Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH PENGENDALIAN MUTU HASIL PERIKANAN

INDIKATOR MIKROBIOLOGI DALAM PENGOLAHAN HASIL


PERIKANAN

Disusun oleh :
Dicky Putra

(13083)

M. Nurdin SJ

(13088)

Atikah Nur F

(13133)

Yo Florensia O

(13137)

Haditya Rayi

(13308)

Ibnu Lutfiandi

(13373)

JURUSAN PERIKANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki laut sangat luas. Sehingga potensi
sumber daya ikannya pun sangat besar, dan diperkirakan mencapai 6,7 juta ton per tahun. (Anonymous,
2005). Namun kadar air pada tubuh ikan sekitar 80% merupakan substrat yang baik dan sangat
mendukung bagi pertumbuhan mikroorganisme (Hutomo, 1987). Mikroorganisme merupakan
jasad hidup yang mempunyai ukuran sangat kecil (Kusnadi dkk, 2003). Setiap sel tunggal
mikroorganisme memiliki kemampuan untuk melangsungkan aktivitas kehidupan antara lain
dapat dapat mengalami pertumbuhan, menghasilkan energi dan bereproduksi dengan
sendirinya.
Mikroorganisme atau mikroba adalah organisme hidup yang berukuran sangat kecil
dan hanya dapat diamati dengan menggunakan mikroskop. Mikroorganisme dapat
berinteraksi dengan organisme lain dengan cara yang menguntungkan atau merugikan
(Akhiarif 2011). Interaksi mikroorganisme dengan ikan dapat menyebabkan perubahan yang
menguntungkan. Selain itu, interaksi mikroorganisme semacam bakteri, jamur dan cendawan
dalam ikan juga dapat mengakibatkan kerusakan atau pembusukan (Afrianti 2004).
Kerusakan ikan dapat berlangsung cepat atau lambat tergantung dari jenis kondisi
lingkungan dimana ikan atau makanan diletakkan (Wijayanti 2011). Kerusakan bahan
makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme terjadi karena mikroorganisme tersebut
berkembangbiak dan bermetabolisme sehingga ikan mengalami perubahan. Secara rinci
menurut Buckle et al. (1987) kerusakan ikan yang disebabkan oleh mikroorganisme terjadi
akibat struktur seluler ikan yang mudah rusak sehingga mudah diserang mikroorganisme.
Mikroorganisme akan memecah senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana agar
disintesa yang pada akhirnya akan mempengaruhi perubahan tekstur, warna, bau, dan rasa.
Menurut

Fardiaz

(1989)

faktor-faktor

yang

mempengaruhi

pertumbuhan

mikroorganisme antara lain meliputi faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik, faktor proses, dan
faktor implisit. Faktor intrinsik meliputi pH, aktivitas air (activity of water, aw), kemampuan
mengoksidasi-reduksi (redoxpotential, Eh), kandungan nutrien, bahan antimikroba, dan
struktur

bahan

makanan.

Faktor

ekstrinsik

yang

mempengaruhi

pertumbuhan

mikroorganisme adalah suhu penyimpanan, kelembaban, tekanan gas (O 2), cahaya dan
pengaruh sinar ultraviolet.

Selain faktor intrinsik dan ekstrinsik menurut Yudhabuntara (2010) terdapat juga
faktor proses dan faktor implisit. Semua proses teknologi pengolahan ikan (pemanasan,
pengeringan, penggaraman, curing, pengasapan, pasteurisasi, blanching) mengubah ikan
tersebut yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroorganisme. Sedangkan faktor implisit
adalah adanya sinergisme atau antagonisme di antara mikroorganisme di dalam ikan. Ketika
mikroorganisme tumbuh pada ikan dia akan bersaing untuk memperoleh ruang dan nutrien.
Dengan demikian akan terjadi interaksi di antara mikroorganisme yang berbeda yang dapat
saling mendukung maupun saling menghambat.
Salah satu indikator kerusakan produk pangan yang salah satunya adalah ikan adalah
bila jumlah mikroorganisme tumbuh melebihi batas yang telah ditetapkan. Salah satu metode
pengujian yang dapat dilakukan adalah metode Standard Plate Count (SPC) yang
menjelaskan cara menghitung koloni pada cawan serta cara memilih data yang ada untuk
menghitung jumlah koloni di dalam suatu contoh.
B. Tujuan
1. Mengetahui indikator mikrobiologi mutu produk dan sanitasi
2. Mengetahui cara penentuan bakteri dalam produk

II. PEMBAHASAN
A. Konsep Umum Mikrobiologi
Mikrobiologi berasal dari bahasa Yunani, mikros = kecil, bios = hidup dan logos =
ilmu sehingga secara harafiah mikrobiologi dapat diartikan ilmu tentang mikroorganisme
yang mencakup bermacam-macam kelompok organisme mikroskopik yang terdapat
sebagai sel tunggal maupun kelompok sel, termasuk kajian virus yang bersifat

mikroskopik meskipun bukan termasuk sel. Mikrobiologi adalah ilmu yang mempelajari
tentang mikroorganisme yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang untuk meneliti
apa saja yang terkandung di dalam mikroorganisme (Dwidjoseputro, 2003).
Mikrobiologi dimulai sejak ditemukannya mikroskop, abad ke-19 mikrobiologi
berkembang dengan pesat dan menjadi landasan terbukanya bidang lain yaitu biokimia.
Pada masa kini mikrobiologi diterapkan dalam berbagai bidang karena sifatnya sangat
penting dan tidak bisa dipisahkan dengan cabang lain. Contohnya dalam bidang farmasi,
kedokteran, pertanian, ilmu gizi, teknik kimia, bahkan hingga astrobiologi dan arkeologi
(Husni dan Prima, 2014).
B. Indikator Bakteriologi pada Sanitasi Pabrik
Menurut Fardiaz (1993), untuk digunakan sebagai mikrobia indikator, terdapat
persyaratan yang harus dipenuhi oleh mikrobia tersebut, syaratnya antara lain :
1.

Dapat digunakan untuk berbagai jenis air

2.

Mikroorganisme harus muncul bila patogen enterik dan sumber polusi muncul

3.

Tidak ada di air yang terpolusi

4.

Mudah diisolasi, murah, mudah diidentifikasi, dan mudah dihitung

5.

Lebih banyak jumlahnya dan lebih tahan dibanding patogen

6.

Bukan merupakan patogen

7.

Tidak berkembang biak di air

8.

Merespon perlakuan dan kondisi lingkungan

9.

Kepadatan indikator harus berkaitan langsung dengan derajat polusi

10. Menjadi bagian dari mikroflora dalam saluran pencernaan hewan berdarah panas
Menurut Husni dan Prima (2014), bakteriologi merupakan indikator yang digunakan
sebagai kontrol untuk memastikan praktik sanitasi pabrik yang efektif untuk menjamin
kualitas produk makanan yang diterima pelanggan. Tujuannya untuk membahas secara
rinci uji bakteriologi yang digunakan baik oleh pembeli dan pemerintah dalam upaya
untuk menilai kualitas bakteriologis produk ikan dan tingkat sanitasi pekerja di pabrik
tempat produksi suatu produk.
Sampling
Sampel ikan dikumpulkan untuk pengujian bakteriologi harus secara akurat
mencerminkan dua kondisi, yaitu :
- Kondisi bakteriologis dalam pabrik saat pengambilan sampel
- Kondisi bakteriologis sampel itu sendiri

Dalam rangka untuk memenuhi dua kondisi, sangat penting bahwa dua prosedur yang
dikenal sebagai Sampling aseptic dipekerjakan. Ini berarti bahwa analisis sampel
memang harus dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak ada permasalahan mengenai
sumber bakteri yang ada. Dengan kata lain, tidak boleh ada perubahan dari populasi
bekteri akibat kontaminasi.
Lokasi Sampling
Sampel yang diambil berasal dari produk akhir supaya dapat mewakili dua poin yang
telah disebutkan sebelumnya. Sampel yang telah diambil dapat ditempatkan.
- Sebagai paket dengan prossesor
- Dalam tas polietilen baru
Penanganan Sampel
Sampel yang diambil tersebut mencerminkan kondisi bakteriologis dalam pabrik dan
dari sampel sendiri. Jadi sebaiknya sampel segera diperiksa setelah tahapan
pengumpulan supaya tidak terlalu banyak perubahan kandungan mikroba dari sampel.
Namun apabila sampel tidak bisa segera diperiksa setelah proses pengumpulan maka
dapat diterapkan perlakuan sebagai berikut :
- Chilling
Mendinginkan sampel dengan cara merendam wadah sampel dalam es mencair
pada suhu mencapai 00C.
- Pembekuan
Proses pembekuan dapat mengurangi jumlah bakteri dalam sampel karena
pembekuan dapat membunuh bakteri. Oleh sebab itu Laboratorium Ikan Canadian
Federal Inspeksi merekomendasikan untuk menyimpan sampel dalam proses
pembekuan selama tidak lebih dari 4 minggu sebelum dianalisis.
C. Indikator Mikrobiologi Sanitasi
1. Coliform
Coliform merupakan suatu grup bakteri yang digunakan sebagai indikator
adanya polusi kotoran dan kondisi yang tidak baik terhadap air, makanan, susu dan
produk-produk susu. Coliform sebagai suatu kelompok dicirikan sebagai bakteri
berbentuk batang, Gram negatif, tidak membentuk spora, aerobik dan anaerobik
fakultatif yang memfermentasi laktosa dengan menghasilkan asam dan gas dalam
waktu 48 jam pada suhu 35oC. Adanya bakteri Coliform di dalam makanan atau
minuman

menunjukkan

kemungkinan

adanya

mikrobia

yang

bersifat

enteropatogenik dan atau toksigenik yang berbahaya bagi kesehatan (Farida, 2002).
Bakteri Coliform dapat dibedakan menjadi 2 grup yaitu : (1) Coliform fekal
misalnya Escherichia coli dan (2) Coliform non-fekal misalnya Enterobacter

aerogenes. Escherichia coli merupakan bakteri yang berasal dari kotoran hewan
atau manusia, sedangkan Enterobacter aerogenes biasanya ditemukan pada hewan
atau tanam-tanaman yang telah mati (Fardiaz, 1993 ). Adanya Escherichia coli
dalam air minum menunjukkan bahwa air minum itu pernah terkontaminasi feses
manusia maupun hewan dan mungkin dapat mengandung patogen usus, oleh
karena itu standar air minum mensyaratkan Escherichia coli harus nol dalam 100
ml sampel (Farida, 2002).
Menurut Suriawiria (1996), sifat-sifat Coliform Bacteria yang penting
adalah:
a. Mampu tumbuh baik pada beberapa jenis substrat dan dapat mempergunakan
berbagai jenis karbohidrat dan komponen organik lain sebagai sumber energi
dan beberapa komponen nitrogen sederhana sebagai sumber nitrogen.
b. Mempunyai sifat dapat mensintesis vitamin.
c. Mempunyai interval suhu pertumbuhan antara 10 46,5C.
d. Mampu menghasilkan asam dan gas.
e. Dapat menghilangkan rasa pada bahan pangan.
2. Staphylococcus
Strain Staphylococcus dapat menghasilkan racun (enterotoxin) yang memiliki
kemampuan menyebabkan racun Staphylococcal makanan. Ciri-cirinya mual,
muntah, kram perut (biasanya sangat keras), diare, berkeringat, dan rasa tidak enak
badan. Enterotoxin sangat resistan terhadap panas dan bisa jadi bakteri muncul
pada makanan setelah semua bakteri mati terkena perlakuan panas (Husni dan
Prima, 2014).
Pada ikan segar ataupun dingin dapat ditemukan bakteri Staphylococcus level
rendah sebagaimana bakteri pembusuk. Kedua macam bakteri ini akan
berkompetisi satu sama lain. Bakteri pembusuk akan berkompetisi lebih baik dan
dapat digunakan untuk mengecek keberadaan Staphylococcus. Untuk menimbulkan
racun pada makanan, bakteri Staphylococcus harus mencapai jumlah > 10.000 per
gram, sedangkan bakteri pembusuk yang mencapai jumlah berlebihan akan
menunjukkan pembusukan yang lebih buruk. Makanan yang segar atau dingin
berusaha dibuat sebagai produk dengan memasaknya, tetapi hasilnya bisa jadi
berbeda (Husni dan Prima, 2014).

Pemasakan bisa jadi akan membunuh semua bakteri yang ada, baik bakteri
Staphylococcus atau bakteri pembusuk. Namun, ketika produk dikemas dengan
tangan, kedua macam bakteri tersebut dapat masuk lagi dari mulut, kulit, atau
hidung para pekerja yang menangani produk. Pada waktu ini bakteri
Staphylococcus dapat dicek tanpa adanya bakteri pembusuk. Selanjutnya, jika
suatu produk mengalami suhu yang salah, Staphylococcus akan berkembang
mencapai jumlah yang memenuhi untuk menjadi racun makanan pada produk
(Husni dan Prima, 2014).
Keberadaan bakteri Staphylococcus pada makanan biasanya mengindikasikan
beberapa hal sebagai berikut (Husni dan Prima, 2014) :
a. Sanitasi yang tidak cukup bisa diakibatkan karena praktik kehigienisan yang
rendah dari para penangan makanan atau kebersihan yang tidak cukup pada
peralatan.
b. Suhu yang tidak cukup memadai dalam mengontrol produk.
3. Listeria monocytogenes
Organisme ini sudah sejak lama menjadi perhatian dalam industri pangan.
Lebih dari sepuluh tahun sejak 1979 hingga 1989, empat kelompok utama
mendukung listeriosis di Amerika Utara dan mengakibatkan kematian mendekati
30%. Listeria diisolasi juga dari produk perikanan, seperti udang, kepiting olahan,
lobster olahan, ikan asap, produk berbasis surimi, dan moluska. Pada dasarya,
pertumbuhan bakteri merupakan kunci dasar yang memiliki pengaruh besar untuk
memgevaluasi resiko dari Listeriosis yang berhubungan dengan L.monocytogenes.
pada makanan siap santap (FAO/WHO, 2004)
Listeria monocytogenes adalah bakteri patogen yang secara alami terdapat di
alam. Bakteri ini diisolasi dari spesimen fecal sehat dari hewan dan manusia.ciri
khususnya organisme ini dapat tumbuh pada suhu 3C (atau kurang) hingga 455C
pada pH 5-9,6 dan aw 0,94/ lebih tinggi dan konsentrasi garam tinggi (mungkin
lebih besar dari 10%) (Husni dan Prima, 2014).
L. monocytogenes termasuk dalam genus Listeria yang mempunyai
kekerabatan dekat dengan Bacillus, Lactobacillus, dan Streptococcus. Dari data
sekuen 16S rRNA, Listeria mempunyai kemiripan dengan Brochotrix, dan kedua
genus tersebut bersama dengan Staphylococcus dan Kurthia berada diantara grup
Bacillus dan grup Lactobacillus /Streptococcus di dalam cabang taksonomi

Clostridium-Lactobacillus-Bacillus. Semua anggota dalam cabang taksonomi


tersebut mempunyai % mol G+C kurang dari 50 (Husni dan Prima, 2014).
L. monocytogenes adalah bakteri gram positif, tidak berspora, anaerob
fakultatif, berbentuk batang pendek dan ujung bulat dengan panjang sel 6-20 mm.
Sel-sel yang masih muda tampak sebagai kokus (bulat). L. Monocytogenes
mempunyai flagela yang menyebabkan bersifat motil serta menunjukkan sifat
dapat bergulung (tumbling) pada suhu 25C, tetapi pada suhu 35C tidak bersifat
motil sebab terjadi kerusakan 1-6 flagela peritrikus yang bersifat dapat balik.
Koloninya mempunyai kenampakan abu-abu kebiruan (Jay, 1997).
Secara umum L. monocytogenes mampu tumbuh pada kisaran pH 4,1 sampai
9,6 dengan pH optimum 6-8 (Jay, 1997). pH pertumbuhan minimum bakteri
tersebut merupakan fungsi dari suhu inkubasi dan komposisi nutrisi tempat
tumbuhnya. Kisaran suhu pertumbuhan L. Monocytogenes antara lC sampai 45C
dengan suhu optimum 30-37C. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Juntilla et al. (1988), diketahui bahwa pada media trypticase agar, terdapat 78
strain L. monocytogenes yang mampu tumbuh pada kisaran suhu 0,5C sampai
3,0C selama 10 hari. L. monocytogenes juga mampu bertahan dengan baik selama
beberapa minggu pada suhu -18C pada berbagai substrat bahan pangan. Bakteri
tersebut juga hanya mengalami sedikit penurunan viabilitas pada penyimpanan
beku (-18C sampai -198C) selama l bulan. Ketahanan L. monocytogenes pada
suhu tinggi hampir sama dengan sel vegetatif bakteri gram positif lainnya. Pada
jumlah kurang dari 105/ml bakteri tersebut tidak tahan pada perlakuan pasteurisasi
susu komersial normal (71C selama 15 detik).
Ada dugaan bahwa hingga 5% manusia membawa L. monocytogenes pada
usus mereka tanpa menimbulkan efek sakit meskipun selama ini bakteri tersebut
dikenal menyebabkan infeksi yang dinamakan listeriosis. Banyak cara penularan
yang teridentifikasi; dari ibu ke bayinya atau infeksi bayi baru lahir, bayi ke bayi,
hewan ke manusia, dan sekarang yang paling banyak terjadi makanan ke manusia
(Husni dan Prima, 2014).
Infeksi serius dari L.monocytogenes dapat dinyatakan dengan septicemia dan
meningitis, juga bisa jadi mengakibatkan kematian. Insiden paling tinggi dari
listeriosis adalah neonates, kaum tua, dan individu yang tidak memiliki ketahanan
imun. Kasus yang paling sering terjadi ialah pada wanita hamil dimana bagian dari
organisme melewati plasenta, kemudian menyebabkan aborsi, kelahiran mati, serta

perinatal septicemia dan meningitis pada bayi baru lahir. Infeksi pada orang
dewasa sehat yang tidak hamil jarang terjadi. Kematian serius akibat listeriosis
mencapai 25% (Husni dan Prima, 2014).
Jumlah kasus listeriosis tiap negara berbeda-beda. Hal ini tergantung pada
perhatian lembaga kesehatan yang memberi perhatian pada lingkungan termasuk
makanan. Di Amerika Utara, aturan makanan terkontaminasi dan yang menjadi
vector penyakit ini relatif tidak jelas. Namun, ada 4 macam golongan mayor
makanan yang berhasil didokumentasikan, antara lain selada kol, atau kubis yang
dipercaya terkontaminasi dengan perlakuan penanaman yang tidak dipupuk, susu
yang mungkin terkontaminsi setelah pasteurisasi, dan keju halus yang terbuat dari
susu, baik yang berupa bahan baku maupun yang sudah di pasteurisasi. Semua
penyakit yang timbul terjadi secara sporadis, tidak ada pembagian waktu dan
tempat (Husni dan Prima, 2014).
Bukti-bukti semakin menunjukan bahwa L. monocytogenes terdapat di alam.
Hasilnya, tidak mengejutkan jika bakteri ini ditemukan pada semua jenis makanan
dari daging, unggas, susu, hasil laut, dan sayuran. Para ahli yang berpartisipasi
dalam WHO Informal Working Group on Food Borne Listeriosis (Februari 1988)
menyimpulkan bahwa penghilangan total bakteri L. monocytogenes dari semua
makanan ada hal mustahil. Situasi ini harus diperhatikan oleh pengambil kebijakan,
industri makanan, dan masyarakat umum di seluruh dunia (Husni dan Prima, 2014).
Metode laboratorium saat isolasi dan identifikasi Listeria monocytogenes
memerlukan 18 hari pengujian yang sangat kompleks dan canggih serta
membutuhkan waktu hingga dua bulan untuk konfirmasi akhir. Metode ini jelas
tidak sesuai untuk digunakan oleh prosesor seafood sebagai alat pencegahan.
Menurut Husni dan Prima (2014), cara terbaik untuk mencegah masalah dengan
organisme ini untuk produk makanan laut siap saji adalah untuk menerapkan
praktik sanitasi yang baik seperti yang diuraikan dalam bab sebelumnya dengan
penekanan khusus sebagai berikut.
a. Menerapkan pembersihan ketat dan praktik sanitasi secara teratur.
b. Memberi peringatan tertentu untuk mencegah terjadinya kondensasi.
c. Memberi peringatan khusus untuk lantai dan menghindari genangan air.
d. Menghindari kontaminasi silang dengan menjaga area produk mentah dan orang
disana benar-benar yang bekerja secara terpisah dari daerah produk lain,
terutama area produk yang dimasak.

e. Menghindari pembentukan aerosol, yang dapat membawa organisme untuk


lantai dan mengalir ke produk jadi. Selang bertekanan tinggi menjadi perhatian
khusus dalam hal ini. Lantai saluran harus dibersihkan setiap hari.
f. Memastikan penggunaan fasilitas pencelupan yang sering dan menyeluruh,
yaitu merendam kaki dan mencuci tangan.
g. Penggunaan pakaian luar dan alas kaki karyawan harus dikontrol dengan ketat
untuk mencegah kontaminasi silang.
Seperti disebutkan sebelumnya, lembaga regulator diseluruh dunia sekarang
bekerja dengan prosesor makanan untuk mengatasi masalah listeria. Misalnya,
Departemen Perikanan dan Kelautan Kanada telah aktif dalam persiapan dan
pelaksanaan GMPs (Good Manufactoring Practices) pada sejumlah makanan laut
siap saji. Praktik- praktik ini didasarkan pada 4 prinsip berikut :
a. Kebutuhan untuk mengurangi atau mengendalikan beban bakteri pada setiap
tahap dalam produksi.
b. Kebutuhan untuk menghindari kontaminasi silang tahap yang berbeda dari
operasi pengolahan.
c. Penggunaan konsep HACCP untuk mengidentifikasi titik kendali kritis dalam
proses dan menggunakan langkah-langkah untuk secara efektif mengontrol titiktitik kritis.
d. Mendirikan zona sanitasi untuk proses yang didasarkan pada pemahaman
bahwa produk sanitasi di zona ini dan tantangan untuk prosesor adalah dengan
menggunakan praktik-praktik yang menghalangi kontaminasi (Husni dan Prima,
2014).
Clostridium botulinum
Clostridium botulinum menghasilkan spora yang tahan terhadap panas dan
neurotoksin. Bakteri ini mempunyai morfologi koloni beragam, bersifat gram
positif berbentuk batang dengan spora di daerah subterminal. Karakter yang dapat
digunakan untuk mengidentifikasi bakteri ini ialah, kemampuan hemolitik (positif),
pembentukan lesitinase (positif), pembentukan lipase (positif), hidrolisis gelatin
(positif), fermentasi glukosa (positif), fermentasi laktosa (negatif). Neurotoksin
yang dihasilkan galur ini terbagi dalam tujuh serotipe yang penyebarannya bersifat
geografi spesifik (Hobbs et al. 1971, Levett 1991).
Bakteri clostridium merupakan bakteri yang heat resistant dan dapat bertahan
dari perebusan yang lama (Levett 1991). Untuk menghancurkan spora yang ada,

makanan harus dipanaskan hingga temperatur 120C atau lebih, seperti dalam
penggunaan pressure cooker karena racun yang diproduksi oleh bakteri dapat
dihancurkan oleh panas. Waktu inkubasi Clostridium botulinum adalah 12 sampai
36 jam.
Gejala klinis yang disebabkan intoksikasi diantaranya adalah gangguan
pencernaan akut yang diikuti oleh pusing-pusing dan muntah-muntah, bisa juga
diare, lelah, pening dan sakit kepala. Gejala lanjut konstipasi, kesulitan menelan
dan berbicara, lidah bisa membengkak dan tertutup, beberapa otot lumpuh, dan
kelumpuhan bisa menyebar kehati dan saluran pernafasan. Kematian bisa terjadi
dalam waktu tiga sampai enam hari (Siagian, 2002). Menurut Bayrak AO and Tilky
HE (2006), gejala klinis akan muncul 2-36 jam setelah mengkonsumsi makanan
yang terkontaminasi Clostridium botulinum.
Kerusakan makanan kaleng dipengaruhi oleh jenis makanan dan jenis mikroba
yang terdapat didalamnya. Tanda-tanda kerusakan pada makanan kaleng yang
disebabkan oleh Clostridium botulinum diantaranya adalah produk mengalami
fermentasi, bau asam, bau keju atau bau butirat, pH sedikit di atas normal dengan
tekstur rusak. Penampakan pada keleng memperlihatkan bahwa kaleng
menggembung. Jika dibiarkan terus menerus mungkin bisa meledak.
D. Cara Penentuan Bakteri
1. Standard Plate Count (SPC)
Standard Plate Count merupakan pengukuran pertumbuhan mikroba yang
difokuskan pada penghitungan jumlah sel yang hidup saja. Prinsip

dari

metode

hitungan cawan (Standard Plate Count) adalah menumbuhkan sel mikroba yang
masih hidup pada metode agar, sehingga sel mikroba tersebut akan berkembang biak
dan membentuk koloni yang dapat dilihat langsung dengan mata tanpa menggunakan
mikroskop. Metode hitungan cawan dapat dibedakan atas dua cara yaitu metode
tuang (pour plate) dan metode permukaan/sebar (surface/spread plate) (Fardiaz,
1993). Untuk memenuhi persyaratan statistik, cawan yang dipilih untuk dihitung
mengandung 30-300 koloni. Untuk memenuhi persyaratan tersebut dilakukan
sederetan pengenceran dan pencawan. Jumlah mikroba dalam sampel ditentukan
dengan mengalikan jumlah koloni dengan faktor pengenceran pada cawan yang
bersangkutan. Satuan yang digunakan untuk menyatakan jumlah koloni atau bakteri
adalah cfu/mL (cfu = colony forming units) (Waluyo 2008).

2. Pour Plate (Metode Tuang)


Metode agar tuang seperti halnya metode penghitungan jumlah kuman hidup
lainnya, dilakukan dengan sampel pada media padat yang mendukung pertumbuhan
mikroorganisme, dan kemudian menginkubasi pelat sehingga setiap sel bakteri dapat
membelah dan membentuk koloni. Dengan demikian, jumlah koloni yang tumbuh
tersebut dapat dihitung (Harmita dan Maksum, 2008). Pertumbuhan jasad renik dapat
ditentukan secara kuantitatif dengan metode langsung maupun tidak langsung.
Pengukuran pertumbuhan secara tidak langsung, misalnya dengan metode penuangan
(plating) pada medium padat, atau dengan menimbang berat biomassanya. Dalam
metode penuangan, jumlah sel ditentukan dengan menghitung jumlah koloni yang
tumbuh dalam medium padat sehingga yang terhitung hanya sel-sel yang masih hidup
(Yuwono, 2005).

3. Metode Cawan Sebar (Spread Plate)


Teknik spread plate (cawan sebar) adalah suatu teknik di dalam
menumbuhkan mikroorganisme di dalam media agar dengan cara menuangkan stok
kultur bakteri atau menghapuskannya di atas media agar yang telah memadat,
sedangkan pour plate kultur dicampurkan ketika media masih cair. Kelebihan teknik
ini adalah mikroorganisme yang tumbuh dapat tersebar merata pada bagian
permukaan agar.
kelemahan menggunakan metode cawan sebar menurut Dwidjoseputro (2005) sebagai
berikut:

Hasil perhitungan tidak menunjukkan jumlah sel yang sebenarnya, karena

beberapa sel yang berdekatan mungkin membentuk koloni.


Medium dan kondisi inkubasi yang berbeda mungkin menghasilkan jumlah

yang berbeda pula.


Mikroba yang ditumbuhkan harus dapat tumbuh pada medium padat dan

membentuk koloni yang kompak, jelas dan tidak menyebar.


Memerlukan persiapan dan waktu inkubasi relatif lama sehingga pertumbuhan
koloni dapat dihitung

4. MPN Fecal Coliform

Menurut Husni dan Prima (2014), MPN (Most Probable Number) adalah
sebuah metode analisis yang digunakan dengan pendekatan statistika dari jumlah
sebenarnya bakteri yang tampak. Fecal coliform adalah sekelompok bakteri yang
digunakan pada banyak industri makanan, termasuk industri pengolahan seafood,
untuk menggambarkan seberapa besar potensi bahaya kontaminasi. Fecal coliform
merupakan kelompok bakteri yang memiliki habitat alami pada kotoran manusia
dan hewan berdarah panas. Fecal coliform juga merupakan bakteri patogen, seperti
Salmonella dan Shigellae.
Peran fecal coliform menjadi dua kali lipat jika terjadi hal berikut (Husni dan
Prima, 2014) :
a. Ketika terdapat pada makanan
Mengindikasi bahwa makanan tersebut baik secara langsung maupun tidak,
terkontaminasi kotoran hewan berdarah panas. Hal tersebut mengindikasi
adanya kondisi tidak bersih pada makanan.
b. Ketika terdapat dalam jumlah banyak pada makanan
Mengindikasi bahwa makanan telah terkontaminasi kotoran manusia dan hewan
berdarah panas. Selain itu, mengindikasi terdapat besarnya resiko satu atau lebih
bakteri patogen yang dapat juga masuk dalam makanan, sehingga berbahaya
bagi kesehatan.
Keberadaan bakteri fecal coliform pada produk perikanan mengindikasi adanya
gangguan praktik kebersihan dari pabrik. Gangguan tersebut biasanya disebabkan
oleh (Husni dan Prima, 2014) :
a.
b.
c.
d.

Rendahnya perilaku higienis dari karyawan


Perlakuan penanganan yang tidak bersih
Prosedur kebersihan rendah
Menggunakan air yang tidak bersih

III. PENUTUP
Kesimpulan
1. Beberapa bakteri yang dapat digunakan sebagai indikator sanitasi dan mutu produk
adalah Coliform, Staphylococcus, Listeria monocytogenes dan Clostridium botulinum.
2. Penentuan bakteri pada produk dapat dilakukan dengan MPN fecal coliform dan SPC
Saran
Bakteri tidak dapat dilihat keberadaanya secara langsung, oleh karena itu setiap tahap
pengolahan harus dijaga sanitasi dan hygine agar produk tidak terkontaminasi dan dapat
merugikan konsumen.

DAFTAR PUSTAKA
Afrianti,

L.

H.

2004.

Cara

mengawetkan

makanan.

http://www.pikiranrakyat.com/cetak/0304/25/cakrawala/lainnya02.htm.
Akhiarif.

2011.

Definisi

Mikroorganisme.

http://id.shvoong.com/writing-and-

speaking/2121956-definisi-mikroorganisme/#ixzz1MfMFrqJk.
Bayrak, A.O and Tilky HE. 2006. Electrophysiologic Findings in a Case of Severe Botulism.
Journal of Neurological Sciences (Turkish). Volume:23, No 1.
Buckle, K. A., Edwards, R. A., Fleet, G.H and Wooton, M. 1987. Ilmu Pangan terjemahan
Purnomo H, Adiono. UI Press. Jakarta.
Dwidjoseputro, D. 2003. Dasar-dasar Mikrobiologi. Djambatan. Jakarta.
______________. 2005. Dasar-dasar mikrobiologi. Djambatan. Malang.
FAO/WHO. 2004. Risk Assessment of L. Monocytogene in Ready-to-Eat Food. Technical
Report. Microbiological Risk Assessement Series 5. FAO/WHO 2004 (ISBN 92-5105127-5).
Fardiaz, S. 1993. Mikrobiologi Pangan I. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Harmita dan Radji, M. 2008. Analisis Hayati. Penerbit Buku Kedokteran ECG p. 30. Jakarta.
Hobbs, G., Williams, K., Willis, A.T. 1971. Basic Methods for the Isolation of Clostridia.
Dalam Shapton DA, Board RG (ed). Isolation of Anaerobes. London Academic. hlm
1-23.
Hutomo, M. dan M.H. Azkab.1987. Peranan Lamun di Lingkungan Laut Dangkal. Oseana 12
(1) : 13-23.
Husni, A dan Prima P. 2014. Pengendalian Mutu Hasil Perikanan. UGM Press. Yogyakarta.
Jay, J. M. 1997. Modern Food Microbiology. 5"edition. Thomson Publishing. New York.
Juntilla, J.R., S.I. Niemela dan J. Hirn. 1988. Minimum Growth Temperatures of Listeria
Monocytogenes and Non Haemolytic Listeria. J. Appl. Bacteriol. 65:32 1-327.

Kusnadi, dkk. 2003. Mikrobiologi. FMIPA Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.


Levett, P. N. 1991. Anaerobic Microbiology. A Practical Approach. Oxford University.
Oxford.
Monod, J. 1949. The Growth of Bacteria Cultures. Annu. Rev. Microbiol. 3, 371-394.
Siagian, A. 2002. Mikroba Patogen Pada Makanan dan Sumber Pencemarannya.
http://www.beritaiptek.com [10 november 2014].
Yuwono, Triwibowo. 2005. Biologi Molekuler. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Waluyo, L. 2008. Teknik dan

Metode Dasar dalam Mikrobiologi. Universitas

Muhammadiyah Malang Press. Malang.


Wijayanti R. 2011. Kerusakan bahan pangan.
http://foodsciencetech46.wordpress.com/2011/01/24/kerusakan-bahan-pangan/.
Yudhabuntara D. 2010. Pengendalian mikroorganisme dalam bahan pangan.
http://milkordie.blogspot.com/2008/05/pengendalian-mikroorganisme-dalambahan.html.

Anda mungkin juga menyukai