Anda di halaman 1dari 28

PROPOSAL PENELITIAN

FORMULASI SEDIAAN KRIM EKSTRAK ETANOL KULIT BUAH

JERUK NIPIS (Citrus aurantifolia) TERHADAP BAKTERI (Staphylococcus

aureus)

Oleh
Tri Handayani
B1A119417

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS MEGAREZKY MAKASSAR

MAKASSAR

2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan alam

yang sangat berlimpah, termasuk tanaman-tanaman herbal yang banyak

ditemukan disekitar kita, tanaman-tanaman herbal ini dapat dikembangkan

menjadi obat tradisional. Seperti yang kita ketahui obat tradisional memiliki

efek samping yang lebih rendah di bandingkan dengan obat-obatan kimia.

Di zaman sekarang pemanfaatan tanaman herbal yang dikembangkan

menjadi obat tradisional sangat dibutuhkan untuk mengobati berbagai

penyakit, salah satunya untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh

infeksi bakteri. Jerawat merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh

infeksi bakteri. Obat jerawat yang banyak beredar dipasaran mengandung

bahan keratolitik dan abrasif yang mengakibatkan tertutupnya pori-pori kulit

sehingga merangsang aktivitas kelenjar sebasea (Tjekyan, 2008). Perlu

dikembangkan alternatif bahan alam untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Sediaan anti jerawat telah banyak beredar dipasaran baik dalam bentuk, lotion,

krim, dan gel. Akan tetapi sediaan krim lebih diminati karena secara fisik

basis vanishing cream memiliki daya menyebar yang lebih tinggi, sedangkan

daya melekat dan viskositas yang lebih rendah (Thamrin F, 2012).

Jeruk nipis merupakan salah satu tanaman yang memiliki banyak khasiat

untuk mengobati penyakit, seperti obat batuk, peluruh dahak, peluruh urin,
membantu proses pencernaan, menurunkan demam, menghilangkan ketombe,

dan mengatasi haid yang tidak terarur (Romli, 2010). Daun dan buah jeruk

nipis sering dimanfaatkan masyarakat sebagai obat dan pengawet makanan,

namun untuk kulit buah jeruk nipis sendiri kurang dimanfaatkan karena

masyarakat tidak mengetahui khasiat yang terkandung dalam kulit buah jeruk

nipis sehingga kulit buah jeruk nipis terbuang sia-sia dan berakhir menjadi

limbah (Andi, 2016). Dalam bukunya Sarwono (2003) menjelaskan bahwa

baik daun, buah maupun kulit jeruk nipis memiliki kandungan yang

berkhasiat sebagai antibakteri diantaranya minyak atsiri yang di dalamnya

terkandung flavonoid yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri, Jeruk

nipis merupakan tanaman yang berasal dari indonessia, Menurut sejarah

sentra utama asal jeruk nipis adalah Asia tenggara. Akan tetapi, beberapa

sumber menyatakan bahwa tanaman jeruk nipis berasal dari Birma utara, Cina

selatan, dan India setelah utara, tepatnya Himalaya dan Malaysia. Tanaman

jeruk nipis masuk ke Indonesia karena dibawa oleh orang Belanda (Aldi,

2016). Jeruk nipis mempunyai aroma yang kuat serta cita rasa yang khas dan

memiliki sifat-sifat kimia seperti kadar gula, pH yang sangat rendah dan rasa

asam buah jeruk sangat tinggi (Ernawati, 2008).

Infeksi yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus ditandai

dengan kerusakan jaringan yang disertai abses bernanah. Beberapa infeksi

lain juga disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus yaitu jerawat, bisul,

impetigo, dan infeksi pada luka. (Ansari et.al.,2014). Staphylococcus aureus

merupakan salah satu bakteri penyebab infeksi tersering di dunia. Tingkat


keparahan infeksinya pun bervariasi, mulai dari infeksi minor di kulit

(furunkulosis dan impetigo). Infeksi traktus urinarius, infeksi traktus

respiratorius, sampai infeksi mata dan Central Nervous System (CNS)

(Septiani et al., 2017).

Penelitian mengenai aktivitas antibakteri pada kulit buah jeruk nipis

Citrus aurantifolia telah dilakukan oleh Rohmi wardani (2018) namun

penelitian tersebut hanya sebatas proses uji aktivitas ekstraksi, sehingga perlu

dilakukan penelitian lebih lanjut hingga proses formulasi. Pada penelitian nya

Rohmi wardani (2018) menyatakan, pengaruh ekstrak etanol kulit buah jeruk

nipis Citrus aurantifolia terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus

mempunyai zona hambat intermediet paling rendah pada konsentrasi 25%.

Oleh sebab itu peneliti tertarik membuat formulasi sediaan krim

menggunakan bahan aktif kulit buah jeruk nipis Citrus aurantifolia dengan

tiga konsentrasi berbeda yakni 20%, 25% dan 30%, Dan akan dilakukan uji

aktivitas terhadap bakteri staphylococcus aureus.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka perumusan masalah pada

penelitian ini adalah bagaimana cara pembuatan sediaan krim ekstrak kulit

buah jeruk nipis Citrus aurantifolia yang memenuhi persyaratan uji mutu

fisik yang baik dan bagaimanakah aktivitas antibakteri dari sediaan krim kulit

buah jeruk nipis terhadap staphylococcus aureus.

C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui apakah ekstrak kulit buah jeruk nipis Citrus

aurantifolia dapat dibuat menjadi sediaan krim yang memenuhi persyaratan

uji mutu fisik yang baik dan juga untuk mengetahui aktivitas antibakteri dari

sediaan krim kulit buah jeruk nipis terhadap staphylococcus aureus.

D. Manfaat penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi

perkembangan ilmu pengetahuan dan penelitian dalam bidang Kesehatan.

Dan diharapkan juga dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang

kandungan kulit buah jeruk nipis Citrus aurantifolia yang jarang diketahui.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Uraian Jeruk Nipis

1. Klasifikasi jeruk nipis menurut Ramadhianto (2017) sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Subdivision : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Rutales

Family : Rutaceae

Genus : Citrus

Spesies : Citrus aurantiifolia

2. Morfologi kulit buah jeruk nipis Citrus aurantifolia

Irisan tipis kulit buah dari buah jeruk nipis dengan tepi tidak rata,

permukaan bagian dalam berwarna putih kekuningan dan permukaan luar

berwarna hijau kecoklatan, memiliki bau khas, rasa kelat, pahit, dan

sedikit asam (Kemenkes, 2011). Kulit jeruk nipis saat masih muda

berwarna hijau pekat, dan semakin tua warna buah menjadi hijau muda

atau kekuningan dan kusam.

3. Kandungan kimia kulit buah jeruk nipis Citrus aurantifolia


Kulit buah jeruk nipis yang didapat dari irisan tipis kulit buah jeruk

nipis bagian luar mengandung banyak senyawa golongan minyak atsiri

dan golongan flavonoid. Senyawa golongan minyak atsiri yang paling

dominan adalah golongan monoterpene hidrokarbon yaitu limonen, α-

pinen, β-pinen, γ-terpinen, β-mirsen, dan beberapa golongan seskuiterpen

seperti β-bisabolen (Tundis et.al., 2012). Sedangkan senyawa golongan

flavonoid yang terdapat dalam kulit buah jeruk nipis adalah kuersetin,

mirisitin, rutin, tangerin, naringin, dan hesperidin (Okwu, 2008).

B. Uraian Bakteri

1. Klasifikasi ilmiah bakteri genus Staphylococcus aureus adalah sebagai

berikut (Soedarto, 2015) :

Domain : Bacteria

Kingdom : Eubacteria

Phylum : Firmicutes

Class : Bacilli

Ordo : Bacillales

Family : Staphylococcaceae

Genus : Staphylococcus

Species : Staphylococcus aureus

2. Morfologi Staphylococcus aureus

Staphylococcus adalah bakteri gram positif (Gram +) berbentuk bulat.

Staphylococcus berdiameter 0,8 – 1,0 mikron, tidak bergerak, dan tidak

berspora. Koloni mikroskopik Staphylococcus berbentuk menyerupai


buah anggur. Uji enzim katalase bersifat katalase positif. Staphylococcus

aureus membentuk koloni besar berwarna agak kuning dalam media yang

baik. Staphylococcus aureus biasanya bersifat hemolitik pada agar darah.

Staphylococcus bersifat anaerob fakultatif dan dapat tumbuh karena

melakukan respirasi aerob atau fermentasi dengan asam laktat.

Staphylococcus aureus dapat tumbuh pada suhu 15-45 ⁰C (Radji, 2010).

Staphylococcus aureus merupakan pathogen utama untuk manusia,

hamper setiap orang akan mengalami beberapa jenis infeksi

Staphylococcus aureus selama hidupnya, dengan keparahan yang

beragam, dari keracunan makanan atau infeksi kulit minor sampai infeksi

berat yang mengancam jiwa (Jawetz et al., 2017).

C. Ekstrak

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat

aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang

sesuai, kemudian semua atau hamper semua pelarut diuapkan dengan massa

atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku

yang telah ditetapkan (Kemenkes, 2014).

Ekstraksi atau penyaringan merupakan proses pemisahan senyawa dari

matriks atau simplisia dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Metode

ekstraksi yang digunakan tergantung pada jenis, sifat fisik, dan sifat kimia

kandungan senyawa yang akan diekstraksi. Pelarut yang digunakan tergantung

pada polaritas senyawa yang akan disari, mulai dari yang bersifat nonpolar

hingga polar (Hanani, 2015).


1. Metode ekstraksi

a. Maserasi, adalah cara ekstraksi simplisia dengan merendam dalam

pelarut pada suhu kamar sehingga kerusakan atau degradasi metabolit

dapat diminimalisasi. Pada maserasi, diperlukan terjadi proses

keseimbangan konsentrasi antara larutan diluar dan didalam sel

sehingga diperlukan penggantian pelarut secara berulang. Kinetic

adalah cara ekstraksi, seperti maserasi yang dilakukan dengan

pengadukan, sedangkan digesti adalah cara maserasi yang dilakukan

pada suhu yang lebih tinggi dari suhu kamar, yaitu 40-60⁰C.

b. Perkolasi, adalah cara ekstraksi simplisia menggunakan pelarut yang

selalu baru, dengan mengalirkan pelarut hingga senyawa tersari

sempurna. Cara ini memerlukan waktu lebih lama dan pelarut yang

lebih banyak. Untuk meyakinkan perkolasi sudah sempurna, perkolat

dapat diuji adanya metabolit dengan pereaksi yang spesifik.

c. Refluks, adalah cara ekstraksi dengan pelarut pada suhu dengan pelarut

pada suhu titik didihnya selama waktu tertentu dan jumlah pelarut

terbatas yang relative konstan dengan adanya pendingin balik. Agar

hasil penyarian lebih baik atau sempurna, refluks umumnya dilakukan

berulang-ulang (3-6 kali) terhadap residu pertama. Cara ini

memungkinkan terjadinya penguraian senyawa yang tidak tahan panas.

d. Soxhletasi, adalah cara ekstraksi mengguanakan pelarut organik pada

suhu didih dengan alat Soxhlet. Pada soxhletasi, simplisia dan ekstrak

berada pada labu berbeda. Pemanasan mengakibatkan pelarut


menguap, dan uap masuk dalam labu pendingin. Hasil kondensasi

jatuh bagian simplisia sehingga ekstraksi berlangsung terus-menerus

dengan jumlah pelarut relative konstan. Ekstraksi ini dikenal sebagai

ekstraksi berkesinambungan.

e. Infusa, adalah cara ekstraksi dengan menggunakan pelarut air, pada

suhu 96-98⁰ C selama 15-20 menit (dihitung setelah suhu 96⁰ C

tercapai). Beberapa infusa tercelup dalam tangas air, cara ini sesuai

untuk simplisia yang bersifat lunak, seperti bunga dan daun.

f. Detok adalah cara ekstraksi yang mirip dengan infusa. Hanya saja

waktu ekstraksinya lebih lama yaitu 30 menit dan suhu nya mencapai

titik didih air.

g. Destilasi (penyulingan), merupakan cara ekstraksi untuk menarik atau

menyari senyawa yang ikut menguap dengan air sebagai pelarut. Pada

proses pendinginan senyawa dan uap air akan terkondensasi dan

terpisah menjadi destilasi air dan senyawa yang diekstraksi (Hanani,

2015).

D. Krim

1. Uraian Krim

Menurut FI V krim adalah bentuk sediaan setengah padat

mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam

bahan dasar yang sesuai. Istilah ini secara tradisional telah digunakan

untuk sediaan setengah padat yang mempunyai konsistensi relative cair di

formulasi sebagai emulsi air dalam minyak atau minyak dalam air. Krim
dapat digunakan untuk pemberian obat melalui vaginal (Kemenkes,

2014).

Krim adalah desiaan setengah padat berupa emulsi kental

mengandung air tidak kurang dari 60% dan dimaksudkan untuk

pemakaian luar (Anonim, 1978).

2. Jenis Krim (Yuliani et al., 2015)

a. Tipe minyak dalam air (M/A)

Tipe M/A merupakan krim yang fase luar nya air, jadi mudah

dicuci dengan air atau tidak lengket atau meninggalkan noda pada

pakaian, contoh : Vanishing cream adalah sediaan kosmetika yang

digunakan untuk maksud membersihkan, melembabkan dan sebagai

alas bedak. Vanishing cream sebagai pelembab (Moisturaizing)

meninggalkan lapisan berminyak /film pada kulit

b. Tipe air dalam minyak (A/M)

Tipe krim A/M merupakan krim dengan fase luar nya adalah

minyak, tidak mudah dicuci dengan meninggalkan noda atau lengket

pada pakaian serta tidak mudah mengering. Contoh : cold cream

adalah sediaan kosmetika yang digunakan untuk maksud memberikan

rasa dingin dan nyaman pada kulit, sebagai krim pembersih, berwarna

putih, dan bebas dari butiran. Cold cream mengandung mineral oil

dalam jumlah besar.

3. Sifat Krim (Yuliani et al., 2015)

a. Tercampur dengan baik dengan bahan obat


b. Stabil dalam penyimpanan

c. Mudah dicuci dengan air

d. Mudah melepaskan bahan obat

e. Mudah diformulasikan

f. Reaksi netral

g. Tidak merangsang kulit

h. Didalm sediaan secara fisik cukup halus dan kental.

Stabilitas krim akan rusak jika system campuran nya terganggu oleh

perubahan suhu dan perubahan komposisi disebabkan penambahan salah

satu fase secara berlebihan atau pencampuran dua tipe krim jika zat

pengemulsinya tidak tercampurkan satu sama lain. Pengenceran krim

hanya dapat dilakukan jika diketahui pengenceran yang cocok, yang

harus dilakukan dengan Teknik aseptis. Krim yang sudah diencerkan

harus digunakan dalam waktu 1 bulan (Ditjen POM, 1979).

E. Uraian Bahan

1. Acidum stearicum/ asam stearate (FI III, 57)

Asam stearate adalah campuran asam organik padat yang diperoleh dari

lemak, Sebagian besar terdiri dari asam oktadekonat, C18H36O2 dan asam

heksadekanoat, C16H32O2 .

Pemerian : Zat padat keras mengkilat menunjukkan

susunan hablur, putih atau kuning pucat,

mirip lemak lilin.


Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, larut dalam 20

bagian etanol (95%) P, dalam 2 bagian

kloroform P dan dalam 3 bagian eter P.

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.

Khasiat : Zat tambahan, untuk melembutkan kulit

dengan konsentrasi 1-20%.

2. Gliserin (FI III, 271)

Pemerian : Cairan seperti sirop, jernih, tidak berwarna,

tidak berbau, manis diikuti rasa hangat.

Higroskopik jika disimpan beberapa lama

pada suhu rendah dapat memadat,

membentuk massa hablur tidak berwarna

yang tidak melebur hingga suhu mencapai

lebih kurang 20⁰ C.

Kelarutan : Dapat campur dengan air dan dengan etanol

(95%) P, praktis tidak larut dalam

kloroform P dalam eter P dan dalam

minyak lemak

3. Triethanolamin (FI III, 612)

Pemerian : Cairan kental, tidak berwarna hingga hingga

kuning pucat, bau lemah mirip amoniak,

higroskopik.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari

cahaya.

Khasiat dan penggunaan : Zat tambahan, emulgator 2-4 % atau 2-5 kali

dari asam lemak.

4. Aquadest (FI III, 96)

Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau,

tidak mempunyai rasa.

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.

5. Nipagin / methylparaben

Pemerian : Serbuk hablur halus, putih, hampir tidak

berbau, tidak mempunyai rasa, kemudian

agak membakar diikuti rasa tebal.

Kelarutan : Larut dalam 500 bagian air, dalam 20

bagian air mendidih, dalam 3,5 bagian

etanol 95%, dalam 3 bagian aseton P,

mudah larut dalam eter P, dan dalam

larutan alkali hidroksida, larut dalam 60

bagian gliserol P panas, dan dalam 40

bagian minyak lemak nabati panas, jika

didinginkan larutan tetap jernih.

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik


Khasiat dan penggunaan : Zat tambahan, zat pengawet dengan

konsentrasi 0,02 - 0,3 %

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.

F. Uji mutu fisik sediaan

Syarat uji mutu fisik sediaan krim yang baik adalah :

1. Uji organoleptik

Pada pengujian ini yang diamati adalah warna, bau, dan tekstur. Uji

ini dilakukan untuk melihat fisik suatu sediaan secara visual (Muzzafar et

al.,2013).

2. Uji daya sebar

Sebanyak 0,5 g krim diletakkan secara hati-hati diatas kaca bulat,

ditutup dengan kaca lain yang telah ditimbang beratnya dan dibiarkan

selama 1 menit kemudian diukur diameter sebar krim. Setelah itu

tambahkan beban 50 g dan dibiarkan 1 menit kemudian diukur diameter

sebarnya. Penambahan beban berat setelah 1 menit dilakukan secara terus

menerus hingga diperoleh diameter yang cukup untuk melihat pengaruh

beban terhadap perubahan sebar gel (Ismarani, et al., 2014).

3. Uji pH

Nilai pH pada kulit manusia terdapat pada rentang asam antara 4-6,5.

Apabila suatu sediaan topikal memiliki pH diatas pH kulit, maka kulit

akan menjadi kering sedangkan jika pH krim dibawah pH kulit, maka

akan mengakibatkan iritasi pada kulit (Muzzafar et al., 2013).


4. Uji homogenitas

Pada pengamatan homogenitas dilakukan dengan mengamati sediaan

pada kaca objek dibawah cahaya, diamati apakah terdapat bagian-bagian

yang tidak tercampurkan dengan baik (Paye et al., 2001).

G. Antibakteri

Antibakteri adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik yang

mempunyai efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam

organisme, khususnya dalam proses infeksi oleh bakteri. Proses tersebut

dilakukan melalui penghambatan sintesis dinding sel, sintesis protein,

simtesis asam nukleat, serta menghambat jalur metabolisme sehingga

menghancurkan struktur membrane sel (Tenover. 2006).

Kadar minimal yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan bakteri

dikenal sebagai Kadar Hambat Minimal (KHM). Antibakteri tertentu

aktivitasnya meningkat dari bakteriostatik menjadi bakterisid bila kadar

antibakterinya ditingkatkan melebihi KHM (Gan et al., 1995).

Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas antibakteri (Jawetz, 1996) :

a. pH lingkungan

b. Komponen-komponen penelitian

c. Stabilitas obat

d. Masa mengemaran

e. Aktivitas metaboli mikroorganisme

H. Uraian Media
Media pertumbuhan mikroorganisme adalah suatu bahan yang terdiri atas

campuran nutrisi (nutrient) yang digunakan oleh suatu mikroorganisme untuk

tumbuh dan berkembang biak pada media tersebut. Mikroorganisme

memanfaatkan nutrisi pada media berupa molekul-molekul kecil yang dirakit

untuk Menyusun komponen sel-nya. Dengan media pertumbuhan juga bisa

digunakan untuk mengisolasi mikroorganisme, identifikasi dan membuat

kultur murni. Komposisi media pertumbuhan dapat dimanipulasi untuk tujuan

isolasi dan identifikasi mikroorganisme tertentu sesuai dengan tujuan masing-

masing pembuatan suatu media. Media adalah suatu bahan yang terdiri dari

campuran zat-zat hara (nutrient) yang berguna untuk membiakkan mikroba.

Dengan mempergunakan bermacam-macam media dapat dilakukan isolasi,

perbanyakan, pengujian sifat-sifat fisiologis dan perhitungan jumlah mikroba

(Cappucino, 2014).

Kegunaan uji antimikroba adalah diperolehnya suatu system pengobatan

yang efektif dan efisien. Terdapat macam-macam metode uji antimikroba

seperti yang di jelaskan berikut ini :

1. Metode difusi (Alfiah, 2016).

Pada metode difusi termasuk didalam nya metode disk diffusion,

ditc-plate technique, cup-plate technique.

a. Metode disk diffusion

Metode difusi cakram merupakan cara yang paling sering

digunakan untuk menentukan kepekaan antibakteri terhadap suatu

cakram kertas saring (paper disk) yang berfungsi sebagai tempat


menampung antimikroba. Kertas saring tersebut kemudian diletakkan

pada lempeng agar yang telah diinokulasi mikroba uji, kemudian

diinkubasi pada waktu dan suhu tertentu, sesuai dengan kondisi

optimum dari mikroba uji. Pada umumnya, hasil yang didapat bisa

diamati setelah diinkubasi selama 18-24 jam dengan suhu 37⁰ C.

hasil pengamatan yang diperoleh berupa ada atau tidaknya daerah

bening yang terbentuk di sekeliling kertas cakram yang menunjukkan

zona hambat pada pertumbuhan bakteri.

b. Metode ditch-plate technique

Pada metode ini sampel uji berupa agen antimikroba yang

diletakkan pada parit yang dibuat dengan cara memotong media agar

dalam cawan petri pada bagian tengah secara membujur dan mikroba

uji (maksimum 6 macam) digoreskan kearah parit yang berisi agen

antimikroba.

c. Motode cup-plate technique

Metode ini serupa dengan metode disk diffusion, dimana dibuat

sumur pada media agar yang telah ditanami mikroorganisme dan

pada sumur tersebut diberi agen antimikroba yang akan diuji.

Kelebihan metode ini adalah senyawa antibakteri berdifusi langsung

ke agar tanpa ada perantara. Hal inilah yang membuat senyawa aktif

dapat langsung bekerja melawan bakteri tanpa hambatan

d. Metode E-test
Metode E-test atau biasa disebut dengan tes epsilometer adalah

metode tes dimana huruf “E” dalam nama E-test menunjukkan

symbol epsilon (E). E-test merupakan metode kuantitatif untuk uji

antimikroba. Metode ini gabungan antara metode dilusi dan metode

difusi anti bakteri kedalam media. Metode ini dilakukan dengan

menggunakan strip plastic yang sudah mengandung agen antibakteri

dengan konsentrasi terendah sampai tertinggi yang terletak pada

media agar yang telah ditanami mikroorganisme. Hambatan

pertumbuhan mikroorganisme bisa diamati dengan adanya area jernih

disekitar strip tersebut.

2. Motode dilusi

Pada metode ini termasuk didalamnya metode dilusi cair dan dilusi

padat (Pratiwi, 2008).

a. Metode dilusi cair

Metode ini mengukur MIC (Minimum Inhibitory Concentration) atau

kadar hambatan minimum (KHM) dan MBC (Minimum Bactericidal

Concentration) atau kadar bunuh minimum (KBM). Pengujian

dilakukan dengan menggunakan sederetan tabung reaksi yang diisi

dengan inoculum kuman dan larutan antibakteri dalam berbagai

konsentrasi. Zat yang akan diuji aktivitas bakterinya diencerkan serial

dalam media air, kemudian diinokulasikan dengan kuman dan

diinkubasi pada waktu dan suhu yang sesuai dengan mikroba uji.

b. Metode dilusi padat


Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan

media padat (solid). Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi

agen antimikroba diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa

mikroba uji.

I. KERANGKA KOSEP
Variabel Independent Variabel Antara Variabel Dependem

Ekstrak kulit jeruk


nipis 20% b/v

Sediaan krim Aktivitas


Ekstrak kulit jeruk
antibakteri
nipis 25% b/v

Ekstrak kulit jeruk


nipis 30% b/v
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium,

penelitian ini dilakukan untuk membuat sediaan krim dari ekstrak kulit

buah jeruk nipis dengan parameter uji mutu fisik yang meliputi uji

organoleptik, uji daya sebar, uji homogenitas dan uji pH. Kemudian

dilakukan uji aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus dengan

menggunakan metode difusi.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian akan dilakukan pada bulan Mei 2021 Di Laboratorium

teknologi sediaan solid dan mikrobiologi Universitas Megarezky

Makassar.

C. Alat dan bahan

1. Alat yang digunakan

Alat- alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah autoklaf,

batang pengaduk, botol kaca, cawan petri, gelas ukur, inkubator, jangka

sorong, Erlenmeyer, jarum ose, LAF (laminary air flow), lampu spiritus,

oven, pinset, pencadang, pipet mikro, rak tabung, tabung reaksi, spoit, dan

timbangan analitik.

2. . Bahan yang digunakan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah aluminium foil,

aquadest, asam stearate, etanol 96%, gliserin, handscoon, kapas, kultur


murni, masker, medium Nutrient agar (NA), natrium tetraborate, sampel

krim ekstrak kulit buah jeruk nipis, Staphylococcus aureus,

triettanolamin.

D. Prosedur Kerja

1. Pengumpulan sampel

Sampel yang digunakan adalah kulit buah jeruk nipis. Buah jeruk

nipis dipisahkan dengan kulitnya kemudian kulit buah jeruk nipis

dibersihkan dicuci dengan menggunakan air mengalir dan dilakukan

sortasi basah, kemudian kulit jeruk nipis dipotong kecil-kecil, dan dijemur

dibawah sinar matahari. Setelah kulit jeruk nipis kering dilakukan sortasi

kering, kemudian simplisia dihaluskan sesuai derajat kehalusannya.

2. Pembuatan ekstrak etanol kulit jeruk nipis

Ekstrak simplisia kulit jeruk nipis sebanyak 500 gram serbuk

dimaserasi dengan 4,5 L pelarut etanol 96%. Maserasi dialkukan selama 3

hari dengan merendam 500 gram serbuk simplisia dengan 4,5 L etanol

96% sampai terendam, lalu beaker dilapisi dengan aluminium foil. Setelah

perendaman selama 3 hari, kemudian disaring menggunakan kertas

saring. Digabungkan filtrate yang didapat dan dipekatkan dengan vakum

evaporator sampai diperoleh ekstrak kental selanjutnya dilakukan

pengovenan sampai diperoleh ekstrak dalam bentuk pasta

3. Pembuatan sediaan krim

a. Formula dasar

Tabel 1
Formula dasar Vanishing cream

Bahan Formula (g)


Asam stearate 142
Gliserin 100
Natrium tetraborate 2,5
Trietanolamin 10
Air suling 750
Nipagin Qs

b. Modifikasi formula

Bahan Kegunaan F1 (g) F2 (g) F3 (g)

20% 25% 30%


Ekstrak kulit Zat aktif 4g 5g 6g

buah jeruk

nipis
Asam stearat Pengemulsi 2,26 g 2,12 g 1,97 g
Gliserin Pengemulsi 1,59 g 1,49 g 1,39 g
Natrii Buffering 0,03 g 0,03 g 0,03 g

tetraboras agent
Trietanolamin Pengemulsi 0,15 g 0,14 g 0,13 g
Air suling Pelarut 11,94 g 11,19 g 10,45 g
Nipagin Pengawet 0,03 g 0,03 0,03 g

c. Prosedur

Disiapkan alat dan bahan, ditimbang asam stearate, gliserin, dan

trietanolamin di atas cawan, kemudian dilebur diatas penangas air.

Ditimbang Na. tetraborat, nipagin, dan diukur air suling kemudian

masukan Na. tetraborate, nipagin dan air suling kedalam tabung reaksi

lalu dipanaskan di atas penangas air, panaskan lumping, dituang fase

minyak dan fase air sedikit demi sedikit ke dalam lumping, aduk
sampai homogen, ditimbang ekstrak kulit buah jeruk nipis lalu

dimasukkan ke dalam lumping yang telah berisi semua bahan aduk

hingga homogen, dimasukan kedalam wadah dan beri etiket.

d. Pengujian mutu fisik

1. Uji organoleptik

Pada pengujian ini yang diamati adalah warna, bau, dan tekstur.

Uji ini dilakukan untuk melihat fisik suatu sediaan secara visual.

Pemerian krim tidak boleh tengik.

2. Uji daya sebar

Sebanyak 0,5 g krim diletakkan secara hati-hati diatas kaca bulat,

ditutup dengan kaca lain yang telah ditimbang beratnya dan

dibiarkan selama 1 menit kemudian diukur diameter sebar krim.

Setelah itu tambahkan beban 50 g dan dibiarkan 1 menit kemudian

diukur diameter sebarnya.

3. Uji pH

Derajat keasaman (pH) diuji dengan kertas pH yang dicelupkan

pada krim yang diencerkan kemudian dibandingkan hasilnya

dengan standar warna yang terdapat pada kemasan dan dicatat pH

krim.

4. Uji homogenitas

Cara pengujiannya yaitu krim dioleskan tipis-tipis diatas kaca

objek kemudian diamati homogenitas bahan aktif dalam basis

krim. Syarat krim sebagai sediaan topikal yaitu tidak menggumpal


dan tidak terdapat partikel-partikel kecil pada saat dioleskan pada

kaca objek .

4. Sterilisasi Alat

Alat yang akan digunakan dicuci, kemudian dibilas dengan aquades

dan dikeringkan. Untuk alat-alat yang bersifat tahan panas disterilkan

menggunakan oven pada suhu 180⁰ C selama 2 jam. Untuk alat-alat yang

tidak tahan panas disterilkan menggunakan autoklaf pada suhu 121⁰ C

selama 15 menit. Sedangkan alat alat seperti ose, pinset disterilkan

dengan pemijaran api langsung.

5. Pembuatan Medium

Ditimbang medium NA sebanyak 2,5 g, kemudian dilarutkan dengan

100 ml aquadest dalam erlenmeyer dididihkan sampai jenuh kemudian

disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121⁰ C selama 15 menit.

6. Penyiapan Bakteri Uji

a. Peremajaan Bakteri

Bakteri yang digunakan adalah bakteri Staphylococcus aureus yang

diambil sebanyak satu ose, kemudian diinokulasikan pada medium

nutrient (NA) miring dan diinkubasikan pada suhu 37⁰ C selama 1 x

24 jam. Sehingga diperoleh biakan murni Staphylococcus aureus.

b. Pembuatan Suspensi Bakteri

Hasil biakan murni yang diperoleh kemudian disuspensikan kedalam

10 ml aquadest.

7. Pengujian krim ekstrak


Disiapkan medium NA steril yang telah dicampur dengan suspense

bakteri sebanyak 20 ml kemudian dituang secara aseptis ke dalam cawan

petri steril dan didiamkan hingga memadat. Dibuat lubang medium NA

menggunakan pencadang. Kemudian dimasukkan zat yang akan diuji ke

dalam medium. Selanjutnya diinkubasikan pada suhu 37⁰ C selama 1x 24

jam. Uji daya hambat antibakteri ditentukan dengan mengukur diameter

zona hambat dan pengujian dilakukan dengan 3 kali pengulangan.

8. Pengamatan dan pengukuran diameter hambatan

Pengamatan dan pengukuran diameter hambatan dilakukan dengan

menggunakan jangka sorong setelah diinkubasikan selama 24 jam dan

dicatat pada tabel pengamatan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1978. Formularium Nasional, Edisi Kedua, Departemen Kesehatan


Republik Indonesia.
Aldi A.T.U.D.R.A., 2016. Efektivitas Ekstrak Kulit Jeruk Nipis (Citrus
Aurantifolia) dengan NaCL 5,25 % sebagai Alternatif Larutan Irigasi
Saluran Akar dalam Menghambat Bakteri Enterococcus Faecalis. Skripsi.
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanudin, Makassar.
Alfiah, I. 2016. Aktivitas Antibakteri Fraksi Etil Asetat Ekstrak Etanol Daun
Pepaya Gunung (Caricapubescens Lenne & K. Koch) Terhadap Bakteri
Salmonella thypi Secara In Silico dan In Vitro Skripsi. Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
Andi. 2016. Efektivitas Ekstrak Kulit Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia) dengan
NaOCl 5,25% Sebagai Alternatif Larutan Irigasi Saluran Akar Dalam
Menghambat Bakteri Enterococcus faecalis. Skripsi. Makassar.
Departemen Konservasi Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Hasanuddin.
Ansari, N. N. et.al.,. 2014. Effect Of Therapeutic Infra-Red In Patients With Non-
Specific Low Back Pain : A Pilot Study. Journal of Bodywork &
Movement Therapies, 18(1), 75–81.
Cappucino, J.G., dan Sherman, N. 2014. Manual laboratorium mikrobiologi.
Cetakan 2014. Edisi ke-8. Penerbit buku kedokteran (EGC), Jakarta.
Ditjen POM RI. 1979. Farmakope Indonesia edisi III. Jakarta : Departemen
kesehatan Republik Indonesia.
Ernawati D. 2008. Pengaruh Penggunaan Ekstrak Jeruk Nipis (Citrus Aurantifolia
Swingle) terhadap Residu Nitrit Daging Curing selama Proses Curing.
Tesis. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Gan, et al., 1995. Farmakologi dan Terapi, Edisi IV. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta.
Hanani Endang. 2015. Analis Fitokimia. Editor, Theresia Veronica Dwinita
hadinata_Amalia hanif – Jakarta : EGC 2015.
Jawetz, Melnick dan Adelberg, 1996, Mikrobiologi Kedokteran, edisi 20, EGC,
Jakarta.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Farmakope indonesia Edisi V.


Jakarta : Kementrian kesehatan RI.
Kemenkes RI., 2011. Situasi Diare di Indonesia. Jakarta: Pusat Data dan
Informasi Kementrian Kesehatan RI.
Muzzafar, F., Singh, U.K., and Chauhan, L., 2013, Review on Microemulsion
Futuristic Drug Delivery, Int J Pharm Sci.
Okwu, D.E., 2008. Citrus Fruits: a Rich Source of Phytochemicals and Their
Roles in Human Health, International Journal Chemical Science, 6 (2):
451-471.
Paye, M., Andre, O.B., and Howard, I.M., 2001. Handbook of Cosmetics Science
and Technology, Marcel Dekker, Inc. New York.
Pratiwi. 2008. Mikrobiologi Farmasi. Jakarta: Erlangga.
Radji, M., 2011, Buku Ajar Mikrobiologi Panduan Mahasiswa Farmasi dan
Kedokteran, 14, 35, 107, 194, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Ramadhani, S. H., Samingin dan Iswadi. 2017. Isolasi dan Identifikasi Jamur
Endofit pada Daun Jamblang (Syzygium cumini L). Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unsyiah, 2(2):77–
90.
Romli, A. 2010. Mengenal Kandungan Dan Khasiat Buah Dan Sayur Untuk
Menjaga Kesehatan Tubuh. Yogyakarta: Pionir Media.
Sarwono, B. 2003. Khasiat dan Manfaat Jeruk Nipis. Jakarta: Argomedia Pustaka
Septiani, Dewi, E. N. dan Wijayanti, I. 2017. Aktivitas antibakteri ekstrak lamun
(Cymodocea rotundata) terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan
Escherichia coli. Saintek Perikanan, 13(1): 1-6.
Soedarto. (2015). Mikrobiologi Kedokteran . jakarta: CV. Sagung Seto.
Tenover, 2006, Mechanisms of Antimicrobial Resistance in Bacteria, The
American Journal of Medicine, 119 (6), 3-10.
Thamrin, Fadhilah N. 2012. Formulasi Sediaan Krim Dari Ekstrak Etanol Kunyit
(Curcuma domesticate) Dan Uji Efektivitas Terhadap Bakteri
Staphylococcus aureus, Jurnal Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Islam Negeri Alauddin, Makassar.
Tjekyan, R. M. S., 2008. Kejadian dan Faktor Resiko Acne Vulgaris, Dalam:
Media Medika Indonesia. Semarang: Balai Penerbit FK UNDIP dan IDI
Wilayah Jawa Tengah; 43: 37- 43.
Wardani. R. et. al., 2018. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kulit Buah Jeruk
Nipis (Citrus aurantifolia) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Isolat Klinis.
FKIP Universitas Mataram. Nusa Tenggara Barat
Yuliani, N.N., Dienina D.P. 2015. Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol
Infusa Daun Kelor dengan Metode 1,1- diphenyl-2-picrylhydrazyl
(DPPH)

Anda mungkin juga menyukai