essensial utama dari ramuan obat herbal yang direkomendasikan untuk terapi
penyakit kanker di Malaysia (Choo, et al., 2001). Mankaran, et al., (2013)
menyatakan bahwa tanaman ini mempunyai potensi sebagai antikanker,
antimikroba dan antioksidan.
: Spermatophyta
Sub divisio
: Gymnospermae
Classsis
: Dicotyledonae
Ordo
: Arales
Familia
: Araceae
Genus
: Typhonium
Spesies
: Typhonium flagelliforme
Aktivitas
Bakteri endofit adalah organisme yang berukuran mikroskopis (bakteri dan
jamur) yang hidup di dalam jaringan tanaman (xylem dan phloem), daun, akar,
buah dan batang. Bakteri ini hidup bersimbiosis saling menguntungkan dengan
tumbuhan. Bakteri endofitik mendapatkan nutrisi dari hasil metabolisme tanaman
sedangkan tanaman mendapatkan derivat nutrisi dan senyawa aktif yang
diperlukan selama hidupnya (Taechowishan, et al., 2005). Bakteri endofit yang
diisolasi dari jaringan tanaman dapat ditumbuhkan di medium tumbuh artifisial.
Bakteri endofit di dalam medium tersebut akan menghasilkan metabolit yang
hampir sama dengan senyawa aktif yang berasal dari tanaman inangnya. Senyawa
aktif yang dihasilkan oleh bakteri endofit telah diteliti dapat menghambat bahkan
membunuh berbagai jenis sumber penyakit pada manusia maupun hewan.
Antibiotik adalah salah satu produk senyawa aktif yang dihasilkan oleh bakteri
endofit yang dapat digunakan untuk menghambat bakteri patogen. Antibiotik
ecomycin umumnya diproduksi oleh Pseudomonas viridiflava yang merupakan
bakteri endofit yang hidup berasosiasi dengan daun dari tanaman rumput. Jenis
antibiotik ini dapat menghambat penyakit pada manusia yang disebabkan oleh
jamur (Strobel and Daisy, 2003). Bakteri endofitik dapat menghasilkan suatu
senyawa kimia yang bersifat sebagai antimikroba untuk kelompok bakteri patogen
penyebab penyakit pada tanaman dan manusia. Untuk mempelajari potensi bakteri
endofitik, enumerasi dari masing-masing isolat telah diidentifikasi berdasarkan
morfologi, analisis molekular, siklus infeksi dan variasi keberadaannya
berdasarkan musim (Wilson, 2000). Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi
dan skrining bakteri endofit dari tanaman keladi tikus dan mempelajari tentang
kemampuannya menghasilkan senyawa bioaktif antimikroba patogen dan senyawa
yang bersifat sebagai antioksidan.
Uji Aktivitas
Untuk mengetahui kandungan kimia aktif suatu tumbuhan dapat dilakukan
uji aktivitas. Salah satu uji aktivitas yang paling sederhana, yang dapat dilakukan
dengan mudah dan dapat diandalkan adalah uji aktivitas Metode Brine Shrimp
menggunakan larva (nauplii) udang laut Artemia salina Leach. Kandungan kimia
aktif dimaksudkan sebagai komponen aktif biologi terhadap manusia maupun
hewan dan tumbuhan. Kandungan kimia aktif biologi dapat bersifat racun jika
digunakan pada dosis yang tinggi, dengan demikian secara in vivo kematian suatu
hewan percobaan dapat dipakai sebagai alat pemantau penapisan awal kandungan
kimia aktif suatu bahan alam terhadap ekstrak, fraksi maupun isolate. Namun
pengujian ini masih bersifat umum oleh karena itu perlu dilakukan uji lain yang
lebih terarah untuk mengetahui aktivitas spesifiknya (Meyer, 1982) Berdasarkan
hal tersebut diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan karakterisasi simplisia
dan skrining fitokimia terhadap umbi keladi tikus (tuber Typhonii), serta
melakukan uji toksisitas ekstrak n-heksan, ekstrak etilasetat, ekstrak etanol
terhadap Artemia salina Leach dengan metode Brine Shrimp Lethality Test.
Teknik Kultur Jaringan untuk Perbanyakan Keladi Tikus
Kultur jaringan sel tanaman adalah salah cara untuk produksi bibit unggul.
Produksi bibit melalui kultur jaringan memiliki keunnggulan yaitu diperoleh bibit
yang seragam, lebih cepat, jumlah banyak dan sama dengan induknya dan tidak
memerlukan areal yang luas (Wattimena, 1991). Teknologi kultur jaringan pada
tanaman keladi tikus sudah banyak dilakukan penelitian untuk produksi bibit
melalui kultur jaringan tanaman. Jaringan yang digunakan adalah mata tunas dari
diumbi. Menurut Sianipar et al., (2011) menyatakan bahwa sel mata tunas umbi
keladi tikus asal bogor dapat diinduksi menjadi sel kalus. Sel kalus yang
dihasilkan adalah kalus yang embriogenik. Sel kalus embriogenik yang dihasilkan
diregenerasikan menjadi tanaman lengkap (plantlet). Beberapa jenis keladi tikus
yaitu asal bogor, Pekalongan dan medan yang sudah berhasil diperbanyak melalui
kultur jaringan.
Metode perbanyakan tanaman Keladi tikus umumnya dilakukan secara
vegetatif dengan pemisahan anakan/bonggol (Essai, 1986). Mikropropagasi tunas
dapat diinduksi dengan pemberian zat pengatur tumbuh yang optimal. Efektivitas
zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin eksogen bergantung pada hormon
endogen dalam jaringan tanaman. Selanjutnya sitokinin (Benzyl Adenin) umum
digunakan dalam proses regenerasi kultur in vitro karena zat pengatur tumbuh ini
berfungsi dalam pembelahan sel dan diferensiasi tunas adventif (Bhojwani dan
Razdan, 1981). Pada studi ini metode mikropropagasi in vitro melalui single node
atau tunas meristem dapat diinduksi multiplikasi tunas. Penambahan zat pengatur
tumbuh BAP, IBA dan NAA pada media akan menghasilkan multiplikasi tunas
yang optimal.
Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair (Ditjen
POM, 2000). Hasil dari ekstraksi disebut dengan ekstrak yaitu sediaan kental yang
diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia
hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua
pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian
sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ditjen POM, 1995). Farmakope
Indonesia menetapkan bahwa cairan penyari untuk ekstraksi adalah air, etanol,
dan etanol-air atau eter. Penyarian pada perusahaan obat tradisional masih terbatas
pada penggunaan penyari air, etanol, atau etanol-air (Ditjen POM, 1989).
Metode-Metode Ekstraksi
Ekstraksi dengan menggunakan pelarut terdiri dari 2 cara, yaitu:
1. Cara dingin
Ekstraksi menggunakan pelarut dengan cara dingin terdiri dari:
a. Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut
dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan.
b. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna
yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan
pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya
(penetesan/penampungan ekstrak), terus-menerus sampai diperoleh ekstrak
(perkolat).
2. Cara panas
Ekstraksi menggunakan pelarut dengan cara panas terdiri dari:
a. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan
adanya pendingin balik.
b. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan
jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
c. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur kamar (40-50oC).
d. Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air
(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98oC)
selama waktu tertentu (15-20 menit).
e. Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (30 menit) dan temperatur
sampai titik didih air (Ditjen POM, 2000).
DAFTAR PUSTAKA
Bhojwani, SS dan Razdan MK. 1996. Plant Tissue Culture: Theory and Practice,
a Revised Edition. Elsevier Science. Amsterdam: 767p.
Cambribge Univ. Press. Wong, G., S.P. Chong, C.C tan, and A.C. Soh. 1999.
Liquid Suspension culture-A potential technique for mass production of oil
palm clones. Palm oil Res. Inst. Of Malaysia. p: 3-10.
Choon SL, Rosemal HMHM,Nair NK,Majid MIA, Mansor SM dan Navaratnam.
2008.Typhonium flagelliforme inhibits cancer cell growth in vitro and
induces apoptosis: An evalution by the bioactivity guided approach.
Journal of Ethnopharmacology. 118 : 14-20.
Choo, CY., K.L. Chan, TW. Sam, Y. Hitotsuyanagi & K. Takeya. (2001). The
cytotoxicity and chemical constituent of the hexane fraction of Typhonium
flagelliforme (Araceace). Journal of Ethopharmacology. 77(1), 129-131.
Essai. 1986. Medicinal herbs index in Indonesia. PT Essai indonesia. 357 hal
Farida, Y., Wahyudi, P.S., Wahono, S., & Hanafi, M. 2012. Flavonoid glycoside
from the ethyl acetate extraction of Keladi Tikus Typhonium flagelliforme
(Lodd.) blume leaves. Asian Journal of Natural & Applied Sciences 1 (4):
16-21.
Harfia, M., 2006, Uji Aktivitas Ekstrak Etanol 50% Umbi Keladi Tikus
(Typhonium flagelliforme (Lood) Bl) terhadap Sel Kanker Payudara
(MCF-7 Cell line) secara In-Vitro, Puslitbang Biomedis dan Farmasi,
Badan Litbang Kesehatan.
Heyne. 1987. Tumbuhan berguna Indonesia. Jilid I. Jakarta. 502 hal
Hoesen DSH. 2007. Pertumbuhan dan perkembangan tunas Typhonium secara in
vitro. Berita Biologi. 8(5): 413-422.
Huang, P.G., Karaguanus & Waterman, P.G. 2004. Chemical constituents from
Typhonium flagelliforme. Zhongyaocai, 27:173-175.
Karp, G. 2008. Cell and Molecular Biology Concept and Experiment 5th
Edition. USA : John Wiley & Sons, Inc.
Kovacs, E. & Keresztes, A. 2002. Effect of gamma and UV-B/C radiation on plant
cells. Micron. 33 : 199-210.
Lai KC, Wan YK and Tengku-Muhammad TS. 2005. Comparison of cytotoxic
between in vitro and field plants of Thyphonium flagelliforme (Lodd.)