Anda di halaman 1dari 13

PENDAHULUAN

Keladi tikus (Typhonium flagelliforme) merupakan tanaman obat yang


bermanfaat dalam mengobati penyakit kanker (Syahid, 2007). Di Indonesia,
tanaman ini tergolong pendatang baru dalam khasanah pengobatan herbal
(Sudewo, 2004). Di pulau Jawa, keladi tikus banyak ditemukan di hampir semua
tempat baik dataran tinggi maupun dataran rendah. Keladi Tikus mengandung
Ribosome Inacting Protein (RIP), zat antioksidan dan zat antikurkumin (Yayat,
2008). Diduga senyawa antioksidan inilah yang menyebabkan keladi tikus
berpotensi dalam menyembuhkan penyakit kanker (Syahid, 2007). Bagian
tanaman keladi tikus yang dapat dimanfaatkan sebagai obat herbal yaitu daun dan
umbi. Jika mengenai tangan, daun dan umbi keladi tikus dapat menimbulkan rasa
gatal (Sudewo, 2004). Di Malaysia, keladi tikus telah lama dikenal sebagai bahan
obat tradisional yang ampuh dalam melawan sel kanker. Pertumbuhan sel kanker
dapat dipicu oleh adanya radikal bebas dari oksidasi lipid. Penelitian
menunjukkan unsur antioksidan alami memang memiliki kemampuan untuk
mencegah dampak negatif dari radikal bebas (Dewanti, 2006). Penelitian
mengenai ekstrak daun Typhonium flagelliforme telah dilakukan untuk
mengetahui aktivitas antioksidan dan antibakterial (Mohan, et al, 2008);
kandungan fitokimia dari ekstrak Typhonium flagelliforme (Nobakht, et al, 2009);
dan penghambatan sel kanker oleh ekstrak Typhonium flagelliforme (Lai, et al,
2008). Penelitian lain mengenai keladi tikus yaitu potensi fitoremediasi dari
typhonium flagelliforme untuk degradasi Brilliant blue R (Kagalkar, et al, 2010);

dan keragaman morfologi, pertumbuhan, produksi, mutu dan fitokimia keladi


tikus (Syahid, 2007).
Penyakit kanker merupakan salah satu penyebab utama kematian di
seluruh dunia, sekitar 8,2 juta kematian disebabkan oleh kanker pada tahun 2012.
Berbagai jenis penyakit kanker seperti kanker paru, hati, usus, kolorektal dan
kanker payudara merupakan penyebab terbesar terjadinya kematian (Kemenkes
RI, 2015). Upaya penyembuhan penyakit kanker banyak dilakukan dengan
perlakuan kemoterapi namun hingga saat ini hasilnya belum memuaskan. Hal ini
disebabkan karena bahan obat kimia yang diterapkan mungkin tidak selektif untuk
dapat membunuh sel kanker yang dituju dan juga bahan aktif yang terkandung di
dalamnya tidak cukup banyak. Berbagai upaya pencarian obat herbal telah
dilakukan untuk mengobati penyakit kanker secara efektif. Pengobatan herbal
sangat penting dalam meningkatkan daya tahan tubuh pasien dan melokalisir selsel kanker sehingga tidak mudah menyebar, tidak bersifat toksik dan lebih aman
untuk tubuh pasien. Salah satu tanaman obat yang dapat digunakan untuk
pengobatan kanker adalah tanaman keladi tikus (Typhonium flagelliforme
(Lodd.)) yang merupakan salah satu jenis tanaman liar yang belum banyak dikenal
oleh masyarakat (Farida, et al., 2010). Keladi tikus (Typhonium flagelliforme
(Lodd.)) termasuk dalam familia Aracaceae, genus Typhonium, termasuk salah
satu tanaman yang mampu menghambat pertumbuhan sel kanker (Putra, et al.,
2012). Tanaman ini merupakan salah satu jenis tanaman obat yang bermanfaat
dalam menyembuhkan penyakit kanker di antaranya kanker rahim dan kanker
colon (Heyne, 1987 dalam Syahid, 2007). Tanaman keladi tikus merupakan bahan

essensial utama dari ramuan obat herbal yang direkomendasikan untuk terapi
penyakit kanker di Malaysia (Choo, et al., 2001). Mankaran, et al., (2013)
menyatakan bahwa tanaman ini mempunyai potensi sebagai antikanker,
antimikroba dan antioksidan.

Tanaman Keladi Tikus (T. Flagelliforme Lodd)


Keladi tikus (T. flagelliforme) termasuk famili Araceae dan tergolong
tanaman obat, merupakan tanaman asli Indonesia yang banyak ditemukan di Pulau
Jawa dan tumbuh dengan baik pada ketinggian 1-300 m di atas permukaan laut
(Essai, 1986). Keladi tikus merupakan tanaman herbal yang memiliki agen
detoksifikasi. Tanaman ini ditemukan memiliki potensi untuk obat anti kanker.
Bagian tanaman yang mengandung antikanker adalah seluruh bagian tanaman,
yaitu akar, batang, daun dan bunga. Keladi tikus (T. flagelliforme) adalah tanaman
herbal yang dapat tumbuh hingga 30 cm. Tanaman ini hidup tersebar di Asia
terutama di tempat lembab dan gelap (Chan, Koh & Tengku-Muhammad, 2005).
Klasifikasi Tanaman Keladi Tikus
Divisio

: Spermatophyta

Sub divisio

: Gymnospermae

Classsis

: Dicotyledonae

Ordo

: Arales

Familia

: Araceae

Genus

: Typhonium

Spesies

: Typhonium flagelliforme

Habitat dan Penyebaran


Tumbuh di tempat terbuka pada ketinggian 1000 meter di atas permukaan
laut. Terdapat di Malaysia, Korea bagian selatan, dan Indonesia. Di Indonesia
penyebarannya terdapat di sepanjang pulau Jawa, sebagian Kalimantan dan
Sumatra dan Papua. (Mudahar et.al., 2006).
Morfologi
Tanaman keladi tikus adalah tanaman sejenis talas setinggi 25 cm hingga
30 cm, termasuk tumbuhan semak, menyukai tempat lembab yang tak terkena
sinar matahari langsung. Tanaman berbatang basah ini biasanya tumbuh di tempat
terbuka pada ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut. Bentuk daun bulat
dengan ujung runcing berbentuk jantung. Berwarna hijau segar. Umbi berbentuk
bulat rata sebesar buah pala (Harfia., 2006).
Kandungan Senyawa Bioaktif Keladi Tikus
Kandungan senyawa bioaktif pada tanaman keladi tikus yaitu alkaloid,
saponin, glikosida (Syahid, 2008), flavonoid, terpenoid, steroid (Nobakht etl al.,
2010) dan flavonoid glikosida (Farida et al., 2012). Komponen flavonoid
glikosida yang terkandung dalam ekstrak daun tanaman keladi tikus fraksi etil
asetat adalah 6-glucosyl apigenine yang dikenal dengan isovitexin. Isovitexin
menunjukkan adanya aktivitas antioksidan dan efek toksik terhadap Artemia
salina (Farida et al., 2012). Ekstrak heksan pada tanaman keladi tikus juga
memiliki aktivitas toksik pada Artemia salina (Sianipar, Maarisit & Valencia,
2013). Akar tanaman keladi tikus mengandung fenilpropanoid glikosida, sterol
dan serebrosida yang memiliki aktivitas hepatotoksik (Huang et al., 2004).

Aktivitas
Bakteri endofit adalah organisme yang berukuran mikroskopis (bakteri dan
jamur) yang hidup di dalam jaringan tanaman (xylem dan phloem), daun, akar,
buah dan batang. Bakteri ini hidup bersimbiosis saling menguntungkan dengan
tumbuhan. Bakteri endofitik mendapatkan nutrisi dari hasil metabolisme tanaman
sedangkan tanaman mendapatkan derivat nutrisi dan senyawa aktif yang
diperlukan selama hidupnya (Taechowishan, et al., 2005). Bakteri endofit yang
diisolasi dari jaringan tanaman dapat ditumbuhkan di medium tumbuh artifisial.
Bakteri endofit di dalam medium tersebut akan menghasilkan metabolit yang
hampir sama dengan senyawa aktif yang berasal dari tanaman inangnya. Senyawa
aktif yang dihasilkan oleh bakteri endofit telah diteliti dapat menghambat bahkan
membunuh berbagai jenis sumber penyakit pada manusia maupun hewan.
Antibiotik adalah salah satu produk senyawa aktif yang dihasilkan oleh bakteri
endofit yang dapat digunakan untuk menghambat bakteri patogen. Antibiotik
ecomycin umumnya diproduksi oleh Pseudomonas viridiflava yang merupakan
bakteri endofit yang hidup berasosiasi dengan daun dari tanaman rumput. Jenis
antibiotik ini dapat menghambat penyakit pada manusia yang disebabkan oleh
jamur (Strobel and Daisy, 2003). Bakteri endofitik dapat menghasilkan suatu
senyawa kimia yang bersifat sebagai antimikroba untuk kelompok bakteri patogen
penyebab penyakit pada tanaman dan manusia. Untuk mempelajari potensi bakteri
endofitik, enumerasi dari masing-masing isolat telah diidentifikasi berdasarkan
morfologi, analisis molekular, siklus infeksi dan variasi keberadaannya
berdasarkan musim (Wilson, 2000). Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi

dan skrining bakteri endofit dari tanaman keladi tikus dan mempelajari tentang
kemampuannya menghasilkan senyawa bioaktif antimikroba patogen dan senyawa
yang bersifat sebagai antioksidan.
Uji Aktivitas
Untuk mengetahui kandungan kimia aktif suatu tumbuhan dapat dilakukan
uji aktivitas. Salah satu uji aktivitas yang paling sederhana, yang dapat dilakukan
dengan mudah dan dapat diandalkan adalah uji aktivitas Metode Brine Shrimp
menggunakan larva (nauplii) udang laut Artemia salina Leach. Kandungan kimia
aktif dimaksudkan sebagai komponen aktif biologi terhadap manusia maupun
hewan dan tumbuhan. Kandungan kimia aktif biologi dapat bersifat racun jika
digunakan pada dosis yang tinggi, dengan demikian secara in vivo kematian suatu
hewan percobaan dapat dipakai sebagai alat pemantau penapisan awal kandungan
kimia aktif suatu bahan alam terhadap ekstrak, fraksi maupun isolate. Namun
pengujian ini masih bersifat umum oleh karena itu perlu dilakukan uji lain yang
lebih terarah untuk mengetahui aktivitas spesifiknya (Meyer, 1982) Berdasarkan
hal tersebut diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan karakterisasi simplisia
dan skrining fitokimia terhadap umbi keladi tikus (tuber Typhonii), serta
melakukan uji toksisitas ekstrak n-heksan, ekstrak etilasetat, ekstrak etanol
terhadap Artemia salina Leach dengan metode Brine Shrimp Lethality Test.
Teknik Kultur Jaringan untuk Perbanyakan Keladi Tikus
Kultur jaringan sel tanaman adalah salah cara untuk produksi bibit unggul.
Produksi bibit melalui kultur jaringan memiliki keunnggulan yaitu diperoleh bibit
yang seragam, lebih cepat, jumlah banyak dan sama dengan induknya dan tidak

memerlukan areal yang luas (Wattimena, 1991). Teknologi kultur jaringan pada
tanaman keladi tikus sudah banyak dilakukan penelitian untuk produksi bibit
melalui kultur jaringan tanaman. Jaringan yang digunakan adalah mata tunas dari
diumbi. Menurut Sianipar et al., (2011) menyatakan bahwa sel mata tunas umbi
keladi tikus asal bogor dapat diinduksi menjadi sel kalus. Sel kalus yang
dihasilkan adalah kalus yang embriogenik. Sel kalus embriogenik yang dihasilkan
diregenerasikan menjadi tanaman lengkap (plantlet). Beberapa jenis keladi tikus
yaitu asal bogor, Pekalongan dan medan yang sudah berhasil diperbanyak melalui
kultur jaringan.
Metode perbanyakan tanaman Keladi tikus umumnya dilakukan secara
vegetatif dengan pemisahan anakan/bonggol (Essai, 1986). Mikropropagasi tunas
dapat diinduksi dengan pemberian zat pengatur tumbuh yang optimal. Efektivitas
zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin eksogen bergantung pada hormon
endogen dalam jaringan tanaman. Selanjutnya sitokinin (Benzyl Adenin) umum
digunakan dalam proses regenerasi kultur in vitro karena zat pengatur tumbuh ini
berfungsi dalam pembelahan sel dan diferensiasi tunas adventif (Bhojwani dan
Razdan, 1981). Pada studi ini metode mikropropagasi in vitro melalui single node
atau tunas meristem dapat diinduksi multiplikasi tunas. Penambahan zat pengatur
tumbuh BAP, IBA dan NAA pada media akan menghasilkan multiplikasi tunas
yang optimal.
Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair (Ditjen

POM, 2000). Hasil dari ekstraksi disebut dengan ekstrak yaitu sediaan kental yang
diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia
hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua
pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian
sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ditjen POM, 1995). Farmakope
Indonesia menetapkan bahwa cairan penyari untuk ekstraksi adalah air, etanol,
dan etanol-air atau eter. Penyarian pada perusahaan obat tradisional masih terbatas
pada penggunaan penyari air, etanol, atau etanol-air (Ditjen POM, 1989).

Metode-Metode Ekstraksi
Ekstraksi dengan menggunakan pelarut terdiri dari 2 cara, yaitu:
1. Cara dingin
Ekstraksi menggunakan pelarut dengan cara dingin terdiri dari:
a. Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut
dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan.
b. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna
yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan
pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya
(penetesan/penampungan ekstrak), terus-menerus sampai diperoleh ekstrak
(perkolat).

2. Cara panas
Ekstraksi menggunakan pelarut dengan cara panas terdiri dari:
a. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan
adanya pendingin balik.
b. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan
jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
c. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur kamar (40-50oC).
d. Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air
(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98oC)
selama waktu tertentu (15-20 menit).
e. Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (30 menit) dan temperatur
sampai titik didih air (Ditjen POM, 2000).

Pasca Panen (Ramuan Obat)


1. Tumbuk tanaman, jangan dibelender. Saat menumbuk, hati-hati jangan
samapai terkena mata.
2. Jika tangan menjadi gatal setelah terkena keladi tikus, cuci dengan air
gula.
3. Minum air sari keladi tikus dalam keadaan segar, jangan disimpan.
4. Simpan keladi tikus di kulkas karena mudah busuk jika basah. Caranya,
gulung tanaman dengan kertas, masukkan plastik, lalu simpan di kulkas.
5. Minum keladi tikus ketika perut kosong, 1 jam sebelum makan.
6. Sesudah operasi tidak boleh langsun minum keladi tikus, tunggu 2
minggu.
7. Dua hari pertama mengonsumsi keladi tikus, pasien akan mual, lesu,
sedikit diare, dan kotoran jadi hitam. Jika berlangsung terus-menerus,
kurangi dosisnya atau hentikan sementara sampai gejala hilang.

DAFTAR PUSTAKA
Bhojwani, SS dan Razdan MK. 1996. Plant Tissue Culture: Theory and Practice,
a Revised Edition. Elsevier Science. Amsterdam: 767p.
Cambribge Univ. Press. Wong, G., S.P. Chong, C.C tan, and A.C. Soh. 1999.
Liquid Suspension culture-A potential technique for mass production of oil
palm clones. Palm oil Res. Inst. Of Malaysia. p: 3-10.
Choon SL, Rosemal HMHM,Nair NK,Majid MIA, Mansor SM dan Navaratnam.
2008.Typhonium flagelliforme inhibits cancer cell growth in vitro and
induces apoptosis: An evalution by the bioactivity guided approach.
Journal of Ethnopharmacology. 118 : 14-20.
Choo, CY., K.L. Chan, TW. Sam, Y. Hitotsuyanagi & K. Takeya. (2001). The
cytotoxicity and chemical constituent of the hexane fraction of Typhonium
flagelliforme (Araceace). Journal of Ethopharmacology. 77(1), 129-131.
Essai. 1986. Medicinal herbs index in Indonesia. PT Essai indonesia. 357 hal
Farida, Y., Wahyudi, P.S., Wahono, S., & Hanafi, M. 2012. Flavonoid glycoside
from the ethyl acetate extraction of Keladi Tikus Typhonium flagelliforme
(Lodd.) blume leaves. Asian Journal of Natural & Applied Sciences 1 (4):
16-21.
Harfia, M., 2006, Uji Aktivitas Ekstrak Etanol 50% Umbi Keladi Tikus
(Typhonium flagelliforme (Lood) Bl) terhadap Sel Kanker Payudara
(MCF-7 Cell line) secara In-Vitro, Puslitbang Biomedis dan Farmasi,
Badan Litbang Kesehatan.
Heyne. 1987. Tumbuhan berguna Indonesia. Jilid I. Jakarta. 502 hal
Hoesen DSH. 2007. Pertumbuhan dan perkembangan tunas Typhonium secara in
vitro. Berita Biologi. 8(5): 413-422.
Huang, P.G., Karaguanus & Waterman, P.G. 2004. Chemical constituents from
Typhonium flagelliforme. Zhongyaocai, 27:173-175.
Karp, G. 2008. Cell and Molecular Biology Concept and Experiment 5th
Edition. USA : John Wiley & Sons, Inc.
Kovacs, E. & Keresztes, A. 2002. Effect of gamma and UV-B/C radiation on plant
cells. Micron. 33 : 199-210.
Lai KC, Wan YK and Tengku-Muhammad TS. 2005. Comparison of cytotoxic
between in vitro and field plants of Thyphonium flagelliforme (Lodd.)

Blume. Journal of plant biology. 48(1) : 25 -31.


Lai, C.S., Mas, R.H.M.H., Nair, N.K., Majid, M.I.A., Mansor, S.M. &
Navaratnam, V. 2008. Typhonium flagelliforme inhibits cancer cell growth
in vitro and induces apoptosis: An evaluation by the bioactivity guided
approach. Journal of Ethnopharmacology, 118:14-20.
Mohan, S., Bustamam, A., Ibrahim, S., Al-Zubairi, A., Aspollah, M., Abdullah, R.
& Elhassan, M.M. 2011. In vitro ultramorphological assessment of
apoptosis on CEMss induced by linoleic acid-rich fraction from
Typhonium flagelliforme tuber. Evidence-based Compelementary and
Alternative Medicine 2011: 421894.
Mudahar, H., Widowati, L., Sundari, D. (2006). Uji Aktivitas Ekstrak Etanol 50%
Umbi Keladi Tikus (Typhonium flagelliforme (Lood) Bl) terhadap Sel
Kanker Payudara (MCF-7 Cell Line) secara In-Vitro. Jakarta: Puslitbang
Biomedis dan Farmasi, Badan Litbang Kesehatan.
Nobakht, G. M., Kadir, M. A., dan Stanslas, J. 2009. In vitro Mass Propagation of
Typhonium flagelliforme as Affected by Plant Growth Regulators. African
Journal of Biotechnology 8: 68406843.
Nurrochmad A, Lukitaningsih E, Meiyanto E. 2011. Anticancer Activity of Rodent
Tuber (Typhonium flagelliforme (lodd.) Blume on Human Breast Cancer
T47D Cells. International Journal of Phytomedicine 2: 138-146.
Putra, A., Tjahjono, & Winarto. 2012. Efektivitas ekstrak umbi Typhonium
flagelliforme fraksi diklorometanolik dalam menghambat proliferasi sel
MCF-7 kanker payudara. J Indon Med Assoc 62(1): 10-15.
Sianipar NF, Rustikawati, Maarisit W, Wantho A, Sidabutar DNR. 2011.
Embryogenic calli induction, proliferation and regeneration of rodent
tuber plant (Thyphonium flagelliforme Lodd) by single node culture.
Proceeding International Conference on Biological Science BIO-UGM.
23-24 Sept 2011.
Sianipar NF, Rustikawati, Maarisit W, Wantho A, Sidabutar DNR. 2011.
Embryogenic calli induction, proliferation and regeneration of rodent
tuber plant (Thyphonium flagelliforme Lodd) by single node culture.
Proceeding International Conference on Biological Science BIO-UGM.
23-24 Sept 2011.
Strobel, G., & Daisy, B. (2003). Biopropecting for microbial endhopytes & their
natural products. Microbiology and Molecular Biology Reviews. 64(4),
491-502.

Syahid, S. F. 2008. Keragaman morfologi, pertumuhan, produksi, mutu dan


fitokimia keladi tikus (Typonium flagelliforme Lodd.) Blume asal variasi
somaklonal. Jurnal Littri, 14:113-118.
Taechowisan, T., Lu, C., Shen. Y. & Lumyong, S. (2005). Secondary Metabolites
from endophytic Streptomyces aureofaciens CMUAc 130 and their
antifungal activity. Microbiology. 151, 1691-1695.
Van Harten AM. 1998. Mutation Breeding. Theory and Practikal Applications.
Wattimena. 1991. Bioteknologi Tanaman. Tim Laboratorium Kultur Jaringan
Tanaman, PAU Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.
Wi, S.G., Chung, B.Y., Kim, J.S., Kim J.H., Baek, M.H., Lee, J.W. & Kim Y.S.
2007. Effects of gamma irradiation on morphological changes and
biological responses in plants. Micron. 38 : 553 564.

Anda mungkin juga menyukai