompleks dengan berat molekul
tinggi yang dihasilkan terutama oleh tanaman, hewan laut tingkat rendah dan
bebarapa bakteri. Saponin larut dalam air tetapi tidak larut dalam pelarut eter.
Sifat khas dari saponin antara lain berasa pahit, berbusa dalam air dan beracun
bagi binatang berdarah dingin. Uji saponin dinyatakan positif apabila
ditambahkan akuadest panas terbentuk busa atau buih selama 15 menit.
Terbentuknya busa menunjukan adanya glikosida yang mempunyai kemampuan
membentuk buih dalam air yang terhidrolisis menjadi glukosa dan senyawa lain
(Latifah, 2015). Berdasarkan praktikum pengujian fitokimia secara kualitatif
diketahui bahwa ekstrak Eucheuma cottonii tidak mengandung saponin karena
tidak terbentuk busa/buih setelah ditambahkan akuadest panas.
Kuinon
Uji kuinon menunjukkan hasil negative karena tidak terbentuk warna kuning
setelah dilakukan penambahan pereaksi NaOH 1 N.
KANDUNGAN TOTAL FENOL PADA EKSTRAK Eucheuma cottonii.
Penetapan kadar total fenol dilakukan dengan menggunakan reagen Folin-
Ciocalteau. Reagen Folin Ciocalteau digunakan karena senyawa fenolik dapat
bereaksi dengan Folin membentuk larutan berwarna yang dapat diukur
absorbansinya. Prinsip dari metode folin ciocalteau adalah terbentuknya senyawa
kompleks berwarna biru yang dapat diukur pada panjang gelombang 765 nm.
Pereaksi ini mengoksidasi fenolat (garam alkali) atau gugus fenolik-hidroksi
mereduksi asam heteropoli (fosfomolibdat-fosfotungstat) yang terdapat dalam
pereaksi Folin Ciocalteau menjadi suatu kompleks molibdenum-tungsten.
Senyawa fenolik bereaksi dengan reagen Folin Ciocalteau hanya dalam suasana
basa agar terjadi disosiasi proton pada senyawa fenolik menjadi ion fenolat. Untuk
membuat kondisi basa digunakan Na2CO3 5 %. Gugus hidroksil pada senyawa
fenolik bereaksi dengan reagen Folin Ciocalteau membentuk kompleks
molybdenum-tungsten berwarna biru yang dapat dideteksi dengan
spektrofotometer. Semakin besar konsentrasi senyawa fenolik maka semakin
banyak ion fenolat yang akan mereduksi asam heteropoli (fosfomolibdat-
fosfotungstat) menjadi kompleks molibdenum-tungsten sehingga warna biru yang
dihasilkan semakin pekat (Alfian & Susanti, 2012).
Warna biru yang terbentuk akan semakin pekat, setara dengan konsentrasi
ion fenolat yang terbentuk, artinya semakin besar konsentrasi senyawa fenolik
maka semakin banyak ion fenolat yang akan mereduksi asam heteropoli
(fosfomolibdat-fosfotungstat) menjadi kompleks molybdenum-tungsten sehingga
warna biru yang terbentuk semakin pekat. Namun reagen ini tidak hanya
mengukur total fenol, akan tetapi dapat bereaksi dengan zat pereduksi lain.
Kemungkinan ada komponen lain yang dapat bereaksi dengan reagen ini seperti
gula atau asam askorbat (Wachidah, 2013).
Pada penentuan kadar total fenol, larutan standar yang digunakan adalah
asam galat dengan variasi konsentrasi 0,2; 0,4; 0,6; 0,8 dan 1,0 ppm. Diperoleh
nilai regresi linier yaitu: y = 0,834x – 0,002; R2 = 0,997. Asam galat digunakan
sebagai standar pengukuran karena asam galat merupakan turunan asam
hiroksibenzoat yang tergolong asam fenol sederhana. Kandungan fenol asam
organic ini bersifat murni dan stabil (Wachidah, 2013). Kadar total fenol ekstrak
dinyatakan sebagai ekuivalen asam galat atau Gallic Acid Equivalent (GAE).
GAE merupakan acuan umum untuk mengukur sejumlah senyawa fenolik yang
terdapat dalam suatu bahan (Amanah & Aznam, 2015). Nilai Gallic Acid
Equivalent (GAE) menunjukkan jumlah kesetaraan milligram asam galat dalam 1
mg sampel (Wachidah, 2013). Berdasarkan perhitungan terhadap data yang
diperoleh melalui praktikum uji total fenol diperoleh nilai %TF(GAE) yaitu
sebesar 0,0015%.
Kelarutan senyawa fenolik bergantung pada pelarut yang digunakan.
Komponen polifenol memiliki spektrum yang luas dengan sifat kelarutan yang
berbeda-beda. Hal inilah yang menyebabkan sulitnya prosedur ekstraksi yang
cocok untuk mengekstrak fenolik pada tanaman. Berdasarkan laporan sebuah
studi, tingginya total polifenol pada pelarut etil asetat diduga adanya golongan
polifenol yang memiliki berat molekul yang sama dengan pelarut etil asetat seperti
tanin dan flavanol. Dilaporkan bahwa pelarut etil asetat sangat cocok untuk
mengekstraksi senyawa fenolik. Kandungan fenolik total yang terdapat di dalam
ekstrak etil asetat lebih besar dibandingkan dengan ekstrak metanol dan kloroform
(Adi Ahmad Samin, Nurhayati Bialangi, 2013).