Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

PETAI CINA
(LEUCAENA LECOCEPHALA)

Dari tanggal 23 Januari 2018 s/d 4 Februari 2018

Diajukan untuk Tugas Take Home UAS Matakuliah FITOKIMIA 1

Program S1 Jurusan Farmasi

Nomor absen 23
oleh :

DEWI NURLINDA SITORUS


201551150

JURUSAN FARMASI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI AL-KAMAL
TA 2018/2019
DAFTAR ISI

Cover..................................................................................................... i

DAFTAR ISI ..................................................................................... .... ii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1

1.2 Rumusan Permasalah ................................................................. 2

1.3 Batasan Permasalah .................................................................... 2

1.4 Tujuan penelitian ........................................................................ 2

1.5 Manfaat Penelitian ...................................................................... 2

BAB II TINJAUAN UMUM

2.1 Tumbuhan Petai Cina ...........................………......................... 3

2.1.1 Morfologi Tumbuhan Petai Cina………..................... 3

2.1.2 Sistematika Tumbuhan Petai Cina ….......................... 5

2.1.3 Manfaat Tumbuhan Petai Cina ……........................... 6

2.1.4 Efek Farmakologis dan Hasil Penelitian .................... 6

2.1.5 Kandugan Kimia biji petai cina ................................. 6

2.2 Senyawa Flavonoida ………..................................................... 6

2.2.1 Struktur Dasar Senyawa Flavonoida .......................... 8

2.2.2 Klasifikasi Senyawa Flavonoida ................................ 8

2.3 Pengujian Isolasi dan Ekstraksi

Senyawa antibakteri dari daun petai cina................................ 10

2.3.1 Ekstraksi .............………............................................ 10

2.3.2 Fraksinasi ..................………...................................... 11


2.3.3 Isolasi ..................………............................................ 11

2.3.4 Uji aktivitas antibakteri senyawa akti ….................... 11

2.3.5 Ekstraksi dan uji aktivitas antibakteri ekstrak ........... 12

2.3.6 Fraksinasi, Isolasi dan Uji Aktivitas

Antibakteri Isolat ...................................................... 13

2.3.7 Identifikasi Senyawa Aktif Antibakteri …................ 15

DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Pohon petai cina .......................................................................................... 3

Gambar 2 Daun Petai cina ........................................................................................... 4

Gambar 3 Bunga Petai cina ......................................................................................... 4

Gambar 4 Buah/Biji Petai cina .................................................................................... 5

Gambar 5 Kerangka dasar senyawa flavonoida .......................................................... 8

Gambar 5. Profil KLT hasil KCV F III ....................................................................... 13

Gambar 6. Profil KLT pita 2 setelah di KLTP ........................................................... 14

Gambar 7. Aktivitas antibakteri p1a, p2a, p3a loading 1000 µg ........................... 14

Gambar 8. Lupeol ........................................................................................................ 16

Tabel I. Hasil ekstraksi serbuk daun petai cina ........................................................... 12

Tabel II. Hasil fraksinasi ekstrak WB daun petai cina ................................................ 13


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keanekaragaman tumbuhan Indonesia merupakan kekayaan alam yang patut
disyukuri. Tumbuhan merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat penting
dalam upaya pengobatan dan upaya mempertahankan kesehatan masyarakat.
Hingga saat ini menurut perkiraan badan kesehatan dunia (WHO), 80% penduduk
dunia masih menggantungkan dirinya pada pengobatan tradisional termasuk
penggunaan obat yang berasal dari tumbuhan (Radji, 2005). Salah satu tumbuhan
yang digunakan sebagai obat tradisional adalah petai cina (Leucaena leucocephala
(Lam) de Wit.).
Pengembangan obat tradisional dikatakan rasional, yakni ditemukannya bahan
alami (terutama tumbuhan) yang terbukti secara ilmiah memberikan manfaat klinik
dalam pencegahan atau pengobatan penyakit dan tidak menyebabkan efek samping
serius dalam arti aman untuk pemakaian obat pada manusia (Dalimartha, 2000).
Tanaman Petai Cina (Leucaena glauca, Benth) merupakan salah satu tanaman yang
sudah dikenal masyarakat sebagai obat, biasanya daun petai cina di oleh masyarakat
sebagai makanan hewan peliharaan. Sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, manusia ingin memanfaatkan hasil alam menjadi bahan
yang mempunyai nilai ekonomi tinggi.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang semakin pesat dan
canggih di zaman sekarang ini ternyata tidak mampu mengesampingkan begitu saja
peranan obat tradisional tetapi justru hidup saling berdampingan dan saling
melengkapi (Thomas, 1989).
Secara etnobotani, masyarakat Indonesia telah memanfaatkan daun petai cina
sebagai obat- obatan diantaranya sebagai obat luka. Daun petai cina juga sudah
dikenal masyarakat sebagai obat bengkak. Pemanfaatannya dengan cara dikunyah-
kunyah atau diremas-remas, kemudian ditempelkan pada bagian yang bengkak
(Wahyuni, 2006)
Petai cina atau biasa disebut (Leucaena lecocephala) diketahui sebagai salah satu
jenis tanaman yang digunakan secara empirik untuk menurunkan kadar glukosa
dalam darah. Bagian dari tanaman ini yang dapat berfungsi untuk menurunkan

1
kadar gula di dalam darah adalah bijinya. Biasanya biji petai cina yang digunakan
sebanyak 1 sendok teh, dibuat dengan cara di seduh dengan dosis 3 kali sehari
(Widowati et al., 1997).
Petai cina mengandung alkaloid, saponin, flavonoid, tanin, mimosin, leukanin,
protein, asam lemak dan serat (Skerman, 1977; Gupta dan Atreja, 1998;
Khamseekhiew, dkk., 2001). Kajian bioaktivitas ekstrak kulit batang tanaman petai
cina telah dilaporkan aktif terhadap bakteri Escherichia coli (Bussmann, dkk, 2010)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan sebelum nya, penulis


merumuskan masalah sebagai berikut :

1. Golongan ataupun senyawa apakah yang terdapat didalam kandungan biji petai
cina sehingga dapat digunakan untuk mengobati beberapa penyakit.?
2. Apa saja manfaat dan fungsi biji tumbuhan petai cina?
3. Apakah Petai cina dapat aman mengobati beberapa penyakit?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui indentifikasi dan kandungan, manfaat
serta fungsi biji tumbuhan petai cina.
2. Mengisolasi senyawa flavonoida dari biji tumbuhan petai Cina dan menentukan
strukturnya.
3. Menerangkan pengujian, isolasi dan ekstrasi senyawa antibakteri dari daun petai
cina untuk dapat dipastikan apakah aman dalam mengobati beberapa penyakit.

1.4 Manfaat penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi ilmiah pada
masyarakat mengenai indentifikasi, manfaat, fungsi serta senyawa yang terkandung
didalam tumbuhan petai cina yang aman dan dapat dijadikan obat.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tumbuhan Petai Cina

Petai cina berasal dari Amerika tropis, tersebardi daerah tropik dan ditemukan
pada ketinggian antara 1-1.500 m dpl. Petai cina akan berbuah lebih baik jika
terkena langsung dengan sinar matahari. Tanaman ini dapat tumbuh di segala
macam tanah, asalkan jangan di tanah lempung yang pekat dan tergenang air.

2.1.1 Morfologi Tumbuhan Petai Cina


1. Petai cina merupakan perdu ataupun pohon kecil dengan tinggi 2-10 m,
memiliki batang pohon keras dan berukuran tidak besar serta batang bulat
silindris dan bagian ujung berambut rapat seperti gambar dibawah ini

Gambar 1 Pohon petai cina

3
2. Daun majemuk terurai dalam tangkai, menyirip genap ganda dua sempurna,
anak daun kecil-kecil terdiri dari 5-20 pasang, bentuknya lanset, ujung
runcing, tepi rata, panjang 6-21 mm dan lebar 2-5 mm.

Gambar 2 Daun Petai cina

3. Bunga majemuk terangkai dalam karangan berbentuk bongkol yang


bertangkai panjang dan berwarna putih kekuningan atau sering disebut
cengkaruk.

Gambar 3 Bunga Petai cina

4. Buahnya mirip buah petai ( parkia speciosa ) tetapi ukurannya jauh lebih kecil
dan berpenampang lebih tipis, termasuk buah polong yang berisi biji – biji
kecil dengan jumlah cukup banyak, pipih, dan tipis bertangkai pendek,
panjang 10-18 cm, lebar 2 cm dan diantara biji ada sekat. Biji terdiri dari 15-

4
30 butir, letak melintang, bentuk bulat telur sungsang, panjang 8 mm, lebar 5
mm, berwarna coklat kehijauan atau coklat tua dan licin mengkilap.

Gambar 4 Buah/Biji Petai cina


Petai cina dipakai untuk pupuk hijau dan sering ditanam sebagai tanaman
pagar sedangkan daun muda, tunas bunga, dan polong bisa dimakan sebagai lalap
mentah ataupun dimasak terlebih dahulu. Perbanyakan selain dengan penyebaran
biji yang sudah tua juga dapat dilakukan dengan cara stek batang.( Dalimarta,
2000 ).

2.1.2 Sistematika Tumbuhan Petai Cina


Sistematika tumbuhan petai cina adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Class : Dicotyledoneae
Ordo : fabales
Famili : Mimosaceae
Genus : Leucaena
Spesies : Leucaena glauca L.

Nama umum tumbuhan adalah petai Cina. tumbuhan ini dikenal masyarakat
Indonesia dengan nama daerah yaitu : pete cina , pete selong (Sumatera). pete
selong ( Sunda ). lamtoro, peutey, selamtara, pelending, kamalandingan, (Jawa).

5
kalandingan (Madura). Sinonim Leucaena glauca L. adalah Leucaena
leucocephala ( Lmk ) De Wit. Nama asing petai cina Yin he huan (C), dan nama
simplisia petai cina adalah semen leucaenae glaucae ( biji lamtoro ), (Yuniarti,
2008 ).

2.1.3 Manfaat Tumbuhan Petai Cina


Biji, daun, dan seluruh bagian tanaman dapat digunakan untuk mengobati
beberapa penyakit. Diantaranya adalah kencing manis ( diabetes melitus), patah
tulang, cacingan, bisul, terlambat haid, radang ginjal ( nephritis ) dan susah tidur.

2.1.4 Efek Farmakologis dan Hasil Penelitian


Petai cina diantaranya adalah menyembuhkan luka luar, abses paru, meluruhkan
urine ( diuretik ), melancarkan darah, dan anti anti-inflamasi (Dalimartha, 2000).

2.1.5 Kandugan Kimia biji petai cina


Biji mengandung mimosin, leukanin, leukanol, dan protein. Daun
mengandung alkaloid, saponin, flavonoida, tanin, protein, lemak, kalsium, fosfor,
besi,serta vitamin ( A, B, C ) (Dalimartha, 2000).

2.2 Senyawa Flavonoida


Istilah flavonoida diberikan pada suatu golongan besar senyawa yang berasal
dari kelompok senyawa yang paling umum, yaitu senyawa flavon, suatu jembatan
oksigen terdapat diantara cincin A dalam kedudukan orto, dan atom karbon benzil
yang terletak disebelah cincin B. Senyawa heterosoklik ini, pada tingkat oksidasi
yang berbeda terdapat dalam kebanyakan tumbuhan. Flavon adalah bentuk yang
mempunyai cincin C dengan tingkat oksidasi paling rendah dan dianggap sebagai
struktur induk dalam nomenklatur kelompok senyawa-senyawa ini (Manitto, 1981).

Senyawa-senyawa flavonoida adalah senyawa-senyawa polifenol yang


mempunyai 15 atom karbon, terdiri dari dua cincin benzena yang dihubungkan
menjadi satu oleh rantai linier yang terdiri dari tiga atom karbon. Senyawa-senyawa
flavonoida adalah senyawa 1,3 diaril propana, senyawa isoflavonoida adalah

6
senyawa 1,2 diaril propana, sedangkan senyawa-senyawa neoflavonoida adalah 1,1
diaril propana.
Sekitar 2% dari seluruh karbon yang difotosintesis oleh tumbuhan (atau kira-
kira 1x109 ton/tahun) diubah menjadi flavonoida atau senyawa yang berkaitan
dengannya. Sebagian besar tanin pun berasal dari flavonoida. Jadi flavonoida
merupakan salah satu golongan fenol alam yang terbesar. Senyawa flavonoida
sebenarnya terdapat pada semua bagian tumbuhan termasuk daun, akar, kayu, kulit,
tepung sari, bunga, buah, dan biji. Kebanyakan flavonoida ini berada di dalam
tumbuh-tumbuhan, kecuali alga. Namun ada juga flavonoida yng terdapat pada
hewan, misalnya dalam kelenjar bau berang-berang dan sekresi lebah. Dalam sayap
kupu – kupu dengan anggapan bahwa flavonoida berasal dari tumbuh-tumbuhan
yang menjadi makanan hewan tersebut dan tidak dibiosintesis di dalam tubuh
mereka. Penyebaran jenis flavonoida pada golongan tumbuhan yang tersebar yaitu
angiospermae, klorofita, fungi, briofita (Markham, 1988).

Flavonoida merupakan senyawa 15-karbon yang umumnya tersebar di


seluruh dunia tumbuhan. Lebih dari 2000 flavonoid yang berasal dari tumbuhan
telah diidentifikasi. Kerangka dasar flavonoida biasanya diubah sedemikian rupa
sehingga terdapat lebih banyak ikatan rangkap, menyebabkan senyawa itu
menyerap cahaya tampak, dan ini membuatnya berwarna.

Ada tiga kelompok flavonoida yang amat menarik perhatian dalam fisiologi
tumbuhan, yaitu antosianin, flavonol, dan flavon. Antosianin (dari bahasa Yunani
anthos, bunga dan kyanos, biru-tua) adalah pigmen berwarna yang umunya terdapat
di bunga berwarna merah, ungu, dan biru. Pigmen ini juga terdapat di berbagai
bagian tumbuhan lain, misalnya buah tertentu, batang, daun, dan bahkan akar.
Sering flavonoida terikat di sel epidermis. Warna sebagian besar buah dan banyak
bunga adalah akibat dari antosianin, walaupun beberapa warna tumbuhan lainnya,
seperti buah tomat dan beberapa bunga kuning, karena karotenoid. Warna cerah
daun musim gugur disebabkan terutama oleh timbunan antosianin pada hari cerah
dan dingin, walaupun karotenoid kuning atau jingga merupakan pigmen terbesar di
daun musim gugur pada beberapa spesies.

7
Antosianin umumnya tidak terdapat di lumut hati, ganggang, dan tumbuhan
tingkat rendah lainnya, walaupun beberapa antosianin dan flavonoida ada di lumut
tertentu. Antosianin jarang ditemui di gimnospermae, walaupun gimnospermae
mengandung jenis lain dari flavonoida. Beberapa macam antosianin terdapat di
tumbuhan tingkat tinggi, dan sering lebih dari satu macam terdapat di bunga tertentu
atau organ lain. Mereka dijumpai dalam bentuk glikosida, biasanya mengandung
satu atau dua unit glukosa atau galaktosa yang tertempel pada gugus hidroksil di
cincin tengah, atau pada gugus hidroksil di posisi 5 cincin A. Bila gula dihilangkan,
maka bagian sisa molekul, yang masih berwarna, dinamakan antosianidin
(Salisbury, 1995).

2.2.1 Struktur Dasar Senyawa Flavonoida


Senyawa flavonoida adalah senyawa yang mengandung C15 terdiri atas dua
inti fenolat yang dihubungkan dengan tiga satuan karbon. Struktur dasar
flavonoida dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 5 Kerangka dasar senyawa flavonoida (Sastrohamidjojo, 1996).

2.2.2 Klasifikasi Senyawa Flavonoida


Flavonoida mengandung sistem aromatik yang terkonjugasi sehingga
menunjukkan pita serapan kuat pada daerah spektrum sinar ultraviolet dan
spektrum sinar tampak, umumnya dalam tumbuhan terikat pada gula yang disebut
dengan glikosida (Harborne, 1996). Dalam tumbuhan, flavonoida terdapat dalam
berbagai struktur. Keragaman ini disebabkan oleh perbedaan tahap modifikasi
lanjutan dari struktur dasar flavonoida tersebut, antara lain :

8
1. Flavonoida O-glikosida, satu gugus hidroksil flavonoida (atau lebih) terikat
pada satu gula (lebih) dengan ikatan hemiasetal yang tak tahan asam. Pengaruh
glikosilasi menyebabkan flavonoida menjadi kurang reaktif dan lebih mudah
larut dalam air. Glukosa merupakan gula yang paling umum terlibat dan gula
lain yang sering juga terdapat adalah galaktosa, ramnosa, xilosa, dan
arabinosa. Gula lain yang kadang-kadang ditemukan adalah alosa, manosa,
fruktosa, apiosa, dan asam glukoronat serta galakturonat.

2. Flavonoida C-glikosida, gula terikat pada atom karbon flavonoida dan dalam
hal ini gula tersebut terikat langsung pada inti benzena dengan suatu ikatan
karbon-karbon yang tahan asam. Glikosida yang demikian disebut C-
glikosida. Jenis gula yang terlibat ternyata jauh lebih sedikit ketimbang jenis
gula pada O-glukosa, biasanya dari jenis glukosa yang paling umum, dan juga
galaktosa, ramnosa, xilosa, dan arabinosa.

3. Flavonoida sulfat, senyawa ini mengandung satu ion sulfat, atau lebih, yang
terikata pada hidroksil fenol atau gula. Senyawa ini sebenarnya bisulfat karena
terdapat sebagai garam, yaitu flavon-O-SO3K. Banyak yang berupa glikosida
bisulfat, bagian bisulfat terikat pada hidroksil fenol yang mana saja yang
masih bebas atau pada gula.

4. Biflavonoida, yaitu flavonoida dimer. Flavonoida yang biasanya terlibat


adalah flavon dan flavanon yang secara biosintesis mempunyai pola
oksigenasi yang sederhana 5,7,4’ dan ikatan antar flavonoida berupa ikatan-
ikatan karbon atau kadang-kadang eter. Monomer flavonoida yang
digabungkan menjadi biflavonoida dapat berjenis sama atau berbeda, dan letak
ikatannya berbeda- beda. Biflavonoida jarang ditemukan sebagai glikosida,
dan penyebarannya terbatas, terdapat terutama pada gimnospermae.

5. Aglikon flavonoida yang aktif-optik, sejumlah aglikon flavonoida mempunyai


atom karbon asimetrik dan dengan demikian menunjukkan keaktifan optik
(yaitu memutar cahaya terpolarisasi-datar). Yang termasuk dalam golongan

9
flavonoida ini adalah flavanon, dihidroflavonol, katekin, rotenoid, dan lain-
lain (Markham, 1988).

2.3 Pengujian, Isolasi dan Ekstraksi senyawa antibakteri dari daun petai cina.
Bahan yang digunakan yaitu: daun tanaman petai cina (L. leucocephala),
washbenzene (tehnis), washbenzene (p.a), metanol (tehnis), metanol (p.a), etilasetat
(tehnis), etil asetat (p.a), kloroform (p.a), n-heksan (p.a) (E. Merck), silika gel 60
GF254, plat KLT (E.Merck), aquades, media Nutrient Agar (NA), biakan bakteri
Staphylococcus aureus ATCC 25923, Escherichia coli ATCC 25922, kertas
Wathman no. 1, kertas saring, serium sulfat. Spektrofotometer UV-Vis (MILTON
ROY SPECTRONIC 3000 ARRAY), spektrofotometer IR (PERKIN ELMER
FTIR 100), 1H-NMR (DELTA2 dengan frekuensi 500 MHz), GC-MS
(GCMSQP2010S SHIMADZU), peralatan gelas, alat Soxhlet, inkubator, autoklaf,
rotary evaporator, cawan petri, cawan porselin, ose, autoklaf, lampu ultraviolet
panjang gelombang 336 nm dan 254 nm, pipa kapiler, mikropipet, oven,
seperangkat alat Vacum Liquid Chromatography, dan bejana pengembang KLT
preparatif.

2.3.1 Ekstraksi
Serbuk kering daun petai cina (300 gram) disari secara bertingkat menggunakan
2 pelarut yang berbeda polaritasnya, dimulai washbenzene dan kemudian dengan
metanol. Serbuk disokhlet dengan 1 L washbenzene selama 24 jam, filtrat
ditampung dan ampasnya diangin-anginkan sampai terbebas dari bau
washbenzene dan disokhlet lagi dengan metanol sebanyak 1 L. Sokhletasi
dihentikan setelah pelarutnya tampak jernih. filtrat diuapkan dengan evaporator
sampai diperoleh ekstrak (Tabel I). Kedua ekstrak yang menggunakan metode
difusi agar

10
2.3.2 Fraksinasi
Sebanyak 2 gram ekstrak aktif tersebut dikeringkan dengan silika gel 60
PF254 Merck sampai menjadi serbuk kering. Bagian bawah sinterglass
dimasukkan kertas saring, kemudian diisi dengan serbuk fase diam silika gel 60
PF254 Merck sampai mencapai ketinggian ± ½ dari tinggi sinterglass sambil
divakum, serbuk sampel ditaburkan diatasnya dan permukaan serbuk ditutup lagi
dengan kertas saring. Elusi dilakukan dengan fase gerak washbenzen : etilasetat
(washbenzen 100 %; 19:1; 19:1; 15,7:1; 13,3:1; 11,5:3; 9:1; 8:1; 8:2; 5:5) v/v
sambil divakum (Tabel II). Hasil fraksinasi tersebut ditampung dan dikeringkan,
selanjutnya dilihat profil KLTnya. Hasil fraksinasi yang menunjukkan pola bercak
yang sama disatukan menjadi satu fraksi.

2.3.3 Isolasi
Isolasi Fraksi yang menunjukkan aktivita antibakteri yang paling besar
ditotolkan membentuk pita memanjang diatas plat KLTP. Selanjutnya plat
tersebut diangin-anginkan sampai semua pelarutnya menguap. Plat tersebut
dimasukkan dalam bejana yang berisi larutan pengembang washbenzen : etil
asetat (8 : 1 v/v). Setelah pengembangan selesai, plat dikelurkan dari dalam bejana
pengembang lalu dianginanginkan lagi selama ± 30 menit. Untuk mengetahui
bercak pita yang akan dikerok, plat tersebut diamati di bawah sinar UV atau
dengan pereaksi semprot lalu ditandai pita-pita yang terbentuk. Pita-pita yang
terbentuk hasil preparatif dikerok dan dikumpulkan serta dilarutkan dengan
pelarut metanol:kloroform (1:1 v/v). Selanjutnya disaring dengan menggunakan
penyaring vakum, lalu dikeringkan dengan cara diangin-anginkan

2.3.4 Uji aktivitas antibakteri senyawa aktif


Isolat-isolat yang diperoleh dari KLTP dilarutkan dalam kloroform dan diuji
aktivitas antibakterinya terhadap S. aureus dengan menggunakan metode difusi
agar. Sebanyak 10 µL isolat dengan konsentrasi 100 mg/mL (loading 1000 µg)
ditotolkan di atas paper disk. Isolat yang memiliki aktivitas antibakteri dimurnikan
kembali dengan KLTP dengan larutan pengembang washbenzen : etil asetat (15 :

11
1 v/v). sehingga diperoleh senyawa tunggal dan diuji aktifitas antibakterinya
terhadap S. aureus

2.3.5 Ekstraksi dan uji aktivitas antibakteri ekstrak


Hasil uji aktivitas antibakteri dari kedua ekstrak tersebut menunjukkan bahwa
ekstrak washbenzene hanya aktif terhadap bakteri S. aureus ATCC 25923
sedangkan ekstrak metanol tidak aktif terhadap kedua bakteri baik S. aureus
ATCC 25923 maupun E. coli ATCC 25922. Hal ini ditunjukkan dengan diameter
zona hambat ekstrak washbenzene 250, 500 dan 1000 µg berturut-turut adalah
7,13; 8,46 dan 9,07 mm sedangkan ekstrak metanol tidak memberikan hambatan.
Ekstrak washbenzen yang hanya aktif terhadap S. aureus disebabkan karena
perbedaan struktur dinding sel bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif yang
mengakibatkan perbedaan penetrasi ekstrak uji ke dalam bakteri tersebut.
Dinding sel S. aureus (bakteri Gram positif) memiliki struktur dinding sel
dengan banyak lapisan peptidoglikan dan relatif sedikit lipid sedangkan E. coli
(bakteri Gram negatif) mempunyai struktur lebih kompleks, dimana terdapat
membran luar yang melindungi peptidoglikan yakni fosfolipid (lapisan dalam)
dan lipopolisakarida (lapisan luar) (Jawetz, et al., 1980; Pratiwi, 2008). Akibatnya,
ekstrak uji sulit untuk menembus dan mengganggu intergritas dinding sel bakteri
tersebut.

Tabel I. Hasil ekstraksi serbuk daun petai cina

No. Pelarut Penyari Berat Ekstrak (gram) Rendemen (%)


1. Washbenzene 30,03 10,01
2. Metanol 52,15 17,38

12
Tabel II. Hasil fraksinasi ekstrak WB daun petai cina
No. WB (mL) EtOAc (mL) PerbandinganWB : Fraksi
EtOAc
1. 100 0 100% WB I
2. 95 5 19:1 II
3. 95 5 19:1 III
4. 94 6 15,7:1 IV
5. 93 7 13,3:1 V
6. 92 8 11,5:3
7. 90 10 9:1 VI
8. 88,88 11,12 8:1
9. 80 20 8:2 VII
10. 50 50 5:5

Gambar 5. Profil KLT hasil KCV F III dengan menggunakan fase gerak
kloroform-etilasetat (8:1 v/v), fase diam silika gel 60 F254, yang dideteksi dengan
pereaksi Serium Sulfat.

2.3.6 Fraksinasi, Isolasi dan Uji Aktivitas Antibakteri Isolat

Ekstrak washbenzene selanjutnya difraksinasi menggunakan kromatografi


cair vakum (KCV) dan didapatkan 7 fraksi gabungan yaitu I, II, III, IV, V, VI dan
VII (Tabel II). Fraksi III merupakan fraksi yang paling aktif dengan diameter zona
bening yang paling besar yakni 20,23 mm. Dari 7,5 g ekstrak washbenzen
diperoleh 2 g FIII. Selanjutnya fraksi III difraksinasi lagi dengan kromatografi cair
vakum untuk meminimilasir campuran senyawa yang terdapat dalam fraksi
tersebut. Hal ini terlihat pada Gambar 5.

13
Gambar 6. Profil KLT pita 2 setelah di KLTP menggunakan fase diam silika gel
60 F254 dengan eluen kloroform : etilasetat (15 : 1 v/v) dengan pereaksi Serium
Sulfat.

Gambar 7. Aktivitas antibakteri p1a, p2a, p3a loading 1000 µg daun petai
cina pada bakteri S. aureus ATCC 25923, C adalah kloroform sebagai kontrol
negatif dengan diameter paper disk 6 mm.

Fraksi yang memberikan profil KLT yang sama atau mirip digabung, yakni
fraksi III.3, III.4, III.5, III.6, III.7 dan III.8. Kemudian gabungan fraksi tersebut
dilakukan kromatografi lapis tipis preparatif (KLTP), yang dimaksudkan untuk
memeriksa jumlah pita yang terbentuk. Dimana dari hasil KLT preparatif
diperoleh sebanyak 5 pita. Pita 1 dan 2 menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap
bakteri S. aureus dengan diameter hambatan rata-rata sebesar 11,4 mm dan 12,8
mm. Pita 2 yang menunjukkan aktifitas paling besar dicek kemurniaanya dengan
plat kromatografi lapis tipis silika gel 60 F254 menggunakan fase gerak kloroform

14
: etilasetat (15 : 1 v/v). Berdasarkan profil KLT masih ada yang tersisa ditempat
penotolan (Gambar 6),oleh karena itu perlu dimurnikan lagi dengan menggunakan
KLTP. Dari hasil KLTP pita 2 di peroleh 3 pita. Pita-pita yang terbentuk kemudian
dikerok, dilarutkan dengan kloroform dan dipisahkan dengan cara disaring
menggunakan vakum lalu hasilnya diuapkan sampai pelarutnya menguap semua.
Isolat-isolat tersebut kemudian diuji kembali aktivitas antibakterinya terhadap S.
Aureus. Hasil uji aktivitas bakteri ditampilkan pada Gambar 7. Dari gambar di
atas terlihat bahwa isolat p2a yang paling aktif dengan diameter hambatan sebesar
25,2 mm.

Pemeriksaan kemurnian secara kromatografi lapis tipis (KLT) dilakukan


dengan menggunakan 3 macam fase gerak yang berbeda yakni kloroform :
etilasetat (15 : 1 v/v), washbenzene : etilasetat (14 : 1 v/v) dan n-heksan : etilasetat
(5 : 1 v/v). Berdasarkan profil KLT, isolat aktif memberikan bercak tunggal dielusi
dengan berbagai variasi fase gerak (data tidak diperlihatkan). Oleh karena itu
dapat dikatakan bahwa isolat tersebut telah murni secara KLT.

2.3.7 Identifikasi Senyawa Aktif Antibakteri

Berdasarkan analisis data spektra UV, IR , GC-MC dan 1H-NMR, isolat yang
diperoleh mengarah pada senyawa lupeol (Gambar 8). Gambar 6. Profil KLT pita
2 setelah di KLTP menggunakan fase diam silika gel 60 F254 dengan eluen
kloroform : etilasetat (15 : 1 v/v) dengan pereaksi Serium Sulfat. Gambar 7.
Aktivitas antibakteri p1a, p2a, p3a loading 1000 µg daun petai cina pada bakteri
S. aureus ATCC 25923, C adalah kloroform sebagai kontrol negatif dengan
diameter paper disk 6 mm.

Spektra ultra violet senyawa aktif hasil isolasi menunjukkan adanya


absorbansi maksimum pada panjang gelombang (λ maks) 214 nm. Lupeol
menunjukkan serapan pada λ maks (MeOH) 210 nm (Igoli, dkk., 2008).

Spektra IR menunjukkan serapan kuat (strong) pada 3409,4 cm-1 yang


merupakan pita uluran OH, hal ini mengidikasikan adanya gugus (- OH) dan
diperkuat dengan adanya pita serapan sedang (moderat) pada 1082,3 cm-1 yang

15
menunjukan ikatan C-O dan serapan yang lemah (weak) pada 1285,3 cm-1.
Vibrasi C-H luar bidang tak jenuh ditunjukkan pada 904 cm-1, sedangkan serapan
pada 1575 cm-1 merupakan vibrasi ikatan rangkap C=C tak terkonjugasi. Vibrasi
stretching dan bending dari metil (CH3) ditunjukkan pada 2928,2 dan serapan
pada 2854,3 cm-1 menunjukkan adanya –CH bending yang merupakan
hidrokarbon alifatik siklik (lingkar) dan dipertegas adanya serapan pada daerah
1416,4cm-1 untuk metilen dan 1385,0 cm-1 untuk metil (Silverstein dkk., 1991).
Data ini memperkuat struktur senyawa lupeol.

Data GC-MS memberikan fragmen 427 (M+H)+ yang mengarah pada


senyawa lupeol, dimana lupeol memiliki bobot molekul 426,3868 g/mol.

Spektrum 1H-NMR memberikan informasi umum bahwa isolat yang


diperoleh bukan merupakan senyawa aromatik. Hal ini ditunjukkan dengan
chemical shift yang hanya sampai pada daerah 5 ppm.

Proton metil, metilen alifatik dan proton olefinat ditunjukkan dengan


chemical shift pada daerah 0,8 – ,1 ppm dan 1,6 – 2,8 ppm. Proton metil
ditunjukkan pada daerah δ 0,87; 0,98; 1,10 ppm. Proton metilen, metin pada
siklopentana dan metil olefinat ditunjukkan pada daerah 1,61; 2,07; 2,3; 2,8 ppm.
Menurut Igoli, dkk. (2008) proton pada daerah δ 0,75 – 1,64 ppm merupakan
proton rest. Ada enam metil tersier pada δ 0,76 – 1,03 ppm ppm (Wahyuono,
1985).

Tipikal signal cincin lupan pentasiklik dengan proton olefinat ditunjukkan


dengan chemical shift pada daerah δ 5,4 dan 4,2 ppm. Proton hidroksimetin pada
daerah δ 3,6 ppm. Berdasarkan semua data-data spektrum pendukung yang
tersebut diatas, maka dapat diidentifikasi bahwa puncak 1 isolat p2a dari daun
petai cina kemungkinan adalah senyawa lupeol.

Gambar 8. Lupeol.

16
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 KESIMPULAN
Dari Penelitian diatas penulis memberikan kesimpulan ;
Ekstrak washbenzen daun petai cina aktif terhadap bakteri S. aureus. Senyawa yang
terkandung pada isolat aktif antibakteri dari daun petai cina diperkirakan adalah
lupeol.

3.2 SARAN
Dari penelitian ini,sekiranya masyarakat dapat mengetahui betapa pentingnya
kesehatan tubuh,dan memanfaatkan apa-apa saja yang ada disekitar kita. Penulis
menyapaikan kepada pembaca agar tidak perlu kahwatir mengkomsumsi petai cina.
Karena dari penelitan di atas menyampaikan bahwasanya petai cina memiliki
kandungan protein yang tinggi dan dapat mencegah dan menyembuhkan beberapa
penyakit.

17
DAFTAR PUSTAKA
Radji, M., 2005, Peranan Bioteknologi dan Mikroba Endofit dalam Pengembangan Obat
Herbal, Majalah Ilmu Kefarmasian, 3 : 113-126.

Wahyuni, 2006, Efek Antiinflamasi Infusa Daun Petai Cina pada Tikus Jantan Galur
Wistar, Skripsi, Fakutas Farmasi UMS, Surakarta

Wahyuono, S., 1985, Phytochemical Investigation of Amsonia grandiflora Family


Apocynaceae, Thesis, The University of Arizona.

Dalimartha, Setiawan. 2000. Atlas Tumbuhan Obat Jilid 2. Jakarta: Trubus Agriwidya

Manitto, P., 1981, Biosynthesis of Natural Product, Sames, P. G. (trans), Ellis


Horwood limited, New York, Chichester, Brisbane, Toronto.

Anda mungkin juga menyukai