Sejarah Alelopati
Reaksi alelopati telah dikemukakan oleh Bapak Botani, Theophrastus, sejak tahun 300
SM. Dia menuliskan tentang buncis yang dapat membunuh populasi gulma di sekitarnya. Pada
tahun 1 setelah Masehi, seorang cendekiawan dan naturalis Roma bernama Gaius Plinius
Secundus menuliskan tentang bagaimana buncis dan jelai dapat berefek "menghanguskan"
ladang. Selain itu, dia juga mengemukakan bahwa pohon walnut bersifat toksik (beracun)
terhadapat tumbuhan lain. Pada tahun 1832, Augustin Pyramus De Candolle, seorang ahli botani
dan naturalis mengemukakan bahwa tanah dapat menderita "sakit" kemungkinan diakibatkan
oleh senyawa kimia yang dikeluarkan oleh tanaman. Penemuan mengenai alelopati semakin jelas
ketika pada tahun 1907-1909, dua orang ilmuwan bernama Schreiner dan Reed berhasil
mengisolasi senyawa fitotoksik kimia dari tanaman dan tanah. Konsep mengenai alelopati
dikemukakan pada tahun 1937 oleh Hans Molisch, seorang ahli fisiologi tanaman asal Austria
(Willis, 2007). Lebih lanjut dijelaskan bahwa senyawa-senyawa tersebut dapat terlepas dari
jaringan tumbuhan melalui berbagai cara yaitu melalui penguapan, eksudat akar, pencucian, dan
pembusukan bagian-bagian organ yang mati.
Mekanisme dan Proses Terjadinya Alelopati
a.
Mekanisme Alelopati
Fenomena alelopati mencakup semua tipe interaksi kimia antar tumbuhan, antar
mikroorganisme, atau antara tumbuhan dan mikroorganisme (Einhellig, 1995a). Menurut
Rice (1984) interaksi tersebut meliputi penghambatan dan pemacuan secara langsung atau
tidak langsung suatu senyawa kimia yang dibentuk oleh suatu organisme (tumbuhan, hewan
atau mikrobia) terhadap pertumbuhan dan perkembangan organisme lain. Senyawa kimia
yang berperan dalam mekanisme itu disebut alelokimia. Pengaruh alelokimia bersifat
selektif, yaitu berpengaruh terhadap jenis organisme tertentu namun tidak terhadap
organisme lain (Weston, 1996).
Alelokimia pada tumbuhan dibentuk di berbagai organ, mungkin di akar, batang, daun,
bunga dan atau biji. Organ pembentuk dan jenis alelokimia bersifat spesifik pada setiap
spesies. Pada umumnya alelokimia merupakan metabolit sekunder yang dikelompokkan
menjadi 14 golongan, yaitu asam organik larut air, lakton, asam lemak rantai panjang,
quinon, terpenoid, flavonoid, tanin, asam sinamat dan derivatnya, asam benzoat dan
derivatnya, kumarin, fenol dan asam fenolat, asam amino non protein, sulfida serta
nukleosida. (Rice,1984; Einhellig, 1995b). Pelepasan alelokimia pada umumnya terjadi pada
stadium perkembangan tertentu, dan kadarnya dipengaruhi oleh stres biotik maupun abiotik
(Einhellig, 1995b).
Alelokimia pada tumbuhan dilepas ke lingkungan dan mencapai organisme sasaran
melalui penguapan, eksudasi akar, pelindian, dan atau dekomposisi. Setiap jenis alelokimia
dilepas dengan mekanisme tertentu tergantung pada organ pembentuknya dan bentuk atau
sifat kimianya (Rice, 1984; Einhellig, 1995b).
Mekanisme pengaruh alelokimia (khususnya yang menghambat) terhadap pertumbuhan
dan perkembangan organisme (khususnya tumbuhan) sasaran melalui serangkaian proses
yang cukup kompleks, namun menurut Einhellig (1995b) proses tersebut diawali di
membran plasma dengan terjadinya kekacauan struktur, modifikasi saluran membran, atau
hilangnya fungsi enzim ATP-ase. Hal ini akan berpengaruh terhadap penyerapan dan
konsentrasi ion dan air yang kemudian mempengaruhi pembukaan stomata dan proses
fotosintesis. Hambatan berikutnya mungkin terjadi dalam proses sintesis protein, pigmen
dan senyawa karbon lain, serta aktivitas beberapa fitohormon. Sebagian atau seluruh
hambatan tersebut kemudian bermuara pada terganggunya pembelahan dan pembesaran sel
yang akhirnya menghambat pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan sasaran.
b.
2. Eksudat Akar
Banyak terdapat senyawa kimia yang dapat dilepaskan oleh akar tumbuhan
(eksudat akar), yang kebanyakan berasal dari asam-asam benzoat, sinamat, dan fenolat.
3. Pencucian
Sejumlah senyawa kimia dapat tercuci dari bagian-bagian tumbuhan yang berada
di atas permukaan tanah oleh air hujan atau tetesan embun. Hasil cucian daun tumbuhan
Crysanthemum sangat beracun, sehingga tidak ada jenis tumbuhan lain yang dapat hidup
di bawah naungan tumbuhan ini.
4. Pembusukan Organ Tumbuhan
Setelah tumbuhan atau bagian-bagian organnya mati, senyawa-senyawa kimia
yang mudah larut dapat tercuci dengan cepat. Sel-sel pada bagian-bagian organ yang
mati akan kehilangan permeabilitas membrannya dan dengan mudah senyawa-senyawa
kimia yang ada didalamnya dilepaskan. Beberapa jenis mulsa dapat meracuni tanaman
budidaya atau jenis-jenis tanaman yang ditanam pada musim berikutnya.
Selain melalui cara-cara di atas, pada tumbuhan yang masih hidup dapat mengeluarkan
senyawa alelopati lewat organ yang berada di atas tanah maupun yang di bawah tanah.
Demikian juga tumbuhan yang sudah mati pun dapat melepaskan senyawa alelopati lewat
organ yang berada di atas tanah maupun yang di bawah tanah.
Dampak Negatif Alelopati bagi Tumbuhan
lain.
Menurut anonim (tanpa tahun)
Menjelaskan tentang pengaruh alelopati terhadap pertumbuhan tanaman adalah sebagai
berikut:
1. Senyawa alelopati dapat menghambat penyerapan hara yaitu dengan menurunkan
kecepatan penyerapan ion-ion oleh tumbuhan.
2. Beberapa alelopat menghambat pembelahan sel-sel akar tumbuhan.
3. Beberapa alelopati dapat menghambat pertumbuhan yaitu dengan mempengaruhi
pembesaran sel tumbuhan.
4. Beberapa senyawa alelopati memberikan pengaruh menghambat respirasi akar.
Penanggulangan Alelopati
Pada ekosistem pertanian alelopati dapat menurunkan atau meningkatkan produktivitas
lahan, tergantung pada pembentuk alelokimia (tanaman atau gulma), organisme sasaran dan
aktivitasnya. Oleh karena itu penerapannya memerlukan strategi tertentu, yang menurut Einhellig
(1995a), dan Caamal-Maldonado et al. (2001) adalah mengendalikan gulma dan atau patogen
melalui :
1. Pola tanam di lapangan
Untuk ini diperlukan tanaman non-produksi (yang selanjutnya disebut tanaman X), yang
bersifat alelopat terhadap gulma atau patogen namun tidak terhadap tanaman produksi, dan
pemanfaatannya melalui:
a. Rotasi tanam, dengan menanam tanaman X di antara waktu tanam tanaman produksi,
Alelokimia yang menghambat gulma atau patogen diformulasi dan diproduksi secara
marketable menjadi pestisida alami (herbisida, fungisida, bakterisida dan sebagainya).
3. Pemuliaan tanaman
Untuk memperoleh kultivar tanaman produksi yang alelopatik bagi gulma pesaingnya.
Pada jenis tanaman tertentu mungkin telah ada varitas alami yang bersifat demikian. Bagi
jenis tanaman yang belum mempunyai, kultivar seperti ini perlu dikembangkan melalui
pemuliaan tanaman secara konvensional (hibridisasi, seleksi, dan identifikasi) maupun nonkonvensional (transformasi gen, fusi protoplas, dan lain-lain).
Manfaat dan Peranan Alelopati
Selain dapat merugikan tanaman pertanian, alelopati juga memounyai beberapa manfaat dan
peranan bagi pertanian antara lain:
1.
2.
3.
4.
Dampak
Mangga
Foto
Pemanfaatan tanaman non-produksi alelopatik melalui rotasi tanam, cover crop, dan
tanaman sela dapat berperan ganda. Selain untuk mengendalikan gulma atau patogen, teknik ini
dapat mengoptimalkan ketersediaan unsur hara, karena kedua jenis tanaman tersebut biasanya
dipilih yang mempunyai kedalaman akar dan kebutuhan hara yang berbeda, sehingga masingmasing mendapatkan hara dalam jumlah cukup dan tidak terjadi eksploitasi unsur hara.
Pemanfaatan sisa organ tanaman tersebut sebagai mulsa juga dapat berperan ganda, yaitu
meminimalkan kerugian sebagai akibat radiasi matahari dengan pengelolaan iklim mikro,
pengelolaan air dan pengendalian erosi. Dengan menutup permukaan tanah maka radiasi
matahari tidak langsung mengenai tanah sehingga menurunkan suhu tanah, mengurangi
evaporasi (penguapan air tanah) dan akibatnya ketersedian air tanah tetap memadai. Mulsa yang
berasal dari bahan tanaman juga dapat mencegah erosi, karena humus yang berasal dari mulsa
merupakan bahan organik yang memiliki retensi air yang cukup tinggi sehingga air terserap ke
dalam tanah dan tidak dapat menghanyutkan permukaan tanah.
Reference:
Caamal-Maldonado, J.A., Jimenez-Osornio, J.J., Torres-Barrag, A. & Anaya, A.L. 2001. The use
of allelopathic legume cover and mulch species for weed control in cropping systems.
Agron. J. 93: 27-36.
Einhellig, F.A. 1996. Interactions involving allelopathy in cropping systems. Agron. J. 88: 886893.
Odum, H. T. 1971. Fundamentals of Ecology. Philadelphia: W. B. Saunders.
Rice,
E.
L.
(1984).
Allelopathy,
Second
Edition
edition.
Academic
Press,
Inc., Orlando.
Rick J. Willis (2007). The History of Allelopathy. Springer. ISBN 978-1-4020-4092-4.Page.1-8
Rohman, Fatchur dan I Wayan Sumberartha. 2001. Petunjuk Praktikum Ekologi Tumbuhan.
JICA. Malang.
Weston,
L.
A.
(1996a).
Utilization
of
Allelopathy
For
Weed