Anda di halaman 1dari 31

1

FORMULASI GEL EKSTRAK ETANOL DAUN BELUNTAS


(Pluchea indica) SEBAGAI REPELAN TERHADAP NYAMUK
Aedes aegypti

Proposal Penelitian
Disusun dalam rangka memenuhi tugas akhir mata kuliah Metodologi Penelitian
Dosen Pembimbing: Budi Untari M.Si., Apt.

Disusun oleh:
Aufa salsabila imtisatami (08061281722031)
Fadila Kurnia (08061181722067)
Ghina Raudya Shafarina (08061181722023)
Gladys Debora Siagian (08061281722035)
Hibsah (08061181722015)
Laddy Mailany (08061181722009)
Nurkholik (08061281722037)
Puspa Yunita (08061281722039)
Siti Nurhaliza (08061181722017)

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SRIWIJAYA PALEMBANG

2019
2

DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN.........................................................................................................1
DAFTAR ISI..................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................6
BAB III METODOLOGI PENELITIAN.....................................................................19
3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Nyamuk merupakan hewan yang menularkan berbagai penyakit, seperti

malaria, filariasis dan Demam Berdarah Dengue (DBD). DBD merupakan salah

satu masalah kesehatan di Indonesia yang disebabkan virus dengue dan ditularkan

oleh nyamuk Ae. aegypti. Tahun 2014, penderita DBD pada 34 provinsi di

Indonesia tercatat sebanyak 100.347 penderita dan 907 diantaranya meninggal

dunia. Jumlah tersebut mengalami peningkatan menjadi yakni 126.675 penderita

dan 1.229 orang diantaranya meninggal dunia pada Tahun 2015.4 Pencegahan

DBD difokuskan pada pengendalian vektor karena belum ditemukannya obat dan

vaksin penyakit DBD. Salah satu cara pengendalian vektor DBD ini adalah

dengan menghindarkan diri dari gigitan nyamuk. Cara yang banyak digunakan

yaitu menggunakan insektisida, karena hasilnya dapat dilihat secara cepat dan

langsung. Meskipun demikian, pengendalian kimiawi menggunakan insektisida

sintetis dapat menimbulkan efek samping yang merugikan, seperti nyamuk

menjadi resisten, keracunan pada manusia dan hewan ternak, kontaminasi

terhadap kebun sayuran dan buah, serta polusi lingkungan.

Anti nyamuk yang dianggap aman dan efektif dalam menghindari gigitan

nyamuk adalah repelen. Penggunaan repelen yang mengandung bahan kimia

seperti DEET (diethyl-meta-toluamide) dapat membahayakan tubuh manusia

seperti iritasi kulit dan gatal – gatal serta iritasi mata yaitu konjungtivis.

Pengembangan bahan-bahan alami yang berasal dari alam dan tidak


4

membahayakan manusia untuk menghindari gigitan nyamuk sangat diperlukan.

Penelitian terhadap tumbuhan beluntas jenis Pluchea indica, merupakan tanaman

yang hidup di daerah tropis dan sub tropis. Tanaman ini dipercaya dapat mengusi

nyamuk. Pemanfaatan dari tanaman ini adalah daunnya yang diambil minyak

atsirinya. Beluntas merupakan tumbuhan semak yang bercabang banyak, berusuk

halus, dan berbulu lembut. Umunya tanaman ini ditanam sebagai tanaman

pagaratau bahkan tumbuh liar, tinggi tanaman ini bisa mencapai tiga meter apabila

tidak dipangkas sehingga sering dijadikan pagar pekarangan.

Pemanfaatan tanaman ini belum banyak dipublikasikan sebagai antinyamuk.

Peneliti mencoba menguak fakta tentang manfaat tanaman ini dengan pengujian

sekala laboratorium untuk dikemudian hari dapat dimanfaatkan sebagai anti

nyamuk yang aman digunakan. Hal ini dikarenakan tanaman ini tumbuh sangat

lebat namun pada kenyataannya sangat jarang nyamuk untuk bersarang diair yang

terdapat disekitar tanaman ini. Kemungkinan yang dapat terjadi dari peristiwa itu

adalah bahwa tanaman ini mungkin mengandung bahan atau senyawa yang

dipercaya jenis minyak atsiri yang dapat digunakan sebagai anti nyamuk.

Pengolahan bahan alam ini sebagai anti nyamuk sangat mudah dimana hanya

diambil bagian daunnya lalu di isolasi minyak atsiri yang ada di dalamnya.

Penggunaan bahan alam perlu untuk ditingkatkan mengingat bahaya efek samping

yang di timbulkan tidak terlalu signifikan atau besar. Anti nyamuk yang dijual di

pasaran mengandung bahan – bahan yang sebenarnya tidak layak atau tidak bisa

dikatakan aman untuk masuk ke dalam tubuh makhluk hidup dalam jumlah yang

kecil maupun yang besar. Oleh sebab itu, perlu adanya peningkatan frekuensi
5

untuk memilih bahan – bahan alam untuk dimanfaatkan sebagai kebutuhan

manusia serta penelitian tentang hal – hal tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah disampaikan, permasalahan yang diajukan

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana formulasi gel ekstrak etanol daun beluntas sebagai repelen

terhadap nyamuk aedes aegypti.

2. Bagaimana aktivitas gel ekstrak etanol daun beluntas sebagai repelen

terhadap nyamuk aedes aegypti.

3. Bagaimana karakteristik gel ekstrak etanol daun beluntas dari formula yang

dihasilkan.

1.3 Tujuan

Adapun tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui formulasi sediaan gel ekstrak etanol daun beluntas sebagai

repelen terhadap nyamuk aedes aegypti.

2. Mengetahui aktivitas gel ekstrak etanol daun beluntas sebagai repelen

terhadap nyamuk aedes aegypti.

3. Mengetahui karakteristik sediaan gel ekstrak etanol daun beluntas dari

formula yang dihasilkan.

1.4 Manfaat

Dengan dilakukannya penelitian ini, diharapkan manfaat berupa dapat

digunakan sebagai rujukan bagi pembaca untuk memperbanyak informasi ilmiah

mengenai penggunaan ekstrak daun beluntas sebagai repelan terhadap nyamuk.

Adapun manfaat jangka panjang penelitian ini dapat digunakan sebagai landasan
6

dasar dalam pemanfaatan ekstrak daun beluntas maupun pengembangan produk

repelan terhadap nyamuk lainnya.


7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Daun Beluntas

2.1.1 Klasifikasi Tanaman Beluntas

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Asterales

Famili : Asteraceae

Genus : Pluchea

Spesies : Pluchea Indica

Gambar 1. Daun Beluntas

2.1.2 Morfologi Daun Beluntas

Tanaman beluntas merupakan tanaman perdu tegak yang sering bercabang

banyak dan memiliki ketinggian 0,5- 2 m. Daun tanaman beluntas berambut, dan

berwarna hijau muda. Helaian daun beluntas berbentuk oval elips atau bulat telur

terbalik dengan pangkal daun runcing dan tepi daunnya bergigi. Letak daun
8

beluntas berseling dan bertangkai pendek dengan panjang daun sebesar 2,5- 9 cm

dan lebar 1 Bunga tanaman beluntas merupakan bunga majemuk dengan bentuk

bongkol kecil, berkumpul dalam malai rata majemuk terminal. Bunga beluntas

memiliki tabung kepala sari berwarna ungu, dan tangkai putik dengan 2 cabang

ungu yang menjulang jauh. Buah tanaman beluntas berbentuk gangsing, keras dan

berwarna cokelat. Ukuran buah beluntas sangat kecil dengan panjang 1 mm. Buah

beluntas memiliki biji kecil dan berwarna cokelat keputih-putihan (Khodaria,

2013).

2.1.3 Kegunaan Daun Beluntas

Beluntas (P. indica) merupakan tanaman yang termasuk dalam herba famili

Asteraceae yang tumbuh secara liar di daerah kering di tanah yang keras dan

berbatu atau ditanam sebagai tanaman pagar. Beluntas sering dimanfaatkan

sebagai obat tradisional yaitu untuk menghilangkan bau badan dan mulut,

mengatasi kurang nafsu makan, mengatasi gangguan pencernaan pada anak,

menghilangkan nyeri pada rematik, nyeri tulang dan sakit pinggang, menurunkan

demam, mengatasi keputihan dan haid yang tidak teratur, hal ini disebabkan

adanya kandungan senyawa fitokimia dalam daun beluntas (Halim, 2015).

2.1.3 Kandungan Daun Beluntas

Daun beluntas mengandung alkaloid, flavonoida, saponin, tanin, minyak

atsiri, asam chlorogenik, natrium, almunium, kalsium, magnesium, dan fosfor

(Sonja, 2012). Berikut beberapa kandungan terbesar 3 kandungan terbesar dalam

daun beluntas yang berpotensi sebagai larvasida yaitu Flavonoid, Saponin, dan

Minyak Atsiri (Ismatullah, 2011)


9

2.1.3.1 Flavonoid

Flavonoid merupakan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada

tanaman hijau, kecuali alga. Flavonoid merupakan termasuk senyawa fenolik

alam yang potensial sebagai antioksidan dan mempunyai bioaktifitas sebagai obat.

Beberapa fungsi flavonoid bagi tumbuhan adalah pengaturan tumbuh, pengaturan

fotosintesis, kerja antimikroba dan antivirus, fitoaleksin merupakan komponen

abnormal yang hanya dibentuk sebagai tanggapan terhadap infeksi atau luka dan

kemudian menghambat fungus menyerangnya, mengimbas gen pembintilan dalam

bakteria bintil nitrogen (Ismatullah, 2011). Flavonoid dapat dikelompokkan

berdasarkan rantai C3 yaitu : Katekin serta proantosianidin, Flavanon dan

flavanonol

2.1.3.2 Saponin

Saponin merupakan senyawa glikosida triterpenoida atau glikosida

Steroida yang merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun

serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan

menghemolisa sel darah merah (Harborne JB, 1996 dalam Lumowa, Sonja, 2012).

Keberadaan saponin sangat dapat ditandai dengan pembentukan larutan koloidal

dengan air yang apabila dikocok menimbulkan buih yang stabil. Saponin

merupakan senyawa berasa pahit menusuk dan dapat menyebabkan bersin dan

bersifat racun bagi hewan berdarah dingin, banyak di antaranya digunakan sebagai

racun ikan (Harborne JB, 1996 dalam Lumowa, Sonja, 2012).

Saponin memiliki aksi sebagai insektida dan larvasida. Saponin dapat

menurunkan tegangan permukaan selaput mukosa traktus digestivus larva sehinga


10

dinding traktus digetivus larva menjadi korosif (Aminah dkk, 2001). Saponin

yang terdapat dalam makanan yang dikonsumsi serangga dapat menurunkan

aktivitas enzim pencernaan dan penyerapan makanan (Dinata A, 2012).

2.1.3.3 Tanin

Tanin merupakan senyawa aktif metabolit sekunder yang diketahui

mempunyai beberapa khasiat yaitu sebagai astringen, anti diare, anti bakteri dan

antioksidan. Tanin merupakan komponen zat organik yang sangat kompleks,

terdiri dari senyawa fenolik yang sukar dipisahkan dan sukar mengkristal,

mengendapkan protein dari larutannya dan bersenyawa dengan protein tersebut

(Desmiaty et al., 2008). Tanin dibagi menjadi dua kelompok yaitu tanin

terhidrolisis dan tanin terkondensasi. Tanin memiliki peranan biologis yang

kompleks mulai dari pengendap protein hingga pengkhelat logam. Tanin juga

dapat berfungsi sebagai antioksidan biologis (Hagerman, 2002).

2.1.3.4 Minyak Atsiri

Minyak atsiri merupakan salah satu senyawa metabolit sekunder yang

mudah menguap (volatil) dan bukan merupakan senyawa murni tetapi tersusun

atas beberapa komponen yang mayoritas berasal dari golongan terpenoid

(Guenther E, 2006). Minyak atsiri terdiri dari campuran zat yang mudah menguap

dengan komposisi dan titik didih yang berbeda beda. Minyak atsiri yang mudah

menguap terdapat dalam kelenjar minyak khusus didalam kantung minyak atau di

dalam ruang antar sel dalam jaringan tanaman. Minyak atrisi umumnya terdiri dari

berbagai campuran persenyawaan kimia yang terbentuk dari unsur carbon (C),
11

Hidrogen (H), Oksigen (O) dan beberapa senyawa kimia yang mengandung unsur

Nitrogen (N) dan Belerang (S) (Guenther E, 2012).

2.1.4 Ekstraksi Daun Beluntas

Ekstraksi adalah proses pemisahan suatu zat dari campurannya dengan

menggunakan pelarut. Pelarut yang digunakan harus dapat mengekstrak substansi

yang diinginkan tanpa melarutkan material lainnya. Ekstrak adalah sediaan pekat

yang diperoleh dengan cara mengekstraksi zat aktif dengan menggunakan pelarut

yang sesuai. Proses ekstrasi bermula dari penggumpalan ekstrak dengan pelarut

kemudian terjadi kontak anatar bahan dan pelarut sehingga pada bidang antar

muka bahan ekstraksi dan pelarut terjadi pengendapan masaa dengan cara difusi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi ekstraksi anatar lain yaitu ukuran bahan baku,

pemilihan pelarut, waktu proses ekatrasi suhu ektraksi (Depkes RI,2002)

Ekstraksi adalah proses pemisahan suatu zat berdasarkan perbedaan sifat

tertentu, terutama kelarutannya terhadap dua cairan tidak saling larut yang

berbeda. Pada umumnya ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut yang

didasarkan pada kelarutan komponen terhadap komponen lain dalam campuran,

biasanya air dan yang lainnya pelarut organik. Bahan yang akan diekstrak

biasanya berupa bahan kering yang telah dihancurkan, biasanya berbentuk bubuk

atau simplisia. Tujuan ekstraksi bahan alam adalah untuk menarik komponen

kimia yang terdapat pada bahan alam (Henrich., dkk, 2015).

2.2 Nyamuk Aedes aegypti

2.2.1 Klasifikasi Aedes aegypti


12

Nyamuk termasuk dalam subfamily Culicinae, family Culicidae

(Nematocera: Diptera) merupakan vektor atau penular utama dari penyakit

penyakit arbovirus (demam berdarah, chikungunya, demam kuning, encephalitis,

dan lain-lain), serta penyakit-penyakit nematode (filariasis), riketsia, dan protozoa

(malaria). Di seluruh dunia terdapat lebih dari 2500 spesies nyamuk, meskipun

sebagian besar dari spesies-spesies nyamuk ini tidak berasosiasi dengan penyakit

virus (arbovirus) dan penyakit-penyakit lainnya. Jenis-jenis nyamuk yang menjadi

vektor utama, biasanya adalah Aedes spp, Culex spp, Anopheles spp, dan

Mansonia spp (Sembel, 2009). Nyamuk Aedes aegypti merupakan penyebab

terjadinya penyakit demam berdarah. Menurut Wormack (1993) di dalam sistem

nomenklatur, Aedes aegypti menempati sistematika sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Phylum : Arthropoda

Class : Insecta

Ordo : Diptera

Sub ordo : Nematocera

Family : Culicidae

Sub family : Culicinae

Genus : Aedes

Species : Aedes aegypti

2.2.2 Morfologi Aedes aegypti


13

Nyamuk Aedes aegypti berukuran kecil (4 – 13 mm) dan rapuh. Kepala

mempunyai probosis halus dan panjang yang melebihi panjang kepala. Pada

nyamuk betina probosis dipakai sebagai alat untuk menghisap darah, sedangkan

pada nyamuk jantan untuk menghisap bahan-bahan cair seperti cairan tumbuh-

tumbuhan, buah-buahan dan juga keringat. Di kiri kanan probosis terdapat palpus

yang terdiri atas 5 ruas dan sepasang antena yang terdiri atas 15 ruas. Antena pada

nyamuk jantan berambut lebat (plumose) dan pada nyamuk betina jarang (pilose).

Sebagian besar toraks yang tampak (mesonotum), diliputi bulu halus. Bulu ini

berwarna putih/kuning dan membentuk gambaran yang khas untuk masing-

masing spesies. Sayap nyamuk panjang dan langsing, mempunyai vena yang

permukaannya ditumbuhi sisik-sisik sayap (wing scales) yang letaknya mengikuti

vena. Pada pinggir sayap terdapat sederatan rambut yang disebut fringe. Abdomen

berbentuk selinder dan terdiri atas 10 ruas. Dua ruas yang terakhir berubah

menjadi alat kelamin. Nyamuk mempunyai 3 pasang kaki (hexopoda) yang

melekat pada toraks dan tiap kaki terdiri dari 1 ruas femur, 1 ruas tibia dan 5 ruas

tarsus (Gandahusada, 1998).

2.2.3 Ekologi Nyamuk

Nyamuk-nyamuk Aedes yang aktif pada waktu siang hari seperti Aedes

aegypti dan Aedes albopictus biasanya meletakkan telur dan berbiak pada tempat-

tempat penampungan air bersih atau air hujan seperti bak mandi, tangki

penampungan air, vas bunga (di rumah, sekolah, kantor, atau di pekuburan),

kaleng-kaleng, atau kantung-kantung plastik bekas, di atas lantai gedung terbuka,

talang rumah, bambu pagar, kulit-kulit buah seperti kulit buah rambutan,

tempurung kelapa, ban-ban bekas, dan semua bentuk container yang dapat
14

menampung air bersih. Jentik-jentik nyamuk (nyamuk muda) dapat terlihat

berenang naik turun di tempat-tempat penampungan air tersebut. Kedua jenis

nyamuk Aedes tersebut merupakan vektor utama penyakit demam berdarah

(Sembel, 2009).

2.3 Sediaan Gel

2.3.1 Definisi Gel

Gel dapat didefinisikan sebagai sediaan semipadat yang terdiri dari

suspensi yang dibuat dari partikel organik kecil atau molekul organik besar,

berpenetrasi oleh suatu cairan. Gel adalah sistem semipadat yang pergerakan

medium pendispersinya terbatas oleh sebuah jalinan jaringan tiga dimensi dari

partikel – partikel atau makromolekul yang terlarut pada fase pendispersi (Allen

et. al., 2002).

Menurut Farmakope Indonesia V (2014) sediaan gel kadang – kadang

disebut jeli, adalah sistem semipadat yang terdiri dari suspensi yang dibuat dari

partikel anorganik kecil atau molekul organik besar, yang terpenetrasi oleh suatu

cairan. Jika massa gel terdiri dari jaringan partikel kecil yang terpisah, gel

digolongkan sebagai sistem dua fase (misalnya Gel Aluminium Hidroksida).

Dalam sistem dua fase, jika ukuran partikel dari fase terdispersi relative besar,

massa gel kadang – kadang dinyatakan sebagai magma (misalnya Magma

Bentonit). Baik gel maupun magma dapat berupa tiksotropik, membentuk

semipadat jika dibiarkan dan dapat menjadi cair pada saat pengocokan.

Gel memiliki sistem sistem disperse yang banyak tersusun dari air serta

sangat rentan terhadap terjadinya instabilitas fisik, kimia maupun mikroba. Pada
15

umumnya instabilitas fisik yang terjadi pada gel yaitu sineresis yang mana

keluarnya medium dispersi dari sistem akibat adanya kontraksi sistem polimer

gel. Faktor perubahan pada suhu penyimpanan yang ekstrim merupakan salah satu

faktor utama yang terjadi pada sineresis yang dialami pada saat cycling test.

Adanya penurunan tekanan osmotik pada sistem serta perubahan bentuk molekul

dapat terjadi pada proses pembekuan saat cycling test. Molekul yang mengkerut

ini memaksa keluarnya medium dari sistem matriks (Gad, 2008). Pada konsentrasi

gelling agent yang rendah biasanya dapat terjadi sineresis. Sineresis menunjukkan

adanya fenomena ketidakstabilan secara termodinamika (Kaur dan Guleri, 2013).

2.3.2 Formulasi Sediaan Gel

2.3.2.1 Gelling agent

Gelling agent merupakan suatu gum alam atau sintesis, resin maupun

hidrokoloid lain yang dapat digunakan dalam formulasi gel untuk menjaga

konsituen cairan serta padatan dalam suatu bentuk gel yang halus. Bahan berbasis

polisakarida atau protein merupakan jenis bahan yang biasanya digunakan sebagai

pembentuk gel. Beberapa contoh gelling agent yaitu CMC-Na, metil selulosa,

asam alginat, sodium alginate, kalium alginat, kalsium alginate, agar, karagenan,

locust bean gum, pektin serta gelatin (Raton, et al., 1993). Sistem setengah

padatan yang terdiri dari suatu sistem dispers yang tersusun dari partikel

anorganik kecil dan besar yang terserap oleh cairan (Ansel, 2008).

Carbopol merupakan salah satu gelling agent yang sering digunakan.

Gelling agent (basis) harus bersifat inert, aman serta tidak reaktif terhadap

komponen lainnya. Pada penggunaan gelling agent karakteristiknya harus


16

disesuaikan terhadap bentuk sediaanya.Semakin tinggi viskositas gel maka

struktur gel akan semakin kuat (Zatz and Kushla, 1996). Carbopol adalah polimer

sintesis yang stabil, bersifat higroskopis, serta dapat digunakan sebagai bahan

pengemulsi dalam sediaan krim, gel, salep, dan lotion. Carbopol berwarna putih,

halus, bersifat asam, material koloid hidrofilik, larut didalam air hangat, etanol

serta gliserin, tidak toksik dan tidak dapat mengiritasi pada kulit, gelling agent

yang kuat, dan dapat meningkatkan viskositas pada sediaan serta produk kosmetik

(Rowe et al., 2009).

Gambar 2. Struktur Carbopol (Rowe et al., 2009)

Konsentrasi sediaan yang lazim digunakan dalam gelling agent yaitu

sebesar 0,5 – 2,0% pada pH optimum 6 – 11 (Rowe et al., 2009). Inkompatibel

carbopol dengan senyawa fenol, polimer kationik, asam kuat, dan elektrolit kuat.

Carbopol dipilih karena bentuk basis yang bening transparan dengan tekstur lebih

baik dari CMC-Na, memiliki stabilitas baik karena dapat mengikat air dengan

cepat sedangkan pelepasan cairannya lambat serta memiliki viskositas paling baik,

tidak mengiritasi kulit, memiliki karakteristik dan stabilitas fisik terbaik dalam

formulasi sediaan gel dengan konsentrasi gelling agent carbopol sebesar 0,5% (Ida

dan Noer, 2012).


17

2.3.2.2 Humektan

Humektan merupakan bahan dalam produk sediaan kosmetik yang

bertujuan untuk mencegah hilangnya kelembaban dari suatu produk serta

meningkatkan jumlah air pada lapisan kulit terluar saat produk diaplikasikan

(Barel et al., 2009). Mekanisme kerja dari humektan yaitu dengan cara menjaga

kandungan air pada lapiran stratum korneum serta mengikat air dari lingkungan

ke dalam kulit (Leyden and Rawlings, 2002).

Propilen glikol (C3H8O2) berbentuk cairan bening, tidak berwarna,

bersifat kental, tidak berbau, memiliki rasa manis dan sedikit tajam menyerupai

gliserin. Propilen glikol dapat larut dalam aseton, kloroform, etanol (95%),

gliserin, dan air, tidak larut dalam minyak mineral ringan atau fixed oil, akan

tetapi dapat melarutkan beberapa minyak esensial. Propilen glikol memiliki titik

didih 18°C, titik lebur -59°C, berat jenis 1,038g/mL pada suhu 20°C.

Gambar 3. Struktur Propilen glikol (Rowe et al., 2009)

Propilen glikol (1,2 – Dihirdoksipropana) memiliki bentuk cairan jernih,

tidak berwarna, viscous, serta tidak berbau, berasa manis seperti gliserin. Propilen

glikol memiliki titik didih 18°C, titik lebur -59°C, serta memiliki berat jenis

1,038g/mL pada suhu 20°C. Propilen glikol biasa digunakan sebagai pengawet

antimikroba, desinfektan, humektan, plasticizier, pelarut, dan zat penstabil.


18

Konsentrasi yang biasa digunakan pada humektan yaitu sebesar 15% (Rowe et al.,

2009). Pada formulasi sediaan gel, propilen glikol berfungsi sebagai humektan

yang menjaga kandungan air pada sediaan gel. Keunggulan lainnya dari propilen

glikol yaitu ekonomis dan dapat berperan sebagai co – solven. Secara teoritis

penambahan propilen glikol pada sediaan gel dapat menurunkan viskositas serta

dapat menaikkan daya sebar dari sediaan (Chem, 2008).

2.3.2.3 Pengawet

Metil paraben memiliki ciri – ciri serbuk hablur halus, berwarna putih,

hampir tidak berbau serta, tidak memiliki rasa serta agak membakar dan diikuti

rasa tebal (Depkes, 1979; Rowe, et al., 2005). Kegunaan metil paraben yaitu

sebagai bahan pengawet, mencegah adanya kontaminasi, perusakan serta

pembusukan oleh bakteri dan fungi di dalam formulasi farmasetika, produk

makanan, dan kosmetik pada rentang pH 4 – 8. Pada sediaan topikal, konsentrasi

yang umum digunakan yaitu 0,02 – 0,3%. Metil paraben dapat larut dalam air

panas, etanol dan methanol (Rowe et al., 2009). Metil paraben dapat

meningkatkan aktivitas antimikroba dengan panjang rantai alkali, serta dapat

menurunkan kelarutannya terhadap air, sehingga paraben sering digunakan

pencampuran dalam bahan tambahan yang berfungsi meningkatkan kelarutan

(Rowe et al., 2006).


19

Gambar 4. Struktur Metil Paraben (Rowe et al., 2009)

2.1.2.4. Pelarut

Aquadest yaitu air murni yang dapat diperoleh melalui suatu tahap

penyulingan. Aquadest merupakan suatu air yang bebas terhadap kotoran maupun

mikroba yang ada jika dibandingan dengan air biasa. Pada sediaan yang

mengandung air, air murni banyak digunakan tetapi tidak pada sediaan parenteral

(Ansel, 1989). Pada sediaan farmasi aquadest dapat berfungsi sebagai pelarut

maupun medium pendispersi.


20

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan mulai bulan Oktober 2019. Penelitian akan

dilakukan di Laboratorium Teknologi Farmasi, Laboratorium Fitokimia Jurusan

Farmasi FMIPA Universitas Sriwijaya Indralaya, dan Loka Penelitian dan

Pengembangan Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang (LokaLitbang P2B2)

Batu raja, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan gelas (Pyrex®),

rotary evaporator, timbangan analitik readability 0,001 g, pipet tetes, dan

blender, kertas saring (whatman), oven, penangas air, Beaker glass, gelas ukur,

cawan porselen, tabung reaksi,dan lemari pendingin.

3.2.2 Bahan

Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak etanol

daun beluntas, etanol 96%, temephos, kloroform, ammonia, asam asetat anhidrat,

asam sulfat, kertas saring, natrium hidroksida, Reagen Dragendroff, Reagen

Mayer, Reagen Wagner, Besi (III) Klorida, pereaksi Shinoda (logam magnesium

+ asam klorida), dan aquadest.

3.2.3 Hewan Uji


21

Hewan yang digunakan adalah nyamuk Aedes aegypti yang diperoleh dari

tempat penelitian nyamuk, Loka Penelitian dan Pengembangan Pengendalian

Penyakit Bersumber Binatang (LokaLitbang P2B2) Batu raja, Ogan Komering

Ulu, Sumatera Selatan.

3.3 Formulasi Sediaan Gel Ekstrak Etanol Daun Beluntas

Tabel 1. Rancangan Formula

Sediaan Gel (%)


No Nama Bahan Kegunaan
F1 F2 F3

Ekstrak etanol
1. Zat aktif 0,1 0,1 0,1
Daun beluntas

2. Karbopol 940 Basis 0,5 0,75 1

3. HPMC Basis 0,25 0,5 0,75

4. TEA Pengalkali 2 2 2

5. Gliserin Pelembab 15 15 15

6. Metil Paraben Pengawet 0,075 0,075 0,075

7. Air suling (ad) pelarut 100 100 100

3.4 Prosedur Penelitian

3.4.1 Pengambilan Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun beluntas segar

yang diambil di lahan perkebunan di daerah Kenten, Palembang, Sumatera

Selatan.

3.4.2 Pengelolaan Daun


22

Daun beluntas 200 gram yang segar dibersihkan dengan cara dicuci dengan air

mengalir lalu dikeringkan dengan cara diangin-anginkan (tidak terkena matahari

langsung), Kemudian dipotong kecil-kecil dengan ukuran (5/8).

3.4.3 Determinasi Sampel

Tumbuhan daun beluntas dibuat herbarium dan dideterminasi di Balai

Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Purwodadi-LIPI, Purwodadi, Jawa Timur,

Indonesia.

3.4.4 Ekstraksi Bahan Dengan Cara Maserasi

Daun beluntas yang telah kering ditimbang sebannyak 200 gram

dimasukkan ke dalam bejana maserasi kemudian ditambahkan pelarut etanol,

Hingga terendam 1 cm diatas daun. Diamkan di tempat terlindung cahaya selama

5 hari sambil sekali-kali diaduk, saring dan ampasnya dimaserasi kembali. Ulangi

perlakuan hingga 3 kali penggantian pelarut. Lalu ekstrak dikumpulkan dan

diuapkan dengan rotavapor sampai pekat, lanjutkan pengeringan dengan water

bath hingga diperoleh ekstrak kental.

3.4.5 Skrining Fitokimia Ekstrak

3.4.5.1 Uji Alkaloid

Identifikasi alkaloid dilakukan dengan cara ekstrak ditambah sedikit

kloroform dan 5 mL ammonia dalam kloroform. Campuran diaduk selama 1 menit

lalu disaring kedalam tabung reaksi. Selanjutnya kedalam filtrat ditambahkan

H2SO4 dan dikocok teratur hingga terbentuk dua lapisan. Lapisan diatas

ditambahkan masing-masing 2 tetes reagen Wagner, Mayer, dan Dragendorff.

Lapisan yang terbentuk endapan maka sampel mengandung alkaloid (Arifin dkk.,

2006).
23

3.4.5.2 Uji Terpenoid dan Steroid

Identifikasi terpenoid dan steroid dilakukan dengan cara ekstrak ditambah

ammonia dalam kloroform lalu diaduk selama 1 menit, kemudian disaring

kedalam tabung reaksi. Filtrat didapat ditambahkan 1 mL H2SO4 2 N dan dikocok

teratur selama 1 menit hingga terbentuk dua lapisan. Lapisan bawah diteteskan

pada plat tetes hingga kering, kemudian ditambah 3 tetes asam asetat anhidrat dan

1 tetes H2SO4 pekat. Sampel positif mengandung terpenoid ditandai dengan

timbulnya warna merah jingga hingga ungu. Sampel positif mengandung steroid

bila terbentuk warna hijau hingga biru (Arifin dkk., 2006).

3.4.5.3 Uji Tanin

Sebanyak 1 g serbuk ekstrak dididihkan selama 3 menit dalam 10 ml air

suling lalu didinginkan dan disaring. Filtrat diencerkan sampai hampir tidak

berwarna, lalu ditambahkan 1-2 tetes pereaksi besi (III) klorida, jika terjadi warna

biru kehitaman atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tannin (Supomo,

2016).

3.4.5.4 Uji Flavonoid

Identifikasi flavonoid secara kualitatif dikerjakan dengan pereaksi Shinoda

(logam Mg + HCl). Sampel sebanyak 5 mg ditambahkan beberapa tetes HCl pekat

kemudian ditambahkan kurang lebih 0,20 mg logam magnesium. Indikator adanya

flavonoid dalam sampel ditunjukkan dengan warna merah. Uji flavonoid yang

kedua menggunakan NaOH 10%. Sampel diteteskan pada plat tetes kemudian

ditambah 2 tetes NaOH 10%. Sampel dinyatakan positif mengandung flavonoid

ditandai dengan perubahan warna kuning-orange-merah (Supomo, 2016).

3.4.5.5 Uji Saponin


24

Sebanyak 0,5 g ekstrak dimasukkan kedalam tabung reaksi, ditambahkan

10 ml air panas, didinginkan dan kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 detik.

Jika terbentuk buih yang banyak selama tidak kurangdari 10 menit, setinggi 1 cm

sampai 10 cm dan tidak hilang dengan penambahan 1 tetes asam klorida 2 N

menunjukkan adanya saponin (Supomo, 2016).

3.4.6 Karakterisasi Ekstrak

Pemeriksaan karakterisasi ekstrak etanol meliputi : penetapan kadar air, penetapan

kadar sari yang larut air, penetapan kadar sari larut etanol, penetapan kadar abu

total dan penetapan kadar abu tidak larut asam. Penetapan dilakukan menurut

metode Ditjen POM (2000).

3.4.6.1 Organoleptis

Pengujian organoleptis ekstrak, secara langsung dilakukan pengamatan

dengan panca indra terhadap bentuk, warna, dan bau.

3.4.6.2 Penetapan Kadar Air

Kadar air ditetapkan dengan menimbang saksama 1 gram ekstrak. Ekstrak

dimasukkan kedalam botol timbang yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu

105ºC selama 30 menit dan ditara. Ekstrak dalam botol diratakan dan dimasukan

kedalam oven, buka tutupnya, keringkan pada suhu 105ºC hingga bobot tetap

(Depkes RI, 2008). Kadar air dihitung menggunakan Persamaan 1.

bobot awal-bobot akhir


Kadar air=
bobot akhir

x100%.................................................................(1)

3.4.6.3 Penetapan Kadar Abu Total

Timbang 2 g ekstrak, lalu masukkan kedalam krus porselen yang telah

dipijarkan. Proses pemijaran dilakukan perlahan-lahan hingga arang habis,


25

didinginkan dan ditimbang. Tambahkan air panas, jika arang tidak dapat

dihilangkan, diaduk, disaring melalui kertas saring bebas abu. Kertas saring

beserta sisa penyaringan dipijarkan dalam krus yang sama. Filtrat dimasukkan

kedalam krus, diuapkan dan dipijarkan hingga bobot tetap. Kadar abu total

dihitung terhadap berat simplisia, dan dinyatakan dalam % (b/b) (Persamaan 2).

Syarat kadar abu total adalah 3 – 5% (Depkes RI, 2008).

b obot krus porselen abu - bobot krus porselen kosong


Kadar abu total = x
bobot ekstrak awal

100%....................(2)

3.4.6.4 Penetapan Kadar Abu TidakLarutAsam

Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu, didihkan dengan 25 ml asam

klorida encer selama 5 menit, kumpulkan bagian yang tidak larut dalam asam

,saring melalui krus kaca masir atau kertas saring bebas abu yang telah diketahui

beratnya, lalu sisa dipijarkan, kemudian didinginkan dan ditimbang sampai bobot

tetap. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang telah

dikeringkan di udara (Supomo, 2016). Kadar abu yang tidak larut dalam asam

dihitung terhadap berat simplisia, dinyatakan % (b/b) (Persamaan 3).

bobot abu hasil pijar - ( c x 0,0076 ) - bobot awal


Kadar abu tidak larut asam=
bobot kertas saring dan residu abu

x100% .........(3)

Keterangan :

C= bobot kertas saring

3.4.6.5 Penetapan Kadar Sari LarutEtanol

Kadar sari larut etanol ditetapkan dengan menimbang saksama 0,5 g

ekstrak, kemudian dimasukan kedalam labu bersumbat dan ditambahkan 10 mL


26

etanol 96%. Campuran dikocok berkali-kali selama 6 jam pertama, kemudian

dibiarkan selama 18 jam dan disaring. Filtrat sebanyak 2 mL diuapkan hingga

kering dalam cawan penguap yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu 105oC

hingga diperoleh bobot tetap (Depkes RI, 2008). Kadar sari larut etanol dihitung

dengan (Persamaan 4).

Bobotcawan residu - Bobot cawan kosong 10


Kadar sari larut etanol= x x 100%..
Bobot ekstrak awal 2

................(4)

3.4.6.6 Penetapan Kadar Sari Larut Air

Kadar sari larut air ditetapkan dengan menimbang 0,5 g ekstrak, kemudian

dimasukan kedalam labu bersumbat dan ditambahkan 10 mL air jenuh kloroform.

Campuran dikocok berkali-kali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama

18 jam dan disaring. Filtrat sebanyak 2 mL diuapkan hingga kering dalam cawan

penguap di atas penangas air hingga kering. Sisa filtrat dipanaskan pada suhu

105oC hingga bobot tetap (Depkes RI, 2008). Kadar sari larut air dihitung dengan

(Persamaan 5).

Bobot cawan residu - Bobot cawan kosong 10


Kadar sari larut air= x x 100% ....
Bobot ekstrak awal 2

............. (5)

3.4.7 Persiapan Hewan Percobaan

Nyamuk Aedes aegypti yang dalam kondisi baik, diletakkan dalam sebuah

wadah plastik yang telah berisikan air sumur yang diperoleh dari Desa Airpaoh

Kelurahan Sekar Jaya Baturaja, Baturaja, Sumatera Selatan.

3.4.8 Pembuatan Gel Ekstrak Etanol Daun Beluntas


27

Sediaan gel dikerjakan dengan cara basis gel (karbopol 940 dan HPMC) di

kembangkan dengan air suling 70°C dalam gelas kimia, di aduk hingga

mengembang. kemudian TEA dicampurkan ke dalam basis lalu dihomogenkan.

Ditambahkan metil paraben yang sebelumnya telah dilarutkan dengan 3 ml air

suling pada suhu 90°C, dihomogenkan. Dilarutkan ekstrak etanol daun beluntas

(Pluceindica Less) ke dalam gliserin, lalu dimasukkan ke dalam basis sedikit demi

sedikitdihomogenkan. Kemudian sisa air ditambahkan setelah itu dihomogenkan.

3.4.9 Uji Stabilitas Gel Ekstrak Etanol Daun Beluntas

3.4.9.1 Pengamatan Organoleptis

Pemeriksaan organoleptis meliputi bentuk, warna, dan bau, yang diamati

menggunakan panca indera sebelum dan setelah perlakuan penyimpanan

dipercepat dengan suhu 4oC dan 40oC selama 48 jam dalam 6 siklus.

3.4.9.2 Pengukuran pH

Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter sebelum dan setelah

perlakuan penyimpanan dipercepat dengan suhu 4oC dan 40oC selama 48 jam

dalam 6 siklus.

3.4.9.3 Pengukuran Viskositas

Pengukuran viskositas dilakukan terhadap sediaan gel dengan menggunakan

viscometer Brookfield pada spindle nomor 7 kemudian dicelupkan kedalam gel

dengan kecepatan putaran 50 rpm. Viskositas gel dapat terbaca pada layar monitor

alat viscometer sebelum dan setelah perlakuan penyimpanan dipercepat dengan

suhu 4oC dan 40oC selama 48 jam dalam 6 siklus.

3.4.9.4 Uji Daya Sebar


28

Sebanyak 1 gram gel diletakkan dengan hati-hati diatas kaca atau plastik

transparan, kemudian ditutupi dengan bagian lainnya dan digunakan pemberat

diatasnya hingga bobot mencapai 125 gram dan diukur diameternya setelah 1

menit sebelum dan setelah perlakuan penyimpanan dipercepat dengan suhu 4 oC

dan 40oC selama 48 jam dalam 6 siklus.

3.4.9.5 Uji Homogenitas

Sebanyak 1 gram gel yang telah dibuat dioleskan pada kaca objek. Kemudian

dikatubkan dengan kaca objek yang lainnya dan dilihat apakah basis tersebut

homogen dan permukaannya halus merata sebelum dan setelah perlakuan

penyimpanan dipercepat dengan suhu 4oC dan 40oC selama 48 jam dalam 6 siklus.

3.4.9.6 Cycling Test

Sediaan diletakkan pada suhu 4°C selama 24 jam dilanjutkan dengan meletakkan

sediaan pada suhu 40°C 24 jam berikutnya. Perlakuan tersebut adalah 1 siklus

selama 48 jam. Pengujian dilakukan sebanyak 6 siklus dan diamati terjadinya

perubahan fisik dari sediaan gel pada awal dan akhir siklus yang meliputi

Organoleptis, pH, viskositas, homogenitas, dan daya sebar.

3.4.10 Pengujian Aktivitas Larvasida

Uji pendahuluan dilakukan terlebih dahulu dengan menggunakan

25 ekor nyamuk untuk setiap perlakuan. Konsentrasi yang digunakan adalah10,

20, 30, 40, dan 50 ppm, kemudian dicari konsentrasi yang paling berpotensi

memiliki aktivitas repellent, dipecah menjadi larutan berbagai konsentrasi untuk

digunakan dalam pengujian aktivitas repellent. Perlakuan pengujian akan dibagi

menjadi 3 kelompok, yaitu kontrol positif, kontrol negatif dan uji. Setiap

konsentrasi dibuat 3 kali pengulangan (Sari, 2015).


29

Pengujian menggunakan 25 ekor nyamuk Aedes aegypti tiap kelompok perlakuan

dipindahkan dari wadah perindukkan kedalam gelas percobaan yang berisi ekstrak

etanol daun beluntas, lalu gelas percobaan ditutup dengan menggunakan kain

kasa. Waktu pengamatan dilakukan dengan interval waktu 5, 10, 20, 40, 60, 120,

240, 480, dan 1440 menit (Ali, 2018).

3.4.11 Analisis Data

Data hasil penelitian yang didapatkan kemudian ditabulasi dan dianalisis

menggunakan analisis probit. Analisis probit dilakukan untuk mengetahui daya

bunuh ekstrak etanol daun beluntas terhadap nyamuk Aedes aegypti. Hasil analisis

dinyatakan dengan LC50 (Lethal Concentration 50%), LC99 (Lethal Concentration

99%), LT50 (Lethal Time 50%) dan LT99 (Lethal Time 99%) dengan analisis probit

metode regresi linier menggunakan tabel transformasi persen probit (Ali, 2018).

Data persen kematian larva diuji normalitas dan dianalisis secara statistik

menggunakan program SPSS®versi 23.0™. Hasil data yang diperoleh diuji

normalitasnya dengan Kolmogorov-Smirnov jika subjek lebih dari 50, dan uji

Shapiro-Wilk jika subjek kurang dari 50. Data jika terdistribusi normal

dilanjutkan dengan uji ANOVA (one-way). Pengujian terdapat perbedaan

bermakna, maka dilakukan uji Post Hoc untuk melihat perbedaan antar kelompok

sampel. Data tidak terdistribusi normal maka dilakukan transformasi, apabila

masih tidak normal dilanjutkan dengan uji non parametrik Kruskal-Wallis.

Selanjutnya jika terdapat perbedaan bermakna, maka dilakukan uji Mann-Whitney

(Ali,2018).
30

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI. 2002, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan


Obat, Diktorat Jendral POM-Depkes RI, Jakarta, Indonesia.

Henrich, Michael., Barnes, Joanne., Gibbons, Simon., Williamso, Elizabeth M.


2004, Fundamental of Pharmacognosy and Phytotherapi, Elsevier, Hungary.

Khodaria, P. 2013, Uji Daya Hambat Ekstrak Daun Beluntas (Pluchea indica
Less) Terhadap Pertumbuhan Aeromonas hydrophila, Universitas
Muhammadiyah Purwokerto, Purwokerto, Indonesia.

Halim, N, dkk. 2015, Efek Antidiare Ekstrak Daun Beluntas pada Mencit Jurnal
Pangan dan Agroindustri, 3 (3): 1083-1094.

Ismatullah A. et al. 2015, Uji Efektivitas Larvasida Ekstrak Daun Binahong


(Anredera Cordifolia (Ten.) Steenis) terhadap Larvasida Aedes aegypti
Instar III, Fakultas Kedokteran Unlam, Lampung, ISSN: 2337-3776. 2015.

Lumowa, Sonja. 2015, Pengaruh Mat Sebuk Bunga Sukun (Artocarpus altilis L)
sebagai Isi Ulang Nyamuk Aedes aegypti, Universitas Mulawarman.
Samarinda, Indonesia

Hagerman, A.E. 2002, Condensed Tannin Structural Chemistry, Department of


Chemistry and Biochemistry, Miami University, Oxford, OH 45056.

Guenther, E. 2006, Minyak Atsiri, Jilid I Diterjemahkan oleh S. Ketaren, UI-


Press, Jakarta, Indonesia

Sembel D.T. 2009, Entomologi Kedokteran, ANDI, Pp:49-53, Yogyakarta,


Indonesia
31

Gandahusada, S., 1998, Parasitologi Kedokteran, 234, Fakultas Kedokteran.


Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia

Allen, L. V., 2002, The Art science, and Technology of Pharmaceutical.


Compouding, 304,309,310, American Pharmaceutical Association,.
Washington D. C

Kaur, L.P. and Guleri, T.K., 2013, Topical Gel: A Recent Approach for Novel
Drug delivery, J.Biopharm, 3(17): 1-5.

Ansel, H. C., 2008, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, ed IV, Alih bahasa.


Ibrahim, F, UI Press, Jakarta

Rowe, R.C. et Al. (2009). Handbook Of Pharmaceutical Excipients, 6th Ed, The
Pharmaceutical Press, London.

Ida, N., and Noer, S., F., 2012, Uji Stabilitas Fisik Gel Ekstrak Lidah Buaya.
(Aloe Vera L.), Majalah Farmasi dan Farmakologi, 16 (2):79-84.

Leiden, J. and Rawlings, A., 2002, Skin Moisturization, Marcel Dekker, Inc.,
New York

Rowe, R.C. et Al. (2006). Handbook Of Pharmaceutical Excipients, 5th Ed,


The Pharmaceutical Press, London

Anda mungkin juga menyukai