Anda di halaman 1dari 14

UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK DAUN BELUNTAS (Pluchea indica.

L)
TERHADAP BAKTERI Staphylococcus epidermidis

Makalah Seminar Tinjauan Pustaka

Disusun oleh :

Abdul Aziz

062120064

PROGRAM STUDI KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU


PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS PAKUAN BOGOR

2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan karunia-Nya,
penulis dapat menyelesaikan Makalah Seminar Tinjauan Pustaka dengan judul " UJI AKTIVITAS
ANTIBAKTERI EKSTRAK DAUN BELUNTAS (Pluchea indica. L) TERHADAP BAKTERI Staphylococcus
epidermidis”. Disamping itu penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Bapak Asep Denih, S.Kom., M.Sc., Ph.D selaku Dekan FMIPA Universitas Pakuan Bogor.
2. Ibu Ade Heri Mulyati, M.Si selaku Ketua Program Studi Kimia FMIPA Universitas Pakuan
Bogor.
3. Seluruh dosen Program Studi Kimia FMIPA Universitas Pakuan Bogor atas ilmu yang telah
diberikan dan seluruh staf Tata Usaha FMIPA Universitas Pakuan Bogor atas segala
kemudahan dan bantuan yang telah diberikan.
4. Keluarga saya atas dukungan, bantuan serta doanya yang diberikan
5. Seluruh pihak yang membantu penyusunan seminar tinjauan pustaka (STP) ini yang tidak
bisa saya sebutkan satu persatu

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan menyangkut
materi penyusunan, penyajian maupun pembahasannya. Oleh karena itu, diperlukan saran
dan kritik dari pembaca yang sifatnya membangun dan menjadikan makalah ini lebih
sempurna dan berbobot. Penulis berharap semoga makalah ini dapat berguna bagi semua
pihak. Baik secara langsung maupun tidak langsung serta dapat bermanfaat di masa
sekarang maupun di masa depan.

Bogor, Mei 2022

penulis

ii
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………….iii

DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………………iv

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………5

1.1 Latar Belakang…………………………………………………………..5


1.2 Tujuan Penelitian………………………………………………………..6
1.3 Hipotesis...................................................................................................6
1.4 Manfaat Penelitian………………………………………………………6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………………...7

2.1 Beluntas………………………………………………………………….7

2.1.1 Klasifikasi Daun Beluntas……………………………………….8

2.1.2 Deskripsi Tanaman Beluntas…………………………………….9

2.1.3 Kandungan Metabolit Sekunder Daun Beluntas…………………9

2.2 Bakteri Staphylococcus Epidermidis…………………………………….11

2.2.1 Klasifikasi Staphylococcus epidermidis………………………....11

2.3 Uji Fitokimia…………………………………………………………….12

2.4 Uji Aktivitas Antibakteri………………………………………………..12

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………..13

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.Tanaman Beluntas……………………………………………………….7

Gambar 2. Alkaloid…………………………………………………………………9

Gambar 3. Flavonoid………………………………………………………………..11

Gambar 4. Bakteri Staphylococcus Epidermidis……………………………………12

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bau badan merupakan salah satu masalah yang mengganggu kehidupan sehari-
hari.Keringat apokrin mengandung lemak dan protein, yang apabila di uraikan oleh
bakteri akan menimbulkan bau yang tidak enak, bau inilah yang di kenal bau badan
(Nikham 2006). Menurut Endarti et al (2004) bakteri penyebab bau badan diantaranya
Staphylococcus epidermidis, Corynebacterium acne dan Pseudomonas
aerugenosa.Bakteri Staphylococcus epidermis ini secara alami hidup di membran kulit
dan membran mukosa manusia.Menurut Otto (2012) bakteri Staphylococcus epidermidis
umumnya telah resisten terhadap antibiotik penisilin dan metisilin, sedangkan penelitian
yang dilakukan oleh Rogers et al (2009) penggunaan metisilin menyebabkan resistensi
terhadap antibiotik lain seperti rifamisin, gentamisin, tetrasiklin, kloramfenikol,
eritromisin, clindamisin, dan sulfonamid. Pemberian antibiotik yang berlebihan akan
menyebabkan bakteri patogen menjadi resisten, selain itu obat-obatan jenis antibiotik
relatif lebih mahal. Sehingga perlu diketahui bahan alami yang berpotensi mempunyai
pengaruh sebagai antibakteri yang diharapkan lebih efektif, efisien, dan aman dalam
upaya menghambat dan membunuh pertumbuhan bakteri Staphylococcus epidermidis.
Salah satu bahan alami alternative yang dapat digunakan adalah tanaman beluntas
(Plucea Indica) karena kemampuannya untuk menghasilkan senyawa metabolit sekunder
yang bersifat antibakteri. pada daun beluntas terkandung senyawa fitokimia yaitu
senyawa tannin, fenol, flavonoid, sterol dan alkaloid yang berpotensi sebagai sumber
antibakteri.
Hasil penelitian Nahak (2013), menyatakan bahwa ekstrak etanol daun beluntas
mampu menghambat bakteri Streptococcus mutans.Penelitian serupa menunjukkan bahwa
ekstrak beluntas dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus, Bacillus
subtillis, dan Pseudomonas aeruginosa (Manu 2013).
Berdasarkan berbagai penelitian di atas menunjukkan potensi daun beluntas sebagai
antibakteri untuk gram positif dan gram negative, karena hal tersebut peneliti
berkeinginan untuk melakukan pengujian ekstrak etanol yang terkandung dalam daun
beluntas untuk menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus epidermidis.

5
1.2 Tujuan Penelitian
Menentukan kandungan fitokimia yang terdapat dalam daun beluntas dan menguji
efektivitas antibakteri ekstrak etanol daun beluntas terhadap bakteri Staphylococcus
epidermidis.
1.3 Hipotesis
Ekstrak daun beluntas mengandung senyawa bioaktif golongan metabolit sekunder
yang memiliki potensi antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus epidermidis.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah untuk mengetahui ke efektivitasan antibakteri dari
ekstrak etanol yang terkandung dalam daun beluntas sebagai penghambat pertumbuhan
bakteri Staphylococcus epidermidis, serta mengetahui konsentrasi yang sangat efektif
untuk menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus epidermidis.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Beluntas

Beluntas (P. indica) merupakan tanaman yang termasuk dalam herba famili
Asteraceae yang tumbuh secara liar di daerah kering di tanah yang keras dan berbatu atau
ditanam sebagai tanaman pagar. Beluntas sering dimanfaatkan sebagai obat tradisional yaitu
untuk menghilangkan bau badan dan mulut, mengatasi kurang nafsu makan, mengatasi
gangguan pencernaan pada anak, menghilangkan nyeri pada rematik, nyeri tulang dan sakit
pinggang, menurunkan demam, mengatasi keputihan dan haid yang tidak teratur, hal ini
disebabkan adanya kandungan senyawa fitokimia dalam daun beluntas (Halim 2015).
Disebutkan bahwa dalam daun beluntas terdapat berbagai senyawa antara lain lignan,
terpena, fenilpropanoid, bensoid, alkana, sterol, katekin, fenol hidrokuinon, saponin, tanin,
dan alkaloid. Kandungan senyawa dalam daun beluntas memiliki beberapa aktivitas biologis
yaitu sebagai antiinflamasi, antipiretik, hipoglikemik, diuretik dan berbagai aktivitas
farmakologi (Widyawati, et al., 2013).

Gambar 1 : Tanaman beluntas

2.1.1 Klasifikasi Daun Beluntas

Taksonomi tanaman beluntas menurut Pujowati (2006) sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

7
Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dycotyledonae

Bangsa : Compositales

Suku : Compositae

Marga : Pluchea

Spesies : Pluchea indica (L.)

2.1.2 Deskripsi Tanaman Beluntas

Tanaman beluntas merupakan tanaman perdu tegak yang sering bercabang banyak
dan memiliki ketinggian 0,5- 2 m. Daun tanaman beluntas berambut, dan berwarna hijau
muda. Helaian daun beluntas berbentuk oval elips atau bulat telur terbalik dengan pangkal
daun runcing dan tepi daunnya bergigi. Letak daun beluntas berseling dan bertangkai pendek
dengan panjang daun sebesar 2,5- 9 cm dan lebar 1 Bunga tanaman beluntas merupakan
bunga majemuk dengan bentuk bongkol kecil, berkumpul dalam malai rata majemuk
terminal. Bunga beluntas memiliki tabung kepala sari berwarna ungu, dan tangkai putik
dengan 2 cabang ungu yang menjulang jauh. Buah tanaman beluntas berbentuk gangsing,
keras dan berwarna cokelat. Ukuran buah beluntas sangat kecil dengan panjang 1 mm. Buah
beluntas memiliki biji kecil dan berwarna cokelat keputih-putihan (Khodaria, 2013).

2.1.3 Kandungan Metabolit Sekunder Daun Beluntas

Pada daun beluntas terdapat berbagai macam metabolit sekunder terkandung


diantaranya alkaloid,flavonoid dan minyak atsiri (Hariana,2006).

A. Alkaloid
Alkaloid merupakan senyawa organik yang paling banyak ditemukan, karena
sebagian besar zat alkaloida berasal dari tanaman. Pada umumnya alkaloida
memiliki satu buah atom nitrogen atau lebih dengan sifat basa sehingga disebut
alkaloid. Alkaloid berfungsi untuk pelindung tanaman dari penyakit, serangan
hama, sebagai pengatur perkembangan, dan sebagai basa mineral untuk mengatur
keseimbangan ion pada bagian-bagian tanaman, alkaloida yang ditemukan dan

8
dihasilkan oleh tanaman termasuk dalam bagian kelompok metabolit sekunder
(Trevor, 2000).
Alkaloid memiliki beberapa sifat yaitu berbentuk kristal yang halus, memiliki
rasa pahit dan asam serta alkaloid yang bebas bersifat basa. Senyawa aktif dalam
tanaman yang bersifat racun bagi manusia tetapi dapat digunakan sebagai obat
adalah alkaloid sehingga digunakan secara luas dalam bidang pengobatan, dengan
alkaloid dapat digunakan sebagai pengatur tumbuh atau penghalau atau penarik
serangga, alkaloid yang tersebar luas didunia tumbuhan terdapat dalam tumbuhan
sebagai garam organik dimana alkaloid diperoleh dengan mengekstraksi bahan
tumbuhan memakai air yang diasamkan dan dilarutkan sebagai garam (Hanani,
2016).
Menurut Robinson (1995) alkaloid memiliki kemampuan sebagai antibakteri
dan mekanisme penghambatan dengan cara mengganggu komponen penyusun
peptidoglikan pada sel bakteri (Compean dan Ynalvez, 2014).
Goyal et.al (2013) melakukan penelitian mengenai identifikasi senyawa dari
tanaman beluntas. Pada penelitian ini didapat senyawa Alkaloid (Plucheol-A,
Plucheol-B, Plucheoside-E, Plucheoside-D1) dengan gambar struktur seperti pada
gambar 2 :

HO

Plucheol-A Roots
HO

H OH

OH

Plucheol-B Roots
HO
H OH

Glc

Plucheoside-E Roots

OH

Glc
CHO

Plucheoside-D1 Roots
O

OMe
HO

OMe

Gambar 2 : Alkaloid (Plucheol-A, Plucheol-B, Plucheoside-E, Plucheoside-


D1)
(Goyal et.al, 2013).

9
B. Flavonoid
Flavonoid merupakan kelompok polifenol dan diklasifikasikan berdasarkan
struktur kimia serta biosintesisnya (Seleem et al., 2017). Struktur dasar flavonoid
terdiri dari dua gugus aromatik yang digabungkan oleh jembatan karbon (C6-C3-
C6) (Uzel et al., 2005). Flavonoid diklasifikasikan sebagai flavon, flavanone,
flavonol, katekin, flavanol, kalkon dan antosianin (Panche et al., 2016).
Pembagian kelompok flavonoid didasarkan pada perbedaan struktur terutama pada
substitusi karbon pada gugus aromatik sentral dengan beragamnya aktivitas
farmakologi yang ditimbulkan (Wang et al., 2018).
Flavonoid disintesis pada tanaman salah satunya untuk melindungi diri dari
infeksi bakteri. Aktivitas antibakteri flavonoid telah banyak diuji secara invitro
dan menunjukan aktivitas terhadap banyak bakteri (Kumar and Pandey, 2013).
Penelitian yang dilakukan Wang et al. (1992) menunjukan pengkompleksan 5-
hidroksi-7,4′- dimetoksiflavon dengan logam metal meningkatkan aktivitas
antibakteri. Aktivitas ini diakibatkan oleh 3,4-hidroksi pada cincin C. Dengan
adanya gugus hiroksi tersebut flavonoid akan membentuk kompleks dengan
protein pada bakteri dan melisis membran bakteri tersebut (Cushnie and Lamb,
2005). Penelitian terbaru yang dilakukan Tsou et al. (2016) terhadap bakteri
Salmonella pencernaan menunjukan mekanisme pengikatan flavonoid kepada type
III secretion system (T3SS) bakteri secara kovalen yang mengakibatkan inhibisi
invasi pada sel epitel. Pengujian antibakteri ini juga dilakukan terhadap 13 macam
senyawa fenol yang diujikan kepada beberapa bakteri seperti Staphyloccocus
epidermidis, Staphylococcus nervous, Micrococcus luteus, Pseudomonas
aeruginosa, Bacillus subtilis, Aspergillus niger, dan Eschericia coli dengan metode
difusi agar. Hasil yang didapatkan yaitu flavon, kuersetin, dan naringenin terbukti
memiliki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri tersebut (Rauha et
al., 2000).
Boonruang et al., ( 2017) melakukan penelitian mengenai identifikasi senyawa
dari tanaman beluntas. Pada penelitian ini didapat senyawa flavonoid (apigenin,
luteolin, krisoeriol, kuersetin) dengan gambar struktur seperti pada gambar 3 :

10
R2

OH

HO O

R1

OH O

R1 R2
1 H H
2 H OH
3 H OCH3
4 OH OH

Gambar 3. Flavonoid 1–4 (apigenin, luteolin, krisoeriol, kuersetin) (Boonruang et


al., 2017).

2.2 Bakteri Staphylococcus Epidermidis

Staphylococcus epidermidis merupakan satu dari tiga spesies bakteri Gram positif
Staphylococcus yang sering dijumpai dan memiliki kepentingan klinis (Jawetz et al., 2010).
Staphylococcus epidermidis adalah flora normal pada kulit, saluran napas dan saluran cerna
manusia (Jawetz et al., 2010). Staphylococcus epidermidis juga dapat ditemukan pada
membran mukosa ( Namvar et al., 2014).

2.2.1 Klasifikasi Staphylococcus epidermidis

Taksonomi bakteri staphylococcus epidermidis menurut soedarto (2015) sebagai berikut :

Domain : Bacteria

Kingdom : Eubacteria

Filum : Firmicutes

Kelas : Bacilli

Ordo : Bacillales

Famili : Staphylococcaceae

Genus : Staphylococcus

Spesies : Staphylococcus epidermidis

11
Sel bakteri Staphylococcus epidermidis berbentuk sferis dengan diameter sekitar 1μm
dan tersebar dalam kelompok iregular. Koloni Staphylococcus epidermidis memiliki
penampakan bulat halus timbul dan mengkilap, berwarna abu-abu hingga putih, bersifat
nonmotil dan tidak membentuk spora. Stafilokokus tumbuh op mal pada uhu C dalam media
aerob atau mikroaerofilik dan membentuk pigmen terbaik pada suhu 20-25 C (Jawetz et al.,
2010).

Gambar 4. Bakteri staphylococcus epidermidis

Staphylococcus epidermidis adalah salah satu mikroorganisme yang terletak pada


kulit manusia dan permukaan mukosa dengan kemampuan menyebabkan infeksi nosokomial
karena penggunaan yang luas dari implan dan perangkat medis. Oleh karena itu, hingga tahun
1980 Staphylococcus epidermidis dianggap sebagai mikroorganisme oportunistik (Namvar et
al., 2014).
2.3 Uji Fitokimia

Uji fitokimia merupakan suatu pemeriksaan golongan senyawa kimia yang terdapat
dalam suatu simplisia tumbuhan. Uji tersebut dapat digunakan untuk membuktikan ada
tidaknya senyawa kimia tertentu dalam tumbuhan untuk dapat dikaitkan dengan aktivitas
bioliginya sehingga dapat membantu langkah-langkah fitofarmakologi (Farnsworth, 1966).

2.4 Uji Aktivitas Antibakteri

Uji aktivitas merupakan suatu metode untuk menentukan tingkat kerentanan bakteri
terhadap zat antibakteri dan untuk mengetahui senyawa murni yang memiliki aktivitas
antibakteri dalam menghambat pertumbuhan bakteri secara in vitro (Vandepitte et al., 2010).

12
DAFTAR PUSTAKA
Boonruang B, et al., 2017. Inhibition of human cytochromes P450 2A6 and 2A13 by flavonoids,
acetylenic thiophenes and sesquiterpene lactones from Pluchea indica and Vernonia cinerea.
Journal of Enzyme Inhibition and Medicinal Chemistry. 32(1). 1136–1142
Cushnie, T.P.T., Lamb, A.J., 2005. Antimicrobial activity of flavonoids.Int. J. Antimicrob. Agents 26,
343–356
Endarti, E. Y. Sukandar & I. Soediro. 2004. Kajian aktivitas asam usnat terhadap bakteri penyebab
bau badan. Jurnal bahan alam Indonesia Vol.3 (1):1412- 2855.
Farnsworth, N.R. 1966. Biological and Phytochemical Screening of Plants. J. Pharm.
SciP. 55

Goyal G. et al., 2013. Review on Phytochemical and Biological Investigation of Plant Genus Pluchea.
Indo American Journal of Pharm Research, 3(4).
Hanani E, 2016. Analisis Fitokimia. Jakarta : Buku Kedokteran.
Hariana, A. 2006. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Seri I. Penebar Swadaya. Jakarta.
Jawetz, E., Melnick, J. L., Adelberg, E. A.. 2005. Mikrobiologi Kedoktera., diterjemahkan oleh
Mudihardi, E., Kuntaman, Wasito, E. B., Mertaniasih, N. M., Harsono, S., Alimsardjono, L., Edisi
XXII, 49, 79-80, 327-335, 362-363, Penerbit Salemba Medika. Jakarta.
Khodaria P. 2013. Uji Daya Hambat Ekstrak Daun Beluntas (Pluchea indica Less) Terhadap
Kumar, S., Pandey, A.K., 2013. Chemistry and Biological Activities of Flavonoids: An Overview. Sci.
World J. 1–16.
Manu R. R. S. 2013. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Beluntas (Pluchea indica L) terhadap
Staphylococcus aureus, Bacillus subtillis Dan Pseudomonas aerugenosa.Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Universitas Surabaya.Vol. 2 (1).
Nahak M.M. 2013. Ekstrak Etanol Daun Beluntas (Pluchea indica. L.) Dapat Menghambat
Pertumbuhan Bakteri Streptococcus Mutans.
Nikham .2006. Kepekaan Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis dan Pseudomonas
aeruginosa Terhadap Infusa Daun Legundi (Vitex trifolia Linn).Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan
Radiasi, Batan
Namvar, A. E., Bastarahang, S., Abbasi, N., Ghehi, G. S., Farhadbakhtiarian, S., Arezi, P., Chermahin, S.
G. 2014. Clinical Characteristics Of Staphylococcus Epidermidis: A Systematic Review. Gms
Hygiene And Infection Control, 9(3), Doc23. https://Doi.Org/10.3205/Dgkh000243.
Otto, M. 2012.Molecular basis of Staphylococcus epidermidis infections.Semin Immunopathol. 34(2):
201–214.
Pujowati P. 2006. Pengenalan Ragam Tanaman Lanskap Asteraceae. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Panche, A.N., Diwan, A.D., Chandra, S.R., 2016. Flavonoids: an overview. J. Nutr. Sci. 5, e47.
Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi (Edisi VI) Diterjemahkan oleh Padmawinata
K., Bandung: Institut Teknologi Bandung. Terjemahan dari The organic constituents of
higherplants, 6th edition.
Robinson, T. 2000. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Bandung :ITB.
Rauha, J.P., Remes, S., Heinonen, M., Hopia, A., Kähkönen, M., Kujala, T., Pihlaja, K., Vuorela, H.,
Vuorela, P., 2000. Antimicrobial effects of Finnish plant extracts containing flavonoids and
other phenolic compounds. Int. J. Food Microbiol. 56, 3–12.

13
Seleem, D., Pardi, V., Murata, R.M., 2017. Review of flavonoids: A diverse group of natural compounds
with anti-Candida albicans activity in vitro. Arch. Oral Biol. 76, 76–83.
Uzel, A., Sorkun, K., Onçağ, O., Cogŭlu, D., Gençay, O., Salih, B., 2005. Chemical compositions and
antimicrobial activities of four different Anatolian propolis samples.Microbiol. Res. 160, 189–
195.
Wang, T., Li, Q., Bi, K., 2018. Bioactive flavonoids in medicinal plants: Structure, activity and biological
fate. Asian J. Pharm. Sci. 13, 12–23.

14

Anda mungkin juga menyukai