Anda di halaman 1dari 58

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Nyamuk sering mendatangkan masalah bagi manusia. Bukan hanya gigitan dan
suara dengungannya yang mengganggu, perannya sebagai pembawa penyakit
seperti malaria dan demam berdarah, bisa mendatangkan masalah yang serius.
Menurut data Departemen Kesehatan Republik Indonesia jumlah penderita
Demam Berdarah Dengue (DBD) yang meninggal pada 2014 sebanyak 907 jiwa,
tahun 2015 sebanyak 1.071 jiwa, tahun 2016 sebanyak 1.598 jiwa, dan 2017
sebanyak 493 jiwa, tahun 2018 sebanyak 344 jiwa dan di 2019 (hingga 29 Januari
2019) sebanyak 133 jiwa.
Salah satu upaya pengendalian terhadap penyakit-penyakit tersebut adalah
melakukan pengendalian terhadap vektor penyakit. Vektor penyakit yang sampai
saat ini sering menimbulkan masalah kesehatan khususnya di Indonesia adalah
Aedes aegypti. Nyamuk ini merupakan vektor utama penyebab penyakit Demam
Berdarah Dengue ( DBD ) di Indonesia(1).
Ada berbagai macam cara untuk menghindari gigitan nyamuk. Salah satunya
dengan pemakaian anti nyamuk ataupun pakaian yang dapat melindungi tubuh
dari gigitan nyamuk. Di Indonesia ada banyak sediaan anti nyamuk yang beredar
seperti, spray, losion dan obat nyamuk bakar yang mengandung bahan kimia
sintesis. Contoh golongan bahan kimia berbahaya yang sering digunakan dalam
sediaan anti nyamuk adalah golongan karbamat (propoxur), piretroid
(permethrin), organofosfat (Dichlorovinyl Dimethyl Phospate), dan DEET
(Diethyl toluamida), dan golongan organoklorin. Penggunaan anti nyamuk kimia
ini dapat meninggalkan residu, mencemari lingkungan, dan dapat mengakibatkan
resistensi. Residu yang tertinggal dapat menyebabkan masalah kesehatan seperti
iritan terhadap kulit, bahkan jika terserap dalam dosis tinggi dapat menyebabkan
kekejangan otot.
2

Selain itu jika terhirup dan masuk ke saluran pernapasan, dalam waktu lama
dapat mengakibatkan perubahan dan kerusakan jaringan penyusun saluran napas
yang nantinya dapat mengganggu sistem pernapasan. Salah satu zat kimia yang
sering di gunakan sebagai anti nyamuk adalah DEET (Diethyl toluamida).
DEET (Diethyl toluamida) merupakan bahan kimia sintesis yang digunakan
dalam pembuatan sediaan anti nyamuk yang berbentuk losion. DEET (Diethyl
toluamida) mengandung racun, dalam konsentrasi 10-15 % dan akan berbahaya
khususnya bagi anak-anak apabila penggunaannya kurang hati-hati. Bahan aktif
DEET ini tidak akan larut dalam air, menempel pada kulit selama 8 jam dan akan
terserap masuk ke dalam tubuh melalui pori-pori kulit menuju sirkulasi darah.
Hanya 10-15% yang akan terbuang melalui urin (1). Oleh karena itu, untuk
mengurangi dampak yang ditimbulkan dari penggunaan insektisida kimia dan
bahan kimia sintesis yang mengandung racun, diperlukan cara lain yang lebih
aman, efektif, dan efisien serta ramah lingkungan, yaitu insektisida dari tumbuh-
tumbuhan. Ada beberapa tanaman yang memiliki bau yang khas dan aromanya
tidak disukai oleh nyamuk. Tanaman-tanaman tersebut antara lain: daun mint,
umbi lengkuas, sambiloto, babadotan, daun alpukat, daun salam, dan daun zodia.
Tanaman-tanaman tersebut dikenal mengandung senyawa aktif seperti
flavonoid, saponin, tanin, alkaloid, terpenoid dan minyak atsiri. Berdasarkan
Penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya menyatakan bahwa tanaman yang
paling efektif untuk mortalitas nyamuk adalah daun salam dan daun alpukat
sebanyak 100%, lengkuas sebanyak 82,22%, daun mint sebanyak 51,11%, dan
daun babadotan sebanyak 8,89%. Daun salam dan daun alpukat mampu
membunuh nyamuk dalam waktu 5 menit, lengkuas dan daun mint mampu
membunuh nyamuk dalam waktu 10 menit dengan persentase lengkuas yang lebih
besar. Daun babadotan mampu membunuh nyamuk dalam waktu 20 menit
sedangkan Zodia mampu membunuh nyamuk dalam waktu 30 menit.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan menyatakan bahwa tanaman-tanaman
tersebut dapat digunakan sebagai insektisida alami untuk membunuh nyamuk
Aedes aegypti (2).
Salah satu tanaman yang mudah didapat dan bermanfaat ganda bagi manusia
adalah daun salam (Syzygium polyanthum). Daun salam adalah tanaman yang
3

sering dimanfaatkan dalam pengolahan makanan dan juga menghasilkan metabolit


sekunder berupa minyak atsiri (sitral, eugenol), tanin, dan flavonoid (3). Sebuah
penelitian membuktikan bahwa daun salam berpotensi sebagai penolak nyamuk
karena mengandung bahan aktif yang bersifat menolak nyamuk yaitu senyawa
terpenoid, dengan daya tolak nyamuk ekstrak pada konsentrasi 40% yaitu 90,3 %,
konsentrasi 50% yaitu 94,3%,dan konsentrasi 60% yaitu 96,4% (4). Berdasarkan
hal tersebut di atas peneliti tertarik untuk membuat penelitian mengenai
pembuatan sediaan farmasetika khususnya losion repellent terhadap nyamuk yang
mengandung ekstrak daun salam.

A. Perumusan Masalah
Apakah ekstrak non polar daun salam (Syzygium polyanthum) dapat dibuat
menjadi sediaan losion anti nyamuk yang stabil secara fisik dan memiliki
efektivitas repellent terhadap nyamuk Aedes aegypti ?

B. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini yaitu :
1. Mengetahui komposisi losion ekstrak daun salam sebagai repellent nyamuk
Aedes aegypti.
2. Mengetahui efektivitas losion ektrak daun salam sebagai repellent nyamuk
Aedes aegypti.
3. Mengetahui pengaruh konsentrasi ekstrak daun salam yang efektif sebagai
repellent nyamuk Aedes aegypti.

C. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini diharapkan
1. Sebagai ilmu pengetahuan untuk masyarakat dalam memanfaatkan tanaman
insektisida alami dalam bentuk losion yang aman.
2. Memanfaatkan tanaman biofarmaka yaitu daun salam dalam bentuk produk
losion anti nyamuk sehingga dapat mencegah meningkatnya demam
berdarah.
4

3. Sebagai tambahan wawasan pengetahuan tentang daun salam yang dapat


digunakan untuk mengusir nyamuk secara alami.

D. Hipotesis
Ekstrak non polar daun salam (Syzygium polyanthum) dapat dibuat menjadi
sediaan losion anti nyamuk yang stabil secara fisik dan memiliki efektivitas
repellent terhadap nyamuk Aedes aegypti
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tumbuhan Salam (Syzygium polyanthum)


Salam adalah nama tumbuhan yang merupakan penghasil rempah dan
merupakan salah satu tanaman obat di Indonesia. Tumbuhan salam merupakan
tumbuhan yang banyak ditanam untuk menghasilkan daunnya (3).

Daun salam muda

Daun salam tua


Gambar 1.1 Daun salam muda dan tua
Beberapa nama yang dimiliki oleh tumbuhan ini yaitu manting (Jawa), dan
gowok (Sunda). Nama ilmiah dari tumbuhan ini yaitu Syzygium polyanthum
(Wight.) Walp atau Eugenia polyantha Wight.

1. Klasifikasi tumbuhan salam


Adapun klasifikasi tumbuhan salam menurut sebagai berikut(4):
Kingdom : Plantae
Superdivisi : Spermatophyta
Class : Dicotyledoneae
Order : Myrtales
Family : Myrtaceae
Genus : Syzygium
Species : Syzygium polyanthum (Wight.) Walp
6

2. Marfologi tumbuhan salam


Tumbuhan Salam tumbuh di ketinggian 5 m sampai 1.000 m di atas permukaan
laut. Pohon salam dapat tumbuh di dataran rendah sampai pegunungan dengan
ketinggian 1.800 m (3). Tumbuhan salam termasuk dalam tumbuhan menahun
atau tumbuhan keras karena dapat mencapai umur bertahun-tahun. Tumbuhan
salam merupakan pohon atau perdu. Memiliki tinggi berkisar antara 18 m hingga
27 m dan biasanya tumbuh liar di hutan. Arah tumbuh batang tegak lurus dengan
bentuk batang bulat dan permukaan yang beralur, batangnya berkayu biasanya
keras dan kuat. Cara percabangan batangnya monopodial, batang pokok selalu
tampak jelas. Memiliki arah tumbuh cabang yang tegak (8). Bunga tumbuhan
salam kebanyakan adalah bunga banci dengan kelopak dan mahkota masing-
masing terdiri atas 4-5 daun kelopak dan jumlah daun mahkota yang sama,
kadang-kadang berlekatan. Bunganya memiliki banyak benang sari, kadang-
kadang berkelopak berhadapan dengan daun-daun mahkota. Tangkai sari
berwarna cerah, yang kadang-kadang menjadi bagian bunga. Bakal buah
tenggelam dan mempunyai 1 tangkai putik, beruang 1 sampai banyak, dengan 1-8
bakal biji dalam tiap ruang. Biji memiliki sedikit atau tanpa endosperm, lembaga
lurus, bengkok atau melingkar(4).
Daun salam memiliki bentuk daun yang lonjong sampai elip atau bundar telur
sungsang dengan pangkal lancip, sedangkan ujungnya lancip sampai tumpul
dengan panjang 50 mm sampai 150 mm, lebar 35 mm sampai 65 mm, dan
terdapat 6 sampai 10 urat daun lateral. Panjang tangkai daun 5 mm sampai 12 mm
. Daun salam merupakan daun tunggal yang letaknya berhadapan. Permukaan
daunnya licin dan berwarna hijau muda dan jika diremas berbau harum.
Tumbuhan salam memiliki bunga majemuk yang tersusun dalam malai yang
keluar dari ujung ranting, berwarna putih dan baunya harum. Buahnya termasuk
buah buni dengan diameter 8-9 mm. Buah yang masih muda berwarna hijau dan
setelah masak menjadi merah gelap, memiliki rasa agak sepat(4).

2. Kandungan kimia daun salam


Tumbuhan salam memilki kandungan metabolit sekunder terutama pada
bagian daun. Daun salam mengandung minyak atsiri (sitral, eugenol), tanin, dan
7

flavonoid. Senyawa flavonoid dapat menghambat transportasi asam amino leusin


dan bersifat toksisitas terhadap serangga. Salah satu golongan flavonoid yaitu
rotenon, mempunyai efek mematikan pada serangga. Aktivitas biologi minyak
atsiri terhadap serangga dapat bersifat menolak (repellent), menarik (attractant),
racun kontak (toxic), racun pernafasan (fumigant), mengurangi nafsu makan
(antifeedant), menghambat peletakan telur (oviposition deterrent), menghambat
petumbuhan, menurunkan fertilitas, serta sebagai antiserangga vektor. Sedangkan
senyawa tanin memiliki rasa yang pahit sehingga dapat menyebabkan mekanisme
penghambatan makan pada serangga. Selain itu senyawa tanin berpengaruh pada
serangga dalam hal oviposisi. Daun salam mengandung minyak atsiri dan
terpenoid dari jenis seskuiterpen dan triterpen. Senyawa golongan terpenoid
diduga yang berperan sebagai penolak nyamuk. Terpenoid diketahui senyawa
yang memiliki bau dan mudah menguap (3).
a. Tanin
Tanin merupakan senyawa umum yang terdapat dalam tumbuhan
berpembuluh, memiliki gugus fenol, memilki rasa sepat dan mampu menyamak
kulit karena kemampuannya menyambung silang protein. Jika bereaksi dengan
protein membentuk kopolimer mantap yang tidak larut dalam air. Tanin secara
kimia dikelompokkan menjadi dua golongan yaitu tannin terkondensasi dan tanin
terhidrolisis.
Tanin terkondensasi atau flavolan secara biosintesis dapat dianggap terbentuk
dengan cara kondensasi katekin tunggal yang membentuk senyawa dimer dan
kemudian oligomer yang lebih tinggi. Tanin terhidrolisis mengandung ikatan ester
yang dapat terhidrolisis jika dididihkan dalam asam klorida encer . Uji tanin
dilakukan dengan cara melarutkan ekstrak sampel kedalam metanol sampai
sampel terendam semuanya. Kemudian ditambahkan 2-3 tetes larutan FeCl3 1%.
Hasil positif ditunjukkan dengan terbentuknya warna hitam kebiruan atau hijau
(5).
b. Terpenoid
Terpenoid merupakan komponen-komponen tumbuhan yang mempunyai bau
dan dapat diisolasi dari bahan nabati dengan penyulingan yang disebut minyak
atsiri. Minyak atsiri yang berasal dari bunga pada awalnya dikenal dari penentuan
8

struktur secara sederhana, yaitu dengan perbandingan atom hidrogen dan atom
karbon dari senyawa terpenoid yaitu 8:5 dan dengan perbandingan tersebut dapat
dikatakan bahwa senyawa tersebut adalah golongan terpenoid.Terpen adalah suatu
senyawa yang tersusun atas isoprene CH3-CH2-CH2-CH2-CH2-CH3 dan kerangka
karbonnya dibangun oleh penyambungan dua atau lebih satuan ini.
Terpenoid terdiri atas beberapa macam senyawa seperti monoterpen dan
seskuiterpen yang mudah menguap, diterpen yang sukar menguap, dan triterpen
dan sterol yang tidak menguap. Secara umum senyawa ini larut dalam lemak dan
terdapat dalam sitoplasma sel tumbuhan. Biasanya senyawa ini diekstraksi dengan
menggunakan petroleum eter, eter, atau kloroform. Steroid merupakan senyawa
triterpen yang terdapat dalam bentuk glikosida. Uji triterpenoid dilakukan dengan
cara Sebanyak 50-100 mg sampel tumbuhan yang telah dihaluskan, ditempatkan
pada plat tetes dan ditambahkan asam asetat anhidrat sampai sampel terendam
semuanya, dibiarkan selama kira-kira 15 menit, enam tetes larutan dipindahkan ke
dalam tabung reaksi dan ditambah 2-3 tetes asam sulfat pekat. Adanya
triterpenoid ditunjukkan dengan terjadinya warna merah jingga atau ungu,
sedangkan adanya steroid ditunjukkan dengan adanya warna biru(5).

2. Kegunaan Tumbuhan Salam


Bagian utama yang dimanfaatkan dari tumbuhan salam adalah daun, selain itu,
kulit batang, akar, dan buah juga berkhasiat sebagai obat. Daun salam dapat
digunakan untuk mengobati kolesterol tinggi, kencing manis, tekanan darah
tinggi, sakit maag, dan sebagai anti nyamuk (3).

B. Ekstrak Daun Salam


Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif
dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian
semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa
diperlakukan sedemikian rupa sehigga memenuhi baku yang telah ditetapkan(6).
1. Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum
mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain simplisia
9

merupakan bahan yang dikeringkan. Simplisia dapat berupa simplisia nabati,


simplisia hewani dan simplisia pelican atau mineral (6).
a. Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman
atau eksudat tanaman. Eksudat tanaman ialah isi sel yang secara spontan keluar
dari selnya atau zat-zat nabati lainya yang dengan cara tertentu dipisahkan dari
tanamannya.
b. Simplisia hewani adalah simplisia yang berupa hewan utuh, bagian hewan atau
hewan atau zat yang berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat
kimia murni
c. Simplisia pelican atau mineral adalah simplisia yang berupa bahan pelican atau
mineral yang belum diolah atau telah diolah dengen cara sederhana dan berupa zat
kimia murni
2. Pengelolaan Simplisia
Proses awal pembuatan ekstrak adalah tahapan pembuatan serbuk simplisia
kering (penyerbukan). Untuk menghasilkan simplisia yang bermutu dan terhindar
dari cemaran industri obat tradisional dalam mengelola simplisia sebagai bahan
baku pada umumnya melakukan tahapan kegiatan berikut ini:
a. Pengumpulan Bahan Baku
Kadar senyawa aktif dalarn suatu simplisia berbeda-beda antara lain tergantung
pada (7):
1). Bagian tanaman yang digunakan
2). Umur tanaman atau bagian tanaman pada saat panen
3). Waktu panen
4). Lingkungan tempat tumbuh.
Tanaman yang pada saat panen diambil daun yang telah tua, daun yang diambil
dipilih dan terletak dibagian cabang atau batang yang menerima sinar matahari
sempurna. Pada daun tersebut terjadi kegiatan asimilasi(7). Daun salam yang akan
diambil adalah daun yang terletak diantara daun muda dan daun tua, karena telah
mengalami proses asimilasi dan mengandung banyak metabolit sekunder.
Pengambilan daun tidak pada daun yang sudah tua karena dikhawatirkan
mengandung sedikit senyawa metabolit sekundernya dan tidak juga menggunakan
daun yang masih muda karena belum mengalami proses asimilasi.
10

b. Sortasi Basah
Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan
asing lainnya dari bahan simplisia. Misalnya simplisia yang dibuat dari akar suatu
tanaman obat, bahan-bahan asing seperti tanah, kerikil, rumput, batang, daun, akar
yang telah rusakserta pengotoran lainnya harus dibuang. Tanah yang
mengandung bermacam-macam mikroba dalam jumlah yang tinggi. Oleh karena
itu pembersihan simplisia dari tanah dapat mengurangi jumlah mikroba awal(7).
c. Pencucian
Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotor lainnya yang
melekat pada bahan simplisia. Pencucian dilakukan dengan air bersih dan
mengalir misalnya: air dari mata air, air sumur, air PAM. Pencucian sayur-sayuran
satu kali dapat menghilangkan 25% dari jumlah mikroba awal, jika dilakukan
pencucian sebanyak tiga kali, jumlah mikroba yang tertinggal hanya 42% dari
jumlah mikroba awal. Pencucian tidak dapat membersihkan simplisia dari semua
mikroba karena air pencucian yang digunakan biasanya mengandung juga
sejumlah mikroba(5).
d. Perajangan
Beberapa jenis bahan simplisia perlu mengalami perajangan bahan simplisia
dilakukan untuk memperoleh proses pengeringan, pengepakan, dan penggilingan.
Semakin tipis bahan yang akan dikeringkan maka akan semakin cepat penguapan
air, sehingga mempercepat waktu pengeringan. Akan tetapi irisan yang terlalu
tipis juga dapat menyebabkan berkurangnya zat berkhasiat yang mudah menguap,
sehingga mempengaruhi komposisi, bau, dan rasa yang diinginkan (5).
e. Pengeringan
Tujuan pengeringan yaitu untuk mendapatkan simplisia yang tidak mudah
rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lama. Dengan mengurangi
kadar air dan menghentikan reaksi enzimatik akan dicegah penurunan mutu atau
perusakan simplisia. Air yang masih tersisa dalam simplisia pada kadar tertentu
dapat merupakan media pertumbuhan kapang dan jasad renik lainnya. Proses
pengeringan sudah dapat menghentikan proses enzimatik dalam sel bila kadar
airnya dapat mencapai kurang dari 10%. Hal-hal yang perlu diperhatikan selama
11

proses pengeringan adalah suhu pengeringan, kelembaban udara, aliran udara,


waktu pengeringan, dan luas permukaan bahan (5).
Suhu yang terbaik pada pengeringan adalah tidak melebihi 60 oC, tetapi bahan
aktif yang tidak tahan pemanasan atau mudah menguap harus dikeringkan pada
suhu serendah mungkin, misalnya 30oC-45oC. Terdapat dua cara pengeringan
yaitu pengeringan alamiah (dengan sinar matahari langsung atau dengan diangin-
anginkan) dan pengeringan buatan (menggunakan instrumen)(5).
f. Sortasi Kering
Sortasi setelah pengeringan sebenarnya merupakan tahap akhir pembuatan
simplisia. Tujuan sortasi adalah untuk memisahkan benda-benda asing seperti
bagian-bagian tanaman yang tidak diinginkan dan pengotoran-pengotoran lainnya
yang masih ada dan tertinggal pada simplisia kering. Pada simplisia bentuk
rimpang, sering jumlah akar yang melekat pada rimpang terlalu besar dan harus
dibuang. Demikian pula adanya partikel-partikel pasir, besi, dan benda-benda
tanah lain yang tertinggal harus dibuang sebelum simplisia dibungkus(5).
g. Penyimpanan
Setelah tahap pengeringan dan sortasi kering selesai maka simplisia perlu
ditempatkan dalam suatu wadah tersendiri agar tidak saling bercampur antara
simplisia satu dengan yang lainnya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi
pengepakan dan penyimpanan simplisia adalah cahaya, oksigen atau sirkulasi
udara, reaksi kimia yang terjadi antara kandungan aktif tanaman dengan
wadah,penyerapan air, kemungkinan terjadinya proses dehidrasi, pengotoran atau
pencemaran, baik yang diakibatan oleh serangga, kapang, atau lainnya(5).Untuk
persyaratan wadah yang akan digunakan sebagai pembungkus simplisia adalah
harus inert, artinya tidak mudah bereaksi dengan bahan lain, tidak beracun,
mampu melindungi bahan dari cemaran mikroba, kotoran, serangga, penguapan
kandungan aktif serta dari pengaruh cahaya, oksigen dan uap air (5).
12

Tabel 1.1 Kelebihan dan kekurangan simplisia

No Kelebihan Kekurangan

1. Semakin halus serbuk simplisia, proses ekstraksi Semakin halus serbuk, maka semakin rumit
makin efisien-efektif. secara teknologi peralatan untuk tahapan
filtrasi.
2. Siap dipakai untuk diseduh sebelum diminum Selama penggunaan peralatan proses
(jamu). penyerbukan dimana ada gerakan atau
interaksi dengan benda keras (logam, dll)
dapat mempengaruhi senyawa kandungan
3. Siap dicacah atau digodok sebagai jamu godokan Kadar air simplisia yang disimpan perlu
diperhatikan dan dijaga. Kadar air simplisia
yang tinggi pada simplisia dapat
memungkinkan tumbuhnya kapang atau
mikroorganisrne lain pada simplisia.
4. Diproses selanjutnya untuk dijadikan produk Simplisia yang mudah menyerap uap air
sediaan farmasi lain yang umumnya melalui proses udara perlu dibungkus rapat untuk
ekstraksi, separasi, dan pemurnian, yaitu menjadi mencegah terjadinya penyerapan
ekstrak, fraksi, atau bahan isolat murni. kelembaban.

3. Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperolah dengan mengekstraksi senyawa
aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang
sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau
serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang
ditetapkan (8). Ekstrak tumbuhan pada umumnya memiliki konsentrasi yang
berbeda-beda.
Ekstrak dapat dikelompokan atas dasar sifatnya menjadi (6) :
a). Ekstrak encer (Extractum tenue), ekstrak ini memiliki konsistensi yang masih
dapat dituang.
b). Ekstrak kental (Ekstractum spisum), ekstrak ini liat dalam keadaan dingin dan
sulit dituang. Kandungan airnya berjumlah sampai 30%.
c). Ekstrak Kering (Ekstractum siccum), esktrak ini memiliki konsentrasi kering
dan mudah digosokkan.
13

d). Ekstrak cair (Extractum fluidum), dalam hal ini diartikan sebagai ekstrak cair
yang dibuat sedemikian rupa sehingga 1 bagian simplisia sesuai dengan 2 bagian
(terkadang juga satu bagian) ekstrak cair.
N-heksana adalah senyawa dengan rumus kimia C 6H14 yang merupakan
hidrokarbon yang banyak digunakan sebagai pelarut organik yang memiliki sifat
mudah menguap. "n" pada n-heksana mengandung arti normal yang artinya rantai
hidrokarbonnya lurus atau linier yang dituliskan CH 3-CH2-CH2-CH2-CH2-CH3.
Hal ini dikarenakan n-heksana yang merupakan pelarut nonpolar akan
mengekstrak senyawa terpenoid pada daun salam merupakan senyawa nonpolar.
n-heksana banyak dipilih untuk proses pengekstrakan bahan alam yang akan
diambil senyawa non polarnya karena n-heksana dan relatif aman karena tidak
mengiritasi kulit dan tingkat toksisitasnya relatif rendah. Namun, n-heksana akan
mudah terbakar (flammable) jika n-heksana diletakkan di dekat api karena titik
didih n-heksana yang rendah yaitu 69 °C.
4. Ekstraksi
Ekstraksi suatu tanaman obat adalah pemisahan secara kimia atau fisika suatu
bahan padat atau bahan cair dari suatu padatan yaitu tanaman obat (9). Maserasi
berasal dari bahasa latin macerase berarti mengairi dan melunakan. Maserasi
merupakan cara ekstraksi yang paling sederhana. Dasar dari maserasi adalah
melarutnya bahan kandungan simplisia dari sel yang rusak yang terbentuk pada
saat penghalusan ekstraksi (difusi) bahan kandungan dari sel yang masih utuh.
Setelah selesai waktu maserasi, artinya keseimbangan antara bahan yang
diekstraksi pada bagian dalam sel dengan yang masuk ke dalam cairan telah
tercapai, proses difusi segera berakhir (9). Selama maserasi atau proses
perendaman dilakukan pengocokan berulangulang, upaya pengocokan ini dapat
menjamin keseimbangan konsentrasi bahan ekstraksi yang lebih cepat di dalam
cairan. Sedangkan keadaan diam selama maserasi menyebabkan turunnya
memungkinkan terjadinya ekstraksi absolute. Semakin besar perbandingan
simplisia terhadap cairan pengekstraksi, akan semakin banyak hasil yang
diperoleh (9). Secara teknologi maserasi termasuk ekstraksi dengan prinsip
metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi dilakukan dengan
beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruang atau kamar(9).
14

Pemilihan metode ekstrak yang cocok tergantung pada pekerjaan yang akan
dilakukan dan metabolit apakah yang ingin diketahui.
Tabel 1.2 Sifat-sifat pelarut
Konstanta Berat Jenis
Pelarut Indeks Kepolaran Titik Didih (ºC)
Dielektrik (g/ml)
Air 9,0 100 80 1,000
Etanol 5,2 79 30 0,789
Metanol 5,1 65 33 0,791
Kloroform 4,1 61 4,8 1,498
N-heksan 0,0 69 2,0 0,655
Aseton 5,1 56 21 0,786

Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut ada dua cara, diantaranya


adalah:
1. Cara Dingin
a). Maserasi
Istilah maserasi berasal dari bahasa Latin macerace, yang artinya “merendam”.
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia yang sederhana dan banyak
digunakan, melibatkan perendaman serbuk simplisia pada pelarut yang cocok
dalam wadah tertutup pada suhu ruang. Wadah tertutup sangat penting untuk
mencegah pengupan pelarut yang digunakan sebagai penyari. Metode maserasi
cocok untuk ekstraksi dalam jumlah besar. Pengadukan sesekali atau konstan
(menggunakan shaker mekanik atau mixer untuk menjamin pencampuran yang
homogen) dapat meningkatkan kecepatan ekstraksi. Ekstraksi akhirnya berhenti
ketika diperoleh keseimbangan antara konsentrasi metabolit dalam ekstrak dan
dalam bahan tanaman. Maserasi biasanya dilakukan dalam waktu selama 3 hari
sampai bahan-bahan yang larut telah melarut semua. Setelah ekstraksi, residu
yang tidak mengandung zat aktif lagi harus dipisahkan dari pelarut. Hal ini
melibatkan penjernihan kasar dengan dekantasi, yang biasanya diikuti dengan
tahap filtrasi. Sentrifugasi mungkin diperlukan jika serbuk terlalu halus untuk
disaring. Untuk memastikan ekstrak yang menyeluruh, dapat dilakukan maserasi
awal, diikuti dengan penjernihan dan penambahan pelarut baru kedalam residu.
Hal tersebut dapat dilakukan secara berkala dengan semua filtrat dikumpulkan
menjadi satu (10).
15

Kerugian utama dari maserasi adalah proses ekstraksi yang sangat lama mulai
dari beberapa jam hingga beberapa minggu. Maserasi yang menyeluruh juga dapat
membutuhkan pelarut dalam jumlah besar. Selain itu beberapa senyawa tidak
dapat diekstraksi secara efisien jika senyawa tersebut sukar larut pada suhu
ruangan. Disisi lain, maserasi dilakukan pada suhu ruangan untuk mencegah
terjadinya degradasi pada senyawa yang bersifat termolabil (10).
b). Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna
yang umumnya dilakukan dengan temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan
pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya
(penetasan atau penampungan ekstrak), terus-menerus hingga diperoleh ekstrak
(perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan . Terdapat beberapa persoalan untuk
dipertimbangkan ketika melakukan ekstraksi dengan perkolasi. Banyaknya bahan
adalah alasan yang dapat mempengaruhi hasil ekstrak. Oleh karena itu, serbuk
tanaman dan bahan seperti resi dan tanaman yang mengembang secara berlebihan
(misalnya tanaman yang mengandung mucilago) dapat menyumbat percolator.
Selanjutnya jika bahan tersebut tidak didistribusikan secara homogen dalam
wadah (misalnya jika dikemas terlalu padat), pelarut tidak dapat mencapai semua
area dan ekstraksi tidak akan selesai. Waktu kontak antara pelarut dan bahan
tanaman (yaitu laju perkolasi) dan suhu pelarut juga dapat mempengaruhi hasil
ekstrak. Suhu yang lebih tinggi akan meningkatkan kecepatan ekstraksi namun
dapat menyebabkan terjadinya dekomposisi pada metabolit yang bersifat
termolabil. Kelemahan lain dari perkolasi adalah proses ekstraksi butuh pelarut
dalam jumlah besar dan juga butuh waktu yang sangat lama (10).
2. Cara Panas
a). Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama
waktu tertentu dan jumlah pelarut yang terbatas yang relative konstan dengan
adanya pendinginan baik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu
pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstrasi sempurna (10).
16

b). Soxhlet
Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru umumnya
dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah
pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (10). Keuntungan utama
dari ekstraksi menggunakan soxhlet adalah bahwa ini merupakan proses yang
berkesinambungan. Ketika pelarut (yang penuh dengan metabolit yang dilarutkan)
dikosongkan ke dalam labu, pelarut baru dikentalkan ulang dan ekstraksi bahan
dalam tudung dilakukan terus-menerus. Hal tersebut membuat ekstraksi soxhlet
tidak memerlukan waktu dan pelarut yang banyak dibandingkan maserasi atau
perkolasi. Namun, kelemahan ekstraksi menggunakan soxhlet adalah bahwa
ekstrak terus dipanaskan pada titik didih pelarut yang digunakan, dan ini dapat
merusak senyawa yang bersifat termolabil dan atau memulai terbentuknya artefak
(11).
c). Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan terus menerus) pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum
dilakukan pada temperatur 40-500C (11).
d). Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana
infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 95-96 0C) selama
waktu tertentu yaitu 15-20 menit. (11)
e). Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (>30 menit) dan temperatur
sampai titik didih air (11).
17

Tabel 1.3 Kelebihan dan kekurangan cara dingin dan panas


Metode Kelebihan Kekurangan
Ekstraksi
Cara Dingin - Merupakan metode yang -Beberapa senyawa memiliki keterbatasan kelarutan
sederhana terhadap - - Pelarut pada suhu ruang.
- Kecilnya kemungkinan terjadi - Membutuhkan pelarut yang selalu baru
kerusakan pada senyawa.
- Sebagian besar senyawa dapat
terekstraksi

Cara Panas Pelarut yang digunakan tidak terlalu Kemungkinan bahan alam menjadi terurai karena
banyak. adanya proses pemanasan.

5. Pembuatan Ekstrak
Proses pembuatan ekstrak dapat dilakukan melalui langkah-langkah sebagai
berikut:
a. Pembuatan Ekstrak
Pembuatan ekstrak adalah tahapan pembuatan serbuk simplisia kering. Dari
simplisia dibuat serbuk simplisia tertentu sampai derajat kehalusan tertentu.
Proses ini dapat mempengaruhi mutu ekstrak karena makin halus serbuk
simplisia, proses ekstraksi makin efektif dan efisien. Namun makin halus serbuk,
maka makin rumit secara teknologi peralatan untuk tahapan filtrasi (11).
b. Pemisahan dan pemurnian
Tujuan dari tahapan ini adalah menghilangkan (memisahkan) senyawa yang
tidak dikehendaki semaksimal mungkin tanpa berpengaruh pada senyawa
kandungan yang dikehendaki, sehingga diperoleh ekstrak yang lebih murni.
Proses-proses pada tahapan ini adalah pengendapan, pemisahan dua cairan tak
bercampur, sentrifugasi, dekantasi, filtrasi serta proses absorbsi dan penukar ion
(11) .
c. Pemekatan atau penguapan
Pemekatan berarti pengingkatan jumlah partikel solute (senyawa terlarut)
dengan cara penguapan pelarut, tanpa sampai menjadi kondisi kering. Ekstrak
hanya menjadi kental atau pekat (11).
18

d. Pengeringan ekstrak
Pengeringan berarti menghilangkan pelarut dari bahan sehingga menghasilkan
serbuk, massa kering-rapuh, tergantung proses dan peralatan yang digunakan.
Beberapa cara proses pengeringan ekstrak adalah evaporasi, vaporasi, sublimasi,
konveksi, kontak, radiasi, dan dielektrik (11).
f. Rendemen
Rendemen adalah perbandingan antara ekstrak yang diperoleh dengan
simplisia awal (11).

C. Parameter – Parameter Standar Simplisia


Parameter-parametr standar simplisia terdiri dari parameter spesifik dan
parameter non spesifik (12).
1. Parameter spesifik simplisia
Penentuan parameter spesifik adalah aspek kandungan kimia kualitatif dan
aspek kuantitatif kadar senyawa kimia yang bertanggung jawab langsung terhadap
farmakologis tertentu. Parameter spesifik ekstrak meliputi :
a. Identifikasi (parameter identifikasi ekstrak).
Deskripsi tata nama, nama simplisia, nama lain tumbuhan (sistematik botani),
bagian tanaman yang digunakan (rimpang, daun dan sebagainya) dan nama
indonesia tumbuhan (11).
b. Organoleptis
Parameter organoleptis simplisia meliputi penggunaan panca indra
mendekipsikan bentuk, warna, bau dan rasa guna pengenal awal yang sederhana
seobjektif mungkin .
c. Senyawa terlarut dalam pelarut tertentu
Melarutkan simplisia dengan pelarut (alkohol/air) untuk di tentukan jumlah
larutan yang identik dengan jumlah senyawa kandungan secara gravimetrik.
Dalam hal ini tentu dapat diukur senyawa terlarut dalam pelarut lain misalnya
heksan, diklorometan dan metanol. Tujuannya untuk memberikan gambaran awal
jumlah kandungan (11).
19

2. Parameter non spesifik simplisia


Penentuan parameter non spesifik simplisiameliput
a. Kadar air
Parameter kadar air adalah pengukuran kandungan air yang berada didalam
bahan yang bertujuan untuk memberikan batasan minimal atau rentang besarnya
kandungan air dalam bahan (13).
b. Kadar abu
Parameter kadar abu adalah bahan dipanaskan pada temperatur dimana
senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap. Sehinggaa unsur
mineral dan anorganik yang memberikan gambaran kandungan mineral internal
dan eksternal yang berasal proses awal sampai terbentuknya ekstrak. Parameter
kadar abu ini terkait dengan kemurnian dan kontaminasi ekstrak (13).
c. Kadar abu tidak larut dalam asam
Parameter kadar abu tidak larut asam yaitu hasil dari kadar abu kemudian
dilarutkan dengan pelarut yang bersifat asam. Lalu amati kelarutannya (14).
Tabel 1.4 Persentase Minimal Parameter Non Spesifik Simplisia (15) .
Parameter Persentase Minimal
Kadar Air ≤ 10%
Kadar Abu Total ≤5%

Kadar Abu Tidak Larut Asam ≤ 0,9%

D. Losion
Definisi losion menurut Farmakope Indonesia III adalah sediaan cair berupa
suspensi atau dispersi, digunakan sebagai obat luar. Losion dapat berbentuk zat
padat dalam bentuk sebuk halus dengan bahan pensuspensi yang cocok atau
emulsi tipe minyak dalam air dengan surfaktan yang cocok.
Pada umumnya pembawa losion adalah air. Tergantung pada sifat bahan-
bahannya, losion dapat diolah dengan cara yang sama seperti pada pembuatan
suspensi ataupun emulsi. Losion dimaksudkan untuk digunakan pada kulit sebagai
pelindung atau untuk obat karena sifat bahan-bahannya. Kecairannya
memungkinkan pemakaian yang merata dan cepat pada permukaan kulit yang
luas. Bentuk sediaan losion dimaksudkan agar segera kering pada kulit setelah
pemakaian dan meninggalkan lapisan tipis komponen obat pada kulit (6).
20

1. Bahan-bahan pembentuk losion


Tabel 1.5 Formulasi Dasar

Formula Lotion base Keterangan

R/ 3% Pelembut
Amerchol L 101
Solulan 98 2% Pengemulsi
Asam stearat 4% Barrier
Ceresin 1% Stabilizer
Paraffin 0,3% Pelembut
Arlacel 165 4% Pengelmulsi
Veegum 0,5% Pengental
Propylene glycol 5% Pelembab
Water 80,2 % Pelarut
Parfume and
q.s
preservative

Sumber : Cosmeticand Toiletry of Formulations, volume I hal 522


Bahan yang biasa terdapat pada formula losion adalah (16) :
a. Barrier agent (pelindung) Berfungsi sebagai pelindung kulit dan juga ikut
mengurangi dehidrasi. Contoh : Asam stearat, Bentonit, Seng oksida, Titanium
oksida, Dimetikon.
b. Emollient (pelembut) Berfungsi sebagai pelembut kulit sehingga kulit memiliki
kelenturan pada permukaannya dan memperlambat hilangnya air pada permukaan
kulit. Contoh : Lanolin, paraffin, Stearil alkohol, vaselin.
c. Humectan (pelembab) Bahan yang berfungsi mengatur kadar air atau
kelembaban pada sediaan losion itu sendiri maupun setelah dipakai pada kulit.
Contoh : Gliserin, Propilen glikol, Sorbitol.
d. Pengental dan pembentuk film Berfungsi mengentalkan sediaan sehingga dapat
menyebar lebih halus dan lekat pada kulit disamping itu juga berfungsi sebagai
stabilizer. Contoh : Setil alkohol, Karbopol, Vegum, Tragakan, Gum, Gliseril
monostearat.
e. Emulsifier (zat pembentuk emulsi) Berfungsi menurunkan tegangan permukaan
antara minyak dan air, sehingga minyak dapat bersatu dengan air. Contoh :
Trietanolamin, Asam stearat, Setil alcohol,
f. Buffer (Larutan dapar) Berfungsi untuk mengatur atau menyesuaikan pH losion
agar sesuai dengan pH kulit. Contoh : Asam sitrat, Asam laktat, Natrium sitrat.
21

2. Losion bentuk emulsi


Sebagian besar sediaan kosmetik yang beredar adalah sistem minyak dalam air,
karena mudah menyebar pada permukaan kulit. Dengan pemilihan komponen
formula yang tepat, akan diperoleh emulsi yang tidak berlemak dan tidak lengket.
Emulsi adalah sediaan berupa campuran yang terdiri dari dua fase cairan dalam
sistem dispersi, fase cairan yang satu terdispersi sangat halus dan homogen dalam
fase cairan yang lain, umumnya distabilkan dengan zat pengemulsi. Fase cairan
terdispersi disebut fase dalam dan fase cairan pembawa disebut fase luar. Bila fase
dalam berupa minyak atau larutan zat dalam minyak dan fase luarnya air atau
larutan air maka emulsi mempunyai tipe minyak dalam air (M/A). Sedangkan
apabila fase dalam adalah air atau larutan air dan fase luarnya minyak atau larutan
minyak maka tipe emulsinya adalah air dalam minyak (A/M) (16). Zat pengemulsi
dibedakan menjadi tiga golongan yaitu, surfaktan, koloid hidrofilik dan zat padat
yang terbagi halus. Surfaktan dibagi menjadi empat golongan, yaitu :
a. Emulgator anionik
Emulgator anionik dalam larutan air terdisosiasi membentuk ion negatif.
Emulgator ini digunakan untuk obat yang memerlukan pH basa. Keuntungan dari
emulgator anionik ini yaitu kerja emulgatornya lebih kuat daripada sabun alkali
sehingga diperoleh dispersi halus dan emulsi yang stabil, juga menunjukkan
reaksi mendekati netral. Contoh : trietanolamin, natrium lauril sulfat.
b. Emulgator kationik
Emulgator kationik dalam larutan air terdisosiasi membentuk ion positif.
Pengemulsi ini dipilih untuk obat yang memerlukan pH asam. Contoh :
benzalkonium bromida, setrimid, setil peridium klorida.
c. Emulgator nonionik
Pengemulsi ini bereaksi netral, dalam medium air tidak membentuk ion,
sehingga tidak dipengaruhi oleh elektrolit dan netral terhadap pengaruh kimia.
Emulgator nonionik dapat bercampur dengan sebagian besar bahan obat. Contoh :
tween, span, gliserol monostearat.
d. Emulgator amfoter
22

Emulgator amfoter adalah senyawa kimia yang menunjukkan bagian kationik


dan anionik dalam molekulnya, berada terionisasi dalam larutan air. Contoh :
betain derivat imidazol. Kondisi lingkungan seperti adanya cahaya, udara dan
kontaminasi mikroorganisme dapat memberikan efek yang mengubah stabilitas
emulsi. Oleh karena itu harus dilakukan formulasi yang sesuai guna mengurangi
kerusakan stabilitas produk dengan cara penambahan bahan-bahan tambahan lain.
Bahan tambahan yang diperlukan dalam formulasi losion antara lain : bahan
pengawet, antioksidan dan humektan. Penambahan bahan pengawet bertujuan
untuk mencegah kontaminasi mikroba, karena adanya suatu campuran lemak dan
air yang bersentuhan seringkali memungkinkan mikroorganisme menetap.
Pemilihan bahan pengawet berdasarkan pertimbangan sebagai berikut : efektif
dalam mencegah pertumbuhan mikroba, dapat larut dalam air untuk mencapai
konsentrasi yang memadai dalam fase air, dapat bercampur dengan bahan
formulatif lain, toksisitas rendah, stabil pada pemanasan dan penyimpanan, tidak
dipengaruhi oleh wadah. Contoh pengawet yang biasa dipakai dalam sediaan
losion antara lain adalah asam benzoat, nipagin, nipasol, fenol dan lain-lain. (17)

3. Monografi
a. Asam stearat
Asam stearat merupakan campuran dari asam stearat (C8H36O2) dan asam
palmitat (C16H32O2) diperoleh dari lemak dan minyak yang dapat dimakan,
mengandung tidak kurang dari 40% dan jumlah keduanya tidak kurang dari 90%.
Sinonim : Crodasid; crosterene; glycon S-90; hystrene. Pemerian : Hablur padat,
serbuk warna putih atau kekuningan mirip lemak lilin, bau dan rasa lemah mirip
lemak Rumus molekul :C16H32O2 Bobot molekul : 284,47 Kelarutan : Praktis tidak
larut dalam air, mudah larut dalam kloroform P dan eter P, larut dalam etanol
(95%) Kegunaan : Pengemulsi, solubilisator, pelincir tablet (18)
b. Lanolin
Sinonim (adeps lanae; cera lanae; lanolina; lanolin anhidrat; Protalan anhidrat;
lanolin murni; lemak wol halus.) lanolin sebagai substansi mirip lilin yang
dimurnikan diperoleh dari wol domba, Ovis ariesLinne (Fam.Bovidae), yang telah
dibersihkan, tidak berwarna, dan tidak berbau. Kegunaan; pelembut, Agen
23

pengemulsi; dasar salep. Lanolin banyak digunakan dalam formulasi farmasi


opikal dan kosmetik.Lanolin adalah zat berwarna kuning pucat, tidak berbahaya,
berlilin, bau khas. (18)
c. Magnesium Aluminium Silikat (Veegum )
Sinonim; Aluminii magnesii silicas; asam aluminosilikat, garam
magnesium;aluminium magnesium silikat; Carrisorb; Gelsorb; Magnabrite;
magnesium aluminosilikat; magnesium aluminium silikat, koloid; magnesium
aluminium silikat, Magnesium aluminium silikat adalah kompleks polimer
magnesium, aluminium, silikon, oksigen, dan air. Kegunaan sebagai Adsorben;
zat penstabil; agen suspensi; tablet dan kapsul disintegrant; pengikat tablet; agen
penambah viskositas. Magnesium aluminium silikat telah digunakan selama
bertahun-tahun diformulasi tablet, salep, dan krim. formulasi topikal sebagai zat
pensuspensi dan penstabil sendiri atau dalam kombinasi dengan agen suspensi
lainnya.(18)
d. Ceresin
Sinonim (Cera mineralis alba; ceresine; lilin seresin; lilin ceresin; cerin;cerosin
;lilin mineral; ozokerite murni; Ross Ceresine Wax;lilin ceresin putih; lilin
ozokerite putih. Ceresin adalah lilin mineral yang terdiri dari berbagai macam
kompleks rantai panjang, berat molekul tinggi, jenuh dan tidak jenuh hidrokarbon,
mulai dari C20 hingga C32. Ceresin digunakan sebagai zat pengaku pada krim dan
salep,dan sebagai penstabil emulsi, zat pengontrol viskositas, dan pengental dalam
pelindung farmasi, topikal, dan vagina krim. Ceresin sering digunakan sebagai
pengganti lilin ozokerite karena sifatnya sifat serupa, dan juga sebagai pengganti
lilin lebah dan paraffin lilin. Ini bertindak sebagai pengubah reologi pada
konsentrasi rendah (2-3%) dan memiliki kemampuan untuk membuat kristalit
yang sangat kecil, yang saling bertautan dan membangun struktur jaringan yang
tidak memungkinkan aliran masuk kondisi praktis. (18)
e. Propilenglikol
Pemerian : Cairan kental, jernih tidak berwarna, rasa khas, praktis tidak
berbau, menyerap air pada udara Rumus molekul : C3H8O2 Bobot molekul : 76.10
Kelarutan : Dapat bercampur dengan air, dengan aseton dan dengan kloroform,
larut dalam eter dan dalam beberapa minyak esensial tetapi tidak bercampur
24

dengan minyak lemak Kegunaan : Sebagai antimikroba, pelarut, pemanis,


humectan, plastizer, emollient (18).
f. PEG stearat
Stearate polyoxyethylene adalah serangkaian polyethoxylated turunan dari
asam stearat. Dari sejumlah besar bahan berbeda tersedia secara komersial, satu
jenis tercantum dalam. Sinonim Ester asam lemak teretoksilasi; stearates
macrogol; Marlosol;ester asam lemak; PEG menyatakan; polietilen glikol
stearat;poli (oxy-1,2-ethanediyl); stearat poli-oksietilen glikol. Polioksietilen
stearat adalah surfaktan nonionik yang diproduksi oleh polietoksilasi asam stearat
(18).
g. Parafin liquid
Pemerian : Cairan kental tidak berwarna, tembus cahaya, tidak berbau, tidak
berasa; agar berminyak Kelarutan : Tidak larut dalam air dan dalam etanol, mudah
larut dalam chloroform, dalam eter, dalam minyak menguap, dalam hampir semua
minyak lemak hangat, sukar larut dalam etanol mutlak Kegunaan : digunakan
sebagai emollient pada emulsi minyak dalam air. Konsentrasi yang biasa
digunakan pada sediaan emulsi topical 1 – 32% (18).
h. Polisorbate 80
Sorbitan monooleat merupakan jenis senyawa ester dan memiliki rumus kimia
C24H44O6. Pada temperatur ruang, sorbitan monooleat berupa cairan dengan warna
kuning terang. Dalam dunia perdagangan, sorbitan monooleat dikenal pula dengan
nama Polysorbates 80, Span 80 atau Tween 80. Sorbitan monooleat adalah
surfaktan nonionik dan pengemulsi yang merupakan turunan dari polietoksilat
sorbitan dan asam oleat, dan sering digunakan pada makanan. Gugus hidrofilik
dalam senyawa ini adalah polieter yang dikenal juga sebagai gugus polioxietilen
yang merupakan polimer dari etilen oksida. Dalam istilah polisorbat, angka yang
ditunjukkan pada polisorbat menunjukkan gugus lipofilik, dalam hal ini adalah
asam oleat. Sebagai bahan kimia surfaktan, kegunaan sorbitan monooleat yang
paling utama adalah sebagai emulsifier water in oil. Selain itu, sorbitan monooleat
juga digunakan sebagai bahan tambahan untuk makanan. Sorbitan monooleat ini
bersifat tidak larut dalam air dan larut dalam minyak, dan juga stabil pada suhu
tinggi serta tidak beracun (18).
25

E. Nyamuk Aedes aegypti


1. Aedes aegypti sebagai vektor Demam Berdarah Dengue (DBD)
Aedes aegypti merupakan jenis nyamuk yang dapat membawa virus dengue
penyebab penyakit demam berdarah. Penyebaran jenis ini sangat luas, meliputi
hampir semua daerah tropis di seluruh dunia. Aedes aegypti merupakan pembawa
utama (primary vector) dan bersama Aedes albopictus menciptakan siklus
persebaran dengue di desa-desa dan perkotaan (19).
Nyamuk ini berpotensi untuk menularkan penyakit demam berdarah dengue
(DBD). DBD adalah suatu penyakit yang ditandai dengan demam mendadak,
perdarahan baik di kulit maupun di bagian tubuh lainnya serta dapat menimbulkan
syok dan kematian. Penyakit DBD ini terutama menyerang anak-anak termasuk
bayi, meskipun sekarang proporsi penderita dewasa meningkat.Penyebab penyakit
demam berdarah ialah virus Dengue yang termasuk dalam genus Flavivirus,
famili Flaviviridae. Terdapat empat serotipe dari virus Dengue, yaitu DEN-1,
DEN-2, DEN-3, dan DEN-4, yang semuanya dapat menyebabkan DBD. Virus ini
ditularkan melalui gigitan nyamuk A. aegypti. Nyamuk betina terinfeksi melalui
pengisapan darah dari orang yang sakit. Tempat perindukan A. aegypti dapat
dibedakan atas tempat perindukan sementara, permanen, dan alamiah. Tempat
perindukan sementara terdiri dari berbagai macam tempat penampungan air (TPA)
yang dapat menampung genangan air bersih. Tempat perindukan permanen adalah
TPA untuk keperluan rumah tangga dan tempat perindukan alamiah berupa
genangan air pada pohon. (20)

2. Siklus hidup Aedes aegypti


Nyamuk A. aegypti mengalami metamorfosa sempurna, yaitu dari bentuk telur,
jentik, kepompong dan nyamuk dewasa. Stadium telur, jentik, dan kepompong
hidup di dalam air (aquatik), sedangkan nyamuk hidup secara teresterial (di udara
bebas). Pada umumnya telur akan menetas menjadi larva dalam waktu kira-kira 2
hari setelah telur terendam air.
Nyamuk betina meletakkan telur di dinding wadah di atas permukaan air dalam
keadaan menempel pada dinding perindukannya. Nyamuk betina setiap kali
bertelur dapat mengeluarkan telurnya sebanyak 100 butir. Fase aquatik
26

berlangsung selama 8-12 hari yaitu stadium jentik berlangsung 6-8hari, dan
stadium kepompong (pupa) berlangsung 2-4 hari. Pertumbuhanmulai dari telur
sampai menjadi nyamuk dewasa berlangsung selama 10-14 hari. Umur nyamuk
dapat mencapai 2-3 bulan.

Gambar 1.2 Siklus Hidup Aedes aegypti

3. Morfologi Aedes aegypti


a. Stadium telur
Menurut Herms telur nyamuk A. aegypti berbentuk ellips atau oval
memanjang, berwarna hitam, berukuran 0,5-0,8 mm, dan tidak memiliki alat
pelampung.
Nyamuk A. aegypti meletakkan telur-telurnya satu per satu pada permukaan
air, biasanya pada tepi air di tempat-tempat penampungan air bersih dan sedikit di
atas permukaan air. Nyamuk A. aegypti betina dapat menghasilkan hingga 100
27

telur apabila telah menghisap darah manusia. Telur pada tempat kering (tanpa air)
dapat bertahan sampai 6 bulan.
Telur-telur ini kemudian akan menetas menjadi jentik setelah sekitar 1-2 hari
terendam air . Telur diperkirakan memiliki berat 0,0010 - 0,015 mg. Telur tidak
memiliki pelampung. Pada permukaan luar dinding sel tersebar suatu struktur sel
yang disebut outer chorionic cell (21).

Gambar 1.3 Panjang telur Aedes aegypti (21).

Gambar 1.4 Struktur Micropyles (MP) dan Outer Chorionic Cell (OCC) pada Telur
Aedes aegypti (21).

Pada salah satu ujung telur terdapat poros yang disebut dengan micropyles.
Micropyles berfungsi sebagai tempat masuknya spermatozoid ke dalam telur
sehingga dapat terjadi pembuahan. Pada micropyles terdapat struktur-struktur
penting yang menunjang fungsinya tersebut, yaitu micropylar corolla, micropylar
disc,micropylar pore, micropylar ridge dan tooth-like tubercle (21).
28

Gambar 1.5 Struktur Penunjang Micropyles pada Telur Aedes aegypti.MPC,


micropylar corolla; MPD, micropylar disc; MPP,micropylar pore; MPR, micropylar
ridge; TC, central tubercle; TP, peripheral tubercle; TT, tooth-like tubercle (21).

Meskipun chorion telur nyamuk A. aegypti adalah struktur protein padat,


namun rentan terhadap pengeringan dan unresistant terhadap deterjen atau zat
pereduksi. Misalnya, ketika telur dipindahkan ke lingkungan yang sangat kering
segera setelah oviposisi, akan cepat terdehidrasi (22). Pada dasarnya semua
protein chorion akan terlarut ketika telur matang diletakkan dalam larutan yang
mengandung agen pereduksi kuat. Namun, dalam lingkungan yang lembab,
chorion akan menjadi sangat tahan terhadap kekeringan dalam waktu 2 jam
setelah oviposisi, sebuah proses yang disebut chorion hardening. Protein
merupakan komponen utama dalam chorion dan mereka menjadi tidak larut
setelah proses chorion hardening atau “pengerasan korion”. Hal ini kemungkinan
disebabkan oleh modifikasi struktural protein chorion yang mengarah ke
insolubilization (22). Studi ultrastruktur mengungkapkan bahwa ada dua lapisan
dalam chorion nyamuk A. aegypti, yaitu endochorion dan exochorion. Pada
nyamuk, endochorion adalah lapisan elektron padat homogen dan exochorion
terdiri dari lapisan pipih dengan tubecle menonjol (22).
Dalam waktu 1-2 jam setelah peletakan telur, lapisan endokorion akan berubah
dari lunak menjadi keras dan gelap serta kadang menjadi impermeable. Telur dari
nyamuk Aedes aegypti pada saat pertama kali diletakkan berwarna putih,
kemudian berubah menjadi gelap sampai hitam dalam waktu 12-24 jam.
Perubahan warna pada telur terjadi karena adanya lapisan endokorion yang
merupakan lapisan pelindung telur (22). Tubercle pada lapisan exochorion terdiri
dari tubercle central dan mtubercle perifer. Tubercle central dikelilingi oleh
29

turbercle perifer yang membentuk bidang heksagonal yang dihubungkan oleh


exochorionic network (21).

Gambar 1.6 Struktur Exochrionic Telur Aedes aegypti.TC, Central Tubercle; TP,
Peripheral Tubercle; EN,Exochorion Network (21).

b. Stadium larva (Jentik)


Menurut Herms, larva nyamuk Aedes aegypti mempunyai cirikhas memiliki
siphon yang pendek, besar dan berwarna hitam. Larva ini tubuhnya langsing,
bergerak sangat lincah, bersifat fototaksis negatif dan pada waktu istirahat
membentuk sudut hampir tegak lurus dengan permukaan air. Larva menuju ke
permukaan air dalam waktu kira-kira setiap ½-1 menit, guna mendapatkan
oksigen untuk bernapas. Larva nyamuk Aedes aegypti dapat berkembang selama
6-8 hari (23)
Berdasarkan data ada empat tingkat (instar) jentik sesuai dengan pertumbuhan
larva tersebut, yaitu: a. Larva instar I; berukuran paling kecil yaitu 1-2 mm atau
satu sampai dua hari setelah telur menetas, duri-duri (spinae) pada dada belum
jelas dan corong pernapasan pada siphon belum menghitam (24).

Gambar 1.7 Larva Instar I Aedes aegypti


30

b. Larva instar II; berukuran 2,5-3,5 mm berumur dua sampai tiga hari setelah
telur menetas, duri-duri dada belum jelas, corong pernapasan sudah mulai
menghitam (25).

ambar 1.8 Larva Instar II Aedes aegypti


c. Larva instar III; berukuran 4-5 mm berumur tiga sampai empat hari setelah telur
menetas, duri-duri dada mulai jelas dan corong pernapasan berwarna coklat
kehitaman (24).

Gambar 1.9 Larva Instar III Aedes aegypti


d. Larva instar IV; berukuran paling besar yaitu 5-6 mm berumur empat sampai
enam hari setelah telur menetas dengan warna kepala gelap (24).

Gambar 1.10 Larva Instar IV Aedes aegypti


c. Stadium Pupa
Pupa berbentuk koma, gerakan lambat, sering ada di permukaan air.Pada pupa
terdapat kantong udara yang terletak diantara bakal sayap nyamuk dewasa dan
terdapat sepasang sayap pengayuh yang saling menutupi sehingga memungkinkan
pupa untuk menyelam cepat dan mengadakan serangkaian jungkiran sebagai
reaksi terhadap rangsang. Bentuk nyamuk dewasa timbul setelah sobeknya
31

selongsong pupa oleh gelembung udara karena gerakan aktif pupa. Pupa bernafas
pada permukaan air melalui sepasang struktur seperti terompet yang kecil pada
toraks (26).

Gambar 1.11 Pupa Aedes aegypti


d. Nyamuk dewasa
Nyamuk Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil daripada ukuran nyamuk
rumah (Culex quinquefasciatus). Nyamuk Aedes aegypti dikenal dengan sebutan
black white mosquito atau tiger mosquito karena tubuhnya memiliki ciri yang
khas, yaitu dengan adanya garis-garis dan bercak-bercak putih keperakan di atas
dasar warna hitam. Sedangkan yang menjadi ciri khas utamanya adalah ada dua
garis lengkung yang berwarna putih keperakan di kedua sisi lateral dan dua buah
garis lengkung sejajar di garis median dari punggungnya yang berwarna dasar
hitam (lyre shaped marking) (27).

F. Rancangan Penelitian
1. Prinsip Penelitian
Penelitian ini Merupakan jenis penelitian eksperimental. Data yang
dikumpulkan berupa data kuantitatif dan kualitatif yang diambil dari pengukuran
uji repellent pada nyamuk Aedes aegypti dan uji kesetabilan fisik sediaan
(organoleptis, homogenitas, viskositas, pH, daya sebar, cycling test, sentrifugasi).
32

2. Variabel Penelitian
a. Variabel independent dalam penelitian ini yaitu : Konsenterasi ekstrak daun
salam yang digunakan dalam formulasi
b. Variabel dependent dalam penelitian ini yaitu : Kestabilan fisik losion
(organoleptis, homogenitas, uji pH, viskositas, uji daya sebar, uji stabilitas,
dan uji repellent nyamuk )

3. Definisi Operasional
1. Daun Salam
Daun Salam yang telah tua yang berwarna hijau tua.
2. Ekstrak daun salam
Ekstrak yang diperoleh dari hasil ekstraksi daun salam melalui proses rotary
evaporator
3. Varietas tumbuhan salam
Varietas tumbuhan salam yang diambil adalah varietas tumbuhan daun
salam jenis lokal.
4. Formula losion
Formula losion yang dimaksud adalah formula losion inti yang dapat dijadikan
pertimbangan bagi peneliti selanjutnya untuk divariasikan. Formula losion
diperoleh dari cosmetica and toiletry formulations, volume 1 hal 522.

4. Sampel Penelitian
Objek penelitian adalah daun salam yang sudah tua yang berwarna hijau tua
yang diambil di daerah komplek Rumah Sakit Jiwa Daerah Lampung.

5. Pengumpulan Data
Data diperoleh dari hasil perhitungan uji repellent sediaan dan sifat mutu
sediaan seperti organoleptis, homogenitas, viskositas, pH sediaan, daya sebar dan
stabilitas sediaan diolah secara deskriptif dan dinarasikan.
33

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu


Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam (FMIPA) Jurusan Farmasi Universitas Tulang Bawang,
Laboratorium Terpadu Universitas Lampung pada Bulan bulan September 2019
dan Laboratorium Rumah Sakit Jiwa Provinsi Lampung.

B. Alat dan bahan


1. Bahan
Bahan yang akan digunakan pada penelitian ini antara lain: Daun salam
(Syzygium polyanthum ) varietas lokal, n-heksana (pelarut simplisia), bahan
emulsi (asam stearat,arlacel 165), bahan penstabil (ceresin), bahan pelembut
(paraffin,lanolin), bahan pelembab (propylene glycol), bahan pengemulsi (solulan
98), bahan pengawet (propylene glycol), bahan pelarut (pelarut), bahan pengental
( veegum ).

2. Alat
Alat yang akan digunakan pada penelitian ini antara lain : Pisau, blander,
seperangkat alat maserasi, seperangkat alat rotary evaporator, pH meter , mortar,
stamper, kaca objek, timbangan gram kasar, analitycal balance, batang pengaduk,
penjepit kayu, pinset, erlenmeyer, corong, beker glass, sudip, kertas perkamen,
penangas air, seprangkat alat viskositas, alat setriguasi.

C. Prosedur Kerja
1. Pembuatan simplisia daun salam (Syzygium polyanthum)
Bahan baku daun salam (Syzygium polyanthum) sebanyak 3,5 Kg yang sudah
tua berwarna hijau tua dan masih segar dikumpulkan, dibuang bagian yang tidak
diperlukan (sortasi basah), dicuci bersih dibawah air mengalir, di rajang dan di
tiriskan. Daun salam selanjutnya dikeringkan dibawah matahari hingga kering,
34

tutup dengan kain gelap, s etelah simplisia kering dibuang benda-benda


asing atau pengotoran-pengotoran lain yang masih tertinggal pada simplisia
kering (sortasi kering), jadilah simplisia kering kemudian dihaluskan kemudian
siap di ekstraksi.

2. Pengujian parameter non spesifik simplisia daun salam


a. Kadar Air Simplisia Daun Salam ( tidak lebih dari 10% )
Masukan lebih kurang 10 gr simplisia dan timbang seksama dalam wadah yang
telah ditara. Keringkan pada suhu 105ºC selama 5 jam dan ditimbang. Lanjutkan
pengeringan dan timbang pada jarak 1 jam sampai perbedaan antara 2
penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 0,25% (12).

% kadar air = x 100%


b. Kadar Abu Total Simplisia Daun Salam ( tidak lebih dari 5%)
Lebih Kurang 2 g sampai 3 gr simplisia yang telah digerus dan ditimbang
seksama dimasukan kedalam krus silikat yang telah dipijarkan dan diratakan.
Pijarkan perlahan-lahan hingga arang habis, dinginkan, timbang. Jika cara ini
arang tidak dapat dihilangkan, tambahkan air panas, saring melalui kertas saring
bebas abu. Pijarkan sisa kertas dan kertas saring dalam krus yang sama. Masukan
filtrate kedalam krus, uapkan, pijarkan hingga bobot tetap, timbang. Hitung kadar
abu terhadap bahan yang telah dikeringkan diudara. Hitung kadar abu total
terhadap berat bahan uji, dinyatakan dalam % b/b ((12)).

% Berat abu total = X 100%

c. Penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam (tidak lebih dari 0,9%)
Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu total dididihkan dalam asam
klorida encer sebanyak 25 ml selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam
dikumpulkan, disaring melalui kertas saring bebas abu, dicuci dengan air panas,
lalu dipijar sampai bobot tetap, kemudian didinginkan dan ditimbang. Kadar abu
yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (12).
35

3. Pembuatan ekstrak
Timbang Sebanyak ±1,5 Kg serbuk simplisia daun salam diekstraksi dengan
metode maserasi (remaserasi 3 kali selama 3 hari) di dalam botol gelap bertutup
pada suhu kamar sambil sesekali diaduk. Maserasi dilakukan dengan
menggunakan pelarut N-heksan sampai diperoleh maserat jernih. ekstrak n-heksan
dipekatkan dengan cara menguapkan pelarutnya menggunakan rotary evaporator
pada suhu sekitar 400C hingga diperoleh ekstrak kental.

4. Pengujian fitokimia fraksi n-heksan daun salam


Tabel 1.6 Identifikasi Daun Salam
Nama
No Perlakuan Indentifiksi Pereaksi Hasil Keterangan
senyawa
Bau Warna
1 Flavonoid Ektrak kental 0,1 gr + 10 ml 2. NaoH Terjadi perubahan Positif
methanol warna
2 Alkaloid 4 gr ekstrak di di haluskan + 1. Mayer Endapan putih
kloroform secukupnya untuk Positif
menghaluskan lagi + 10 ml
amoniak + 10 ml 10 kloroform
Dan saring. Hasil filtrat +
H2SO4 2N 10 tetes diamkan
sampai terbentuk lapisan,
lapisan atas diambil di bagi 3
tabung

3. Minyak 1 ml ekstrak di uapkan diperoleh Bau Positif


Atsiri residu khas
4. Terpenoid 2 ml ekstrak diupakan diperoleh + 0,5 ml asam Terbentuk cincin Positif
residu + Kloroform 0,5 ml asetat anhidrat + coklat atau violet
H2SO4 2 ml perbatasan larutan
melalui dinidng
tabung

5. Sterol 2 ml ekstrak diupakan diperoleh + 0,5 ml asam Terbentuk cincin Positif


residu + Kloroform 0,5 ml asetat anhidrat + biru kehijauan
H2SO4 2 ml perbatasan larutan
melalui dinidng
tabung

6. Tanin Ekstrak kental 1 ml FeCl3 10 % Biru tua hitam Positif


kehijauan
7 Saponin Ekstrak kental 10 ml di kocok + HCN 2 N Busa tidak hilang Posiitif
10 detik diamkan 10 detik
terbentuk busa 1-10 cm
bertahan 10 menit
36

5. Formula losion
Tabel 1.7 Berdasarkan Cosmetica and Toiletry Formulations, volume 1 hal 522

Berat losion 100 gr (pemakain luar )

Formula Keterangan
Kontrol Form Form Form
negatif 1 II III

R/
Ekstrak daun salam - Zat aktif
50% 60%
40%
Amerchol L 101
3% 3% 3% 3% Pelembut
(lanolin)

Solulan 98( polysorbate 80, tween 80 ) 2% 2% 2% 2% Pengemulsi

Peninigkat
Asam stearat 4% 4% 4% 4%
viskositas

Ceresin 1% 1% 1% 1% Stabilizer

Paraffin 0,3% 0,3% 0,3% 0,3% Pelembut

Arlacel 165( glycery Stearat, PEG 100


4% 4% 4% 4% Pengelmulsi
Stearat)

Veegum 0,5% 0,5% 0,5% 0,5% Pengental

Propylene glycol 5% 5% 5% 5% Pelembab

80,2
Water 80,2 % 80,2 % 80,2 % Pelarut
%

Parfume dan presevative q.s q.s q.s -


q.s

Keterangan:
Kontrol negatif: Formula losion tanpa penambahan ekstrak daun salam
Kontrol positif: Formula losion Autan
FI : Formula losion dengan konsentrasi ekstrak daun salam 40%
F II : Formula losion dengan konsentrasi ekstrak daun salam 50%
F III : Formula losion dengan konsentrasi ekstrak daun salam 60%
37

6. Proses Pembuatan Losion


a. Pembuatan Formula Sediaan Losion Prosedur pembuatannya adalah
mencampur fase air ke dalam fase minyak:
1). Semua bahan ditimbang,lumpang dipanaskan
2). Fase minyak (Paraffin liquid, Solulan 98, Asam stearat, Lanolin, Ceresin
Propilen glikol, aracel 165 ) dilebur di atas penangas air dengan baker glass
dalam suhu 85°C sampai melebur
3). Fase air (veegum) dilarutkan dengan air dicampur dengan cepat suhu 85°C
dimasukkan dalam baker glass
4). Setelah fase minyak mencair, masukkan ke dalam lumpang panas 85°C , gerus
perlahan, kemudian tambahkan fase air sedikit demi sedikit gerus sampai rata
sampai suhu menjadi 30 °C
5). Tambahkan ekstrak daun salam sesuai dengan konsentrasi masing-masing,
kemudian gerus hingga homogen
6). Setelah homogen masukkan sediaan pada wadah dan simpan pada suhu kamar.

7. Penetasan Telur dan Pemeliharaan Nyamuk


Sampel nyamuk yang digunakan dalam penelitian ini adalah telur nyamuk
Aedes aegypti dari Institute Pertanian Bogor yang dikembangbiakan di labotorium
farmakologi Universitas Tulang Bawang dari telur sampai menjadi nyamuk Aedes
aegypti dewasa. ditetaskan pada bak plastik berukuran (35x25x5) cm3 yang diisi
akuades setinggi ¾ bak plastik. Larva yang telah menetas dipelihara hingga
menjadi stadium nyamuk dewasa, selama perkembangannya larva diberi pakan
berupa pelet ikan, proses ini dilakukan di dalam kurungan nyamuk.
Setelah diperoleh stok nyamuk, nyamuk betina dipilih dari populasi stok untuk
memisahkannya dari nyamuk jantan. Nyamuk betina dipindahkan ke dalam
kurungan uji dengan menggunakan Aspirator. Diperlukan 5 kurungan nyamuk uji,
dengan 20 nyamuk betina Aedes aegypti pada masing-masing kurungan nyamuk.
Nyamuk dipelihara hingga mencapai usia 5-7 hari post-emergence, selama waktu
tersebut nyamuk diberi makan larutan gula (28). Adapun besarnya sampel dapat
dihitung dengan rumus di bawah ini :
38

(t-1)(r-1)≥ 15
(5-1)(r-1) )≥ 15
4(r-1) )≥ 15
4r-4≥ 15
4r≥ 15+4
r ≥ 19/4 = 4,75 =5
Dimana: r =Jumlah pengulangan
t = Jumlah perlakuan
Dalam perhitungan rumus diatas yaitu dengan menggunakan 5 perlakukan,
maka hasil yang didapat = 4,75 dibulatkan menjadi 5. Sampel nyamuk yang
digunakan 20 ekor nyamuk untuk tiap kandang. pada pengujian dilakukan dengan
cara memasukkan lengan selama 10-30 detik secara bergantian ke dalam
kurungan penguji yang berisi 20 ekor nyamuk. Kemudian dihitung jumlah
nyamuk yang hinggap, setelah itu lengan digerakan untuk mengusir nyamuk yang
hinggap dan kemudian dipaparkan kembali selama 30 detik berikutnya. Kegiatan
ini dilakukan 5 kali (lima ulangan) pada setiap lengan, baik yang diberi perlakuan,
maupun kontrol dan semua perlakuan konsentrasi 40%;50%;60% diuji secara
bersamaan. Jumlah nyamuk yang dibutuhkan 5x5x20 = 500 nyamuk.

8. Evaluasi Losion
Evaluasi Sediaan Losion Evaluasi dilakukan setelah sediaan losion terbentuk
dan setelah penyimpanan selama 4 minggu.
a. Organoleptis
Diamati bentuk sediaan losion dilakukan dengan cara mengamati bentuk,
perubahan warna, dan aroma formula sediaan lotion.
b. Homogenitas
Losion dioleskan diatas kaca objek glass dan tutup dengan kaca objek
glass lainnya, diamati partikel-partikel kasar atau ketidakhomogenan.
c. pH
pH sediaan losion menurut SNI No. 16-4399-1996 yaitu 4,5-8,0. Penentuan
pH dilakukan dengan menggunakan alat pH meter. Elektroda dibersihkan dan
39

alat dikalibrasi. Kemudian elektroda dicuci kembali dengan aquades, lalu


dikeringkan dengan tisu, dan dimasukkan ke dalam sampel, dicatat pH
sediaan.
d. Uji Daya Sebar
Pengujian uji daya sebar dengan mengambil losion seberat 0,5 gram dan
diletakkan di tengah kaca arloji. Ambil kaca bulat lain dan letakan diatas
sediaan losion dan diamkan selama 1 menit, kemudian diameter penyebaran
dicatat. Daya sebar losion yang baik yaitu 5-7 cm.
e. Viskositas
Penentuan viskositas bertujuan untuk mengetahui adanya perubahan
kekentalan pada setiap formulasi losion. Cara : Sediaan losion disiapkan dalam
beker glass 100 ml. Kemudian memilih nomor spindel yang akan digunakan.
Power alat ditekan dan alat akan mengkalibrasi terlebih dahulu. Setelah itu,
memilih rpm yang digunakan lalu tekan enter. Pembacaan hasil viskositas
dalam Cp. Pemeriksaan ini menggunakan viskometer HAAKE 550 dengan
spindle MV (16). Viskositas yang dianjurkan menurut SNI No. 16-4399-1996
yaitu berkisar antara 2000-5000 Cp.
f. Sentrifugasi
Losion dimasukkan ke tabung sentrifugator kemudian alat diputar pada
kecepatan 3000 rpm selama 30 menit dan diamati terjadinya pemisahan atau
tidak antara fase minyak dan fase airnya pada losion (18).
g. Uji stabilitas losion dengan pengaruh kenaikan suhu (Cycling Test)
Losion diuji sebanyak 6 siklus yang setiap siklusnya terdiri dari 1 hari pada
suhu 4°C dan 1 hari pada 40°C. Pemeriksaan uji stabilitas fisik terhadap
sediaan dilakukan pada awal siklus dan di akhir siklus.

9. Uji repellent terhadap nyamuk Aedes aegypti


Pengujian repellent dilakukan berdasarkan rekomendasi WHOPES (2009)
dimana losion ekstrak daun salam akan diaplikasikan pada lengan bawah relawan.
Sebelum dan setelah percobaan setiap area tes (lengan bawah) dicuci dengan
sabun dan dibilas dengan air, kemudian dikeringkan. Bagian tangan ditutupi oleh
sarung tangan. Pertama lengan kiri sebagai kontrol dioleskan dengan kontrol
40

negatif yaitu basis losion kemudian dimasukkan ke dalam kandang nyamuk dan
mengamati serta mencatat jumlah nyamuk yang hinggap dalam periode waktu 30
detik. Dalam 30 detik ini akan dipastikan bahwa nyamuk yang hinggap >10 untuk
memulai pengujian. Setelah 30 detik lengan tersebut dikeluarkan dengan hati-hati
dari kandang nyamuk. Kemudian lengan yang sama diolesi dengan dosis paling
rendah yaitu losion 40 % ekstrak daun salam. Kemudian dimasukkan kembali ke
dalam kandang untuk diamati selama 10-30 detik. Selama pengujian, lengan uji
diusahakan untuk tidak bergerak. Prosedur ini diulang pada lengan yang sama
untuk setiap kenaikan dosis. Uji dilakukan berurutan dan harus dilaksanakan satu
dengan lainnya tanpa penundaan dan dosis repellent pada setiap tes dihitung
sebagai penjumlahan dosis untuk mendapatkan dosis kumulatif pada setiap tes.
Pada akhir pengujian dosis, kontrol negatif yaitu basis losion diolesi pada lengan
kanan kemudian dikeringkan kurang lebih 1 menit. Lengan kanan relawan
dimasukkan ke dalam kandang yang sama untuk memastikan bahwa jumlah
nyamuk yang hinggap pada lengan tersebut ≥ 10 nyamuk dalam periode waktu 30
detik. uji dilakukan minimal dengan 3 kali pengulangan. Pengujian kedua dan
ketiga dilakukan pada hari yang berbeda, yaitu hari berikutnya pada waktu uji
yang sama. Nyamuk yang digunakan pada setiap ulangan merupakan sampel yang
berbeda dari sampel nyamuk yang digunakan pada pengujian sebelumnya. Pada
akhir pengujian persentase daya proteksi dinilai sebagai proporsi jumlah nyamuk
yang hinggap pada lengan perlakuan dengan jumlah nyamuk yang hinggap pada
lengan kontrol, dihitung dengan formula berikut:
Keterangan:

Persentase daya proteksi

C = jumlah nyamuk kontak pada lengan kontrol


T = jumlah nyamuk kontak pada lengan perlakuan
Setelah didapatkan persentase daya proteksi pada masing-masing konsentrasi
dinilai konsentrasi yang efektif untuk memperoleh persentase daya proteksi 50%
dan 99%
41

D. Analisa Data
Data yang diperoleh akan diuji menggunakan one way anova, untuk
mengetahui apakah perbedaan konsentrasi masing-masing formula losion ekstrak
daun salam (Syzygium polyantum) memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
aktivitas repellent.
42

BAB IV
HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Penelitian


Dalam bab hasil penelitian ini, akan dipaparkan hasil penelitian formulasi
losion ekstrak daun salam (Syzygium polyanthum) sebagai repellent terhadap
nyamuk Aedes aegypti. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen
laboratorium untuk mengetahui uji efektivitas daun salam sebagai repellent
terhadap nyamuk Aedes aegypti. Daun salam diperoleh dari kompleks perumahan
Rumah Sakit Jiwa Lampung dengan kondisi yang masih segar. Daun yang dipilih
daun yang berwana hijau tua ,kemudian dikeringkan tanpa terkena sinar matahari
secara langsung selama 3 hari. Setelah itu diproses menjadi ekstrak di
Laboratorium Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Tulang Bawang
Bandar Lampung Jurusan Farmasi. Telur nyamuk diperoleh dari IPB ( Institute
Pertanian Bogor ), yang kemudian dikembangbiakkan menjadi nyamuk di
Laboratorium Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Tulang Bawang
(UTB) Bandar Lampung Jurusan Farmasi untuk keperluan penelitian. Nyamuk
yang digunakan untuk penelitian berjenis kelamin betina, karena nyamuk yang
biasa menghisap darah manusia adalah nyamuk betina. Nyamuk betina
membutuhkan darah untuk membantu mematangkan telur. Nyamuk yang
digunakan berumur 2–5 hari, karena pada masa tersebut nyamuk masih produktif,
jadi apabila terjadi perbedaan jumlah hinggapan nyamuk bukan dikarenakan umur
nyamuk.
Pengujian formulasi losion ekstrak daun salam terhadap nyamuk Aedes aegypti
dilaksanakan di Laboratorim Universitas Tulang Bawang Lampung. Penelitian ini
peneliti dibantu 4 orang sebagai probandus.
43

B. Pembuatan simplisia daun salam


Sampel yang digunakan pada penelitian ini merupakan tanaman salam yang
diperoleh dari komplek perumahan Rumah Sakit Jiwa. Daun salam yang telah
dikumpulkan kemudian dicuci dengan menggunakan air mengalir bertujuan
untuk menghilangkan kotoran yang menempel pada daun salam yang sulit hilang.
Daun salam yang sudah dicuci kemudian ditiriskan lalu dirajang kecil-kecil
menggunakan pisau stainless steel lalu di timbang menghasilkan sebanyak 3,9 kg
sebagai berat basah. Simplisia kemudian dikeringkan dibawah sinar matahari
dengan ditutupi kain hitam. Tujuan penggunaan kain hitam ini adalah untuk
mencegah pengotor masuk ke dalam simplisia serta mencegah hilangnya
jumlah simplisia akibat tekanan angin (29). Daun simplisia yang sudah kering
ditimbang dan memiliki hasil sebanyak 1,9 kg sebagai berat kering.

C. Hasil Pengujian Parameter Non Spesifik simplisia daun salam


Pengujian parameter non spesifik dibutuhkan untuk mengetahui apakah
simplisia yang telah disiapkan memenuhi syarat non spesifik untuk digunakan ke
tahap selanjutnya. Pengujiian parameter non spesifik yang dilakukan adalah uji
kadar air, kadar abu total dan kadar abu tidak larut asam.
Tabel 1.9 Hasil Persentase Minimal Parameter Non Spesifik Simplisia
Parameter Hasil uji Syarat uji minimal
Kadar Air 2,9 % ≤ 10%
Kadar Abu Total 5% 5%
Kadar Abu Tidak Larut Asam 0,6 % ≤ 0,9%

Dari data tabel 1.9 diatas dapat disimpulakan bahwa hasil uji parameter non
spesifik simplisia daun salam dari uji kadar air, kadar abu total dan kadar abu
tidak larut asam memenuhi syarat syarat untuk dilakukan proses selanjutnya
sebagai bahan dalam pembuatan ekstrak daun salam.
Hasil uji kadar air berpengaruh terhadap stabilitas ekstrak dan bentuk sediaan
selanjutnya, hal ini berkaitan dengan cepatnya pertumbuhan jamur dalam ekstrak.
Penetapan kadar air ini menggunakan metode gravimetri, pada prinsipnya
menguapkan air yang terdapat dalam suatu bahan dengan cara pemanasan pada
suhu 1050 c selama 5 jam kemudiaan bahan ditimbang sampai bobot konstan.
44

Hasil pada ekstrak daun salam 2,9 %. Penentuan kadar air bertujuan untuk
memberikan gambaran tingkat kelembaban. Jika hasil uji yang dilakukan melebihi
syarat yang telah ditentukan > 10% maka simplisia yang dihasilkan kurang baik
dan tidak dapat bertahan lama karena sangat rentan untuk ditumbuhin
mikroorganisme (30).
Kadar abu menunjukan hubungan dengan kandungan mineral internal dan
eksternal suatu bahan. Abu adalah zat anorganik yang merupakan sisa hasil
pembakaran zat organik. Kadar abu tersebut dapat menunjukan total mineral
dalam suatu bahan simplisia. Bahan-bahan organik dalam proses pembakaran
akan terbakar tetapi komponen anorganiknya tidak, karena itulah disebut sebagai
kadar abu. Pada prinsipnya ekstrak dipanaskan pada suhu 500oC - 600oC hingga
senyawa organik dan turunnya tereduksi dan menguap sampai unsur mineral dan
anorganiknya saja. Penentuan kadar abu total bertujuan untuk memberikan
gambaran tingkat pengotoran oleh kontaminan berupa senyawa anorganik seperti
logam alkali (Na, Kalium, Lithium), logam alkali tanah (Ca, Ba) dan logam berat
(Fe, Pb, Hg). Penentuan kadar abu dapat digunakan untuk berbagai tujuan, antara
lain untuk menentukan baik atau tidaknya suatu pengolahan, mengetahui jenis
simplisia yang digunakan, dan sebagai penentu parameter nilai baik buruknya
suatu bahan simplisia yang akan digunakan. Banyaknya kandungan senyawa
anorganik yang terdapat pada simplisa menandakan proses pengolahan kurang
baik karena masih banyak mengandung bahan pengotor yang menyebabkan hasil
analisis kadar abu total menjadi tidak memenuhi syarat (30).
Penentuan kadar abu tidak larut asam bertujuan untuk menentukan tingkat
pengotoran oleh pasir dan kotoran lain. pada analisis kadar abu tidak larut asam
yang cukup tinggi menunjukan adanya kontaminan atau bahan pengotor pada
bahan tersebut. (30)

D. Pembuatan Ekstrak Daun Salam


Sebanyak 300 g serbuk kering simplisia daun salam diekstraksi dengan metode
maserasi di dalam botol gelap bertutup pada suhu kamar sambil sesekali diaduk.
Penggunaan metode maserasi merupakan metode yang cukup efektif dalam
mengekstraksi suatu simplisia, keuntungan metode ini terhindar dari kerusakan
45

senyawa aktif yang terkandung dalam suatu simplisia yang mungkin diakibatkan
oleh faktor suhu dan dapat menyari secara maksimal dengan penggatian pelarut
selama 24 jam sekali. Remaserasi 3 kali dengan satu kali maserasi dilakukan
selama 3 hari menggunakan pelarut N-heksan sampai diperoleh maserat jernih
sebanyak 3 liter. Maserat dipekatkan dengan cara menguapkan pelarutnya pada
suhu sekitar 400C dengan menggunakan rotary evaporator untuk menjaga agar
zat aktif tidak rusak hingga diperoleh ekstrak kental sebanyak 7,8 g berwarna
coklat. Untuk masing-masing formula digunakan ekstrak dari daun salam
sebanyak 0%, 40 %, 50 % dan 60 % ekstrak daun salam (31).

E. Hasil Pengujian fitokimia fraksi n-heksan daun salam


Mutu dari simplisia yang akan gunakan dilakukan pemeriksaan secara
organoleptik, makroskopik, mikroskopik, serta secara kimia. Tujuan pengujian
fitokimia adalah untuk mengetahui kandungan senyawa apa saja yang terkandung
dalam simplisia yang digunakan juga penting dalam pemanfaatan simplisia
tersebut dalam pengobatan. Dari uraian tersebut maka perlu dilakukan
indentifikasi simplisia, uji kemurniaan dan skrining fitokimia sehingga dapat
diketahui kemurniaan dan senyawa apa saja yang terkandung dalam simplisia
tersebut. Identifikasi kandungan kimia atau skrining fitokimia adalah suatu
metode untuk mengetahui golongan kimia pada suatu sampel dengan menguji
secara kualitatif adanya senyawa kandungan dalam sampel yang digunakan seperti
misalnya tanin, saponin, flavonoid, steroid terpenoid, alkaloid, serta kandungan
kimia lainnya Uji pendahuluan dilakukan untuk mengetahui golongan senyawa
yang terdapat pada suatu tanaman. Hal ini berfungsi sebagai data awal untuk
menentukan metode ekstraksi yang akan digunakan agar komponen aktif yang
terdapat pada sampel dapat diekstrasi secara optimal (12).
46

Tabel 1.10 Hasil Identifikasi Daun Salam


Nama
No Perlakuan Indentifiksi Pereaksi Hasil Keterangan
senyawa
Bau Warna
1 Flavonoid Ektrak kental 0,1 gr + 10 ml 2. NaoH Tidak Terjadi Negatif
methanol perubahan warna

2 Alkaloid 4 gr ekstrak di di haluskan + 1. Mayer Tidak ada Endapan


kloroform secukupnya untuk putih Negatif
menghaluskan lagi + 10 ml
amoniak + 10 ml 10 kloroform
Dan saring. Hasil filtrat +
H2SO4 2N 10 tetes diamkan
sampai terbentuk lapisan,
lapisan atas diambil di bagi 3
tabung

3. Minyak 1 ml ekstrak di uapkan Bau Positif


Atsiri diperoleh residu khas
4. Terpenoid 2 ml ekstrak diupakan diperoleh + 0,5 ml asam Terbentuk cincin Positif
residu + Kloroform 0,5 ml asetat anhidrat + coklat atau violet
H2SO4 2 ml perbatasan larutan
melalui dinidng
tabung

5. Sterol 2 ml ekstrak diupakan diperoleh + 0,5 ml asam Tidak Terbentuk Negatif


residu + Kloroform 0,5 ml asetat anhidrat + cincin biru
H2SO4 2 ml kecoklatan
melalui dinidng perbatasan larutan
tabung

6. Tanin Ekstrak kental 1 ml FeCl3 10 % Tidak ada Negatif


perubahan
7 Saponin Ekstrak kental 10 ml di kocok + HCN 2 N Tidak ada busa Negatif
10 detik diamkan 10 detik
terbentuk busa 1-10 cm
bertahan 10 menit

Hasil pengujian yang dilakukan pada ekstrak daun salam terdapat kandungan
minyak atsiri dibuktikan dengan adanya aroma yang khas dan senyawa terpenoid
pada ektrak kental daun salam dengan mereaksikan asam asetat anhidrat dan asam
sulfat melalui dinding tabung didapatkan hasil positif dengan ditandai
47

terbentuknya cincin berwarna coklat di pertengahan yang berarti positif


mengandung senyawa terpenenoid (32).

F. Komposisi Formulasi Losion Nonionik


Pada umumnya sediaan losion dibuat dalam bentuk emulsi M/A karena alasan
harga yang lebih murah, lebih mudah dibuat lebih enak dipakai karena tidak
begitu lengket, dan lebih cepat menyebar ke permukaan. Beberapa pengemulsi
yang digunakan dalam emulsi yaitu elmugator yang besifat nonionik
Tabel 1.11 Basis losion nonionik
Basis
Formula Keterangan
losion
R/ Amerchol L 101 3% Pelembut

Solulan 98 2% Surfaktan
Asam stearate 4% nonionik
Barrier
Ceresin 1% Stabilizer
Paraffin 0,3% Pelembut
Arlacel 165 4% Surfaktsn noninoik
Veegum 0,5% Pengental
Propylene glycol 5% Pelembab
Water 80,2 % Pelarut
Parfume and
q.s
preservative

Salah satu syarat dalam menggunakan basis losion yang bersifat noninonik
yaitu nilai HLB campuran emulsi M/A kedua surfaktan nonionik berkisar antara
8-18. Apabila hasil hitung kedua surfaktan nonionk tersebut tidak memnuhi syarat
maka emulsi M/A tidak akan terjadi.
Perhitungan nilai HLB campuran dari formula losion nonionik
HLB Solulan 98 (A) = 15
HLB Arlacel 165 (B) = 11
Massa A = 2 gram ( 2% x 100 )
Massa B = 4 gram ( 4% x 100 )
Massa campuran (A+B) = 2 + 4 = 6 gram
HLB campuran x massa campuran = (HLB A x massa A) + (HLB B x massa B)
HLB campuran x 6 = (15x2) + ( 11x4)
HlB campuran = 30 + 44 / 6
HLB campuran = 74/6
48

HLB campuran = 12,6


Dari hasil hitung HLB campuran formula yang akan digunakan yaitu 12,6
sehingga memenuhi kategori untuk pembuatan losion yang berbasis M/A yang
bersifat nonionik. losion yang menggunakan basis formula nonionik memiliki
kemampuan yang lebih kompetibel terhadap senyawa kimia dan tidak
mempengaruhi pH. Pembuatan losion terdiri dari 4 formula dengan variasi
konsentrasi ekstrak daun salam 0%, 40%, 50% dan 60%. Losion dibuat dengan
metode pencampuran dua fase, yaitu fase minyak dan fase air.
Kedua fase dipanaskan terpisah, setelah melebur keduanya dilebur menjadi
satu dimana fase air ditambahkan kedalam fase minyak dalam keadaan panas-
panas, kemudian diaduk sempai homogen. Setelah itu, masa pencampuran digerus
dilumpang hingga mencapai suhu kamar dan terbentuk massa losion yang
homogen. Formula losion yang dibuat dibedakan berdasarkan konsentrasi ekstrak
daun salam yaitu terbagi dalam empat konsentrasi yaitu 0%, 40%, 50% dan 60%.
Evaluasi losion meliputi pemeriksaasn organoleptis, homogenitas, pH,viskositas,
daya sebar, sentrifugasi serta pemeriksaan cycling test terhadap empat formula.

G. Hasil Evaluasi Losion Ekstrak Daun Salam


1. Uji homogenitas losion
Uji homogenitas dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui aspek
homogenitas sedian losion yang telah dibuat sediaan yang homogen akan
menghasilkan kualitas yang baik karena menunjukan bahan obat terdispersi dalam
bahan dasar secara merata, sehingga dalam setiap bagian sediaan mengandung
obat yang jumlahnya sama. Jika bahan obat tidak terdispersi merata dalam bahan
dasarnya maka obat tersebut tidak akan mencapai efek terapi yang diinginkan
Pengujian homogenitas dilakukan dengan cara losion diambil pada masing-
masing formula secukupnya kemudian dioleskan pada plat kaca, diraba dan
digosokkan. Massa losion harus menunjukan susunan homogen yaitu tidak terasa
adanya bahan padat atau partikel yang tidak terlarut pada kaca dan hasil uji
homogenitas losion anti nyamuk Aedes aeigypti ekstrak daun salam dapat dilihat
pada tabel di bawah ini .
Tabel 1.12 Hasil uji homogenitas
49

Formula Bentuk Homogenitas

Formula I Tidak ada butiran partikel Homogen


Formula II Tidak ada butiran partikel Homogen
Formula III Tidak ada butiran partikel Homogen
Formula IV Tidak ada butiran partikel Homogen

Tabel diatas menunjukkan bahwa semua formula losion anti nyamuk formula
telah homogen dan tidak terdapat partikel yang belum terlarut sehingga sediaan
losion terbentuk dengan baik tanpa ada gumpalan partikel (33).

2. Uji Organoleptis
Pengujian organoleptis dilakukan secara visual dengan mengamati perubahan
bentuk, aroma dan warna dari sediaan losion yang mengandung beberapa variasi
ekstrak daun salam. Pengujian organoleptik dapat memberikan indikasi
kebusukan, kemunduran mutu dan kerusakan lainnya dari produk dan hasil
organoleptis losion ekstrak daun salam dapat dilihat pada tabel
Tabel 1.13 Hasil uji organoleptis
Formula Bentuk Aroma Warna

Formula I Semi padat Tidak beraroma Putih


Formula II Semi padat Berbau khas salam Coklat

Formula III Semi padat Berbau khas salam Coklat

Formula IV Semi padat Berbau khas salam Coklat tua

Dari tabel diatas formula losion yang memiliki basis yang sama dengan
konstrasi zat aktif yang berbeda, memiliki organoleptis yang berbeda pula.
Dengan demikian, organoleptis sediaan dipengaruhi oleh jumlah ekstrak yang
digunakan, semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang digunakan warna semakin
gelap serta memiliki aroma yang khas. Dapat dilihat pada formula IV memiliki
warna yang lebih coklat gelap dibandingkan formula lain karena memiliki
konsentrasi ekstrak yang paling tinggi.

3. Uji Derajat keasaman (pH)


Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah losion yang telah dibuat
telah memenuhi syarat pH untuk sedian losion topikal yaitu antara 4,5-8,0.
Sediaan topikal dengan nilai pH terlalu asam dapat mengiritasi kulit sedangkan
50

bila nilai pH terlalu basa dapat membuat kulit kering dan bersisik. Pengujian
dilakukan penggunaan pH meter dan hasil uji pH sediaan losion anti nyamuk
ekstrak daun salam dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 1.14 pH sediaan losion


Formula pH
Formula I 5,2
Formula II 5,3
Formula III 5,3
Formula IV 5,2

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa formula losion ekstrak daun salam
masih memenuhi standar pH kulit ( 4,5-8,0) sesuai dengan SNI 16-4399-1996
sehingga tidak berakibat mengiritasi kulit. Hasil pH ini didapat karena bahan basis
yang digunakan bersifat anionik sehingga tidak berpengaruh pada pH.

4. Uji Daya Sebar


Daya sebar merupakan kemampuan basis dan zat aktif menyebar ke permukaan
kulit untuk memberikan efek terapi. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui
luas penyebaran losion saat diaplikasikan pada kulit. Daya sebar yang baik akan
mempermudah saat diaplikasikan pada kulit. Parameter yang digunakan adalah
diameter penyebaran losion. Faktor yang mempengaruhi diameter daya sebar
suatu sediaan adalah jumlah ekstrak yang digunakan setiap masing-masing
formula. Cara pengujian yaitu timbang 0,5 g sampel diletakan ditengah diantara
plat kaca lalu plat kaca diberi beban mulai 50 gr, 100 gr, 150 gr hingga 200 gr
setiap 1 menit. Tiap penambahan beban diukur diameternya kemudian hasil
dirata-rata. Daya sebar sediaan losion yang baik berkisar antara 5 -7 cm. Sediaan
losion daun salam dengan konsentrasi 40 %, 50 % dan 60 % menunjukan daya
sebar yang berbeda, sediaan losion konsentrasi 40 % menunjukan daya sebar 5,69
cm, konsentrasi 50 % menunjukan daya sebar 5,62 cm dan konsentrasi 60 %
menunjukan daya sebar 5,56 cm dan untuk konsentrasi 0% menunjukan daya
sebar 5,95 cm. Semua sediaan menunjukan daya sebar yang baik rata-rata diatas 5
cm. Daya sebar yang baik dapat menjamin pelepasan bahan obat dengan baik.
51

Dari hasil tersebut menunjukkan semua losion yang dihasilkan tetap stabil selama
penyimpanan (33).

Tabel 1.15 Hasil uji daya sebar


Formula Sebaran (cm)
Formula I 5,95 cm
Formula II 5,69 cm
Formula III 5,62 cm
Formula IV 5,56 cm

5. Uji Viskositas
Viskositas adalah suatu tahanan dari suatu cairan atau sediaan untuk mengalir.
Suatu cairan atau sediaan dikatakan mempunyai viskositas yang besar apabila
suatu cairan atau sediaan itu membutuhkan waktu untuk dapat mengalir melewati
suatu celah. Pengujian sediaan losion ekstrak daun salam memenuhi syarat
viskositas yang baik atau tidak karena viskositas merupakan parameter penting
dalam suatu sediaan emulsi tersebut. Nilai viskositas sediaan losion yang baik
menurut SNI 16 - 4399 - 1996 yaitu berkisar antara 3000 -50000 cP.
Pengujian viskositas sediaan losion ekstrak daun salam dengan menggunakan
viskometer HAAKE 550 dengan spindle MV . Hasil perhitungan viskositas sediaan
losion ekstrak daun salam dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 1.16 Viskositas sediaan losion
Formula Viskositas
(Cp)
Formula I 4265 Cp
Formula II 4420 Cp
Formula III 4927 Cp
Formula IV 5824 Cp

Dari data diatas dapat diketahui bahwa formula losion yang memiliki basis
yang sama dengan konsentrasi zat aktif yang berbeda–beda pula. Dengan
demikian viskositas sediaan dipengaruhi oleh jumlah ekstrak yang digunakan.
Semakin banyak jumlah ekstrak yang digunakan sediaan memiliki viskositas yang
besar.
52

6. Uji sentrifugasi
Kestabilan fisik losion selanjutnya dievaluasi dengan metode sentrifugasi
dengan kecepatan 3000 rpm selama 30 menit. Hasil evaluasi menunjukan semua
formula stabil setelah sentrifugasi.

Tabel 1.17 Hasil uji sentrifugasi


Formula Hasil Sentrifugasi (√) 3000 rpm

Pisah Tidak
Formula I √
Formula II √
Formula III √
Formula IV √

Berdasarkan dari data diatas losion yang dibuat stabil terhadap gaya gravitasi
penyimpanan pada suhu kamar (16).

7. Uji Stabilitas losion dengan pengaruh suhu ( cycling test)


a. Pengujian stabilitas cycling test
Evaluasi organoleptis dilakukan untuk mengetahui perubahan warna , bentuk
dan aroma sediaan. Uji cycling test adalah uji yang dilakukan dengan
menggunakan suhu 40C dan 400 C selama 6 siklus. Hasil evaluasi organoleptis
pengujian stabilitas cycling test losion ekstrak daun salam dapat dilihat pada tabel
di bawah ini.
Tabel 1.18 Hasil uji cycling test
Pengamatan Siklus ke-

Formula
1 2 3 4 5 6

Warna Putih Putih Putih Putih Putih Putih


Bentuk Semi Semi Semi padat Semi padat Semi padat Semi padat
Formula
padat padat
I
Aroma Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
berbau berbau berbau berbau berbau berbau
Warna Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat
Formula Bentuk Semi Semi Semi padat Semi padat Semi padat Semi padat
II padat padat
Aroma Beraroma Beraroma Beraroma Beraroma Beraroma Beraroma
Formula Warna Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat
53

Bentuk Semi Semi Semi padat Semi padat Semi padat Semi padat
III padat padat
Aroma Beraroma Beraroma Beraroma Beraroma Beraroma Beraroma
Warna Coklat Coklat Coklat tua Coklat tua Coklat tua Coklat tua
tua tua
Formula
Bentuk Semi Semi Semi padat Semi padat Semi padat Semi padat
IV
padat padat
Aroma Beraroma Beraroma Beraroma Beraroma Beraroma Beraroma

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa setiap formula losion tidak mengalami
perubahan warna, bentuk maupun aroma dari setiap siklusnya, dan tidak berubah
pula dengan organoleptis awal sediaan losion. Hal ini dapat disimpulkan bahwa
perpindahan penyimpanan pada suhu berbeda tidak mempengaruhi organoleptis
sediaan losion , baik formula I, II, III, dan IV stabil terhadap uji cycling test.

H. Hasil Uji Efektifitas Anti Nyamuk


Hasil uji efektifitas dapat dilihat pada tabel di bawah ini
Tabel 1.19 Uji efektifitas anti nyamuk
Jumlah nyamuk yang hinggap (hari ke-)
Formula/kontrol Rata-rata Persentase
1 2 3 4 5
Kontrol 19 20 19 20 20 19,6
Formula I (0%) 18 19 17 18 16 17,6 10,2%
Formula II ( 40%) 8 7 6 7 6 6,8 65,3%
Formula III (50%) 6 3 5 4 3 4,2 78,6%
Formula IV (60%) 2 3 1 2 1 1,8 90,8%
Kontrol Positif (Autan) 0 0 0 0 0 0 100%

Dari data tabel diatas dapat dilihat bahwa dari 20 ekor nyamuk betina yang
disiapkan untuk masing-masing uji dilakukan 5 kali pengulangan, ternyata yang
hinggap semakin sedikit dengan peningkatan konsentrasi ekstrak dalam losion
anti nyamuk. Diperoleh data berupa persentase daya proteksi ekstrak daun salam
terhadap kontak dengan nyamuk. Hasil perhitungan persentase daya proteksi
ekstrak daun salam terhadap kontak dengan nyamuk pada konsentrasi 0%, 40%,
50%, dan 60% disajikan dalam tabel diatas. Pada konsentrasi 0% losion ekstrak
daun salam memilki daya tolak nyamuk 10,2%, pada konsentrasi 40% yaitu
65,3%, pada konsentrasi 50% yaitu 78,6% dan pada konsentrasi 60% yaitu 90,8%.
54

Hasil tersebut menunjukkan bahwa ekstrak daun salam mengandung bahan aktif
yang memiliki aktivitas sebagai repellent. Sebagian besar tanaman mengandung
senyawa aktif yang dapat digunakan untuk mencegah serangan dari serangga
pemakan tumbuhan. Senyawa-senyawa aktif ini dibagi menjadi beberapa kategori,
meliputi repellents, feeding deterrents, toksin, dan pengatur perkembangan.
Meskipun fungsi utama dari senyawa-senyawa aktif ini adalah sebagai
perlindungan terhadap serangga pemakan tumbuhan, banyak juga dari senyawa
tersebut yang efektif melawan gigitan nyamuk dan Diptera lainnya, terutama
komponen-komponen volatile yang dilepaskan. Faktanya beberapa senyawa
tersebut merupakan repellent terhadap serangga pemakan tumbuhan.
Serangga mendeteksi bebauan yang ditimbulkan ketika bau senyawa yang
mudah menguap berikatan dengan protein reseptor bau (odorant receptor
proteins) yang terdapat pada dendrit bersilia dari specialized odour receptor
neurons (ORNs) yang terpapar dengan lingkungan luar, seringkali terdapat pada
antena dan palpus maksilaris pada serangga, dan beberapa ORNs, seperti OR83b
yang penting dalam proses penghiduan dan dimana reseptor tersebut dihambat
oleh repellent sintetik standar DEET (N,N-diethyl-3-methylbenzamide).
Menariknya, odour receptors yang berespon terhadap DEET juga dapat berespon
terhadap eucalyptol dan linalool pada Culex quinquefasciatus. Pada Anopheles
gambiae, reseptor DEET OR83b juga dapat distimulasi oleh citronellal.
Bagaimanapun, banyak tanaman mengandung senyawa volatile yang dapat
bertindak sebagai penolak atau repellent serangga. Tanaman salam memiliki
banyak senyawa aktif yang memiliki berbagai aktivitas biokimia. Daun salam
mengandung senyawa aktif meliputi : alkaloid, flavonoid, saponin, minyak atsiri
dan terpenoid. Pada beberapa penelitian sebelumnya daun salam menunjukkan
aktivitas penolak serangga atau repellent. Aktivitas biologi dari ekstrak daun
salam sebagai repellent berkaitan dengan keberadaan zat aktif yang terkandung di
dalamnya yaitu terpenoid. Pada hasil dapat terlihat bahwa konsentrasi tertinggi,
yaitu konsentrasi 60% memperlihatkan daya proteksi tertinggi, hal tersebut dapat
dijelaskan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun salam, maka semakin
meningkat komponen senyawa terpenoid yang terkandung di dalamnya sehingga
semakin banyak komponen senyawa mudah menguap berikatan dengan odorant
55

receptor proteins pada serangga. Hal tersebut menyebabkan gangguan pada proses
penciuman serangga sehingga serangga menjauhi sampel (34).

I. Analisis data ( uji ANOVA )


Uji normalitas data pada software SPSS 25 merupakan salah satu syarat yang
harus dilakukan peneliti untuk melanjutkan uji One Way ANOVA pada formula
losion ekstrak daun salam .
Tabel 1.20 Uji Normalitas

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Formula Statistic df Sig. Statistic df Sig.
nyamuk yang hinggap formula I ,237 5 ,200 *
,961 5 ,814
Formula II ,231 5 ,200 *
,881 5 ,314
formula III ,221 5 ,200 *
,902 5 ,421
formula IV ,231 5 ,200 *
,881 5 ,314

Dasar dari pengambilan keputusan uji normalitas data dilihat dari nilai siq pada
tabet output jika nilai siq > 0,05 maka data berdistribusi nomal tapi jika nilai siq <
0,05 maka data tidak berdistribusi normal. Untuk data sampel dibawah < 50
peneliti menggunakan nilai siq tabel Shapiro-Wilk, maka dari data tabel di atas
dapat disimpulkan bahwa data berdistribusi nomal dimana nilai 0,814 > 0,05.

Tabel 1.21 Uji Post Hoc One Way ANOVA

95% Confidence Interval


(I) formula (J) formula Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.
Lower Bound Upper Bound
formula I Formula II 10,800 *
,663 ,000 8,90 12,70
formula III 13,400* ,663 ,000 11,50 15,30
formula IV 15,800* ,663 ,000 13,90 17,70
Formula II formula I -10,800 *
,663 ,000 -12,70 -8,90
formula III ,600 *
,663 ,006 ,70 4,50
formula IV 5,000 *
,663 ,000 3,10 6,90
formula III formula I -13,400 *
,663 ,000 -15,30 -11,50
Formula II -2,600 *
,663 ,006 -4,50 -,70
formula IV 2,400 *
,663 ,011 ,50 4,30
formula IV formula I -15,800* ,663 ,000 -17,70 -13,90
Formula II -5,000* ,663 ,000 -6,90 -3,10
formula III -2,400 *
,663 ,011 -4,30 -,50
56

Pengujian Turkey HSD adalah pengujian perbandingan untuk menentukan


apakah rata-rata nyamuk yang hinggap tersebut signifikan dalam jumlah analisa
varian. Sebagai contoh perbandingaan rata-rata nyamuk yang hinggap Formula I
dan Formula II. Angka perbedaan rata-rata nyamuk yang hinggap10,800. Angka
10,800 ini diperoleh dari nilai rata-rata ( pada output deskriptif ) untuk nyamuk
yang hinggap formula I (17,60) dikurangi dengan rata-rata nyamuk yang hinggap
formula II (6,80). Sementara itu, perbedaan rata-rata nyamuk yang hinggap
berkisar antara 8,90 ( Lower Bound) sampai dengan 12,70 ( Upper Bound) pada
tangkat kepercayaan 95%. Untuk uji apakah ada perbedaan yang signifikan antara
kedua formula tersebut maka kita harus melihat apakah nilai signifikan hasil
output SPSS ini, nilainya lebih kecil atau lebih besar dari 0,05. Berdasarkan nilai
dari Multi Comparisions diketahui nilai siq sebesar 0,00 < 0,05, maka dapat
disimpulkan bahwa nyamuk yang hinggap formula I dan formula II adalah
berbeda. Sehingga perbedaan rata-rata nyamuk yang hinggap secara deksriptif
antara kedua formula tersebut signifikan.
57

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian dan analisa yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa :
1. Ekstrak daun salam dapat formulasikan menjadi sediaan losion yang terdiri
dari komposisi formula losion noninok yang sangat kompetibel terhadap
senyawa kimia dan tidak menyebabkan perubahan pH pada sediaan.
2. Berdasarkan hasil uji repellent sediaan losion ekstrak daun salam dengan
persentase efektivitas rata-rata daya proteksi nyamuk Aedes aegypti pada
konsentrasi 40% yaitu 65,3%, pada konsentrasi 50% yaitu 78,6%, dan
pada konsentrasi 60% yaitu 90,8%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa
losion ekstrak daun salam berpotensi sebagai repellent yang menjanjikan
dalam pencegahan transmisi Dengue.
3. Sediaan losion dari ekstrak daun salam memilik daya proteksi terhadap
nyamuk Aedes aegypti, dan semakin tinggi konsentrasi ekstrak akan
semakin efektif sebagai repellent.

B. Saran
1. Parameter evaluasi fisik pada penelitian ini dinilai kurang untuk
mengetahui kesetabilan fisik sediaan losion, oleh karena itu perlu juga
dilakukan uji stabilitas kimia, mikrobiologi serta uji klinis.
58

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang uji daya lekat untuk
mengetahui pengaruh basis dan formula losion terhadap ketahanan
aktivitas repellent sediaan losion dari ekstrak daun salam.
3. Perlu dilakukan penelitian bagaimana kekuatan repellent ekstrak daun
salam dan setelah diformulasikan dalam bentuk sediaan losion maupun
bentuk sediaan lain (Spray,krim).

Anda mungkin juga menyukai