Anda di halaman 1dari 16

BAB 1

PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Kulit merupakan bagian tubuh yang terletak di bagian terluar atau permukaan tubuh yang
berinteraksi langsung dengan lingkungan. Dalam kehidupan sehari- hari, kulit sering
berinteraksi dengan berbagai produk kecantikan seperti kosmetik, banda-benda sekitar, dan
lingkungan (Butarbutar, 2020). Kondisi lingkungan salah satu faktor yang memengaruhi
kondisi kesehatan kulit, karena kulit lebih sering berkontak langsung dengan lingkungan.
Selain itu iklim, tempat tinggal, kebiasaan hidup yang kurang sehat, dan alergi juga dapat
mempengaruhi kesehatan kulit (Putri et al., 2018).
Penyakit kulit sering dijumpai pada negara yang beriklim tropis seperti Indonesia, salah satu
penyebabnya yaitu bakteri. Staphylococcus aureus adalah bakteri yang dapat menyebabkan
infeksi pada kulit seperti jerawat, impetigo, bisul, selulitis, folikulitis, karbunkel, syndrome
kulit melepuh dan abses (Ansari et al., 2021). Bakteri Staphylococcus aureus, merupakan
bakteri flora normal pada mulut dan saluran pernapasan tetapi bersifat patogen menyebabkan
infeksi pada kulit.
Salah satu cara pencegahan yang dapat kita lakukan untuk mengatasi permasalah kulit
tersebut adalah dengan penggunaan lotion. Sediaan lotion merupakan kosmetik golongan
emolien (pelembut) minyak dalam air (Pradiningsih et al., 2022). Sediaan ini berfungsi sangat
baik dalam membantu menjaga kelembapan dan kelembutan kulit, juga menjaga elastisitas
kulit dari berbagai pengaruh lingkungan dan radikal bebas agar kulit selalu menjadi sehat dan
segar setiap waktu (Putriyana and Purgiyanti,, 2018). Lotion juga dapat digunakan untuk
melindungi kulit dari infeksi yang disebabkan oleh bakteri.
Keunggulan lotion dibandingkan produk salep atau krim adalah lotion dapat tersebar tipis dan
dapat mencakup ke area kulit yang luas, lotion juga dapat segera diaplikasikan untuk area
yang berbulu karena bentuknya yang kurang kental (Rahman et al., 2013). Pemakaian lotion
yang memiliki manfaat sebagai antibakteri masih jarang digunakan. Kebanyakan produk-
produk lotion yang sering kita temui atau yang beredar dipasaran hanya memiliki manfaat
sebagai pelembab dan pencerah kulit. Sedangkan lotion yang mengandung manfaat sebagai
antibakteri masih jarang ditemukan. Untuk itu diperlukan lotion yang mengandung senyawa
antibakteri didalamnya, selain bermanfaat sebagai pelembab kulit lotion juga bermanfaat
sebagai antibakteri (Sari, et al., 2017).
Tumbuhan daun sisik naga telah Dimanfaatkan untuk pengobatan secara tradisional oleh
masyarakat sebagai sakit Kuning, sembelit, sakit perut, pendarahan, rematik, keputihan, dan
kanker Payudara. Bagian dari tumbuhan sisik naga yang banyak diteliti dan bermanfaat
Sebagai obat adalah daunnya. Bagian daunnya tersebut digunakan untuk Mengobati berbagai
penyakit, salah satunya adalah sariawan (Dalimartha, 2008). Tanaman sisik naga
mengandung saponin, polifenol, minyak atsiri,Sterol/triterpen, fenol, flavonoid, gula, dan
tanin (Hariana, 2006; Dalimartha, 2008).
Berdasarkan buku “Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia” jilid ke III (1995) karya Prof. H.
М. Hembing Wijayakusama, daun dan seluruh bagian tubuh sisik naga dapat dipakai untuk
mengobati luka luar atau penyakit kulit seperti kudis dan kurap. Cara pemakaiannya yaitu
tanaman yang segar dilumatkan kemudian dibubuhi di tempat yang sakit atau bisa juga
dengan cara direbus dan airnya dipakai sebagai air cuci pada luka.
Pada tahun 2017, Marjoni, Riza, dan lainnya telah menguji Ekstrak air daun sisik naga dan
menemukan aktivitas Analgetiknya. Daun sisik naga mengandung Berbagai senyawa kimia
seperti saponin, fenol, Flavonoid, sterol, dan tannin (Arif, dkk, 2018). Pada tahun 2014, Yanti
dan Sari melakukan uji aktivitas antibakteri Menggunakan ekstrak etanol dari daun sisik naga
Terhadap bakteri Staphylococcus aureus yang telah Resisten terhadap methicillin
(Methicillin-Resistant Staphylocccus aureus).Senyawa-senyawa bioaktif ini dapat memiliki
sifat Antifungi (Untu, S., 2019) dan antibakteri (Rahmawati, R., 2014).
Bakteri penyebab Penyakit kulit pada manusia yaitu Staphylococcus epidermidis. Terapi
pengobatan Terhadap infeksi bakteri diaplikasikan dengan penggunaan antibiotik yang saat
ini Telah banyak menimbulkan permasalahan kesehatan seperti resistensi antibiotik Dan
timbulnya efek samping yang berbahaya. Sehingga diperlukan penelitian yang Menunjang
perkembangan obat herbal sebagai obat antibakteri. Sisik naga merupakan tanaman epifit
yang banyak ditemukan merambat di Pohon-pohon. Selain itu berbagai Penelitian telah
dilakukan yang menunjukkan bahwa ekstrak tanaman ini memiliki Aktivitas antibakteri.
Berdasarkan latar belakang di atas, Daun sisik naga memiliki kandungan seperti
flavonoid, fenol, tanin, minyak atsiri, dan sterol yang berperan sebagai
antibakteri. Sehingga penulis ingin melakukan penelitian tentang Analisis Antibakteri
Sediaan Lotion Ekstrak Etanol Daun sisik naga Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus.
Karena penggunaan ekstrak daun sisik naga sebagai sediaan lotion masih belum pernah
dilakukan, Sehingga penulis tertarik melakukan penelitian ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas masalah yang dapat dirumuskan adalah apakah terdapat
perbedaan daya hambat pada sediaan lotion ekstrak etanol daun sisik naga formula 1
(konsentrasi ekstrak 40%) dan formula II (konantrasi ekstrak 50%), terhadap pertumbuhan
bakteri Staphylococcus aureus.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk menjelaskan perbedaan daya hambat sediaan lotion ekstrak etanol daun sisik naga
formula I dan II terhadap bakteri Staphylococcus aureus.

2. Tujuan Khusus
a. Mengukur daya hambat sediaan lotion ekstrak etanol daun sisik naga formula
1 (konsentrasi 40%) terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus
b. Mengukur daya hambat sediaan lotion ekstrak etanol daun sisik naga formula
II (konsentrasi 50%) terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus
c. Menganalisis perbedaan daya hambat sediaan lotion ekstrak etanol daun sisik
naga formula 1, dan II terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus.
D. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah berdasarkan keilmuan bakteriologi dengan menganalisis
perbedaan daya hambat sediaan lotion ekstrak etanol daun sisik naga terhadap pertumbuhan
bakteri Staphylococcus aureus.
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Penulis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan penulis dalam
menganalisis sediaan lotion ekstrak etanol daun sisik naga terhadap bakteri Staphylococcus
aureus.
2. Bagi Institusi
Sebagai referensi dan bahan tambahan kepustakaan bagi mahasiswa/i Poltekkes Kemenkes
Pontianak Jurusan Teknologi Laboratorium Medis, khususnya dalam bidang bakteriologi
serta diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk pengembangan penelitian selanjutnya.
3. Bagi Masyarakat
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang manfaat
daun sisik naga sebagai sediaan lotion antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureus
Jgn lupa keahlian penelitian

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanaman sisik naga (Drymoglossum heterophyllum)


Paku sisik naga atau Drymoglossum piloselloides adalah salah satu jenis paku yang termasuk
dalam famili Polypodiaceae. Paku ini ditemukan sebagai kelompok tumbuhan epifit yaitu
hidup dan tumbuh di permukaan batang pohon inang dengan tidak mengambil unsur hara
atau nutrisi dari pohon yang ditumpanginya. Tumbuhan Drymoglossum piloselloides
merupakan paku- pakuan yang lazim ditemukan di dataran rendah, mangrove, tempat
terbuka, kebun, dan taman dari ketinggian permukaan air laut (di atas permukaan laut)
sampai ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut. Drymoglossum piloselloides dapat
ditemukan di India sampai Asia Tenggara, Papua Nugini, dan Australia bagian utara
(Darmawan, 2014).
Drymoglossum piloselloides mempunyai nama daerah yaitu sisik naga. Sekat ribu-ribu
(Sumatera), paku duduwitan (Sunda), dan pakis duduwitan (Jawa) (Wijayakusuma, 2006).
Sedangkan untuk nama asing di antaranya yaitu dubbeltjesvaren, duiteblad, duitvaren
(Belanda), bao shu lian (China) (Hariana, 2006).
Contoh tumbuhan yang disinggahi oleh sisik naga antara lain pohon mangga, angsana,
mahoni, kokoa, flamboyan, ketapang, palma, dan nangka.
1.Klasifikasi sisik naga sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Division : Pteridophyta
Class : Pteridopsida
Ordo: Polypodiales
Family : Polypodiaceae
Genus : Drymoglossum LIBRARY
Species : Drymoglossum piloselloides (Heti, (2008))
2.Morfologi Sisik Naga (Drymoglossum piloselloides (L.) Presl)
Daun
Daun paku sisik naga tunggal, tumbuh dalam jarak yang pendek. Tangkai pendek tidak
terbagi, ujung tumpul, bertepi rata, pangkal runcing. Berwarna hijau tua pada permukaan
atas, berlapis lilin tebal, dan terdapat rambut pada permukaan bawah, serta mempunyai dua
macam bentukan atau disebut dimorfisme yaitu sporofil dan tropofil (Tjitrosoepomo, 2011;
Yuliasmara dan Ardiyani, 2013;Purnawati dkk, 2014). Daun sporofil biasanya berbentuk
panjang seperti pita. Helaian daun memiliki panjang sampai 11 cm dan dengan tangkai
ukuran mencapai 12 cm. Fungsi dari bentuk daun sporofil adalah sebagai tempat
menempelnya sorus yang berada di bawah tepi permukaan daun yang jumlahnya sangat
banyak. Sedangkan daun tropofil memiliki bentuk lebih pendek, kecil, bulat memiliki
panjang helaian daun sampai 3 cm dan ukuran tangkai 0,5-1 mm (Sastrapradja, 1985;
Hovenkamp et al., 1998).
Antara kedua bentuk daun sisik naga mempunyai pola pertulangan yang berbeda. Daun
tropofil memiliki pola pertulangan reticulate atau menjala. Sedangkan daun sporofil berupa
longitudinal yaitu pola pertulangan sejajar yang dapat menyebar membentuk lengkungan
mengikuti lebar daun dan kemudian bertemu di ujung, sehingga pertulangan nampak
melengkung atau tulang daun membelok 90° ke arah tepi kemudian kembali ke arah atas
(Tjitrosoepomo, 2006).
Akar Pelekat
Tipe akar paku sisik naga yaitu serabut, berbentuk pipa tidak bercabang, berwarna hitam, dan
berjumlah banyak. Akar serabut ini memiliki fungsi sebagai penyerap dan penahan air
maupun uap air yang ada di lingkungan dan permukaan pohon inang (Yuliasmara dan
Ardiyani, 2013; Darmawan, 2014).

3.Kandungan dan khasiat Daun Sisik Naga


Menurut Hariana (2006), hasil analisis fitokimia dari daun sisik naga Menunjukkan adanya
golongan saponin, triterpenoid, flavonoid, minyak atsiri, Tanin dan polifenol. Sedangkan
menurut Sagita, dkk (2017), daun sisik naga Positif mengandung senyawa flavonoid dan
tanin.Kandungannya berkhasiat Sebagai antiradang, antinyeri, penghenti pendarahan, obat
batuk kering, Mengatasi sariawan.Kandungan flavonoid dan tanin dalam daun sisik naga
Berpotensi memiliki efek farmakologi bagi kesehatan manusia.Tanaman ini juga berkhasiat
untuk mengatasi beragam penyakit seperti Radang gusi, rematik, batuk, batuk darah, sakit
kuning, keputihan, kanker Payudara, gondongan, TBC, gonorrhoe, dan sukar buang air besar.
Tanaman ini Juga dapat digunakan untuk pemakaian luar, seperti kudis, kurap, dan penyakit
Karena infeksi bakteri (Hariana, 2006).

4.kandungan senyawa antibakteri tanaman sisik naga


A. Flavonoid
Flavonoid adalah senyawa metabolit sekunder yang memiliki struktur inti Ca-C-Ca yaitu dua
cincin aromatik yang dihubungkan dengan 3 atom C, biasanya dengan ikatan atom O yang
berupa ikatan oksigen heterosiklik. Senyawa ini dapat dimasukkkan sebagai polifenol karena
mengandung dua atau lebih gugus hidroksil, bersifat agak asam sehingga dapat larut daları
basa (Hanani, 2015).
Flavonoid merupakan suatu kelompok senyawa yang terbesar yang ditemukan di alam.
Banyaknya senyawa flavonoid disebabkan oleh berbagai tingkat hidroksilasi, alkoksilasi atau
glikosilasi pada stuktur tersebut. Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu,
biru, dan sebagian zat warna kuning yang terdapat pada tanaman. Beberapa kemungkinan
fungsi flavonoid bagi tumbuhan adalah sebagai zat pengatur tumbuh, pengatur proses
fotosintesis, sebagai zat antimikroba, antivirus, dan antiinsektisida (Kristanti, et al., 2008).
Beberapa flavonoid sengaja dihasilkan oleh jaringan tumbuhan sebagai respons terhadap
infeksi atau luka. Telah banyak flavonoid yang diketahui memberikan efek fisiologis tertentu.
Oleh karena itu, tumbuhan yang mengandung flavonoid banyak dipakai dalampengobatan
tradisional. Senyawa flavonoid telah terbukti dapat menghambat pertumbuahan bakteri.
Mekanisme kerja flavonoid sebagai anti bakteri dengan cara membentuk senyawa kompleks
terhadap protein ekstra seluler yang menyebabkan terdenaturasinya protein sel bakteri
sehingga membran sel mengalami kerusakan (Arlofa, 2015).
B. Steroid
Steroid merupakan metabolit sekunder yang terbentuk adanya prekusor yaitu acetyl coenz.
Masing-masing tanaman mempunyai karakteristik reaksi kimia yang berbeda peran
didalamnya untuk mengubah antivitas enzim tersebut sehingga menyebabkan perbedaan
produksi metabolit sekunder yang terbentuk (Suhirman, 2015). Steroid adalah kelompok
senyawa bahan alam yang kebanyakan strukturnya terdiri atas 17 atom karbon dengan
membnetuk struktur dasar 1,2- siklopenteno perhidrofenantren (Kristanti, et al., 2008).
Steroid senyawa produk alam yang tersebar hampir di semua jenis tumbuhan. Steroid, secara
struktural mirip dengan riterprenoid, namun pada atom C4 memiliki gugus metil untuk
golongan terpenoid dan tidak ada untuk steroid. Golongan senyawa steroid larut dalam
pelarut non polar sampai semi polar. Senyawa yang larut dalam pelarut tersebut dapat
diidentifikasi dengan menggunakan reagen Liebermann-Burchard. Warna hijau atau biru
menunjukkan adanya steroid.
C. Tanin
Tanin adalah salah satu golongan senyawa polifenol yang juga banyak dijumpai pada
tanaman. Tanin dapat didefinisikan sebagai senyawa polifenol dengan berat molekul yang
sangat besar yaitu lebih dari 1000 g/mol serta dapat membentuk senyawa kompleks dengan
protein, struktur senyawa tannin terdiri dari cincin benzena (C6) yang berikatan dengan
gugus hidroksil (-OH). Tanin memiliki peranan biologis yang besar karena fungsinya sebagai
pengendap protein dan penghelat logam. Oeh karena itu tannin diprediksi dapat berperan
sebagai antioksidan biologis (Noer, et al., 2018).
Senyawa tanin ini banyak dijumpai pada tumbuhan. Sifat antibakteri tanin diperkirakan karna
toksisitasnya dapat merusak membran sel bakteri, senyawa astringent tanin dapat
menginduksi pembentukan kompleks ikatan tanin terhadap ion logam yang dapat menambah
daya toksisitas tanin. Mekanisme kerja tanin diduga dapat mengkerutkan dinding sel atau
membran sel sehingga mengganggu permeabilitas sel yang mengakibatkan sel tidak dapat
melakukan aktivitas hidup sehingga pertumbuhannya terhambat dan mengalami kematian
(Arlofa, 2015).
D. Saponin
Saponin adalah suatu senyawa yang memiliki bobot molekul tinggi atau besar, tersebar dalam
beberapa tumbuhan, merupakan bentuk glikosida dengan molekul gula yang terikat dengan
aglikon, triterpen atau steroid (Hanani, 2015). Saponin merupakan senyawa yang bersifat
racun karena dapat menyebabkan terjadinya hemolissi darah. Beberapa saponin memiliki
efek terapeutik, sehingga sering disebut glikosida jantung, dan khasiat lainya bersifat
hipolipidemik dan berkhasiatTerhadap jantung.
Saponin bekerja sebagai antimikroba karena senyawa saponin dapat melakukan mekanisme
penghambatan dengan cara membentuk senyawa kompleks dengan membran sel melalui
ikatan hidrogen, sehingga dapat mengahancurkan sifat permeabilitas dinding sel bakteri dan
menimbulkan kematian sel bakteri (Ernawati & Sari, 2015).
E.Triterpenoid
Triterpenoid adalah salah satu senyawa
Metabolit sekunder turunan terpenoid yang
Kerangka karbonnya berasal dari enam satuan
Isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari
Hidrokarbon C30 asiklik. Triterpenoid berupa
Senyawa tidak berwarna, berbentuk kristal, dan
Biasanya bertitik leleh tinggi. Senyawa
Triterpenoid dapat dikelompokkan menjadi
Triterpenoid trisiklik, tetrasiklik, dan pentasiklik
(Heliawati. 2018:18). Salah satu turunan
Triterpenoid pentasiklik adalah lupeol yang
Memiliki berat molekul 426 gr/mol. Lupeol
Adalah triterpenoid yang aktif secara
Farmakologis dan berpotensi sebagai obat
Memiliki rumus kimia C30H50O (Wahyuono,
1993).
F.Minyak Atsiri
Minyak atsiri merupakan senyawa volatil yang dihasilkan oleh jaringan tertentu Suatu
tanaman, baik berasal dari akar, batang, daun, kulit, bunga, biji-bijian, bahkan Putik bunga
(Rahmawati, 2007). Pada umumnya minyak atsiri mempunyai ciri-ciri Mudah menguap pada
suhu kamar, mudah mengalami dekomposisi, memiliki bau Harum sesuai dengan bau
tanaman penghasilnya, larut dalam pelarut organik dan tidak Larut dalam air (Guenther,
1987).
G.Polifenol
Polifenol adalah kelompok zat kimia yang ditemukan pada tumbuhan. Zat ini Memiliki tanda
khas yaitu memiliki banyak gugus fenol dalam molekulnya Polifenol sering terdapat dalam
bentuk glikosida polar dan mudah larut dalam Pelarut polar. Beberapa golongan bahan
polimer penting dalam tumbuhan seperti Lignin, melanin, dan tanin adalah senyawa polifenol
(Harbone, 1996).
H.Polifenol
Polifenol memiliki sifat sebagai antibakteri dengan mekanisme kerjanya Dengan merusak
membran sel bakteri, senyawa astrigennya dapat menginduksi Pembentukan ikatan senyawa
kompleks terhadap enzim atau substrat mikroba yang Dapat menambah daya toksisitas
(Akiyama, dkk, 2001).
C. Metode Ekstraksi
Pembagian metode ekstraksi cukup beragam, ada yang membaginya berdasarkan suhu dari
sistem ekstraksi yang digunakan, proses terjadinya sampel oleh cairan penyari dan
berdasarkan ragam metode yang bertujuan untuk menarik komponen tertentu saja. Pembagian
berdasarkan suhu tertentu disesuaikan dengan karakter komponen kimia yang akan disari.
Apakah bersifat termolabil tidak tahan terhadap pemanasan atau termostabil tahan terhadap
pemenasan (Najib, 2018).
Sifat komponen kimia yang tahan pemanasan dapat dipilih salah satu metode yang
melibatkan proses pemenasan begitu pula sebaliknya komponen kimia yang tidak tahan
pemanasan dapat dipilih metode yang tidak melibatkan proses pemanasan Contoh metode
yang tidak melibatkan pemanasan adalah metode maserasi (Najib, 2018).
Maserasi merupakan salah satu jenis ekstraksi padat cair yang paling sederhana. Proses
ekstraksi dilakukan dengan cara merendam sampel pada suhu kamar menggunakan pelarut
yang sesuai sehingga dapat melarutkan analit dalam sampel. Sampel biasanya direndam
selama 3-5 hari sambil diaduk sesekali untuk mempercepat pelarutan analit. Ekstraksi
dilakukan berulang kali sehingga analit terekstraksi secara sempurna. Indikasi bahwa semua
analit telah terekstraksi sempurna adalah perut yang digunakan tidak berwarna (Leba,
2017).Kelebihan maserasi adalah alat dan cara yang digunakan sangat sederhana, dapat
digunakan untuk analit yang tahan pemanasan maupun yang tidak. Kelemahanya adalah
menggunakan banyak pelarut (Leba, 2017).

E. Pelarut
Sebelum melakukan ekstraksi hal yang harus dilakukan sebelumnya adalah memilih pelarut.
Pemilihan pelarut tentunya berdasarkan hasil pemeriksaan pendahuluan terhadap sampel
yang telah diidentifikasi sebelumnya. Jenis-jenis pelarut yang digunakan adalah pelarut
organik. Pelarut yang sering digunakan adalah air, etanol dan etanol-air (Najib, 2018).
Penggunaan etanol sebagai pelarut untuk mendapatkan komponen zat aktif lebih banyak.
Peran pelarut etanol adalah melarutkan hampir semua komponen baik yang bersifat polar,
semi polar, maupun non polar (Mustariani and Ajeng, 2018).
Etanol dipertimbangkan sebagai pelarut karena lebih selektif, tidak mudah ditumbuhi
mikroba, tidak beracun, netral, absorbsinya baik, bercampur dengan air dengan segala
perbandinganya, dan membutuhkan suhu yang relatif rendah untuk menguapkanya pada
sampel. Etanol dapat melarutkan alkaloid, minyak menguap, glikosida, kurkumin, antrakinon,
flavonoid, steroid, damar dan klorofil. Lemak, malam, tanin, dan saponin, hanya sedikit larut,
dalam alkohol, sehingga zat yang tidak diinginkan untuk tersari terlarut hanya dalam jumlah
sedikit (Najib, 2018).
E.Lotion
Skin lotion termasuk golongan kosmetik pelembab kulit yang terdiri dari berbagai minyak
nabati, hewani, maupun sintesis yang dapat berfungsi sebagai lemak buatan pada permukaan
kulit. Lemak ini melenturkan lapisan kulit yang kering dan kasar, serta mengurangi
penguapan air dari sel kulit, namun tidak dapat mengganti seluruh fungsi dan kegunaan dari
kulit (Hambali, et al., 2017). Berbeda dengan salep, lotion adalah campuran dua fase yang
tidak bercampur, distabilkan dengan sistem emulsi, dan berbentuk cairan yang dapat dituang
jika ditempatkan pada ruang. Lotion umumnya berbentuk emulsi minyak dalam air (O/W),
dimana minyak merupakan fase terdispersi (internal) dan air merupakan fase pendispersi
(eksternal), Hand and body lotion umumnya terdiri dari 10-15% fase minyak, 5-10%
humektan, dan 75-85% fase air (Hambali, et al., 2017). Sedangkan salep adalah sediaan
setengah padat ditujukan untuk pemakaian setengah padat pada kulit atau selaput lendir.
Salep diformulasikan untuk memberikan sediaan yang tidak larut, larut atau diemulsikan
dengan sekresi kulit (Wardiah, 2017).
Lotion sendiri merupakan suatu suspensi, emulsi, atau larutan dengan atau tanpa obat untuk
penggunaan topikal yang memiliki kekentalan paling rendah sehingga pemakaian cukup
mudah, gampang merata, ringan, dan tidak meninggalkan bekas. Juga cocok untuk konsumen
di daerah tropis terutama yang beraktivitas tinggi di luar ruangan (Ristiawati & Kristanty,
2019).
Skin lotion distabilkan dengan sistem emulsi dan jika ditempatkan pada suhu ruang berbentuk
cairan yang mudah dituang. Proses produksi skin lotion adalah dengan cara mencampurkan
bahan-bahan yang larut dalam fase lemak, dengan cara pemanasan dan pengadukan. Emulsi
yang baik memiliki sifat tidak berubah menjadi lapisa-lapisan, tidak berubah warna, dan tidak
berubah konsistensinya selama penyimpanan (Hambali, et al., 2017). Kestabilan emulsi
dipengaruhi oleh faktor mekanis, suhu, dan proses pembentukan emulsi serta perubahan nilai
pH dan viskositasnya. Nilai pH produk lotion yang baik menurut SNI 16-4399- 1996, yaitu
sebesar 4.5-8.0 karena nilai pH ini memberikan interaksi yang baik dengan kulit. Selain itu,
nilai viskositas yang baik untuk jenis lotion adalah 7556 CP (Hambali,et al., 2017).
Kestabilan emulsi yang baik ditandai dengan tidak terjadinya perubahan nilai yang besar pada
pH dan viskositas (Sayuti et al., 2016).
F. Bahan-bahan Pembuatan Lotion
1. Asam Stearat
Asam stearat (C16 H12 O2) merupakan asam lemak yang terdiri dari rantai berbentuk serbuk
berwarna putih. Asam stearat mudah larut dalam kloroform, eter, etanol, dan tidak larut dalam
air. Semakin besar pemakaian asam stearat, maka warna putih akan semakin berkilau
(Hambali, et al., 2017).
Emulsi yang baik memiliki sifat tidak berubah menjadi lapisan-lapisan, tidak berubah warna,
dan tidak berubah konsistensinya selama penyimpanan. Emulsi yang tidak stabil terjadi
karena masing masing fase cenderung bergabung dengan fese sesamanya membentuk suatu
agregat yang akhirnya dapat mengakibatkan emulsi pecah (Hambali, et al., 2017).
2. Cair Parafin
Paraffin cair atau minyak mineral adalah campuran hidrokarbon cair yang berasal dari
minyak tanah. Minyak ini merupakan cairan bening, tidak berwarna, tidak larut dalam
alkohol atau air dingin, tidak berbau, dan tidak berasa namun jika dipanaskan sedikit berabau
minyak tanah. Paraffin berfungsi sebagai pelarut dan penambah viskositas dalam fase
minyak. Pada kosmetik, paraffin cair digunakan pada eye shadow, lipstick, lip gloss, makeup
wajah, produk pembersih, krim, dan lotion (Hambali, et al., 2017).
Aplikasi selaput tipis dari bahan pelembut seperti minyak atau lilin, membuat kulit terasa
lembut dan halus, Bahan-bahan ini, umumnya dikenal dengan emollients, yang seringkali
mengurangi TEWL (transepidermal water loss) yang cenderung meningkatkan kandungan air
pada stratum corneum. Perubahan yang cepat pada gejala kulit yang kering dapat
dihubungkan dengan kemampuannya untuk mengisi celah pada lapisan tanduk dan glue down
cornecytes yang menonjol (Hambali, et al., 2017).
3. Setil Alkohol Setil alkohol (C16 H33 OH) merupakan butiran yang berwarna
putih, berbau khas lemak, rasa tawar, dan melebut pada suhu 45-50° C. Setil
alkohol larut dalam etanol dan eter, namun tidak larut dalam air. Bahan ini
berfungsi sebagai pengemulsi, penstabil, dan pengental. Setil alkohol adalah
alkohol dengan bobot molekul tinggi yang berasal dari minyak dan lemak
alami atau diproduksi dari petrokimia. Bahan ini termasuk dalam fase minyak
pada sediaan kosmetik. Pada formulasi produk, setil alkohol yang digunakan
kurang dari 2%. Setil alkohol merupakan lemak putih agak keras yang
mengandung gugus kelompok hidroksil dan digunakan sebagai penstabil
emulsi pada produk emuli seperti cream lotion (Hambali, et al., 2017).
Pemanfaatannya dalam industri kosmetik digunakan sebagai surfaktan
shampo, atau sebagai emollient (pelembut), emulsifier atau agen pengental
dalam produk cream dan lotion kulit (Kartika et al., 2010). Etil alkohol juga
digunakan sebagai agen peningkat viskositas, dan penyokong busa pada
produk kosmetik dan produk farmasi. Setil alkohol diketahui dapat
menyebabkan reaksi hipersensitivitas (alergi) pada pasien dengan kulit statis
atau kaki ulces yaitu 5,4% dari 116 kasus. Reaksi hipersensitivitas pada setil
alkohol disinyalir berhubungan dengan ketidakmurnian produk (Hambali, et
al., 2017).
4. Trietonolamin
Trietonolamin (CH2OHCH2)N) atau TEA merupakan cairan tidak berwarna
atau berwarna kuning pucat, jernih, tidak berbau atau hampir tidak sukar larut
dalam eter. TEA berfungsi sebagai pengatur pH dan pengemulsi pada fase air
dalam sediaan skin lotion. TEA merupakan bahan kimia organik yang terdiri
dari amina dan alkohol dan berfungsi sebagai penyeimbang pH pada formulasi
skin lotion. TEA tergolong dalam basa lemah (Hambali, et al., 2017).
5. Propilenglikol
Propilenglikol telah banyak digunakan sebagai pelarut, ekstraktan, dan
pengawet dalam berbagai parenteral dan nonparenteral formulasi farmasi.
Propilen glikol juga digunakan dalam kosmetik dan makanan industri sebagai
pembawa pengemulsi dan sebagai kendaraan untuk rasa di preferensi untuk
etanol, karena kurangnya volatilitas memberikan lebih banyak rasa yang
seragam (Shah et al., 2020).
Pada suhu dingin, propilen glikol stabil dalam keadaan tertutup rapat wadah,
tetapi pada suhu tinggi, di tempat terbuka cenderung teroksidasi, sehingga
menimbulkan produk seperti propionaldehida, asam laktat, piruvat asam, dan
asam asetat. Propilen glikol secara kimiawi stabil bila dicampur dengan etanol
(95%), gliserin, atau air, larutan berair dapat disterilkan dengan autoklaf (Shah
et al., 2020). Propilen glikol merupakan suatu senyawa organik yang
aplikasinya banyak dalam industri makanan, kosmetik dan farmasi, baik
sebagai pelarut, pelembut pada kosmetik maupun sebagai absorber untuk
menghilangkan excess air. Senyawa ini juga dapat dijadikan sebagai wetting
agent yang sempurna untuk natural gum dan dapat menjadi katalis dalam
proses penyederhanaan persenyawaan sitrus dan emulsi perasa lainnya (Idzati
et al., 2020).

6. Metil Paraben

Metil paraben atau atau nipagin digunakan sebagai pengawet dalam kosmetik,
produk makanan, dan formula farmasi. Metil paraben dapat digunakan sendiri
ataupun dengan kombinasi paraben lainnya, atau zat antimikroba lain. Bentuk
metil paraben adalah kristal tak berwarna, serbuk kristal putih, dan tidak
berbau. Metil paraben merupakan metil ester dari asam p-hidroksibenzoar.
Metil paraben mempunyai aktivitas antimikroba pada pH 4-8. Efek pengawet
akan menurun sebanding dengan meningkatnya pH (Hambali, et al., 2017).

Metil paraben mempunyai keaktifan paling lemah dari seluruh paraben.


Aktivitasnya akan meningkat dengan bertambahnya panjang rantai dari alkil.
Aktivitas dapat diperbaiki dengan mengkombinasikan dengan paraben lain.
Metil paraben larut dalam etanol, eter, propilen glikol, dan metanol, tidak larut
dalam paraffin cair dan air, larut dalam air hangat. Aktivitas antimikroba dari
metil paraben menurun dengan keberadaan surfaktan nonionik seperti
polisorbat 80 (Hambali, et al., 2017).

7. Gliserin

Gliserin atau gliserol mengandung 95-100% CHO: Menurut Depkes RI


(1993), gliserin merupakan cairan kental, tidak berwarna, berasa manis, dan
higroskopis. Terbuat dari bahan-bahan lemak alami nabati dan hewani.
Gliserin dapat digunakan sebagai pelarut maupun zat pelarut. Gliserin
diklasifikasikan sebagai humektan, pemplastis, pelarut, dan agen tonik pada
produk farmasi. Pada kosmetik, gliserin digunakan sebagai pendenaturasi dan
humektan pada berbagai produk, seperti kondisioner dan pewarna rambut,
produk makeup, pencuci mulut, penyegar napas, lotion setelah bercukur, krim
cukur, krim lotion, dan lulur (Hambali, et al., 2017)
8. Aquades
Aquades atau air murni adalah komponen yang paling besar persentasenya
dalam pebuatan lotion. Air murni hanya mengandung molekul air saja, dan
dideskripsikan sebagai cairan jernih, tidak berwarna, tidak berasa, memiliki
pH 5-7, dan berfungsi sebagai pelarut. Manfaat air dalam produk kosmetik
adalah membantu penyebaran produk dan pencampuran bahan-bahan lainnya
dalam larutan kosmetik (Hambali, et al., 2017).

G. Bakteri Staphylococcus aureus

Staphylococcus berasal dari kata staphylo yang berarti kelompok buah anggur
dan coccus yang berarti bulat dan tergolong bakteri gram positif. Di bawah
mikroskop, bakteri ini berbentuk bulat serta bergerombol seperti sekelompok
buah anggur. Bakteri Staphylococcus merupakan salah satu bakteri yang
sering menimbulkan infeksi pada manusia. Staphylococcus termasuk dalam
famili micrococcaceae (Husna, 2018). Genus Staphylococcus mencakup 31
spesies yang kebanyakan tidak berbahaya, menetap dikulit dan selaput lendir
(membran mukosa) manusia serta organisme lainnya. Bakteri ini juga
mencakup mikroba tanah dan dapat ditemui di seluruh dunia (Kuswiyanto,
2016).

Infeksi oleh bakteri jenis ini paling sering menimbulkan penyakit pada
manusia. Setiap jaringan atau organ tubuh dapat terinfeksi oleh bakteri ini dan
menyebabkan penyakit dengan tanda-tanda yang khas, yaitu peradangan,
nekrosis, dan pembentukan abses, Infeksi dapat berupa furenkel ringan pada
kulit hingga pienia yang fatal. Kecuali impetigo, umumnya bekteri ini bersifat
sporadik, bukan endemik (Kuswiyanto, 2016). Staphylococcus aureus adalah
patogen utama pada manusia. Hampir semua orang pernah mengalami infeksi
bakteri ini selama hidupnya, dari keracunan makanan atau infeksi kulit ringan

Sampai infeksi berat yang mengancam jiwa (Jawetz et al., 2008).


Staphylococcus aureus merupakan salah satu spesies Staphylococcus yang
dapat menghasilkan pigmen berwarna kuning ernas sehingga dinamakan
aureus. Bakteri ini dapat tumbuh dengan atau tanpa bantuan oksigen.
Organisme Staphylococcus aureus adalah kokus gram positif yang piogenik,
non motil dan berkelompok. Staphylococcus aureus menimbulkan peradangan
piogenik yang khas karena sifat destruktif lokalnya, baik lesi terletak di kulit,
tulang, atau katup. Jantung (Husna, 2018).

Bakteri jenis ini dapat diisolasi dari material klinik, carriers, makanan, dan
lingkungan. Bakteri ini tunbuh dengan baik di dalam kaldu biasa pada suhu
37°C. Kisaran suhu untuk pertumbuhanya adalah 15°C dan 40°C, sedangkan
suhu pertumbuhan optimal adalah 35°C. Berdasarkan pigmen yang dibuatnya
stafilokokus dibagi menjadi beberapa spesies yang berwarna kuning keemasan
dinamakan Staphylococcus aureus. Staphylococcus aureus sering ditemukan
dibagian hidung, kulit, ketiak atau perineum (Kuswiyanto, 2016).

H. Sifat dan Morfologi

Bakteri Staphylococcus aureus merupakan flora normal pada kulit, saluran


napas, dan saluran cerna manusia. Staphylococcus aureus yang patogen
bersifat invasif, menyebabkan hemolisis, membentuk koagulase, mencairkan
gelatin, membentuk pigmen kuning emas, dan mampu memfermentasi
manitol. Staphylococcus aureus merupakan bakteri garam positif berbentuk
bulat berdiameter 0,7-1,2 µm, tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak
teratur menyerupai buah anggur, fakultatif anaerob, tidak membentuk spora,
dan tidak bergerak, Staphylococcus aureus menghasilkan bahan metabolit
yang dapat diklasifikasikan dalam tiga bentuk, yaitu metabolit non-toksin,
eksotoksin, dan enterotoksin (Kuswiyanto, 2016).
Dinding sel bakteri Staphylococcus aureus terdiri dari polisakarida,
diantaranya mengandung peptidoglikan, asam teikoat dan asam teikuronat.
Dinding sel yang tersusun atas polisakarida tersebut lebih mudah mengalami
denaturasi dibandingkan dinding yang tersusun oleh fosfolipid (Hamidah et
al... 2019).
Bakteri Staphylococcus aureus sangat tahan terhadap pengeringan, mati pada
suhu 60°C setelah 60 menit. Pada pemeriksaan padat, koloninya berwarna
emas. Di alam bakteri ini terdapat pada tanah, air, dan debu di udara.
Pembawa Staphylococcus aureus yang asimtomatik sering ditemukan, dan
organisme ini ditemukan pada 40% orang sehat, dibagian hidung, dan ketiak
(Arfani, 2021).
1. Klasifikasi
Klasifikasi bakteri Staphylococcus aureus (Kuswiyanto, 2016)
Kingdom:Bacteria
Phylum:Fermicutes
Class:Bacilli
Order:Bacillales
Family:Staphylococcaceae
Genus :Staphylococcus
Bacteria :Staphylococcus aureus
J.Patogenesis
Staphylococcus aureus ditemukan dalam hidung pada 20-50% manusia. Staphylococcus juga
sering ditemukan dipakaian, sprai, dan benda-benda lainnya dilingkungan manusia.
Kemampuan patogenik Staphylococcus aureus merupakan gabungn efek faktor ekstraseluler
dan toksin serta sifat invasif strain tersebut. Salah satu akhir spektrum penyakit oleh
Staphylococcus adalah keracunan makanan, yang semata-mata akibat konsumsi makanan
yang mengandung enterotoksin sedangkan bentuk akhir lainya adalah bakteremia
stafilokokus dan abses yang tersebar di semua organ. Staphylococcus aureus yang patogen
dan invasif menghasilkan koagulase dan cenderung menghasilkan pigmen kuning dan bersifat
hemolitik (Jawetz et al., 2008).
Koagulase yang dihasilkan mengkatalis perubahan fibrinogen menjadi fibrin dan membantu
organisme membentuk barisan perlindungan. Bakteri ini memproduksi enzim litik
ekstraseluler (misalnya lipase) yang memecah jaringan inang dan membantu invasi. Beberapa
sterin juga memproduksi sindrom syoktoksik. Enterotoksin juga dapat diproduksi yang
menyebabkan diare (Ratnasari, 2018).
Patogenesis bakteri ini sering dihubungkan dengan infeksi luka bernanah, baik pada manusia
maupun pada hewan, yang merupakan penyebab utama kasus piemia. Infeksi serius dapat
berupa pneumonia, mastitis, meningitis, dan infeksi saluran kemih. Infeksi dibagian dalam
tubuh dapat berupa osteomielitis dan endokarditis. Pada manusia, Staphylococcus aureus
menyebabkan lesi permukaan pada kulit yang tampak seperti lepuhan dan furunkulosis
(Kuswiyanto, 2016).
K. Uji Kepekaan Antibakteri
Uji kepekaan terhadap antibakteri adalah penentuan terhadap bakteri penyebab penyakit yang
kemungkinan menunjukkan resistensi terhadap suatu antibakteri atau kemampuan suatu
antimikroba untuk menghambat pertumbuhan bakteri yang tumbuh secara in vitro (Solcha,
2015).
1. Metode Difusi
Metode ini adalah metode yang sering digunakan, terutama difusi cakram. Cakram kertas
filter yang mengandung sejumlah tertentu obat ditempatkan diatas permukaan medium padat
yang telah diinokulasi pada permukaan dengan organisme uji. Setelah inkubasi, diameter
zona jernih inhibisi disekitar cakram diukur sebagai ukuran kekuatan inhibisi obet melawan
organisme uji tertentu. Metode ini banyak dipengaruhi faktor fisik dan kimia selain interaksi
sederhana antara obat dan organisme sifat medium dan kemampuan difusi, ukuran molekuler.
Meskipun demikian, standarisasi keadaan memungkinkan penentuan kerentanan organisme
(Jawetz et al., 2008). Penilaian terhadap zona hambat dilakukan dengan membandingkan
besarnya diameter zona hambatan. Hasil penilaiannya berupa sensitif (S), resisten (R), dan
intermediet (I) (Kuswiyanto, 2015).
2. Metode Dilusi
Metode dilusi terdiri dari dua teknik pengerjaanya, yaitu teknik dilusi perbenihan cair dan
teknik dilusi agar yang bertujuan untuk penentuan aktivitas antimikroba secara kuantitatif,
antimikroba dilarutkan kedalam
Media agar atau kaldu, yang kemudian ditanami bakteri yang akan di uji. Setelah diinkubasi
semalam, konsentrasi terendah yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri disebut dengan
MIC minimal inhibitory consentration). Nilai MIC dapat pula dibandingkan dengan
konsentrasi obat yang didapat di serum dan cairan tubuh lainya untuk mendapatkan perkiraan
respon klinik (Soleha, 2015). Kelemahan dari metode ini adalah membutuhkan banyak
waktu, dan kegunaanya terbatas pada keadaan- keadaan tertentu. Uji dilusi kaldu tidak praktis
dan apabila dibuat dalarn tabung pengujian. Keuntungan metode uji dilusi kaldu mikrodilusi
adalah bahwa uji tersebut memungkinkan adanya hasil kuantitatif, yang menunjukkan jumlah
obat tertentu yang diperlukan untuk menghambat mikroorganisme yang diuji (Jawetz et al.,
2008).

L. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Zona hambat Bakteri


1. Kekeruhan Suspensi Bakteri
Suspensi yang kurang keruh menunjukkan diameter zona hambat lebih besar. Makin kerus
suspensi, diameter zona hambat lebih besar. Makin kerus suspensi, diameter zona hambat
makin sempit (Kuswiyanto, 2015). Dalam mengukur kekeruhan suspensi sebaiknya
digunakan suatu alat yaitu nephelometer agar kekeruhan suspensi bakteri lebih akurat saat
dibandingkan dengan kekeruhan Me Farland 0,5 (Zeniusa et al., 2019).

2.Temperatur Inkubasi
Untuk memperoleh pertumbuhan yang optimal, inkubasi dilakukan pada suhu optimal
yaitu 35°C. Suhu kurang dari itu menyebabkan diameter zona hambatan lebih besar.
Ini bisa terjadi pada media yang diletakkan bertumpukan lebih dari dua cawan saat
inkubasi. Cawan yang berada ditengah suhunya kurang dari 35°C. Jika inkubasi pada
suhu lebih dari 35°C, terkadang ada bakteri yang kurang subur pertumbuhannya dan
pula obat yang difusinya kurag baik (Zeniusa et al., 2019). Pada penelitian ini suhu
yang digunakan selama inkubasi adalah 37°C.
3. Waktu Inkubasi
Jika waktu inkubasi kurang dari yang ditentukan, maka pertumbuhan bakteri belum
sempurna sehingga sukar dibaca atau diameter zona hambat lebih besar. Sebaliknya,
jika inkubasi lebih dari waktu yang ditentukan, maka pertumbuhan bakteri lebih
sempurna sehingga diameter zona hambatan semakin sempit. Waktu inkubasi yang
digunakan pada penelitan ini adalah 24 jam (Kuswiyanto, 2015).
4.Tebalnya Agar-Agar
Ketebalan agar-agar sekitar 4 mm. Kurang dari itu difusi ekstrak lebih cepat, lebih
dari itu difusi ekstrak lambat yang nantinya akan mempengaruhi besar kecilnya zona
hambat. Zona hambat yang sangat besar mungkin terbentuk pada media yang sangat
tipis, dan sebaliknya zona hambat yang kecil terbentuk dari media yang sangat tebal.
Perubahan kecil dalam ketebalan lapisan agar efeknya dapat diabaikan (Kuswiyanto,
2015).
5.Waktu pengeringan atau peresapan suspensi bakteri ke dalam agar MH.Waktu
pengeringan tidak boleh lebih dari batas waktu yang ditentukan karena dapat
mempersempit diameter zona hambat. Karena bakteri bakteri akan jauh lebih banyak
sehingga memperkecil zona hambat yang dihasilkan (Kuswiyanto, 2016).
C. Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, di
mana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan.
Dalam hipotesis ini menggunakan hipotesis komparatif model alternatif (Ha)
(Sugiyono, 2018).

Ha: Terdapat perbedaan daya hambat sediaan lotion ekstrak etanol daun pecut kuda
formula 1. Dan II terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcий aureus.

Anda mungkin juga menyukai