Anda di halaman 1dari 47

Skrining Fitokimia Dan Uji Antibakteri Ekstrak Kombinasi Daun, Kulit

Dan Buah Jeruk Kunci ( Citrus microcarpa bunge) Terhadap


Pertumbuhan Bakteri Staphylococus Aureus

PROPOSAL KARYA TULIS ILMIAH

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Menyelesaikan


Pendidikan Diploma III Kesehatan

OLEH:
NI WAYAN SANDY PRAMITHA
PO.71.39.1.21.061

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG
JURUSAN FARMASI
TAHUN 2024
DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang ……………………………………………………………... 1
1.2 Rumusan Masalah …………………………………………………………..
1.3 Tujuan Penelitian ……………………………………………………………
1.4 Manfaat Peneltian …………………………………………………..

BAB II Tinjauan Pustaka


2.1 Skrining Fitokimia …………………………………………………………..
2.2 Jeruk Kunci ( Citrus microcarpa bunge) ……………………………………
2.3 Simplisia …………………………………………………………………….
2.4 Ekstraksi …………………………………………………………………….
2.5 Bakteri Staphylococus Aureus ………………………………………………
2.6 Kerangka Teori ………………………………………………………………
2.7 Hipotesis …………………………………………………………………….

BAB III Metode Penelitian


3.1 Jenis Penelitian ………………………………………………………………
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ………………………………………………..
3.3 Populasi ………………………………………………………………………
3.4 Pengumpulan Data …………………………………………………………...
3.5 Alat …………………………………………………………………………...
3.6 Bahan …………………………………………………………………………
3.7 Prosedur Penelitian ……………………………………………………………
3.8 Variabel ……………………………………………………………………….
3.9 Definisi Operasional ………………………………………………………….
3.10 Kerangka Operasional ………………………………………………………..
3.11 Analisa Data ………………………………………………………………….
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Zona Hambat Bakteri …………………………………………………………


Tabel 3.1 Definisi Operasional ………………………………………………………….
DAFTAR GAMBAR

2.1 Struktur Dasar Flavonoid ……………………………………………………………


2.2 Struktur Fenol ……………………………………………………………………….
2.3 Struktur Dasar Alkaloid ……………………………………………………………..
2.4 Struktur Dasar Saponin ……………………………………………………………...
2.5 Struktur Dasar Terpenoid ……………………………………………………………
2.6 Struktur Dasar Steroid ………………………………………………………………
2.7 Struktur Dasar Tanin ………………………………………………………………..
2.8 Tanaman Jeruk Kunci ( Citrus microcarpa bunge) …………………………………
2.9 Mikroskopis Bakteri Staphylococus Aureus ………………………………………...
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bakteri Staphylococcus aureus adalah salah satu bakteri yang dapat menyebabkan

infeksi pada kulit (Mutiaha dkk, 2014). Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram

positif yang dapat menyebabkan luka di permukaan kulit seperti melepuh dan

peradangan. Staphylococcus aureus termasuk flora normal yang terdapat pada kulit dan

selaput lendir manusia, namun ada juga yang bersifat patogen pada tubuh manusia

(Brooks et al., 2013). Staphylococcus aureus berbentuk bulat berdiameter 0,7-1,2 μm

yang tersusun dalam kelompok yang tidak teratur seperti buah anggur, tidak membentuk

spora, dan tidak bergerak, biasanya hidup dalam saluran pernapasan dan kulit.

Staphylococcus aureus menginfeksi manusia melalui invasi jaringan dan pengaruh toksin

yang dihasilkannya.

Infeksi dengan Staphylococcus aureus dapat diobati dengan antibiotika. Namun

untuk mengetahui antibiotika yang sesuai harus dilakukan kultur bakteri dan uji kepekaan

antibiotika karena saat ini sudah banyak yang resisten terhadap berbagai jenis antibiotika

(Soedarto, 2015). Resistensi antibiotik menyebabkan kebalnya kuman atau

mikroorganisme dalam tubuh, sehingga infeksi sulit untuk disembuhkan bahkan dapat
menyebabkan kematian (Humaida, 2014). Angka kematian yang disebabkan oleh

resistensi antibiotik pada tahun 2014 mengalami peningkatan sebesar 700.000, sehingga

diperkirakan pada tahun 2050 angka kematian mencapai 10 juta jiwa dimana jumlah

angka kematian oleh resistensi antibiotik lebih besar dari pada angka kematian yang

disebabkan oleh kanker. Hal ini disebabkan cepatnya perkembangan dan penyebaran

infeksi bakteri (Depkes RI, 2016).

Pengembangan obat antibakteri baru sebagai alernatif pengobatan berpotensi

tinggi sebagai obat melalui pengetahuan empiris yang diyakini masyarakat didaerah

tertentu (Ningsih, 2015). Masyarakat lebih menyukai obat yang berasal dari tumbuhan

atau yang disebut dengan obat herbal. Hal ini dikarenakan adanya beberapa alasan yaitu

khasiat dan tidak adanya efek samping (Ismarani, 2013). Secara umum zat flavonoid,

alkaloid, dan tanin digunakan sebagai antibakteri Staphylococus aureus yang bekerja

dengan cara merusak dinding sel bakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bahkan

bisa menyebabkan kematian pada bakteri. (Harlita et al., 2018; Rostikawati, 2020). Untuk

mengetahui kandungan metabolit sekunder dapat dilakukan dengan menggunakan

skrining fitokimia yang digunakan untuk mempelajari komponen senyawa aktif yang

terdapat pada sampel (Endarini, 2016).

Tanaman jeruk kunci (Citrus Microcarpa Bunge) mempunyai bagian-bagian

seperti buah, daun, dan kulit. Jeruk kunci (Citrus Microcarpa Bunge) merupakan

tanaman yang termasuk dalam keluarga Rutaceae yang telah dikembangkan kemudian

populer diseluruh Asia Tenggara, terutama Filipina. Jeruk kunci banyak di temui daerah

sumatra, banyak juga ditemukan di daerah Kepulauan Bangka Belitung hampir setiap

rumah memiliki pohon jeruk kunci (Roby Darisand, 2014) . Buah ini dapat tumbuh pada
daerah yang memiliki iklim tropis dan subtropis. Buahnya dimanfaatkan secara luas oleh

Masyarakat untuk bumbu masakan dan minuman. Salah satu tanaman yang berpotensi

untuk dikembangkan sebagai obat antibakteri yaitu jeruk kunci ( Citrus x microcarpa

Bunge). Jeruk kunci memiliki banyak manfaat diantaranya kaya akan mineral dan vitamin

C (Said, 2010).

Tanaman jeruk kunci (bunge Citrus x Microcarpa) mengandung senyawa kimia

antara lain flavonoid, poli fenol, alkaloid (Wulandari et al 2013), tanin terpenoid,steroid,

saponin (Roanisca et al 2021). Pada kulit buah dan daging buah tanaman jeruk kunci

(bunge Citrus x Microcarpa) Senyawa aktif yang terkandung adalah senyawa flavonoid

(Tripoli,2007). Manfaat flavonoid antara lain untuk melindungi struktur sel,

meningkatkan efektifitas vitamin C, antiinflamasi, mencegah keropos tulang dan sebagai

antibiotik. Pada daun jeruk kunci (bunge Citrus x Microcarpa) terdapat kandungan

minyak atsiri. Manfaat minyak atsiri pada aktivitas antibakteri adalah dengan cara

menembus dinding sel bakteri gram positif yang lebih tipis (yulliasri,2000).

Penelitian yang dilakukan oleh Roanisca dan R G Mahardika, tahun 2020 dengan

judul “Ekstrak buah bunge Citrus x Microcarpa sebagai antibakteri terhadap

Staphylococcus aureus”. Skripsi dari Universitas Bangka Belitung, Berdasarkan

penelitian yang telah dilakukan, Jeruk x microcarpa mengandung senyawa tanin hasil

dari pengujian dengan FeCL3 dengan perubahan warna hitam kehijauan. Uji antibakteri

dilakukan dengan menggunakan metode difusi cakram, menunjukkan aktivitas

antibakteri. Konsentrasi terendah 20% yaitu 12,36 mm, konsentrasi ekstrak 40%

mempunyai daya hambat sebesar 17,37 mm konsentrasi ekstrak 60% membentuk zona

bening sebesar 19,61 mm, dan pada konsentrasi ekstrak 80% dan 100% membentuk zona
bening masing-masing sebesar 22,90 mm dan 26,63 mm. Pertumbuhan Staphylococus

aureus menurun seiring dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak limbah buah jeruk

kunci. Konsentrasi 20%, 40% dan 60% mempunyai daya hambat antibakteri yang relatif

kuat. sedangkan untuk konsentrasi 80% dan 100% kemampuan menghambatnya sangat

kuat.

1.2 Rumusan Masalah

Tanaman jeruk kunci sangat mudah dijumpai di Palembang. Pada penelitian

terdahulu telah membuktikan bahwa jeruk kunci ( Citrus microcarpa bunge) memiliki

kandungan flavonoid yang tinggi sehingga mampu menghambat pertumbuhan bakteri

Staphylococus Aureus. Akan tetapi, bagian dari tanaman jeruk kunci ( Citrus microcarpa

bunge) seperti daun dan kulit hanya sebagai limbah rumah tangga yang tidak terpakai,

Padahal senyawa yang terkandung didalamnya merupakan salah satu bahan alami yang

dapat dikembangkan sebagai antibakteri. Hal inilah mendorong penulis untuk

membuktikan “Apakah ekstrak kombinasi dari daun, kulit, dan buah jeruk kunci (Citrus

microcarpa x Bunge) mengandung senyawa fitokimia yang memiliki potensi sebagai

aktivitas antibakteri terhadap pertumbuhan bakteri staphylococcus aureus?”

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

1. Untuk mengidentifikasi ekstrak etanol jeruk kunci ( Citrus Microcarpa Bunge)

mempunyai aktivitas antibakteri.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Untuk mengidentifikasi ekstrak kombinasi daun, kulit dan buah jeruk kunci

(Citrus Microcarpa Bunge) mempunyai aktivitas antibakteri terhadap bakteri

Staphylococcus aureus

2. Untuk mengidentifikasi pada konsentrasi berapakah ekstrak kombinasi daun,

kulit dan buah jeruk kunci ( Citrus Microcarpa Bunge) dapat menghambat

pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus

3. Untuk mengidentifikasi Senyawa apa saja yang terkandung didalam ekstrak

kombinasi daun, kulit dan buah jeruk kunci ( Citrus Microcarpa Bunge) yang

mempunyai aktivitas sebagai antibakteri terhadap Staphylococcus aureus.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai kandungan yang terdapat

didalam buah jeruk kunci

2. Sebagai informasi bagi peneliti selanjutnya untuk mengembangkan manfaat buah

jeruk kunci sebagai alternatif pengobatan antibakteri

3. Mengoptimalkan pemanfatan sumber daya alam untuk mendukung potensi daerah.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Skrining Fitokimia

Skrining fitokimia adalah penelitian yang dikerjakan untuk mengetahui senyawa

metabolit yang dihasilkan oleh tumbuhan yang terdapat pada daun, kulit dan buah jeruk

kunci ( Citrus Microcarpa Bunge). Senyawa metabolitt adalah senyawa yang dihasilkan

oleh tumbuhan yang berguna untuk kelangsungan hidup. Senyawa yang terdapat pada

metabolit sekunder yaitu flavonoid, fenolik, alkaloid, steroid, terpenoid dan saponin.

Skrining fitokimia digunakan untuk menguji ada atau tidaknya senyawa metabolit yang

dihasilkan oleh tumbuhan tersebut (Rasyd, 2012).

Senyawa organik yang terdapat di dalam tumbuhan dibedakan menjadi dua yaitu,

senyawa metabolit sekunder dan senyawa metabolit primer. Senyawa metabolit primer

merupakan senyawa utama yang dibutuhkan untuk tumbuh dan berkembang, seperti

karbohidrat, protein dan lemak. Sedangkan senyawa metabolit sekunder disebut juga

sebagai senyawa non nutrisi karena dihasilkan tumbuhan untuk melindungi tumbuhan

dari gangguan bakteri, serangga dan lain sebagainya (Rasyd, 2012).

Metode yang bisa dilakukan untuk mengetahui adanya senyawa bioaktif yaitu

skrining fitokimia. Identifikasi senyawa metabolit sekunder adalah Langkah pertama

dalam penelitian ini, untuk mencari senyawa bioaktif baru dari bahan alam yang bisa

menjadi bahan baku obat tertentu. Penelitian ini yaitu uji fitokimia, dimana uji yang akan

dilakukan adalah flavonoid, fenolik, alkaloid, saponin, terpenoid dan steroid (Rasyd,

2012).
2.1.1 Flavonoid

Flavonoid adalah salah satu metabolit sekunder yang berada pada daun,

hal ini terjadi bisa saja karena akibat adanya proses fotosintesis sehingga yang

terlihat pada daun muda tidak terlalu banyak menghasilkan flavonoid. Senyawa

flavonoid memiliki struktur C6-C3-C6, setiap Bagian C6 adalah cincin benzene

yang dihubungkan oleh atom C3 yang merupakan rantai alfatik (Harborne, 2009).

Gambar 2.1. Struktur dasar flavonoid

Flavonoid sendiri terdiri dari 15 atom karbon dan pada umumnya ada pada

tumbuhan sebagai glikosida. Gugus gula inilah memiliki senyawa satu atau lebih

gugus hidroksil fenolik. Flavonoida merupakan senyawa fenol. Untuk mengetahui

ada atau tidaknya pada senyawa flavonoid yaitu ditambahkan magnesium dan

asam klorida pada ekstrak sampel tumbuhan sehingga menghasilkan warna merah

atau ungu (Harborne, 2009).

2.1.2. Fenol

Senyawa fenol adalah senyawa antioksidan alami yang didapatkan dalam

bentuk senyawa aktif pada tumbuhan atau makanan. Kandungan fenol yang

terdapat di dalam suatu tumbuhan dinyatakan sebagai GAE (galic acid equivalent)

adalah jumlah kesetaraan asam galat di dalam 1 gram sampel. Senyawa fenolik ini

bisa mencegah berbagai jenis penyakit. Senyawa fenolik ini berperan sebagai
salah satu faktor pelindung terhadap adanya bahaya oksidasi bagi tubuh manusia

(Harborne, 2009).

Senyawa fenol secara umum mempunyai sifat antiseptik, antihelmenetik

dan bakterisidal. Fenol itu sendiri adalah senyawa yang bersifat polar sehingga

menjadi kelarutan yang paling tinggi di dalam pelarut polar. Senyawa fenol

mempunyai peran yang sangat penting sebagai antioksidan yang terdapat di dalam

sayur-sayuran dan buah-buahan. Senyawa fenol tersebut terdapat banyak pada

bagian kulit, daun, batang dan biji. Untuk mengetahui adanya atau tidaknya

senyawa fenolik pada suatu tumbuhan yaitu ditambahkan FeCl3 1% di dalam air

atau dengan menggunakan etanol sehingga mendapatkan hasil yang berwarna

biru, hitam atau hitam pekat (Harborne, 2009).

Gambar 2.2. Struktur fenol

2.1.3. Alkaloid

Alkaloid merupakan senyawa yang bersifat basa, mengandung satu atau

bahkan lebih atom nitrogen. Alkaloid biasanya tidak berwarna dan sering bersifat

optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal. Alkaloid di dalam tumbuhan biasanya

terdapat pada akar, kulit kayu, daun dan buah. Alkaloid bisa bedakan dari

sebagian besar komponen lain berdasarkan sifat basa yang terdapat didalam

tumbuhan sebagai garam dengan berbagai asam organik. Garam pada tumbuhan

ini adalah senyawa padat berbentuk kristal tidak berwarna. Alkaloid bebas tidak
larut didalam air tetapi larut didalam pelarut organik, sebaliknya alkaloid dalam

bentuk garam dapat larut didalam air tetapi tidak larut didalm pelarut organik

(Tobing, 2007).

Gambar 2.3. Struktur dasar alkaloid

2.1.4. Saponin

Saponin merupakan glikosida triterpenoid dan sterol. Saponin memiliki

sifat seperti sabun yaitu memiliki senyawa aktif dipermukaan yang bisa

menimbulkan busa jika dikocok dalam aquades dan pada konsentrasi yang rendah

menghasilkan hemolysis sel darah merah. Bebarapa saponin bekerja sebagai

antimikroba. Saponin adalah senyawa yang berasa pahit dan dapat mengakibatkan

iritasi pada selaput lender (Sirait, 2007).

Gambar 2.4. Struktur dasar saponin

2.1.5. Terpenoid

Terpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam

satuan isoprene yang diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik. Terpenoid


merupakan senyawa alam yang terbentuk dengan proses biosintesis, yang

terdistribusi luas didalam dunia tumbuhan dan hewan. Terpenoid tidak hanya

ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi, namun terdapat juga pada terumbu

karang dan mikroba. Struktur terpenoid dibangun oleh molekul isoprene. Untuk

mengetahui adanya senyawa terpenoid pada tumbuhan yaitu ditambahkan asam

sulfat, jika adanya senyawa terpenoid maka larutan akan berwarna merah

kecoklatan. Beberapa senyawa memiliki nilai ekologi pada tumbuhan yang

mengandungnya karena senyawa ini bekerja sebagai insektisida atau

antipemangsa dan antifungus (Sirait, 2007).

Gambar 2.5 Struktur dasar terpenoid

2.1.6. Steroid

Steroid merupakan molekul bioaktif yang penting dengan kerangka dasar

17 atom karbon yang tersusun dari empat buah gabungan cincin, tiga diantaranya

yaitu sikloheksana dan siklopentana. Senyawa steroid berupa kristal yang

berbentuk jarum dengan karakteristik yang mengandung gugus OH, gugus metil

dan memiliki ikatan rangkap yang tidak terkonjugasi. Salah satu kandungan

steroid yang ada pada tanaman yaitu campetrol yang memiliki efektifitas sebagai

anti kanker. Untuk mengetahui adanya senyawa steroid yaitu ditambahkan asam

klorida, asam cuka dan asam sulfat yang akan menghasilkan warna larutan
berwarna hijau atau biru, yang menandakan adanya steroid didalam tumbuhan

tersebut (Salempa, 2009).

Gambar 2.6 Struktur dasar steroid

2.1.7. Tanin

Senyawa tanin (C76H52O46) adalah senyawa polifenol yang berasal dari

tumbuhan, termasuk kategori tumbuhan tingkat tinggi atau rendah yang memiliki

kemampuan meredam reaksi oksidatif akibat radikal bebas. Berdasarkan struktur

kimianya digolongkan menjadi tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi

(Soenardjo, 2017: 91). Untuk mengetahui adanya senyawa tanin dalam tanaman

adalah dengan cara mendidihkan ekstrak tanaman dengan aquadest kemudian

didinginkan dan disaring. Ditambahkan FeCl3 beberapa tetes pada filtrat. Reaksi

positif apabila terbentuk coklat kehijauan atau biru kehitaman (Ikalinus et al.,

2015)

Gambar 2.7 Struktur dasar tanin


2.2 Jeruk Kunci (Citrus microcarpa Bunge)

2.2.1 Morfologi

Jeruk merupakan buah tahunan yang berasal dari Asia. Negara Cina dipercaya

sebagai tempat pertama kali jeruk tumbuh (David, 2007). Jeruk memiliki berbagai

macam jenis. Tanaman jeruk umumnya tumbuh ditempat yang memperoleh sinar

matahari langsung, teknik okulasi dan pencangkokan salah satu cara untuk

memperbanyak tanaman jeruk. Salah satu jenis jeruk yang banyak dijumpai diindonesia

adalah Jeruk kunci, biasa digunakan sebagai bumbu masakan dan minuman.

Jeruk kunci (Citrus microcarpa Bunge) ini sendiri memiliki bakal buah berbentuk

bola, pada pangkal dan ujung datar, berwarna hijau kuning, buah berbentuk kecil

bertangkai pendek, berwarna kuning saat matang, hampir berbentuk seperti bola,

diameternya 3-5 cm dengan kulit buah yang tipis, dan menghasilkan buah per tahun

antara 2000 – 2.150 buah (Ratulangi and Ratulangi 2016). Buah jeruk kunci (Citrus

microcarpa Bunge) memiliki kulit dengan permukaan halus dan berpori minyak,

berwarna kuning, atau berwarna hijau kekuning-kuningan. Besar jeruk kalamansi

berdiameter antara 3–4 cm.

Pohon jeruk kunci (Citrus microcarpa Bunge) mampu tumbuh dengan ketinggian

kira-kira 2–7 m, tumbuh tegak ramping, silindris, cabang yang padat, batang berduri,

daun dan batang mengembang menyamping, memiliki akar tunggang. Daun jeruk kunci

(Citrus microcarpa Bunge) sangat aromatik, berbentuk oval, berwarna hijau gelap,

permukaan atas mengilap, permukaan bawah berwarna hijau kekuningan, dan berukuran

4–7 cm. Pada bagian dekat tangkai, daunnya bertepi halus, semakin tinggi semakin
bergerigi. Bunga jeruk kunci (Citrus microcarpa Bunge) terdiri dari bunga majemuk,

memiliki putik dan benang sari dalam satu bunga pada satu pohon, sehingga satu pohon

jeruk kunci mampu melakukan pembuahan tanpa adanya pohon lain (Yuniarti, 2008).

Kulit buah jeruk kunci (Citrus microcarpa Bunge) memiliki kulit yang tebal dan

beraroma wangi Kulit buah jeruk kunci (Citrus microcarpa Bunge) adalah salah satu

tanaman yang dapat digunakan ekstraknya untuk proses biosintesis nanopartikel perak

dengan metode hijau (green chemistry) yang bersifat antibakteri sehingga sangat

membantu dalam mengatasi berbagai masalah yang ditimbulkan oleh bakteri infeksi

saluran kemih. Akar buah jeruk kunci (Citrus microcarpa Bunge) memiliki akar

tunggang dimana akar lembaga tumbuh terus menjadi akar pokok yang bercabang –

cabang menjadi akar-akar yang kecil. Akarnya memiliki cabang dan serabut akar. Ujung

akar tanaman jeruk terdiri dari sel-sel muda yang senantiasa membelah dan merupakan

titik tumbuh akar jeruk. Ujung akar terlindung oleh tudung akar yang bagian luarnya

berlendir sehingga ujung akar mudah menembus tanah (Liana 2017).

Gambar 2.8 Buah, kulit, dan daun jeruk kunci (Citrus microcarpa Bunge)
2.2.2 Morfologi

Dalam taksonomi tumbuhan, tanaman jeruk kunci (Citrus microcarpa

Bunge) diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae
Pilum : Tracheophyta
Ordo : Sapindales
Famili : Rutaceae
Genus : Citrus
Spesies : X microcarpa Bunge

2.2.3 Nama daerah

Ada banyak nama daerah tanaman jeruk kunci (Citrus microcarpa Bunge),

diantaranya adalah jeruk kalamansi (Bengkulu), jeruk cina atau limau calong

(Bangka Belitung), dan jeruk kunci (Palembang).

2.2.4 Kandungan Kimia

Tanaman jeruk kunci (bunge Citrus x Microcarpa) mengandung senyawa

kimia antara lain flavonoid, poli fenol, alkaloid (Wulandari et al 2013), tanin

terpenoid,steroid, saponin (Roanisca et al 2021). Pada kulit buah dan daging buah

tanaman jeruk kunci (bunge Citrus x Microcarpa) Senyawa aktif yang terkandung

adalah senyawa flavonoid (Tripoli,2007). Manfaat flavonoid antara lain untuk

melindungi struktur sel, meningkatkan efektifitas vitamin C, antiinflamasi,

mencegah keropos tulang dan sebagai antibiotik. Pada daun jeruk kunci (bunge

Citrus x Microcarpa) terdapat kandungan minyak atsiri. Manfaat minyak atsiri


pada aktivitas antibakteri adalah dengan cara menembus dinding sel bakteri gram

positif yang lebih tipis (yulliasri,2000).

2.2.5 Manfaat

Jeruk kunci (bunge Citrus x Microcarpa) biasa ditambahkan ke dalam

sambal kecap atau sambal terasi atau dibuat minuman segar dengan

menambahkan air dan gula. Aromanya yang menyegarkan dengan rasa asam

kecut mampu menghilangkan bau amis makanan laut dan menambah lezat

hidangan. Buah ini sering dijadikan asam untuk cuka. Selain itu biasa

ditambahkan kedalam model atau tekwan untuk menambahkan rasa asam pada

makanan. Aromanya sangat segar dan bisa dikonsumsi langsung karena rasanya

pun sangat nikmat meski tentunya sangat kecut (Sakinah, 2023).

Jeruk kunci (bunge Citrus x Microcarpa) dapat digunakan dalam berbagai

macam penyakit seperti dijadikan sebagai campuran obat batuk, influenza, radang

tenggorokan, demam, sakit kepala dan lelah, obat pilek, dan obat masuk angin

dengan cara direbus bersama dengan kayu putih dan dioleskan ke punggung dan

dada. Jika digunakan sebagai obat batuk, ambil Jeruk kunci, kecap dan garam,

kemudian minum setiap pagi dan sore hari secara teratur. Dengan begitu batuk

pun akan reda (Sakinah, 2023).

2.3 Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah berupa bahan yang telah dikeringkan, belum

mengalami pengelolahan apapun, biasanya digunakan sebagai bahan obat, ada tiga jenis

simplisia yaitu simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia pelikan (mineral).

Simplisia nabati adalah simplisia yang berasal dari tanaman (baik tanaman utuh, bagian

tumbuhan maupun eksudat tumbuhan). Eksudat tumbuhan adalah isi sel dari tumbuhan

yang dikeluarkan dengan cra tertentu dan dipisahkan dari tumbuhannya dan belum

berupa zat kimia murni (Depkes RI, 2000).

2.4 Ekstraksi

2.4.1 Definisi Ekstraksi

Ekstraksi adalah proses pemisahan suatu zat dari campurannya dengan

menggunakan pelarut.. Prinsip ekstraksi adalah melarutkan komponen yang

berada dalam campuran secara selektif dengan pelarut yang sesuai. Prinsip

kelarutan yaitu polar melarutkan yang polar, pelarut semipolar melarutkan

senyawa semipolar, dan pelarut nonpolar melarutkan senyawa nonpolar. Sediaan

yang diperoleh dari hasil ekstraksi dinamakan ekstraksi, pelarutnya disebut

penyari, sedangkan sisa-sisa yang tidak ikut tersari disebut ampas (Yuwono,

2009).

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekstraksi Berikut faktor – faktor yang

mempengaruhi ekstraksi (Ubay, 2011).

1. Jenis pelarut

Jenis pelarut mempengaruhi senyawa yang tersari, jumlah zat terlarut yang

terekstrak dan kecepatan ekstraksi.


2. Suhu

Secara umum, kenaikan suhu akan meningkatkan jumlah zat terlarut ke dalam

pelarut.

3. Rasio pelarut dan bahan baku

Jika rasio pelarut-bahan baku besar maka akan memperbesar pula jumlah senyawa

yang terlarut. Akibatnya laju ekstraksi akan semakin meningkat.

4. Ukuran partikel

Laju ekstraksi juga meningkat apabila ukuran partikel bahan baku semakin kecil.

Dalam arti lain, rendemen ekstrak akan semakin besar bila ukuran partikel

semakin kecil.

5. Pengadukan

Fungsi pengadukan adalah untuk mempercepat terjadinya reaksi antarapelarut

dengan zat terlarut.

6. Lama waktu

Lamanya waktu ekstraksi akan menghasilkan ekstrak yang lebih banyak, karena

kontak antara zat terlarut dengan pelarut lebih lama.

2.4.2 Macam-Macam Ekstrak

Berdasarkan sifatnya, ekstrak dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu:

a. Ekstrak encer

Sediaan ini mempunyai konsistensi seperti madu.


b. Ekstrak kental

Sediaan ini liat pada kondisi dingin dan tidak dapat dituang kandungan air sekitar

30%.

c. Ekstrak kering

Sediaan ini mempunyai konsentrasi kering dan mudah digosongkan, kandungan

air tidak lebih dari 5% (Yuwono, 2009).

2.4.3 Tujuan Ekstraksi

Tujuan ekstraksi bahan alam adalah untuk menarik komponen kimia yang

terdapat pada bahan alam. Ekstraksi ini didasarkan pada prinsip perpindahan

massa komponen zat ke dalam pelarut, dimana perpindahan mulai terjadi pada

lapisan antarmuka kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut (Saraswati, 2015).

2.4.4 Macam-Macam Metode Ekstraksi

Adapun metode dari ekstraksi dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Cara dingin

a. Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan

pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur

ruangan (kamar). Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam

rongga sel yang mengandung zat aktif yang akan larut, karena adanya perbedaan

konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dan di luar sel maka larutan

terpekat didesak keluar.


b. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai

sempurna yang umumnya dilakukan pada temperature ruangan. Proses terdiri dari

tahapan pengembangan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya terus-

menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat).

2. Cara panas

a. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,

selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan

adanya pendingin balik.

b. Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru

dan yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstrak kontinu

dengan jumlah pelarut relative konstan dengan adanya pendingin balik.

c. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan terus menerus) pada

temperatur yang lebih tinggi dari temperature ruangan, yaitu secara umum

dilakukan pada temperatur 40 - 500C.

d. Infundasi
Infundasi adalah proses penyarian yang umumnya dilakukan untuk

menyari zat kandungan aktif yang larut dalam air dari bahan-bahan nabati. Proses

ini dilakukan pada suhu 900C selama 15 menit.

e. Dekok

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama dan temperatur sampai

titik didih air, yakni 30 menit pada suhu 90-1000C (Saraswati, 2015).

2.4.5. Prinsip Maserasi

Penyarian zat aktif yang dilakukan dengan cara merendam serbuk

simplisia dalam cairan penyari yang sesuai pada temperature kamar, terlindung

dari cahaya. Cairan penyari akan masuk ke dalam sel melewati dinding sel. Isi sel

akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel

dengan di luar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan

diganti oleh cairan penyari dengan konsentrasi rendah (proses difusi). Peristiwa

tersebut berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar

sel dan di dalam sel. Keuntungan dari metode maserasi adalah peralatan yang

digunakan sederhana, sedangkan kerugiannya adalah waktu yang diperlukan

untuk mengekstraksi sampel cukup lama, cairan penyari yang digunakan lebih

banyak, tidak dapat digunakan untuk bahan-bahan yang mempunyai tekstur keras

seperti benzoin, tiraks dan lilin (Saraswati, 2015).

2.5 Bakteri Staphylococcus aureus

2.5.1 Bakteri Staphylococcus aureus


Staphylococcus aureus merupakan salah satu bakteri penyebab infeksi

tersering di dunia. Tingkat keparahan infeksinya pun bervariasi, mulai dari infeksi

minor di kulit (furunkulosis dan impetigo), infeksi traktus urinarius, infeksi

traktus respiratorius, sampai infeksi mata dan Central Nervous System (CNS)

(Septiani et al., 2017).

2.5.2 Taksonomi Staphylococcus aureus

Klasifikasi ilmiah bakteri genus Staphylococcus aureus adalah sebagai

berikut (Soedarto, 2015) :

Domain : Bacteria

Kingdom : Eubacteria

Phylum : Firmicutes

Class : Bacilli

Ordo : Bacillales

Family : Staphylococcaceae

Genus : Staphylococcus

Species : Staphylococcus aureus

2.5.3 Morfologi Staphylococcus aureus

Staphylococcus adalah bakteri gram positif (Gram +) berbentuk bulat.

Staphylococcus berdiameter 0,8 - 1,0 mikron, tidak bergerak, dan tidak berspora.

Koloni mikroskopik Staphylococcus berbentuk menyerupai buah anggur. Uji


enzim katalase bersifat katalase positif. Staphylococcus aureus membentuk koloni

besar berwarna agak kuning dalam media yang baik. Staphylococcus aureus

biasanya bersifat hemolitik pada agar darah. Staphylococcus aureus bersifat

anaerob fakultatif dan dapat tumbuh karena melakukan respirasi aerob atau

fermentasi dengan asam laktat. Staphylococcus aureus dapat tumbuh pada suhu

15-45 ℃ (Radji, 2010).

Genus Staphylococcus aureus mempunyai paling sedikit 45 spesies.

Empat spesies dengan kepentingan klinis yang paling sering dijumpai adalah

Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus lugdunensis,

dan Staphylococcus saprophyticus. Staphylococcus aureus bersifat koagulase

positif, yang membedakan dari spesies lain. Staphylococcus aureus merupakan

patogen utama untuk manusia. Hampir setiap orang akan mengalami beberapa

jenis infeki Staphylococcus aureus selama hidupnya, dengan keparahan yang

beragam, dari keracunan makanan atau infeksi kulit minor sampai infeksi berat

yang mengancam jiwa (Jawetz et al., 2017).

Koloni Staphylococcus aureus berwarna kuning karena adanya pigmen

staphyloxanthin yang bersifat sebagai faktor virulensi. Pada Mannitol Salt Agar

(MSA) fermentasi mannitol oleh Staphylococcus aureus menghasilkan produk

sampingan bersifat asam yang menurunkan pH medium yang menyebabkan

indikator pH, merah fenol, berubah menjadi kuning. Staphylococcus aureus yang

dibiakkan di medium Columbia agar dengan 5% darah domba defibrinasi pada

suhu 37 ℃ pada penyinaran menunjukkan terjadinya zona hemolisis beta yang

lebar disekeliling koloni (Soedarto, 2015).


Gambar 2.9 Mikroskopis Staphylococcus aureus

Sumber : Yuwono (2009)

2.5.4 Patogenitas Staphylococcus aureus

Bakteri Staphylococcus aureus menyebabkan penyakit pada manusia

melalui invasi jaringan dan atau karena pengaruh toksin yang dihasilkannya.

Infeksi dimulai dari tempat koloni pathogen pada tubuh, lalu ditularkan melalui

tangan ke tempat bakteri dapat memasuki tubuh, misalnya di luka yang ada di

kulit, tempat insisi pembedahan, tempat masuk kateter vaskuler, atau tempat lain

yang lemah pertahanannya misalnya lokasi eksim. Pada infeksi kulit

Staphylococcus aureus akan terbentuk abses atau bisul. Dari ini organisme akan

menyebar secara hematogen. Dengan adanya enzim proteolitik Staphylococcus

aureus dapat menimbulkan pneumonia, infeksi tulang dan sendi, maupun

endokarditis. Pada hospes yang mengalami gangguan sistem imun misalnya

penderita kanker yang mengalami neutropeni, terapi intravena yang dilakukan

dapat menyebabkan komplikasi berat misalnya sepsis yang fatal akibat bakteremi

Staphylococcus aureus. Pada penderita dengan fibrosis kistik, adanya


Staphylococcus aureus yang menetap, dapat menyebabkan terjadinya resistensi

terhadap antibiotika (Soedarto, 2015).

2.5.5 Struktur Antigen Staphylococcus aureus

Bakteri Staphylococcus aureus mengandung polisakarida dan protein yang

bersifat antigenik. Sebagian besar bahan ekstraseluler yang dihasilkan bakteri ini

juga bersifat antigenik. Polisakarida yang ditemukan pada jenis yang virulen

adalah polisakarida A dan yang ditemukan pada jenis yang tidak patogen adalah

polisakarida B. Polisakarida A merupakan komponen dinding sel yang dapat larut

dalam asam trikloroasetat. Antigen ini merupakan komponen peptidoglikan yang

dapat menghambat fagositosis. Bakteriofaga terutama menyerang bagian ini.

Antigen protein A berada di luar antigen polisakarida, kedua antigen ini

membentuk dinding sel (Radji, 2010).

2.5.6 Uji Kualitas Pada Media

Uji kualitas media mencakup aspek yang luas, baik media buatan sendiri

maupun media jadi, oleh karena itu penyiapan media harus diperhatikan. Hal-hal

yang perlu diperhatikan dalam penyiapan media yaitu, sampel media dehidrasi

harus ditimbang dan ditambahkan ke dalam air suling dan bebas mineral, lalu

dicampur untuk membuat suspensi yang homogen kemudian panaskan untuk

melarutkan zat - zat dalam medium. Panas yang digunakan harus diatur hanya

cukup sampai membuat larutan yang sempurna, kecuali dinyatakan lain dalam

prosedur. Pengocokan yang tetap selama proses pemanasan penting sebab

bongkahan kecil agar atau bahan media yang akan dilarutkan dapat turun ke dasar
wadah dan pemecahannya memerlukan jumlah panas yang tinggi. Pemanasan

lebih lama akan menghasilkan denaturasi protein, karamelisasi karbohidrat,

inaktivasi zat-zat gizi dan kehilangan kadar air yang berarti karena penguapan.

Media dilarutkan ke dalam wadah yang berukuran cukup dan sterilisasi dengan

otoklaf. Setelah selesai harus segera dikeluarkan dari otoklaf untuk menghindari

pemanasan yang lebih lama. Wadah berisi media agar harus dipindahkan ke

waterbath air bersuhu 48 - 50℃ sampai mencapai suhu yang diperlukan.

Penyiapan lebih lama di penangas air harus dihindari. pH setiap media harus

diperiksa dengan pH meter setelah media dibiarkan dingin sampai suhu kamar.

Untuk menguji media agar, dapat digunakan elekrode permukaan atau elektrode

biasa. Media yang menyimpang > 0,2 unit pH dari pH optimum harus dibuang.

Media dapat dituang ke dalam tabung atau cawan petri dalam ruangan bersih atau

di bawah aliran udara leminar. Ruangan tersebut harus dijaga cukup terang, bebas

dari bahan - bahan lain dan bebas dari lalu lalang selama proses pembagian.

Kualitas media harus diperiksa dahulu sebelum media digunakan (PerMenKes

No. 43, 2013).

2.5.7 Identifikasi Staphylococcus aureus

Pemerikasaan laboratorium Staphylococcus aureus secara langsung dapat

dilakukan dengan beberapa macam cara. Berbagai spesies Staphylococcus aureus

tumbuh dengan baik dalam kaldu biasa pada suhu 37℃. Kisaran suhu

pertumbuhan adalah 15 - 40℃ dan suhu optimum adalah 35℃. Dalam lempeng

agar darah pada suhu 37℃, pembentukan pigmen kurang baik. Akan tetapi,

apabila koloni tersebut dipindahkan ke agar biasa atau perbenihan Loeffler dan
diinkubasi pada suhu kamar, pembentukan pigmen akan sangat baik (Radji,

2010).

Kekuatan antibakteri dapat dibagi menjadi 4 kriteria antara lain sebagai

berikut (Buldani et al., 2017).

No Diameter Zona Hambat (mm) Kekuatan Antibakteri

1. ≤5 Lemah

2. 5 – 10 Sedang

3. 10 – 20 Kuat

4. ≥ 20 Sangat Kuat

Tabel 2.1 Zona Hambat Bakteri


2.6 Kerangka Teori

UjiKombinasi
Fitokimia
Daun, Kulit Dan Buah Jeruk Kunci
( Citrus microcarpa bunge)

Ekstraksi

Flavonoid Alkaloid Terpenoid Saponin Tanin

Uji Aktivitas Antibakteri

2.7 Hipotesis

HO : Tidak ada aktivitas antibakteri Staphylococcus aureus dari ekstrak kombinasi

daun, kulit dan buah jeruk kunci ( Citrus Microcarpa Bunge)

HI : Ada aktivitas antibakteri Staphylococcus aureus dari ekstrak kombinasi daun,

kulit dan buah jeruk kunci ( Citrus Microcarpa Bunge)


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang bertujuan untuk

mengetahui aktivitas antibakteri dan diameter zona hambat aktivitas antibakteri

Staphylococcus aureus serta melakukan skrining fitokimia yang bertujuan untuk

mengetahui kandungan senyawa yang tersimpan dalam ekstrak kombinasi daun, kulit

dan buah jeruk kunci ( Citrus Microcarpa Bunge) .

3.2 Waktu dan tempat penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium farmakognosi jurusan farmasi

Poltekes Kemenkes Palembang dan Balai Besar Laboratorium Kesehatan (BBLK)

Palembang. Waktu penelitian bulan Februari 2024 hingga Maret 2024.

3.3 Populasi

Populasi adalah suatu daerah yang terbagi dari subyek atau obyek yang memiliki

kualitas dan karakteristik yang sudah ditetapkan oleh peneliti (Masturoh & Anggita .T,

2018). Populasi pada penelitian ini yaitu tanaman jeruk kunci ( Citrus Microcarpa

Bunge) yang didapatkan dari Palembang, Sumatera Selatan.


3.4 Pengumpulan Data

1. Data primer

Data primer merupakan data yang dikumpulkan peneliti secara langsung atau bisa

juga disebut data asli. Peneliti bisa mengumpulkan data dengan cara observasi, kuisioner,

atau wawancara (Masturoh & Anggita .T, 2018). Data primer pada penelitian ini ialah

hasil setelah dilakukannya penelitian atau pengamatan skrining fitokimia dan aktivitas

antibakteri ekstrak kombinasi daun, kulit dan buah jeruk kunci ( Citrus Microcarpa

Bunge) terhadap bakteri Staphylococcus aureus.

2. Data sekunder

Data sekunder ialah data yang didapatkan peneliti dari berbagai pihak maupun

sumber yang sudah ada, data ini bisa didapatkan dari laporan, jurnal, dan sumber lainnya

(Masturoh & Anggita .T, 2018). Data sekunder pada penelitian kali ini diperoleh dari

buku dan jurnal.

3.5 Alat

Alat yang akan digunakan pada penelitian ini yaitu batang pengaduk, erlenmeyer,

gelas beker, ayakan, blender, alat maserasi, pipet volume, cawan porselen, kertas cakram,

gunting/pisau, pipet tetes, alumuium foil, kertas saring, wrapping plactic, pinset, spidol,

kertas label, penggaris, kawat ose, toples kaca untuk maserasi, corong, sarung tangan,

masker, spatula, tabung reaksi, rak tabung, spiritus, kapas, tissu, hot plate, mikropipet,

rotary evaporator, autoklaf, BSC (Bio Safety Cabinet), timbangan analitik, lemari

pendingin, dan inkubator.


3.6 Bahan

Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu

1. Ekstrak kombinasi daun, kulit dan buah jeruk kunci ( Citrus Microcarpa

Bunge)

2. etanol 96%,

3. media Muller-Hinton Agar (MHA)

4. Amoxicillin

5 Staphylococcus aureus yang didapatkan dari Balai Besar Laboratorium

Kesehatan (BBLK)

3.7 Prosedur Penelitian

3.7.1 Persiapan sampel

Dibawah ini merupakan tahapan untuk pembuatan simplisia dari Tanaman

jeruk kunci ( Citrus Microcarpa Bunge) :

1. Pengumpulan bahan

Tanaman jeruk kunci ( Citrus Microcarpa Bunge) yaitu daun, kulit dan

buah, lalu masing masing bagian diambil sebanyak 3 kg secara langsung di kota

palembang lalu masing-masing dipisahkan kemudian diolah sebagai simplisia.

2. Sortasi basah
Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan bagian-bagian dari tanaman

jeruk kunci ( Citrus Microcarpa Bunge) seperti daun, kulit serta buah jeruk kunci

( Citrus Microcarpa Bunge) sampai bagian yang tidak diperlukan, proses ini

dilakukan secara manual (Rina et al., 2017).

3. Pencucian simplisia

Proses ini dilakukan dengan tujuan untuk membersihkan dan

menghilangkan kotoran-kotoran yang masih melekat pada tanaman. Pencucian

dilakukan menggunakan air yang mengalir dengan air bersih (Rina et al., 2017).

4. Perajangan simplisia

Perajangan simplisia dilakukan untuk mempersingkat atau memudahkan

saat pengeringan, penggilingan, dan pengepakan. Perajangan bisa dilakukan

menggunakan alat seperti pisau dan lainnya, sehingga dihasilkan potongan kecil

atau irisan yang tipis (Rina et al., 2017).

5. Pengeringan simplisa

Pengeringan pada tanaman jeruk kunci ( Citrus Microcarpa Bunge)

dilakukan dengan cara diangin anginkan pada suhu ruangan , tidak terkena

matahari secara langsung (Rina et al., 2017).

6. Sortasi kering

Proses ini dilakukan dengan tujuan untuk memisahkan benda-benda asing

atau kotoran-kotoran yang ada menempel atau tertinggal pada saat proses

pengeringan berlangsung (Rina et al., 2017).


7. Pengilingan dan pengayakan simplisia

Penggilingan dilakukan bertujuan memperkecil ukuran simplisia untuk

mempermudah pada saat proses ekstraksi, simplisa digiling menggunakan

blender. Sedangkan pengayakan dilakukan untuk memisahkan ukuran partikel

dari yang terbesar hingga yang terkecil, mesh 44 adalah ayakan yang akan

digunakan. Setelah dilakukan pengilingan dan pengayakan, kemudian simplisia

ditimbang untuk mengetahui hasil yang didapat dan digunakan untuk ekstraksi

(Maulida & Guntarti, 2015).

8. Pengepakan

Setelah proses pengayakan selesai maka simplisia yang diperoleh

disimpan dan dikepak atau dibungkus untuk mencegah terjadinya kerusakan atau

terkontaminasi dengan benda-benda dan kotoran- kotoran asing. Simplisia

disimpan dalam wadah yang baik dan terlindung dari sinar matahari langsung

(Rina et al., 2017).

3.7.2 Ekstraksi Tanaman jeruk kunci ( Citrus Microcarpa Bunge)

Ekstrak Tanaman jeruk kunci ( Citrus Microcarpa Bunge) didapatkan

dengan ekstraksi cara dingin yaitu maserasi. Maserasi dilakukan dengan cara

merendam bagian tanaman yaitu bagian daun, kulit, dan buah secara terpisah yang

sebelumnya sudah di haluskan menggunakan blender dan diletakkan dalam bejana

tertutup pada suhu kamar selama 3 hari dan dilakukan pengandukan sesekali

hingga semua bagian terlarut dalam cairan pelarut etanol 96%. Pelarut diganti

setiap 1x24 jam, hasil dari rendaman kemudian dilakukan penyaringan dengan
kain flanel untuk memisahkan residu dari filtratnya. Maserat yang terkumpul

kemudian dikentalkan menggunakan alat rotary evaporator, sampai diperolehnya

ekstrak kental dari bagian daun, kulit, serta buah dari tanaman jeruk kunci

( Citrus Microcarpa Bunge). keuntungan dari proses ini yaitu bagian tanaman

yang hendak diekstraksi tidak harus dalam bentuk serbuk halus. Selanjutnya

ekstrak yang telah kental ditimbang dan disimpan dalam bejana tertutup baik

untuk menjaga agar ekstrak tetap baik dan stabil (Lully Hanni, 2016).

3.7.3. Sterilisasi alat

Semua alat yang akan digunakan dicuci bersih dan dikeringkan terlebih dahulu,

dan sebelum disterilisasi dibungkus menggunakan aluminuim foil. Alat yang telah

dibungkus kemudian dimasukan ke dalam alat autoklaf dengan suhu 121 ⁰ C selama 15

menit, untuk menghilangkan mikroorganisme yang mungkin masih tertempel pada alat

tersebut dan mencegah terjadinya kontaminasi selama proses pengujian berlangsung

(Makalew et al., 2016).

3.7.4. Skrining fitokimia Tanaman jeruk kunci ( Citrus Microcarpa Bunge)

Skrining fitokimia bertujuan untuk mengetahui suatu senyawa yang terkandung di

dalam tumbuhan yang disebut metabolit sekunder. Metabolit sekunder merupakan suatu

senyawa yang berperan penting dalam kelangsungan hidup tumbuhan serta memberikan

ciri khas pada tumbuhan tersebut. Senyawa yang dapat digolongkan dari metabolit

sekunder seperti alkaloid, tanin, triterpenoid, flavonoid, dan saponin (Julianto, 2019).

1. Uji Alkaloid
Sampel Tanaman jeruk kunci ( Citrus Microcarpa Bunge) yaitu daun, kulit dan

buah, lalu masing masing bagian tersebut dilarutkan dengan asam klorida 2 ml,

dipanaskan selama 5 menit, dan disaring. Filtrat yang didapatkan dimasukan ke tabung

reaksi dan diberi pereaksi dragendroff 2-3 tetes. Jika sampel positif mengandung alkaloid

akan ditunjukkan dengan adanya endapan berwarna coklat (Noval et al., 2019).

2. Uji Tanin

Sampel tanaman jeruk kunci ( Citrus Microcarpa Bunge) yaitu daun, kulit dan

buah, lalu masing masing bagian tersebut dimasukan ke dalam tabung reaksi dan

tambahkan 2-3 tetes FeCl3 1%. Jika sampel menunjukkan warna biru atau hijau

kehitaman maka sampel positif mengandung tanin (Jannah et al., 2017).

3. Uji Terpenoid

Sampel tanaman jeruk kunci ( Citrus Microcarpa Bunge) yaitu daun, kulit dan

buah, lalu masing masing bagian sebanyak 2 ml dimasukkan ke tabung reaksi dan

diteteskan pereaksi Lieberman-Burchard sebanyak 1 ml. Jika terdapat warna hijau

kehitaman ataupun hijau tua maka itu menandakan sampel positif triterpenoid (Riana

Ningsih et al., 2016).

4. Uji Flavonoid

Sebanyak 2 ml sampel ekstrak Tanaman jeruk kunci ( Citrus Microcarpa Bunge)

yaitu daun, kulit dan buah, lalu masing masing bagian tersebut dilarutkan dengan 2 ml

etanol dan tambahkan serbuk Mg, HCL pekat 3-5 tetes. Sampel positif mengandung

flavonoid akan menunjukkan warna jingga atau kuning (Noval et al., 2019).
5. Uji Saponin

Sebanyak 2 ml sampel tanaman jeruk kunci ( Citrus Microcarpa Bunge) yaitu

daun, kulit dan buah, lalu masing masing bagian tersebut dan ditambahkan dengan

aquadest dalam tabung reaksi, lalu dipanaskan selama 2-3 menit, setelah agak dingin

kocok kuat. Jika terbentuk busa setinggi 1-2 cm yang tahan selama 30 detik menit maka

sampel menunjukkan positif saponin (Noval et al., 2019).

3.7.5. Pembuatan media nutrient agar (NA)

Media Nutrien Agar (NA) ditimbang sebanyak 20 gram lalu dilarutkan dalam

aquadest 1 liter, setelah itu dipanaskan di atas hot plate hingga larut. Kemudian dilakukan

sterilisasi media menggunakan autoklaf dengan suhu 121⁰C selama 15 menit. Setelah,

dilakukan sterilisasi media dituangke dalam cawan petri dan di diamkan di suhu kamar

hingga mengeras (Rahmadani, 2015).

Pembuatan larutan kontrol dan uji

3.7.6. Pembuatan kontrol positif

Pembuatan kontrol positif dibuat dengan obat antibiotik amoxcillin ditimbang

sebanyak 1 mg lalu dilarutkan dengan aquadest steril sebanyak 1 ml. Ambil larutan

amoxicillin 0,5 ml yang telah dilarutkan lalu ditambahkan bakteri uji 0,1 ml (Noval et al.,

2019).

3.7.7. Pembuatan kontrol negatif


Pembuatan kontrol negatif dibuat dengan melarutkan DMSO 0,5 ml ke dalam

tabung reaksi lalu tambahkan bakteri uji 0,5 ml. Tambahkan bakteri uji 0,1 ml (Noval et

al., 2019).

3.7.8. Pembuatan larutan uji

Pembuatan larutan uji dibuat dalam konsentrasi 25%, 50%, dan 85% dengan cara

mengencerkan ekstrak tanaman jeruk kunci ( Citrus Microcarpa Bunge) yaitu daun, kulit

dan buah, lalu masing masing bagian tersebut dilarutkan dengan DMSO 10%

(Andriyawan, 2015).

3.7.9. Pengujian aktivitas antibakteri tanaman jeruk kunci ( Citrus Microcarpa Bunge)

Pengujian aktivitas antibakteri ekstrak tanaman jeruk kunci ( Citrus Microcarpa

Bunge) yaitu daun, kulit, buah, serta kombinasi antara daun, kulit, dan buah jeruk kunci

lalu masing masing bagian tersebut dilakukan menggunakan metode difusi cakram

dengan meletakan kertas cakram dengan diameter 6 mm yang telah direndam ke dalam

larutan ekstrak yang menjadi sampel pada media nutrien agar (MHA) yang sebelumnya

dibuat sebanyak 20 ml di cawan petri lalu di diamkan hingga padat. Pengujian aktivitas

antibakteri ekstrak tanaman jeruk kunci ( Citrus Microcarpa Bunge) yaitu daun, kulit dan

buah, serta ekstrak kombinasi dari daun, kulit, dan buah jeruk kunci lalu masing masing

bagian tersebut dilakukan dalam BSC (Bio Safety Cabinet) untuk menjaga kesterilan

pada saat proses pengujian berlangsung dan meminimalkan kontaminasi mikroorganisme

lainnya (Jannah et al., 2017). Proses pengerjaan dilakukan pada ekstrak tanaman jeruk

kunci ( Citrus Microcarpa Bunge), kontrol negatif yaitu DMSO dan kontrol positif yaitu

amoksisilin, selanjutnya bakteri uji diambil dan dituang pada media MHA . Kemudian
kertas cakram yang telah direndam diletakan ke media MHA. Media yang telah di

masukan kertas cakram akan diinkubasi di inkubator dengan suhu 37 ⁰C dalam 1x24 jam

(Darsono & Fajriannor, 2020). Kemudian dilakukannya pengukuran zona hambat yang

terjadi setelah inkubasi selesai yang ditandai dengan terbentuknya zona bening disekitar

kertas cakram.

3.8 Variabel

3.8.1 Variabel independent

Variabel independent pada penelitian ini yaitu ekstrak kombinasi daun,

kulit dan buah jeruk kunci ( Citrus Microcarpa Bunge) dengan konsentrasi 25%,

50%, dan 85%.

3.8.2 Variabel dependent

Variabel terikat dari penelitian ini adalah daya hambat minimum (KHM)

pada bakteri Staphylococcus aureus.


3.9 Definisi Operasional

NO Variabel Definisi operasonal Alat ukur dan hasil Skala

ukur

1. Variabel Independent Konsentrasi kombinasi Mikropipet, Rasio

Konsentrasi kombinasi daun, daun, kulit dan buah jeruk timbangananalitik,

kulit dan buah jeruk kunci kunci ( Citrus Evaporator dengan

( Citrus Microcarpa Bunge) Microcarpa Bunge) hasil ukur gram (gr)

dengan konsentrasi 25%,

50%, dan 85%. dibuat

dengan cara

mengencerkan ekstrak

dengan DMSO

2. Variabe Dependent Konsentrasi Observasional Ordinal


Konsentrai daya hambat minimum yang bisa yang dilihat dan

minimum (KHM) pada bakteri menghambat diukur

Staphylococcus aureus. pertumbuhan bakteri

yang ditandai dengan

zona bening disekitar

media NA yang telah

diinkubasi selama 18-

24 jam dengan suhu 37⁰ C

Tabel 3.1 Definisi Operasional


Uji fitokimia

3.10 Kerangka Operasional

Tanaman Jeruk Kunci


(Citrus microcarpa bunge)

Daun Kulit Buah

Ekstraksi (Maserasi)

dengan pelarut etanol 96%

Mengandung senyawa Flavonoid,

alkaloid, terpenoid, saponin, tannin.

Perlakuan Kontrol

P1 P2 P3
Kontrol positif Kontrol negatif
25 50% 85%
Antibiotik DMSO
%
Bakteri diusapkan/digoreskan secara
rapat pada media Mueller Hinton agar

Meletakkan kelompok perlakuan dan kontrol pada Inkubasi selama 18-24


media yang telah yang digoreskan bakteri jam pada suhu 34ºC

Mengukur diameter zona hambat pada kelompok


perlakuan dan kontrol positif

3.11 Analisa Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara melakukan pengamatan dan

pengukuran terhadap hasil diameter zona hambat yang terbentuk setelah inkubasi

selama18-24 jam pada suhu 34 º C pada tanaman Jeruk Kunci (Citrus microcarpa bunge).

Analisis data dilakukan dengan deskriptif. Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk gambar

dan tabel.
Daftar Pustaka

Andryawan, P.(2015). Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan.


http://andryawanbisnis.files.wordpress.com/2013/04/p3k-lengkap.pdf diakses pada 29
Oktober 2018.

Departemen Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia 2015. Jakarta: Departemen Kesehatan RI;
2016.

Departemen Kesehatan RI, 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, Cetakan
Pertama, 3-11, 17-19, Dikjen POM, Direktorat Pengawasan Obat Tradisional.

Endarini, L. H. 2016. Farmakognisi dan Fitokimia. Pusat Pendidikan SDM Kesehatan. Jakarta.
215 hal.

Harborne, Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisa Tumbuhan. Edisi II,
(Bandung: Institut Teknologi Bandung, 2009), h. 36.

Ikalinus. R., S.K. Widyastuti, dan N.L.E. Setiasih. 2015. Skrining Fitokimia Ekstrak Etanol Kulit
Batang Kelor (Moringa oleifera). Journal Indonesia Medicus Veterinus 4(1) : 71-79.
Jawetz., et al. 2007. Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick, & Adelberg, Ed.23, Translation
of Jawetz, Melnick, and Adelberg’s Medical Microbiology, 23thEd. Alih bahasa oleh
Hartanto, H., et al. Jakarta: EGC.

Julianto, T. S. Fitokimia Tinjauan Metabolit Sekunder dan Skrining Fitokimia, Universitas Islam
Indonesia Yogyakarta. 2019.

Jannah, M., & et al. (2017). Analisis faktor penyebab kejadian hipertensi di wilayah kerja
puskesmas mangasa kecamatan tamalate makassar. Jurnal PENA, 3(1), 410–417.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2013. Peraturan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia Nomor 2406/Menkes/Per/XII/2011 tentang Pedoman Umum Penggunaan
Antibiotik. Jakarta: Kemenkes RI.

Liana, E. 2017. Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Daun Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia) Terhadap
Mortalitas Larva Nyamuk Aedes Aegypti. Skripsi. Mataram: Fakultas Ilmu Tarbiyah
Dan Keguruan (FITK) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram.
http://etheses.uinmataram.ac.id/196/1/Emi%20Liana151135064.pdf.

Noval, N., Yuwindry, I., & Syahrina, D. (2019). Phytochemical Screening And Antimicrobial
Activity Of Bundung Plants Extract By Dilution Method. Jurnal Surya Medika, 5(1),
143–154. Https://Doi.Org/10.33084/Jsm.V5i1.954.
Radji, Maksum. 2010. Buku Ajar Mikrobiologi Panduan Mahasiswa Farmasi dan Kedokteran.
Jakarta: EGC.

Rasyd, Identifikasi Senyawa Metabolit Sekunder dan UJi Aktivitas Antioksidan Ekstrak Metanol
Teripang (Stichopus Hermani), Jurnal Ilmu Dan Teknik Kelautan Tropis, Vol.4, No 2,
(2012), h. 363.

Ramadhani, S. 2015. Informasi Awal Pengujian Efektivitas Ekstrak Bakteri UBCF 013 Dan
UBCR 012 Sebagai Agen Biokontrol Untuk Pengendalian Colletotrichum
gloesporioides Pada Cabai Kopay Di Rumah Kaca. Skripsi. Budidaya Pertanian
Padang. Universitas Andalas.

Said M. 2010. Pengendalian Pneumonia Pada Anak Balita Dalam Rangka Pencapaian
MDG4.Jakarta: Bulletin jendela epidemiologi. Vol. 3.

Soedarto. (2015). Mikrobiologi Kedokteran . jakarta: CV. Sagung Seto.

Sakinah Rakhma Diah Setiawan. (2023). Artikel dengan judul Simak, Keunggulan dan Manfaat
Jeruk Kunci".

Salempa, P., Bioaktivitas fraksi n-heksan dan Senyawa -Sitosterol dari kayu akar
Pterospermumsubpeltatum C.B.Rob, Farmakologi, Vol.4, No.2, (2009), h. 45.

Sirait, Penuntun Fitokimia dalam Farmasi, (Bandung: ITB, 2007), h. 21.


Saraswati A. 2015. Efektivitas ekstrak daun teh hijau (Camellia sinensis) dengan
NaOCL 2,5% terhadap bakteri Enterococcus faecalis sebagai alternatif larutan irigasi
saluran akar [skripsi]. Makassar: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin.

Septiani, Eko ND, Ima W. 2017. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Lammun (Cymodocea rotundata)
Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Journal of Fisheries
Science ad Technology. 3 (1) :1-6.

Tobing, Isolasi Senyawa Alkaloida dari Batang Tumbuhan Brotowali (Tinospora crispa L.),
Majalah Obat Tradisional, Vol.16, No.3, (2007), h. 142.

Ubay, bey. 2011. Ekstraksi padat-cair. Diakses pada tanggal 6 Juni 2016.

Yuwono LF. 2009. Daya antibakteri ekstrak daun teh (Camellia sinensis) terhadap pertumbuhan
Streptococcus sp. pada plak gigi [skripsi]. Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Sebelas Maret.

Anda mungkin juga menyukai