Anda di halaman 1dari 38

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di Indonesia, penyebab penyakit kulit biasanya diakibatkan oleh

infeksi bakteri, jamur, virus, dan parasit yang dapat dipengaruhi oleh

beberapa hal, seperti faktor iklim, kebiasaan, dan lingkungan [CITATION

Nap16 \l 1033 ]. Dermatomikosis superfisialis adalah jenis infeksi yang

sering terjadi dengan prosentase 20-25% populasi di dunia. Dermatofita

merupakan penyebab utama dermatomikosis superfisialis. Dermatofita

merupakan kelompok jamur yang menginvasi pada stratum korneum kulit

[ CITATION Nap161 \l 1033 ].

Pityriasis versicolor (PV) merupakan infeksi jamur pada kulit

bagian superfisial yang umumnya dapat mempengaruhi hingga mencapai

50% dari populasi yang bertempat tinggal di daerah tropis [ CITATION

Yah17 \l 1033 ]. Malassezia furfur (Pityrosporum ovale) merupakan jamur

lipofilik seperti ragi yang menyebabkan Pityriasis versicolor (tinea

versikolor). Lesi berupa makula yang berbatas tegas dengan warna yang

bervariasi mulai dari kecoklatan hingga putih, terkadang ditemui dan

ditutupi oleh fine scales [ CITATION Cro10 \l 1033 ]. Pityriasis

versicolor dapat mempengaruhi pria dan wanita dengan sama rata dan

tidak ada dominasi etnis tertentu yang telah tercatat [ CITATION Kar18 \l

1033 ].

Sebagian besar penelitian tentang terapi berfokus pada tiga obat

azole: ketoconazole, clotrimazole dan bifonazole. pengobatan dengan


2

ketoconazole dapat mengobati sekitar 65% [CITATION Ins17 \l 1033 ].

Namun, terdapat efek samping dari pemberian obat kimia. Studi klinis di

Kanada, menunjukkan beberapa efek samping dari ketokonazole yaitu

mual dan muntah mencapai 3%, pruritus 1.7% dan nyeri abdomen

mencapai 1.3%. Selain itu, angka kejadian hepatotoksik yang diakibatkan

oleh penggunaan ketokonazol oral terus meningkat mencapai dari 0.007%

menjadi 0.05% hingga 0.2% [ CITATION Gup15 \l 1033 ].

Maka dari itu, biji ketumbar (Coriandrum sativum L.) yang

umumnya digunakan untuk bahan penyedap makanan, dilaporkan sebagai

antimikroba untuk melawan terhadap berbagai spesies, baik bakteri gram

positif dan negatif, ragi dan jamur [ CITATION Hil15 \l 1033 ]. Biji

ketumbar juga mengandung senyawa yang bersifat anti jamur seperti

essential oil sebagai komponen utamanya [ CITATION Önd18 \l 1033 ].

Kandungan linalool pada essential oil biji ketumbar sebesar 58,22%

[CITATION Sou14 \l 1033 ]. Komponen linalool yang berjumlah 60-70%

lebih banyak dibandingkan bagian lain dari tumbuhan ketumbar juga

tanaman lainnya (Lawrence dan Reynolds, 1988; Guenther, 1990).

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti ingin melakukan

penelitian tentang pengaruh ekstrak biji ketumbar (Coriandrum sativum)

terhadap pertumbuhan P. ovale secara in vitro.

1.2. Rumusan Masalah


Bagaimana pengaruh ekstrak biji ketumbar (Coriandrum sativum)

terhadap pertumbuhan P. ovale secara in vitro ?


3

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui perbedaan pengaruh ekstrak biji ketumbar

(Coriandrum sativum) pada pertumbuhan P. ovale secara in vitro

1.3.2. Tujuan Khusus


1. Mengetahui Kadar Hambat Minimal (KHM) konsentrasi ekstrak biji

ketumbar (Coriandrum sativum) pada pertumbuhan P. ovale

2. Mengetahui Kadar Bunuh Minimal (KBM) ekstrak biji ketumbar

(Coriandrum sativum) yang mulai memberikan efek KBM pada

pertumbuhan P. ovale.

1.4. Manfaat Penelitian


1.4.1. Manfaat Akademik
1. Memberikan informasi tentang pengaruh ekstrak biji ketumbar

(Coriandrum sativum) terhadap pertumbuhan P. ovale secara in vitro.

2. Dapat digunakan sebagai penelitian dasar untuk penelitian selanjutnya.

1.4.2. Manfaat Klinis

1. Membuktikan KHM ekstrak biji ketumbar (Coriandrum sativum) terhadap

pertumbuhan P. ovale secara in vitro.

2. Membuktikan KBM ekstrak biji ketumbar (Coriandrum sativum) terhadap

pertumbuhan P. ovale secara in vitro.

1.4.3. Manfaat Masyarakat

1. Menjadi sumber informasi bagi masyarakat mengenai manfaat ekstrak biji

ketumbar (Coriandrum sativum) terhadap pertumbuhan P. ovale.

2. Dapat digunakan sebagai terapi non-farmakologi


4
5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1 Ketumbar (Coriandrum sativum)


2.1.1 Taksonomi
Coriandrum sativum memiliki taksonomi sebagai berikut

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta

Superfilum : Spermatophyta

Filum : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Subkelas : Rosidae

Ordo : Apiales

Famili : Apiaceae

Genus : Coriandrum L.

Species : Coriandrum sativum L.

(Mahendra & Bisht, 2011)


6

(Rudramurthy, et al, 2011)

Gambar 2.1 Ketumbar

2.1.1 Nama Lain


Arab (kuzbara, kuzbura); Chinese (yuan sui, hu sui); German
(koriander); Japanese (koendoro); English (coriander fruits);
Hindic(Dhaniya); Indonesia (ketumbar) (L, Pathak Nimish, et al, 2011).

2.1.1 Morfologi
Tanaman ketumbar memiliki daun yang berukuran kecil, memiliki
banyak cabang, dan sub unit. Daun mudanya berbentuk oval dan daun yang
lebih tua lebih memanjang. Bunga yang berwarna putih, memiliki buah
yang bergerombol dan berbentuk bulat. Buah yang berbentuk mericarps
umumnya disatukan oleh margin yang membentuk sebuah cremocarp
dengan ukuran diameter sekitar 2-4 mm, berwarna kuning, coklat atau
kuning-kecoklatan, dengan bau aromatik. Ketumbar memiliki rasa yang
berkarakteristik dan cenderung pedas (Shivanand, Pandey, 2010).

De Guzman and Siemonsma (1999) membedakannya ke dalam tiga


kelompok berdasarkan bentuknya, yaitu C. sativum var. Sativum dengan
ukuran buah besar, C. sativum var. Micocarpum dengan ukuran buah lebih
kecil, dan C. sativum var. Indicum yang mempunyai bentuk buah lonjong.
Dapat dibedakan juga ke dalam Sembilan kelompok berdasarkan
ekogeografi, yaitu Eropa, Afrika Utara, Kaukasia, Asia Tengah, Siria,
Ethiopia, India, Bhutanic, dan Omanic.

2.2.1 Habitat dan Distribusi Geofrafi


Ketumbar didistribusikan di Italia, tetapi lebih banyak dibudidayakan
di Belanda, Eropa tengah dan timur, Mediterania, Cina, India, dan
Bangladesh. Ukraina merupakan sumber utama penghasil minyak ini dan
mengontrol permintaan dunia, serta penawaran harga dasar dalam satu
pabrik besar yang terus menerus memproses penyulingan (Sahib, Najla
Gooda, et al, 2012).Tanaman menyebar ke Asia Tenggara melalui India
(tipe buah bulat telur), Cina (tipe ukuran buah kecil, bentuk bulat),
Mediteranean dan Eropa (tipe bentuk buah bulat dengan ukuran lebih
besar) (Rajeshwari & Andallu, 2011). Ketumbar di Indonesia umumnya
dibudidayakan di dataran tinggi seperti di daerah Boyolali, Salatiga,
Temanggung, Sumatera Barat, dan lainnya. (Hadipoentyanti & Wahyuni,
2004).

2.3.1 Kandungan Kimia


Manfaat ekstrak
7

Beberapa penelitian menyatakan, bahwa ketumbar memiliki efek


farmakologi, seperti diuretik, antioksidan, antikonvulsan, sedatif,
antibakteri, antivirus, antijamur, antidiabetik, antimutagen, dan
antihelmintes (Maurya, Indresh Kumar, et al 2011).

Minyak atsiri pada biji ketumbar telah digunakan dalam makanan,


wewangian, minuman keras industri farmasi sebagai penamba rasa dan
karminatif. Dalam pengobatan dapat juga digunakan sebagai antiseptik,
aromatik kuat, stimulan, karminatif, anti-spasmodik, ekspektoran, anti-
spasmodik dan diuretik (Simonati & Mihuta, 2009).

2.4.1 Teknik ekstrasi


Teknik paling sering digunakan untuk isolasi zat aktif antioksidan
pada tanaman adalah ekstraksi pelarut. Ekstraksi pelarut merupakan metode
pemisahan komponen dari suatu campuran menggunakan suatu pelarut
yang bertujuan menarik zat aktif dalam sampel. Pelarut yang digunakan
berdasarkan pada kemampuan melarutkan zat aktif dalam jumlah yang
maksimum, sehingga terbentuklah ekstrak yaitu hasil ekstraksi yang
mengandung berbagai komponen kimia (Susanty & Bachmid, 2016).
8

2.1 Pityrosporum ovale

2.1 Taksonomi

Pityrosporum ovale memiliki taksonomi sebagai berikut

Kingdom : Fungi

Filum : Basidiomycota

Subfilum : Ustilaginomycotina

Kelas : Exobasidiomycetes

Ordo : Malasseziales

Famili : Malasseziaceae

Genus : Malassezia

Species : Pityrosporum ovale

(Gaitanis, Georgios, et al, 2012)

(Stuart, 2019)

Gambar 2.3

P. ovale menggunakan pewarnaan


9

methylene blue dengan pembesaran 1000x

2.2 Sinonim

Nama lain dari Pityrosporum ovale adalah Malassezia furfur (Sharma,

Richa, et al, 2012).

2.3 Morfologi dan Indentitas

Pityrosporum ovale adalah jamur lipofilik anggota genus

Mallasezia. Morfologi Pytirosporum ovale berkarakteristik oval seperti

botol, berukuran sekitar 1-2 x 2-4 mm, memiliki dinding sel yang tebal ,

dan berkembang biak dengan cara blastospora atau tunas (Cafarchia,

Claudia, 2011). Blastospora dibentuk dari proses pertunasan sederhana

dengan tunas tidak melepaskan diri dari induknya tetapi membentuk

kumpulan tunas yang menempel pada sel yang memanjang atau

pseudomiselium, sehingga tunas-tunas sel tersebut tetap berbentuk oval

sehingga membentuk cabang baru (Rahayu, 2011).

` Pityrosporum ovale merupakan normal flora yang umumnya pada

kulit manusia. Kondisi normal, kecepatan pertumbuhan fungi P. ovale

kurang dari 47%. Tetapi, jika adanya faktor pemicu yang dapat

mengganggu keseimbangan P. ovale, maka akan terjadi peningkatan

kecepatan pertumbuhan jamur Pityrosporum ovale yang dapat meningkat

dengan prosentase mencapai 74% (Cafarchia, et al., 2011; Rahayu, 2011).

P. ovale banyak ditemukan pada daerah kulit yang memiliki banyak

kelenjar sebasea, hal tersebut dikarenakan sifat lipofiliknya membutuhkan

lipid untuk pertumbuhannya (Ningrum, Prasetyo & Kristanti, 2017).


10

P. ovale yang merupakan normal flora kulit dapat menjadi patogen

apabila dipicu oleh beberapa faktor diantaranya seperti suhu dan

kelembapan yang tinggi, kulit yang berminyak, dan terapi yang menekan

sistim imun atau immunosppressive seperti terapi kortikosteroid

(Ljubojevic, et al., 2002).

2.2 Pitiriasis versikolor

2.1 Definisi

Pitiriasis versikolor merupakan infeksi jamur superfisial kronik,

yang disebabkan oleh jamur Malassezia dengan karakteristik

hiperpigmentasi atau hipopigmentasi dengan lesi berbentuk bulat hingga

oval, berskuama halus dan sering ditemukan pada daerah kulit yang

memiliki banyak kelenjar sebasea seperti leher dan lengan bagian atas

(Harada et al., 2015).

2.2 Etiologi

Pitiriasis versikolor disebabkan oleh Malassezia furfur yang

dikenal dengan nama lain Pityrosporum ovale, ragi yang bersifat lipofilik

yang merupakan flora normal pada kulit (Hengge, Lupi & Tyring, 2017).

2.3 Epidemiologi

Pitiriasis versikolor merupakan penyakit universal,

terutama ditemukan didaerah tropis dengan prevalensi mencapai 50% pada

populasi di daerah tropis. Tidak dapat perbedaan berdasarkan jenis

kelamin, tetapi terdapat perbedaan kerentanan berdasarkan usia, lebih


11

banyak ditemukan pada remaja dan dewasa muda. Kelainan penyakit ini

terbanyak ditemukan berbagai penyakit kulit akibat jamur (Bramono &

Budimulja, 2016; Gilchrest, et al., 2012; Yahya, 2017).

2.4 Patogenesis

Malassezia sp. yang semula berbentuk ragi saprofit akan berubah

menjadi bentuk miselia yang dapat menyebabkan kelainan kulit pitiriasis

versikolor. Faktor predisposisi yang diduga dapat menyebabkan perubahan

tersebut berupa suhu, kelembapan lingkungan yang tinggi, faktor genetik,

hiperhidrosis, kondisi imunosupresif, dan malnutrisi. Malassezia sp.

memproduksi asam dikarboksilat yang mengganggu pembentukan pigmen

melanin, dan memproduksi metabolit pityriacitrin yang mempunyai

kemampuan absorbsi sinar UV (ultraviolet) sehingga dapat menyebabkan

lesi hipopigmentasi. Namun, mekanisme terjadinya lesi hiperpigmentasi

belum jelas, tetapi satu studi menunjukkan pada pemeriksaan mikroskop

elektron didapati ukuran melanosom yang lebih besar dari normal

(Ljubojevic, et al., 2002; Bramono & Budimulja, 2016).

2.5 Manifestasi Klinis

Lesi pitiriasis versikolor terutama terdapat pada daerah kulit yang

memiliki banyak kelenjar sebasea, seperti badan bagian atas, leher, dan

perut. Terkadang ditemukan pada wajah dan skalp, dapat juga ditemukan

pada genitalia, aksila, dan lipat paha (Bramono & Budimulja, 2016;

Ningrum, Prasetyo & Kristanti, 2017).

Lesi berupa makula berbatas tegas, dapat hipopigmentasi,


12

hiperpigmentasi, dan kadang eritematosa. Terdiri atas berbagai ukuran dan

berskuama halus. Warna pada lesi bervariasi hampir putih, kemerahan, dan

berwarna kecoklatan. Umumnya tidak disertai gejala subjektif, hanya

berupa keluhan kosmetik meskipun terkadang ada pruritus tingan

(Bramono & Budimulja, 2016; Gilchrest, et al., 2012).

2.6 Diagnosis

Dugaan diagnosis pitiriasis versikolor jika ditemukan gambaran

klinis adanya lesi di daerah predileksi berupa makula berbatas tegas

berwarna putih, kemerahan, hingga hitam, yang berskuama halus.

Pemeriksaan dengan Wood Lamp untuk melihat fluorosensi kuning

keemasan akan membantu diagnosis klinis. Fluoresensi lesi kulit pada

pemeriksaan Wood Lamp berwarna kuning keemasan dan pada

pemeriksaan KOH 20% tampak gambaran spora dan miselium yang sering

dilukiskan sebagai spaghetti and meatball appearance (Tan & Reginata,

2015; Bramono & Budimulja, 2016).

1. Evoked Scale Sign

Terjadi adanya perubahan struktural lapisan kulit akibat

peningkatan kerapuhan stratum korneum, mungkin disebabkan oleh

gangguan parsial fungsi sawar kulit dan peningkatan transepidermal

waterloss. Keratinase yang diproduksi fase hifa dari spesies ini mampu

menghidrolisis keratin dan memfasilitasi pertumbuhan jamur di stratum

korneum. Jika diregang, stratum korneum akan mengendur, skuama akan

terlihat. Tanda evoked scale sign hanya ditemukan pada infeksi pitiriasis
13

versikolor. Uji provokasi skuama dapat dilakukan dengan cara pemeriksa

menggunakan ibu jari dan telunjuk atau kedua jari tangan meregangkan

kulit searah 180 derajat lesi kering dapat digores dengan ujung kuku untuk

memunculkan skuama yang melapisi daerah lesi. Sel-sel abnormal akan

terangsang untuk membentuk lapisan deskuamasi yang patognomonik

untuk infeksi pitiriasis versikolor, dalam hal ini evoked scale sign dinilai

positif. (Tan & Reginata, 2015)

2. Sukma’s PV Sign

Pasien dengan pitiriasis versikolor datang dengan keluhan makula

berbatas tegas, hipopigmentasi, hiperpigmentasi, dan kadang eritematosa.

Terdiri atas berbagai ukuran dan berskuama halus. Umumnya tidak

disertai gejala subjektif, hanya berupa keluhan kosmetik meskipun

terkadang ada pruritus tingan. Sukma’s PV Sign yaitu apabila lesi

diregang, akan muncul sisik putih berbatas jelas. Skuama hanya sebatas

lesi dengan susunan rapi, teratur, sejajar dengan garis kulit (Tan &

Reginata, 2015; Bramono & Budimulja, 2016). Perbedaan Sukma’s PV

sign dengan penemuan evoked scale sign adalah hanya menggambarkan

skuama akibat regangan tanpa memperhatikan sisik yang tersusun rapi,

sejajar dengan kulit, dan berbatas pada lesi karena skuama halus juga

kadang dapat ditemukan pada pitiriasis alba dan kulit kering (Tan &

Reginata, 2015).

2.7 Diagnosis Banding

Beberapa kelainan yang memiliki klinis yang mirip dan


14

perlu dibedakan dari pitiriasis versikolor, antara lain pitiriasis alba,

eriytrasma vitiligo, dermatitis seboroik, pitiriasis rosea, morbus Hansen

tipe tuberkuloid dan tinea. Perbedaan karakteristik klinis perlu dicermati,

dan pemeriksaan penunjang yang sesuai dapat membantu untuk

menyingkirkan diagnosis (Bramono & Budimulja, 2016).

Pitiriasis alba memiliki lesi hipopigmentasi, asimtomatik dan

belum diketahui etiologinya. Pitiriasis alba lebih sering dijumpai pada

anak hingga dewasa muda sekitar usia 3 – 16 tahun. Lesi berupa makula

berbentuk bulat, oval, irreguler, awalnya berwarna merah muda tertutup

skuama halus. Lalu, akan menjadi lesi hipopigmentasi dalam beberapa

minggu dan skuama akan berangsur menghilang seiring perjalanan

penyakitnya. Pada pitiriasis alba, biasanya sukma’s PV sign dan evoked

scale sign negatif. Hal ini dapat dikonfirmasi ulang dengan pemeriksaan

Wood Lamp lesi tidak berwarna kuning keemasan seperti pada pitiriasis

versikolor dan pada pemeriksaan KOH tidak ditemukan hifa dan spora

(Tan & Reginata, 2015).

2.8 Tatalaksana

` Sebagai obat topikal dapat digunakan antara lain ketokonazol 2%

bentuk sampo, selenium sulfide bentuk sampo 1,8% atau bentuk losion

2,5% yang dioleskan setiap hari selama 15-30 menit kemudian dibilas.

Pengolesan dianjurkan di seluruh badan selain kepala dan genitalia.

Alternatif lain, dapat menggunakan solusio natrium hiposulfit 20%,

solusio propilen glikol 50%. Selain itu, dapat menggunakan losion


15

selenium sulfida 2,5 % yang diberikan pada daerah lesi selama 7-10 menit,

untuk penggunaan harian pada kasus yang lebih berat dapat digunakan 3-4

kali selama 1 minggu (Bramono & Budimulja, 2016; Gilchrest, et al.,

2012).

Untuk lesi terbatas berbagai krim derivat azol misalnya mikonazol,

klotrimazol, dan isokonazol dapat digunakan. Obat topikal sebaiknya

diteruskan 2 minggu setelah hasil pemeriksaan dengan Wood Lamp dan

pemeriksaan mikologis langsung kerokan kulit negatif. Obat sistemik juga

dipertimbangkan pada lesi luas, kambuhan, dan gagal dengan terpai

topikal. Antara lain dengan penggunaan ketokonazol 200 mg/hari selama

5-10 hari atau itrakonazol 200 mg hari selama 5-7 hari (Bramono &

Budimulja, 2016).

2.9 Prognosis

Prognosis baik jika pengobatan dilakukan secara tekan, konsisten,

dan faktor predisposisi dapat dihindari. Lesi hipopigmentasi dapat

bertahan sampai beberapa bulan setelah jamur negatif, hal ini perlu

dijelaskan kepada pasien (Bramono & Budimulja, 2016).

2.3 Uji Kepekaan Terhadap Antimikroba secara In Vitro

Uji kepekaan antimikroba merupakan penentuan terhadap mikroba

penyebab penyakit yang kemungkinan menunjukkan resistensi terhadap

suatu anti mikroba atau kemampuan suatu anti mikroba dalam

menghambat pertumbuhan mikroba secara in vitro dengan tujuan dapat

digunakan sebagai antimikroba yang memiliki potensi untuk pengobatan


16

(Soleha, 2015).

Pengujian dilakukan dibawah kondisi standar, yang berpedoman

pada Clinical and Laboratory Standards Instute (CLSI). Standar yang

harus dipenuhi merupakan konsentrasi inokulum mikroba, media

perbenihan dengan memperhatikan pH, suhu inkubasi, lamanya inkubasi,

dan konsentrasi antimikroba (Soleha, 2015).

Metode yang biasa dilakukan untuk mengukur kemampuan suatu

antimikrooba dalam menghambat pertumbuhan mikroba yaitu metode

dilusi dan dilusi agar (Soleha, 2015).

2.1 Metode Delusi

Metode dilusi terdiri atas dua teknik dalam pengerjaannya, yaitu

dilusi perbenihan cair dan dilusi agar bertujan untuk menentukan aktivitas

antimikroba secara kuantitatif, antimikroba dilarutkan kedalam agar atau

kaldu yang kemudian ditambahkan dengan mikroba baik bakteri atau

jamur yang akan diuji. Setelah diinkubasi selama 24 jam, hasil

pengamatan yang akan diperoleh berupa tumbuh atau tidak tumbuhnya

mikroba dalam media. Aktivitas zat antimikroba ditentukan dengan

melihat konsentrasi hambat minimum yang merupakan konsentrasi

terkecil dari zat anti mikroba uji yang masih memberikan efek dalam

menghambat pertumbuhan mikroba uji (Prayoga, 2013; Soleha, 2015).

a.Dilusi Perbenihan Cair (Prayoga, 2013; Soleha, 2015)

Dilusi perbenihan cair dilakukan dengan menggunakan sederetan

tabung reaksi yang diisi dengan inokulum kuman dan larutan antibakteri
17

dalam berbagai konsentrasi. Terdiri dari mikrodilusi dan makrodilusi.

Pada dasarnya pengerjaannya sama hanya berbeda pada volumenya. Untuk

makrodilusi volume yang digunakan lebih dari 1 ml, sedangkan

mikrodilusi volume digunakan antara 0,05 - 0,1 ml. Antimikroba yang

digunakan disediakan dalam berbagai pengenceran biasanya dalam satuan

µg/ml. Konsentrasi bervariasi bergantung dengan sifat dan jenis

antimikroba. Secara umum untuk penentuan kadar hambat minimum,

pengenceran antimikroba dilakukan penurunan konsentrasi setengahnya

misalnya dari 16, 8, 4, 2, 1 µg/ml dst. Lalu konsentrasi terendah yang

menunjukkan hambatan pertumbuhan mikroba dengan jelas dilihat secara

visual disebut juga dengan Kadar Hambat Minimum (KHM).

b.Dilusi Agar

Pada teknik dilusi agar, konsentrasi sesuai pengenceran akan

ditambahkan ke dalam agar, sehingga akan memerlukan perbenihan agar

sesuai dengan jumlah pengenceran ditambah satu perbenihan agar untuk

kontrol tanpa penambahan antimikroba. Konsentrasi terendah antimikroba

yang mampu menghambat pertumbuhan mikroba merupakan KHM

antimikroba yang diuji. Salah satu kelebihan metode agar dilusi yaitu

untuk penentuan KHM dari mikroba yang tidak dapat tumbuh pada

metode dilusi perbenihan cair seperti Neisseria gonorrohoeae.

Dasar penentuan antimikroba secara in vitro adalah KHM dan

Kadar Bunuh Minimal (KBM). KHM merupakan konsentrasi terendah

antimikroba yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba dengan hasil


18

yang dilihat dari pertumbuhan mikroba yaitu jamur atau bakteri dengan

hasil yang dilihat dari pertumbuhan koloni pada agar atau kejernihan

pembiakan cair. KBM merupakan konsentrasi terendah antimikroba yang

dapat membunuh 99,9% pada biakan selama waktu yang ditentukan

(Soleha, 2015).

Penentuan konsentrasi minimum antimikroba yang dapat

membunuh mikroba uji dilakukan dengan menanam mikroba uji pada

perbenihan cair yang digunakan untuk uji KHM ke dalam agar yang

kemudian diinkubasi semalam pada suhu tertentu sesuai suhu mikroba

yang diujikan. KBM adalah ketika tidak terjadi pertumbuhan mikroba lagi

pada agar (Soleha, 2015).

Keuntungan metode dilusi memungkinkan penentuan kualitatif dan

kuantitatif dilakukan bersama-sama. KHM dapat membantu dalam

menentukan tingkat resistensi dan dapat menjadi petunjuk penggunaan

antimikroba. Kerugiannya metode ini tidak menguntungkan karena

pengerjaannya memerlukan banyak alat-alat dan bahan serta memerlukan

ketelitian dalam proses pengerjaannya termasuk persiapan konsentrasi

antimikroba yang bervariasi (Soleha, 2015)

2.2 Metode Difusi

Pada metode ini, penentuan aktivitas didasarkan oleh kemampuan

difusi dari zat antimikroba dalam lempeng agar yang telah diinokulasikan

dengan mikroba uji. Hasil pengamatan yang akan diperoleh berupa ada

atau tidaknya zona hambatan yang akan terbentuk disekelilingi zat


19

antimikroba pada waktu tertentu masa inkubasi. Pada metode ini, dapat

dilakukan dengan cara cakram. Cakram kertas yang telah dibubuhkan

sejumlah tertentu antimikroba, lalu ditempatkan pada media yang telah

ditanami organisme yang akan diuji secara merata. Tingginya konsentrasi

dari antimikroba ditentukan oleh difusi dari cakram dan pertumbuhan

organisme uji dihambat penyebarannya sepanjang difusi antimikroba

(terbentuk zona jernih disekitar cakram), sehingga mikroba tersebut

menjadi mikroba yang sensitif terhadap antimikroba.

Hasil dari tes kepekaan, mikroorganisme terbagi dengan

klasiifikasi ke dalam dua atau lebih kategori. Sistem yang sederhana dapat

menentukan dua kategori, yaitu sensitif dan resisten. Meskipun klasifikasi

tersebut, memberikan banyak keuntungan untuk kepentingan statistik dan

epidemiologi, bagi klinisi merupakan ukuran yang terlalu kasar untuk

digunakan. Dengan demikian, hasil dengan tiga klasifikasi yang biasa

digunakan yaitu sensitif, intermediet, dan resisten. Ukuran zona jernih

tergantung pada kecepatan difusi antimikroba, derajat sensitifitas

mikroorganisme, dan keceptan pertumbuhan mikroba. Zona hambat

cakram antimikroba pada metode difusi berbanding terbalik dengan KHM.

Semakin luas zona hambat, maka semakin kecil konsentrasi daya hambat

minimum. Untuk derajat kategori mikroba dibandingkan terhadap

diameter zona hambat yang berbeda-beda setiap antimikroba, sehingga

dapat ditentukan kategori resisten, intermediet atau sensitif terhadap

antimikroba.

Alasan dilakukan uji kepekaan antimikroba bertujuan untuk mendapatkan


20

agen antimikroba yang tepat bertujuan untuk pengobatan penyakit infeksi

tertentu. Uji sensitifitas antimikroba tidak dilakukan pada setiap spesimen,

melainkan hanya dilakukan pada spesimen dengan jenis mikroba tertentu

yang belum diketahui secara umum sensitiftasnya terhadap beberapa jenis

antimikroba yang umum digunakan (Prayoga, 2013; Soleha, 2015).

2.4 Hubungan Antara Minyak Atsiri Terhadap P. ovale

Dalam berbagai penelitian yang sudah dilakukan bahwa minyak

atsiri dapat sebagai antibakteri dan antijamur dengan cara mengganggu

proses terbentuknya dinding sel sehingga terbentuk tidak sempurna atau

tidak berbentuk (Fadlilah, Muhammad, 2015). Selain itu, kandungan

minyak Atsiri dalam Artemisia sieberi memiliki mekanisme yang

dikaitkan dengan gangguan depolarisasi membran mitokondria dari sel

jamur yang dapat menghambat pertumbuhan jamur saprofitik dan

pathogen (Shokri et al, 2018). Minyak atsiri dapat melawan pertumbuhan

jamur P. ovale, dengan cara menonaktifkan mikroorganisme bergantung

pada interaksinya dengan membran mikroba, yang menyebabkan

kebocoran ion dan isi sitoplasma, dan dengan demikian menyebabkan

kerusakan sel (Arabi et al., 2018).


21

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

Ketumbar
(Coriander s.)

Minyak Atsiri

(Linalool)
Pityrosporum ovale

Membran sel Mitokondira Dinding sel

kebocoran ion dan Gangguan Pembentukan


isi sitoplasma depolarisasi dinding sel
terganggu

Menghambat
Kerusakan seluler pertumbuhan Tidak sempurna
jamur atau tidak
terbentuk

Pertumbuhan jamur P. ovale :

KHM dan KBM

Keterangan :

= diteliti = berefek pada


= tidak diteliti = menyebabkan
22

Kandungan dari ekstrak biji Ketumbar yang diduga berperan

sebagai antifungi adalah Minyak Atsiri (Linalool), yang akan

mempengaruhi membran sel, mitokondria, dan dinding sel dari

Pityrosporum ovale. Mekanisme dalam mempengaruhi membran sel jamur

yang akan menyebabkan kebocoran ion dan isi dari sitoplasma, lalu akan

menyebabkan kerusakan sel. Selain itu, dapat dapat mempengaruhi

mitokondria jamur Pityrosporum ovale yang menyebabkan gangguan

depolarisasi yang akan menghambat pertumbuhan jamur. Serta dapat

mengganggu pertumbuhan dinding sel jamur sehingga menyebabkan

pertmbuhan menjadi tidak sempurna atau tidak terbentuk.

Konsentrasi minimal ekstrak biji ketumbar yang mampu

menghambat pertumbuhan jamur Pityrosporum ovale ditentukan oleh

KHM, sedangkan konsentrasi minimal ekstrak biji ketumbar yang dapat

membunuh jamur tersebut dapat ditentukan dari KBM.

3.2. Hipotesis Penelitian

Ekstrak biji ketumbar (Coriandrum sativum) memiliki efektivitas

dalam pertumbuhan jamur Pityrosporum ovale secara in vitro


23

BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan penelitian

Pada penelitian ini menggunakan rancangan penelitian True-Experimental

dengan menggunakan Post Test Only Control Group Design. Metode yang

digunakan adalah Tube Dilution Test untuk mengetahui pengaruh ekstrak biji

ketumbar (Coriadrum sativum) dalam menghambat pertumbuhan dan membunuh

P. Ovale secara In Vitro.

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan selama bulan Oktober 2019 di Laboratorium

Biomedik Universitas Muhammadiyah Malang.

4.3 Populasi dan Sampel

4.3.1 Populasi

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah biakan murni P.

Ovale yang diperoleh dari Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran

Universitas Muhammadiyah Malang.

4.3.2 Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah jamur P. Ovale yang

telah dibiakkan dan diambil dengan menggunakan Simple Random Sampling.

4.3.3 Estimasi Jumlah Sampel

Penelitian menggunakan 8 kelompok perlakuan biji ketumbar (Coriadrum

sativum) dan 2 kelompok kontrol yaitu 1 kelompok kontrol bahan dan 1 kelompok
24

kontrol jamur P. Ovale. Sehingga terdapat 10 kelompok. Penentuan jumlah

pengulangan menggunakan rumus [ CITATION Wan17 \l 1033 ], yaitu:

Degrees of Freedom (DF) = 10 (minimum) - 20 (maksimum)

Rumus: (n x k) – k

Maka diperoleh:

Minimum:10 = (n x 10) -10

20 = 10n

n=2

Maksimum:20 = (n x 10) – 10

30 = 10n

n=3

Keterangan:

k = jumlah tabung

n = jumlah replikasi

Menurut hasil penghitungan diatas, maka diperlukan pengulangan untuk

sampel sebanyak 2-3 kali. Sehingga dalam penelitian ini membutuhkan 20 atau 30

kelompok perlakuan.
25

4.4 Jenis Variabel

4.4.1 Variabel Bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah ekstrak biji ketumbar

(Coriadrum sativum) dengan konsentrasi 100%, 50%, 25%, 12,5%, 6,25%,

3,125%, 1,56%, 0,78%, 0,39%, 0%.

4.4.2 Variabel Kontrol

Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah medium biakan, suhu

inkubasi 37 ̊ C, waktu inkubasi selama 24 jam dan konsentrasi 100% ekstrak biji

ketumbar sebagai kontrol positif (Septiani, Choirunnisa & Syam, 2017).

4.4.3 Variabel Tergantung

Variable tergantung dalam penelitian ini adalah jumlah koloni P. Ovale

dalam pada SDA setelah diberi ekstrak biji ketumbar dalam berbagai konsentrasi

dan kejernihan tabung reaksi yang telah dicampur dengan P. Ovale dan ekstrak

biji ketumbar.

4.5 Definsi Operasional

Tabel 4.1 Definisi Operasional


No Variabel Definisi Cara Indikator Skala
Pengukuran Penilaian
1. Ekstrak biji Biji ketumbar yang Ekstraksi Konsentrasi: Kategorik
ketumbar digunakan dalam maserasi 1. 100% ordinal
(Coriadrum penelitian 2. 50%
sativum) diidentifikasikan di 3. 25%
Materia Medika, Kota 4. 12,5%
Batu dan dilakukan 5. 6,25%
proses ekstraksi 6. 3,125%
Maserasi di 7. 1,56%
Laboratorium Fakultas 8. 0,78%
Kedokteran Universitas 9. 0,39%
Muhammadiyah Malang 10. 0%
26

dengan pelarut etanol


96% dan filtratnya
diambil dengan
penyaring, kemudian
diuapkan didalam rotary
evaporator dengan suhu
40 ̊ C.

2. Pertumbuhan Pertumbuhan jamur Penghitungan Jumlah koloni Numerik


Pityrosporum yang dilihat dengan menggunakan jamur P. Ovale
ovale menghitung koloni P. Colony pada setiap media ratio
Ovale. Counter agar padat.

KHM (Kadar Konsentrasi minimal Dilusi tabung 1. Jernih: apabila Kategorik


Hambat ekstrak biji ketumbar berwarna sama
Minimal) (Coriadrum sativum) dengan kontrol nominal
yang mampu positif yaitu
menghambat ekstrak biji
pertumbuhan jamur P. ketumbar
Ovale dengan melihat dengan latar
kejernihan pada tabung. belakang
kertas putih.
2. Keruh: apabila
berwarna sama
dengan kontrol
negatif.

KBM (Kadar Konsentrasi minimal Dilusi agar Tidak adanya Numerik


Bunuh ekstrak biji ketumbar pertumbuhan
Minimal) (Coriadrum sativum) jamur P. Ovale ratio
yang dapat membunuh atau maksimal
jamur P. Ovale 99.9% 0,1% dari control
dari inoculum asal pada bahan yang
SDA. dihitung dengan
Colony Counter.
27

4.6 Instrumen Penelitian

4.6.1 Alat dan Bahan Pembuatan Ekstrak Biji Ketumbar (Coriadrum sativum)

A. Alat

1. Maserator

2. Rotatory evaporator

3. Corong bucher

4. Lemari pendingin

5. Tabung reaksi

6. Neraca

7. Gelas kimia

8. Botol kaca steril

B. Bahan

1. Simplisia bubuk biji ketumbar (Coriadrum sativum)

2. Pelarut etanol 96%

3. Alumunium foil

4.6.2 Alat dan Bahan Pembuatan Sabourad Dextrose Agar (SDA)

A. Alat

1. Autoklaf

2. Labu Erlenmeyer

3. Cawan petri

4. Neraca

B. Bahan

1. Bahan SDA
28

2. Aquades

3. Minyak zaitun

4. Tween

5. Antibiotik Kloramfenikol

4.6.3 Alat dan Bahan Pembuatan Sabourad Dextrose Broth (SDB)

A. Alat

1. Autoklaf

2. Labu Erlenmeyer

3. Tabung reaksi

4. Neraca

B. Bahan

1. Bahan SDB

2. Aquades

3. Minyak zaitun

4. Tween

5. Antibiotik Kloramfenikol

4.6.4 Alat dan Bahan Pembuatan Perbenihan Cair

A. Alat

1. Tabung reaksi

2. Vortex

3. Ose

B. Bahan

1. Larutan fisiologis NaCl

2. Hasil peremajaan jamur P. Ovale


29

3. Larutan SDB

4. Larutan McFarland I

4.6.5 Alat dan Bahan Uji Kepekaan Antimikroba Ekstrak Biji Ketumbar

A. Alat

1. Mikropipet 1 ml

2. Tabung reaksi

3. Lampu spiritus

4. Ose lengkung

5. Colony Counter

6. Label

7. Spektrofotometer

8. Inkubator

B. Bahan

1. Ekstrak biji ketumbar (Coriadrum sativum)

2. Perbenihan cair jamur P. Ovale

3. Aquades

4. Alumunium foil

5. Sabouraud Dextrose Agar (SDA)

6. Sabouraud Dextrose Broth (SDB)

4.7 Prosedur Penelitian

4.7.1 Sterilisasi Alat

Sterilisasi alat dilakukan dengan:

1) Mencuci alat dengan sabun sampai bersih dan dibiarkan hingga kering
30

2) Alat-alat yang dapat disterilisasi dalam autoklaf dibungkus dengan

kertas dan dimasukkan kedalam autoklaf pada suhu 121 ̊ C dan

tekanan 15 psi selama 15 menit. Sedangkan alat-alat yang tidak dapat

disterilisasi dengan autoklaf, disterilkan menggunakan alkohol 70%

selama 20 menit (Andriani, 2016; Anggraeni, 2016).

4.7.2 Pembuatan Ekstrak Biji Ketumbar (Coriadrum sativum)

1) Siapkan simplisia biji ketumbar sebanyak 300 gr yang diperoleh dari

Balai Materia Medika, Kota Batu.

2) Kemudian dilakukan proses maserasi dengan merendam serbuk biji

ketumbar dengan pelarut etanol 96% sebanyak 1200 ml selama 2×24

jam sambil sesekali diaduk.

3) Setelah dimaserasi, selanjutnya disaring kedalam gelas kimia

menggunakan corong bucher lalu ditutup dengan alumunium foil

untuk mencegah penguapan.

9. Kemudian larutan tersebut diuapkan menggunakan Rotatory

evaporator dengan suhu 40 ̊ C sehingga diperoleh ekstrak kental.

10. Setelah itu, ekstrak dituang kedalam botol kaca dan ditutup dengan

alumunium foil dan disimpan ke lemari pendingin dengan suhu 4 ̊ C

(Assagaf, 2012; Zulkaidah, Ramdhan & Dhafir, 2014; Yuliani,

Prasetyo & Liberitera, 2017).

4.7.3 Pembuatan Medium Sabourad Dextrose Agar (SDA)

1) Bahan SDA ditimbang sebanyak 40 gram, kemudian tambahkan

aquades sebanyak 600 ml.


31

2) Campurkan tween 0,6 ml dan minyak zaitun 0,6 ml. Jika telah

tercampur, tambahkan kedalam bahan SDA yang sudah dicampur

dengan aquades.

3) Bahan direbus sampai tercampur rata, kemudian disterilisasi dalam

autoklaf dengan suhu 121 ̊ C selama 15 menit.

4) Setelah disterilisasi, SDA dituangkan kedalam masing-masing cawan

petri sebanyak 20 ml.

5) Jika sudah dingin, tambahkan antibiotik kloramfenikol sebanyak 240

mg untuk mencegah terjadinya kontaminan (Kusrini, Anam &

Cahyono, 2006; Muthoharoh & Zainab, 2015).

4.7.4 Pembuatan Medium Sabouraud Dextrose Broth (SDB)

1) SDB ditimbang sebanyak 2 gr, kemudian tambahkan aquades

sebanyak 30 ml dan diaduk secara rata.

2) Campurkan tween 0,6 ml dan minyak zaitun 0,6 ml. Jika telah

tercampur, tambahkan kedalam bahan SDB yang sudah dicampur

dengan aquades.

3) Bahan direbus sampai tercampur dengan rata, kemudian disterilisasi

dalam autoklaf dengan suhu 121 ̊ C selama 15 menit.

4) Setelah disterilisasi, SDB dituangkan kedalam tabung reaksi.

5) Jika sudah dingin, tambahkan antibiotik kloramfenikol sebanyak 240

mg untuk mencegah terjadinya kontaminan (Kusrini, Anam &

Cahyono, 2006; Muthoharoh & Zainab, 2015).


32

4.7.5 Pembuatan Perbenihan cair

1) Ambil satu ujung ose steril dari hasil peremajaan biakan P. Ovale, lalu

masukkan kedalam tabung reaksi yang berisi larutan NaCl fisiologis

steril.

2) Setelah itu, dikocok didalam vortex sampai kekeruhan sesuai dengan

standar McFarland I yaitu 108 CFU/ml.

3) Setelah itu, suspensi diencerkan dalam larutan NaCl fisiologis

sebanyak sebanyak 10 kali sehingga diperoleh konsentrasi sebesar 107

CFU/ml.

4) Kemudian, suspensi diencerkan dalam larutan SDB sebanyak 10 kali

sehingga hasil akhir diperoleh konsentrasi P. Ovale sebesar 106

CFU/ml (Putri & Habib, 2007; Efendi & Hertiani, 2013).

4.7.6 Uji Kepekaan Ekstrak Biji Ketumbar Terhadap P. Ovale

Metode yang digunakan dalam tes ini adalah metode dilusi tabung.

Pada penelitian ini dibutuhkan beberapa macam kadar ekstrak biji

ketumbar (Coriadrum sativum) untuk diinokulasi dengan perbenihan cair

jamur P. Ovale. Proses selanjutnya yaitu diinkubasi selama 3×24 jam

dengan suhu 37 ̊ C (Sukandar, Suwendar & Ekawati, 2006; Soleha, 2015).

Uji kepekaan Ekstrak Biji Ketumbar Terhadap P. Ovale melalui beberapa

tahap sebagai berikut:

Hari ke-1

1. Sediakan 10 tabung reaksi dan diberi tanda tabung 1 (kontrol positif

yaitu berisi ekstrak biji ketumbar), tabung 2, tabung 3, tabung 4,


33

tabung 5, tabung 6, tabung 7, tabung 8, tabung 9, tabung 10 (kontrol

negatif yaitu berisi jamur P. Ovale).

2. Masukkan 2 ml ekstrak biji ketumbarpada tabung 1, pada tabung 2

biarkan kosong tidak terisi apapun, dan tambahkan aquades 1 ml pada

tabung 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10 serta suspensi cair P. Ovale sebanyak 1 ml

pada tabung 10.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

2 ml ekstrak biji 1 ml aquades +


1 ml aquades 1 ml P. Ovale
ketumbar
(Kontrol positif)
Gambar 4.1
Pengisian ekstrak, aquades dan suspensi cair jamur P. Ovale

3. Masukkan masing-masing 1 ml ekstrak biji ketumbar ke dalam tabung

2 dan 3.

Konsentrasi ekstrak biji ketumbar :


Tabung 2 100 % (1 ml)
Tabung 3 50 % (2 ml)

2 3 2 3

Gambar 4.2
Menambahkan ekstrak ke tabung 2 dan 3
34

4. Campur hingga rata aquades dengan ekstrak biji ketumbar pada tabung

3, kemudian pindahkan 1 ml kedalam tabung 4.

Konsentrasi ekstrak biji ketumbar :


Tabung 3 50 % (1 ml)
Tabung 4 25 % (2 ml)
3 4 3 4

Gambar 4.3
Sebagian larutan dipindahkan ke tabung selanjutnya

5. Lakukan hal yang sama pada tabung 5, 6, 7, 8, 9.

6. Pada tabung 9, setelah larutan tercampur dengan rata lalu dibuang 1

ml.

7. Dari pengenceran diatas, maka diperoleh konsentrasi ekstrak biji

ketumbar dari setiap tabung adalah:

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
100 % 100% 50% 25% 12,5% 6,25% 3,125% 1,56%

0,78% 0%

Gambar 4.4
Konsentrasi ekstrak biji ketumbar setelah pengenceran
35

8. Setelah itu, tambahkan masing-masing 1 ml suspensi cair jamur P.

Ovale kedalam tabung 2 sampai 9.

9.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
100 % 50% 25% 12,5% 6,25% 3,125% 1,56% 0,78% 0,39% 0%

Gambar 4.5
Konsentrasi ekstrak biji ketumbar setelah ditambahkan P. Ovale

9. Setelah itu, semua tabung diinkubasikan selama 3×24 jam dengan suhu

37 ̊ C.

Hari ke-4

Tabung dikeluarkan dari inkubator dan didapatkan nilai KHM dengan

cara melihat kejernihan tabung. Setelah itu, ambil 1 ose dari masing-

masing tabung dan diinokulasikan pada medium SDA. Kemudian

diinkubasi lagi selama 3×24 jam dengan suhu 37 ̊ C (Sukandar, Suwendar

& Ekawati, 2006; Soleha, 2015).

Hari ke-7

Medium SDA dikeluarkan dari inkubator dan dilakukan pengamatan

secara kuantitatif pada masing-masing konsentrasi, sehingga didapatkan

nilai KBM dengan cara menghitung jumlah koloni jamur P. Ovale dengan

menggunakan colony counter [ CITATION Tri151 \l 1033 ]. Pengamatan


36

ini dilakukan oleh peneliti, kemudian dikonfirmasi oleh analis

laboratorium.

4.8 Alur Penelitian

Persiapan instrumen
penelitian

Pembuatan ekstrak biji


ketumbar

Pembuatan medium SDA dan


SDB

Pembuatan perbenihan cair Pengenceran larutan ekstrak


jamur P. Ovale dengan SDB biji ketumbar
Kontro Konsentrasi ekstrak biji ketumbar Kontro
l l jamur
bahan (-)
(+) 100%
100%
50 25 12,5 6,25 3,125 1,56 0,78 0,39
% % % % % % % %

Uji antifungal menggunakan Tube Dilution

Penentuan KHM dengan


mengamati kejernihan tabung
Inkubasi selama 3×24 jam dengan suhu 37 ̊ C

Streaking pada medium SDA

Inkubasi selama 3×24 jam dengan suhu 37 ̊ C

Penentuan KBM dengan colony counter


37

4.9 Analisis Data

4.9.1 Data Penguji KBM


Pada penelitian ini menggunakan skala data kategorik dan numerik.

Analisis data yang digunakan yaitu analisis deskriptif untuk mengetahui

gambaran data penelitian melalui tabulasi serta menentukan KBM dan

analisis komparatif numerik tidak berpasangan >2 kelompok dengan

menggunakan One Way Anova untuk mengetahui signifikansi penurunan

jumlah P. Ovale. Sebelum itu, perlu dilakukan uji normalitas dan

homogenitas pada data.

a) Uji normalitas yang digunakan yaitu uji Saphiro-Wilk karena besar

sampel yang digunakan ≤ 50. Data dianggap normal apabila hasil p >

0,05. Jika hasil p < 0,05 maka data dapat ditransformasi terlebih

dahulu. Jika setelah ditransformasi data tetap tidak normal, maka

dilakukan uji komparatif menggunakan uji Kruskal Wallis dan Post

Hoc Mann Whitney.

b) Uji homogenitas yang digunakan yaitu uji Levene. Apabila nilai p >

0,05 maka ragam data dikatakan homogen, namun apabila nilai p <

0,05 maka ragam data dikatakan tidak homogen.

Jika didapatkan varian homogen, maka dilakukan uji One Way Anova

+ post hoc Bonferroni. Namun, apabila didapatkan varian tidak homogen


38

maka digunakan post hoc Games Howell. Hasil uji dikatakan ada

perbedaan yang bermakna antara kontrol dan perlakuan jika p < 0,05.

Anda mungkin juga menyukai