Anda di halaman 1dari 36

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hygiene dan Sanitasi Makanan

Hygiene sanitasi makanan dan minuman adalah upaya untuk mengendalikan faktor
tempat, peralatan, orang dan makanan yang dapat atau mungkin dapat menimbulkan
gangguan kesehatan dan keracunan makanan (Depkes RI, 2004). Hygiene sanitasi
makanan merupakan bagian yang penting dalam proses pengolahan makanan yang harus
dilaksanakan dengan baik (Fathonah, 2005).
Menurut Kepmenkes No. 942 tahun 2003 hygiene sanitasi adalah upaya untuk
mengendalikan faktor makanan, orang, tempat dan perlengkapannya yang dapat atau
mungkin dapat menimbulkan penyakit atau gangguan kesehatan (Depkes RI,2004).
1. Pengertian Hygiene
Hygiene adalah ilmu yang berhubungan dengan masalah kesehatan, serta
berbagai usaha untuk mempertahankan atau untuk memperbaiki kesehatan. Hygiene
juga mencakup upaya perawatan kesehatan dini, termasuk ketepatan sikap tubuh.
Upaya hygiene mencakup perlunya perlindungan bagi pekerja yang terlibat dalam
proses pengolahan makanan agar terhindar dari sakit, baik yang disebabkan oleh
penyakit pada umumnya, penyakit akibat kecelakaan ataupun penyakit akibat
prosedur kerja yang tidak memadai (Fathonah, 2005).
Apabila ditinjau dari kesehatan lingkungan, hygiene adalah usaha kesehatan yang
mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya
mencegah timbulnya penyakit karena faktor lingkungan. Pengertian tersebut termasuk
pula upaya melindungi, memelihara dan mempertinggi derajat kesehatan manusia,
sedemikian rupa sehingga berbagai faktor lingkungan yang tidak menguntungkan
tidak sampai menimbulkan penyakit (Fathonah, 2005).
2. Pengertian Sanitasi
Sanitasi pangan adalah upaya untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi
bebas dari bahaya cemaran biologis, kimia, dan benda lain (Fathonah, 2005).
Sanitasi dapat didefinisikan sebagai usaha pencegahan penyakit dengan cara
menghilangkan atau mengatur faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dengan rantai
perpindahan penyakit tersebut (Fathonah, 2005).
Sanitasi makanan adalah usaha untuk mengamankan dan menyelamatkan
makanan agar tetap bersih, sehat dan aman (Mukono,2006).
Diperlukan penerapan sanitasi makanan untuk mencegah kontaminasi makanan
dengan zat-zat yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan. Usaha-usaha sanitasi
meliputi kegiatan-kegiatan :
a. Keamanan makanan dan minuman yang disediakan.
b. Hygiene perorangan dan praktek-praktek penanganan makanan oleh karyawan
yang bersangkutan.
c. Keamanan terhadap penyediaan air.
d. Pengelolaan pembuangan air limbah dan kotoran.
e. Perlindungan makanan terhadap kontaminasi selama dalam proses pengolahan,
penyajian dan penyimpanan.
f. Pencucian, kebersihan dan penyimpanan alat-alat/perlengkapan.
Dalam Permenkes No. 1096 Tahun 2011 telah ditetapkan makanan yang
dikonsumsi harus higienis, sehat dan aman yaitu bebas dari cemaran fisik, kimia dan
bakteri (Kepmenkes RI, 2011).
Sanitasi makanan yang buruk dapat disebabkan 3 faktor yakni faktor fisik, faktor
kimia dan faktor mikrobiologi. Faktor fisik terkait dengan kondisi ruangan yang tidak
mendukung pengamanan makanan seperti sirkulasi udara yang kurang baik,
temperatur ruangan yang panas dan lembab, dan sebagainya. Untuk menghindari
kerusakan makanan yang disebabkan oleh faktor fisik, maka perlu di perhatikan
susunan dan konstruksi dapur serta tempat penyimpanan makanan (Mulia, 2005).

B. Makanan
1. Pengertian Makanan

8
Makanan adalah kebutuhan pokok manusia yang dibutuhkan setiap saat dan
memerlukan pengelolaan yang baik dan benar. Menurut WHO dalam Prabu (2008),
yang dimaksud makanan adalah : “Food include all substances, whether in a natural
state or in a manufactured or preparedform, wich are part of human diet.” Batasan
makanan tersebut tidak termasuk air, obat-obatan dan substansi-substansi yang
diperlukan untuk tujuan pengobatan.
Makanan adalah kebutuhan pokok manusia yang diperlukan setiap saat dan
harus ditangani dan dikelolah dengan baik dan benar agar bermanfaat bagi tubuh.
Makanan adalah bahan, biasanya berasal dari hewan atau tumbuhan, dimakan oleh
makhluk hidup untuk memberikan tenaga dana nutrisi (Depkes RI, 2004).
Makanan diperlukan untuk kehidupan karena makanan merupakan salah satu
kebutuhan pokok bagi kehidupan manusia. Makanan berfungsi untuk memelihara
proses tubuh dalam pertumbuhan atau perkembangan serta mengganti jaringan tubuh
yang rusak, memperoleh energi untuk melakukan aktivitas sehari-hari, mengatur
metabolisme dan berbagai keseimbangan air, mineral dan cairan tubuh yang lain,
juga berperan di dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap berbagai penyakit
(Notoatmodjo, 2003).
Makanan sehat merupakan makanan yang higienis dan bergizi mengandung zat
hidrat arang, protein, vitamin dan mineral. Agar makanan sehat bagi konsumen
diperlukan persyaratan khusus antara lain cara pengolahan yang memenuhi syarat,
cara penyimpanan yang benar dan pengangkutan yang sesuai dengan ketentuan.
Makanan sehat selain ditentukan oleh kondisi sanitasi juga di tentukan oleh macam
makanan yang mengandung karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral
(Mukono, 2006 ).
2. Fungsi Makanan
Makanan merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi kehidupan manusia, ada
empat fungsi pokok makanan bagi kehidupan manusia, yakni (Cahyadi, 2009) :
a. Memelihara proses tubuh dalam pertumbuhan/perkembangan serta menganti
jaringan tubuh yang rusak.
b. Memperoleh energi guna melakukan aktivitas sehari-hari.

9
c. Mengatur metabolisme dan mengatur berbagai keseimbangan air, mineral dan
cairan tubuh yang lain.
d. Berperan didalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap berbagai penyakit.
3. Faktor-Faktor Penyebab Kerusakan Pangan
a. Pertumbuhan dan Aktifitas Mikroba
Mikroba merupakan penyebab kebusukan pangan dapat ditemukan di tanah,
air dan udara. Secara normal tidak ditemukan di dalam tenunen hidup, seperti
daging hewan atau daging buah.
Tumbuhnya mikroba di dalam bahan pangan dapat mengubah komposisi
bahan pangan, dengan cara menghidrolisis pati dan selulosa menjadi fraksi yang
lebih kecil menyebabkan fermentasi gula menghidrolisis lemak dan menyebabkan
ketengikan serta mencerna protein dan menghasilkan bau busuk dan amoniak.
Beberapa mikroba dapat membentuk lendir, gas, busa, warna, asam, toksin
dan lainnya. Mikroba menyukai kondisi yang hangat dan lembab (Susiwi, 2009).
1) Bakteri
Bakteri dapat berbentuk cocci (Streptococcus sp), bentuk cambuk pada
bacilli, bentuk spiral pada spirilla dan vibrios. Bakteri berukuran satu mikron
sampai beberapa mikron, dapat membentuk spora yang lebih tahan terhadap
panas, perubahan kimia, pengolahan dibandingkan enzim.
2) Khamir
Khamir mempunyai ukuran 20 mikron atau lebih dan berbentuk bulat atau
lonjong (elips).
3) Kapang
Kapang berukuran lebih besar dan lebih kompleks, contohnya Aspergillus
sp, Penicillium sp dan Rhizopus sp. Kapang hitam pada roti, warna merah
jingga pada oncom, warna putih dan hitam pada tempe disebabkan oleh warna
conidia atau sporanya. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
mikroba di antaranya air, pH, RH, suhu, oksigen dan mineral.
b. Kadar Air
Kadar air pada permukaan bahan dipengaruhi oleh kelembaban nisbi RH

10
udara sekitar. Bila terjadi kondensasi udara pada permukaan bahan pangan akan
dapat menjadi media yang baik bagi mikroba. Kondensasi tidak selalu berasal dari
luar bahan. Di dalam pengepakan buah-buahan dan sayuran dapat menghasilkan
air dari respirasi dan transpirasi, air ini dapat membantu pertumbuhan mikroba
(Susiwi, 2009).
Pertumbuhan mikroba tidak pernah terjadi tanpa adanya air.Air dalam substrat
yang dapat digunakan untuk pertumbuhan mikroba biasanya dinyatakan dengan
Water Activity (WA). Water activity dibedakan dengan RH, water activity
digunakan untuk larutan atau bahan makanan, dan RH untuk udara atau ruangan.
Bakteri perlu air lebih banyak dari kapang dan khamir, serta tumbuh baik pada
water activity mendekati satu yaitu pada konsentrasi gula atau garam yang rendah.
Water activity optimum dan batas terendah untuk tumbuh tergantung dari macam
bakteri, makanan, suhu, pH, adanya oksigen, CO2 dan senyawa-senyawa
penghambat. Pada umumnya kapang membutuhkan water activity lebih sedikit
daripada khamir dan bakteri. Setiap kapang mempunyai water activity minimum
untuk tumbuh, dan untuk mencegah pertumbuhan kapang sebaiknya water activity
diturunkan hingga dibawah 0,62. Khamir membutuhkan air yang lebih sedikit
dibandingkan bakteri, tetapi lebih banyak daripada kapang. Umumnya batas water
activity terendah untuk khamir sekitar 0,88– 0,94 (Susiwi, 2009).
c. pH (keasaman)
pH menentukan macam mikroba yang tumbuh dalam makanan dan setiap
mikroba masing-masing mempunyai pH optimum, pH minimum dan pH
maksimum pertumbuhannya. Bakteri paling baik tumbuh pada pH netral, beberapa
suka suasana asam, sedikit asam atau basa. Kapang tumbuh pada pH 2– 8,5,
biasanya lebih suka pada suasana asam. Sedangkan khamir tumbuh pada pH 4–4,5
dan tidak tumbuh pada suasana basa (Susiwi, 2009).
d. Suhu (pemanasan dan pendinginan)
Pemanasan dan pendinginan yang tidak diawasi secara teliti dapat menyebabkan
kebusukan bahan pangan. Suhu pendingin sekitar 4,500C dapat mencegah atau
memperlambat proses pembusukan. Pemanasan berlebih dapat menyebabkan

11
denaturasi protein, pemecahan emulsi, merusak vitamin dan degradasi lemak atau
minyak. Pembekuan pada sayuran dan buah-buahan dapat menyebabkan
“Thawing” setelah dikeluarkan dari tempat pembekuan, sehingga mudah
kontaminasi dengan mikroba. Pembekuan juga dapat menyebabkan denaturasi
protein susu dan penggumpalan (Susiwi, 2009).
Setiap mikroba mempunyai suhu optimum, suhu minimum, dan suhu
maksimum untuk pertumbuhannya. Bakteri mempunyai suhu optimum antara
2000C–4500C. Suhu optimum pertumbuhan kapang sekitar 250 0C–3000C, tetapi
Aspergillus sp. tumbuh baik pada 3500C–3700C. Umumnya khamir mempunyai
suhu optimum pertumbuhan serupa kapang, yaitu sekitar suhu 250 0C–3000C
(Susiwi, 2009).
e. Udara dan Oksigen
Udara dan oksigen selain dapat merusak vitamin terutama vitamin A dan C,
warna bahan pangan dan kandungan lain, juga penting untuk pertumbuhan kapang.
Umumnya kapang adalah aerobik, karena itu sering ditemukan tumbuh pada
permukaan bahan pangan. Oksigen dapat menyebabkan tengik pada bahan pangan
yang mengandung lemak. Oksigen dapat dikurangi jumlahnya dengan cara
menghisap udara keluar secara vakum atau penambahan gas inert selama
pengolahan, mengganti udara dengan N2, CO2 atau menangkap molekul oksigen
dengan pereaksi kimia.
Berdasarkan proses respirasinya, mikroba dibagi menjadi 4 golongan, yaitu
aerobik, anaerobik, fakultatif dan mikroaerophylik. Mikroba golongan aerobik bila
memerlukan oksigen bebas, umumnya kapang pada makanan. Golongan anaerob
tidak memerlukan oksigen dan tumbuh baik tanpa adanya oksigen bebas.
Golongan fakultatif dapat tumbuh dengan atau tanpa oksigen bebas dan
mikroaerophylik bila membutuhkan sejunlah kecil oksigen bebas (Susiwi, 2009).
f.Aktifitas Enzim di dalam Bahan Pangan
Enzim yang ada dalam bahan pangan dapat berasal dari mikroba atau
memang sudah ada dalam bahan pangan tersebut secara normal. Enzim dapat
diinaktifkan oleh panas/suhu, secara kimia, radiasi atau perlakuan lainnya.

12
Beberapa reaksi enzim yang tidak berlebihan dapat menguntungkan, misalkan
pada pematangan buah-buahan. Pematangan dan pengempukan yang berlebih
dapat menyebabkan kebusukan. Keaktifan maksimum dari enzim antara pH 4–8
atau sekitar pH 6 (Susiwi, 2009).
g. Serangga Parasit dan Tikus
Serangga merusak buah-buahan, sayuran, biji-bijian dan umbi-umbian.
Gigitan serangga akan kelukai perkukaan bahan pangan sehingga menyebabkan
kontaminasi oleh mikroba. Pada bahan pangan dengan kadar air rendah (biji-
bijian, buah-buahan kering) dicegah secara fumigasi dengan zat-zat kimia metil
bromida, etilen oksida, propilen oksida. Etilen oksida dan propilen oksida tidak
boleh digunakan pada bahan pangan dengan kadar air tinggi karena dapat
membentuk racun. Parasit bayak ditemukan di dalam daging babi adalah cacing
pita, dapat menjadi sumber kontaminasi pada manusia. Tikus sangat merugikan
karena jumlah bahan yang dimakan, juga kotoran, rambut dan urine tikus
merupakan media untuk bakteri serta menimbulkan bau yang tidak enak (Susiwi,
2009).
h. Sinar
Sinar dapat merusak beberapa vitamin terutama riboflavin, vitamin A, vitamin
C, warna bahan pangan dan juga mengubah flavor susu karena terjadinya oksidasi
lemak dan perubahan protein yang dikatalisis sinar. Bahan yang sensitif terhadap
sinar dapat dilindungi dengan cara pengepakan menggunakan bahan yang tidak
tembus sinar (Susiwi, 2009).
i. Waktu
Mikroba membutuhkan waktu untuk melangsungkan proses pertumbuhannya
pada fase lag adalah mikroba melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan
baru, fase lag terjadi proses metabolism dan pembelahan sel yang optimum, fase
stasioner jumlah mikroba mencapai puncaknya sehingga tejadi kompetisi untuk
mendapatkan zat gizi, beberapa mikroba mengalami kematian dan sebagian
lainnya masih meakukan regenerasi, keaktifan enzim, kerusakan oleh serangga,
pengaruh pemanasan atau pendinginan, kadar air, oksigen dan sinar, semua

13
dipengaruhi oleh waktu. Waktu yang lebih lama akan menyebabkan kerusakan
yang lebih besar (Susiwi, 2009).
4. Jenis-Jenis Kerusakan Bahan Pangan
Bila ditinjau dari penyebabnya, kerusakan bahan pangan dapat dibagi menjadi
beberapa jenis (Susiwi, 2009), yaitu :
a. Kerusakan Mikrobiologis
Pada umumnya kerusakan mikrobiologis tidak hanya terjadi pada bahan
mentah, tetapi juga pada bahan setengah jadi maupun pada bahan hasil olahan.
Kerusakan ini sangat merugikan dan kadang-kadang berbahaya bagi kesehatan
karena racun yang diproduksi, penularan serta penjalaran kerusakan yang cepat.
Bahan yang telah rusak oleh mikroba juga dapat menjadi sumber kontaminasi
yang berbahaya bagi bahan lain yang masih sehat atau segar.
Penyebab kerusakan mikrobiologis adalah bermacam-macam mikroba seperti
kapang, khamir dan bakteri. Cara perusakannya dengan menghidrolisa atau
mendegradasi makro molekul yang menyusun bahan tersebut menjadi fraksi-fraksi
(Susiwi, 2009).
b. Kerusakan Mekanis
Kerusakan mekanis disebabkan adanya benturan-benturan mekanis. Kerusakan
ini terjadi pada benturan antar bahan, waktu dipanen dengan alat, selama
pengangkutan (tertindih atau tertekan) maupun terjatuh, sehingga mengalami
bentuk atau cacat berupa memar, tersobek atau terpotong pada bahan-bahan
makanan (Susiwi, 2009).
c. Kerusakan Fisik
Kerusakan fisik ini disebabkan karena perlakuan-perlakuan fisik. Misalnya
terjadinya “Case Hardening” karena penyimpanan dalam gudang basah
menyebabkan bahan seperti tepung kering dapat menyerap air sehingga terjadi
pengerasan atau membatu.
Dalam pendinginan terjadi kerusakan dingin (chilling injuries) atau kerusakan
beku (freezing injuries) dan “freezer burn” pada bahan yang dibekukan. Sel-sel
tenunan pada suhu pembekuan akan menjadi kristal es dan menyerap air dari sel

14
sekitarnya. Akibat dehidrasi ini, ikatan sulfihidril dari protein akan berubah
menjadi ikatan disulfida, sehingga fungsi protein secara fisiologis hilang, fungsi
enzim juga hilang, sehingga metabolisme berhenti dan sel rusak kemudian
membusuk. Pada umumnya kerusakan fisik terjadi bersama-sama dengan bentuk
kerusakan lainnya (Susiwi, 2009).
d. Kerusakan Biologis
Kerusakan biologis yaitu kerusakan yang disebabkan karena kerusakan
fisiologis, serangga dan binatang pengerat (rodentia). Kerusakan fisiologis ini
meliputi kerusakan yang disebabkan oleh reaksi-reaksi metabolisme dalam bahan
atau oleh enzim-enzim yang terdapat didalam bahan itu sendiri secara alami
sehingga terjadi autolisis dan berakhir dengan kerusakan serta pembusukan.
Contohnya daging akan membusuk oleh proses autolisis, oleh karena itu daging
mudah rusak dan busuk bila disimpan pada suhu kamar. Keadaan serupa juga
terjadi pada beberapa buah-buahan yang mengalami pembusukan dan cepat rusak
bila di simpan pada suhu kamar (Susiwi, 2009).
e. Kerusakan Kimia
Kerusakan kimia dapat terjadi karena beberapa hal, diantaranya “coating”atau
enamel, yaitu terjadinya noda hitam FeS pada makanan kaleng karena terjadinya
reaksi lapisan dalam kaleng dengan H–S– yang diproduksi oleh makanan tersebut.
Kerusakan kimia dapat terjadi karena beberapa hal, diantaranya “coating” atau
enamel, yaitu terjadinya noda hitam FeS pada makanan kaleng karena terjadinya
reaksi lapisan dalam kaleng dengan H–S– yang diproduksi oleh makanan tersebut
(Susiwi, 2009).
5. Bahan Pengawet Makanan
Menurut Permenkes RI No 033 tahun 2012, Bahan Tambahan Pangan atau BTP
adalah bahan yang ditambahakan kedalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau
bentuk pangan.
Menurut Permenkes RI No 033 tahun 2012, BTP yang digunakan dalam pangan
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. BTP tidak dimaksudkan untuk dikonsumsi secara langsung dan atau tidak

15
diperlakukan sebagai bahan baku pangan.
a. BTP yang dapat mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang sengaja
ditambahkan ke dalam pangan untuk tujuan teknologis pada pembuatan,
pengolahan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan dan/atau
pengangkutan pangan untuk menghasilkan atau diharapkan menghasilkan suatu
komponen atau mempengaruhi sifat pangan tersebut, baik secara langsung atau
tidak langsung.
b. BTP tidak termasuk cemaran atau bahan yang ditambahkan ke dalam pangan
untuk mempertahankan atau meningkatkan nilai gizi.
Menurut Permenkes RI No.033 Tahun 2012, BTP yang digunakan dalam pangan
terdiri dari beberapa golongan sebagai berikut :
a. Antibuih (Antifoaming agent)
b. Antikempal (Anticaking agent)
c. Antioksidan (Antioxidant)
d. Bahan pengkarbonasi (Carbonating agent)
e. Garam Pengemulsi (Emulsifying salt)
f. Gas untuk kemasan (Packaging gas)
g. Humektan (Humectant)
h. Pelapis (Glazing agent)
i. Pemanis (Sweetener)
j. Pembawa (Carrier)
k. Pembentuk gel (Gelling agent)
l. Pembuih (Foaming agent)
m. Pengatur keasaman (Acidity regulator)
n. Pengawet (Preservative)
o. Pengembang (Raising agent)
p. Pengemulsi (Emulsifier)
q. Pengental (Thickener)
r. Pengeras (Firming agent)
s. Penguat Rasa (Flavour anhancer)

16
t. Pengikat volume (Bulking agent)
u. Penstabil (Stabilizer)
v. Peretensi warna (Colour retention agent)
w. Perisa (Flavouring)
x. Perlakuan tepung (Flour treatment agent)
y. Pewarna (Colour)
z. Sekuestran (Sequestrand)
Pengawet (Preservative) adalah bahan tambahan pangan untuk mencegah atau
menghambat fermentasi, pengasaman, penguraian, dan perusakan lainnya terhadap
pangan yang disebabkan oleh mikroorganisme (Permenkes No 033, 2012).
Bahan pengawet makanan adalah bahan tambahan pangan yang dapat mencegah
atau menghambat fermentasi, pengasaman atau penguraian, dan perusakan lainnya
terhadap pangan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Kerusakan tersebut dapat
disebabkan oleh fungsi, bakteri dan mikroba lainnya. Kontaminasi bakteri dapat
menyebabkan penyakit yang dibawah makanan termasuk botulism yang
membahayakan kehidupan (Afrianti, 2010).
Bahan pengawet makanan yang tidak atau yang mempunyai yang dapat
mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang sengaja ditambahkan ke dalam
pangan untuk tujuan teknologis pada pembuatan, pengolahan, perlakuan,
pengepakan, pengemasan, penyimpanan dan atau pengangkutan pangan untuk
menghasilkan atau diharapkan menghasilkan suatu komponen atau mempengaruhi
sifat pangan tersebut, baik secara langsung atau tidak langsung (Permenkes No 033,
2012).
Bahan pengawet makanan tidak termasuk cemaran atau bahan yang ditambahkan
ke dalam pangan untuk mempertahankan atau meningkatkan nilai gizi.
a. Bahan Pengawet Sintetis Yang Diizinkan
Ada beberapa jenis bahan pengawet yan diizinkan untuk makanan. Pengawet
yang diizinkan untuk digunakan pada pangan tercantum dalam Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 033 Tahun 2012 Tentang Bahan Tambahan Pangan
dapat dilihat seperti pada tabel 2.1 berikut ini :

17
Tabel 2.1
JENIS BTP PENGAWET (PRESERVATIVE) YANG DIIZINKAN

No Jenis BTP Pengawet (Preservative) INS


1. Asam sorbat dan garamnya (Sorbic acid and its
salts) :
Asam sorbat (Sorbic acid) 200
Natrium sorbat (Sodium sorbate) 201
Kalium sorbat (Pottasium sorbate) 202
Kalsium sorbat (Calcium sorbate) 203
2. Asam Benzoat dan garamnya (Benzoic acid and its
salt)
Asam benzoat (Benzoic acid) 210
Natrium benzoat (Sodium benzoate) 211
Kalium benzoat ( Pottasium benzoate) 212
Kalsium benzoate (Calcium benzoate) 213
3. Etil para-hidroksibenzoat (Ethyl para-
214
hydroxybenzoate).
4. Metil para-hidroksibenzoat (Methyl para
218
hydroxybenzoate)
5. Sulfit (Sulphites) :
Belerang dioksida (Sulphur dioxide) 220
Natrium sulfit (Sodium sulphite) 221
Natrium bisulfit (sodium bisulphate) 222
Natrium metabisulfit (sodium metabisulphite) 223
Kalium metabisulfit (Potassium metabisulphite) 224
Kalium sulfit (Potassium sulphite) 225
Kalsium bisulfit (Calsium bisulphite) 227
Kalium bisulfit (Potassium bisulphate) 228
6. Nisin (Nisin)
234
7. Nitrit (Nitrites) :

Kalium nitrit (Potassium nitrite)


249
Natrium nitrit (Sodium nitrite) 250
8. Nitrat (Nitrates) :

18
Natrium nitrat (Sodium nitrate) 251
Kalium nitrat (Potassium nitrate) 252
9. Asam propionate dan garamnya (Propionic acid
and its salts)
10. Asam propionate (Propionic acid) 280
Natrium propionate (Sodium propionate)
281
Kalsium propionate (Calcium propionate) 282
Kalium propionate (Pottasium propionate)
283
Lisozim hidroklorida (Lysozyme hydrochloride) 1105

b. Bahan Pengawet Sintetis Yang Dilarang Digunakan


Ada beberapa jenis bahan pengawet yang tidak diizinkan untuk makanan
karena selain dapat mempengaruhi sifat atau bentuk pangan, bahan pengawet yang
dilarang digunakan jika dikonsumsi memiliki pengaruh yang berbahaya bagi
tubuh manusia sehingga dapat menyebabkan gangguan kesehatan atau
menimbulkan penyakit bahkan kematian (Susiwi,2009).
Pengawet yang tidak diizinkan atau Bahan Tambahan Pangan yang dilarang
untuk digunakan pada pangan tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 033 Tahun 2012 Tentang Bahan Tambahan Pangan dapat dilihat seperti
pada tabel 2.2 berikut ini :
Tabel 2.2
JENIS BTP YANG DILARANG DIGUNAKAN

No Nama Bahan
1. Asam borat dan senyawanya (Boric acid)
2. Asam salisilat dan garamnya (Salicylic acid and its salt)
3. Dietilpirokarbonat (Diethylpyrocarbonate, DEPC)
4. Dulsin (Dulcin)
5. Formalin (Formaldehyde)

19
6. Kalium bromat (Potassium bromate)
7. Kalium klorat (Potassium chlorate)
8. Kloramfenikol (Chloramphenicol)
9. Minyak nabati yang dibrominasi (Brominated vegetable oil)
10. Nitrofurazon (Nitrofurazone)
11. Dulkamara (Dulcamara )
12. Kokain (Cocaine)
13. Nitrobenzene (Nitronenzene)
14. Sinamil antranilat (Cinnamyl anthranilate )
15. Dihidrosafrol (Dihydrosafrole)
16. Biji tonka (Tonka bean)
17. Minyak kalamus (Calamus oil)
18. Minyak tansi (Tansy oil)
19. Minyak sassafras (Sasafras oil)

c. Bahan Pengawet Alami


Proses pengawetan alami pada umumnya telah banyak dilakukan masyarakat
seperti proses penggaraman, pendinginan, pengeringan, pengalengan dan
penyinaran. Beberapa proses ini umumnya bersifat alami sehingga aman dan tidak
menimbulkan efek yang buruk bagi kesehatan manusia. Produk pengawet ini
memiliki beberapa keunggulan diantaranya bahan baku yang mudah diperoleh,
proses sederhana, waktu proses yang singkat serta tidak menggunakan bahan
kimia dalam pembuatannya (Afrianti, 2010).
6. Macam-Macam Proses Pengawetan Alami
a. Penggaraman
Garam dapur adalah senyawa kimia Natrium chlorida (NaCl). Garam dapur
merupakan bumbu utama setiap masakan yang berfungsi memberikan rasa asin.
Selain meningkatkan cita rasa garam juga berfungsi sebagai pengawet. Sifat garam
dapur adalah higroskopis atau menyerap air, sehingga adanya garam akan
menyebabkan sel-sel mikroorganisme mati karena dehidrasi. Garam dapur juga
dapat menghambat dan menghentikan reaksi autolisis yang dapat mematikan
bakteri yang ada di dalam bahan pangan. Penggunaan garam sebagai pengawet

20
biasanya dikenal dengan istilah penggaraman, seperti yang dilakukan pada proses
pembuatan ikan asin, telur asin atau asinan sayuran dan buah. Cara penggunaanya
sangat sederhana, tinggal menambahkan garam dalam jumlah tinggi ke dalam
bahan pangan yang akan diawetkan (Afrianti, 2010).
b. Pengeringan
Selain menggunakan bahan pangan alami, pengawetan bahan pangan juga
bisadilakukan dengan metode pengeringan. Pengeringan adalah cara pengawetan
bahan makanan paling praktis, aman, murah dan sehat. Hampir semua bahan
pangan baik sayuran, buah, kacang-kacangan hingga daging dapat diawetkan
dengan metode pengeringan. Tujuannya adalah mengurangi sebagian air dalam
bahan pangan hingga 10-15 % sehingga mikroorganisme pembusuk tidak dapat
hidup. Metodenya bisa dengan cara pengeringan menggunakan sinar matahari
maupun panas oven. Bahan pangan yang dikeringkan seperti ubi, sayuran dan
buah diiris tipis-tipis kemudian dijemur atau dioven dalam suhu rendah (di bawah
40OC) hingga kering. Selanjutnya bahan pangan tinggal disimpan di tempat yang
sejuk, kering dan tertutup rapat. Bahan pangan yang dikeringkan biasanya
bertahan hingga 1 bulan (Afrianti, 2010).
c. Gula Pasir
Gula pasir adalah butiran menyerupai kristal yang merupakan hasil
pemanasan dan pengeringan sari tebu atau bit. Bentuk gula pasir, yaitu butiran
berwarna putih yang tersusun atas 99,9% sakarosa murni. Selain dijual dalam
bentuk butiran, gula pasir juga dijual dalam bentuk tepung, populer dengan
sebutan gula halus. Gula pasir biasanya ditambahkan ke dalam makanan dan
minuman untuk memberikan rasa manis. Namun selain memberikan rasa, gula
pasir juga berfungsi sebagai pengawet. Sama halnya dengan garam, sifat gula pasir
adalah higroskopis atau menyerap air sehingga sel-sel bakteri akan dehidrasi dan
akhirnya mati. Penggunaan gula sebagai pengawet, lazim disebut dengan istilah
penggulaan. Penggunaanya bisa ditaburkan atau dicampur dan dilarutkan dengan
bahan makanan atau minuman yang akan diawetkan. Contoh produk yang

21
diawetkan dengan penggulaan adalah manisan, selai, dodol, permen, sirup dan jeli
(Afrianti, 2010).
d. Cuka
Cuka adalah produk hasil fermentasi dari bakteri acetobacter. Banyak jenis
cuka beredar di pasaran, seperti cuka apel, cuka hitam, cuka aren dan cuka limau.
Masing-masing cuka ini diperoleh dari bahan dasar fermentasi yang berbeda. Ada
lagi satu jenis cuka yang sering digunakan untuk memasak yang disebut juga cuka
masak. Cuka jenis ini adalah cuka sintetis atau kimiawi dengan rasa asam yang
sangat kuat. Biasanya cuka mengandung asam asetat 98%. Selain memberikan rasa
asam pada masakan dan minuman, cuka juga bisa digunakan sebagai bahan
pengawet. Produk yang biasanya diawetkan dengan cuka adalah acar, kimchi, jelly
dan minuman. Penggunaanya disesuaikan dengan jenis produk yang diawetkan.
Selain meningkatkan daya simpan, cuka juga dapat mempertahankan warna atau
mencegah reaksi browning atau pencokelatan pada buah dan sayuran. Dengan
penambahan cuka, sayuran dan buah akan lebih bertahan warnanya (Afrianti,
2010).
e. Bawang Putih
Bawang putih (Allium sativum) merupakan bumbu dapur yang sangat populer.
Aroma dan rasanya yang khas, dapat memberikan citarasa lezat dan harum pada
masakan. Selain sebagai bumbu dapur, bawang putih ternyata sangat efektif
sebagai pengawet. Hal ini desebabkan karena bawang putih dapat menghambat
pertumbuhan khamir dan bakteri. Kandungan allicin di dalam bawang putih sangat
efektif mematikan bakteri gram positif dan gram negatif. Bawang putih juga
bersifat antimikroba E.coli, Shigella sonnei, Staphylococcus sureus dan
Aerobacter aerogenes. Manfaat lainya adalah dapat mengurangi jumlah bakteri
aerob, kaliform dan mikroorganisme lainya sehingga bahan makanan yang
ditambahkan bawang putih akan lebih awet. Penggunaannya mudah, tambahkan
bawang putih ke dalam potongan daging atau ikan dan simpan di dalam freezer,
dengan cara ini daging atau ikan bisa bertahan 20 hari (Afrianti, 2010).
f. Keluak (Picung)

22
Selain sebagai bumbu dan pemberi warna, kluwak (Pangium edule reinw)
juga bisa digunakan sebagai pengawet. Tanaman ini telah lama digunakan sebagai
bahan pengawet ikan. Untuk dapat memanfaatkannya sebagai pengawet, biji
dicincang halus dan dijemur selama 2-3 hari. Hasil cincangan tanaman ini
kemudian dimasukkan ke dalam perut lkan laut yang telah dibersihkan isi perutnya
(Afrianti, 2010).
g. Karagenan
Keragenan adalah bahan alami pembentuk gel yang dapat digunakan untuk
mengenyalkan bakso dan mie basah sebagai bahan alternatif yang aman pengganti
borax. Karagenan dihasilkan dari rumput laut Euchema sp yang telah di
budidayakan di berbagai perairan Indonesia. Dijelaskannya bahwa setiap 1
kilogram bakso membutuhkan 0,5–1,5 gram karagenan untuk mengenyalkannya.
Namun, harga karagenan ini sangat mahal, yaitu berkisar 750-900 ribu per 0,5-1,5
gram (Afrianti, 2010).
h. Gambir
Tanaman gambir (Uncariae romulus et uncus) di Indonesia daun dan getahnya
digunakan untuk bahan kelengkapan untuk menyirih.
Tanaman yang termasuk keluarga Rubiaceae ini juga sering digunakan untuk
obat luka bakar, sakit kepala, diare, disentri, sariawan, dan sakit kulit, serta bahan
penyamak kulit dan bahan pewarna tekstil. Secara alami para produsen makanan
sering menggunakan tanaman yang daunnya berbentuk bujur sangkar dengan
permukaan licin ini untuk pengawet makanan, dalam daun ini terdapat sebuah
kandungan katekin yang dapat mengawetkan makanan dari kerusakan akibat
mikroorganisme dan degradasi reaksi oksidasi atau penyebab basi (Afrianti, 2010).
i. Wortel
Wortel mengandung antioksidan yakni betakaroten yang mencegah atau
menghambat fermentasi, pengasaman atau peruraian lain terhadap makanan yang
disebabkan oleh mikroorganisme. Caranya cukup mudah, wortel diblender, lalu
diperas. Senyawa betakaroten menjadi antioksidan untuk mencegah dan

23
menghambat ketengikan makanan yang diakibatkan udara dan mikroorganisme
(Afrianti, 2010).
j. Lidah Buaya
Daging lidah buaya yang berupa gel bekerja melalui kombinasi dari beberapa
mekanisme. Gel, yang sebagian besar terdiri dari polisakarida, berperan
menghalangi kelembaban dan oksigen yang dapat mempercepat pembusukan
makanan. Tetapi gel juga meningkatkan keamanan pangan. Gel lidah buaya
mengandung beragam antibiotik dan anti cendawan yang berpotensi
memperlambat atau menghalangi mikroorganisme yang mengakibatkan keracunan
makanan pada manusia karena makanan yang sudah membusuk (Afrianti, 2010).
7. Bahan-Bahan Berbahaya Bagi Tubuh
Bahan kimia makanan yang banyak ditambahkan pada makanan, memang
sebagiannya merupakan bahan yang masih ditoleransi penggunaannya, tapi sebagian
lagi benar-benar merupakan bahan kimia berbahaya yang tidak seharusnya
dikonsumsi. Efek dari yang ditimbulkan bahan-bahan tersebut bisa sangat
mengerikan, mulai dari pemicu kanker, kelainan genetic, cacat bawaan lahir saat
dikonsumsi ibu hamil, melemahkan kinerja otak dan syaraf (Eka,2013). Berikut zat-
zat yang berbahaya untuk tubuh :
a. Formalin
Formalin sering digunakan sebagai pengawet sediaan di laboratorium dan
pembalsaman mayat. Pada umumnya pengawasan dan pengetahuan masyarakat
mengenai bahaya formalin sangat kurang karena itu bahan formalin untuk industri
ini di negara sedang berkembang sering disalahgunakan sebagai pengawet
makanan pada mie basah, tahu, ikan asin, ikan basah, ayam dan lain-lain sehingga
dapat membahayakan dan merugikan kesehatan (Eka, 2013).
b. Boraks
Boraks adalah bahan pengawet kayu dan antiseptik pengontrol kecoa, yang
fungsinya hampir sama dengan pestisida. Boraks berbentuk serbuk kristal putih
muda larut dalam air. Boraks digunakan secara illegal dalam industri makanan
bakso karena mampu member efek bagus pada tekstur makanan. Bakso dengan

24
borak menjadi kenyal, renyah dan tahan lama. Boraks bisa menyebabkan
gangguan otak, hati, lemak dan ginjal (Eka, 2013).
c. Rhodamin B
Rhodamin B merupakan bahan pewarna sintetis dalam industri kertas yang
secara ilegal digunakan untuk pewarna makanan. Makanan yang menggunakan
bahan ini bisa dikenali dari warna merah mencolok yang tidak wajar banyak
terdapat titik-titik warna karena tidak homogen. Biasanya digunakan pada industri
kerupuk, terasi dan makanan kecil untuk anak-anak (Eka, 2013).
d. Metanil Yellow
Metanil Yellow adalah pemberi warna kuning seperti halnya Rhodamin B
yaitu pemberi warna merah. Keduanya sama-sama bahan pewarna sintetis yang
digunakan untuk industri tekstil dan cat. Bentuknya bisa berupa serbuk dan bisa
juga berupa padatan (Eka, 2013).
e. Sakarin (Saccharin)
Sakarin dikenal sebagai bahan pemanis buatan yang mampu menghasilkan
sensasi rasa manis hingga 550 kali gula biasa. Bentuknya berupa bubuk putih
tanpa bau. Sakarin banyak digunakan sebagai campuran makanan pengganti gula
karena harganya yang jauh lebih ekonomis. Biasanya digunakan dalam industri
kue dan minuman (Eka, 2013).
f.Siklamat
Siklamat juga digunakan sebagai capuran makanan minuman untuk memberi
sensasi rasa manis. Kadarnya lebih rendah disbanding sakarin kira-kira 3 kali
manis gula biasa. Penggunaan dalam jumlah lebih banyak bisa menimbulkan rasa
getir. Siklamat bisa mengakibatkan pecahnya sel kromoson dalam medium sel
leukosit (Eka, 2013).
g. Nitrosamine
Nitrosamine adalah bahan kimia yang digunakan untuk memberi aroma khas
sosis, keju, kornet, ham dan dendeng olahan. Kadang-kadang digunakan pula
untuk mempertahankan warna asli daging. Bentuknya seperti garam berupa kristal
atau mempertahankan warna asli daging (Eka, 2013).

25
h. Monosudium Glutamat (MSG)
Monosudium Glutamat lebih dikenal dengan sebutan vetsin atau penyedap
rasa. Hampir semua makanan menggunakan bahan ini untuk mengikat cita
rasanya. Padahal vetsin memiliki efek samping degenerasi dan nekrosi sel-sel
neuron, sel-sel syaraf lapisan dalam retina, bahkan menyebabkan mutasi sel dan
mengakibatkan kanker kolon dan mutasi dalam tubuh (Eka, 2013).
8. Cara Penggunaan Bahan Pengawet Berdasarkan Sifat Kelarutannya
Penambahan pengawet ke dalam makanan dapat dilakukan dengan berbagai cara
berdasarkan kelarutannya (Afrianti, 2010).
a. Pencampuran
Bahan pengawet sesuai dosis yang ditentukan dicampurkan secara merata ke
dalam bahan makanan yang diolah. Bahan pengawet dapat dicampurkan dalam
bentuk sediaan atau dibuat dalam suatau larutan. Pencampuran bahan pengawet
dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Pencampuran bahan
pengawet secara langsung dapat dilakukan pada bahan pengawet berbentuk
serbuk, kristal, granula, batang yang sebelumnya harus dihancurkan terlebih
dahulu sebelum dicampurkan ke dalam bahan makanan yang akan diawetkan.
Penambahan bahan pengawet yang berbentu serbuk, kristal atau batang secara
langsung dapat disebut juga pencampuran secara kering. Pencampuran bahan
pengawet dengan membuat larutan terlebih dahulu harus diketahui sifat-sifat
kelaruan dari bahan pengawet tersebut, sehingga dapat dibuat larutan sesuai
dengan konsentrasi yang diinginkan. Pencampuran bahan pengawet secara tidak
langsung berkaitan dengan bahan makanan yang mengandung minyak, sehingga
penambahan bahan pengawet yang bersifat tidak larut lemak sulit untuk dilakukan
pencampuran secara langsung. Maka perlu dilakukan pelarutan bahan pengawet
dalam propilen glikol (Afrianti, 2010).
b. Pencelupan (Dipping)
Pencelupan bahan makanan pada bahan pengawet biasanya digunakan dengan
membuat larutan bahan pengawet dengan konsentrasi tertentu. Untuk mengwetkan
sayuran dan buah segar tentu dengan mengguakan asam asetat dengan konsentrasi

26
0,1-0,2%, sedangkan untuk mengawetkan sayuran dan buah kering dilakukan
pencelupan pada asam sulfit, kalium sorbat sering digunakan untuk mencelup keju,
buah kering dan ikan asap. Kantong sosis sorbat (casing) sebelum proses
pengisian dilakukan pencelupan kedalam kalium sorbat 2,5%. Daging, ikan asap
dan ikan asin dapat diawetkan apabila dilakukan perendaman dalam larutan kalium
sorbat 5% (Afrianti, 2010).
c. Penyemprotan
Penyemprotan memerlukan larutan bahan pengawet dengan konsentrasi agak
tinggi. Pada pengeringan buah-buahan dapat ditambahkan bahkan menyemprotkan
larutan kalium sorbat 2-7%, diharapkan residu yang tertinggal dalam buah kering
hanya sekitar 0,02-0,05%. Penyemprotan dengan kalium sorbat 10% biasanya
digunakan untuk pengawetan daging, ikan asap dan ikan asin. Setalah blansing
dan sebelum pengeringan di semprotkan terdahulu dengan belerang dioksidan dan
sulfit (Afrianti, 2010).
d. Pengasapan
Penambahan bahan pengawet dengan cara pengasapan dilakukan pada buah-
buahan kering, sayuran kering dan daging kering. Bahan pengawet yang
digunakan adalah belerang dioksidan dan derivatnya. Penambahan bahan
pengawet tersebut untuk mencegah serangan mokroorganisme dan mencegah
reaksi pencoklatan (Browning Reaction). Penambahan belerang dioksida pada
bahan makanan yang mengandung tiamin (B1) akan merusak tiamin. Penambahan
belerang dioksida dan sulfit pada pengasapan dengan cara membakar belerang atau
mengeuapkan larutan yang mengandung belerang dioksida (Afrianti, 2010).
e. Pelapisan Pada Pembungkus Makanan
Pelapisan pada pembungkus makanan sudah mulai dikenal karena efektif dan
mencegah kontaminasi dengan mikroorganisme dari luar. Ester paraben dari metal
dan etil paraben yang melapisi pembungkus mempunyai sifat anti kapang. Asam
benzoat, natrium dan kalium propionat, asam sorbat dan kalium sorbat sering
digunakan sebagi pelapis pembungkus makanan. Di Amerika dilakukan teknik
pelapisan kalium sorbat dan selopan pada lastik tahan panas dengan konsentrasi

27
2,5–5,0 g/1000 inchi persegi, biasanya digunakan untuk membungkus keju dan
hasil olahan keju dalam bentuk kemasan kecil. Pembungkusan cara ini dapat
menghambat pertumbuhan kapang (Afrianti, 2010).

C. Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

1. Pengertian Ikan Nila


Ikan nila merupakan salah satu jenis ikan budidaya air tawar yang
mempunyai prospek cukup baik untuk dikembangkan. Ikan nila banyak digemari oleh
masyarakat karena dagingnya cukup tebal dan rasanya gurih, kandungan
proteinnya tinggi sehingga dapat dijadikan sebagai sumber protein. Ikan nila
memiliki kandungan gizi yang lebih baik bila dibandingkan dengan ikan air
tawar yang lain seperti ikan lele. Kandungan protein ikan nila sebesar 43,76% ,
lemak 7,01%, kadar abu 6,80% per 100 gram berat ikan, sedangkan ikan lele
memiliki kandungan protein 40,28%, lemak 11,28%, kadar abu 5,52%
(Wikipedia, 2016).
Klasifikasi ikan nila (Oreochromis niloticus) menurut Collette, dkk, (2011)
adalah sebagai berikut :
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Osteichtyes
Sub kelas : Acanthopterygii
Ordo : Percomorphi
Subordo : Percoidea
Famili : Cichlidae
Genus : Oreochromis
Spesies : Oreochromis niloticus
Ikan nila memiliki ciri morfologis yaitu berjari-jari keras, sirip perut torasik, letak
mulut subterminal dan berbentuk meruncing. Selain itu, tanda lainnya yang dapat
dilihat dari ikan nila adalah warna tubuhnya hitam dan agak keputihan. Bagian tutup

28
insang berwarna putih, sedangkan pada nila lokal putih agak kehitaman bahkan
kuning. Sisik ikan nila berukuran besar, kasar dan tersusun rapi. Sepertiga sisik
belakang menutupi sisi bagian depan. Tubuhnya memiliki garis linea lateralis yang
terputus antara bagian atas dan bawahnya. Linea lateralis bagian atas memanjang
mulai dari tutup insang hingga belakang sirip punggung sampai pangkal sirip ekor.
Ukuran kepala relatif kecil dengan mulut berada di ujung kepala serta mempunyai
mata yang besar (Fishbase, 2014).
Morfologi ikan nila (oreochromis niloticus) dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut
ini :

Gambar 2.1
IKAN NILA (Oreochromis niloticus)

Ikan nila memiliki kemampuan menyesuaikan diri yang baik dengan lingkungan
sekitarnya. Ikan ini memiliki toleransi yang tinggi terhadap lingkungan hidupnya,
sehingga bisa dipelihara di dataran rendah yang berair payau maupun dataran yang
tinggi dengan suhu yang rendah Ikan nila mampu hidup pada suhu 14-38 oC dengan
suhu terbaik adalah 25-30oC dan dengan nilai pH air antara 6-8,5 (NSW
Government, 2008).
Ikan nila (Oreochromis niloticus) memiliki kandungan gizi yang baik bila
dibandingkan dengan ikan yang hidup di air tawar yang lain seperti ikan lele
(Wikipedia, 2016).
Daftar kandungan gizi dalam 100 gram ikan nila dapat dilihat pada tabel 2.3
berikut ini :

29
Tabel 2.3
KANDUNGAN GIZI DALAM 100 GRAM IKAN NILA

Zat Gizi Satuan Kadar


Kalori Kkal 96
Lemak G 1,7
Lemak jenuh g 0,571
Lemak tak jenuh ganda G 0,387
Kolestrol Mg 50
Protein G 20,08
Karbohidrat G 0
Serat G 0
Gula G 0
Sodium Mg 52
Kalium Mg 302
Sumber: Whitney et al. (1998) dalam Nurahman dan Isworo (2010)

2. Faktor Penyebab Kerusakan Ikan


Ikan yang telah mati akan mengalami perubahan fisik, kimia, enzimatis dan
mikrobiologi yang berkaitan dengan kemunduran mutu. Proses kemunduran mutu
ikan disebabkan oleh proses hiperaemia (pre-rigor), rigor mortis, autolisis dan
penyerangan oleh bakteri (Zakaria, 2008). Secara umum proses terjadinya
kemunduran mutu ikan terdiri dari tiga tahap, yaitu pre-rigor, rigor mortis dan post-
rigor.
a. Perubahan Pre-rigor
Perubahan pre-rigor merupakan fase yang terjadi pada ikan sesaat setelah
ikan mati. Perubahan pre-rigor ditandai dengan peristiwa terlepasnya lendir dari
kelenjar di bawah permukaan kulit. Lendir yang dikeluarkan ini sebagian besar
terdiri dari glukoprotein dan musin yang merupakan media ideal bagi pertumbuhan
bakteri (Junianto, 2003).
Lendir-lendir yang terlepas tesebut membentuk lapisan bening yang tebal di
sekeliling tubuh ikan. Pelepasan lendir dari kelenjar lendir ini merupakan reaksi
alami ikan yang sedang sekarat terhadap keadaan yang tidak menyenangkan.
Jumlah lendir yang terlepas dan menyelimuti tubuh dapat sangat banyak hingga
mencapai 1-2,5 % dari berat tubuhnya (Junianto,2003).

30
b. Perubahan Rigor mortis
Perubahan rigor mortis merupakan akibat dari rangkaian perubahan kimia
yang kompleks di dalam otot ikan sesudah kematiannya. Setelah ikan mati,
sirkulasi darah berhenti dan suplai oksigen berkurang sehingga terjadi perubahan
glikogen menjadi asam laktat. Perubahan ini menyebabkan pH turun dan diikuti
pula dengan penurunan jumlah adenosin trifosfat (ATP) serta ketidakmampuan
jaringan otot mempertahankan kekenyalannya. Kondisi inilah yang dikenal dengan
istilah rigor mortis (Junianto, 2003).
c. Proses perubahan karena aktivitas enzim
Autolisis dimulai bersamaan dengan menurunnya pH. Mula-mula, protein
dipecah menjadi molekul-molekul makro yang menyebabkan peningkatan
dehidrasi protein dan molekul-molekulnya pecah menjadi pepton, polipeptida dan
akhirnya menjadi asam amino. Di samping itu dihasilkan pula sejumlah kecil
pirimidin dan purin basa yang dibebaskan pada waktu asam nukleat memecah.
Bersamaan dengan itu, hidrolisis lemak menghasilkan asam lemak bebas dan
gliserol (Junianto,2003).
d. Proses perubahan karena aktivitas bakteri
Setelah ikan mati, sistem kekebalan tersebut tidak berfungsi lagi dan bakteri
dapat berkembang biak dengan bebas (FAO 1995). Kondisi ikan segar dan ikan
tidak segar memiliki beberapa perbedaan. Perbedaan ciri-ciri ikan segar dan tidak
segar dapat dilihat pada tabel 2.4 berikut ini :

Tabel 2.4
PERBEDAAN CIRI-CIRI IKAN SEGAR DAN TIDAK SEGAR

Parameter Kondisi Segar Kondisi Tidak Segar


Mata Pupil hitam menonjol dengan Pupil mata kelabu tertutup
kornea jernih, bola mata lendir seperti putih susu,
cembung dan cemerlang atau bola mata cekung dan
cerah. keruh.

31
Insang Warna merah cemerlang atau Warna merah coklat
merah tua tanpa adanya lendir, sampai keabu-abuan, bau
tidak tercium bau yang menyengat, lendir tebal.
menyimpang (off odor).

Tekstur daging Elastis dan jika ditekan tidak Daging kehilangan


ada bekas jari, serta padat dan elastisitasnya atau lunak
kompak. dan jika ditekan dengan
jari maka bekas
tekanannya lama hilang.
Keadaan kulit Warna sesuai dengan aslinya Warnanya sudah pudar
dan lendir dan cemerlang, lendir dan memucat, lendir tebal
dipermukaan jernih dan dan menggumpal serta
transparan dan baunya segar lengket,warnanya berubah
khas menurut jenisnya. seperti putih susu.

Keadaan Perut tidak pecah masih utuh Perut sobek, warna


perut dan dan warna sayatan daging sayatan daging kurang
sayatan cemerlang jika ikan dibelah cemerlang dan terdapat
daging daging melekat kuat pada warna merah sepanjang
tulang terutama rusuknya. tulang belakang serta jika
dibelah daging mudah
lepas.
Bau Spesifik menurut jenisnya dan Bau menusuk seperti asam
segar seperti bau rumput laut, asetat dan lama kelamaan
pupil mata kelabu tertutup berubah menjadi bau
lendir seperti putih susu, bola busuk yang menusuk
mata cekung dan keruh hidung.

Sumber: FAO (1995)

D. Bawang Putih
1. Pengertian Bawang Putih
Bawang putih (Allium sativum) atau bahasa inggrisnya garlic adalah nama
tanaman dari genus Allium sekaligus nama dari umbi yang dihasilkan. Mempunyai
sejarah penggunaan oleh manusia selama lebih dari 7.000 tahun, terutama tumbuh di
Asia Tengah dan sudah lama menjadi bahan makanan di daerah Laut Tengah, serta

32
bumbu umum di Asia, Afrika dan Eropa. Dikenal didalam Mesir Kuno, digunakan
sebagai campuran masakan maupun pengobatan.
Umbi dari tanaman bawang putih merupakan bahan utama bumbu dasar masakan
Indonesia (Wikipedia,2016).
Bawang putih (Allium sativum) adalah bahan rempah untuk bumbu dasar
makanan. Herba semusim berumpun yang mempunyai ketinggian sekitar 60 cm.
Tanaman ini banyak ditanam di ladang-ladang di daerah pegunungan yang cukup
mendapat sinar matahari. Batangnya batang semu dan berwarna hijau. Bagian
bawahnya bersiung-siung, bergabung menjadi umbi besar berwarna putih. Tiap siung
terbungkus kulit tipis dan kalau diiris baunya sangat tajam. Daunnya berbentuk pita
(pipih memanjang), tepi rata, ujung runcing, beralur, panjang 60 cm dan lebar 1,5 cm,
berakar serabut, bunganya berwarna putih, bertangkai panjang dan bentuknya paying.
Bawang putih (Allium sativum) adalah herbal semusim berumpun yang mempunyai
ketinggian sekitar 60 cm (Wikipedia, 2012).
2. Komposisi Kimia Bawang Putih
Bahan yang terkandung dalam beberapa jenis bawang kadar airnya cukup tinggi,
yaitu antara 63ml–90ml, sedangkan komponen utamanya berupa protein,
karbohidrat dan lemak. Komponen ini merupakan zat organik yang diperlukan untuk
pertumbuhan dan perkembangan tubuh manusia serta untuk kelangsungan hidupnya.
Disamping itu, sebagian besar bawang mengandung zat-zat seperti kalsium, besi
serta unsur kimia lainnya. Bahkan jenis bawang tertentu mengandung vitamin A dan
serat Crude Fibre (Wikipedia, 2012).
Beberapa komponen bioaktif yang terdapat pada bawang putih, senyawa sulfida
adalah senyawa yang banyak jumlahnya. Senyawa-senyawa tersebut antara lain
adalah dialil sulfida atau dalam bentuk teroksidasi disebut dengan alisin. Sama seperti
senyawa fenolik lainnya, alisin mempunyai fungsi fisiologis yang sangat luas,
termasuk di antaranya adalah antioksidan, antikanker, antitrombotik, anti radang,
penurunan tekanan darah dan dapat menurunkan kolesterol darah. Data
epidemiologis juga menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara konsumsi bawang

33
putih dengan penurunan penyakit kardiovaskuler, seperti aterosklerosis (penumpukan
lemak), jantung koroner dan hipertensi (Wikipedia, 2012).
Bawang putih mengandung 0,2% minyak atsiri yang berwarna kuning
kecoklatan, dengan komposisi utama adalah turunan asam amino yang mengandung
sulfur (alliin, 0,2-1%, dihitung terhadap bobot segar). Dalam proses destilasi atau
pengirisan umbi, alliin berubah menjadi Allicin. Kandungan yang lain adalah Allyl
sulphide dan Allyl propyl disulphide, sejumlah kecil poli sulfida, Allyl divinyl
sulphide, Allyl vinyl sulphoxide, trans-Ajoen-2-vinyl-[4H]-1,3-dithiin, Methyl-
allyltrisulphide, cis-Ajoen, 3-vinyl-[4H] -1,2-dithiin, Diallyltrisulphide dan
Adenosin. Kadar alliin sangat tergantung dari penyiapan simplisia (pada cara
penyiapan simplisia yang kurang baik, maka ¼ bagian alliin akan mengalami
perubahan). Berat jenis minyak atsiri bawang putih berkisar antara 1,046-1,057.
Allicin adalah senyawa yang memberikan bau khas bawang putih. Bawang putih juga
mengandung saponin, tuberholoside dan senyawa phosphorous (0,41%). Senyawa
lain yang terkandung di dalam bawang putih adalah Allistatin I, Allistatin II, Garlicin,
Allyl-2-propene-l-thiosulphinate dan Alkyl-thiosulphinate (Wikipedia, 2012).
Alliin atau S-Allyl-L-cycteine sulfoxide C6H11NO2S selain terkandung dalam
bawang putih juga terkandung dalam bawang merah (Allium cepa L.) dan jenis-jenis
Allium lainnya. Senyawa ini berupa hemihidrat yang tidak berwarna
C6H11NO2S.½H2O bentuk jarum tumpul. Jarak leburnya 164-166oC (dengan
mengeluarkan gas) dan secara praktis larut dalam air. Tetapi tidak dapat larut dalam
etanol mutlak, kloroform, aseton, eter dan benzene. Alliin memiliki dua pusat
asimetrik, hingga secara teoritis memiliki empat isomer, dua di antaranya diturunkan
dari L-Cysteine dan D-Cysteine alami. Keempat isomer tersebut seluruhnya telah
dapat disintesis, dan salah satu yang identik dengan alliin alami adalah (-)-S-Allyl-L-
cysteine sulphoxide (Wikipedia, 2012).
Saat bawang putih dipotong, enzim alliin atau juga disebut alliinase (yaitu enzim
yang sangat spesifik terhadap alliin), akan segera memecah alliin menjadi allicin,
asam piruvat dan amonia. Sebenarnya allicin bebas inilah yang berdaya sebagai anti
bakteri. Allicin (C6H10OS2) memiliki aktivitas sebagai antibakteri. Allicin ini juga

34
terkandung dalam bawang merah. Allicin berbentuk cairan dengan bau yang khas
bawang putih. Bila direbus atau disuling akan mengalami dekomposisi. Allicin
mempunyai indeks bias 1,561 (20oC), bobot jenis 1,113 (20oC), kelarutan dalam air
2,5% w/w (suhu 10oC) dan pH sekitar 6,5. Allicin dapat dicampur dengan alkohol,
eter dan benzena. Allicin merupakan senyawa yang tidak stabil, adanya pengaruh
panas air, oksigen, udara dan lingkungan basa akan merubah allicin menjadi senyawa
polisulfida, diallyldisulphide (yang menimbulkan bau tidak enak) (Wikipedia, 2012).
Allicin dilaporkan terbukti memiliki potensi sebagai anti bakteri terhadap bakteri
gram positif dan gram negatif, Mycobacterium tuberculosis serta terhadap
Staphylococcus aureus dan Brucella abortus. Terhadap S. aureus potensinya adalah
satu miligram allicin setara dengan 15 Oxford penicillin units. Pertumbuhan bakteri-
bakteri lain yang juga terhambat oleh allicin adalah Staphylococci, Streptococci,
Eberthella typhosa, Bacillus paratyphoid A, Bacterium dysenteriae, Bacterium
enteridis, Vibrio cholerae dan beberapa bakteri tahan asam. Allicin dilaporkan
memiliki aktivitas menghambat enzim sulfidril (-SH), suatu reaksi yang diketahui
berperan dalam penghambatan pertumbuhan sel-sel ganas (Wikipedia, 2012).
Selain itu, dari penelitian lain dengan metode penelitian eksperimental dengan
post test only control group design menunjukkan hasil untuk uji aktivitas antibakteri
untuk Kadar Hambat Minimum (KHM) ekstrak bawang putih terhadap E.coli
didapatkan perbedaan bermakna mulai dari konsentrasi 50% v/v dengan p=0,008
dan untuk Kadar Bunuh Minimum (KBM) didapatkan perbedaan bermakna mulai
dari konsentrasi 50% v/v dengan p=0,008 (Zakaria, 2008).
Senyawa allicin dikenal mempunyai daya antibakterial yang kuat. Efek
antibakteri allicin bekerja dengan cara mengikat kelompok sulfhidril, yaitu gugus -SH
dan disulfida yang terikat pada protein dan merupakan enzim penting untuk
metabolisme sel bakteri serta merupakan gugus yang penting untuk proliferasi bakteri
atau sebagai stimulator spesifik untuk multiplikasi sel bakteri (Wikipedia, 2012).
Allicin dan komponen sulfur lain yang terkandung di dalam bawang putih
dipercaya sebagai bahan aktif yang berperan dalam efek antibakteri bawang putih.
Zat aktif inilah yang dilaporkan memiliki aktivitas antibakteri dengan spektrum yang

35
luas, hal ini telah dievaluasi di dalam banyak penelitian, bahwa bawang putih
memiliki aktivitas antibakteri yang cukup tinggi dalammelawan berbagai macam
bakteri, baik itu bakteri gram negatif maupun bakteri gram positif. Beberapa bakteri
yang telah terbukti memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap aktivitas antibakteri
bawang putih ialah Staphylococcus, Vibrio, Mycobacteria, dan spesies Proteus
(Wikipedia, 2012).
Adanya kerusakan pada umbi bawang yang ditimbulkan dari dipotongnya atau
dihancurkannya bawang putih akan mengaktifkan enzim Allinase yang akan
memetabolisme alliin menjadi allicin yang kemudian akan dimetabolisme menjadi
vinyldithiines dan Ajoene. Proses ini memakan waktu berjam-jam dalam suhu
ruangan dan hanya memakan waktu beberapa menit dalam proses memasak. Allicin
tidak hanya memiliki efek antibakteri, tapi juga efek antiparasit, antivirus, dan parasit
(Londhe, 2011).
Cara kerja Allicin dalam menghambat pertumbuhan bakteri ialah dengan cara
menghambat secara total sintesis RNA bakteri. Walaupun sintesis DNA dan protein
juga mengalami penghambatan sebagian oleh Allicin, nampaknya RNA bakteri
merupakan target utama Allicin (Deresse, 2010).
Allicin merupakan senyawa yang bersifat tidak stabil, senyawa ini dalam waktu
beberapa jam akan kembali dimetabolisme menjadi senyawa sulfur lain seperti
vinyldithiines dan Diallyl disulfide (Ajoene) yang juga memiliki daya antibakteri
berspektrum luas, namun dengan aktivitas yang lebih kecil. Satu lagi kandungan
bawang putih yang juga diyakini memiliki aktivitas antibakteri ialah flavonoid, yang
bekerja dengan cara mendenaturasi protein yang dimiliki bakteri, senyawa flavonoid
ini juga dikenal baik sebagai antioksidan (Deresse, 2010).
Flavonoid merupakan turunan senyawa fenol yang dapat berinteraksi dengan sel
bakteri dengan cara adsorpsi yang dalam prosesnya melibatkan ikatan hidrogen.
Dalam kadar yang rendah, fenol membentuk kompleks protein dengan ikatan lemah
yang akan segera terurai dan diikuti oleh penetrasi fenol ke dalam sel dan
menyebabkan presipitasi dan denaturasi protein, selain itu pula, fenol dapat

36
menghambat aktivitas enzim bakteri, yang pada akhirnya akan mengganggu
metabolism serta proses kelangsungan hidup bakteri tersebut (Deresse,2010).
3. Klasifikasi Bawang Putih
Salah satu sumber menjelaskan dalam bukunya yaitu A Modern Herbal bahwa
bawang putih berasal dari belahan dunia bagian utara dan selatan Siberia, kemudian
berkembang hingga ke bagian selatan Eropa. Tumbuhan dengan nama ilmiah Allium
sativum ini telah tersebar di berbagai penjuru dunia. Dengan ciri umum, yaitu
memiliki tinggi sekitar 60cm, tumbuhan ini kebanyakan ditanam di daerah
pegunungan yang banyak mendapatkan sinar matahari.
Batang bawang putih terlihat semu yang terbentuk dari pelepah-pelepah daun
yang berwarna hijau, bagian bawahnya memiliki banyak siung dan jika digabung
menjadi umbi besar berwarna putih seperti dapat dilihat pada gambar 2.2 berikut ini :

Gambar. 2.2
BAWANG PUTIH (Allium sativum)

Klasifikasi Ilmiah Bawang Putih (Allium sativum) dapat dilihat sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida

37
Ordo : Asparagales
Famili : Alliaceae
Subfamili : Allioideae
Genus : Allium
Spesies : Allium sativum
Bawang putih (Allium sativum) merupakan bumbu dapur yang sangat populer.
Aroma dan rasanya yang khas, dapat memberikan citar asa lezat dan harum pada
masakan. Selain sebagai bumbu dapur, bawang putih ternyata sangat efektif sebagai
pengawet. Hal ini disebabkan karena bawang putih dapat menghambat pertumbuhan
khamir dan bakteri. Kandungan allicin di dalam bawang putih sangat efektif
mematikan bakteri gram positif dan gram negatif (Afrianti,2010).
Bawang putih juga bersifat antimikroba E.coli, Shigella sonnei, Staphylococcus
sureus dan Aerobacter aerogenes. Manfaat lainya adalah dapat mengurangi jumlah
bakteri aerob, kaliform dan mikroorganisme lainya sehingga bahan makanan yang
ditambahkan bawang putih akan lebih awet. Penggunaannya mudah, tambahkan
bawang putih ke dalam potongan daging atau ikan dan simpan di dalam freezer,
dengan cara ini daging atau ikan bisa bertahan 20 hari (Afrianti, 2010).
Bawang putih (Allium sativum) termasuk genus afflum atau di Indonesia, lazim
disebut bawang putih. Bawang putih termasuk klasifikasi tumbuhan terna berumbi
lapis atau siung yang bersusun (Wikipedia, 2012).
Bahan yang terkandung dalam beberapa jenis bawang kadar airnya cukup tinggi,
yaitu antara 63ml–90ml, sedangkan komponen utamanya berupa protein, karbohidrat
dan lemak (Wikipedia, 2012).
Sebagian besar bawang mengandung zat-zat seperti kalsium, besi serta unsur
kimia lainnya. Bahkan jenis bawang tertentu mengandung vitamin A dan serat Crude
Fibre (Wikipedia, 2012).
Bawang Putih memiliki kandungan gizi, kandungan nilai gizi yang ada dalam
bawang putih per 100 gram dapat dilihat pada tabel 2.5 sebagai berikut :

Tabel 2.5
KANDUNGAN GIZI DALAM 100 GRAM BAWANG PUTIH

38
Nutrient Units Value per 100 grams
Proximates
Water g 58.58
Energy kcal 149
Energy kJ 623
Protein g 6.36
Total lipid (fat) g 0.50
Carbohydrate, by difference g 33.06
Fiber, total dietary g 2.1
Sugars, total g 1.00
Minerals
Calcium, Ca mg 181
Iron, Fe mg 1.70
Magnesium, Mg mg 25
Phosphorus, P mg 153
Potassium, K mg 401
Sodium, Na mg 17
Zinc, Zn mg 1.16
Copper, Cu mg 0.299
Manganese, Mn mg 1.672
Selenium, Se mcg 14.2
Vitamins

Vitamin C, total ascorbic acid mg 31.2


Vitamin B-6 mg 1.235
Carotene, beta mcg 5
Vitamin A, IU IU 9
Vitamin E (alpha-tocopherol) mg 0.08
Vitamin K (phylloquinone) mcg 1.7
Amino acids

Tryptophan g 0.066
Threonine g 0.157
Isoleucine g 0.217
Leucine g 0.308
Lysine g 0.273
Methionine g 0.076
Cystine g 0.065
USDA National Nutrient Database for Standard Reference, Release 23 (2010).
4. Manfaat Bawang Putih

39
Bawang putih digunakan sebagai bumbu yang digunakan hampir disetiap
makanan dan masakan Indonesia. Sebelum dipakai bumbu, bawang putih
dihancurkan dengan ditekan dengan sisi pisau (dikeprek) sebelum dirajang halus dan
ditumis di penggorengan dengan sedikit minyak goreng. Bawang putih bisa juga
dihaluskan dengan berbagai jenis bahan bumbu yang lain. Dan juga dapat digunakan
sebagai obat penyakit kutil. Bawang putih mempunyai khasiat sebagai antibiotik
alami di dalam tubuh manusia (Wikipedia, 2016).
Bawang putih termasuk tanaman rempah yang bernilai ekonomi tinggi karena
memiliki beragam kegunaan. Tidak hanya di dapur, bawang putih memegang peranan
sebagai tanaman apotek hidup yang sanggup berkiprah. Manfaat utama bawang putih
adalah sebagai bumbu penyedap masakan yang membuat masakan menjadi beraroma
dan mengundang selera. Biasa dipakai sebagai obat perangsang (prespiran) untuk
menyembuhkan sembelit dan pelancar air seni. Sementara itu, pada saat terjadi
perang dunia ke-2, berton-ton bawang putih dikonsumsi oleh para prajurit yang
tempur. Tujuannya, untuk meningkatkan stamina dan kekebalan tubuh mereka
terhadap berbagai jenis penyakit. Manfaat bawang putih sebagai obat karena
kombinasi dua senyawa yang ada didalamnya, alisin dan scordinin. Alisin berfungsi
sebagai antibiotik alami yang mampu membasmi berbagai macam dan bentuk
mikroba. Scordinin memiliki kemampuan meningkatkan daya tahan tubuh dan
pertmbuhan tubuh (Londhe, 2011).

E. Penelitian Sejenis
Berdasarkan penelitian (Putro dkk, 2008) tentang aplikasi ekstrak bawang putih
(Allium sativum) untuk memperpanjang daya simpan ikan kembung segar (rastrelliger
kanagurta). Ekstrak bawang putih dibuat berdasarkan metode yang digunakan oleh
Haryati (2006). Pada penelitian ini digunakan 4 perlakuan konsentrasi ekstrak bawang
putih, yaitu 0, 2, 4, dan 6%. Untuk mendapatkan ekstrak bawang putih dengan
konsentrasi 2%, sebanyak 200 g bawang putih yang telah dikupas diblender dalam 10
liter air. Larutan bawang putih didiamkan selama 15 menit, kemudian disaring untuk
memisahkan dari ampasnya. Ikan kembung yang digunakan pada penelitian ini

40
diperoleh dari nelayan Muara Angke, Jakarta Utara. Ikan dengan ukuran 120–125 g/ekor
dibawa ke Laboratorium Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi
Kelautan dan Perikanan, Jakarta dengan menggunakan peti berinsulasi (cool box) dan
dipertahankan kesegarannya dengan es. Ikan kemudian disortasi berdasarkan ukurannya
dan dicuci. Perendaman ikan dalam ekstrak bawang putih dilakukan pada suhu kamar
selama 15 menit. Untuk 1 kg ikan digunakan 1 liter larutan ekstrak bawang putih hingga
seluruh permukaan ikan terendam. Setelah perendaman, ikan selanjutnya ditiriskan,
ditempatkan pada wadah berupa keranjang plastik dan disimpan pada suhu kamar.
Pengamatan dilakukan setiap 6 jam sekali sampai mutu ikan ditolak oleh panelis.
Parameter yang diamati meliputi kadar air (metode oven; SNI 01-2354.2, 2006), kadar
TVB-N (metode Conway; AOAC, 1990), total bakteri (Total Plate Count; SNI 01-
2332.3, 2006), bakteri pembentuk histamin (Niven et al., 1981; Poerwadi & Indriati,
1984). Nilai organoleptik yang diamati meliputi karakterisitik kenampakan, mata, insang
dan lendir di permukaan kulit pada ikan mentah dengan metode demerit point. Karakter
yang lebih baik ditunjukkan oleh skor organoleptik yang lebih rendah. Untuk melihat
pengaruh perlakuan perendaman dalam larutan ekstrak bawang putih terhadap
karakteristik ikan setelah diolah, uji organoleptik terhadap parameter kenampakan, bau,
rasa dan tekstur dilakukan terhadap ikan yang dikukus berdasarkan nilai kesukaan
panelis. Setiap perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali.
Berdasarkan penelitian (Septiyani, 2016) dari hasil penelitian tentang efektifitas
larutan bawang putih (Allium sativum) sebagai pengawet alami pada ikan nila
(Oreochromis niloticus). Didapatkan perubahan-perubahan jumlah angka bakteri pada
ikan nila (Oreochromis niloticus) yang telah direndam larutan bawang putih yang
dihitung jumlah angka bakterinya selama 48 jam (2 x 24 jam sekali) yang dilakukan di
Laboratorium Politeknik Kesehatan Jurusan Analis Palembang. Masing-masing sampel
dilakukan pengujian secara laboratorium setiap 24 jam sekali, dengan menghitung
jumlah angka bakteri yang terkandung dalam ikan nila (Oreochromis niloticus) setelah
dilakukan proses perendaman pada larutan bawang putih (Allium sativum). Konsentrasi
larutan bawang putih (Allium sativum) yang digunakan adalah 60%, 65% dan 70%. Ada
perbedaan hasil pertumbuhan bakteri pada ikan nila (Oreochromis niloticus) yang

41
direndam dengan larutan bawang putih (Allium sativum) dengan konsentrasi 60%, 65%
dan 70%. Dengan demikian, konsentrasi efektif dari hasil uji jumlah angka kuman
(ALT) pada ikan nila (Oreochromis niloticus) yang direndam dengan larutan bawang
putih (Allium sativum) pada konsentrasi 70% dengan ketahanan ikan nila (Oreochromis
niloticus) bertahan selama 48 jam (2x24 jam) untuk jumlah angka bakteri (ALT) yang
memenuhi syarat.

F. Kerangka Teori
Bawang Putih (Allium sativum) mengandung senyawa anti mikroba yaitu allisin.
Senyawa tersebut mengandung sulfur organik dan dapat terdegradasi menjadi tiosulfanat
dan disulfida. Komponen disulfide yang spesifik mempunyai aktifitas penghambatan
terhadap proses pertunasan sel khamir (Wikipedia, 2012).
Dari teori (Susiwi,2009), (Wikipedia, 2012) tersebut maka didapatkan kerangka
teori pengewetan ikan nila menggunakan larutan bawang putih seperti bagan 2.1 berikut
ini :

Lingkungan Suhu Mikroba Pengolahan Hygiene Sanitasi

Faktor Penyebab Kerusakan Ikan Nila

Ketahanan 1 Hari
Bawang Putih Ikan Nila
Ikan Nila
2 Hari

Bagan 2.1
KERANGKA TEORI
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
KEAWETAN IKAN NILA

42

Anda mungkin juga menyukai