Anda di halaman 1dari 42

Skrining Fitokimia Dan Uji Antibakteri Ekstrak Kombinasi Daun, Kulit

Dan Buah Jeruk Kunci ( Citrus microcarpa bunge) Terhadap


Pertumbuhan Bakteri Staphylococus Aureus

PROPOSAL KARYA TULIS ILMIAH

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Menyelesaikan


Pendidikan Diploma III Kesehatan

OLEH:
NI WAYAN SANDY PRAMITHA
PO.71.39.1.21.061

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG
JURUSAN FARMASI
TAHUN 2024
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bakteri Staphylococcus aureus adalah salah satu bakteri yang dapat menyebabkan

infeksi pada kulit (Mutiaha dkk, 2014). Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram

positif yang dapat menyebabkan luka di permukaan kulit seperti melepuh dan

peradangan. Staphylococcus aureus termasuk flora normal yang terdapat pada kulit dan

selaput lendir manusia, namun ada juga yang bersifat patogen pada tubuh manusia

(Brooks et al., 2013). Staphylococcus aureus berbentuk bulat berdiameter 0,7-1,2 μm

yang tersusun dalam kelompok yang tidak teratur seperti buah anggur, tidak membentuk

spora, dan tidak bergerak, biasanya hidup dalam saluran pernapasan dan kulit.

Staphylococcus aureus menginfeksi manusia melalui invasi jaringan dan pengaruh toksin

yang dihasilkannya.

Infeksi dengan Staphylococcus aureus dapat diobati dengan antibiotika. Namun

untuk mengetahui antibiotika yang sesuai harus dilakukan kultur bakteri dan uji kepekaan

antibiotika karena saat ini sudah banyak yang resisten terhadap berbagai jenis antibiotika

(Soedarto, 2015). Resistensi antibiotik menyebabkan kebalnya kuman atau

mikroorganisme dalam tubuh, sehingga infeksi sulit untuk disembuhkan bahkan dapat

menyebabkan kematian (Humaida, 2014). Angka kematian yang disebabkan oleh

resistensi antibiotik pada tahun 2014 mengalami peningkatan sebesar 700.000, sehingga

diperkirakan pada tahun 2050 angka kematian mencapai 10 juta jiwa dimana jumlah

angka kematian oleh resistensi antibiotik lebih besar dari pada angka kematian yang
disebabkan oleh kanker. Hal ini disebabkan cepatnya perkembangan dan penyebaran

infeksi bakteri (Depkes RI, 2016).

Pengembangan obat antibakteri baru sebagai alernatif pengobatan berpotensi

tinggi sebagai obat melalui pengetahuan empiris yang diyakini masyarakat didaerah

tertentu (Ningsih, 2015). Masyarakat lebih menyukai obat yang berasal dari tumbuhan

atau yang disebut dengan obat herbal. Hal ini dikarenakan adanya beberapa alasan yaitu

khasiat dan tidak adanya efek samping (Ismarani, 2013). Secara umum zat flavonoid,

alkaloid, dan tanin digunakan sebagai antibakteri Staphylococus aureus yang bekerja

dengan cara merusak dinding sel bakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bahkan

bisa menyebabkan kematian pada bakteri. (Harlita et al., 2018; Rostikawati, 2020). Untuk

mengetahui kandungan metabolit sekunder dapat dilakukan dengan menggunakan

skrining fitokimia yang digunakan untuk mempelajari komponen senyawa aktif yang

terdapat pada sampel (Endarini, 2016).

Tanaman jeruk kunci (Citrus Microcarpa Bunge) mempunyai bagian-bagian

seperti buah, daun, dan kulit. Jeruk kunci (Citrus Microcarpa Bunge) merupakan

tanaman yang termasuk dalam keluarga Rutaceae yang telah dikembangkan kemudian

populer diseluruh Asia Tenggara, terutama Filipina. Jeruk kunci banyak di temui daerah

sumatra, banyak juga ditemukan di daerah Kepulauan Bangka Belitung hampir setiap

rumah memiliki pohon jeruk kunci (Roby Darisand, 2014) . Buah ini dapat tumbuh pada

daerah yang memiliki iklim tropis dan subtropis. Buahnya dimanfaatkan secara luas oleh

Masyarakat untuk bumbu masakan dan minuman. Salah satu tanaman yang berpotensi

untuk dikembangkan sebagai obat antibakteri yaitu jeruk kunci ( Citrus x microcarpa
Bunge). Jeruk kunci memiliki banyak manfaat diantaranya kaya akan mineral dan vitamin

C (Said, 2010).

Tanaman jeruk kunci (bunge Citrus x Microcarpa) mengandung senyawa kimia

antara lain flavonoid, poli fenol, alkaloid (Wulandari et al 2013), tanin terpenoid,steroid,

saponin (Roanisca et al 2021). Pada kulit buah dan daging buah tanaman jeruk kunci

(bunge Citrus x Microcarpa) Senyawa aktif yang terkandung adalah senyawa flavonoid

(Tripoli,2007). Manfaat flavonoid antara lain untuk melindungi struktur sel,

meningkatkan efektifitas vitamin C, antiinflamasi, mencegah keropos tulang dan sebagai

antibiotik. Pada daun jeruk kunci (bunge Citrus x Microcarpa) terdapat kandungan

minyak atsiri. Manfaat minyak atsiri pada aktivitas antibakteri adalah dengan cara

menembus dinding sel bakteri gram positif yang lebih tipis (yulliasri,2000).

Penelitian yang dilakukan oleh Roanisca dan R G Mahardika, tahun 2020 dengan

judul “Ekstrak buah bunge Citrus x Microcarpa sebagai antibakteri terhadap

Staphylococcus aureus”. Skripsi dari Universitas Bangka Belitung, Berdasarkan

penelitian yang telah dilakukan, Jeruk x microcarpa mengandung senyawa tanin hasil

dari pengujian dengan FeCL3 dengan perubahan warna hitam kehijauan. Uji antibakteri

dilakukan dengan menggunakan metode difusi cakram, menunjukkan aktivitas

antibakteri. Konsentrasi terendah 20% yaitu 12,36 mm, konsentrasi ekstrak 40%

mempunyai daya hambat sebesar 17,37 mm konsentrasi ekstrak 60% membentuk zona

bening sebesar 19,61 mm, dan pada konsentrasi ekstrak 80% dan 100% membentuk zona
bening masing-masing sebesar 22,90 mm dan 26,63 mm. Pertumbuhan Staphylococus

aureus menurun seiring dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak limbah buah jeruk

kunci. Konsentrasi 20%, 40% dan 60% mempunyai daya hambat antibakteri yang relatif

kuat. sedangkan untuk konsentrasi 80% dan 100% kemampuan menghambatnya sangat

kuat.

1.2 Rumusan Masalah

Tanaman jeruk kunci sangat mudah dijumpai di Palembang. Pada penelitian

terdahulu telah membuktikan bahwa jeruk kunci ( Citrus microcarpa bunge) memiliki

kandungan flavonoid yang tinggi sehingga mampu menghambat pertumbuhan bakteri

Staphylococus Aureus. Akan tetapi, bagian dari tanaman jeruk kunci ( Citrus microcarpa

bunge) seperti daun dan kulit hanya sebagai limbah rumah tangga yang tidak terpakai,

Padahal senyawa yang terkandung didalamnya merupakan salah satu bahan alami yang

dapat dikembangkan sebagai antibakteri. Hal inilah mendorong penulis untuk

membuktikan “Apakah ekstrak kombinasi dari daun, kulit, dan buah jeruk kunci (Citrus

microcarpa x Bunge) mengandung senyawa fitokimia yang memiliki potensi sebagai

aktivitas antibakteri terhadap pertumbuhan bakteri staphylococcus aureus?”

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

1. Untuk mengidentifikasi ekstrak etanol jeruk kunci ( Citrus Microcarpa Bunge)

mempunyai aktivitas antibakteri.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Untuk mengidentifikasi ekstrak kombinasi daun, kulit dan buah jeruk kunci

(Citrus Microcarpa Bunge) mempunyai aktivitas antibakteri terhadap bakteri

Staphylococcus aureus

2. Untuk mengidentifikasi pada konsentrasi berapakah ekstrak kombinasi daun,

kulit dan buah jeruk kunci ( Citrus Microcarpa Bunge) dapat menghambat

pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus

3. Untuk mengidentifikasi Senyawa apa saja yang terkandung didalam ekstrak

kombinasi daun, kulit dan buah jeruk kunci ( Citrus Microcarpa Bunge) yang

mempunyai aktivitas sebagai antibakteri terhadap Staphylococcus aureus.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai kandungan yang terdapat

didalam buah jeruk kunci

2. Sebagai informasi bagi peneliti selanjutnya untuk mengembangkan manfaat buah

jeruk kunci sebagai alternatif pengobatan antibakteri

3. Mengoptimalkan pemanfatan sumber daya alam untuk mendukung potensi daerah.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Skrining Fitokimia

Skrining fitokimia adalah penelitian yang dikerjakan untuk mengetahui senyawa

metabolit yang dihasilkan oleh tumbuhan yang terdapat pada daun, kulit dan buah jeruk

kunci ( Citrus Microcarpa Bunge). Senyawa metabolitt adalah senyawa yang dihasilkan

oleh tumbuhan yang berguna untuk kelangsungan hidup. Senyawa yang terdapat pada

metabolit sekunder yaitu flavonoid, fenolik, alkaloid, steroid, terpenoid dan saponin.

Skrining fitokimia digunakan untuk menguji ada atau tidaknya senyawa metabolit yang

dihasilkan oleh tumbuhan tersebut (Rasyd, 2012).

Senyawa organik yang terdapat di dalam tumbuhan dibedakan menjadi dua yaitu,

senyawa metabolit sekunder dan senyawa metabolit primer. Senyawa metabolit primer

merupakan senyawa utama yang dibutuhkan untuk tumbuh dan berkembang, seperti

karbohidrat, protein dan lemak. Sedangkan senyawa metabolit sekunder disebut juga

sebagai senyawa non nutrisi karena dihasilkan tumbuhan untuk melindungi tumbuhan

dari gangguan bakteri, serangga dan lain sebagainya (Rasyd, 2012).

Metode yang bisa dilakukan untuk mengetahui adanya senyawa bioaktif yaitu

skrining fitokimia. Identifikasi senyawa metabolit sekunder adalah Langkah pertama

dalam penelitian ini, untuk mencari senyawa bioaktif baru dari bahan alam yang bisa

menjadi bahan baku obat tertentu. Penelitian ini yaitu uji fitokimia, dimana uji yang akan

dilakukan adalah flavonoid, fenolik, alkaloid, saponin, terpenoid dan steroid (Rasyd,

2012).
2.1.1 Flavonoid

Flavonoid adalah salah satu metabolit sekunder yang berada pada daun,

hal ini terjadi bisa saja karena akibat adanya proses fotosintesis sehingga yang

terlihat pada daun muda tidak terlalu banyak menghasilkan flavonoid. Senyawa

flavonoid memiliki struktur C6-C3-C6, setiap Bagian C6 adalah cincin benzene

yang dihubungkan oleh atom C3 yang merupakan rantai alfatik (Harborne, 2009).

Gambar 2.1. Struktur dasar flavonoid

Flavonoid sendiri terdiri dari 15 atom karbon dan pada umumnya ada pada

tumbuhan sebagai glikosida. Gugus gula inilah memiliki senyawa satu atau lebih

gugus hidroksil fenolik. Flavonoida merupakan senyawa fenol. Untuk mengetahui

ada atau tidaknya pada senyawa flavonoid yaitu ditambahkan magnesium dan

asam klorida pada ekstrak sampel tumbuhan sehingga menghasilkan warna merah

atau ungu (Harborne, 2009).

2.1.2. Fenol

Senyawa fenol adalah senyawa antioksidan alami yang didapatkan dalam

bentuk senyawa aktif pada tumbuhan atau makanan. Kandungan fenol yang

terdapat di dalam suatu tumbuhan dinyatakan sebagai GAE (galic acid equivalent)

adalah jumlah kesetaraan asam galat di dalam 1 gram sampel. Senyawa fenolik ini

bisa mencegah berbagai jenis penyakit. Senyawa fenolik ini berperan sebagai
salah satu faktor pelindung terhadap adanya bahaya oksidasi bagi tubuh manusia

(Harborne, 2009).

Senyawa fenol secara umum mempunyai sifat antiseptik, antihelmenetik

dan bakterisidal. Fenol itu sendiri adalah senyawa yang bersifat polar sehingga

menjadi kelarutan yang paling tinggi di dalam pelarut polar. Senyawa fenol

mempunyai peran yang sangat penting sebagai antioksidan yang terdapat di dalam

sayur-sayuran dan buah-buahan. Senyawa fenol tersebut terdapat banyak pada

bagian kulit, daun, batang dan biji. Untuk mengetahui adanya atau tidaknya

senyawa fenolik pada suatu tumbuhan yaitu ditambahkan FeCl3 1% di dalam air

atau dengan menggunakan etanol sehingga mendapatkan hasil yang berwarna

biru, hitam atau hitam pekat (Harborne, 2009).

Gambar 2.2. Struktur fenol

2.1.3. Alkaloid

Alkaloid merupakan senyawa yang bersifat basa, mengandung satu atau

bahkan lebih atom nitrogen. Alkaloid biasanya tidak berwarna dan sering bersifat

optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal. Alkaloid di dalam tumbuhan biasanya

terdapat pada akar, kulit kayu, daun dan buah. Alkaloid bisa bedakan dari

sebagian besar komponen lain berdasarkan sifat basa yang terdapat didalam

tumbuhan sebagai garam dengan berbagai asam organik. Garam pada tumbuhan

ini adalah senyawa padat berbentuk kristal tidak berwarna. Alkaloid bebas tidak
larut didalam air tetapi larut didalam pelarut organik, sebaliknya alkaloid dalam

bentuk garam dapat larut didalam air tetapi tidak larut didalm pelarut organik

(Tobing, 2007).

Gambar 2.3. Struktur dasar alkaloid

2.1.4. Saponin

Saponin merupakan glikosida triterpenoid dan sterol. Saponin memiliki

sifat seperti sabun yaitu memiliki senyawa aktif dipermukaan yang bisa

menimbulkan busa jika dikocok dalam aquades dan pada konsentrasi yang rendah

menghasilkan hemolysis sel darah merah. Bebarapa saponin bekerja sebagai

antimikroba. Saponin adalah senyawa yang berasa pahit dan dapat mengakibatkan

iritasi pada selaput lender (Sirait, 2007).

Gambar 2.4. Struktur dasar saponin

2.1.5. Terpenoid

Terpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam

satuan isoprene yang diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik. Terpenoid


merupakan senyawa alam yang terbentuk dengan proses biosintesis, yang

terdistribusi luas didalam dunia tumbuhan dan hewan. Terpenoid tidak hanya

ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi, namun terdapat juga pada terumbu

karang dan mikroba. Struktur terpenoid dibangun oleh molekul isoprene. Untuk

mengetahui adanya senyawa terpenoid pada tumbuhan yaitu ditambahkan asam

sulfat, jika adanya senyawa terpenoid maka larutan akan berwarna merah

kecoklatan. Beberapa senyawa memiliki nilai ekologi pada tumbuhan yang

mengandungnya karena senyawa ini bekerja sebagai insektisida atau

antipemangsa dan antifungus (Sirait, 2007).

Gambar 2.5 Struktur dasar terpenoid

2.1.6. Steroid

Steroid merupakan molekul bioaktif yang penting dengan kerangka dasar

17 atom karbon yang tersusun dari empat buah gabungan cincin, tiga diantaranya

yaitu sikloheksana dan siklopentana. Senyawa steroid berupa kristal yang

berbentuk jarum dengan karakteristik yang mengandung gugus OH, gugus metil

dan memiliki ikatan rangkap yang tidak terkonjugasi. Salah satu kandungan

steroid yang ada pada tanaman yaitu campetrol yang memiliki efektifitas sebagai

anti kanker. Untuk mengetahui adanya senyawa steroid yaitu ditambahkan asam

klorida, asam cuka dan asam sulfat yang akan menghasilkan warna larutan
berwarna hijau atau biru, yang menandakan adanya steroid didalam tumbuhan

tersebut (Salempa, 2009).

Gambar 2.6 Struktur dasar steroid

2.1.7. Tanin

Senyawa tanin (C76H52O46) adalah senyawa polifenol yang berasal dari

tumbuhan, termasuk kategori tumbuhan tingkat tinggi atau rendah yang memiliki

kemampuan meredam reaksi oksidatif akibat radikal bebas. Berdasarkan struktur

kimianya digolongkan menjadi tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi

(Soenardjo, 2017: 91). Untuk mengetahui adanya senyawa tanin dalam tanaman

adalah dengan cara mendidihkan ekstrak tanaman dengan aquadest kemudian

didinginkan dan disaring. Ditambahkan FeCl3 beberapa tetes pada filtrat. Reaksi

positif apabila terbentuk coklat kehijauan atau biru kehitaman (Ikalinus et al.,

2015)

Gambar 2.6 Struktur dasar tanin


2.2 Jeruk Kunci (Citrus microcarpa Bunge)

2.2.1 Morfologi

Jeruk merupakan buah tahunan yang berasal dari Asia. Negara Cina dipercaya

sebagai tempat pertama kali jeruk tumbuh (David, 2007). Jeruk memiliki berbagai

macam jenis. Tanaman jeruk umumnya tumbuh ditempat yang memperoleh sinar

matahari langsung, teknik okulasi dan pencangkokan salah satu cara untuk

memperbanyak tanaman jeruk. Salah satu jenis jeruk yang banyak dijumpai diindonesia

adalah Jeruk kunci, biasa digunakan sebagai bumbu masakan dan minuman.

Jeruk kunci (Citrus microcarpa Bunge) ini sendiri memiliki bakal buah berbentuk

bola, pada pangkal dan ujung datar, berwarna hijau kuning, buah berbentuk kecil

bertangkai pendek, berwarna kuning saat matang, hampir berbentuk seperti bola,

diameternya 3-5 cm dengan kulit buah yang tipis, dan menghasilkan buah per tahun

antara 2000 – 2.150 buah (Ratulangi and Ratulangi 2016). Buah jeruk kunci (Citrus

microcarpa Bunge) memiliki kulit dengan permukaan halus dan berpori minyak,

berwarna kuning, atau berwarna hijau kekuning-kuningan. Besar jeruk kalamansi

berdiameter antara 3–4 cm.

Pohon jeruk kunci (Citrus microcarpa Bunge) mampu tumbuh dengan ketinggian

kira-kira 2–7 m, tumbuh tegak ramping, silindris, cabang yang padat, batang berduri,

daun dan batang mengembang menyamping, memiliki akar tunggang. Daun jeruk kunci

(Citrus microcarpa Bunge) sangat aromatik, berbentuk oval, berwarna hijau gelap,

permukaan atas mengilap, permukaan bawah berwarna hijau kekuningan, dan berukuran

4–7 cm. Pada bagian dekat tangkai, daunnya bertepi halus, semakin tinggi semakin
bergerigi. Bunga jeruk kunci (Citrus microcarpa Bunge) terdiri dari bunga majemuk,

memiliki putik dan benang sari dalam satu bunga pada satu pohon, sehingga satu pohon

jeruk kunci mampu melakukan pembuahan tanpa adanya pohon lain (Yuniarti, 2008).

Kulit buah jeruk kunci (Citrus microcarpa Bunge) memiliki kulit yang tebal dan

beraroma wangi Kulit buah jeruk kunci (Citrus microcarpa Bunge) adalah salah satu

tanaman yang dapat digunakan ekstraknya untuk proses biosintesis nanopartikel perak

dengan metode hijau (green chemistry) yang bersifat antibakteri sehingga sangat

membantu dalam mengatasi berbagai masalah yang ditimbulkan oleh bakteri infeksi

saluran kemih. Akar buah jeruk kunci (Citrus microcarpa Bunge) memiliki akar

tunggang dimana akar lembaga tumbuh terus menjadi akar pokok yang bercabang –

cabang menjadi akar-akar yang kecil. Akarnya memiliki cabang dan serabut akar. Ujung

akar tanaman jeruk terdiri dari sel-sel muda yang senantiasa membelah dan merupakan

titik tumbuh akar jeruk. Ujung akar terlindung oleh tudung akar yang bagian luarnya

berlendir sehingga ujung akar mudah menembus tanah (Liana 2017).

Gambar 2.1 Buah, kulit, dan daun jeruk kunci (Citrus microcarpa Bunge)
2.2.2 Morfologi

Dalam taksonomi tumbuhan, tanaman jeruk kunci (Citrus microcarpa

Bunge) diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae
Pilum : Tracheophyta
Ordo : Sapindales
Famili : Rutaceae
Genus : Citrus
Spesies : X microcarpa Bunge

2.2.3 Nama daerah

Ada banyak nama daerah tanaman jeruk kunci (Citrus microcarpa Bunge),

diantaranya adalah jeruk kalamansi (Bengkulu), jeruk cina atau limau calong

(Bangka Belitung), dan jeruk kunci (Palembang).

2.2.4 Kandungan Kimia

Tanaman jeruk kunci (bunge Citrus x Microcarpa) mengandung senyawa

kimia antara lain flavonoid, poli fenol, alkaloid (Wulandari et al 2013), tanin

terpenoid,steroid, saponin (Roanisca et al 2021). Pada kulit buah dan daging buah

tanaman jeruk kunci (bunge Citrus x Microcarpa) Senyawa aktif yang terkandung

adalah senyawa flavonoid (Tripoli,2007). Manfaat flavonoid antara lain untuk

melindungi struktur sel, meningkatkan efektifitas vitamin C, antiinflamasi,

mencegah keropos tulang dan sebagai antibiotik. Pada daun jeruk kunci (bunge

Citrus x Microcarpa) terdapat kandungan minyak atsiri. Manfaat minyak atsiri


pada aktivitas antibakteri adalah dengan cara menembus dinding sel bakteri gram

positif yang lebih tipis (yulliasri,2000).

2.2.5 Manfaat

Jeruk kunci (bunge Citrus x Microcarpa) biasa ditambahkan ke dalam

sambal kecap atau sambal terasi atau dibuat minuman segar dengan

menambahkan air dan gula. Aromanya yang menyegarkan dengan rasa asam

kecut mampu menghilangkan bau amis makanan laut dan menambah lezat

hidangan. Buah ini sering dijadikan asam untuk cuka. Selain itu biasa

ditambahkan kedalam model atau tekwan untuk menambahkan rasa asam pada

makanan. Aromanya sangat segar dan bisa dikonsumsi langsung karena rasanya

pun sangat nikmat meski tentunya sangat kecut (Sakinah, 2023).

Jeruk kunci (bunge Citrus x Microcarpa) dapat digunakan dalam berbagai

macam penyakit seperti dijadikan sebagai campuran obat batuk, influenza, radang

tenggorokan, demam, sakit kepala dan lelah, obat pilek, dan obat masuk angin

dengan cara direbus bersama dengan kayu putih dan dioleskan ke punggung dan

dada. Jika digunakan sebagai obat batuk, ambil Jeruk kunci, kecap dan garam,

kemudian minum setiap pagi dan sore hari secara teratur. Dengan begitu batuk

pun akan reda (Sakinah, 2023).

2.3 Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah berupa bahan yang telah dikeringkan, belum

mengalami pengelolahan apapun, biasanya digunakan sebagai bahan obat, ada tiga jenis

simplisia yaitu simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia pelikan (mineral).

Simplisia nabati adalah simplisia yang berasal dari tanaman (baik tanaman utuh, bagian

tumbuhan maupun eksudat tumbuhan). Eksudat tumbuhan adalah isi sel dari tumbuhan

yang dikeluarkan dengan cra tertentu dan dipisahkan dari tumbuhannya dan belum

berupa zat kimia murni (Depkes RI, 2000).

2.4 Ekstraksi

2.4.1 Definisi Ekstraksi

Ekstraksi adalah proses pemisahan suatu zat dari campurannya dengan

menggunakan pelarut.. Prinsip ekstraksi adalah melarutkan komponen yang

berada dalam campuran secara selektif dengan pelarut yang sesuai. Prinsip

kelarutan yaitu polar melarutkan yang polar, pelarut semipolar melarutkan

senyawa semipolar, dan pelarut nonpolar melarutkan senyawa nonpolar. Sediaan

yang diperoleh dari hasil ekstraksi dinamakan ekstraksi, pelarutnya disebut

penyari, sedangkan sisa-sisa yang tidak ikut tersari disebut ampas (Yuwono,

2009).

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekstraksi Berikut faktor – faktor yang

mempengaruhi ekstraksi (Ubay, 2011).

1. Jenis pelarut

Jenis pelarut mempengaruhi senyawa yang tersari, jumlah zat terlarut yang

terekstrak dan kecepatan ekstraksi.


2. Suhu

Secara umum, kenaikan suhu akan meningkatkan jumlah zat terlarut ke dalam

pelarut.

3. Rasio pelarut dan bahan baku

Jika rasio pelarut-bahan baku besar maka akan memperbesar pula jumlah senyawa

yang terlarut. Akibatnya laju ekstraksi akan semakin meningkat.

4. Ukuran partikel

Laju ekstraksi juga meningkat apabila ukuran partikel bahan baku semakin kecil.

Dalam arti lain, rendemen ekstrak akan semakin besar bila ukuran partikel

semakin kecil.

5. Pengadukan

Fungsi pengadukan adalah untuk mempercepat terjadinya reaksi antarapelarut

dengan zat terlarut.

6. Lama waktu

Lamanya waktu ekstraksi akan menghasilkan ekstrak yang lebih banyak, karena

kontak antara zat terlarut dengan pelarut lebih lama.

Jenis pelarut berkaitan dengan polaritas dari pelarut tersebut. Hal yang

perlu diperhatikan dalam proses ekstraksi adalah senyawa yang memiliki

kepolaran yang sama akan lebih mudah Tertarik/terlarut dengan pelarut yang

memiliki tingkat kepolaran yang sama. Berkaitan dengan polaritas dari pelarut,

terdapat tiga golongan pelarut yaitu:


a. Pelarut polar

Memiliki tingkat kepolaran yang tinggi, cocok untuk mengekstrak

senyawa-senyawa yang polar dari tanaman. Pelarut polar cenderung universal

digunakan karena biasanya walaupun polar, tetap dapat menyari senyawa-

senyawa dengan tingkat kepolaran lebih rendah. Salah satu contoh pelarut polar

adalah: air, metanol, etanol, asam asetat.

b. Pelarut semipolar

Pelarut semipolar memiliki tingkat kepolaran yang lebih rendah

dibandingkan dengan pelarut polar. Pelarut ini baik untuk mendapatkan senyawa-

senyawa semipolar dari tumbuhan. Contoh pelarut ini adalah: aseton, etil asetat,

kloroform.

c. Pelarut nonpolar

Pelarut nonpolar, hampir sama sekali tidak polar. Pelarut ini baik untuk

mengekstrak senyawa-senyawa yang sama sekali tidak larut dalam pelarut polar.

Senyawa ini baik untuk mengekstrak berbagai jenis minyak. Contoh: heksana,

eter (Siswoyo, 2009).

Beberapa syarat-syarat pelarut yang ideal untuk ekstraksi antara lain:

a. Tidak toksik dan ramah lingkungan

b. Mampu mengekstrak semua senyawa dalam simplisia

c. Mudah untuk dihilangkan dari ekstrak

d. Tidak bereaksi dengan senyawa-senyawa dalam simplisia yang diekstrak


e. Murah/ekonomis.

4. Lama waktu ekstraksi

Lama ekstraksi akan menentukan banyaknya senyawa-senyawa yang

terambil. Ada waktu saat pelarut/ekstraktan jenuh. Sehingga, semakin lama

ekstraksi semakin bertambah banyak ekstrak yang didapatkan.

2.4.2 Macam-Macam Ekstrak

Berdasarkan sifatnya, ekstrak dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu:

a. Ekstrak encer

Sediaan ini mempunyai konsistensi seperti madu.

b. Ekstrak kental

Sediaan ini liat pada kondisi dingin dan tidak dapat dituang kandungan air sekitar

30%.

c. Ekstrak kering

Sediaan ini mempunyai konsentrasi kering dan mudah digosongkan, kandungan

air tidak lebih dari 5% (Yuwono, 2009).

2.4.3 Tujuan Ekstraksi

Tujuan ekstraksi bahan alam adalah untuk menarik komponen kimia yang

terdapat pada bahan alam. Ekstraksi ini didasarkan pada prinsip perpindahan

massa komponen zat ke dalam pelarut, dimana perpindahan mulai terjadi pada

lapisan antarmuka kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut (Saraswati, 2015).


2.4.4 Macam-Macam Metode Ekstraksi

Adapun metode dari ekstraksi dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Cara dingin

a. Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan

pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur

ruangan (kamar). Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam

rongga sel yang mengandung zat aktif yang akan larut, karena adanya perbedaan

konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dan di luar sel maka larutan

terpekat didesak keluar.

b. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai

sempurna yang umumnya dilakukan pada temperature ruangan. Proses terdiri dari

tahapan pengembangan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya terus-

menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat).

2. Cara panas

a. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,

selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan

adanya pendingin balik.

b. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru

dan yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstrak kontinu

dengan jumlah pelarut relative konstan dengan adanya pendingin balik.

c. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan terus menerus) pada

temperatur yang lebih tinggi dari temperature ruangan, yaitu secara umum

dilakukan pada temperatur 40 - 500C.

d. Infundasi

Infundasi adalah proses penyarian yang umumnya dilakukan untuk

menyari zat kandungan aktif yang larut dalam air dari bahan-bahan nabati. Proses

ini dilakukan pada suhu 900C selama 15 menit.

e. Dekok

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama dan temperatur sampai

titik didih air, yakni 30 menit pada suhu 90-1000C (Saraswati, 2015).

2.4.5. Prinsip Maserasi

Penyarian zat aktif yang dilakukan dengan cara merendam serbuk

simplisia dalam cairan penyari yang sesuai pada temperature kamar, terlindung

dari cahaya. Cairan penyari akan masuk ke dalam sel melewati dinding sel. Isi sel

akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel

dengan di luar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan

diganti oleh cairan penyari dengan konsentrasi rendah (proses difusi). Peristiwa
tersebut berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar

sel dan di dalam sel. Keuntungan dari metode maserasi adalah peralatan yang

digunakan sederhana, sedangkan kerugiannya adalah waktu yang diperlukan

untuk mengekstraksi sampel cukup lama, cairan penyari yang digunakan lebih

banyak, tidak dapat digunakan untuk bahan-bahan yang mempunyai tekstur keras

seperti benzoin, tiraks dan lilin (Saraswati, 2015).

2.5 Bakteri Staphylococcus aureus

2.5.1 Bakteri Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus merupakan salah satu bakteri penyebab infeksi

tersering di dunia. Tingkat keparahan infeksinya pun bervariasi, mulai dari infeksi

minor di kulit (furunkulosis dan impetigo), infeksi traktus urinarius, infeksi

traktus respiratorius, sampai infeksi mata dan Central Nervous System (CNS)

(Septiani et al., 2017).

2.5.2 Taksonomi Staphylococcus aureus

Klasifikasi ilmiah bakteri genus Staphylococcus aureus adalah sebagai

berikut (Soedarto, 2015) :

Domain : Bacteria

Kingdom : Eubacteria

Phylum : Firmicutes

Class : Bacilli

Ordo : Bacillales
Family : Staphylococcaceae

Genus : Staphylococcus

Species : Staphylococcus aureus

2.5.3 Morfologi Staphylococcus aureus

Staphylococcus adalah bakteri gram positif (Gram +) berbentuk bulat.

Staphylococcus berdiameter 0,8 - 1,0 mikron, tidak bergerak, dan tidak berspora.

Koloni mikroskopik Staphylococcus berbentuk menyerupai buah anggur. Uji

enzim katalase bersifat katalase positif. Staphylococcus aureus membentuk koloni

besar berwarna agak kuning dalam media yang baik. Staphylococcus aureus

biasanya bersifat hemolitik pada agar darah. Staphylococcus aureus bersifat

anaerob fakultatif dan dapat tumbuh karena melakukan respirasi aerob atau

fermentasi dengan asam laktat. Staphylococcus aureus dapat tumbuh pada suhu

15-45 ℃ (Radji, 2010).

Genus Staphylococcus aureus mempunyai paling sedikit 45 spesies.

Empat spesies dengan kepentingan klinis yang paling sering dijumpai adalah

Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus lugdunensis,

dan Staphylococcus saprophyticus. Staphylococcus aureus bersifat koagulase

positif, yang membedakan dari spesies lain. Staphylococcus aureus merupakan

patogen utama untuk manusia. Hampir setiap orang akan mengalami beberapa

jenis infeki Staphylococcus aureus selama hidupnya, dengan keparahan yang

beragam, dari keracunan makanan atau infeksi kulit minor sampai infeksi berat

yang mengancam jiwa (Jawetz et al., 2017).


Koloni Staphylococcus aureus berwarna kuning karena adanya pigmen

staphyloxanthin yang bersifat sebagai faktor virulensi. Pada Mannitol Salt Agar

(MSA) fermentasi mannitol oleh Staphylococcus aureus menghasilkan produk

sampingan bersifat asam yang menurunkan pH medium yang menyebabkan

indikator pH, merah fenol, berubah menjadi kuning. Staphylococcus aureus yang

dibiakkan di medium Columbia agar dengan 5% darah domba defibrinasi pada

suhu 37 ℃ pada penyinaran menunjukkan terjadinya zona hemolisis beta yang

lebar disekeliling koloni (Soedarto, 2015).

Gambar 2.2 Mikroskopis Staphylococcus aureus

Sumber : Yuwono (2009)

2.5.4 Patogenitas Staphylococcus aureus

Bakteri Staphylococcus aureus menyebabkan penyakit pada manusia

melalui invasi jaringan dan atau karena pengaruh toksin yang dihasilkannya.

Infeksi dimulai dari tempat koloni pathogen pada tubuh, lalu ditularkan melalui

tangan ke tempat bakteri dapat memasuki tubuh, misalnya di luka yang ada di

kulit, tempat insisi pembedahan, tempat masuk kateter vaskuler, atau tempat lain

yang lemah pertahanannya misalnya lokasi eksim. Pada infeksi kulit


Staphylococcus aureus akan terbentuk abses atau bisul. Dari ini organisme akan

menyebar secara hematogen. Dengan adanya enzim proteolitik Staphylococcus

aureus dapat menimbulkan pneumonia, infeksi tulang dan sendi, maupun

endokarditis. Pada hospes yang mengalami gangguan sistem imun misalnya

penderita kanker yang mengalami neutropeni, terapi intravena yang dilakukan

dapat menyebabkan komplikasi berat misalnya sepsis yang fatal akibat bakteremi

Staphylococcus aureus. Pada penderita dengan fibrosis kistik, adanya

Staphylococcus aureus yang menetap, dapat menyebabkan terjadinya resistensi

terhadap antibiotika (Soedarto, 2015).

2.5.5 Struktur Antigen Staphylococcus aureus

Bakteri Staphylococcus aureus mengandung polisakarida dan protein yang

bersifat antigenik. Sebagian besar bahan ekstraseluler yang dihasilkan bakteri ini

juga bersifat antigenik. Polisakarida yang ditemukan pada jenis yang virulen

adalah polisakarida A dan yang ditemukan pada jenis yang tidak patogen adalah

polisakarida B. Polisakarida A merupakan komponen dinding sel yang dapat larut

dalam asam trikloroasetat. Antigen ini merupakan komponen peptidoglikan yang

dapat menghambat fagositosis. Bakteriofaga terutama menyerang bagian ini.

Antigen protein A berada di luar antigen polisakarida, kedua antigen ini

membentuk dinding sel (Radji, 2010).

2.5.6 Uji Kualitas Pada Media

Uji kualitas media mencakup aspek yang luas, baik media buatan sendiri

maupun media jadi, oleh karena itu penyiapan media harus diperhatikan. Hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam penyiapan media yaitu, sampel media dehidrasi

harus ditimbang dan ditambahkan ke dalam air suling dan bebas mineral, lalu

dicampur untuk membuat suspensi yang homogen kemudian panaskan untuk

melarutkan zat - zat dalam medium. Panas yang digunakan harus diatur hanya

cukup sampai membuat larutan yang sempurna, kecuali dinyatakan lain dalam

prosedur. Pengocokan yang tetap selama proses pemanasan penting sebab

bongkahan kecil agar atau bahan media yang akan dilarutkan dapat turun ke dasar

wadah dan pemecahannya memerlukan jumlah panas yang tinggi. Pemanasan

lebih lama akan menghasilkan denaturasi protein, karamelisasi karbohidrat,

inaktivasi zat-zat gizi dan kehilangan kadar air yang berarti karena penguapan.

Media dilarutkan ke dalam wadah yang berukuran cukup dan sterilisasi dengan

otoklaf. Setelah selesai harus segera dikeluarkan dari otoklaf untuk menghindari

pemanasan yang lebih lama. Wadah berisi media agar harus dipindahkan ke

waterbath air bersuhu 48 - 50℃ sampai mencapai suhu yang diperlukan.

Penyiapan lebih lama di penangas air harus dihindari. pH setiap media harus

diperiksa dengan pH meter setelah media dibiarkan dingin sampai suhu kamar.

Untuk menguji media agar, dapat digunakan elekrode permukaan atau elektrode

biasa. Media yang menyimpang > 0,2 unit pH dari pH optimum harus dibuang.

Media dapat dituang ke dalam tabung atau cawan petri dalam ruangan bersih atau

di bawah aliran udara leminar. Ruangan tersebut harus dijaga cukup terang, bebas

dari bahan - bahan lain dan bebas dari lalu lalang selama proses pembagian.

Kualitas media harus diperiksa dahulu sebelum media digunakan (PerMenKes

No. 43, 2013).


2.5.7 Identifikasi Staphylococcus aureus

Pemerikasaan laboratorium Staphylococcus aureus secara langsung dapat

dilakukan dengan beberapa macam cara. Berbagai spesies Staphylococcus aureus

tumbuh dengan baik dalam kaldu biasa pada suhu 37℃. Kisaran suhu

pertumbuhan adalah 15 - 40℃ dan suhu optimum adalah 35℃. Dalam lempeng

agar darah pada suhu 37℃, pembentukan pigmen kurang baik. Akan tetapi,

apabila koloni tersebut dipindahkan ke agar biasa atau perbenihan Loeffler dan

diinkubasi pada suhu kamar, pembentukan pigmen akan sangat baik (Radji,

2010). Secara laboratorium, proses identifikasi Staphylococcus aureus dapat

dilakukan dengan beberapa macam cara antara lain :

1) Pewarnaan Gram

Pewarnaan gram bertujuan untuk mengamati morfologi sel

Staphylococcus aureus dan mengetahui kemurnian sel bakteri. Pengecatan

gram merupakan salah satu pewarnaan yang paling sering digunakan, yang

dikembangkan oleh Christian Gram (Dewi, 2013).

Pewarnaan gram dilakukan dengan cara kaca objek dibersihkan

dengan kapas yang telah diberi alkohol kemudian kaca objek diberi label.

Biarkan bakteri pada nutrient agar miring diambil dengan menggunakan

ose jarum, kemudian di totol pada bagian kaca objek lalu homogenkan dan

sebarkan dengan menggunakan ose dengan gerakan melingkar. Biarkan

apusan mengering di udara dan kemudian lakukan fiksasi panas dengan


bunsen. Genangi apusan dengan kristal violet selama 1 menit. Bilas

apusan dengan air keran secara perlahan - lahan. Genangi preparat dengan

larutan peluntur iodin gram selama 1 menit. Bilas dengan air keran.

Dekolarisasi dengan etil alcohol 95%. bilas dengan air keran secara

perlahan. Genangi prepara dengan safranin selama 45 detik. Bilas preparat

dengan air mengalir secara perlahan. Keringkan dan amati di bawah lensa

objektif celup minyak. Positif bakteri Staphylococcus aureus positif

terbentuk coccus berwarna biru atau ungu (Cappuccino et al., 2013).

2) Nutrient Agar Plate

Nutrient Agar Plate adalah medium padat untuk pertumbuhan

mikroorganisme yang umum digunakan dalam berbagai kultur

mikroorganisme. Ada berbagai jenis agar – agar yang tumbuh berbagai

jenis bakteri baik. Beberapa memilikilebih banyak garam di dalamnya,

beberapa memiliki lebih banyak protein. Namun Nutrient Agar adalah

medium standar untuk tumbuh berbagai jenis bakteri dan merupakan cara

yang baik untuk mulai belajar tentang bagaimana koloni bakteri

dapattumbuh dan menyebar (Safitri Ratu dan Sinta N, 2010).

3) Uji Katalase

Uji katalase dilakukan dengan meneteskan hydrogen peroksida

(H2O2) 3% pada gelas obyek yang bersih. Biakan dioleskan pada gelas

obyek yang sudah ditetesi hydrogen peroksida dengan ose. Suspensi


dicampur secara perlahan menggunakan ose, hasil yang positif ditandai

oleh terbentuknya gelembung - gelembung udara (Dewi, 2013).

4) Uji Koagulase

Menurut Dewi (2013) Uji koagulase dilakukan dengan 2 metode,

yaitu uji slide dan uji tabung. Uji slide digunakan untuk mengetahui

adanya ikatan koagulase. Uji slide dikerjakan dengan cara setetes aquades

atau NaCl fisiologis steril diletakkan pada kaca benda, kemudian satu ose

biakan yang diuji disuspensikan. Setetes plasma diletakkan di dekat

suspensi biakan tersebut, keduanya dicampur dengan menggunkan ose

kemudian digoyangkan. Reaksi positif apabila dalam waktu 2 - 3 menit

terbentuk presipitat granuler. Uji tabung digunakan untuk mengetahui

adanya koagulase bebas dengan cara 200 mikronliter plasma dimasukkan

secara asepsis ke dalam tabung reaksi steril. Sebanyak 3 - 4 koloni biakan

Staphylococcus aureus yang diuji ditambahkan ke dalam tabung reaksi

kemudian dicampur hati - hati. Selanjutnya, tabung dimasukkan ke dalam

inkubator pada suhu 37℃. Pengamatan dilakukan pada 4 jam pertama,

dan sesudah 18 - 24 jam. Reaksi positif akan terjadi apabila terbentuk

gumpalan dan Ketika tabung dimiringkan jelly tetap berada di dasar

tabung

5) Uji gula – gula

Menurut Dewi (2013) Uji gula - gula yang dilakukan pada

penelitian ini adalah uji maltosa dan laktosa. Pertama- tama kaldu
karbohidrat ditandai dengan etiket, kemudian biakan bakteri

diinokulasikan pada suhu 37℃ selama 24 jam. Uji gula - gula bersifat

positif apabila terlihat perubahan warna menjadi kekuningan dan negatif

apabila warnanya tetap hijau.

6) Antibiogram metode Kirby – Bauer

Uji antibiogram dengan metode Kirby - Bauer dilakukan dengan

cara memupuk bakteri pada media cair dengan cara biakan bakteri

diinokulasikan ke dalam media cair dengan cara dimasukkan sampai

kedalaman tiga perempat bagian dari permukaan media, kemudiaan

diinkubasikan pada suhu 37℃ selama 24 - 48 jam. Hasil positif jika kaldu

menjadi keruh dan terdapat pada endapan (Dewi, 2013).

Bakteri yang dibiakkan pada media cair dipupuk pada media agar

(MHA), dengan cara mencelupkan tangkai kapas steril ke dalam biakan

organisme, kemudian kapas tersebut diusapkan pada seluruh permukaan

lempengan sampai merata. Pada uji ini, cakram kertas saring yang telah

mengandung antibiotik dengan kadar tertentu diletakkan di atas lempeng

agar yang telah ditanami kuman. Diameter zona hambatan pertumbuhan

kuman yang tampak menunjukkan sensitivitas kuman tersebut terhadap

antibiotik yang diujikan. Penilaian terhadap zona hambatan dilakukan

dengan membandingkan besarnya diameter zona hambatan dengan tabel.

Hasil penilaiannya berupa sensitive (S), resisten (R), dan intermediate (I).

Kuman yang sensitive terhadap suatu jenis antibiotik akan

memperlihatkan zona hambatan yang lebih besar dari jangkauan nilai yang
terlihat pada tabel. Sebaliknya, kuman yang resisten tidak memperlihatkan

adanya zona hambatan pertumbuhan atau menunjukkan zona hambatan

yang diameternya lebih kecil dari jangkauan nilai pada tabel (Kuswiyanto,

2015).

Uji Fitokimia
2.6 Kerangka Teori

Kombinasi
Daun, Kulit Dan Buah Jeruk Kunci
( Citrus microcarpa bunge)

Ekstraksi

Flavonoid Alkaloid Terpenoid Fenol Saponin Tanin

Uji Aktivitas Antibakteri

2.7 Hipotesis

HO : Tidak ada aktivitas antibakteri Staphylococcus aureus dari ekstrak kombinasi

daun, kulit dan buah jeruk kunci ( Citrus Microcarpa Bunge)


HI : Ada aktivitas antibakteri Staphylococcus aureus dari ekstrak kombinasi daun,

kulit dan buah jeruk kunci ( Citrus Microcarpa Bunge)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan waktu penelitian

Penelitian ini telah dilakukan di Balai Besar Laboratorium Kesehatan (BBLK)

Palembang. Waktu penelitian bulan Februari 2024 hingga Maret 2024.

3.2 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang bertujuan untuk

mengetahui aktivitas antibakteri dan diameter zona hambat aktivitas antibakteri

Staphylococcus aureus dari ekstrak kombinasi daun, kulit dan buah jeruk kunci ( Citrus

Microcarpa Bunge) .

3.3 Alat

Alat yang akan digunakan pada penelitian ini yaitu batang pengaduk, erlenmeyer,

gelas beker, ayakan, blender, alat maserasi, pipet volume, cawan porselen, kertas cakram,

gunting/pisau, pipet tetes, alumuium foil, kertas saring, wrapping plactic, pinset, spidol,
kertas label, penggaris, kawat ose, toples kaca untuk maserasi, corong, sarung tangan,

masker, spatula, tabung reaksi, rak tabung, spiritus, kapas, tissu, hot plate, mikropipet,

rotary evaporator, autoklaf, BSC (Bio Safety Cabinet), timbangan analitik, lemari

pendingin, dan incubator.

3.4 Bahan

Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu

1. Ekstrak kombinasi daun, kulit dan buah jeruk kunci ( Citrus Microcarpa

Bunge)

2. etanol 96%,

3. media Muller-Hinton Agar (MHA)

4. Amoxicillin

5 Staphylococcus aureus yang didapatkan dari Balai Besar Laboratorium

Kesehatan (BBLK)

3.5 Prosedur Penelitian

3.5.1 Persiapan sampel

kombinasi daun, kulit dan buah jeruk kunci ( Citrus Microcarpa Bunge)

diambil dari kota palembang sebanyak 5 kg. Sampel yang akan diuji dibersihkan

dari pengotornya. Kemudian dilakukan proses perajangan dan dikering anginkan

selama ±1 minggu. Setelah kering, sampel dihaluskan sampai menjadi bubuk.


Proses ini dilakukan untuk memperbesar luas permukaan sampel sehingga proses

penetrasi pelarut ke dalam sampel dapat berlangsung dengan optimal.

Langkah berikutnya merendam serbuk kombinasi daun, kulit dan buah

jeruk kunci ( Citrus Microcarpa Bunge) atau dimaserasi dengan pelarut etanol

96% sebanyak 800 mL dalam tabung kaca sampai terendam seluruhnya, sesekali

dilakukan pengadukan. Filtrat yang didapatkan ditampung kemudian

menambahkan lagi pelarut etanol 96% hingga didapatkan filtrat yang tidak

berwarna. Menyaring hasil rendaman dengan kertas saring, hingga diperoleh

filtrat-filtrat lalu dimasukkan ke dalam rotary vacum evaporator sampai solven

etanol habis menguap. Bahan kental serta pekat yang tertinggal disebut ekstrak.

Kemudian ditimbang.

3.5.2 Peremajaan isolat murni bakteri

Kultur murni bakteri ditanam secara aseptik pada tabung reaksi yang berisi

media NA (Nutrient Agar) padat miring dengan menggunakan jarum ose

digoreskan (streak), kemudian diinkubasi pada inkubator selama 24 jam dengan

suhu kamar.

3.5.3. Uji Aktivitas Antimikroba

Untuk mengetahui aktivitas antimikroba dari masing-masing senyawa

aktif ekstrak kombinasi daun, kulit dan buah jeruk kunci ( Citrus Microcarpa

Bunge) digunakan metode kertas cakram kertas dengan cara sebagai berikut:

Metode kertas cakram dilakukan dengan menyiapkan media Mueller

Hinton Broth (MHB) steril sebagai media pertumbuhan khusus untuk uji
antimikroba. Suspensi mikroba uji dibuat dengan mengatur kekeruhan mikroba

sampai didapat nilai rapat optis (Optical Density) setara dengan standar

McFarland 0,5 (108 CFU/ml) Sebanyak 1 mL suspensi mikroba uji dimasukkan

ke dalam cawan petri steril, kemudian ditambahkan 15 mL media Mueller Hinton

Agar (MHA) kedalam cawan tersebut lalu dihomogenkan dengan cara

menggerakkan cawan seperti angka delapan, setelah itu didiamkan sampai

memadat. Selanjutnya sebanyak 3 lembar kertas cakram steril dengan diameter 6

mm dan ketebalan yang sama diletakkan di permukaan agar dengan jarak yang

diupayakan sama satu sama lain membentuk segitiga. Sebelum diletakkan di

permukaan agar, pada kertas tersebut diinjeksikan masing-masing sebanyak 15μl

ekstrak kombinasi daun, kulit dan buah jeruk kunci ( Citrus Microcarpa Bunge)

dari masing-masing konsentrasi. Dimana ekstrak kombinasi daun, kulit dan buah

jeruk kunci ( Citrus Microcarpa Bunge) dilarutkan dalam pelarut aquadest. Injeksi

ekstrak kombinasi daun, kulit dan buah jeruk kunci ( Citrus Microcarpa Bunge)

dilakukan pada beberapa cawan dengan konsentrasi yang berbeda, yaitu (25%,

50%,85%). Masing-masing mempunyai 3 pengulangan. Kemudian diinkubasi

pada suhu 37oC selama 48 jam. Adanya aktivitas antibakteri ditunjukkan

terbentuknya daerah penghambatan disekitar cakram uji (Bailey dan Scott, 2004).

Diameter daerah hambat diukur dengan menggunakan jangka sorong (LC-

0,05mm).
Daftar Pustaka

Brooks, GF., Carroll KC, Butel JS, Morse, and all (2013). Mikrobiologi Kedokteran
Jawetz, Melnick, & Adelberg. Ed. 25. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta.

Soedarto. (2015). Mikrobiologi Kedokteran . jakarta: CV. Sagung Seto.

Harlita, T. D., Oedjijono, & Asnani, A. (2018). The antibacterial activity of dayak
onion (Eleutherine palmifolia (L.) merr) towards pathogenic bacteria. Tropical Life
Sciences Research, 29(2), 39–52. https://doi.org/10.21315/tlsr2018.29.2.4

Said M. 2010. Pengendalian Pneumonia Pada Anak Balita Dalam Rangka


Pencapaian MDG4.Jakarta: Bulletin jendela epidemiologi. Vol. 3.

Muntiaha, miryam ch, Paulina V. Y Yamlean, dan Widya Astuti Lolo. 2014. Uji
Efektivitas Sediaan Krim Getah Jarak Cina (Jatropha multifida L.) Untuk
Pengobatan Luka Sayat YangTerinfeksi Bakteri Staphylococcus aureus
Pada Kelinci (Orytolagus cuniculus).Jurnal Ilmiah Farmasi – UNSRAT Vol.
3.

Departemen Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia 2015. Jakarta: Departemen


Kesehatan RI; 2016.

Okwu. (2008). Citrus fruits. In A rich source ofphytochemicals and their rolesin
human health (pp. 6(2):451-471). Int J Chem.

Ningsih,I, Y. 2015. Peran Studi Etnofarmasi dalam Pencarian Tumbuhan Obat yang Berpotensi
Dikembangkan sebagai Antidiabetes. Pharmacy. ISSN: 1693-3591. Vol.12, No.01.

akina Rakhma Diah Setiawan.2023 artikel

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Simak, Keunggulan dan Manfaat Jeruk
Kunci", Klik untuk baca: https://agri.kompas.com/read/2023/02/24/134720284/simak-
keunggulan-dan-manfaat-jeruk-kunci?page=all.

Kompascom+ baca berita tanpa iklan: https://kmp.im/plus6


Download aplikasi: https://kmp.im/app6

Salempa, P., Bioaktivitas fraksi n-heksan dan Senyawa -Sitosterol dari kayu akar
Pterospermumsubpeltatum C.B.Rob, Farmakologi, Vol.4, No.2, (2009), h. 45

Rasyd, Identifikasi Senyawa Metabolit Sekunder dan UJi Aktivitas Antioksidan Ekstrak
Metanol Teripang (Stichopus Hermani), Jurnal Ilmu Dan Teknik Kelautan Tropis, Vol.4, No 2,
(2012),
h. 363
19 Harborne, Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisa Tumbuhan. Edisi II,
(Bandung: Institut Teknologi Bandung, 2009), h. 36
20 Tobing, Isolasi Senyawa Alkaloida dari Batang Tumbuhan Brotowali (Tinospora crispa
L.), Majalah Obat Tradisional, Vol.16, No.3, (2007), h. 142
Sirait, Penuntun Fitokimia dalam Farmasi, (Bandung: ITB, 2007), h. 21

62
62
DAFTAR PUSTAKA
Adriani F. 2010. Pemberian ekstrak teh hijau menurunkan berat badan, lingkar
perut, dan presentase lemak tubuh pada wanita kelebihan berat badan yang
melakukan latihan fisik dengan pola makan biasa [skripsi]. Denpasar:
Universitas Udayana.
Ainurrochmah A, Ratnasari E, Lisdiana L. 2013. Efektivitas ekstrak daun
binahong (Anredera cordifolia) terhadap penghambatan pertumbuhan bakteri
Shigella flexneri dengan metode sumuran. Jurnal Lentera Bio. 2(3):233–7.
Anindita R, Tri RS, Nanik HS. 2012. Potensi teh hijau (Camelia sinensis L.)
dalam perbaikan fungsi hepar pada mencit yang diinduksi Monosodium
Glutamat (MSG). 2(20):15-23.
Bobone, Emaliah, Herdi Y, Ovi YM, Siti RP. 2013. Antibiotik. Pangkal Pinang:
Poltekkes Kemenkes RI.
Brooks GF, Butel, JS, Morse SA. 2008. Mikrobiologi kedokteran terjemahan.
Edisi Ke-23. Jakarta: EGC.
Brooks GF, Morse SA, Butel JS, Carroll KC, Mietzner TA. 2013. Mikrobiologi
kedokteran. Edisi Ke-25. Jakarta: EGC.
Clifford MN, Van der Hooft JJ, Crozier, A. 2013. Human studies on the
absorption, distribution, metabolism, and excretion of tea polyphenols. Am. J.
Clin. Nutr. 98:1619S–30S.
Dewi FK. 2010. Aktivitas antibakteri ekstrak etanol buah mengkudu (Morinda
citifolia L.) terhadap bakteri pembusuk daging segar [skripsi]. Surakarta:
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Universitas Sebelas Maret.
Erwiyani AR. 2009. Uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol buah ceremeh
(Phyllanthus acidus (L.) Skeels) terhadap Staphylococcus aureus dan
Escherichia coli dan bioautografinya [skripsi]. Surakarta: Fakultas Farmasi
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Febrika L. 2012. Aktivitas antimikroba pada ekstrak jinta hitam (Nigella sativa)
terhadap pertumbuhan bakteri Gram positif (Staphylococcus aureus,
63
63
Streptococcus sp.) dan bakteri Gram negatif (Escherichia coli, Klebsiella
pneumoniae) secara in vitro [skripsi]. Bandar Lampung: Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung.
Handajani NS. Purwoko T. 2008. Aktivitas ekstrak rimpang lengkuas (Alpinia
galanga) terhadap pertumbuhan jamur Aspergillus sp. penghasil aflatoksin
dan Fusarium moniliforme. Biodiversitas. 9(3):161-4.
Hendrayati TI. 2012. Perubahan morfologi Escherichia coli akibat paparan ekstrak
etanol biji kakao (Theobroma cacao) secara in vitro [skripsi]. Jember:
Fakultas Kedokteran Universitas Jember.
Hosseinzadeh H, Bibi S, Sahar S, Bahman. 2016. Effect of catechins, green tea
extract and methylxanthines in combination with gentamicin against
Staphylococcus aureus and Pseudomonas aeruginosa. Journal of
Pharmacopuncture. 19(4):312–8.
Indang N, Guli MM, Alwi M. 2013. Uji resistensi dan sensitivitas bakteri
Salmonella thypi pada orang yang sudah pernah menderita demam tifoid
terhadap antibiotik. Jurnal Biocelebes. 7(1): 27–34.
International Tea Committee (ITC). 2015. Annual bulletin of statistics 2015.
International Tea Committee. USA.
Ismail KM. 2014. Uji daya hambat bakteri Aeromonas hydrophila setelah
pemberian ekstrak kasar daun sirsak (Annona muricata L) secara in vitro
[artikel skripsi]. Malang: Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Universitas
Brawijaya.
Jawetz M, Melnick R, Adelberg. 2008. Mikrobiologi kedokteran. Jakarta: EGC.
Hlm.199-200.
Jeon J, Joo HK, Chang KL, Chil HO, Hae JS. 2014. The antimicrobial activity of
(-)-Epigallocatehin-3-Gallate and green tea extracts against Pseudomonas
aeruginosa and Escherichia coli isolated from skin wounds. Ann Dermatol.
26(5):564-9.
Jigisha A, Nishant R, Navin K, Pankaj G. 2012. Green tea: A magical herb with
miraculous outcomes. Int. Res. J. Pharm. 3:139–48.
Karlina CY, M. Ibrahim, G. Trimulyono. 2013. Aktivitas antibakteri ekstrak herba
krokot (Potulaca oleracea L.) terhadap Staphylococcus aureus dan
Escherichia coli. Lentera Bio. 2(1):87–93.
Kassem M. 2008. Society for general microbiology. Edinburgh.1
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011. Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 2406/Menkes/Per/XII/2011 tentang Pedoman
Umum Penggunaan Antibiotik. Jakarta: Kemenkes RI.
64
64
Kohanski MA, Dwyer DJ, Wierzbowski J, Cottarel G, Collins JJ. 2008.
Mistranslation of membrane proteins and two-component system activation
trigger antibiotic-mediated cell death. 135:679–90.
Kuntari C. 2007. Uji aktivitas penangkapan radikal hidroksil oleh ekstrak etanol
teh hijau dan teh hitam dengan metode deoksiribosa [skripsi]. Yogyakarta:
Universitas Sanata Dharma.
Kusuma SAF. 2010. Escherichia coli. Bandung: Fakultas Farmasi Universitas
Padjajaran.
Kress H. 2011. Practical herbs. [Online] [diakses pada 05 Oktober 2017]. Tersedia
dalam: http://henriettesherbal,com/pictures/p03/pages/camellia-sinensis-
1.htm.
Mahmood T, Akhtar N, Khan BA. 2010. The morphology, characteristics, and
medicinal properties of Camellia sinensis (tea). 4(19):2028–33.
Marie P, Onge. 2005. Dietary fats, teas, dairy, and nuts: Potential functional foods
for weight control. Journal American Society for Clinical Nutrition. 81:7-15.
Murase T, Misawa K, Haramizu S, Hase T. 2009. Catechin-induced activation of
the LKB1/AMP-activated protein kinase pathway. Biological Science
Laboratories. Journal Biochem Parmachol. 78(1):78-84.
Nygren BL, Schilling KA, Blanton EM, Silk BJ, Cole DJ, Mintz ED. 2012.
Foodborne outbreaks of shigellosis in the USA 1998-2008. Epidemiology and
Infection. 141(2)233–241.
Pelczar MJ, Chan ECS. 2007. Dasar - dasar mikrobiologi I. Jakarta: UI-Press.
Purwani EH, Setyo WN, Rauf R. 2009. Respon hambatan bakteri Gram positif
dan negatif pada ikan nila (Oreochromis niloticus) yang diawetkan dengan
ekstrak jahe (Zingiber officinale). Jurnal Kesehatan. 2(1):61–70.
Putra AMP, Rustifah, Muhammad A. 2015. Uji aktivitas antimikroba infusum teh
hijau dan teh hitam (Camellia sinensis (L.) Kuntze) terhadap Escherichia coli
dan Candida albicans. Jurnal Ilmiah Manuntung. 1(1):68-74.
Putri ND. 2015. Identifikasi bakteri Escherichia coli pada es batu yang dijual
warung nasi di kelurahan Pisangan tahun 2015 [skripsi]. Jakarta: Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Pratiwi ST. 2008. Mikrobiologi farmasi. Jakarta: Penerbit Airlangga. Hlm.22-
42,154-67 dan 188-89
Prayoga E. 2013. Perbandingan efek ekstrak daun sirih hijau (Piper betle L.)
dengan metode difusi disk dan sumuran terhadap pertumbuhan bakteri
65
65
Staphylococcus aureus [skripsi]. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Redjeki S. 2014. Uji aktivitas antimikroba infusum teh hijau dan teh hitam
(Camellia sinensis (L.) Kuntze) terhadap Escherichia coli dan Candida
albicans. Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada. 11(1):98-107.
Reygaert W, Jusufi I. 2013. Green tea as an effective antimicrobial for urinary
tract infections caused by Escherichia coli. Front Microbiol. 4(162):1-4.
Reygaert WC. 2014. The antimicrobial possibilities of green tea (focused review).
5(434)
Rundengan CH, Fatmawali, Herny S. 2017. Uji daya hambat ekstrak etanol biji
pinang yaki (Areca vestiaria) terhadap bakteri Staphylococcus aureus,
Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa. Jurnal Ilmiah Farmasi. 6(1):37-
46.
Saraswati A. 2015. Efektivitas ekstrak daun teh hijau (Camellia sinensis) dengan
NaOCL 2,5% terhadap bakteri Enterococcus faecalis sebagai alternatif larutan
irigasi saluran akar [skripsi]. Makassar: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Hasanuddin.
Sastroasmoro S. 2014. Metode penelitian klinis dasar. Jakarta: PT. Bina Rupa
Aksara.
Setiabudy R. 2007c. Pengantar antimikroba. Dalam: Gunawan SG, Setiabudy R.,
Nefrialdi, Elysabeth, penyunting. Farmakologi dan terapi. Edisi Ke-5.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hlm. 585 – 598.
Setiabudy R. 2012. Farmakologi dan terapi. Edisi Ke-5. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI. Hlm. 673,714,720
Siswoyo R. 2009. Kimia organik.Jakarta: Erlangga.
Soleha TU. 2015. Susceptibility test of antimicroba. Juke Unila. 5(9):119-23.
Stalmach A, Troufflard S, Serafini M, Crozier A. 2009. Absorption, metabolism
and excretion of Choladi green tea flavan-3-ols by humans. Mol. Nutr. Food
Res. 53:S44–53.
Standar Nasional Indonesia. 2009. Batas maksimum cemaran mikroba dalam
pangan. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.
Suardana dan Swarcita. 2009. Higiene makanan. Denpasar: Udayana University
Press.
Sumarno. 2000. Teknik dasar pemeliharaan mikroba. Jakarta: Intan Prawira
66
66
Tammi A. 2016. Perbandingan daya hambat ekstrak daun salam (Syzygium
polyanthum [wight.] walp) terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus
aureus dan Escherichia coli secara in vitro [skripsi]. Bandar Lampung:
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.
Taylor PW, Hamilton-Miller JMT, Stapleton PD. 2009. Antimicrobial properties
of green tea catechins. Food Science and Technology Bulletin. 2:71–81.
Tuminah S. 2007. Teh sebagai salah satu antioksidan. Jakarta: Depkes RI.
Waluyo L. 2012. Mikrobiologi umum. Malang: Universitas Muhammadiyah
Malang.
Widyasanti A, Siti H, Dadan R. 2015. Aktivitas antibakteri ekstrak teh putih
terhadap bakteri Gram positif dan negatif. Jurnal Penelitian Teh dan Kina.
18(1):55-60.
Yuwono LF. 2009. Daya antibakteri ekstrak daun teh (Camellia sinensis) terhadap
pertumbuhan Streptococcus sp. pada plak gigi [skripsi]. Surakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

Anda mungkin juga menyukai