Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN ANALISA MAKANAN MINUMAN

“IDENTIFIKASI KANDUNGAN MADU HUTAN-NTT)”


(UJI FITOKIMIA, KANDUNGAN TOTAL FENOL,
AKTIVITAS ANTIOKSIDAN, pH, KANDUNGAN GULA
PEREDUKSI DAN AKTIVITAS ANTIBAKTERI)

OLEH

NI KOMANG TRISNA UTAMI

P07134016 017

POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR


JURUSAN DIII ANALIS KESEHATAN
Tahun 2018
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Indonesia merupakan negara bahari dengan keanekaragaman hayati laut
terbesar di dunia yang memiliki total luas perairan Nusantara seluas 2,8 juta
km2, dan laut teritorial seluas 0,3 juta mm2 (Mardiyah, Fasya, Fauziyah, &
Amalia, 2014). Indonesia memiliki perairan dengan biodiversitas yang tinggi,
sehingga kaya akan berbagai jenis hasil laut. Salah satu komoditas yang
dikembangkan adalah rumput laut (Maharany, Nurjanah, Suwandi, Anwar, &
Hidayat, 2017).
Rumput laut merupakan organisme perairan yang keberadaannya sangat
melimpah dan salah satu sumberdaya alam hayati laut yang bernilai ekonomis.
Rumput laut merupakan makhluk makroskopis dan alga multiseluler yang
umumnya berada di daerah pesisir. Jumlah rumput laut diperkirakan sekitar
9.000 spesies yang diklasifikasi menjadi tiga kelompok utama berdasarkan
pigmennya yaitu phaeophyta, rhotophyta dan chlorophyta. Data dari FAO
tahun 2014 menunjukan produksi rumput laut yang dihasilkan dari budidaya
secara global melebihi 24 juta ton (US$ 6,4 miliar) (Yanuarti, Nurjanah,
Anwar, & Hidayat, 2017).
Rumput laut merupakan salah satu komoditas unggulan yang tersebar
hampir di seluruh perairan Indonesia sebagai komoditi ekspor yang potensial
untuk dikembangkan. Total produksi rumput laut nasional saat ini telah
mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Produksi rumput laut nasional
pada tahun 2014 mencapai 10,2 juta ton atau meningkat lebih dari tiga kali
lipat. Produksi rumput laut pada tahun 2010 hanya berkisar diangka 3,9 juta
ton. Rumput laut dapat diklasifikasikan kedalam empat kelas, yaitu:
Rhodophyceae (merah), Phaeophyceae (coklat), Cyanophyceae (hijau-biru)
dan Chlorophyceae (hijau) (Maharany et al., 2017).
Rumput laut memiliki kandungan metabolit primer dan sekunder.
Kandungan metabolit primer seperti vitamin, mineral, serat, alginat,
karaginan, dan agar banyak dimanfaatkan sebagai bahan kosmetik untuk
pemeliharaan kulit. Selain kandungan primernya yang bernilai ekonomis,
kandungan metabolit sekunder dari rumput laut berpotensi sebagai produser
metabolit bioaktif yang beragam dengan aktivitas yang sangat luas sebagai
antibakteri, antivirus, antijamur dan sitotastik (Nursubadriah, Yoswaty, &
Nurrachmi, 2015).
Indonesia memiliki potensi yang besar sebagai penghasil rumput laut
Eucheuma Cottoni. Total produksi Eucheuma Cottoni Indonesia mencapai
3.082.113 ton atau menguasai sekitar 50 % produk rumput laut dunia pada
tahun 2010. Eucheuma cottonii memiliki komposisi makro protein 5,12%,
lemak 0,13%, karbohidrat 13.38%, serat 1,39%, abu 14,21%, air 12,9%, dan
karagenan 65,7%. Komposisi kandungan micro rumput laut adalah mineral
esensial (besi, iodin, aluminum, mangan, kalsium, nitrogen, phosphor, sulfur,
klor, silicon, rubidium, strontium, barium, titanium, kobalt, boron, tembaga,
kalium, dan unsur-unsur lainnya), asam nukleat, asam amino, protein, mineral,
tepung, gula dan vitamin A, D, C, D E, dan K (Sari, Wardhani, &
Prasetyaningrum, 2013).
Rumput laut E. Cottoni diketahui pula memiliki kandungan senyawa
fenolik. Senyawa fenolik merupakan salah satu kandungan rumput laut yang
berperan sebagai antioksidan. Rumput laut Eucheuma Cottonii terdapat
senyawa flavonoid seperti catechin (gallocathecin, epicathecin, catechin
gallate), flavonols, flavonol glycosides, caffeic acid, hesperidin, myricetin
yang berfungsi sebagai antioksidan. Antioksidan didefinisikan sebagai
senyawa yang dapat menunda, memperlambat dan mencegah proses oksidasi
lipid. Dalam arti khusus, antioksidan adalah zat yang dapat menunda atau
mencegah terjadinya reaksi radikal bebas dalam oksidasi lipid. Radikal bebas
dapat didefinisikan sebagai molekul atau senyawa yang dalam keadaan bebas
mempunyai satu atau lebih elektron bebas yang tidak berpasangan. Elektron
dari radikal bebas yang tidak berpasangan ini sangat mudah menarik elektron
dari molekul lainnya sehingga radikal tersebut menjadi lebih reaktif. Oleh
karena sangat reaktif, radikal bebas sangat mudah menyerang sel-sel yang
sehat dalam tubuh. Senyawa penangkap radikal bebas disebut dengan
antioksidan dengan adanya antioksidan maka reaksi oksidasi yang
mengakibatkan munculnya radikal bebas dapat berikatan dengan antioksidan
dan membentuk molekul yang lebih stabil dan tidak berbahaya. Antioksidan
dapat menangkal radikal bebas yang memicu berbagai penyakit, seperti
penuaan dini, diabetes, inflamasi, kanker, dan lain-lain (Sari et al., 2013).
Rumput laut E. Cottoni memiliki aktivitas antibakteri. Uji Minimum
Inhybitory Concentration pada konsentrasi 40% mulai terlihat jernih artinya
pada konsentrasi tersebut ekstrak Eucheuma cottonii dapat menghambat
bakteri V.harveyi. sedangkan pada uji Minimum Bactercidal Concentration
konsentrasi minimum yang dapat menghambat bakteri adalah konsentrasi
50%. Hal ini dapat diartikan bahwa Eucheuma cottonii memiliki efektivitas
dalam menghambat bakteri V.harveyi (Mardiani, Subekti, & Cahyoko, 2012).

1.2 Rumusan masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut dapat ditarik rumusan masalah yaitu:
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan Madu?
1.2.2 Bagaimana cara melakukan uji fitokimia secara kualitatif Madu hutan
NTT?
1.2.3 Bagaimana hasil uji fitokimia secara kualitatif terhadap Madu Hutan NTT?
1.2.4 Bagaimana cara melakukan uji kandungan total terhadap Madu Hutan
NTT?
1.2.5 Berapa kandungan total fenol pada Madu Hutan NTT?
1.2.6 Bagaimana cara melakukan uji aktivitas antioksidan terhadap sampel
Madu Hutan NTT?
1.2.7 Bagaimana kemampuan aktivitas antioksidan dari madu hutan NTT?
1.2.8 Bagaimana cara melakukan uji antibakteri terhadap madu hutan NTT?
1.2.9 Bagaimana daya antibakteridari sampel madu hutan NTT?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut tujuan dari penulisan laporan ini
adalah sebagai berikut:
1.3.1 Dapat mengetahui tentang Madu Hutan.
1.3.2 Dapat mengetahui dan melakukan uji fitokimia secara kualitatif terhadap
sampel madu hutan NTT
1.3.3 Dapat mengetahui kandungan fitokimia dalam sampel madu hutan NTT
secara kualitatif.
1.3.4 Dapat mengetahui dan melakukan uji kandungan total fenol terhadap madu
Hutan.
1.3.5 Dapat mengetahui kandungan total fenol dalam madu hutan
1.3.6 Dapat mengetahui dan melakukan uji aktivitas antioksidan terhadap madu
hutan
1.3.7 Dapat mengetahui aktivitas antioksidan dri madu hutan NTT
1.3.8 Dapat mengetahui dan melakukan uji antibakteri dari madu hutan NTT
1.3.9 Dapat mengetahui daya anti bakteri pada sampel madu NTT.

1.4 Manfaat
Penulisan laporan ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1.4.1 Bagi penulis
Dapat menjadi referensi untuk penelitian selanjutnya.
1.4.2 Bagi masyarakat
Memberikan informasi mengenai potensi Madu Hutabn NTT sebagai
antioksidan alami.
1.4.3 Bagi ilmu pengetahuan
Menambah khasanah ilmu pengetahuan mengenai antioksidan di bidang
kesehatan.
BAB. II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.BOTANI Madu

2.2 Madu Hutan

2.3 KANDUNGAN KIMIA Madu

2.4 JENIS – JENIS MADU

2.5 FITOKIMIA

Fitokimia atau kadang disebut fitonutrien, sedangkan dalam arti luas


fitokimia adalah segala jenis zat kimia atau nutrient yang diturunkan dari
tumbuhan. Menurut Sukandar et al,. (2013), fitokimia berasal dari kata
phytochemical. Phyto adalah tumbuhan dan Chemical adalah zat kimia.
Dengan demikian fitokimia merupakan zat kimia alami yang terdapat di
dalam tumbuhan dan dapat memberikan rasa, aroma atau warna pada
tumbuhan itu. Akan tetapi senyawa fitokimia tidak termasuk kedalam zat gizi
karena bukan berupa karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral maupun
air. Fitokimia adalah salah satu ilmu yang mempelajari berbagai senyawa
organik yang dibentuk dan disimpan oleh tumbuhan, yaitu tentang struktur
kimia, biosintetis, perubahan dan metabolisme, serta penyebaran secara alami
dan fungsi biologis dari senyawa organik. Sampai saat ini sudah sekitar
30.000 jenis fitokimia yang ditemukan dan sekitar 10.000 terkandung dalam
makanan Secara garis besar, fitokimia terdiri dari alkaloid, flavonoid,
terpenoid, saponin, kuinon dan tannin. Skrining fitokimia bertujuan untuk
menentukkan golongan metabolitsekunder yang mempunyai aktivitas biologis
yang ada dalam tumbuhan. Metode yang digunakan dalam penapisan
fitokimia harus selektif, sederhana, cepat sertahanya memerlukan sedikit alat
dan bahan. Fitokimia atau kadang disebut fitonutrien, dalam arti luas adalah
segala jeniszat kimia atau nutrien yang diturunkan dari sumbertumbuhan,
termasuksayurandanbuah-buahan.Dalam penggunaan umum, fitokimia
memiliki definisi yang lebih sempit. Fitokimia biasanya digunakan untuk
merujuk padasenyawa yang ditemukan pada tumbuhan yang tidak
dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh,tapi memiliki efek yang
menguntungkan bagi kesehatan atau memiliki peran aktif penangkap radikal
bebas maupun antikanker yang berperan pada dunia pengobatan(Sri et al.,
2013)Adapun jenis – jenis senyawa fitokimia antara lain :

2.5.1 ALKALOID

Alkaloid adalah sebuah golongan senyawa basa bernitrogen yang


kebanyakan heterosiklik dan terdapat di tumbuhan (tetapi ini tidak
mengecualikan senyawa yang berasal dari hewan). Asam amino, peptida,
protein, nukleotid, asam nukleik, gula amino dan antibiotik biasanya tidak
digolongkan sebagai alkaloid. Dan dengan prinsip yang sama, senyawa
netral yang secara biogenetik berhubungan dengan alkaloid termasuk
digolongan ini. Menurut Sastrohamidjojo (1995), sifat fisika dari senyawa
alkaloid yang telah diisolasi merupakan padatan Kristal dengan titik lebur
yang tertentu atau mempunyai kisaran dekomposisi. Sedikit alkaloid yang
termasuk amorf dan beberapa seperti nikotin (20) dan konini (21) berupa
cairan. Kebanyakan alkaloid tersebut tidak berwarna, tetapi beberapa
senyawa yang kompleks, spesies aromatic berwarna (contoh, berberin (22)
berwarna kuning dan betanin (23) merah). Pada umumnya basa bebas
alkaloid hanya larut dalam pelarut organic, meskipun pseudo dan
protoalkaloid larut dalam air. Garam alkaloid dan alkaloid quartener sangat
larut dalam air. Sedangkan sifat kimia dari alkaloid menurut
Sastrohamidjojo (1995), adalah bersifat basa. Sifat tersebut tergantung
pada adanya pasangan electron pada nitrogen. Jika gugus fungsional yang
berdekatan dengan nitrogen bersifat melepaskan electron, sebagai contoh
gugus alkil, maka ketersediaan electron pada nitrogen naik dan senyawa
lebih bersifat basa. Sebaliknya apabila gugus fungsional yang berdekatan
bersifat menarik electron (contoh, gugus karbonil) maka ketersediaan
pasangan electron berkurang dan pengaruh alkaloid yang ditimbulkan
dapat bersifat netral atau sedikit asam. Contohnya adalah senyawa yang
mengandung gugus amida(Sri et al., 2013).
2.5.2 FLAVONOID

Flavonoid merupakan salah satu kelompok senyawa metabolit sekunder


yang paling banyak ditemukan di dalam jaringan tanaman. Flavonoid
termasuk dalam golongan senyawa phenolik dengan struktur kimia C6-C3-
C6 (Gambar 1). Kerangka flavonoid terdiri atas satu cincin aromatik A,
satu cincin aromatik B, dan cincin tengah berupa heterosiklik yang
mengandung oksigen dan bentuk teroksidasi cincin ini dijadikan dasar
pembagian flavonoid ke dalam sub-sub kelompoknya. Sistem penomoran
digunakan untuk membedakan posisi karbon di sekitar. Berbagai jenis
senyawa, kandungan dan aktivitas antioksidatif flavonoid sebagai salah
satu kelompok antioksidan alami yang terdapat pada sereal, sayur-sayuran
dan buah, telah banyak dipublikasikan. Flavonoid berperan sebagai
antioksidan dengan cara mendonasikan atom hidrogennya atau melalui
kemampuannya mengkelat logam, berada dalam bentuk glukosida
(mengandung rantai samping glukosa) atau dalam bentuk bebas yang
disebut aglikon(Sri et al., 2013)

2.5.3 TERPENOID

Terpenoid merupakan derivat dehidrogenasi dan oksigenasi dari senyawa


terpen. Terpen merupakan suatu golongan hidrokarbon yang banyak
dihasilkan oleh tumbuhan dan sebagian kelompok hewan. Rumus molekul
terpen adalah (C5H8)n. Terpenoid disebut juga dengan isoprenoid. Hal ini
disebabkan karena kerangka karbonnya sama seperti senyawa isopren.
Secara struktur kimia terenoid merupakan penggabungan dari unit
isoprena, dapat berupa rantai terbuka atau siklik, dapat mengandung ikatan
rangkap, gugus hidroksil, karbonil atau gugus fungsi lainnya(Sri et al.,
2013)

2.5.4 SAPONIN

Saponin adalah suatu glikosida alamiah yang terikat dengan steroid atau
triterpena. Saponin mempunyai aktifitas farmakologi yang cukup luas
diantaranya meliputi: immunomodulator, anti tumor, anti inflamasi,
antivirus, anti jamur, dapat membunuh kerang-kerangan, hipoglikemik,
dan efek hypokholesterol. Saponin juga mempunyai sifat bermacam-
macam, misalnya: terasa manis, ada yang pahit, dapat berbentuk buih,
dapat menstabilkan emulsi, dapat menyebabkan hemolisis. Dalam
pemakaiannya saponin bisa dipakai untuk banyak keperluan, misalnya
dipakai untuk membuat minuman beralkohol, dalam industry pakaian,
kosmetik, membuat obat-obatan, dan dipakai sebagai obat tradisional.
Biarpun saponin bisa diisolasi dari binatang tingkat rendah, sebenarnya
saponin ditemukan terutama dalam tumbuhtumbuhan. Namanya diambil
dari Genus suatu tumbuhan yaitu Saponaria, akar dari famili
Caryophyllaceae dapat dibuat sabun. Saponin juga bisa didapatkan dalam
beberapa famili tumbuhan yang lain(Sri et al., 2013)

2.5.6 KUINON

Kuinon adalah senyawa berwarna dan mempunyai kromofor dasar seperti


kromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus karbonil yang
berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbo-karbon. Untuk tujuan
identifikasi kuinon dapat dibagi atas empat kelompok yaitu : benzokuinon,
naftokuinon, antrakuinon dan kuinon isoprenoid. Tiga kelompok pertama
biasanya terhidroksilasi dan bersifat fenol serta mungkin terdapat
dalambentuk gabungan dengan gula sebagai glikosida ataudalam bentuk
kuinol. Senyawa-senyawa kuinon merupakan zat warna yang terdapat
dalam tumbuh-tumbuhan yang berasal dari turunan senyawa aromatik.
Menurut Hart (1983: 273)“Kuinon merupakan golongan senyawa karbonil
yang unik. Senyawa ini merupakandiketon terkonjugasi siklik. Contoh
paling sederhana ialah 1,4-benzokuinon. Semuakuinon berwarna dan
banyak diantaranya berupa pigmen alami yang digunakansebagai zat
warna”.Warna pigmen kuinon alam beragam, mulai dari kuning pucat
sampai kehampir hitam, dan struktur yang telah dikenal jumlahnya lebih
dari 450. Walaupun mereka tersebar luas dan strukturnya sangat beragam,
sumbangannya terhadap warnatumbuhan tinggi nilai nisbi kecil. Jadi,
pigmen ini sering terdapat dalam kulit, galihatau akar, atau dalam jaringan
lain (misalnya daun), tetapi pada jaringan tersebutwarnanya tertutupi
pigmen lain(Sri et al., 2013)

2.5.7 TANIN

Tanin adalah senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada beberapa


tanaman. Tanin mampu mengikat protein, sehingga protein pada tanaman
dapat resisten terhadap degradasi oleh enzim protease di dalam silo
ataupun rumen. Tanin selain mengikat protein juga bersifat melindungi
protein dari degradasi enzim mikroba maupun enzim protease pada
tanaman sehingga tanin sangat bermanfaat dalam menjag kualitas silase.
Tanin merupakan senyawa kimia yang tergolong dalam senyawa polifenol
Tanin mempunyai kemampuan mengendapkan protein, karena tanin
mengandung sejumlah kelompok ikatan fungsional yang kuat dengan
molekul protein yang selanjutnya akan menghasilkan ikatan silang yang
besar dan komplek yaitu protein tanin. Tanin mempunyai berat molekul
0,5-3 KD. Tanin alami larut dalam air dan memberikan warna pada air,
warna larutan tanin bervariasi dari warna terang sampai warna merah gelap
atau coklat, karena setiap tanin memiliki warna yang khas tergantun
sumbernya(Sri et al., 2013)
2.5.8 POLIFENOL
Senyawa yang termasuk kedalam polifenol ini adalah semua senyawa yang
memiliki struktur dasar berupa fenol. Fenol sendiri merupkan struktur
yangterbentuk dari benzena tersubtitusi dengan gugus –OH. Gugus –OH
yang terkandungmerupakan aktivator yang kuat dalam reaksi subtitusi
aromatik elektrofilik Polifenol adalah kelompok zat kimia yang ditemukan
pada tumbuhan. Polifenol (polyphenol) merupakan senyawa kimia yang
bersifat antioksidan kuat. Zat ini memiliki tanda khas yakni memiliki
banyak gugus fenol dalam molekulnya. Polifenol berperan dalam memberi
warna pada suatu tumbuhanseperti warna daun saat musim gugur. Pada
beberapa penelitian disebutkan bahwa kelompok polifenol memiliki peran
sebagai antioksidan yang baik untuk kesehatan. Antioksidan polifenol
dapat mengurangi risiko penyakit jantung dan pembuluh darah dan kanker.
Terdapat penelitian yang menyimpulkan polifenol dapat mengurangi risiko
penyakit Alzheimer(Sri et al., 2013)

2.6 ANTIOKSIDAN

Antioksidan dalam pengertian kimia adalah senyawa pemberi elektron


(electron donors) dan secara biologis antioksidan merupakan senyawa yang
mampu mengatasi dampak negatif oksidan dalam tubuh seperti kerusakan
elemen vital sel tubuh. Keseimbangan antara oksidan dan antioksidan sangat
penting karena berkaitan dengan kerja fungsi sistem imunitas tubuh, terutama
untuk menjaga integritas dan berfungsinya membran lipid, protein sel, dan asam
nukleat, serta mengontrol tranduksi signal dan ekspresi gen dalam sel imun.
Produksi antioksidan di dalam tubuh manusia terjadi secara alami untuk
mengimbangi produksi radikal bebas. Antioksidan tersebut kemudian berfungsi
sebagai sistem pertahanan terhadap radikal bebas, namun peningkatan produksi
radikal bebas yang terbentuk akibat faktor stress, radiasi UV, polusi udara dan
lingkungan mengakibatkan sistem pertahanan tersebut kurang memadai,
sehingga diperlukan tambahan antioksidan dari luar. Antioksidan di luar tubuh
dapat diperoleh dalam bentuk sintesis dan alami. Antioksidan sintetis seperti
buthylatedhydroxytoluene (BHT), buthylated hidroksianisol (BHA) dan ters-
butylhydroquinone (TBHQ) secara efektif dapat menghambat oksidasi. Namun,
penggunaan antioksidan sintetik dibatasi oleh aturan pemerintah karena, jika
penggunaannya melebihi batas justru dapat menyebabkan racun dalam tubuh dan
bersifat karsiogenik, sehingga dibutuhkan antioksidan alami yang aman. Salah
satu sumber potensial antioksidan alami adalah tanaman karena mengandung
senyawa flavonoid, klorofil dan tanin. Antioksidan berfungsi sebagai senyawa
yang dapat menghambat reaksi radikal bebas penyebab penyakit karsinogenis,
kardiovaskuler dan penuaan dalam tubuh manusia. Antioksidan diperlukan
karena tubuh manusia tidak memiliki sistem pertahanan antioksidan yang cukup,
sehingga apabila terjadi paparan radikal berlebihan, maka tubuh membutuhkan
antioksidan eksogen (berasal dari luar). Fungsi utama antioksidan adalah
memperkecil terjadinya proses oksidasi dari lemak dan minyak, memperkecil
terjadinya proses kerusakan dalam makanan, memperpanjang masa pemakaian
dalam industri makanan, meningkatkan stabilitas lemak yang terkandung dalam
makanan serta mencegah hilangnya kualitas sensori dan nutrisic(Kesuma, 2015)
Antioksidan berdasarkan mekanisme reaksinya dibagi menjadi tiga macam, yaitu
antioksidan primer, antioksidan sekunder dan antioksidan tersier:

a. Antioksidan Primer: Antioksidan primer merupakan zat atau senyawa yang


dapat menghentikan reaksi berantai pembentukan radikal bebas yang
melepaskan hidrogen. Antioksidan primer dapat berasal dari alam atau
sintetis. Contoh antioksidan primer adalah Butylated hidroxytoluene
(BHT).7 Reaksi antioksidan primer terjadi pemutusan rantai radikal bebas
yang sangat reaktif, kemudian diubah menjadi senyawa stabil atau tidak
reaktif. Antioksidan ini dapat berperan sebagai donor hidrogen atau CB-D
(Chain breaking donor) dan dapat berperan sebagai akseptor elektron atau
CB-A (Chain breaking acceptor).

b. Antioksidan Sekunder: Antioksiden sekunder disebut juga antioksidan


eksogeneus atau non enzimatis. Antioksidan ini menghambat pembentukan
senyawa oksigen reatif dengan cara pengelatan metal, atau dirusak
pembentukannya. Prinsip kerja sistem antioksidan non enzimatis yaitu
dengan cara memotong reaksi oksidasi berantai dari radikal bebas atau
dengan menangkap radikal tersebut, sehingga radikal bebas tidak akan
bereaksi dengan komponen seluler.9 Antioksidan sekunder di antaranya
adalah vitamin E, vitamin C, beta karoten, flavonoid, asam lipoat, asam urat,
bilirubin, melatonin dan sebagainya.

c. Antioksidan Tersier Kelompok antioksidan tersier meliputi sistem enzim


DNA-Repair dan metionin sulfoksida reduktase. Enzim-enzim ini berperan
dalam perbaikan biomolekuler yang rusak akibat reaktivitas radikal bebas.
Kerusakan DNA yang terinduksi senyawa radikal bebas dicirikan oleh
rusaknya Single dan Double strand baik gugus non-basa maupun basa.

Berdasarkan sumber perolehannya ada 2 macam antioksidan, yaitu antioksidan


alami dan antioksidan buatan (sintetik) Tubuh manusia tidak mempunyai
cadangan antioksidan dalam jumlah berlebih, sehingga jika terjadi paparan radikal
berlebih maka tubuh membutuhkan antioksidan eksogen. Adanya kekhawatiran
akan kemungkinan efek samping yang belum diketahui dari antioksidan sintetik
menyebabkan antioksidan alami menjadi alternatif yang sangat dibutuhkan.
Antioksidan alami mampu melindungi tubuh terhadap kerusakan yang disebabkan
spesies oksigen reaktif, mampu menghambat terjadinya penyakit degeneratif serta
mampu menghambat peroksidae lipid pada makanan. Antioksidan alami
umumnya mempunyai gugus hidroksi dalam struktur molekulnya(Kesuma, 2015)
Mekanisme kerja dari antioksidan tersebut yaitu :
a. Pemberi atom hydrogen (anti oksidan primer). Senyawa ini dapat memberikan
atom hydrogen secara cepat ke radikal lipida (R*, ROO*) atau mengubahnya
kebentuk yang lebih stabil, sementara turunan dari radikal antioksidan (A*)
tersebut memilki keadaan lebih stabil dibandingkan dengan radikal lipida.
b. Memperlambat laju antioksidasi dengan berbagai mekanisme diluar
mekanisme pemutusan rantai autiiksidasi dengan pengubahan radikal lipida
ke bentuk lebih stabil.
2.7 pH
2.8 GULA REDUKSI
2.9 AKTIVITAS ANTIBAKTERI

Antibakteri adalah senyawa yang digunakan untuk mengendalikan


pertumbuhan bakteri yang bersifat merugikan. Pengendalian pertumbuhan
mikroorganisme bertujuan untuk mencegah penyebaran penyakit dan infeksi,
membasmi mikroorganisme pada inang yang terinfeksi, dan mencegah
pembusukan serta perusakan bahan oleh mikroorganisme. Antimikrobia
meliputi golongan antibakteri, antimikotik, dan antiviral. Mekanisme
penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri oleh senyawa antibakteri dapat
berupa perusakan dinding sel dengan cara menghambat pembentukannya atau
mengubahnya setelah selesai terbentuk, perubahan permeabilitas membran
sitoplasma sehingga menyebabkan keluarnya bahan makanan dari dalam sel,
perubahan molekul protein dan asam nukleat, penghambatan kerja enzim, dan
penghambatan sintesis asam nukleat dan protein. Di bidang farmasi, bahan
antibakteri dikenal dengan nama antibiotik, yaitu suatu substansi kimia yang
dihasilkan oleh mikroba dan dapat menghambat pertumbuhan mikroba lain.
Senyawa antibakteri dapat bekerja secara bakteriostatik, bakteriosidal, dan
bakteriolitik(Sulistyo, 2010). Menurut Madigan dkk. (2000), berdasarkan sifat
toksisitas selektifnya, senyawa antimikrobia mempunyai 3 macam efek
terhadap pertumbuhan mikrobia yaitu:

1. Bakteriostatik memberikan efek dengan cara menghambat pertumbuhan


tetapi tidak membunuh. Senyawa bakterostatik seringkali menghambat
sintesis protein atau mengikat ribosom. Hal ini ditunjukkan dengan
penambahan antimikrobia pada kultur mikrobia yang berada pada fase
logaritmik. Setelah penambahan zat antimikrobia pada fase logaritmik
didapatkan jumlah sel total maupun jumlah sel hidup adalah tetap.

2. Bakteriosidal memberikan efek dengan cara membunuh sel tetapi tidak


terjadi lisis sel atau pecah sel. Hal ini ditunjukkan dengan penambahan
antimikrobia pada kultur mikrobia yang berada pada fase logaritmik.
Setelah penambahan zat antimikrobia pada fase logaritmik didapatkan
jumlah sel total tetap sedangkan jumlah sel hidup menurun.

3. Bakteriolitik menyebabkan sel menjadi lisis atau pecah sel sehingga jumlah
sel berkurang atau terjadi kekeruhan setelah penambahan antimikrobia.
Hal ini ditunjukkan dengan penambahan antimikrobia pada kultur
mikrobia yang berada pada fase logaritmik. Setelah penambahan zat
antimikrobia pada fase logaritmik, jumlah sel total maupun jumlah sel
hidup menurun.

Mekanisme penghambatan antibakteri dapat dikelompokkan menjadi lima,


yaitu menghambat sintesis dinding sel mikrobia, merusak keutuhan dinding
sel mikrobia, menghambat sintesis protein sel mikrobia, menghambat sintesis
asam nukleat, dan merusak asam nukleat sel mikrobia. Daya antimikrobia
diukur secara in vitro agar dapat ditentukan kemampuan suatu zat
antimikrobia. Adanya fenomena ketahanan tumbuhan secara alami terhadap
mikrobia menyebabkan pengembangan sejumlah senyawa yang berasal dari
tanaman yang mempunyai kandungan antibakteri dan antifungi. Setiap bakteri
yang diuji memiliki tingkat resistensi berbeda. Resistensi sel mikroba adalah
suatu sifat tidak terganggunya sel mikroba oleh antimikroba. Resistensi
mikrobia terhadap obat terjadi akibat perubahan genetik dan dilanjutkan
serangkaian proses seleksi oleh obat antimikroba. Faktor yang memengaruhi
sifat resistensi mikroba terhadap antimikroba terdapat pada unsur yang
bersifat genetik seperti DNA, plasmid dan kromosom. Didasarkan pada lokasi
unsur dikenal menjadi 3 macam resistensi yaitu, ressitensi kromosomal,
resistensi ekstra-kromosomal dan resitensi silang.

Tujuan pengukuran aktivitas antibakteri adalah untuk menentukan potensi


suatu zat yang diduga atau telah memiki aktivitas sebagai antibakteri dalam
larutan terhadap suatu bakteri(Sartika & Purwiyanto, 2013) Macam-macam
metode uji aktivitas antimikroba antara lain :

a. Metode pengenceran agar

Metode pengenceran agar sangat cocok untuk pemeriksaan sekelompok


besar isolat versus rentang konsentrasi antimikroba yang sama. Kelemahan
metode ini yaitu hanya dapat digunakan untuk isolasi tipe organisme yang
dominan dalam populasi campuran.

b. Difusi agar
Metode difusi digunakan untuk menentukan aktivitas agen antimikroba.
Piringan yang berisi agen antimikroba diletakkan pada media agar yang
telah ditanami mikroorganisme yang akan berdifusi pada media agar
tersebut. Area jernih pada permukaan media agar mengindikasikan adanya
hambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh agen antimikroba.

c. Metode dilusi

Metode dilusi dibedakan menjadi dua yaitu dilusi cair dan dilusi padat.

1) Metode dilusi cair Metode ini mengukur KHM (Kadar Hambat


Minimum) dan KBM (Kadar Bakterisidal Minimum). Cara yang
dilakukan adalah dengan membuat seri pengenceran agen antimikroba
pada medium cair yang ditambahkan dengan mikroba uji.

2) Metode dilusi padat Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun
menggunakan media padat (solid). Keuntungan metode ini adalah satu
konsentrasi agen antimikroba yang diuji dapat digunakan untuk menguji
beberapa mikroba uji.

BAB. III

METODE

3.1 Lokasi Penelitian

Pada pratikum kali ini di lakukan di Laboratorium Kimia Dasar,


Laboratorium Kimia Terapan dan Laboratorium Bakteriologi Politeknik
Kesehatan Denpasar Jurusan Analis Kesehatan

3.2 Alat dan Bahan

Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah sampel madu hutan NTT,
pelarut teknis klroroform, asam sulfat pekat, asam sulfat 2 N, anhidrida
asetat, pelarut teknis etanol, akuades, indikator universal, kertas saring,
aluminium foil, metanol, DPPH,HCI 2%, FeCl3.6H2O 1%, asam klorida 2 N,
asam klorida 37%, etanol 95%, NaOH 2 N, sebuk Mg, reagen lieberman-
burchard, reagen mayer, reagen dragendorff, reagen Wagner, reagen follin-
Cicalteau, Na2CO3, asam galat, reagen quarcetin, AlCl3, kalium asetat 1 M,
asam askorbat, metanol, agar Muller-Hinton, kertas cakram, NaCl 0,85% ,
aluminium foil dan alkohol. Alat yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah
neraca analitik, magnetic stirer, soklet, vorteks, beaker glass, rak tabung,
tabung reaksi, labu ukur, pipet ukur, pipet volume, pipet tetes, spatula, batang
pengaduk, gelas arloji, spektrofotometer, pinset, bunsen, ose, inkubator,
densitometer, dan alat lainnya.

3.3 Metode Penelitian

Metode penelitian dilakukan dengan pratikum pendahuluan meliputi


persiapan dilakukan dengan uji kualitas dan kuantitas melalui uji fitokimia.
Praktikum ini juga dilakukan aktivitas antioksidan dengan metode DPPH
free radical scavenging activity dan uji antibakteri dengan metode difusi
agar. Uji Gula reduksi dilakukan dengan metode ...

3.3.1 Persiapan Sampel

Pada penelitian pendahuluan dilakukan dengan persiapan sampel yang mana


sampel madu hutan NTT ini berasal dari .... dan sampel ini digunakan secara
langsung pada proses pengujian kemudian akan diuji kualitas senyawa
fitokimia, uji aktivitas antioksidan dan uji antibakteri.

3.4 Uji Kualitatif Fitokimia

3.4.1 Pengujian golongan Alkaloid

Ekstrak tanaman sebanyak 3 mL dimasukkan kedalam tabung reaksi


kemudian ditambahkan dengan beberapa tetes HCl 2N ke dalam tabung
tersebut. Setelah itu dibagi kedalam 2 tabung. Tabung pertama ditambahkan
1-2 tetes Reagen Dragendorf (positif alkaloid jika terdapat endapan merah
jingga), sedangkan tabung kedua ditambahkan 1-2 tetes Reagen Meyer
(positif alkaloid jika terdapat endapan putih kuning).

3.4.2 Pengujin pH

3.4.3 Pengujian golongan Saponin


Ekstrak bahan alam sebanyak 1 mL dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan
ditambahkan air panas, kemudian dkocok kuat selama 10 detik. Busa yang
muncul diamati selama 5 menit. Campuran ini ditambahkan 1 tetes HCl
(hasil positif jika busa tidak hilang).

3.4.4 Pengujian golongan Fenol


Ekstrak bahan alam sebanyak 1 mL dimasukkan ke dalam tabung reaksi,
kemudian ditambahkan 2 tetes larutan FeCl3 5%( hasil positif jika terbentuk
warna hijau atau hijau biru).

3.4.5 Pengujian golongan Flavonoid


Ekstrak bahan alam sebanyak 1 mL dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan
ditambahkan 0,1 mg serbuk M. Campuran ini ditambahkan 0,4 mL amil
alkohol dan 4 mL etanol, campuran ini kemudian dikocok (hasil positif jika
tebentuk warna merah, kuning atau jingga).

3.4.6 Pengujian golongan Kuinon


Ekstrak bahan alam sebanyak 1 mL dimasukkan ke dalam tabung reaksi,
kemudian ditambahkan beberapa tetes NaOH 1 N(hasil positif jika terbentuk
warna kuning).

3.4.7 Pengujian golongan Terpenoid dan Steroid


Ekstrak bahan alam sebanyak 1 mL dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan
ditambahkan 2 mL kloroform. Campuran ini ditambahkan 10 tetes
anhindrida asetat dan 3 tetes asam sulfat pekat melalui dinding tabung(hasil
positif jika terbentuk warna merah kemudian berubah menjadi biru dan
hijau).

3.5 Uji Gula Reduksi

3.6 Uji Kandungan Total Fenol


3.6.1 Pembuatan kurva standar asam galat
Dibuat deret konsentrasi asam galat dengan konsentrasi 0,1,2,4,5,8 dan 10
ppm dengan cara pengenceran dan larutan induk 100 ppm, kemudian
diukur arbsorbansi masing – amsing konsentrasi asam galat pada panjang
gelombang 725 nm.

3.6.2 Pengukuran absorbansi sampel


Dilakukan penimbangan 0,01 g ekstrak bahan alam, ditambahkan 2 mL
etanol 96%, cmpuran ini ditambahkan 5 mL akuades, kemudian
ditambahkan 0,5 mL reagen Follin-Ciocalteau. Campuran ini kemudian
diikubasi selama 5 menit. Setelah inkubasi, ditambahkan larutan Na2CO3
50%, dan dihomogenkan. Semua campuran ini diinkubasi pada tempat
gelap selama 1 jam. Dilanjutkan dengan mengukur arbsorbansi sampel
dengan panjang gelombang 725 nm.

3.7 Uji Kandungan Total Flavonoid


3.7.1 Pembuatan kurva standar asam galat
Dibuat deret konsentrasi larutan standar quarcetin dengan konsentrasi
2,4,6,8 dan 10 ppm dengan cara mengencerkan larutan induk 100 ppm.
Selanjutnya, dimasukka ke dalam masing – masing konsentrasi larutan
standar qaucetin secara berturut – turut dengan 3 mL etanol 96%, 0,2 mL
AlCl3, 0,2 mL kalium asetat 1 M dan 5,6 akuabides.

3.7.2 Pengukuran arbsorbansi sampel


Dilakukan pemipetan 1 mL larutan sampel, kemudian larutan ini
diencerkan dengan etanol 96% sehingga diperoleh volume akhir 10 mL.
Larutan ini dimasukka ke dalam larutan sampel secara berturut – turut 3
mL etanol, 0,2 mL AlC3, 0,2 mL kalium asetat dan 5,6 akuabides. Tahap
akhir, dilakukan pengukuran absorbansi pada larutan dengan panjang
gelombang 440 nm.

3. 8 Uji Antioksidan

Pada tahap ini dilakukan uji aktivitas antioksidan terhadap ekstrak Euchema
cottoni. Pengujian aktivitas antioksidan lanjut ini dengan menggunakan
metode DPPH. Pengukuran aktivitas antioksidan dengan metode ini
berdasarkan pada DPPH free radical scavanging activity. Sebanyak 2 mL
larutan sampel yang sudah diukur dengan berbagai konsetrasi (1600 ppm, 800
ppm, 400 ppm, 100 ppm, 50 ppm, 20 ppm) dimasukkan kedalam tabung
reaksi kemudian ditambahkan dengan 2 mL DPPH 0,1. Kemudian dikocok
dan diinkubasi pada tempat gelap pada suhu 37 selama 30 menit lalu diukur
dengan spektrofotometer UV-Vis (panjang gelombang DPPH = 517 nm).

3.9 Uji Antibakteri

Uji aktivitas antibakteri pada ekstrak ini dilakukan dengan metode difusi
cakram. Tahap ini diawali dengan membuat larutan dengan berbagai
konsentrasi (100, 75, 50, 25 dan 10 %), kontrol positif (antibiotik
Chloramfenikol). Diambil masing – masing 20µL dengan mikropipet dan
diteteskan pada kertas cakram, dibiarkan mengering. Selanjutnya dibuat
suspensi bakteri yang diuji (E. coli dan Staphylococcus aureus) dengan
mengambil dari biakan bakter, dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang
berisi NaCl 0,85%, kemudian dihomogenkan. Konsentrasi ini kemudian
dibaca pada densitometer, disesuaikan hingga suspensi ini mencapai 0,5 Mc.
Tahap selanjutnya, kaps steril dicelupkan pada suspensi bakteri dengan cara
menekan dan memutar kapas dinding tabung sebanyak dua kali. Kapas steril
ini kemudian diusapkan pada kapas steril secara merata pada media Muller
Hinton Agar. Biakan bakteri ini dikeringkan kemudian. Kertas cakram yang
telah berisi ekstrak, dibiarkan kering dan diletakkan pada lempeng agar MHA
dengan menggunakan pinset. Untuk mendapatkan hasil ini, selanjutnya
dilakukan inkubasi pada suhu 370C selama 24 jam.

BAB IV
HASIL PENGAMATAN
4.1 RENDEMEN
Berat vial kosong : 12,3940 g
Berat vial + ekstrak : 16,5123 g
Berat ekstrak : 4, 1183 g
Berat simplisia : 50 g
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘
𝑅𝑒𝑛𝑑𝑒𝑚𝑒𝑛 = × 100%
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑖𝑚𝑝𝑙𝑖𝑠𝑖𝑎
4, 1183 g
𝑅𝑒𝑛𝑑𝑒𝑚𝑒𝑛 = × 100%
50 g
𝑅𝑒𝑛𝑑𝑒𝑚𝑒𝑛 = 8,24%

4.2 UJI KUALITATIF SENYAWA BIOAKTIF BAHAN ALAM


Uji Fitokimia Pereaksi Hasil Kesimpulan

Dragendorf Positif (+)

Terbentuk
endapan berwarna
merah jingga
Alkaloid

Wagner Negative (-)

Tidak terbentuk
endapan putih
kekuningan

0,1 mg serbuk Mg
ditambah 0,4 ml
Flavonoid Positif (+)
amil alcohol dan 4
ml etanol
Terbentuk warna
kuning

Saponin HCl 2 N Negative (-)

Tidak terbentuk
busa

Folin + Na2CO3 Positif (+)

Terbentuk warna
hijau biru

Fenol

FeCl3 5% Negative (-)

Terbentuk warna
kuning/ tidak
terbentuk warna
hijau biru
Kuinon NaOH 1 N Negative (-)

Tidak terbentuk
warna kuning

4.3 UJI KUANTITATIF KANDUNGAN TOTAL FENOL

1. Kurva standar asam galat


Konsentrasi Asam Galat
No Absorbansi
(ppm)
1 0 0,019
2 0,2 0,153
3 0,4 0,317
4 0,6 0,490
5 0,8 0,667
6 1,0 0,884

Kurva Standar Asam Galat


1
0.8
0.6 y = 0.8343x - 0.0021
R² = 0.9979
Absorbansi 0.4
0.2
0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
-0.2
Konsentrasi (ppm)

2. Penentuan konsentrasi senyawa fenolat dalam sampel ekstrak etanol


No Pengenceran Sampel Absorbansi Konsentrasi senyawa
fenol*
1 20 0,639 0,769
2 25 0, 193 0,234

3. kadar total senyawa fenol dalam sampel bahan alam (%TF(GAE))


- konsentrasi sampel : 0,769
- faktor pengenceran : 20
- volume sampel (L) : 0,004 L
- massa ekstrak (mg) : 4.118,3 mg
𝑚𝑔
𝐶 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 ( 𝐿 ) × 𝑓𝑝 × 𝑉 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝐿)
%𝑇𝐹(𝐺𝐴𝐸) = × 100
𝑚𝑔 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
0,769 × 20 × 0,004
%𝑇𝐹(𝐺𝐴𝐸) = × 100
4.118,3
0,06152
%𝑇𝐹(𝐺𝐴𝐸) = × 100
4.118,3
%𝑇𝐹(𝐺𝐴𝐸) = 0,0015%

Keterangan:
C sampel : konsentrasi fenol dalam sampel yang diperoleh dari perhitungan
dengan persamaan regresi linier larutan standar (mg/L).
fp : faktor pengenceran sampel
V sampel : volume sampel ekstrak
mg sampel : massa ekstrak (mg)

4.4 UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN


1. Kurva standar asam askorbat
Konsentrasi Asam
No Absorbansi
Askorbat (ppm)
0,335
1 0 0,350
Mean : 0,3425
2 1 0,278
3 2 0,272
4 4 0,219
5 5 0,186
6 6 0,153
7 8 0,139
8 10 0,060

Kurva Standar Asam Askorbat


0.4
0.35
0.3
0.25
y = -0.0257x + 0.322
absorbansi 0.2
R² = 0.973
0.15
0.1
0.05
0
0 2 4 6 8 10 12
konsentrasi(ppm)

2. Data pengukuran absorbansi sampel


No Konsentrasi ekstrak (ppm) Absorbansi
1 1000 0,275
2 800 0,291
3 600 0.292
4 400 0,296
5 200 0,304

3. Penentuan Persen Inhibisi Asam Askorbat


𝐴𝑏𝑠. 𝐾𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 − 𝐴𝑏𝑠 𝑆𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟
%𝐼𝑛ℎ𝑖𝑏𝑖𝑠𝑖 𝑅𝑎𝑑𝑖𝑘𝑎𝑙 𝐷𝑃𝑃𝐻 = ( ) × 100
𝐴𝑏𝑠 𝐾𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙

No Konsentrasi Asam % Inhibisi


Askorbat (ppm)
1 1 18,83%
2 2 20,58%
3 4 36,06%
4 5 45,69%
5 6 55,33%
6 8 59,42%
7 10 82,48%

4. Penentuan Persen Inhibisi Sampel Ekstrak


𝐴𝑏𝑠. 𝐾𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 − 𝐴𝑏𝑠 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
%𝐼𝑛ℎ𝑖𝑏𝑖𝑠𝑖 𝑅𝑎𝑑𝑖𝑘𝑎𝑙 𝐷𝑃𝑃𝐻 = ( ) × 100
𝐴𝑏𝑠 𝐾𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙
No Konsentrasi Ekstrak(ppm) % Inhibisi
1 1000 19,71%
2 800 15,04%
3 600 14,74%
4 400 13,58%
5 200 11,24%

5. Penentuan Nilai IC50 (Inhibitory Concentration) Asam Askorbat


Konsentrasi Asam
No % Inhibisi
Askorbat (ppm)
1 1 18,83%
2 2 20,58%
3 4 36,06%
4 5 45,69%
5 6 55,33%
6 8 59,42%
7 10 82,48%
% INHIBISI ASAM ASKORBAT
Y 90
80
70
60
y = 7.0228x + 9.3672
50
R² = 0.9747
40
30
20
10
0
0 5 10 15 X

𝑦 = 7,022𝑥 + 9,367
50 = 7,022𝑥 + 9,367
50 − 9.367 = 7,022𝑥
50 − 9.367
𝑥=
7,022
𝐼𝐶50 = 5.79

6. Penentuan Nilai IC50 (Inhibitory Concentration) Sampel Ekstrak


No Konsentrasi Ekstrak(ppm) % Inhibisi
1 1000 19,71%
2 800 15,04%
3 600 14,74%
4 400 13,58%
5 200 11,24%
% INHIBISI Eucheuma cottonii
25
Y
20

15

10
y = 0.0092x + 9.342
5 R² = 0.8837

0
0 500 1000 1500
X

𝑦 = 0,009 + 9,342
50 = 0,009𝑥 + 9,342
50 − 9.342 = 0,009𝑥
50 − 9.342
𝑥=
0,009
𝐼𝐶50 = 4.517,6

7. Nilai Aktivitas Antioksidan (AAI, Antioxidant Activity Index)


𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝐷𝑃𝑃𝐻
𝐴𝐴𝐼 = ( )
𝐼𝐶50
Interpretasi nilai AAI:
Nilai AAI < 0,5 : Antioksidan Lemah
Nilai AAI > 0,5 - 1 : Antioksidan Sedang
Nilai AAI 1-2 : Antioksidan Kuat
Nilai AAI > 2 : Antioksidan Sangat Kuat
- Nilai Aktivitas Antioksidan asam askorbat
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝐷𝑃𝑃𝐻
- 𝐴𝐴𝐼 = ( )
𝐼𝐶50
50
- 𝐴𝐴𝐼 = (5,79)

- 𝐴𝐴𝐼 = 8,64
- Nilai Aktivitas Antioksidan Eucheuma cottonii
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝐷𝑃𝑃𝐻
- 𝐴𝐴𝐼 = ( )
𝐼𝐶50
50 𝑝𝑝𝑚
- 𝐴𝐴𝐼 = ( 4.517,6 )

- 𝐴𝐴𝐼 = 0,011

No Bahan Uji Nilai AAI Interpretasi


1 Asam Askorbat 8,64 Sangat kuat
2 Eucheuma cottonii 0,011 Sangat lemah

4.5 UJI ANTIBAKTERI SENYAWA BAHAN ALAM


Metode Difusi Cakram
Diameter Daya
Diameter Daya
No Bahan Uji Hambat Bakteri
Hambat Bakteri E.coli
S.aureus
1 Kontrol Positif
26 mm 28 mm
(Chlorapenicol)
2 Ekstrak Eucheuma
cottonii 90 % (pelarut 8 mm 9 mm
aquadest)
BAB V
PEMBAHASAN

HASIL EKSTRAKSI Eucheuma cottonii


Sebanyak 50 gram simplisia Eucheuma cottonii diekstraksi dengan metode
maserasi menggunakan pelarut etanol tanpa pemanasan. Pemanasan tidak
dilakukan bertujuan agar senyawa-senyawa dapat terekstrak dengan baik dan tidak
mengalami dekomposisi. Selama maserasi terjadi proses difusi. Proses ini
berlangsung hingga terjadi kesetimbangan antara larutan yang terdapat di dalam
sel dan di luar sel. Ketika kesetimbangan telah tercapai maka proses difusi akan
terhenti (Wachidah, 2013). Dari proses maserasi sampel diperoleh ekstrak 4,1183
gram dengan nilai rendemen sebesar 8,24%. Terdapat beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi proses maserasi diantaranya ukuran partikel sampel, kondisi dan
waktu penyimpanan, lama masa ekstraksi, perbandingan jumlah sampal dengan
pelarut yang digunakan serta jenis pelarut yang digunakan (Wachidah, 2013).

SENYAWA BIOAKTIF (FITOKIMIA) PADA EKSTRAK Eucheuma


cottonii SECARA KUALITATIF.
Pada pengujian fitokimia ekstrak Eucheuma cottonii dilakukan
pengenceran terhadap ekstrak pekat Eucheuma cottonii sebesar 100X untuk
mempermudah dalam pengamatan perubahan warna yang terjadi. Berdasarkan
pengujian fitokimia secara kualitatif diketahui bahwa ekstrak Eucheuma cottonii
memiliki kandungan senyawa alkaloid, flavonoid dan fenol. Sedangkan pada uji
saponin dan kuinon menunjukkan hasil negative.
Alkaloid
Alkaloid adalah suatu golongan senyawa yang banyak ditemukan di alam.
Hampir seluruh senyawa ini berasal dari tumbuhan dan tersebar luas dalam
berbagai jenis tanaman. Alkaloid mengandung paling sedikit satu atom nitrogen
yang berifat basa dan dalam sebagian besar atom nitrogen ini merupakan bagian
dari cincin heterosiklis. Penggolongan alkaloid dilakukan berdasarkan sistem
cincinnya, misalnya piridina, piperidine, indol, isokuinolina, dan tropana.
Senyawa alkaloid terdapat dalam tumbuhan biasanya sebagai garam berbagai
senyawa organic dan sering ditangai di laboratorium sebagai garam dengan asam
hidroklorida dan asam sulfat (Latifah, 2015).
Uji alkaloid dengan pereaksi Wagner menunjukan hasil negative karena
tidak terbentuknya endapan putih sementara terbentuknya endapan berwarna
merah jingga pada uji alkaloid dengan pereaksi Dragendorf menunjukan ekstrak
Eucheuma cottonii mengandung senyawa alkaloid. Tujuan penambahan HCl
adalah karena alkaloid bersifat basa sehingga biasanya diekstrak dengan pelarut
yang mengandung asam (Setyowati, Ariani, Ashadi, Putri, & Mulyani, 2014).
Endapan yang terbentuk karena adanya pembentukan senyawa kompleks antara
ion logam dari reagen dengan senyawa alkaloid. Prinsip uji alkaloid pada
dasarnya adalah penegendapan alkaloid dengan logam berat. Pereaksi Dragendorff
mengandung bismuth yang merupakan logam berat atom tinggi. Alkaloid adalah
senyawa yang tersusun dari atom nitrogen yang PEB (Pasangan Elektron Bebas)
yang dapat digunakan untuk membentuk ikatan kovalen koordinat dengan ion
logam (Latifah, 2015).
Hasil positif alkaloid pada uji Wagner ditandai dengan terbentuknya
endapan coklat muda sampai kuning. Diperkirakan endapan tersebut adalam
kalium –alkalioid. Pada pembuatan pereaksi Wagner, iodine bereaksi dengan ion
I- dari kalium iodide menghasilkan ion I3- yang berwarna coklat. Pada uji Wagner,
ion logam K+ akan membentuk ikatan kovalen koordinat dengan nitrogen pada
alkaloid membentuk kompleks kalium-alkaloid yang mengendap (Latifah, 2015;
Setyowati et al., 2014). Reaksi yang terjadi pada uji Wagner ditunjukkan sebagai
berikut:

Hasil positif alkaloid pada uji Dragendorff ditandai dengan terbentuknya


endapan coklat muda sampai kuning. Endapan tersebut adalah kalium-alkaloid.
Pada pembuatan pereaksi Dragendorff, bismuth nitrat dilarutkan dalam HCl agar
tidak terjadi reaksi hidrolisis karena garam bismuth mudah terhidrolisis
membentuk ion bismutil (BiO+). Agar ion Bi3+ tetap berada dalam larutan, maka
larutan tersebut ditambahkan asam sehingga kesetimbangan akan bergeser kea rah
kiri. Selanjutnya ion Bi3+ dari bismuth nitrat bereaksi dengan kalium iodide
membentuk endapan hitam bismuth(III) iodide yang kemudian melarut dalam
kalium iodide berlebih membentuk kalium tetraiodobismutat. Pada uji alkaloid
dengan pereaksi Dragendorff, nitrogen digunakan untuk membentuk ikatan
kovalen koordinat dengan ion K+ yang merupakan ion logam (Latifah, 2015;
Setyowati et al., 2014). Reaksi pada uji Dragendorff ditunjukkan sebagai berikut:

Flavonoid
Flavonoid merupakan senyawa polar karena mempunyai gugus hidroksil
yang tak tersulih, atau suatu gula, sehingga flavonoid cukup larut dalam pelarut
polar seperti etanol, metanol, butanol dan air. Flavonoid umumnya terikat pada
gula sebagai glukosida dan aglikon flavonoid.Uji warna yang penting dalam
larutan alkohol ialah direduksi dengan serbuk Mg dan HCl pekat. Diantara
flavonoid hanya flavalon yang menghasilkan warna merah ceri kuat.Warna merah
pada uji flavonoid disebabkan karena terbentuknya garam flavilium (Wijaya, Y,
A, & Rizal, 2016).
Flavonoid mempunyai kerangka dasar 15 atom karbon yang terdiri dari
dua cincin benzene (C6) terikat pada suatu rantai propane (C3) sehinggga
membentuk suatu susunan C6-C3-C6. Kerangka karbonnya terdiri atas dua gugus
C6 (cincin benzene tersubstitusi) disambungkan oleh rantai alifatik tiga karbon.
Pengelompokan favonoid debedakan berdasarkan cincin heterosiklis-oksigen
tambahan dan gugus hidroksilnya. Salah satu kelompok senyawa flavonoid adalah
Quersetin yang memiliki lima gugus hidroksil yang mampu meredam radikal
bebas. Sebagian besar flavonoid di alam ditemukan dalam bentuk glikosida
dimana unit flavonoid terikat pada satu gula. Gikosida adalah kombinasi antara
suatu gula dan suatu alcohol yang saling berikatan melalui ikatan glikosida.
Flavonoid dapat ditemukan sebagai mono, di, atau triglikosida. Flavonoid yang
berupa glikosida merupakan senyawa polar sehingga dapat diekstrak dengan
etanol, methanol ataupun air (Latifah, 2015).
Ekstrak sampel yang mengandung senyawa flavonoid, maka setelah
penambahan logam Mg dan HCl akan terbentuk garam flavilium berwarna merah
atau jingga. Penambahan HCl pekat dalam uji flavonoid pada metode Wilstater
dimaksudkan untuk menghidrolisis flavonoid menjadi aglikonnya, yaitu dengan
menghidrolisis O-glikosil. Glikosil akan tergantikan oleh H+ dari asam karena
sifat elektrofilik. Glokosida berupa gula yang biasa dijumpai yaitu glukosa,
galaktosa dan ramnosa. Reduksi dengan Mg dan HCl pekat ini menghasilkan
senyawa kompleks yang berwarna merah atau jingga pada flavonol, flavanon,
flavanol, dan xanton (Latifah, 2015). Warna merah sampai jingga diberikan oleh
senyawa flavon, warna merah tua diberikan oleh flavonol atau flavonon, warna
hijau sampai biru diberikan oleh aglikon atau glikosida (Marliana & Suryanti,
2005).

Fenol
Uji fenol secara kualitatif dilakukan dengan 2 metode yaitu dengan
penambahan pereaksi FeCl3 dan dengan pereaksi Folin Ciocalteau. Uji fenol
dengan pereaksi FeCl3 menunjukan hasil negative karena tidak terbentuk warna
hijau. Sedangkan uji fenol dengan pereaksi Folin Ciocalteau ditambah Na2CO3
menunjukan hasil positif karena terbentuk warna biru. Pereaksi FeCl3
dipergunakan secara luas untuk mengidentifikasi senyawa fenol termasuk tanin.
Penambahan FeCl3 berfungsi sebagai sumber atom pusat, dimana tanin
merupakan ligan yang membutuhkan atom pusat untuk membentuk kompleks
yang stabil, sehingga terbentuklah kompleks antara atom pusat Fe3+ dengan ligan
tanin.Pada penambahan larutan FeCl3 1% diperkirakan larutan ini bereaksi dengan
salah satu gugus hidroksil yang ada pada senyawa tanin. Hasil pengujian yang
dilakukan pada tabung reaksi yang menggunakan larutan FeCl3 menunjukkan
timbulnya warna hijau (Wijaya et al., 2016).
Prinsip dari metode Folin Ciocalteau adalah terbentuknya kompleks
berwarna biru. Pereaksi ini mengoksidasi fenolat (garam alkali) atau gugus
fenolik-hidroksi mereduksi asam heteropoli (fosfomolibdat-fosfotungstat) yang
terdapat dalam pereaksi Folin Ciocalteau menjadi suatu kompleks molybdenum-
tungsten. Senyawa fenolik bereaksi dengan reagen Folin Ciocalteau hanya dalam
suasana basa agar terjadi disosiasi proton pada senyawa fenolik menjadi ion
fenolat. Untuk membuat suasana basa digunakan Na2CO3 (Alfian & Susanti,
2012). Gugus hidroksil pada senyawa fenolik bereaksi dengan reagen Folin
Ciocalteau membentuk kompleks molybdenum-tungsten yang berwarna biru.
Saponin
Saponin merupakan senyawa glikosida kompleks dengan berat molekul
tinggi yang dihasilkan terutama oleh tanaman, hewan laut tingkat rendah dan
bebarapa bakteri. Saponin larut dalam air tetapi tidak larut dalam pelarut eter.
Sifat khas dari saponin antara lain berasa pahit, berbusa dalam air dan beracun
bagi binatang berdarah dingin. Uji saponin dinyatakan positif apabila
ditambahkan akuadest panas terbentuk busa atau buih selama 15 menit.
Terbentuknya busa menunjukan adanya glikosida yang mempunyai kemampuan
membentuk buih dalam air yang terhidrolisis menjadi glukosa dan senyawa lain
(Latifah, 2015). Berdasarkan praktikum pengujian fitokimia secara kualitatif
diketahui bahwa ekstrak Eucheuma cottonii tidak mengandung saponin karena
tidak terbentuk busa/buih setelah ditambahkan akuadest panas.
Kuinon
Uji kuinon menunjukkan hasil negative karena tidak terbentuk warna kuning
setelah dilakukan penambahan pereaksi NaOH 1 N.
KANDUNGAN TOTAL FENOL PADA EKSTRAK Eucheuma cottonii.
Penetapan kadar total fenol dilakukan dengan menggunakan reagen Folin-
Ciocalteau. Reagen Folin Ciocalteau digunakan karena senyawa fenolik dapat
bereaksi dengan Folin membentuk larutan berwarna yang dapat diukur
absorbansinya. Prinsip dari metode folin ciocalteau adalah terbentuknya senyawa
kompleks berwarna biru yang dapat diukur pada panjang gelombang 765 nm.
Pereaksi ini mengoksidasi fenolat (garam alkali) atau gugus fenolik-hidroksi
mereduksi asam heteropoli (fosfomolibdat-fosfotungstat) yang terdapat dalam
pereaksi Folin Ciocalteau menjadi suatu kompleks molibdenum-tungsten.
Senyawa fenolik bereaksi dengan reagen Folin Ciocalteau hanya dalam suasana
basa agar terjadi disosiasi proton pada senyawa fenolik menjadi ion fenolat. Untuk
membuat kondisi basa digunakan Na2CO3 5 %. Gugus hidroksil pada senyawa
fenolik bereaksi dengan reagen Folin Ciocalteau membentuk kompleks
molybdenum-tungsten berwarna biru yang dapat dideteksi dengan
spektrofotometer. Semakin besar konsentrasi senyawa fenolik maka semakin
banyak ion fenolat yang akan mereduksi asam heteropoli (fosfomolibdat-
fosfotungstat) menjadi kompleks molibdenum-tungsten sehingga warna biru yang
dihasilkan semakin pekat (Alfian & Susanti, 2012).
Warna biru yang terbentuk akan semakin pekat, setara dengan konsentrasi
ion fenolat yang terbentuk, artinya semakin besar konsentrasi senyawa fenolik
maka semakin banyak ion fenolat yang akan mereduksi asam heteropoli
(fosfomolibdat-fosfotungstat) menjadi kompleks molybdenum-tungsten sehingga
warna biru yang terbentuk semakin pekat. Namun reagen ini tidak hanya
mengukur total fenol, akan tetapi dapat bereaksi dengan zat pereduksi lain.
Kemungkinan ada komponen lain yang dapat bereaksi dengan reagen ini seperti
gula atau asam askorbat (Wachidah, 2013).
Pada penentuan kadar total fenol, larutan standar yang digunakan adalah
asam galat dengan variasi konsentrasi 0,2; 0,4; 0,6; 0,8 dan 1,0 ppm. Diperoleh
nilai regresi linier yaitu: y = 0,834x – 0,002; R2 = 0,997. Asam galat digunakan
sebagai standar pengukuran karena asam galat merupakan turunan asam
hiroksibenzoat yang tergolong asam fenol sederhana. Kandungan fenol asam
organic ini bersifat murni dan stabil (Wachidah, 2013). Kadar total fenol ekstrak
dinyatakan sebagai ekuivalen asam galat atau Gallic Acid Equivalent (GAE).
GAE merupakan acuan umum untuk mengukur sejumlah senyawa fenolik yang
terdapat dalam suatu bahan (Amanah & Aznam, 2015). Nilai Gallic Acid
Equivalent (GAE) menunjukkan jumlah kesetaraan milligram asam galat dalam 1
mg sampel (Wachidah, 2013). Berdasarkan perhitungan terhadap data yang
diperoleh melalui praktikum uji total fenol diperoleh nilai %TF(GAE) yaitu
sebesar 0,0015%.
Kelarutan senyawa fenolik bergantung pada pelarut yang digunakan.
Komponen polifenol memiliki spektrum yang luas dengan sifat kelarutan yang
berbeda-beda. Hal inilah yang menyebabkan sulitnya prosedur ekstraksi yang
cocok untuk mengekstrak fenolik pada tanaman. Berdasarkan laporan sebuah
studi, tingginya total polifenol pada pelarut etil asetat diduga adanya golongan
polifenol yang memiliki berat molekul yang sama dengan pelarut etil asetat seperti
tanin dan flavanol. Dilaporkan bahwa pelarut etil asetat sangat cocok untuk
mengekstraksi senyawa fenolik. Kandungan fenolik total yang terdapat di dalam
ekstrak etil asetat lebih besar dibandingkan dengan ekstrak metanol dan kloroform
(Adi Ahmad Samin, Nurhayati Bialangi, 2013).

AKTIVITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK Eucheuma cottonii.


Pengujian aktivitas antioksidan dari ekstrak Eucheuma cottonii dilakukan
dengan metode DPPH. Metode DPPH merupakan metode yang sederhana, mudah
untuk penapisan aktivitas penangkapan radikal beberapa senyawa, efektif dan
praktis. Aktivitas diukur dengan menghitung jumlah pengurangan intensitas
cahaya ungu DPPH yang sebanding dengan pengurangan konsentrasi DPPH.
Perendaman tersebut dihasilkan oleh bereaksinya molekul difenil pikri hirazil
dengan atom hidrogen yang dilepaskan oleh molekul komponen sampel sehingga
terbentuk senyawa difenil pikril hidrazin dan menyebabkan terjadinya peluruhan
warna DPPH dari ungu menjadi kuning (Adi Ahmad Samin, Nurhayati Bialangi,
2013).
Radikal bebas DPPH (2,2-difenil-1-pikrilhidrazil) akan ditangkap oleh
senyawa antioksidan melalui reaksi penangkapan atom hydrogen dari senyawa
antioksidan oleh radikal bebas untuk mendapatkan pasangan electron dan
mengubahnya menjadi difenil pikril hidrazin (DPPH-H). Radikal bebas DPPH
mempunyai kereaktifan yang rendah, sehingga dapat mengurangi radikal bebas
yang bersifat toksik. DPPH menerima electron arau radikal hydrogen akan
membentuk molekul diamagnetic yang stabil. Interaksi antioksidan dengan DPPH
baik secara transfer electron atau radikal hydrogen pada DPPH, akan menetralkan
karakter radikal bebas dari DPPH (Ikhlas, 2013).
Pengukuran absorbansi dilakukan pada panjang gelombang 600nm yang
diperoleh melalui scan panjang gelombang sehingga diperoleh panjang
gelombang maksimum. Penentuan panjang gelombang maksimum bertujuan
untuk mengetahui panjang gelombang yang mempunyai serapan maksimum, yaitu
saat senyawa berwarna yang terbentuk telah optimum sehingga diperoleh
kepekaan yang maksimum (Rastuti & Purwati, 2012). Pada penentuan aktivitas
antioksidan, larutan standar yang digunakan adalah asam askorbat dengan variasi
konsentrasi 1, 2, 4, 5, 6, 8 dan 10 ppm. Uji aktivitas antioksidan menggunakan
asam askorbat (vitamin C) sehingga satuan pengukuran dinyatakan sebagai AEAC
(Ascorbic Acid Equivalent Antiokxidant Capacity) (Adi Ahmad Samin, Nurhayati
Bialangi, 2013). Viamin C merupakan antioksidan yang larut dalam air. Memiliki
rumus molekul C6H8O6 yang diketahui memilki aktivitas antioksidan yang besar
karena bersifat reduktor. Sifat reduktor tersebut disebabkan oleh mudah
terlepasnya atom-atom hydrogen pada gugus hidroksil yang terikat pada pada
atom C2 dan atom C3 (atom-atom C pada iaktan rangkap), sehingga radikal bebas
dapat dengan mudah menangkapnya dan membentuk radikal bebas tereduksi yang
stabil. Setelah pengukuran diperoleh data absorbansi dengan persamaan regresi
linier yaitu y = -0,025x + 0,322; R2=0,973. Kemudian dihitung persen inhibisinya.
Persen inhibisi adalah kemampuan suatu sampel untuk menghambat aktivitas
radikal bebas yang berhubungan dengan konsentrasi suatu sampel. Persen inhibisi
diperoleh dari perbedaan serapan antara absorbansi control negative dengan
absorbansi sampel yang diukur dengan spektrofotmeter visible (Wachidah, 2013).
Parameter yang digunakan untuk menentukan aktivitas antioksidan adalah
Inhibitory Concentration (IC50). Nilai IC50 merupakan nilai yang menunjukkan
besarnya konsentrasi sampel yang dapat menghambat degradasi DPPH sebesar
50% (Amanah & Aznam, 2015). Penentuan nilai Inhibitory Concentration (IC50)
dari sampel ekstrak bertujuan untuk memperoleh jumlah dosis ekstrak yang dapat
menurunkan intensitas serapan atau penangkapan radikal bebas DPPH sebesar
50% dibandingkan control negative yang dihitung secara regresi linier.
Bedasarkan praktikum didapatkan nilai Inhibitory Concentration (IC50) asam
askorbat sebesar 5,79 dan nilai Inhibitory Concentration (IC50) dari ekstrak
Eucheuma cottonii sebesar 4.517,6. Semakin kecil nilai Inhibitory Concentration
(IC50) berarti aktivitas antioksidannya semakin tinggi. Suatu senyawa memiliki
aktivitas antioksidan sangat kuat apabila nilai Inhibitory Concentration (IC50)
kurang dari 50 ppm, kuat apabila nilai IC50 antara 50 – 100 ppm, sedang apabila
nilai IC50 berada pada kisaran 100 – 150 ppm, dan lemah apabila nilai IC50
berkisar 150 – 200 ppm (Wachidah, 2013). Penentuan aktivitas antioksidan juga
dapat dihitung melalui penentuan nilai Aktivitas Antioksidan (AAI, Antioxidant
Activity Index) yang diperoleh dari konsentrasi DPPH yang digunakan (ppm)
dibagi nilai IC50. Aktivitas antioksidan dinyatakan sangat kuat apabila nilai AAI >
2, kuat apabila nilai AAI 1 – 2, sedang apabila nilai AAI >0,5 – 1, dan lemah
apabila nilai AAI < 0,5 (Fathurrachman, 2014). Berdasarkan perhitungan dari data
yang didapatkan melalui praktikum didapatkan nilai AAI asam askorbat sebesar
8,64 dan nilai AAI ekstrak Eucheuma cottonii yaitu 0,011. Berpatokan pada dua
parameter tersebut dapat dikatakan bahwa ekstrak Eucheuma cottoni memiliki
aktivitas antioksidan yang sangat lemah.

DAYA ANTIBAKTERI EKSTRAK Eucheuma cottonii.


Uji daya hambat bakteri menggunakan metode difusi cakram (Kirby-
Bauer) pada media Mueller Hilton Agar. Parameter yang diamati adalah lebar
daerah hambat (zona bening) yang muncul disekeliling cakram kertas (Indrawati,
Ratningsih, & Djajasupena, 2013) yang mengadung antibiotic Chloramphenicol
sebagai control positif dan ekstrak bahan alam sebagai sampel uji dengan
konsentrasi 90% pada pelarut aquadest. Uji daya hambat dilakukan terhadap
bakteri Eschericia coli dan Staphylococcus aureus. Hasil daya hambat bakteri
control positif (antibiotic Chloramphenicol) yaitu sebesar 26 mm terhadap bakteri
Eschericia coli dan 28 mm terhadap bakteri Staphylococcus aureus. Menurut
CLSI, antibiotic Chloramphenicol terhadap bakteri Enterobactericeae ( Klebsiella
sp., E.coli, Proteus sp., ) dinyatakan resisten apabila diameter zona hambat yang
dihasilkan ≤12, intermediet 13-17 mm dan sensitive apabila ≥18 mm. Sedangkan,
terhadap bakteri Staphylococcus aureus dinyatakan resisten apabila diameter zona
hambat yang dihasilkan ≤20 dan sensitive apabila ≥21 mm (Jean B. Patel, PhD et
al., 2017). Hal tersebut menunjukkan control positif bekerja dengan baik sehingga
hasil dari sampel uji dapat diterima.
Ekstrak Euchema cottoni menghasilkan daya hambat pertumbuhan bakteri
Eschericia coli sebesar 8 mm dan 9 mm terhadap bakteri Staphylococcus aureus.
Pola penghambatan pertumbuhan bakteri oleh ekstrak Euchema cottoni
membentuk zona radical dan iradical. Zona radical yaitu suatu daerah disekitar
disk dimana sama sekali tidak ditemukan adanya pertumbuhan bakteri. Potensi
antibiotik diukur dengan mengukur diameter dari zona radical. Zona iradical
Suatu daerah disekitar disk yang menunjukkan pertumbuhan bakteri dihambat
oleh antibiotik tersebut, tapi tidak dimatikan. Disini akan terlihat adanya
pertumbuhan yang kurang subur atau lebih jarang dibanding dengan daerah diluar
pengaruh antibiotik tersebut (Wasitaningrum, 2009). Berdasarkan uji fitokimia
secara kualitatif Ekstrak Euchema cottonii mengandung senyawa alkaloid,
flavonoid dan fenol. Menurut Mardiani.dkk, 2002 ekstrak Euchema cottoni
mengandung metabolit sekunder yaitu flavonoid, fenol dan tannin yang memiliki
aktivitas antibakteri (Mardiani, Subekti, & Cahyoko, 2002).
Flavonoid dalam menghambat pertumbuhan bakteri adalah dengan
mengganggu aktivitas membran sel bakteri dengan cara membentuk senyawa
kompleks terhadap protein di luar sel. Alkaloid merupakan zat yang mempunyai
kecenderungan menghambat pertumbuhan bakteri, mengandung satu atau lebih
atom nitrogen yang bersifat basa dan merupakan zat aktif dari tanaman yang
berfungsi sebagai obat. Mekanisme kerjanya adalah gugus basa alkaloid akan
berikatan dengan senyawa asam bakteri seperti DNA, sehingga menyebabkan
terganggunya sintesis protein dan asam nukleat dalam sel, sehingga menyebabkan
pertumbuhan bakteri terhambat. Mekanisme kerja polifenol sebagai agen
antibakteri adalah dengan merusak dan menembus dinding sel serta
mengendapkan protein sel bakteri, sehingga menyebabkan kebocoran sel. (Putri,
Hazar, & Fitrianingsih, 2016).
BAB. VI
PENUTUP
6.1 SIMPULAN
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa :
6.1.1 Uji bahan alam pada sampel Euchema cottoni proses maserasi sampel
diperoleh ekstrak 4,1183 gram dengan nilai rendemen sebesar 8,24%.
6.1.2 Pada uji kualitatif fitokimia diperoleh hasil positif pada uji alkaloid
dengan metode Dragendorf, hasil positif pada uji flavonoid dengan
perubahan menjadi warna kuning, pada uji saponin hasil menunjukkan
negatif karena ketiadaan busa, serta uji kuinon yang negatif ditunjukkan
oleh sampel.
6.1.3 Pada uji kuantitatif diperoleh kadar total fenol sebesar 0,0015 %.
Inhbitory concentration ( IC50) dari sampel ini adalah 4.517,6 dan
aktivitas dari antoksidan dari sampel ini adalah 0,011.
6.1.4 Aktivitas dari antibakteri dengan metode difusi cakram sampel ini
menghasilkan diameter daya hambat pada bakteri E.coli sebesar 8 mm
dan daya hambat bakteri S. aureus sebesar 9 mm. Pola penghambatan
pertumbuhan bakteri oleh ekstrak Euchema cottoni membentuk zona
radical dan iradical
6.2 SARAN
Adanya kekurangan dalam penelitian ini mengharuskan penelitian selanjutnya
di lakukan dengan tujuan memperjelas dan melengkapi kekurangan dari
penelitian ini. Adapun saran yang dapat diajukan sebagai rujukan untuk
penelitian selanjutnya adalah sebagai berikut:
6.2.1. Penelitian dilanjutkan ketingkat yang lebih sfesifik seperti karakterisasi
senyawa yang terdapat dalam setiap ekstrak seperti penentuan strukrur
atau isolasi dan uji aktivitas lainnya.
6.2.2. Dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai Euchema cottoni agar
manfaatnya bisa diketahui dan dibuktikan secara ilmiah sehingga dapat
dimanfaatkan secara maksimal khalayak umum.
6.2.3. Untuk mendapatkan hasil pengujian yang akurat diperhatikan pada
setiap proses pengujian yang dilakukan mulai dari sterilitas, volume
sampel, pemipetan, metode yang digunakan, standar yang digunakan
dalam setiap proses pengujian sehingga hasil yang diperoleh akan akurat.
DAFTAR PUSTAKA

Adi Ahmad Samin, Nurhayati Bialangi, Y. K. S. (2013). Penentuan Kandungan


Fenolik Total Dan Aktivitas Antioksidan Dari Rambut Jagung (Zea Mays
L.)Yang Tumbuh Didaerah Gorontalo. Jurnal Pendidikan Kimia Fakultas
MIPA Universitas Negeri Gorontalo, 213–226.
Alfian, R., & Susanti, H. (2012). PENETAPAN KADAR FENOLIK TOTAL
EKSTRAK METANOL KELOPAK BUNGA ROSELLA MERAH
(Hibiscus sabdariffa Linn) DENGAN VARIASI TEMPAT TUMBUH
SECARA SPEKTROFOTOMETRI. Pharmaciana, 2(1), 73–80.
https://doi.org/10.12928/pharmaciana.v2i1.655
Amanah, I., & Aznam, N. (2015). PENENTUAN KADAR TOTAL FENOL DAN
UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN KOMBINASI EKSTRAK SARANG
SEMUT (Myrmecodia pendens Merr. & L.M. Perry) DAN EKSTRAK
KENCUR (Kaempferia galanga Linn.) DENGAN METODE β-CAROTENE
BLEACHING. Jurnal Jurusan Pendidikan Kimia Fakultas MIPA
Universitas Negeri Yogyakarta, 1–9.
Ikhlas, N. (2013). Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Herba Kemangi (Ocimum
americanum Linn) dengan Metode DPPH (2,2-Difenil-1-Pikrilhidrazil).
Skripsi, 78.
Indrawati, I., Ratningsih, N., & Djajasupena, S. (2013). UJI SENSITIVITAS
BAKTERI STAPHYLOCOCCUS AUREUS, STREPTOCOCCUS
PYOGENES DAN PSEUDOMONAS AERUGINOSA TERHADAP AIR
REBUSAN CACING TANAH LUMBRICUS RUBELLUS DAN
PHERETIMA ASIATICA DAN ANTIBIOTIK SECARA IN VITRO. ISSN
1979-8911, VII(2), 89–105.
Jean B. Patel, PhD, D., Robin Patel, M., Melvin P. Weinstein, M., Sandra S.
Richter, MD, D., George M. Eliopoulos, M., Michael Satlin, MD, M., …
Tony Mazzulli, MD, FRCP (C), F. (2017). Performance Standards for
Antimicrobial Susceptibility Testing. Clinical And Laboratory Standards
Institute 27th Edition, 1–15.
Latifah. (2015). IDENTIFIKASI GOLONGAN SENYAWA FLAVONOID DAN
UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN PADA EKSTRAK RIMPANG
KENCUR Kaempferia galanga L. DENGAN METODE DPPH (1,1-
DIFENIL-2-PIKRILHIDRAZIL). Skripsi, 1–128.

Mardiani, I., Subekti, S., & Cahyoko, Y. (2002). DAYA ANTIBAKTERI


EKSTRAK RUMPUT LAUT (Eucheuma cottonii) TERHADAP
PERTUMBUHAN Vibrio harveyi DENGAN METODE DILUSI SECARA
IN VITRO.
Marliana, S. D., & Suryanti, V. (2005). Skrining Fitokimia dan Analisis
Kromatografi Lapis Tipis Komponen Kimia Buah Labu Siam ( Sechium
edule Jacq . Swartz .) dalam Ekstrak Etanol. Biofarmasi, 3(1), 26–31.
Retrieved from http://biosains.mipa.uns.ac.id/F/F0301/F030106.pdf
Putri, D. D., Hazar, S., & Fitrianingsih, S. P. (2016). Uji Aktivitas Antibakteri
Ekstrak Herba Kitolod ( Isotoma longiflora ( L .) C . Presl ) terhadap Bacillus
cereus. Prosiding Farmasi ISSN: 2460-6472, 2(2), 529–535.
Rastuti, U., & Purwati, P. (2012). UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK
DAUN KALBA (Albizia falcataria) DENGAN METODE DPPH(1,1-
Difenil-2-pikrilhidrazil) DAN IDENTIFIKASI SENYAWA METABOLIT
SEKUNDERNYA. Molekul, 7(1), 33.
https://doi.org/10.20884/1.jm.2012.7.1.104
Setyowati, W. A. E., Ariani, S. R. D., Ashadi, Putri, R. C., & Mulyani, B. (2014).
Skrining Fitokimia dan Identifikasi Komponen Utama Ekstrak Metanol Kulit
Durian ( Durio zibethinus Murr .) Varietas Petruk. SEMINAR NASIONAL
KIMIA DAN PENDIDIKAN KIMIA VI, 271–280.
Wachidah, L. N. (2013). FLAVONOID TOTAL DARI BUAH PARIJOTO (
Medinilla speciosa Blume ) FLAVONOID TOTAL DARI BUAH PARIJOTO (
Medinilla speciosa Blume ).
Wasitaningrum, I. D. A. (2009). UJI RESISTENSI BAKTERI Staphylococcus
aureus dan Escherichia coli DARI ISOLAT SUSU SAPI SEGAR
TERHADAP BEBERAPA ANTIBIOTIK. FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA, 0–29.
Wijaya, D., Y, P. P., A, R. S., & Rizal, M. (2016). Screening Fitokimia dan
Aktivitas Antioksidan Daun Eceng Gondok ( Eichhornia crassipes ). Jurnal
Kimia VALENSI: Jurnal Penelitiandan Pengembangan Ilmu Kimia, 1(1), 65–
69. https://doi.org/10.15408/jkv.v0i0.4965

Anda mungkin juga menyukai