Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

ALELOPATI DAN PENGENDALIAN OPT SERTA HAMA


PADA TANAMAN PADI
DASAR TEKNOLOGI BUDIDAYA TANAMAN

OLEH:
ANNISA NUR KHASANAH (134190091)
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
YOGYAKARTA
2019/2020
BAB I
PENDAHULUAN

I. 1. Latar Belakang
Sebagaimana umumnya interaksi antara makhluk hidup, pada
tumbuhan juga terjadi interaksi yang saling menguntungkan dan ada pula
interaksi kompetisi, bahkan ada interaksi dimana salah satu tumbuhan
dirugikan atau dihambat pertumbuhannya.
Baik tumbuhan, hewan ataupun makhluk hidup yang lainnya
melakukan persaingan dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Hal ini
dapat memperlihatkan adaptasi antar makhluk hidup dengan sesamanya,
makhluk hidup yang lainnya dan lingkungannya. Terdapat beberapa
tumbuhan yang menghasilkan senyawa kimia dalam melakukan
persaingan yang kemudian disebut Alelopati. Kemudian senyawa kimia
yang dihasilkannya dapat menghambat pertumbuhan jenis tumbuhan
lainnya disebut alelokimia
I. 2. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas, yang menjadi permasalahan dalam makalah ini yaitu:
a. Apa yang dimaksud dengan Alelopati ?
b. Bagaimana sejarah ditemukannya istilah Alelopati ?
c. Bagimana mekanisme dan proses terjadinya Alelopati ?
I. 3. Tujuan
Adapun yang menjadi tujuan dalam makalah ini yaitu :
a. Untuk mengetahui pengertian Alelopati
b. Untuk mengetahui sejarah ditemukannya istilah Alelopati
c. Untuk mengetahui mekanisme dan proses terjadinya Alelopati
I. 4. Manfaat
Dengan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
berikut:
1. Makalah ini diharapkan menjadi salah satu bahan informasi bagi
masyarakat secara umum.
2. Dapat memberikan imformasi ilmiah bagi petani dan instansi terkait
tentang alelopati.
3. Sebagai bahan masukan untuk mata kuliah “Ilmu Gulma dan
Pengendaliannya” tentang alelopati.
4. Sebagai sumber informasi lanjutan bagi mahasiswa Fakultas Pertanian
untuk melakukan penelitian.
BAB II
PEMBAHASAN

II. 1. Deskripsi Tentang Alelopati


Alelopati berasal dari bahasa Yunani, allelon yang berarti "satu
sama lain" dan pathos yang berarti "menderita". Alelopati didefinisikan
sebagai suatu fenomena alam dimana suatu organisme memproduksi dan
mengeluarkan suatu senyawa biomolekul (disebut alelokimia) ke
lingkungan dan senyawa tersebut memengaruhi perkembangan dan
pertumbuhan organisme lain di sekitarnya. Sebagian alelopati terjadi pada
tumbuhan dan dapat mengakibatkan tumbuhan di sekitar penghasil
alelopati tidak dapat tumbuh atau mati
Alelopati merupakan interaksi antar populasi, bila populasi yang
satu menghasilkan zat yang dapat menghalangi tumbuhnya populasi lain.
Contohnya, di sekitar pohon walnut (juglans) jarang ditumbuhi tumbuhan
lain karena tumbuhan ini menghasilkan zat yang bersifat toksik. Pada
mikroorganisme istilah alelopati dikenal sebagai anabiosa. Contoh jamur
Penicillium sp. dapat menghasilkan antibiotika yang dapat menghambat
pertumbuhan bakteri tertentu. Menurut Rohman dan I wayan Sumberartha,
2001. Alelopati juga merupakan sebuah fenomena yang berupa bentuk
interaksi antara makhluk hidup yang satu dengan makhluk hidup lainnya
melalui senyawa kimia
II. 2. Sejarah Alelopati
Reaksi alelopati telah dikemukakan oleh Bapak Botani,
Theophrastus, sejak tahun 300 SM. Dia menuliskan tentang buncis yang
dapat membunuh populasi gulma di sekitarnya. Pada tahun 1 setelah
Masehi, seorang cendikiawan dan naturalis Roma bernama Gaius Plinius
Secundus menuliskan tentang bagaimana buncis dan jelai dapat berefek
"menghanguskan" ladang. Selain itu, dia juga mengemukakan bahwa
pohon Walnut bersifat toksik (beracun) terhadapat tumbuhan lain. Pada
tahun 1832, Augustin Pyramus De Candolle, seorang ahli botani dan
naturalis mengemukakan bahwa tanah dapat menderita "sakit"
kemungkinan diakibatkan oleh senyawa kimia yang dikeluarkan oleh
tanaman. Penemuan mengenai alelopati semakin jelas ketika pada tahun
1907-1909, dua orang ilmuwan bernama Schreiner dan Reed berhasil
mengisolasi senyawa fitotoksik kimia dari tanaman dan tanah. Konsep
mengenai alelopati dikemukakan pada tahun 1937 oleh Hans Molisch,
seorang ahli fisiologi tanaman asal Austria. Lebih lanjut dijelaskan bahwa
senyawa-senyawa tersebut dapat terlepas dari jaringan tumbuhan melalui
berbagai cara yaitu melalui penguapan, eksudat akar, pencucian, dan
pembusukan bagian-bagian organ yang mati.
II. 3. Mekanisme dan proses terjadinya Alelopati
a. Mekanisme Alelopati
Fenomena alelopati mencakup semua tipe interaksi kimia
antar tumbuhan, antar mikroorganisme, atau antara tumbuhan dan
mikroorganisme (Einhellig, 1995a). Menurut Rice (1984) interaksi
tersebut meliputi penghambatan dan pemacuan secara langsung
atau tidak langsung suatu senyawa kimia yang dibentuk oleh suatu
organisme (tumbuhan, hewan atau mikrobia) terhadap
pertumbuhan dan perkembangan organisme lain. Senyawa kimia
yang berperan dalam mekanisme itu disebut alelokimia. Pengaruh
alelokimia bersifat selektif, yaitu berpengaruh terhadap jenis
organisme tertentu namun tidak terhadap organisme lain (Weston,
1996).
Alelokimia pada tumbuhan dibentuk di berbagai organ,
mungkin di akar, batang, daun, bunga dan atau biji. Organ
pembentuk dan jenis alelokimia bersifat spesifik pada setiap
spesies. Pada umumnya alelokimia merupakan metabolit sekunder
yang dikelompokkan menjadi 14 golongan, yaitu asam organik
larut air, lakton, asam lemak rantai panjang, quinon, terpenoid,
flavonoid, tanin, asam sinamat dan derivatnya, asam benzoat dan
derivatnya, kumarin, fenol dan asam fenolat, asam amino non
protein, sulfida serta nukleosida. (Rice,1984; Einhellig, 1995b).
Pelepasan alelokimia pada umumnya terjadi pada stadium
perkembangan tertentu, dan kadarnya dipengaruhi oleh stres biotik
maupun abiotik (Einhellig, 1995b).
Alelokimia pada tumbuhan dilepas ke lingkungan dan
mencapai organisme sasaran melalui penguapan, eksudasi akar,
pelindian, dan atau dekomposisi. Setiap jenis alelokimia dilepas
dengan mekanisme tertentu tergantung pada organ pembentuknya
dan bentuk atau sifat kimianya (Rice, 1984; Einhellig, 1995b).
Mekanisme pengaruh alelokimia (khususnya yang
menghambat) terhadap pertumbuhan dan perkembangan organisme
(khususnya tumbuhan) sasaran melalui serangkaian proses yang
cukup kompleks, namun menurut Einhellig (1995b) proses tersebut
diawali di membran plasma dengan terjadinya kekacauan struktur,
modifikasi saluran membran, atau hilangnya fungsi enzim ATP-
ase. Hal ini akan berpengaruh terhadap penyerapan dan konsentrasi
ion dan air yang kemudian mempengaruhi pembukaan stomata dan
proses fotosintesis. Hambatan berikutnya mungkin terjadi dalam
proses sintesis protein, pigmen dan senyawa karbon lain, serta
aktivitas beberapa fitohormon. Sebagian atau seluruh hambatan
tersebut kemudian bermuara pada terganggunya pembelahan dan
pembesaran sel yang akhirnya menghambat pertumbuhan dan
perkembangan tumbuhan sasaran.
b. Proses terjadinya Alelopati
1. Penguapan
Senyawa alelopati ada yang dilepaskan melalui
penguapan. Beberapa genus tumbuhan yang melepaskan
senyawa alelopati melalui penguapan adalah Artemisia,
Eucalyptus, dan Salvia. Senyawa kimianya termasuk ke dalam
golongan terpenoid. Senyawa ini dapat diserap oleh tumbuhan di
sekitarnya dalam bentuk uap, bentuk embun, dan dapat pula
masuk ke dalam tanah yang akan diserap akar.
2. Eksudat akar
Banyak terdapat senyawa kimia yang dapat dilepaskan
oleh akar tumbuhan (eksudat akar), yang kebanyakan berasal
dari asam-asam benzoat, sinamat, dan fenolat.
3. Pencucian
Sejumlah senyawa kimia dapat tercuci dari bagian-bagian
tumbuhan yang berada di atas permukaan tanah oleh air hujan
atau tetesan embun. Hasil cucian daun tumbuhan Crysanthemum
sangat beracun, sehingga tidak ada jenis tumbuhan lain yang
dapat hidup di bawah naungan tumbuhan ini.
4. Pembusukan organ tumbuhan
Setelah tumbuhan atau bagian-bagian organnya mati,
senyawa-senyawa kimia yang mudah larut dapat tercuci dengan
cepat. Sel-sel pada bagian-bagian organ yang mati akan
kehilangan permeabilitas membrannya dan dengan mudah
senyawa-senyawa kimia yang ada didalamnya dilepaskan.
Beberapa jenis mulsa dapat meracuni tanaman budidaya atau
jenis-jenis tanaman yang ditanam pada musim berikutnya.
II. 4. Dampak negatif Alelopati bagi tumbuhan
1. Senyawa alelopati dapat menghambat penyerapan hara yaitu dengan
menurunkan kecepatan penyerapan ion-ion oleh tumbuhan.
2. Beberapa alelopat menghambat pembelahan sel-sel akar tumbuhan.
3. Beberapa alelopati dapat menghambat pertumbuhan yaitu dengan
mempengaruhi pembesaran sel tumbuhan.
4. Beberapa senyawa alelopati memberikan pengaruh menghambat
respirasi akar.
5. Senyawa alelopati memberikan pengaruh menghambat sintesis
protein.
6. Beberapa senyawa alelopati dapat menurunkan daya permeabilitas
membran pada sel tumbuhan.
II. 5. Penanggulangan Alelopati
Pada ekosistem pertanian alelopati dapat menurunkan atau
meningkatkan produktivitas lahan, tergantung pada pembentuk alelokimia
(tanaman atau gulma), organisme sasaran dan aktivitasnya. Oleh karena itu
penerapannya memerlukan strategi tertentu, yang menurut Einhellig
(1995a), dan Caamal-Maldonado et al. (2001) adalah mengendalikan
gulma dan atau patogen melalui :
1. Pola tanam di lapangan.
Untuk ini diperlukan tanaman non-produksi (yang selanjutnya
disebut tanaman X), yang bersifat alelopat terhadap gulma atau patogen
namun tidak terhadap tanaman produksi, dan pemanfaatannya melalui:
a. Rotasi tanam, dengan menanam tanaman X di antara waktu tanam
tanama produksi,
b. Cover crop, tanaman X ditanam sebagai tanaman penutup tanah,
c. Tanaman sela, tanaman X ditanam di antara tanaman produksi,atau
d. Mulsa, organ tanaman X yang diketahui sebagai pembentuk
alelokimia dijadikan sebagai mulsa. Pemilihan pola tanam
didasarkan atas sifat morfologi dan fisiologi tanaman X, organ
pembentuk alelokimia, mekanisme pelepasan, sifat alelokimia dan
sebagainya.
2. Produksi pestisida alami dari alelokimia.
Alelokimia yang menghambat gulma atau patogen diformulasi dan
diproduksi secara marketable menjadi pestisida alami (herbisida,
fungisida, bakterisida dan sebagainya).
3. Pemuliaan tanaman
Untuk memperoleh kultivar tanaman produksi yang alelopatik
bagi gulma pesaingnya. Pada jenis tanaman tertentu mungkin telah ada
varitas alami yang bersifat demikian. Bagi jenis tanaman yang belum
mempunyai, kultivar seperti ini perlu dikembangkan melalui pemuliaan
tanaman secara konvensional (hibridisasi, seleksi, dan identifikasi)
maupun non-konvensional (transformasi gen, fusi protoplas, dan lain-
lain).
II. 6. Manfaat dan Peranan Alelopati
Selain dapat merugikan tanaman pertanian, alelopati juga
mempunyai beberapa manfaat dan peranan bagi pertanian antara lain :
1. Untuk mengendalikan gulma dan penyakit
2. Mencegah timbulnya pencemaran
3. Menambah ketersediaan unsur hara
4. Meminimalkan kerugian dari akibat radiasi matahari dengan
pengelolaan iklim mikro, pengelolaan air dan pengendalian erosi.
II. 7. Penerapan Alelopati dalam Pertanian
Penerapan alelopati dalam pertanian secara garis besar adalah
untuk mengendalikan gulma dan penyakit menggunakan bahan yang
berasal dari tumbuhan atau mikroorganisme, yaitu meminimalkan
serangan hama (termasuk gulma) dan penyakit pada tanaman melalui
pencegahan dan perlakuan yang aman. Penggunaan pestisida yang berasal
dari tumbuhan bersifat relatif aman, karena berbeda dengan bahan kimia
sintetis, bahan alami mudah terurai sehingga tidak akan meninggalkan
residu di tanah atau air, dan oleh karena itu tidak menimbulkan
pencemaran. Penanaman tanaman produksi maupun non-produksi yang
alelopatik terhadap gulma atau patogen bahkan dapat dikatakan tidak
menimbulkan efek negatif terhadap lingkungan dan manusia, dan murah
bagi petani sehingga petani tidak perlu menambahkan input dari luar.
Pemanfaatan tanaman non-produksi alelopatik melalui rotasi
tanam, cover crop, dan tanaman sela dapat berperan ganda. Selain untuk
mengendalikan gulma atau patogen, teknik ini dapat mengoptimalkan
ketersediaan unsur hara, karena kedua jenis tanaman tersebut biasanya
dipilih yang mempunyai kedalaman akar dan kebutuhan hara yang
berbeda, sehingga masing-masing mendapatkan hara dalam jumlah cukup
dan tidak terjadi eksploitasi unsur hara. Pemanfaatan sisa organ tanaman
tersebut sebagai mulsa juga dapat berperan ganda, yaitu meminimalkan
kerugian sebagai akibat radiasi matahari dengan pengelolaan iklim mikro,
pengelolaan air dan pengendalian erosi. Mulsa yang berasal dari bahan
tanaman juga dapat mencegah erosi, karena humus yang berasal dari mulsa
merupakan bahan organik yang memiliki retensi air yang cukup tinggi
sehingga air terserap ke dalam tanah dan tidak dapat menghanyutkan
permukaan tanah.
BAB III
PENUTUP

III. 1. Kesimpulan
Alelopati merupakan sebuah fenomena yang berupa bentuk
interaksi antara makhluk hidup yang satu dengan makhluk hidup lainnya
melalui senyawa kimia, alelopati juga merupakan suatu peristiwa dimana
suatu individu tumbuhan yang menghasilkan zat kimia dan dapat
menghambat pertumbuhan jenis yang lain yang tumbuh bersaing dengan
tumbuhan tersebut. Kemampuan untuk menghambat pertumbuhan
tumbuhan lain merupakan akibat adanya suatu senyawa kimia tertentu
yang terdapat pada suatu jenis tumbuhan.
Pemanfaatan mekanisme alelopati terutama untuk mengendalikan
gulma dan/atau patogen. Tumbuhan yang bersifat sebagai alelopat
mempunyai kemampuan bersaing yang lebih hebat sehingga pertumbuhan
tanaman pokok lebih terhambat, dan hasilnya semakin menurun. Namun
kuantitas dan kualitas senyawa alelopati yang dikeluarkan oleh tumbuhan
dapat dipengaruhi oleh kerapatan tumbuhan alelopat, macam tumbuhan
alelopat, saat kemunculan saat kemunculan tumbuhan alelopat, lama
keberadaan tumbuhan alelopat, habitus tumbuhan alelopat, kecepatan
tumbuh tumbuhan alelopat, dan jalur fotosintesis tumbuhan alelopat (C3
atau C4).
III. 2. Saran
Penyusun berharap kepada pembaca untuk menyimak, mempelajari
dan menggunakan makalah ” Alelopati dan Penanggulangannya “ sebagai
motivasi dan menjadi referensi kepada pembaca dalam melakukan
kegiatan usaha disektor pertanian. Akhirnya penyusun sadari sepenuhnya
bahwa makalah yang kami susun jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Padi merupakan tanaman pangan yang utama bagi masyarakat
Indonesia. Para petani terus berfikir bagaimana tanaman padi dapat
mencukukupi kebutuhan pangan rakyat Indonesia yang kian tahun kian
meningkat jumlahnya. Di balik itu semua tentu saja ada peluang dan ada
pula tantangan nya. Peluangnya yaitu dengan adanya padi yang dikenal
dengan mandul jantan yang dapat disilangkan dengan padi jenis lain agar
menghasilkan padi hibrida yang hasilnya nanti akan banyak dan mampu
memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Tetapi dibalik
peluang itu, ada juga tantangan yang harus di lalui para petani padi agar
padinya tetap tumbuh dengan baik, salah satunya adalah serangan hama
dan penyakit.
Hama dan penyakit tentu saja sangat merugikan bila menyerang
suatu jenis tanaman. Hama dan penyakit dapat menurunkan nilai ekonomi
suatu tanaman dalam pasaran dan pada akhirnya ada yang tidak mampu
memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.
Hama dan penyakit ini membutuhkan suatu tindakan untuk
mengantisipasi kerusakan yang berarti pada suatu tanaman. Tindakan nya
yaitu berupa suatu upaya pengendalian. Pengendalian sendiri ada tiga jenis
yaitu, pengendalian biologi, pengendalian kimiawi, dan pengendalian
mekanis. Berbeda jenis hama dan penyakit yang menyerang suau tanaman
budidaya, berbeda juga cara pengendalian nya. Misalnya untuk hama yang
menyerang tanaman padi, hama tikus. Pengendalian yang biasa digunakan
para petani selain menggunakam pestisida yaitu dengan membakar lubang
sembunyi tikus agar tikus tersebut kabur dan tidak kembali lagi. Untuk
lebih lengkapnya, akan dibahas pada makalah ini tentang teknik
pengendalian hama pada tanaman padi.
1.2 Tujuan
Untuk mengetahui bagaimana teknik pengendalian biologis,
mekanis, dan kimiawi pada hama dan penyakit yang menyerng tanaman
padi.
BAB II
PEMBAHASAN

1. HAMA PADA TANAMAN PADI


1.1 TIKUS
Tikus sawah (Ratus argentiventer) termasuk hama yang relatif sulit
dikendalikan. Perkembangbiakan dan mobilitas tikus yang cepat serta daya
rusak pada tanaman padi yang cukup tinggi menyebabkan hama tikus
selalu menjadi ancaman pada pertanaman padi. Kehilangan akibat
serangan tikus sangat besar, karena menyerang tanaman sejak padi di
persemaian hingga menjelang panen. Berkaitan dengan hal tersebut, maka
upaya pengendalian untuk menekan populasi tikus harus dilakukan terus
menerus mulai dari saat pratanam hingga menjelang panen dengan
menggunakan berbagai teknik secara terpadu. Peran serta dan kerjasama
masyarakat / kelompok tani, penentu kebijakan dan tokoh masyarakat juga
diperlukan selama proses pengendalian hama tikus.
1.1.1 Cara Pengendalian Tikus Dilihat dari Siklus Hidupnya
Melakukan pengendalian dengan cara yang tepat pada saat yang
tepat sesuai fase kegiatan dalam usahatani padi yang dikaitkan dengan
siklus kehidupan tikus.
1) Saat selepas panen sampai persiapan dan pengolahan tanah
Mengendalikan tikus pada saat selepas panen, karena tikus
masih ada didalam gelengan dan sekitar petakan dengan jumlah
rata-rata per lubang 25 – 30 ekor tikus, sementara makanan masih
tersedia dari sisa panen berupa gabah yang tercecer dan pada
tumpukan padi. Pada saat ini, pengendalian yang tepat adalah
pengemposan dan gropyokan. Apabila tidak dilakukan
pengendalian pada saat selepas panen ini , maka semua tikus yang
ada dalam lubang akan tumbuh dewasa dan akan berkeliaran.
2) Pengolahan tanah
Menjelang pengolahan tanah sebaiknya seluruh lahan
dikeringkan, agar tikus yang masih tinggal di petakan dan galengan
merasa kehausan. Pada saat itu gabah yang tertinggal dilapangan
sudah tumbuh sehingga makanan untuk tikus mulai berkurang.
Pengendalian yang tepat pada kondisi ini adalah pengumpanan dan
gropyokan dimalam hari.
3) Pesemaian
Pesemaian sebaiknya dipagar plastik yang dilengkapi
dengan bubu perangkap tikus. Bubu perangkap tikus yang
berukuran panjang 65 cm, lebar 24 cm dan tinggi 24 cm memiliki
kapasitas 20 – 30 ekor/ malam tergantung banyaknya populasi
tikus. Untuk 500 m 2 persemaian cukup dipasang 4 bubu
perangkap. Apabila sebelum tanam tidak dilakukan pengendalian,
maka pada fase tanam sampai fase berikutnya akan terus terjadi
serangan.
4) Fase Vegetatif
Kondisi tanaman pada fase vegetatif adalah tanaman sudah
rimbun/anakan maksimum; galengan kotor; tanaman merupakan
makanan bagi tikus; fase awal tikus membuat lubang di galengan.
Fase ini merupakan kondisi yang sangat sulit untuk mengadakan
pengendalian yang efektif. Upaya pengendalian yang tepat adalah
dengan pengumpanan menggunakan klerat dan memakai umpan
pembawa “yuyu”, tempatkan umpan pada jalan tikus lewat dan
pasang pagar plastik dengan bubu perangkapnya.
5) Fase generatif dan menjelang panen
Pada fase ini umumnya tikus pada fase beranak dan berada
di dalam lubang. Kondisi pada fase generatif adalah makanan
sudah tersedia dan galengan semakin kotor. Pengendalian untuk
tikus yang sudah menetap dilubang dengan cara pengemposan.
6) Panen
Apabila padi sudah berisi dan menguning, maka
pengendalian yang paling tepat adalah dengan cara pengeringan
total. Dalam keadaan kering, tikus akan mengurangi makan dan
tikus tidak bisa makan kalau tidak disertai minum. Pengemposan
dapat dilakukan untuk mengendalikan tikus yang ada dalam
lubang.
1.1.2 Pengendalian Tikus dengan Pendekatan PHTT
Pengendalian tikus dilakukan dengan pendekatan PHTT
(Pengendalian Hama Tikus Terpadu) yaitu pendekatan pengendalian yang
didasarkan pada pemahaman biologi dan ekologi tikus, dilakukan secara
dini, intensif dan terus menerus dengan memanfaatkan semua teknologi
pengendalian yang sesuai dan tepat waktu. Pelaksanaan pengendalian
dilakukan oleh petani secara bersama-sama dan terkoordinasi dengan
cakupan wilayah sasaran pengendalian dalam skala luas.
Kegiatan pengendalian tikus ditekankan pada awal musim tanam
untuk menekan populasi awal tikus sejak awal pertanaman sebelum tikus
memasuki masa reproduksi. Kegiatan tersebut meliputi kegiatan gropyok
masal, sanitasi habitat, pemasangan TBS dan LTBS. Gropyok dan sanitasi
dilakukan pada habitat-habitat tikus seperti sepanjang tanggul irigasi,
pematang besar, tanggul jalan, dan batas sawah dengan perkampungan.
Pemasangan bubu perangkap pada pesemaian dan pembuatan TBS (Trap
Barrier System / Sistem Bubu Perangkap) dilakukan pada daerah endemik
tikus untuk menekan populasi tikus pada awal musim tanam.
1.1.3 Pengendalian Biologis
Pengendalian populasi tikus secara biologis yaitu dengan
penggunaan predator dan parasit. Predator tikus antara lain anjing,
musang, burung hantu, burung elang dan ular. Penggunaan parasit (virus,
bakteri, protozoa), sebagai contoh penggunaan Salmonella enteriditis
Penggunaan predator anjing yang dilatih sejak umur 2 bulan dan
dipandu oleh satu atau dua orang. Penggunaan predator alami untuk tikus
bisa dilakukan dengan pengembangan tyto alba karena burung ini
memiliki indera yang tajam, kemampuan tinggi dalam memangsa. Seekor
burung hantu bisa memakan 10 ekor tikus dalam sehari. Sedangkan ular
rata-rata hanya 1-2 ekor sehari, hewan menyusui pemangsa daging hanya
3-4 ekor sehari. Burung memiliki laju metobolisme yang tinggi sehingga
sangat efektif memberantas tikus.
1.1.4 Pengendalian Kimiawi
Penggunaan fumigasi (emposan), yaitu pembakaran belerang
dengan jerami akan menghasilkan senyawa SO2 dan Co yang toxic
terhadap tikus. Sebaliknya fumigasi dilakukan saat pengolahan tanah dan
fase anakan. Tindakan emposan sebaiknya dilaksanakan pada fase bera
dan fase generatif
Penggunaan umpan beracun (rodentisida), baik dari jenis akut
maupun yang kronis(Tabel 2). Penggunaan umpan beracun sebaiknya
dilaksanakan pada fase bera dan fase generative. Penggunaan brodifacum,
yakni antikoagulan yang dapat membunuh 100% dengan satu kali
pemberian. Penggunaan umpan dengan komposisi beras 15%, ubi kayu
25%, telur 10%, ubu jalar 3%, kepiting 15%, kelapa 12% .
1.1.5 Pencegahan
Pencegahan masuknya hama tikus ke areal sawah juga sangat
penting dalam melindungi tanaman padi Berikut ini adalah beberapa
langkah pencegahan dapat menghambat masuknya tikus ke dalam lahan
sawah diantaranya penggunaan pagar listrik, penggunaan plastik dan
sanitasi.
1. Pagar listrik
Tikus dapat dicegah masuk ke suatu lokasi tanaman dengan cara
membuat pelindung dari kawat yang dialiri listrik. Dalam
pemasangannnya harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak
membahayakan manusia.Sehingga dalam hal ini penggunaan arus listrik
antara 12 – 24 Volt merupakan alternatif yang baik.Sumber listrik bisa
diambil dari accu atau listrik yang diturunkan menggunakan adaptor.
Selain aman juga hanya bersifat mengejutkan saja yang pada akhirnya
akan membuat tikus jera memasuki areal persawahan.
2. Pemagaran Plastik
Di areal persawahan Jawa Timur dan areal sawah lainnya,
banyak dijumpai sawah-sawah yang dipagari dengan plastik. Hal ini
bertujuan agar tikus tidak bisa menembus areal persawahan mereka.
Namun demikian, penggunaan plastik ini selain mahal juga belum tentu
efektif karena bisa saja tikus membuat jalan lubang yang melewati
pagar plastik dari bawah. Sehingga perlu diperhatikan pemasangannya
agar tikus tidak bisa membuat jalan pintas yang bisa dilalui dibawah
plastik.
3. Sanitasi
Tikus adalah binatang yang menyukai tempat kotor dan banyak
semak, sehingga wajar bila disekitar sawah yang tidak bersih sering
terjadi serangan tikus. Untuk itu, upaya pencegahan masuknya tikus
dengan melakukan pembersihan lingkungan adalah cara yang paling
efektif. Dengan membersihkan tempat tinggalnya, berarti akan menekan
perkembangan populasi tikus, mengusirnya, bahkan meniadakannya
sama sekali. Selain beberapa cara diatas, pengaturan pola tanam yang
baik juga dapat menjadi salah satu tehnik pengendalian hama tikus.
1.1.6 Tanaman Padi Akibat Serangan Hama Tikus
Merupakan hama prapanen utama penyebab kerusakan terbesar
tanaman padi, terutama pada agroekosistem dataran rendah dengan pola
tanam intensif. Tikus sawah merusak tanaman padi pada semua stadia
pertumbuhan dari semai hingga panen (periode prapanen), bahkan di
gudang penyimpanan (periode pascapanen).
Kerusakan parah terjadi apabila tikus menyerang padi pada
stadium generatif, karena tanaman sudah tidak mampu membentuk anakan
baru. Ciri khas serangan tikus sawah adalah kerusakan tanaman dimulai
dari tengah petak, kemudian meluas ke arah pinggir, sehingga pada
keadaan serangan berat hanya menyisakan 1-2 baris padi di pinggir
petakan.

1.2 WERENG
Wereng coklat merupakan salah satu hama utama tanaman padi.
Hama ini telah populer di kalangan petani sejak tahun 1970-an. Wereng
coklat merupakan hama global karena bukan saja menyerang pertanaman
padi di Indonesia, tetapi juga menyerang pertanaman padi di Cina,
Thailand, Vietnam, India, Bangladesh, Malaysia, Filipina, Jepang, dan
Korea (Baehaki, 2010). Sejarah serangan wereng coklat terbesar di
Indonesia pada kurun waktu 1970-1980 mencapai 2.5 juta ha. Wereng
coklat kembali menjadi sorotan di era milenium ini, dengan adanya
serangan pada awal tahun 2010 dari mulai rusak ringan sampai puso.
Sampai bulan Juni 2010 serangan hama ini mencapai 23.187 ha, termasuk
yang puso tidak kurang dari 2.867 ha.
Wereng Coklat masih dianggap hama utama pada tanaman padi.
Kerusakan akibat serangan hama ini cukup luas dan hampir terjadi pada
setiap musim tanam. Secara langsung wereng coklat akan menghisap
cairan sel tanaman padi sehingga tanaman menjadi kering dan akhirnya
mati.
1.2.1 Cara Pengendalian Hama Wereng Coklat
1. Tanam padi Serempak
Pola tanam serempak dalam areal yang luas dan tidak dibatasi
oleh admisistrasi dapat mengantisipasi penyebaran serangan wereng
coklat karena jika serempak, hama dapat berpindah-pindah ke lahan
padi yang belum panen. Wereng coklat terbang bermigrasi tidak dapat
dihalangi oleh sungai atay lautan.
2. Perangkap Lampu
Perangkap lampu merupakan perangkap yang paling umum
untuk pemantauan migrasi dan pendugaan populasi serangga yang
tertarik pada cahaya, khususnya wereng coklat.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan perangkap
lampu antara lain, kekontrasan lampu yang digunakan pada perangkap
lampu yang terdapat di sekitarnya. Semakin kontras cahaya lampu yang
digunakan maka akan luas jangkauan tangkapannya. Kemampuan
serangga untuk menghindari lampu perangkap yang dipasang.
Perangkap lampu dipasang pada pematang (tempat) yang bebas
dari naungan dengan ketinggian sekitar 1,5 meter diatas permukaan
tanah. Lampu yang digunakan adalah lampu pijar 40 watt dengan
voltase 220 volt. Lampu dinyalakan pada jam 18.00 sampai dengan
06.00 pagi. Agar serangga yang tertangkap tidak terbang lagi, maka
pada penampungan serangga yang berisi air ditambahkan sedikit
deterjen.
Keputusan yang diambil setelah ada wereng pada perangkap
lampu, yaitu wereng-wereng yang tertangkap dikubur, atau keringkan
pertanaman padi sampai retak, dan segera setelah dikeringkan
kendalikan wereng pada tanaman padi dengan insektisida yang
direkomendasikan.
3. Tuntaskan pengendalian pada generasi 1
Menurut Baihaki (2011), perkembangan wereng coklat pada
pertanaman padi dapat terbagi menjadi 4 (empat) generasi yaitu :
Generasi 0 (G0) = umur padi 0-20 HST (hari Sesudah Tanam).
Generasi 1 (G1) = Umur padi 20-30 HST, wereng coklat akan menjadi
imago wereng coklat generasi ke-1.
Generasi 2 (G2) = Umur padi 30-60 HST, wereng coklat akan menjadi
imago wereng coklat generasi ke-2.
Generasi 3 (G3) = umur padi diatas 60 HST.
Pengendalian wereng yang baik yaitu :
Pada saat generasi nol (G0) dan generasi 1 (G1).
Gunakan insektisida berbahan aktif buprofezin, BPMC, fipronil dan
imidakloprid.
Pengendalian wereng harus selesai pada generasi ke-1 (G1) atau
paling lampat pada generasi ke -2 (G2).
Pengendalian saat generasi ke-3 (G3) atau puso tidak akan berhasil
4. Penggunaan Insektisida
Keringkan pertanaman padi sebelum aplikasi insektisida
baik yang disemprot atau butiran. Aplikasi insektisida dilakukan saat
air embun tidak ada, yaitu antara pukul 08.00 pagi sampai pukul
11.00, dilanjutkan sore hari. Insektisida harus sampai pada batang
padi. Tepat dosis dan jenis yaitu berbahan aktif buprofezin, BPMC,
fipronil dan imidakloprid. Tepat air pelarut 400-500 liter air per
hektar.
1.2.2 Pengendalian Hama Terpadu
Pengendalian Hama Terpadu adalah tehnik pengendalian hama
dengan cara menggabungkan beberapa cara pengendalian yang
kompatibel. Demikian juga untuk mengendalikan hama wereng coklat
pada tanaman padi kita juga harus menggunakan tehnik-tehnik dalam
PHT. Adapun cara tepat mengendalikan hama wereng coklat pada
tanaman padi adalah:
Gunakanlah tanaman padi dengan varietas unggul tahan wereng
(VUTW) sebagai contoh adalah IR 64, IR 72, IR 74, ciherang, cimelati dll
Pergiliran varietas tanaman padi antar musim. Yang dimaksud
pergiliran varietas antar musim adalah menanam varietas tahan saat musim
hujan dan menanam varietas kurang tahan saat musim kemarau. Pergiliran
variatas tanaman padi satu musim tanam. Cara ini dilakukan dengan
menanam padi yang tahan wereng saat awal musim hujan dan menanam
varietas yang kurang tahan (rentan) saat akhir musim hujan. Menggunakan
jamur musuh alami hama wereng coklat sebagai contoh yang sudah biasa
dipraktekkan adalah menggunakan jamur Metharizium anisopleae dan
jamur Beuveria basiana. Pengendalian menggunakan musuh alami/
predator (paedorus fuscifes, laba-laba, cooccinella sp, Ophionea
nigrofasciata dll). Untuk memanfaatkan predator ini kita harus melakukan
pengamatan minimal 1 minggu 1 kali dan gunakan insektisida yang
selektif untuk menghindari terbunuhnya musuh alami tersebut.
Penggunaan insektisida yang selektif, jangan sekali-kali menggunakan
insektisida dari golongan piretroid sintetik (fastac, matador, decis,
sidametrin, dll) karena justru akan meledakkan populasi. Kalau saya boleh
merekomendasikan sikahkan gunakan yang mempunyai cara kerja sitemik
sebagai contoh fipronil (regent) dan imidakloprit (imidagold, winder dan
lain-lain). Bisa juga gunakan yang cara kerjanya unik yaitu menghambat
proses ganti kulit sebagai contoh adalah aplaud. Jangan lupa dalam
pengaplikasiannya semprotkan pada pangkal batang tanaman padi dengan
dosis dan konsentrasi yang tepat.
1.2.4 Mengendalikan Wereng Coklat
1). Dengan teknik budidaya
a. Tanam varietas tahan seperti Memberamo, Mekongga, Ciherang,
IR74, Inpari 2, Inpari 3, dan Inpari 6;
b. Pelihara persemaian dan tanaman muda agar tidak terserang
wereng coklat;
c. Tanam padi secara serempak dalam suatu wilayah;
d. Gunakan pupuk sesuai dengan kebutuhan tanaman, dapat
menggunakan BWD (bagan warna daun) sebagai indikator
kebutuhan pupuk;
e. Pada saat terjadi serangan, keringkan petakan sawah untuk
memudahkan teknis pengendalian
2). Dengan kimiawi
Menggunakan insektisida dengan bahan aktif fipronil,
bupofresin, amidaklrorid, karbofuran, atau teametoksan.
3). Hayati
Menggunakan ekstrak nimba (Azadirachta indica).
4). Mekanis
Deteksi dini dengan menggunakan lampu perangkap, sehingga
dengan segera para petani mengetahui kehadiran wereng coklat di
pertanaman. Demikian juga untuk mengendalikan hama wereng coklat
pada tanaman padi kita juga harus menggunakan tehnik-tehnik dalam
PHT. Adapun cara tepat mengendalikan hama wereng coklat pada
tanaman padi adalah:
Gunakanlah tanaman padi dengan varietas unggul tahan wereng
(VUTW) sebagai contoh adalah IR 64, IR 72, IR 74, ciherang,
cimelati dll
Pergiliran varietas tanaman padi antar musim. Yang dimaksud
pergiliran varietas antar musim adalah menanam varietas tahan saat
musim hujan dan menanam varietas kurang tahan saat musim
kemarau.
Pergiliran variatas tanaman padi satu musim tanam. Cara ini dilakukan
dengan menanam padi yang tahan wereng saat awal musim hujan dan
menanam varietas yang kurang tahan (rentan) saat akhir musim hujan
Menggunakan jamur musuh alami hama wereng coklat sebagai contoh
yang sudah biasa dipraktekkan adalah menggunakan jamur
Metharizium anisopleae dan jamur Beuveria basiana
Pengendalian menggunakan musuh alami/ predator (paedorus fuscifes,
laba-laba, cooccinella sp, Ophionea nigrofasciata dll). Untuk
memanfaatkan predator ini kita harus melakukan pengamatan minimal
1 minggu 1 kali dan gunakan insektisida yang selektif untuk
menghindari terbunuhnya musuh alami tersebut.
Penggunaan insektisida yang selektif, jangan sekali-kali menggunakan
insektisida dari golongan piretroid sintetik (fastac, matador, decis,
sidametrin, dll) karena justru akan meledakkan populasi. Kalau saya
boleh merekomendasikan sikahkan gunakan yang mempunyai cara
kerja sitemik sebagai contoh fipronil (regent) dan imidakloprit
(imidagold, winder dan lain-lain). Bisa juga gunakan yang cara
kerjanya unik yaitu menghambat proses ganti kulit sebagai contoh
adalah aplaud. Jangan lupa dalam pengaplikasiannya semprotkan pada
pangkal batang tanaman padi dengan dosis dan konsentrasi yang tepat.
2. PENYAKIT PADA TANAMAN PADI
2.1 Penyakit Tungro
Tungro adalah penyakit yang menyerang tanaman padi yang
disebabkan oleh virus, merupakan salah satu penyakit penting pada padi
karena sangat merusak dan tersebar luas. Di Indonesia, semula semula
penyakit ini hanya terbatas di Sulawesi Selatan, tetapi sejak awal tahun
1980-an menyebar ke Bali, Jawa Timur, dan sekarang sudah menyebar ke
hampir seluruh wilayah Indonesia.
Bergantung pada saat tanaman terinveksi, penyakit tungro dapat
menyebabkan kehilangan hasil 5 – 70 %, makin awal tanaman terinveksi
makin besar kehilangan hasil yang ditimbulkannya.
Tanaman padi yang terinfeksi biasanya hidup hingga fase
pemasakan. Pembungaan yang terlambat bisa menyebabkan tertundanya
panen. Malai seringkali kecil, steril dan keberadaanya tidak sempurna.
Tanaman tua yang terinfeksi bisa tidak menimbulkan gejala serangan
sebelum panen tetapi gejala akan terlihat saat singgang yang tumbuh
setelah panen.
Semakin muda umur tanaman yang terserag dan semakin rentang
varietas padi maka semakin berat infeksi penyakit virus tungro ini. Tungro
adalah penyakit virus padi yang paling penting di Asia Tropika.
Serangannya dapat merusak pertanaman yang sangat luas dalam waktu
yang singkat.
2.2.1 Penyebab Penyakit dan Penularannya
Tungro disebabkan oleh dua jenis virus yang berbeda yaitu virus
bentuk batang Rice Tungro Bacilliform Virus (RTBV) dan virus bentuk
bulat Rice Tungro Spherical Virus (RTSV). Kedua jenis virus tersebut
tidak memiliki kekerabatan serologi dan dapat menginfeksi tanaman
secara bersama-sama. Virus tungro hanya ditularkan oleh wereng hijau
(sebagai vektor) tidak terjadi multiplikasi dalam tubuh wereng dan tidak
terbawa pada keturunananya. Sejumlah species wereng hijau dapat
menularkan virus tungro, namun Nephotettix virescen smerupakan wereng
hijau yang paling efisien sehingga perlu diwaspadai keberadaannya.
Penularan virus tungro dapat terjadi apabila vektor memperoleh virus
setelah mengisap tanaman yang terinfeksi virus kemudian berpindah dan
mengisap tanaman sehat tanpa melalui periode laten dalam tubuh vektor.
2.2.2 Gejala Serangan
Secara morfologis tanaman padi yang tertular virus tungro menjadi
kerdil, daun berwarna kuning sampai kuning jingga disertai bercak-bercak
berwarna coklat. Perubahan warna daun di mulai dari ujung, meluas ke
bagian pangkal. Jumlah anakan sedikit dan sebagian besar gabah hampa.
Infeksi virus tungro juga menurunkan jumlah malai per rumpun, malai
pendek sehingga jumlah gabah per malai rendah. Serangan yang terjadi
pada tanaman yang telah mengeluarkan malai umumnya tidak
menimbulkan kerusakan fatal.
Tinggi rendahnya intensitas serangan tungro ditentukan oleh
beberapa faktor diantaranya: ketersediaan sumber inokulum (tanaman
terserang), adanya vektor (penular), adanya varietas peka dan kondisi
lingkungan yang memungkinkan, namun keberadaan vektor yang
mengandung virus adalah faktor terpenting. Intensitas penyakit tungro
juga dipengaruhi oleh tingkat ketahanan varietas dan stadia tanaman.
Tanaman stadia muda, sumber inokulum tersedia dan populasi vektor
tinggi akan menyebabkan tingginya intensitas serangan tungro. Ledakan
tungro biasanya terjadi dari sumber infeksi yang berkembang pada
pertanaman yang tidak serempak.
2.2.3 Pengendalian penyakit
Pada prinsipnya penyakit tungro tidak dapat dikendalikan secara
langsung artinya, tanaman yang telah terserang tidak dapat disembuhkan.
Pengendalian bertujuan untuk mencegah dan meluasnya serangan serta
menekan populasi wereng hijau yang menularkan penyakit. Mengingat
banyaknya faktor yang berpengaruh pada terjadinya serangan dan
intensitas serangan, serta untuk mencapai efektivitas dan efisiensi, upaya
pengedalian harus dilakukan secara terpadu yang meliputi :
1. Waktu tanam tepat
Waktu tanam harus disesuaikan dengan pola fluktuasi populasi
wereng hijau yang sering terjadi pada bulan-bulan tertentu. Waktu
tanam diupayakan agar pada saat terjadinya puncak populasi, tanaman
sudah memasuki fase generatif (berumur 55 hari atau lebih). Karena
serangan yang terjadi setelah masuk fase tersebut tidak menimbulkan
kerusakan yang berarti.
2. Tanam serempak
Upaya menanam tepat waktu tidak efektif apabila tidak
dilakukan secara serempak. Penanaman tidak serempak menjamin
ketersediaan inang dalam rentang waktu yang panjang bagi
perkembangan virus tungro, sedangkan bertanam serempak akan
memutus siklus hidup wereng hijau dan keberadaan sumber inokulum.
Penularan tungro tidak akan terjadi apabila tidak tersedia sumber
inokulum walaupun ditemukan wereng hijau, sebaliknya walaupun
populasi wereng hijau rendah akan terjadi penularan apabila tersedia
sumber inokulum.
3. Menanam varietas tahan
Menanam varietas tahan merupakan komponen penting dalam
pengendalian penyakit tungro.Varietas tahan artinya mampu
mempertahankan diri dari infeksi virus dan atau penularan virus oleh
wereng hijau. Walaupun terserang, varietas tahan tidak menunjukkan
kerusakan fatal, sehingga dapat menghasilkan secara normal. Sejumlah
varietas tahan yang dianjurkan untuk daerah NTB antara lain: Tukad
Patanu, Tukad Unda, Bondoyudo dan Kalimas. IR-66, IR-72 dan IR-74.
Sejumlah varietas Inpari yang baru dilepas juga dinyatakan tahan
tungro. Hasil penelitian di daerah endemis membuktikan Tukad Unda
cukup tahan dengan intensitas serangan 0,0%-9,14% sedangkan varietas
peka IR-64 berkisar 16,0%-79,1%. Penelitian di Lanrang Sulawesi
Selatan juga menunjukkan daya tahan Tukad Patanu terhadap tungro
dengan intensitas serangan 18,20% sedangkan varietas peka Ciliwung
mencapai 75,7%.
4. Memusnahkan (eradikasi) tanaman terserang
Memusnahkan tanaman terserang merupakan tindakan yang
harus dilakukan untuk menghilangkan sumber inokulum sehingga tidak
tersedia sumber penularan. Eradikasi harus dilakukan sesegera mungkin
setelah ada gejala serangan dengan cara mencabut seluruh tanaman
sakit kemudian dibenamkan dalam tanah atau dibakar. Pada umumnya
petani tidak bersedia melakukan eradikasi karena mengira penyakit bisa
disembuhkan dan kurang memahami proses penularan penyakit. Untuk
efektifitas upaya pengendlian, eradikasi mesti dilakukan diseluruh areal
dengan tanaman terinfeksi, eradikasi yang tidak menyeluruh berarti
menyisakan sumber inokulum.
5. Pemupukan N yang tepat
Pemupukan N berlebihan menyebab-kan tanaman menjadi
lemah, mudah terserang wereng hijau sehingga memudahkan terjadi
inveksi tungro, karena itu penggunaan pupuk N harus berdasarkan
pengamatan dengan Bagan Warna Daun (BWD) untuk mengetahui
waktu pemupukan yang paling tepat. Dengan BWD, pemberian pupuk
N secara berangsur-angsur sesuai kebutuhan tanaman sehingga tanaman
tidak akan menyerap N secara berlebihan.
6. Penggunaan pestisida
Penggunaan pestisida dalam mengendalikan tungro bertujuan
untuk eradikasi wereng hijau pada pertanaman yang telah tertular
tungro agar tidak menyebar ke pertanaman lain dan mencegah
terjadinya infeksi virus pada tanaman sehat. Penggunaan insektisida
sistemik butiran (carbofuran) lebih efektif mencegah penularan tungro.
Mengingat infeksi virus dapat terjadi sejak di pesemaian, sebaiknya
pencegahan dilakukan dengan antara lain tidak membuat pesemaian di
sekitar lampu untuk menghindari berkumpulnya wereng hijau di
pesemaian dan menggunakan insektisida confidor ternyata cukup
efektif. Insesektisida hanya efektif menekan populasi wereng hijau pada
pertanaman padi yang menerapkan pola tanam serempak. Karena itu
pengendalian penyakit tungro yang sangat berbahaya akan berhasil
apabila dilakukan secara bersama-sama dalam hamparan relatif luas,
utamakan pencegahan melalui pengelolaan tanaman yang tepat (PTT)
untuk memperoleh tanaman yang sehat sehinga mampu bertahan dari
ancaman hama dan penyakit. (Lalu Wira Jaswadi)
BAB III
KESIMPULAN

Hama dan penyakit yang menyerang padi membutuhkan suatu


tindakan untuk mengantisipasi kerusakan yang berarti pada suatu tanaman.
Tindakan nya yaitu berupa suatu upaya pengendalian. Pengendalian
sendiri ada tiga jenis yaitu, pengendalian biologi, pengendalian kimiawi,
dan pengendalian mekanis. Berbeda jenis hama dan penyakit yang
menyerang suau tanaman budidaya, berbeda juga cara pengendalian nya.
Misalnya untuk hama yang menyerang tanaman padi, hama tikus.
Pengendalian yang biasa digunakan para petani selain menggunakam
pestisida yaitu dengan membakar lubang sembunyi tikus agar tikus
tersebut kabur dan tidak kembali lagi.
DAFTAR PUSTAKA

Anonymous, 2012. http://moels.mywapblog.com/solusi-pengendalian-wereng-


2.xhtml.
Anonymous, 2012. http://bbpadi.litbang.deptan.go.id/index.php/in/hama-
padi/227–tikus-sawah-rattus-argentiventer-rob-a-kloss-.
Anonymous, 2012. http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=tanda-
tanda+tanaman+padi+akibat+serangan+wereng&source=web&cd=3&ved
=0CFgQFjAC&url=http%3A%2F%2Fmoels.mywapblog.com%2Fsolusi-
pengendalian-wereng-
1.xhtml&ei=MWW4T83uCMvprQe60pjwBw&usg=AFQjCNEJpuqZ6BC
6RurusXddz_4SAIh2Kw.
Anonymous., 2012. http://www.google.co.id/search?sourceid=chrome&ie=UTF-
8&q=tanaman+padi+akibat+tikus#q=tanaman+padi+akibat+serangan+ha
ma+tikus&hl=en&prmd=imvns&psj=1&ei=El24T7eLAYuzrAf8lIHzBw&
start=10&sa=N&bav=on.2,or.r_gc.r_pw.r_qf.,cf.osb&fp=561208af145a76
2&biw=1024&bih=463.
Direktorat Perlindungan Tanaman pangan. 1992. Tikus Sawah. Kerjasama Teknik
Indonesia-Jepang Bidang Perlindungan tanaman Pangan (ATA-162):10
hal.
Indarto, N. 1984. Five year rat control program in Indonesia. In The organization
and practice of veterbrate pest control. pp. 475-485.ICI Fern hurst United
Kingdom.
Murakami Okimata, Joko priyono and Harsiwi Triastini.1990. Population
management of of rice field rat in Indonesia. In Rodent and Rice report
and Proceeding of an Expert panel meeting on Rice Rodent Control. IRRI
Los Banos.Sept.10-14,1990.
Rochman dan S. Dandi. 1991. Pengendalian Hama Tikus. Dalam Buku III Pusat
penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.

Anda mungkin juga menyukai