IDENTIFIKASI LALAT
Oleh Kelompok 6
TAHUN 2018
I. JUDUL : IDENTIFIKASI DIPTERA (LALAT)
III. METODE
Mikroskopik
IV. PRINSIP
Lalat yang telah ditangkap dimatikan dengan kloroform yang diteteskan pada
kapas selanjutnya dilakukan identifikasi dengan menggunakan mikroskop
dissecting, hasil pengamatan disesuaikan dengan kunci identifikasi untuk
menentukan spesies lalat.
V. DASAR TEORI
Lalat termasuk dalam filum Arthropoda, kelas Hexapoda dan ordo Diptera.
Ordo Diptera mempunyai genus dan spesies yang sangat besar, yaitu berdasarkan
katalog Diptera Australiana/Oceania ada 3.880 spesies lalat yang ditemukan
berdasarkan sebaran zoogeografisnya. Lalat bersifat sinantropik karena sebagian
besar makanan lalat berasal dari makanan manusia dan penyebaranya secara
kosmopolit atau tersebar secara keseluruhan di berbagai tempat. Beberapa spesies
lalat merupakan spesies yang berperan dalam masalah kesehatan, yaitu sebagai
vektor penularan penyakit. Sebagai vektor mekanis lalat membawa bibit penyakit
melalui anggota tubuhnya. Beberapa spesies lalat yaitu lalat rumah (Musca
domestica), lalat kandang (Stomoxys calcitrans), lalat daging (Sarcophaga sp), lalat
kecil (Fannia sp.) dan lalat hijau (Chrysomya megacephala). Lalat mampu terbang
satu sampai dua mill sehingga dapat membawa mikroba dari berbagai tempat yang
pernah disinggahi (Safitri dkk, 2017).
Lalat untuk mempertahankan kehidupannya dan daya tariknya terhadap bau-
bau yang busuk menuntun lalat untuk mencari tempat-tempat yang kotor untuk
mencari sesuatu yang dapat dimakannya. Pada waktu makan di tempat yang kotor
semua bagian tubuh lalat seperti badan, sayap dan kaki akan dipenuhi oleh bibit
penyakit. Beberapa jenis bakteri yang dapat dibawa oleh lalat diantaranya adalah
Salmonella, Shigella, Escheriscia coli, dan Staphylococcus (Putri, 2015).
Penyakit yang ditularkan oleh lalat tergantung spesiesnya. Lalat Musca
domestica dewasa dapat membawa telur cacing (Oxyrus vermicularis, Trichuris
trichiura, cacing tambang, dan Ascaris lumbricoides), Protozoa (Entamoeba
hystolitica dan Giardia lamblia), Bakteri usus (Salmonella, Shigella, dan Eschericia
coli), Virus polio, Treponema pertenue (penyebab frambusia) dan Mycobacterium
tuberculosis. Lalat fannia dewasa dapat menularkan berbagai jenis myasis (Gastric,
Intestinal, dan Genitorinary). Lalat Stomoxys merupakan vector penyakit surra (yang
disebabkan Trypanosima evansi), antrax, tetanus, yellow fever , traumatic miasis dan
Enteric pseudomiasis (walaupun jarang). Lalat hijau (Paenicia dan Chrysomyia)
dapat menularkan penyakit myasis mata, tulang dan organ lain melalui luka. Lalat
Sarchopaga dapat menularkan myasis kulit, hidung, jaringan, vagina, dan usus
(Astuti & Pradani, 2010).
Klasifikasi Lalat
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Hexapoda
Ordo : Diptera
Morfologi Lalat
a. Kepala (Caput)
Bentuk umum kepala lalat berupa struktur seperti kotak. Pada kepala terdapat
alat mulut antara, mata majemuk dan mata tunggal (oselus). Permukaan belakang
kepala lalat sebagian besar berupa lubang melalui lubang ini berjalan urat syaraf
fentral, trakea, sistem saluran pencernaan, urat daging, atau kadang – kadang
1. Pandangan anterior
2. Pandangan lateral
3. Pandangan posterior
Posisi kepala lalat berdasarkan letak arah mulut dapat di bedakan menjadi:
1. Hypognatus (vertikal)
Apa bila arah mulut lalat menghadap ke bawah dan segmen – segmen kepala
ada dalam posisi yang sama dengan tangkai, contohnya : belalang ortoktera
2. Prognatus (horizontal)
Bagian dari arah mulut menghadap kedepan dan biasanya lalat ini aktif
mangsa, contoh : coccinella arcuta (ordo coleoptera).
3. Opistognatus (obligue)
Apabila bagian dari arah mulut mengarah kebelakang dan terletak diantara sela
– sela pasangan tungkai, contoh : walang sangit, Neptokorixa acuta (ordo
meunitera).
b. Kaki
Kaki merupakan salah satu embelan pada toraks lalat selain sayap. Tungkai
lalat terdiri atas beberapa ruas (segmen). Ruas pertama disebut koksa (coxa)
merupakan bagian yang melekat langsung pada toraks. Ruas kedua disebut
trokhanter (trochanter), berukuran lebih pendek dari pada koksa dan sebagian
bersatu dengan ruas ketiga. Ruas ketiga disebut femur merupakan ruas yang
terbesar. Selanjutnya, ruas keempat disebut fibia, biasanya lebih ramping tetapi
kira – kira sama ratanya panjangnya dengan femur. Pada bagian ujung fibia ini
biasanya terdapat duri – duri atau taji. Ruas terakhir disebut tarsus – tarsus ini
biasanya terdiri atas 1 sampai 5 ruas. Diujung ruas terakhir tarsus terdapat
pretarsus yang terdiri dari sepasang kuku tarsus. Kuku tarsus ini disebut claw.
Diantara kuku tersebut terdapat struktur seperti bantalan yang disebut arolium.
c. Thorax
Thorax memiliki tiga pasang kaki dan dua pasang sayap, namun, beberapa
lalat tidak memiliki sayap sama sekali.
d. Abdomen
Abdomen pada lalat primitif tersusun atas 11-12 ruas yang dihubungkan
oleh bagian seperti Selaput (membran). Jumlah ruas untuk tiap spesies tidak sama.
Pada lalat primitif (belum mengalami evolusi) ruas abdomen berjumlah 12.
Perkembangan evolusi lalat menunjukkan adanya tanda – tanda bahwa evolusi
menuju kepengurangan banyaknya ruas abdomen.
Sebagian besar ruas abdomen tampak jelas terbagi menjadi tergum (bagian
atas) dansternum (bagian bawah), sedangkan pleuron (bagian tengah) tidak
tampak, sebab sebagian bersatu dengan tergum. Perbedaan kelamin jantan dan
betina dapat dilihat jelas pada bagian abdomen ini. Pada abdomen lalat betina
terdapat 10 ruas tergum dan 8 ruas sternum, sedangkan pada lalat jantan terdapat
10 ruas tergum dan 9 ruas sternum. Ruad ke-11 abdomen pada belalang betina
tinggal berupa pelat dorsal berbentuk segitiga yang dinamakan epiprok dan
sepasang pelat lateroventral yang dinamakan paraprok. Di antara ujung – ujung
epiprok dan paraprok terdapat lubang anus. Tergum ruas ke-11 memiliki sepasang
embelan yang dinamakan cerci (tunggal : cercus). Pada lalat betina embelan –
embelan termodifikasi pada ruas abdomen kedelapan dan kesembilan
membentuk ovipositor (alat peletakkan telur) di mana terdiri atas dua pasang katub
yang dinamakan valvifer dan selanjutnya menyandang valvulae (sepasang pada
ruas kedelapan dan dua pasang pada ruas kesembilan). Alat kopulasi pada lalat
jantan biasanya terdapat pada ruas abdomen kesembilan.
e. Antena
Antena, mulut dan mata lalat terletak di kepala. Mata majemuk terdiri dari
sampai dengan 4.000 lensa terpisah yang menggabungkan gambar di dalam otak
lalat. Seperti mata yang kompleks memberikan penglihatan yang sangat baik. Lalat
menggunakan antena untuk mencium dan merasakan. Jika antena mereka rusak
mereka menjadi tak berdaya.
f. Sayap
1. Fase Telur
Bentuk telur lalat adalah oval panjang dan berwarna putih. Telur diletakkan pada
bahan organik yang lembab (sampah dan kotoran binatang, dll). Pada tempat yang
tidak langsung kena sinar matahari. Biasanya telur menetas setelah 8 – 30 jam,
tergantung dari suhu sekitarnya.
Tingkat I : Telur yang baru menetas disebut instar I, berukuran panjang 2 mm,
berwarna putih, tidak bermata dan berkaki, sangat aktif dan ganas terhadap
makanan, setelah 1 – 4 hari melepas kulit dan keluar menjadi instar II.
Tingkat III : Larva berukuran 12 mm atau lebih, tingkat ini memerlukan waktu 3
sampai 9 hari.
Pada fase ini jaringan tubuh larva berubah menjadi jaringan tubuh dewasa, stadium
ini berlangsung 3 – 9 hari, setelah stadium ini selesai maka melalui celah lingkaran
pada bagian anterior akan keluar lalat muda.
4. Lalat Dewasa
Proses pematangan menjadi lalat dewasa kurang lebih dari 15 jam dan setelah itu
siap untuk mengadakan perkawinan. Umur lalat dewasa dapat mencapai 2 – 4
minggu.
Gambar 2. Siklus Hidup Lalat
Jenis-Jenis Lalat
1. Genus Musca
Genus musca adalah spesies yang sering terdapat di sekitar rumah dan di dalam
rumah, adapun tanda-tanda dari lalat rumah (Musca domestica) tubuh berwarna
coklat dan kehitam-hitaman, ukuran 6 –7 mm, pada thorax terdapat 4 garis hitam
dan 1 garis hitam medial pada abdomen punggung, vein ke empat dari sayap
berbentuk sudut, antena mempunyai 3 segmen, mata terpisah, metamorfosis
sempurna serta tubuh lalat jantan lebih kecil dari tubuh lalat betina. Lalat ini
mempunyai promboscis pendek, berdaging dan tidak menggigit. Lalat rumah, Musca
domestica, hidup disekitar tempat kediaman manusia di seluruh dunia. Jenis lalat ini
yang paling banyak diantara jenis-jenis lalat rumah. Karena fungsinya
sebagai vektor tranmisi mekanis dari berbagai bibit penyakit disertai jumlahnya
yang banyak dan hubungannya yang erat dengan lingkungan hidup manusia, maka
jenis lalat Musca domestica ini merupakan jenis lalat yang terpenting ditinjau dari
sudut kesehatan manusia. Lalat rumah (M domestica) merupakan salah satu vektor
penyakit saluran pencernaan terutama diare (Hastutiek dkk, 2007).
Gambar 3. Lalat Rumah
2. Lalat Hijau (Calliphoridae)
Lalat Hijau termasuk ke dalam famili Calliphoridae. Lalat ini terdiri atas
banyak jenis, umumya berukuran sedang sampai besar, dengan warna hijau, abu-abu,
perak mengkilat atau abdomen gelap. Biasanya lalat ini berkembangbiak di bahan
yang cair atau semi cair yang berasal dari hewan, termasuk daging, ikan, daging
busuk, bangkai, sampah penyembelihan, sampah ikan, sampah dan tanah
mengandung kotoran hewan. Lalat ini jarang berkembang biak di tempat kering atau
bahan buah-buahan. Beberapa jenis juga berkembang biak di tinja dan sampah hewan
lainnya bertelur pada luka hewan dan manusia.
Jenis lalat hijau lain yang juga ditemukan di Indonesia adalah Chrysomya
bezziana, meskipun sangat jarang di daerah permukiman. Lalat ini banyak dijumpai
di daerah ternak yang dilepaskan di padang gembalaan. Jenis lalat ini akan bertelur
pada luka atau jaringan kulit yang sakit dan menyebabkan miyasis obligat pada
manusia dan hewan. Jenis lainnya adalah Calliphora sp yang dikenal dengan nama
blue bottles. Lalat ini lebih menyukai tinggal di daerah iklim sedang dan tidak umum
dijumpai di Indonesia. (Santi, 2001).
Gambar 4. Lalat Hijau
9. Mimik (Drosophila)
Lalat ini berukuran kecil, jumlahnya bisa sangat banyak, mengganggu dan
mengancam kesehatan manusia. Ketertarikannya terhadap buah dan sayuran,
terutama bahan yang mengalami fermentasi. Lalat ini jadi pengganggu utama
perusahaan pengalengan, pembuat bir, minuman dari anggur, serta pasar buah dan
sayuran. Karena begitu banyak yang dapat menjadi tempat berkembang biaknya lalat
mulai dari sepotong buah yang dibuang di bawah bangku sampai sisa saus tomat di
wadanya, lalat ini dapat menjadi masalah utama di restoran dan berbagai tempat
pengolahan makanan termasuk dapur rumah tangga.
Lalat dewasa berukuran panjang 2,5-4,0 mm. Biasanya berwarna kuning
kecoklatan. Telurnya diletakkan di tempat makan yang kelembabanya sesuai dengan
jumlah rata-rata 25-35 butir telur per hari. Makanan yang sesuai untuk perkembangan
larva termasuk buah yang terlampau masak dan sayur-sayuran, bahan yang
mengalami fermentasi, alkohol, kaleng yang kotor berisi sisa susu atau minuman
lainnya. Telur menetas dalam waktu 4 hari, tahap larva makan selama 4 hari, setelah
itu keluar menuju tempat yang lebih kering untuk pupasi. Pupasi biasanya
berlangsung selama 4 hari, sehingga seluruh siklus diperlukan 8-14 hari.
Mimik termasuk penerbang yang kuat dan sering kali aktif saat fajar
menyingsing dan menjelang malam. Populasi yang besar dapat dibangun secara cepat
dari sejumlah kecil makanan atau sampah, kadang-kadang ukurannya yang kecil
dapat menembus kawat kasa jendela, dapat menjadi penganggu yang serius di pabrik
pengolah makanan, dan menjadi pencemar makanan yang mengancam kesehatan
manusia dan hewan (Santi, 2001).
c. Kebiasaan Makan
Makanan lalat adalah zat gula yang ada pada makanan manusia.
Pada saat hinggap lalat mempunyai mekanisme mengeluarkan air liur dan
melakukan defekasi.
d. Lama Hidup
Tanpa air lalat tidak bisa hidup, dan hanya bisa bertahan tidak lebih
dari 46 jam. Lama hidup lalat tergantung pada faktor lingkungan. Pada
musim panas mampu berumur 2-4 minggu, sedangkan pada musim dingin
berumur 70 hari.
e. Temperatur
Kehidupan lalat tergantung pada kondisi lingkungan sekitar. Lalat
beaktivitas secara penuh pada suhu 20-250C dan pada suhu 35-400C/ 15-
200C aktivitas lalat mulai berkurang. Sedangkan lalat mulai hilang dan tidak
terdeteksi pada suhu di bawah 100C dan di atas 400C. Waktu metamorfosis
lalat rumah pada suhu 200C membutuhkan 26,2 hari sedangkan pada suhu
350C membutuhkan 9,6 hari.
f. Cahaya
Lalat bersifat menyukai cahaya (fototropik) dan tempat yang hangat,
maka dari itu lalat lebih banyak beraktivitas pada siang hari dan beristirahat
pada malam hari. (Astuti & Pradani, 2010).
Dari berbagai ordo dalam kelas Hexapoda, maka ordo Diptera mengandung
anggota yang paling banyak berkaitan dengan bidang kedokteran, kesehatan, dan
verteriner. Ordo Diptera terutama lalat mempunyai spesies – spesies yang dapat
mengganggu kenyamanan hidup manusia. Lalat menyerang dan melukai hospesnya
(manusia dan hewan) serta menularkan penyakit :
1. Vektor biologis yaitu bakteri dan virus penyebab penyakit yang dapat
berkembang biak dalam tubuh lalat sebelum ditularkan pada manusia dan
hewan.
2. Vektor mekanis yaitu dengan cara menempatkan mikroorganisme yang
menempel pada bulu halus, kaki atau pada bagian tubuh lainnya.
Lalat dapat menjadi vektor berbagai macam organisme patogen seperti kista
protozoa, telur cacing, bakteria, dan enterovirus. Apabila manusia memakan
makanan yang telah terkontaminasi organisme patogen yang dibawa oleh lalat
maka dapat menyebabkan sakit. Saat hinggap di makanan, lalat melakukan defekasi
dan mengeluarkan air liurnya yang mengandung berbagai macam organisme
patogen dan hal ini dapat mengkontaminasi makanan yang dihinggapinya tadi.
Selain itu, pada tubuh lalat terutama kaki terdapat bulu-bulu halus yang
mengandung semacam perekat sehingga benda kecil seperti telur cacing dapat
melekat (Putri, 2015).
VI. WAKTU DAN TEMPAT PRAKTIKUM
WAKTU : Praktikum dilaksanakan pada hari Jumat, 27 April 2018 dan 4 Mei
2018 pada pukul : 14.30 – 17.20 WITA
A. Alat
1 Digunakan untuk
mengamati objek
pengamatan.
Disekting
Mikroskop
Petri Disk
B. Bahan
NO GAMBAR KETERANGAN
1.
ANTENA
PALPI
MATA
TORAKS (bagisan
dorsal bergaris 4)
SAYAP
ABDOMEN
VEIN KE 4
MEMBENTUK
SUDUT
THORAKS TANPA
ADA GARIS Mata
X. PEMBAHASAN
Lalat merupakan salah satu ordo Diptera yang mempunyai kedekatan dengan
pemukiman manusia maupun di peternakan. Populasi lalat di alam sangat tinggi, hal
ini dipengaruhi oleh morfologi tubuh lalat yang berukuran kecil, kemampuan terbang
yang jauh, serta sirklus hidup yang pendek, termasuk hewan omnivorous (pemakan
segala). Disamping itu, serangga ini juga mempunyai daya reproduksi yang cukup
tinggi dan merupakan multivoltine (beberapa generasi dalam satu tahun) (Hastutiek &
Fitri, 2007).
Pada praktikum kali ini dilakukan indentifikasi terhadap lalat. Lalat yang telah
disiapkan dimasukkan kedalam wadah seperti tabung reaksi, kemudian dimasukkan
kapas yang sudah berisi kloroform ke dalam tabung reaksi tadi. Ditunggu beberapa
saat sampai terlihat lalat tidak bergerak lagi. Lalat yang telah mati diambil dan
dipindahkan ke petri disk lalu diamati di bawah mikroskop digensting.
Pada praktikum I yang telah dilakukan hari Jumat, 27 April 2018 bertempat di
Laboratorim Parasitologi Jurusan Analis Kesehatan Politeknik Kesehatan Denpasar
didapatkan hasil pada praktikum Identifikasi Diptera (Lalat) dengan metode
Mikroskopis didapatkan hasil jenis lalat rumah yaitu Musca Domestica dimana
dengan ciri-ciri berwarna hitam, terbangnya sangat cepat, memiliki mulut dengan tipe
penjilat dan penghisap, mempunyai proboscis pendek. Sedangkan pada praktikum II
didapatkan hasil jenis lalat hijau Chrysomya bezziana dengan ciri-ciri berwarns hijau
metalik atau mengkilat, ukuran ±1,5 kali lalat rumah, sayap jernih dengan guratan
urat-urat yang jelas, permukaan tubuh tertutup dengan bulu-bulu pendek diselingi
dengan sederetan bulu yang keras dan jarang letaknya, mulutnya tipe penjilat dan
tiap-tiap batas ruas terdapat duri keras dan pendek yang melingkar. Pada praktikum
III didapatkan hasil sama seperti hasil pada praktikum I jenis lalat rumah yaitu Musca
Domestica.
Lalat C. bezziana berwarna biru metalik, biru keunguan atau biru kehijauan.
Kepala lalat ini berwarna oranye dengan mata berwarna merah gelap . Perbedaan
antara lalat betina dan jantan terletak pada matanya . Lalat betina memiliki celah yang
memisahkan mata kanan dan kiri lebih lebar dibandingkan lalat jantan . Ukuran lalat
ini bervariasi tergantung pada ukuran larvanya. Panjang tubuhnya rata-rata 10 mm
dengan lebar kepala berkisar rata-rata 4,1 mm. Tidak ada tanda-tanda makroskopik
yang khas untuk dapat mengenalinya dengan kasat mata sehingga identifikasi hanya
dapat dilakukan melal u pemeriksaan mikroskopik. (Wardhana, 2006)
Siklus hidup lalat C. bezziana terbagi menjadi empat tahap, yaitu telur, larva,
pupa dan lalat. Pada tahapan larva, perkembangan L1 sampai dengan L3 memerlukan
waktu enam hingga tuj uh hari, selanjutnya L3 akan membentuk pupa dalam waktu
tujuh sampai delapan hari, kemudian menjadi lalat yang akan bertelur setelah enam
hingga tujuh hari. Lalat betina akan meletakkan kumpulan telurnya di tepi luka pada
sore hari atau menjelang petang dalam waktu sekitar 4,1 menit. Jumlah telur yang
dikeluarkan oleh lalat betina berkisar antara 95 sampai 245 (rata-rata 180 telur). Telur
akan menetas menjadi L1 dalam waktu 12 - 24 jam atau sepuluh jam pada suhu 30°C,
selanjutnya LI menuju ke daerah luka yang basah. Sehari kemudian, LI akan berubah
menjadi L2 dan muiai membuat terowongan yang lebih dalam di daerah luka tersebut
dengan cara masuk ke dalam jaringan inang. Larva instar II (L2) akan berkembang
menjadi L3 pada hari keempat bermigrasi keluar dari daerah luka tersebut dan jatuh
ke tanah. Larva tersebut akan membuat terowongan sepanjang 2 - 3 cm untuk
menghindari. sinar matahari secara langsung. Larva akan membentuk pupa dalam
waktu 24 jam pada suhu 28°C. (Wardhana, 2006)
Patogenesis myiasis pada hewan dan manusia tidak berbeda . Awal terjadinya
myiasis adalah apabila ternak mengalami luka akibat berkelahi, tersayat benda tajam
atau pascapartus . Bau darah segar yang mengalir akan menarik lalat betina untuk
meletakkan telurnya ke luka tersebut. Dalam waktu 12 - 24 jam, telur akan menetas
menjadi larva dan bergerak masuk ke dalam jaringan . Aktivitas larva di dalam
jaringan tubuh WARTAZOA Vol. 16 No. 3 Th. 2006 mengakibatkan luka semakin
besar dan kerusakan jaringan semakin parah. Kondisi ini menyebabkan bau yang
menyengat dan mengundang lalat yang lain untuk hinggap (Sarcophaga sp .,
Chrysomya megachepalla, Musca sp.) dan memicu terjadinya infeksi sekunder oleh
bakteri. (Wardhana, 2006)
Infestasi larva myiasis tidak menimbulkan gejala klinis yang spesifik dan
sangat bervariasi tergantung pada lokasi luka. Gejala klinis pada hewan antara lain
berupa demam, radang, peningkatan suhu tubuh, kurang nafsu makan, tidak tenang
sehingga mengakibatkan ternak mengalami penurunan bobot badan dan produksi
susu, kerusakan jaringan, infertilitas, hipereosinofilia serta anemia . Apabila tidak
diobati, myiasis dapat menyebabkan kematian ternak sebagai akibat keracunan kronis
ammonia. (Wardhana, 2006)
Gejala umum yang terjadi pada myiasis manusia antara lain demam, gatal-
gatal, sakit kepala, vertigo, eritrema, radang (inflamasi), pendarahan serta memicu
terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri . Gambaran darah penderita myiasis akan
menunjukkan gejala hipereosinofilia dan meningkatnya jumlah neutrophil.
Berdasarkan gejala klinis yang timbul, MANGUNKUSUMO dan UTAMA (1999)
mengelompokkan myiasis manusia sebagai berikut :
a. Myiasis luka.
Myiasis jenis ini sering terjadi karena adanya luka yang meradang dan berbau
atau luka karena penyakit spesifik, seperti sifilis, lepra dan penyakit lainnya.
Luka tersebut merupakan tempat yang menarik untuk bertelur .
b. Myiasis hidung .
Terjadi karena lalat meletakkan telurnya pada membran mukosa yang luka di
rongga hidung. Penderita sering mengatakan bahwa hidungnya kemasukan lalat.
Infestasi larva menyebabkan hidung dan muka membengkak. Apabila tidak
diobati maka larva dapat bergerak ke atas dan masuk ke salunan air mata,
selanjutnya merusak tulang rawan dan tulang septum, menghancurkan os nasal
dan osfrontal . Selain itu, larva dapat masuk ke dalam paranasa! Bahkan
menembus dasar tengkorak dan menyebabkan meningitis sampai kematian.
c. Myiasis telinga .
Myiasis jenis ini sering terjadi sebagai komplikasi myiasis hidung dan mulut.
Larva dapat masuk ke dalam telinga melalui tuba Eustachius. Myiasis telinga
juga dapat terjadi secara primer, umumnya terdapat luka atau nanah di liang
telinga yang menarik lalat untuk bertelu-. Larva mampu menembus gendang
telinga dan masuk ke telinga tengah. Kondisi ini akan menimbulkan iritasi dan
rasa sakit yang hebat di telinga bahkan menyebabkan tinnitus dan vertigo.
d. Myiasis mata.
Umumnya timbul sebagai komplikasi dari myiasis hidung dan mulut, tetapi dapat
juga terjadi secara sendiri . Oftalmomiasis eksterna bila bola mata yang tidak
terkena sedangkan oftalmomiasis interna anterior bila larva menginfestasi bilik
mata depan dan oftalmomiasis posterior bila larva sampai ke bilik mata belakang
. Jika myiasis mata tidak diobati maka larva mampu menghancurkan seluruh bola
mata .
e. Myiasis kulit.
Lalat bertelur di permukaan kulit. Larva akan masuk ke dalam kulit yang sehat
melalui folikel rambut atau melalui luka akibat traumatika atau sebab lainnya.
Larva mungkin akan berdiam di tempat masuknya pada kulit dan menimbulkan
sebuah bisul di tempat tersebut.
Myiasis jenis ini terjadi karena termakan makanan yang mengandung telur atau
larva lalat. Keadaan tersebut dapat disertai dengan gastroenteritis akut.
Dibius lalat menggunakan Diletakkan lalat pada petri Dilakukan pengamatan lalat
kapas yang sudah berisi disk untuk dilakukan dengan menggunakan
kloroform pengamatan dibawah mikroskop discetting
mikroskop
Ahmad, I., Susanti, S., Kustiati, K., Yusmalinar, S., Rahayu, R., & Hariani, N.
(2015). Resistensi lalat rumah, Musca domestica Linnaeus (Diptera: Muscidae)
dari empat kota di Indonesia terhadap permetrin dan propoksur. Jurnal
Entomologi Indonesia, 12(3), 123–128. https://doi.org/10.5994/jei.12.3.123
Astuti, E. P., & Pradani, F. Y. (2010). Pertumbuhan dan Reproduksi Lalat Musca
domestica pada Berbagai Media Perkembangbiakan. Aspirator, 2(1), 11–16.
Siwi, Sri Suharni., Hidayat, Purnama., S. (2006). Taksonomi dan Bioekologi Lalat
(Diptera).
Hastutiek, P., & Fitri, L. E. (2007). POTENSI Musca domestica Linn. SEBAGAI
VEKTOR BEBERAPA PENYAKIT. Jurnal Kedokteran Brawijaya, XXIII, 125–
136.
Putra, R., Rosyad, A., & Kinasih, I. (2013). Pertumbuhan dan perkembangan larva
Musca domestica Linnaeus (Diptera: Muscidae) dalam beberapa jenis kotoran
ternak. Jurnal Entomologi Indonesia, 10(1), 31–38.
https://doi.org/10.5994/jei.10.1.31
Widiastuti, D. dan S. (2008). Uji Efikasi Ekstrak Daun Babadotan sebagai Insektisida
Nabati terhadap Lalat Rumah (Musca domestica) di Laboratorium, 7, 7–10.
LEMBAR PENGESAHAN
Mengetahui ,
Mahasiswa ,
(Kelompok 6)