Anda di halaman 1dari 35

LEMBAR PERSETUJUAN

Karya Tulis Ilmiah


EFEKTIVITAS DAUN SELEDRI SEBAGAI ANTIOKSIDAN ALAMI
TERHADAP KETAHANAN TAHU

Diajukan oleh
Fitriatul Qubra
NIM. B161009

Komisi Nama Tanda tangan Tangal


pembimbing

Pembimbing I Rhoushandy Arsri F, Amd


NIK. ........................ ....,
Pembimbing II Bustanul Atfal, S.SI
NIK. ........................ ....,

Telah dinyatakan memenuhi syarat


pada tanggal ...........................2018
Ketua program studi
D-III Teknologi Laboratorium Medis
Politeknik “Medica Farma Husada”
Mataram

NIK.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tahu merupakan salah satu bahan makanan pokok yang termasuk
dalam empat sehat lima sempurna. Tahu juga merupakan makanan sehari-hari
yang sering dikonsumsi dalam bentuk makanan ringan seperti gorengan yang
mengandung banyak gizi dan mudah diproduksi. Tahu adalah ekstrak protein
kedelai yang telah digumpalkan dengan menggunakan bahan penggumpal
protein seperti asam, garam kalsium, atau bahan penggumpal lainnya. Selain
memiliki kelebihan, tahu juga memiliki kelemahan yaitu memiliki kandungan
air yang tinggi sehingga membuat tahu mudah rusak (mudah ditumbuhi
mikroba). Disimpan pada kondisi biasa (suhu ruang) daya tahannya rata-rata
hanya1-2 hari saja. Setelah lebih dari batas tersebut rasanya menjadi asam dan
berangsur-angsur busuk. Akibatnya banyak usaha yang dilakukan produsen
tahu untuk mengawetkannya, termasuk menggunakan bahan yang dilarang,
misalnya boraks. (Mujadjanto, 2005).
Salah satu upaya yang dilakukan oleh produsen untuk menghindari
kerugian akibat kerusakan tekstur tahu antara lain berjamur, berlendir,
sehingga menimbulkan bentuk, warna, rasa dan bau berubah adalah dengan
menambahkan pengawet. Penambahan bahan pengawet ini kadang menjadi
kurang aman jika yang digunakan bukan merupakan bahan pengawet yang
dianjurkan untuk makanan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan masa
simpan tahu menjadi lebih panjang. Pengawet yang biasa digunakan oleh para
pembuat tahu adalah pengawet sintetik salah satunya boraks, boraks adalah
senyawa kimia turunan dari logam berat boron (B), boraks merupakan anti
septikdan pembunuh kuman. Adapun alasan penggunaan boraks adalah
harganya yang murah dan boraks berfungsi juga sebagai pengenyal.
Konsumsi boraks dalam jangka waktu yang lama akan menimbulkan penyakit.
sehingga diperlukan adanya alternatif bahan pengawet dari bahan alami. Salah
satunya dapat dijadikan sebagai bahan pengawet alami tersebut adalah daun

1
2

seledri. Seledri merupakan tanaman yang dapat tumbuh baik di dataran


rendah maupun dataran tinggi. Di Indonesia, daun seledri dimanfaatkan
sebagai pelengkap sayuran (LIPI, 2009).
Menurut penelitian, daun seledri memiliki kandungan antioksidan yang
cukup tinggi. Antioksidan merupakan suatu zat yang berfungsi mengurangi
kerusakan sel tubuh akibar proses oksidasi dan radikal bebas. Seledri
merupakan sayuran daun dan tumbuhan obat yang biasa di gunakan sebagai
bumbu masakan. Pada umumnya, seledri adalah tanaman sayur yang tubuh
pada daerah dataran rendah dan dataran tinggi. (Yulianto, 2009).
Seledri memiliki baannyak manfaat bagi kesehatan manusia. Seledri
berkhasiat sebagai obat penurun tekanan darah dan kadar asam urat darah.
Manfaat seledri yang lainnya ditunjukkan dari penelitian Rusdiana et al.
bahwa ekstrak seledri dapat digunakan sebagai gel antioksidan. Hasil
penelitian Rachmawati et al. menunjukkan bahwa ekstrak daun seledri dapat
menghambat pertumbuhan Candida albicans In Vitro (Karyadi, 2014).
Berdasarkan uraian tersebut di atas, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang : “Efektivitas Daun Seledri Sebagai bahan pengawet Alami
Terhadap Ketahanan Tahu”.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah efektivitas daun
seledri sebagai bahan pengawet terhadap ketahanan tahu.

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah efektivitas daun seldri sebagai
bahan pengawet terhadap ketahanan tahu
3

D. Manfaat Penelitian
Manfaat umum dan manfaat khusus
Diketahuinya manfaat daun seledri sebagai antioksidan alami terhadap
ketahanan tahu sehingga dapat memperkaya pengetahuan di bidang tanaman
herbal dan berbagai disiplin ilmu lainnya.

E. Ruang lingkup penelitian


Ruang lingkup penelitian ini merupakan salah satu wujud nyata untuk
mendukung keahlian profesi teknologi laboratorium medic khususnya di
bidang analisa kimia makanan dan minuman.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori
1. Seledri
a. Deskripsi Seledri
Tumbuhan yang tingginya dapat mencapai 0,8 m, berbau khas
jika diremas. Akar tebal, berumbi kecil. Batang bersegi nyata,
berlubang, tidak berambut. Daun majemuk menyirip sederhana atau
beranak daun 3, anak daun melebar, pangkal berbentuk segitiga
terbalik (pasak), hijau mengkilat, ujung daun bergerigi, setiap gerigi
berambut pendek, pangkal tangkai daun umumnya melebar.
Perbungaan berupa bunga majemuk payung, tanpa atau dengan tangkai
tetapi panjangnya tidak lebih dari 2 cm, anak payung 6-15 cabang,
ukuran 1-3 cm, 6-25 bunga, tangkai bunga 2-3 mm, daun mahkota
putih kehijauan atau putih-kekuningan, panjang mahkota bunga 0,5-
0,75 mm. Panjang buah rata-rata 1 mm (Badan POM RI, 2010).
Tanaman ini berasal dari Eropa Selatan. Sekarang ada dimana-
mana, banyak ditanam orang untuk diambil daun, akar dan buahnya.
Batang Apium Graveolens dapat tumbuh dengan ketinggian meter.
Batang tidak berkayu, beralus, beruas, bercabang, tegak dan berwarna
hijau pucat. Daunnya tipis majemuk, daun muda melebar atau meluas
dari dasar, hijau mengkilat, segmen dengan hijau pucat, tangkai
disemua atau kebanyaknn daun. Daun bunganya berwarna putih
kehijauan atau putih kekuningan, yang panjangnya sekitar ½ - ¼ mm.
bunganya tunggal, dengan tangkai yang jelas, sisi kelopak yang
tersembunyi, daun bunga putih kehijauan atau merah jambu pucat
dengan ujung yang bengkok. Bunga betina majemuk, tidak bertangkai
atau bertangkai pendek, sering mempunyai daun berhadapan atau
berbatas dengan tirai bunga. Tirai bunga tidak bertangkai atau dengan
tangkai bunga tidak lebih dari 2 cm panjangnya. Panjang buahnya

4
5

sekitar 3 mm, batang angular, berlekuk, sangat aromatik dan akarnya


tebal (Agus, 2010).
b. Taksonomi Tanaman Seledri
Adapun taksonomi tanaman seledri menurut Herbarium
Medanense (2013) yaitu sebagai berikut:
Kerajaan : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Dicotyledoneae
Suku : Apiales
Famili : Apiaceae
Marga : Apium
Spesies : Apium graveolens L.

Gambar 2.1
c. Morfologi Tanaman Seledri
Daun seledri yang tumbuh dalam pola roset atau berupa daun
majemuk menyirip dengan lima atau tujuh anak daun. Daun melekat
pada batang dengan tangkai daun panjang dan berdaging. Tangkai
daun tegak dan lebar dengan pangkal melingkup atau membentuk
talang. Tangkai daun yang lebih muda lebih lembut (Halfacre dan
Barden, 2004).
Tepi daun seledri umumnya bergerigi dengan pangkal maupun
ujungnya runcing. Tulang-tulang daun menyirip dengan ukuran
panjang 2-7,5 cm, dan lebar 2-5 cm. Tangkai daun tumbuh tegak
6

keatas atau kepinggir batang, panjang sekitar 5 cm, berwarna hijau


keputihan. Batang seledri sangat pendek sehingga tidak kelihatan
(Rukmana, 2003).
Bunga berwarna hijau keputihan, hijau. Memiliki tangkai
kelopak yang panjangnya 2,5 cm. mahkota berbagi lima. Bagian
pangkal berlekatan berwarna putih. Bunga seledri kecil, berwarna
putih kehijauan. Walaupun dapat membuahi sendiri, penyerbukan
bunga seagian besar dibantu oleh serangga penyerbuk (Rubatzky dan
Yamaguchi, 2008).
Seledri memiliki buah yang sangat kecil dengan ukuran 1 mm,
berdaun buah ganda (skizokarp) yang membelah ketika matang
menjadi dua merikarp, berbiji tunggal. Biji berbentuk oval dan sangat
kecil, sekitar 2500 biji per gramnya. Tanaman seledri merupakan
tanaman penghasil biji terbanyak (Rubatzky dan Yamaguchi, 2008).
Sistem perakaran seledri menyebar dan berongga dengan banyak
akar adventif yang mendekati permukaan tanah, sehingga akar-akar ini
akan kelihatan dari luar (Halfacre dan Barden, 2004). 2.1.3. Syarat
Tumbuh Tanaman Seledri Seledri (Apium graveolens) dapat tumbuh
dan berkembang baik di daerah dataran rendah maupun pegunungan.
Tumbuhan seledri dikonsumsi sebagai sayuran, perkebunan seledri di
Indonesia terdapat di Brastagi, Sumatera Utara dan di Jawa Barat
tersebar di Pacet, Pangalengan dan Cipanas yang berhawa sejuk
(Iptek.net, 2015).
Tanaman seledri merupakan tanaman yang sangat bergantung
pada lingkungan. Untuk memperoleh kualitas dan hasil yang tinggi ,
maka tanaman harus ditanam pada kondisi lingkungan yang tepat.
Berdasarkan indikator daerah sentral penanaman seledri di berbagai
wilayah, tanaman ini cocok untuk dikembangkan ke daerah yang
mempunyai ketinggian tempat 1000-1200 meter di atas permukaan
laut, suhu harian 18-24°C, udara sejuk dengan kelembaban antara 80-
90%, serta cukup mendapat sinar matahari (iptek.net, 2015).
7

Tanah merupakan medium alam tempat tumbuhnya tumbuhan


dan tanaman yang tersusun dari bahan-bahan padat, cair dan gas.
Bahan penyusun tanah dapat dibedakan atas partikel mineral, bahan
organik, jasad hidup, air dan gas. Fungsi tanah untuk kehidupan adalah
sebagai medium tumbuh yang menyediakan hara untuk tanaman dan
sebagai penyedia dan penyimpan air (Jumin, 2002).
Fungsi salah satu unsur hara tidak dapat digantikan oleh unsur
yang lain dan apabila terjadi kekurangan suatu hara, akan
menyebabkan kegiatan metabolisme tanaman terganggu atau berhenti.
Pada umumnya tanaman yang kekurangan atau ketiadaan unsur hara
akan menampakkan gejala pada suatu organ tertentu yang spesifik,
biasa disebut dengan gejala kekahatan (Rosmarkam dan Yuwono,
2002).
Tanah yang paling ideal untuk pertanaman seledri adalah jenis
tanah Andosol. Jenis tanah ini pada umumnya berwarna hitam atau
kelabu sampai coklat tua, kaya akan unsur hara, mempunyai struktur
remah dengan tekstur debu atau lempung berdebu sampai lempung.
Reaksi tanah berkisar antara pH 5,0-7,0 (Rukmana, 2003).
Top soil adalah lapisan tanah yang biasanya berwarna coklat tua
atau lebih kehitam-hitaman atau lebih lunak. Lapisan ini adalah tempat
tumbuhnya tanaman, sehingga dapat disebut tanah olah atau tanah
pertanian. Pada lapisan top soil banyak terdapat jasad hidup makro dan
mikro (AAK, 2010).
d. Kandungan Kimia
Seluruh herba seledri mengandung glikosoda apiin (glikosida
flavon), isooquersetin dan umbeliferon. Juga mengandung mannite,
inosite, asparagine, glutamine, choline, linamarose, pro-vitamin A,
vitamin C, dan B. Kandungan asam-asam dalam minyak atsiri pada biji
antara lain asam-asam resin, asam-asam lemak terutama palmitat,
oleat, linoleat dan proteselinat. Senyawa kumarin lain ditemukan
8

dalam biji yaitu bergapten, seselin, isomperatorin, osthenol dan


isopimpilenin (Agus, 2010).
2. Antioksidan
Antioksidan merupakan suatu zat yang mampu menetralisir atau
meredam dampak negatif dari adanya radikal bebas.Radikal bebas sendiri
merupakan suatu molekul yang mempunyai kumpulan elektron yang tidak
berpasangan pada suatu lingkaran luarnya.Manfaat dari antioksidan untuk
menangkal radikal bebas ini yang menjadikan antioksidan sangat banyak
diteliti oleh para peneliti. Berbagai hasil penelitian, antioksidan dilaporkan
dapat memperlambat proses yang dapat diakibatkan oleh radikal bebas
seperti adanya tokoferol, askorbat, flavonoid, dan adanya likopen
(Andriani, 2007).
Terdapat banyak bahan pangan yang dapat dijadikan sumber
antioksidan yang alami misalnya yaitu rempah-rempah, teh, coklat,
dedaunan, biji-biji serealia, sayuran, sumber bahan pangan yang kaya akan
enzim dan protein. Tumbuhan pada umumya merupakan sumber senyawa
antioksidan alami yang berupa senyawa fenolik yang terletak pada hampir
seluruh bagian tumbuhan yaitu pada kayu, biji, daun, buah, akar, bunga
ataupun serbuk sari (Sarastani, dkk., 2002).
Antioksidan mengandung senyawa fenolik atau polifenolik yang
merupakan golongan flavonoid. Senyawa flavonoid sebagai antioksidan
pada masa sekarang ini sangat banyak diteliti, karena senyawa flavonoid
yang terdapat pada antioksidan memiliki kemampuan untuk merubah atau
mereduksi resiko yang dapat ditimbulkan oleh radikal bebas dan juga
dapat dimanfaatkan sebagai anti-radikal bebas (Munisa, dkk., 2012).
Radikal bebas dan spesies oksigen reaktif (ROS) merupakan kondisi
patologik dari penyakit tertentu seperti terjadinya inflamasi, gangguan
metabolik, penuaan sel, aterosklerosis, dan karsinogen. Inflamasi adalah
proses yang diperantarai sintesis prostaglandin dengan katalis
sikooksigenase. Pada proses ini dihasilkan zat antara berupa radikal bebas
(Lautan, 1997). Radikal bebas dan spesies oksigen reaktif (ROS)
9

merupakan radikal hidroksil (OH), radikal anion superoksida (O2),


hidrogen peroksida (H2O2), dan singlet oksigen (O2) Radikal bebas adalah
senyawa oksigen yang reaktif dan tidak memiliki elektron yang tidak
berpasangan. Jika tubuh memiliki kadar radikal bebas yang tinggi memicu
munculnya berbagai macam penyakit degeneratif. Adanya antioksidan
yang dapat membantu melindungi tubuh dari radikal bebas dan dapat
mengurangi atau meredam dampak negatif dari radikal bebas tersebut,
antioksidan menjadi suatu komponen yang sangat penting.Antioksidan
sendiri merupakan suatu molekul yang sangat reaktif yang dapat
menghambat adanya reaksi oksidasi pada tubuh dengan mengikat radikal
bebas (Winarsi, 2007).
Radikal bebas dan ROS menyebabkan kerusakan pada komponen
biologi seperti protein, DNA, dan lipid. Kerusakan makromolekul bisa
menimbulkan katarak, kanker, dan penyakit pembuluh darah (Suryanto
dan Wehantouw, 2009).
Komponen antioksidan dapat dihasilkan tanaman berupa senyawa
fenolik (flavonoid, asam, fenolik, tannin, dan lignan). Komponen fenolik
terbukti mampu menangkal radikal bebas.Senyawa flavonoid telah
teridentifikasi dalam daun bangun-bangun. Struktur kimia flavonoid
memiliki inti flavon terdiri dari 15 atom C dengan 3 cincin C 6-C3-C6 yang
disebut dengan A,B,C.
Pada beberapa proses metabolisme dalam tubuh, terutama reaksi
dengan menggunakan oksigen, terbentuk molekul-molekul dengan
kehilangan elektron (tak berpasangan) di kulit luarnya. Zat-zat ini yang
dinamakan radikal bebas, bersifat sangat reaktif dan cenderung
‘menyerang’ molekul-molekul yang dapat menyerahkan elektron padanya.
Tubuh memiliki suatu jaringan pelindung, berupa antioksidan alamiah
yang mudah dioksidasi (menyerahkan elektron) dan yang menetralkan
sebagian besar radikal bebas tersebut. Zat-zat berperan sebagai antioksidan
alamiah adalah vitamin A, C, dan E, serta enzim-enzim alamiah
10

glutationperoksidase (GPx), superoksida-dismutase (SOD) dan katalase


(Tan dan Rahardja, 2010).
Kebanyakan antioksidan alamiah merupakan senyawa fenolik dari
tumbuhan yang terdapat pada semua bagian tanaman. Senyawa-senyawa
non fenolik termasuk karotenoid dan fosfolipid juga dapat menunjukkan
aktivitas antioksidan pada kondisi-kondisi tertentu. Senyawa fenolik dari
tumbuhan memiliki beberapa fungsi. Senyawa-senyawa tersebut dapat
berperan sebagai radical scavengers, zat pengkhelat, singlet oxygen
quencher atau agen pereduksi (Caballero, 2003).
Senyawa dengan kandungan bioaktif tertentu yang memiliki
kemampuan sebagai antioksidan, melemahkan radikal bebas yang
berpotensi sebagai molekul reaktif jika bereaksi dengan oksigen
(teroksidasi). Reaksi oksidasi dihambat dengan cara reduksi. Karena itulah
antioksidan juga disebut senyawa pereduksi (Lingga, 2012).
1) Mekanisme Antioksidan
Menurut Lingga (2012), dalam menjalankan aktivitasnya,
antioksidan bekerja melalui berbagai cara. Setiap jenis antioksidan
memiliki kinerja yang bervariasi satu dengan yang lainnya. Cara kerja
tersebut meliputi mekanisme sebagai berikut:
a) Mencegah terbentuknya molekul radikal
b) Mereduksi molekul radikal sehingga tidak menjadi berbahaya
c) Memperbaiki kerusakan oksidatif
d) Mengeliminasi molekul yang rusak
e) Meningkatkan aktivitas enzim detoksifikasi tahap ke-2
f) Mencegah terjadinya mutasi
Sistem pertahanan tubuh yang utama dilakukan oleh antioksidan
endogen, selebihnya dilakukan oleh antioksidan eksogen. Antioksidan
endogen merupakan antioksidan alami yang dihasilkan tubuh atau
disebut pula sebagai antioksidan primer, sedangkan antioksidan
eksogen terdiri atas antioksidan sekunder, antioksidan tersier, pengikat
11

oksigen (oxygen scavenger) dan pengikat logam (chelator atau


sequestrans) (Lingga, 2012).
2) Defisiensi Antioksidan
Defisiensi antioksidan dalam tubuh akan mengakibatkan
membran sel dan/atau inti-sel dapat dirusak oleh radikal bebas.
Akibatnya proses menua jaringan dipercepat serta terjadi cacat pada
DNA. Bila tidak direparasi atau dimusnahkan oleh sistem imun, sel
dapat memperbanyak diri menjadi sel-sel ganas. Selain itu radikal
bebas juga dianggap turut bertanggungjawab untuk sejumlah gangguan
lain, seperti pengeruhan lensa mata (staar, katarak) dan pengendapan
oksi-LDL kolesterol pada dinding pembuluh dengan terjadinya
aterosklerosis (Tan dan Rahardja, 2010).

3. Tahu
a. Definisi Tahu
Tahu sebagai salah satu produk olahan kedelai yang merupakan
sumber penyedian protein yang sangat baik tubuh karena jumlah
protein yang dikandungnya serta daya cernanya yang tinggi. Tahu
pertama kali dibuat sekitar tahun 200 SM oleh salah seorang juru
masak Cina yang secara tidak sengaja menambahkan nigari atau
larutan garam ke dalam sari kedelai hingga terjadi proses
penggumpalan menjadi padatan. Sejak saat itu maka tahu sebagai
produk olahan kedelai diterima sebagai suatu sumber kesehatan bagi
orang Asia. Sebagai sumber protein nabati, tahu mempunyai beberapa
keunggulan dibandingkan sumber protein nabati lainnya. Tahu
mengandung air 86 %, protein 8-12%, 4,6% lemak dan 1,6 %
karbohidrat, juga mengandung berbagai mineral seperti kalsium, zat
besi, fosfat, kalium, natrium; serta vitamin seperti kolin, vitamin B dan
vitamin E. Kandungan asam lemak jenuhnya rendah dan bebas
kolesterol. Mutu proteinnya cukup tinggi, sehingga cocok untuk
makanan diet (Koswara, 2009)
12

Dengan demikian, jika seseorang tidak dapat mengkonsumsi


daging atau sumber protein hewani lain, maka kebutuhan protein
tubuhnya dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi tahu. Oleh karena itu,
tahu termasuk golongan makanan yang dianjurkan bagi vegetarian
sebagai pengganti daging (Bruulsema, 2003).
Tahu merupakan suatu produk yang terbuat dari hasil
penggumpalan protein kedelai. Tahu dikenal masyarakat sebagai
makanan sehari-hari yang umumnya sangat digemari serta mempunyai
daya cerna yang tinggi. Keutungan lain pada pembuatan tahu adalah
berkurangnya senyawa antitripsin yang terbuang bersama whey dan
rusak selama pemanasan (Purwaningsih, 2005). Syarat mutu tahu
menurut SNI 01-3142-1998 dapat dilihat pada tabel 2.1
Seperti yang kita ketahui, tahu bersifat mudah rusak. Tahu tampa
pengawet kimia biasanya bertahan 1-2 hari saja. Setelah lebih dari
batas tersebut rasanya menjadi asam lalu berangsur-angsur busuk,
sehingga tidak layak di konsumsi lagi. akibatnya banyak usaha yang di
lakukan produsen tahu untuk mengawetkannya, termasuk
menggunakan bahan pengawet yang di larang, misalnya boraks.
Tabel 2.1 Syarat Mutu Tahu Menurut SNI 01-3142-1998
No Jenis Uji Satuan Persyaratan
1 Keadaan :
a. Bau Normal
b. Rasa Normal
c. Warna Putih normal/kuning
normal
d. Penampak Normal tidak berlendir dan
tidak berjamur
2 Abu % (b/b) Maks. 1,0
3 Protein (N 6,25) % (b/b) Min. 9,0
4 Lemak % (b/b) Min. 0,5
5 Serat Kasar % (b/b) Maks. 0,1
13

6 Bahan tambahan % (b/b) Sesuai SNI 01.0222-1995


pangan dan Peraturan Men. Kes
No.
722/Men.Kes/Per/IX/1998
7 Cemaran Logam :
a. Timbal (Pb) Mg/kg Maks. 2,0
b. Tembaga (Cu) Mg/kg Maks. 30,0
c. Seng (Zn) Mg/kg Maks. 40,0
d. Timah (Sn) Mg/kg Maks. 40,0 / 250,0
e. Raksa (Hg) Mg/kg Maks. 0,03
8 Cemaran Arsen (As) Mg/kg Maks. 1.0
9 Cemaran Mikroba :
a. Escherichia coli APM/g Maks. 10
b. Salmonella 25 g Negatif
Sumber : Badan Standarisasi Nasional (1998).
b. Bahan Pembuatan Tahu
1) Kedelai
a. Definisi
Kedelai merupakan salah satu hasil pertanian yang sangat
penting artinya sebagai bahan makanan, karena jumlah dan
mutu protein yang dikandungnya sangat tinggi yaitu sekitar 40
% dan susunan asam amino essensialnya lengkap sehingga
protein kedelai mempunyai mutu yang mendekati mutu protein
hewani (Hardjo, 2006).
Sebagai bahan baku makanan, kedelai termasuk bahan
makanan yang mempunyai susunan zat yang lengkap dan
mengandung hampir semua zat-zat gizi yang dibutuhkan oleh
tubuh dalam jumlah yang cukup (Winarno dan Rahman, 2014).
Protein kedelai yang sebagian besar adalah globulin,
mempunyai titik isoelektris 4,1-4,6. Globulin akan mengendap
pada pH 4,1 sedangkan protein lainnya seperti proteosa,
14

prolamin dan albumin bersifat larut dalam air sehingga


diperkirakan penurunan kadar protein dalam perebusan
disebabkan terlepasnya ikatan struktur protein karena panas
yang menyebabkan terlarutnya komponen protein dalam air
(Anglemier and Montgomery, 2006).
b. Klasifikasi kedelai
Klasifikasi kedelai sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermathopyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Fabales
Familia : Fabaceae
Sub family : Faboideae
Genus : Glycine (L.) Merrl.
Spesies : Glycine max (Koswara, 1992)
Budidaya kedelai meliputi pembibitan, pengolahan media
tanam, teknik penanaman, dan pemeliharaa tanaman. Panen
kedelai dilakukan apabila sebagian besar daun sudah
menguning, tetapi bukan karena serangan hama atau penyakit,
lalu gugur, buah mulai berubah warna dari hijau menjadi
kuning kecoklatan dan retak-retak, atau polong sudah kelihatan
tua, batang berwarna kuning agak coklat dan gundul. Panen
yang terlambat akan merugikan, karena banyak buah yang
sudah tua dan kering, sehingga kulit polong retak-retak atau
pecah dan biji lepas berhamburan. Disamping itu, buah akan
gugur akibat tangkai buah mengering dan lepas dari cabangnya.
Perlu diperhatikan umur kedelai yang akan dipanen yaitu
sekitar 75 - 110 hari, tergantung pada varietas dan ketinggian
tempat. Perlu diperhatikan, kedelai yang akan digunakan
sebagai bahan konsumsi dipetik pada usia 75-100 hari,
sedangkan untuk dijadikan benih dipetik pada umur 100-110
15

hari, agar kemasakan biji betul-betul sempurna dan merata


(Prihatman, 2010).
Kedelai yang tumbuh secara liar di Asia Tenggara
meliputi sekitar 40 jenis. Penyebaran geografis dari kedelai
mempengaruhi jenis tipenya. Terdapat 4 tipe kedelai yakni: tipe
Mansyuria, Jepang, India, dan Cina. Dasar-dasar penentuan
varietas kedelai adalah menurut: umur, warna biji dan tipe
batang. Varietas kedelai yang dianjurkan yaitu: Otan, No. 27,
No.29, Ringgit 317, Sumbing 452, Merapi 520, Shakti 945,
Davros, Economic Garden, Taichung 1290, TKG 1291, Clark
1293, Orba 1343, Galunggung, Lokon, Guntur, Wilis, Dempo,
Kerinci, Raung, Merbabu, Muria dan Tidar. Kandungan protein
dan gizi masing-masing varietas kedelai dapat dilihat pada
tabel 2.2 dan tabel 2.3.
Tabel 2.2 Beberapa varietas kedelai dan kandungan proteinnya
No Varietas Kedelai Kadar Protein (%)
1 Otan 36,7
2 No. 27 40
3 No. 29 43
4 Ringgit 217 39
5 Sumbing 452 39,3
6 Merapi 520 41
7 Shakti 945 41,6
8 Davros 37,,13
9 Taichung 1290 39
10 TKG 1291 35,5
11 Orba 1343 38,5
12 Galunggung 44
Sumber : Suprapto (1999)
Tabel 2.3 Kandungan gizi kedelai kering per 100 gram
No Komposisi Jumlah
16

1 Kalori (kkal) 331,0


2 Protein (g) 34,9
3 Lemak (g) 18,1
4 Karbohidrat (g) 34,8
5 Kalsium (mg) 227,
6 Fosfor (mg) 585,0
7 Besi (mg) 8,0
8 Vitamin A (SI) 110,0
9 Vitamin B1 (mg) 1,1
10 Air (g) 7,5

2) Bahan Penggumpal
Penggumpalan merupakan tahapan proses yang paling
penting karena adanya korelasi yang kompleks pada variabel sifat
kimia (total padatan, pH, volume) kedelai, tipe, jumlah dan
konsentrasi penggumpal, metode penambahan dan pencampuran
serta suhu dan waktu penggumpalan. Bahan penggumpal
merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap rendemen
dan kualitas tahu. Bahan penggumpal sari kedelai pada pembuatan
tahu terdapat beberapa tipe. Di Indonesia, tipe penggumpal asam
banyak digunakan oleh sentra industri tahu. Penggumpalan susu
kedelai dalam pembuatan tahu menggunakan cara fermentasi
merupakan salah satu cara yang banyak dilakukan oleh produsen
tahu lokal. Cara ini menggunakan whey yang dibiarkan selama satu
hari sehingga bakteri asam laktat dapat tumbuh dan memproduksi
asam laktat. Kemudian dicampur dengan susu kedelai untuk
digumpalkan (Susanti, 2009).
Tahu yang berasal dari protein kedelai yang digumpalkan
melalui penambahan suatu bahan penggumpal (Liu, 2007). Pada
umumnya produsen menggunakan bahan kimia sebagai
penggumpalnya maka perlu dicari alternatif bahan penggumpal
17

alami yang salah satunya adalah bittern. Air bittern didefinisikan


oleh Lewis (2008) sebagai larutan sisa pembuatan garam melalui
proses kristalisasi dan peningkatan konsentrasi air laut yang
mengandung mineral brom, magnesium, natrium, kalium dan
kalsium. Unsur mineral inilah yang berfungsi sebagai penggumpal.
Bittern yang dimanfaatkan sebagai penggumpal pada pembuatan
tahu, memiliki kelebihan rasanya lebih enak dibandingkan tahu
dengan koagulan cuka. Batu tahu (CaSO4) paling umum
digunakan untuk menggumpalkan dan sering digunakan
berdasarkan perkiraan saja, dimana batu tahu diencerkan dalam air
secukupnya lalu ditambahkan ke dalam susu kedelai sampai
menggumpal dan penggunaan batu tahu dihentikan. Penambahan
batu tahu akan menyebabkan terjadinya koagulasi. Hal ini
disebabkan oleh ion Ca++ yang bereaksi dan berikatan dengan
protein susu kedelai dan bersama lipid membentuk gumpalan
(Santoso, 2003).
Cairan sisa (whey) proses penggumpalan dalam pembuatan
tahu masih dapat digunakan lagi sebagai bahan penggumpal dalam
proses penggumpalan selanjutnya. Di samping itu, dapat
dimanfaatkan untuk beberapa macam keperluan untuk pembuatan
makanan ataupun minuman. Jika tidak dimanfaatkan dan langsung
dibuang ke lingkungan, whey justru akan menyebabkan
pencemaran lingkungan. Sewaktu masih baru, cairan sisa (limbah
tahu) tersebut tidak berbau. Namun apabila tertimbun dalam waktu
lebih dari enam jam, akan menimbulkan bau yang semakin lama
semakin menyengat. Agar dapat digunakan untuk menggumpalkan
protein dalam pembuatan tahu, cairan sisa harus disimpan selama
24 jam untuk memberikan kesempatan pada bakteri asam cuka
untuk memfermentasikannya, sehingga kemampuannya menjadi
seimbang dengan tugas yang dibebankan kepadanya. Bahan ini
18

selain aman juga sangat ekonomis karena sudah tersedia di tempat


pembuatan tahu (Suprapti, 2005).

c. Proses Pembuatan Tahu


Tahu merupakan makanan yang digemari semua kalangan
masyarakat di Indonesia. Tahu adalah ekstrak protein kedelai yang
telah digumpalkan dengan asam, ion kalsium, atau penggumpal
lainnya. Tahu telah menjadi konsumsi masyarakat luas, baik sebagai
lauk maupun sebagai makanan ringan (Cahyadi, 2007).
Menurut Purwaningsih (2005), tahu merupakan suatu produk
yang terbuat dari hasil penggumpalan protein kedelai. Keutungan lain
pada pembuatan tahu adalah berkurangnya senyawa antitripsin yang
terbuang bersama whey dan rusak selama pemanasan. Proses
pembuatan tahu terdiri dari dua bagian, yaitu pembuatan susu kedelai
dan penggumpalan proteinnya. Sebagai zat penggumpal secara
tradisional biasanya digunakan biang, yaitu cairan yang keluar pada
waktu pengepresan dan sudah diasamkan semalam. Beberapa faktor
yang mempengaruhi rendemen protein dan mutu tahu adalah cara
penggilingan atau ekstraksi, pemilihan bahan baku, bahan
penggumpal, dan keadaan sanitasi proses pengolahan pada umumnya.
Secara umum proses pembuatan tahu meliputi: 1. Pencucian kedelai 2.
Perendaman kedelai 3. Penggilingan kedelai 4. Pemasakan bubur
kedelai 5. Penyaringan bubur kedelai 6. Penggumpalan sari kedelai 7.
Pencampuran padatan tahu dan cairan 8.
Proses pembuatan tahu dimulai penyiapan biji kedelai yang tua.
Biji kedelai perlu disortasi agar nantinya memperoleh produk tahu
kualitas baik. Setelah sortasi kemudian dilakukan pencucian, dengan
pencucian maka kotoran-kotoran yang melekat maupun tercampur di
antara biji dapat hilang. Setelah dicuci bersih kedelai direndam dalam
19

bak air selama sekitar 6-12 jam. Dengan perendaman ini, kedelai akan
menyerap air, sehingga lebih lunak dan kulitnya mudah dikupas.
Pengupasan kulit dilakukan dengan cara kedelai diremas-remas dalam
air, kemudian dihilangkan kulitnya dan terjadilah keping-keping
kedelai. Setelah terbentuk keping-keping kedelai kemudian digiling
dengan penambahan air panas dengan perbandingan 1:8. Tujuan
penambahan air panas untuk menginaktifkan enzim lipoksigenase
dalam kedelai yang menyebabkan timbulnya bau langu. Bubur kedelai
yang diperoleh sebagai hasil penggilingan selanjutkan dididihkan.
Tujuan pendidihan adalah untuk menginaktifkan zat antinutrisi kedelai
dan sekaligus meningkatkan nilai cerna. Proses selanjutnya bubur
kedelai disaring untuk mendapatkan sari kedelai. Sari kedelai yang
dihasilkan kemudian digumpalkan. Setelah terbentuk gumpalan
kemudian dicetak. Dalam keadaan hangat, bubur kedelai dimasukan
kedalam cetakan yang beralaskan kain saring halus. Dibiarkan bubur
tahu dalam cetakan selama 10-15 menit atau sampai cukup keras (tidak
hancur bila diangkat) dan air yang menetes dari cetakan sedikit.
Potong tahu sesuai dengan ukuran yang dikehendaki. Sebelum produk
tahu dipasarkan dilakukan perebusan terlebih dahulu dan dibiarkan
dalam air rebusan sampai saat dijual. Perebusan bertujuan agar tahu
tidak menjadi basi (Santosa, 2006).
d. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas tahu
Faktor-faktor yang mempengaruhi tahu di antaranya :
1) Bahan dasar yang digunakan kualitasnya harus betul-betul baik
sehingga tahu yang dihasilkan akan baik pula, dipilih kedelai yang
berkualitas bagus memiliki kandungan gizi tinggi dan tidak
berbahaya untuk dikonsumsi.
2) Bahan penggumpal yang digunakan merupakan salah satu faktor
yang berpengaruh terhadap rendemen dan kualitas tahu.
Penggumpalan merupakan tahapan proses yang paling penting
karena adanya korelasi yang kompleks pada variabel sifat kimia
20

(total padatan, pH, volume) kedelai, tipe, jumlah dan konsentrasi


penggumpal, metode penambahan dan pencampuran serta suhu dan
waktu penggumpalan.
3) Proses pengilingan merupakan tahapan yang penting dalam
pembuatan tahu, sebelum digiling kedelai direndam dalam air
dengan tujuan untuk mendapatkan kedelai yang lunak sehingga
proses penggilingan dapat berjalan sempurna dan mendapatkan
bubur kedelai yang benar-benar halus dan lembut (Koswara, 2010)
21

B. Kerangka Konsep
Kerangka konsep adalah abstraksi yang terbentuk oleh generalisasi dari
hal khusus (Notoatmojo, 2010).

Antioksidan Alami
Daun Seledri

Ketahanan Tahu

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian(cahyadi, 2007)


(Cahyadi, 2007)
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Desain penelitian adalah suatu rencana tentang cara mengumpulkan dan
menganalisis data agar dapat dilaksanakan secara ekonomis serta serasi
dengan tujuan penelitian (Nasution, 2012). Desain penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat eksperimental yang
bersifat laboratoris (Nursalam, 2011). Penelitian ini akan dilakukan untuk
mengetahui efektifitas daun seledri sebagai bahan pengawet alami terhadap
ketahanan tahu.

B. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini akan dilakukan pada bulan april 2019 di Laboratorium
Politeknik Medica Farma Husada.

C. Variable penelitian
1. Variabel bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah Konsentrasi daun seledri.
2. Variabel terikat
Variabel terikat pada penelitian ini adalah daya simpan tahu.

D. Definisi operasional
1. Tahu dapat dibuat bermacam-macam produk turunan, antara lain tahu
goring, tahu isi, stick tahu, tahu burger, dan sebagainya. Kualitas kedelai
sebagai bahan baku tidak terlalu ditekankan, yang terpenting tersedia
secara kontinu. Namun demikian, kedelai impor lebih disukai karena
bentuknya seragam dan tidak tercampur dengan kotoran, sedangkan biji
kedelai lokal mempunyai bentuk, warna dan ukuran yang tidak seragam
(Adisarwanto, 2002)
2. Pengawet alami

22
23

Pengawet alami adalah bahan yang di gunakan untuk mencegah


perkembangbiakan mikroorganisme yang terbuat dari bahan alami.
3. Pengawet sintetis
Pengawet sintesis adalah bahan yang di gunakan untuk membunuh dan
mencegah perkembangbiakan mikroorganisme yang terbuat dari bahan
sintetis, contohnya boraks.
4. Seledri adalah daun dan tumbuhan obat yang biasa di gunakan sebagai
bumbu masak.

E. Populasi sampel
1. Populasi
Sampel yang di gunakan cuman 2 sampel tahu, yang pertama tahu yang di
olah dan di campurkan ekstra daun seledri sedangkan yang kedua dengan
cara tahu yang sudah jadi di rendam dengan ekstra daun seledri.
2. Sampel
Sampel yang di gunakan dalam penelitian ini adalah tahu yang berada di
kekalik gerisak kecematan mataram.

F. Teknik pengumpulan data


Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer
adalah data yang diperoleh secara langsung dari hasil uji di laboratorium.

G. Alat, Bahan
1. Alat
Alat-alat yang akan digunakan dalam penelitian ini untuk pembuatan
tahu yaitu : ember besar, tampah, kain penyaring, pengaduk, cetakan,
keranjang, rak bambu, tungku/kompor dan penggiling kedelai. Sedangkan
peralatan yang digunakan untuk ekstraksi daun seledri meliputi tampah,
oven, timbangan, blender, ayakan berukuran 50 mesh, gelas kimia, gelas
ukur, pipet tetes, kertas saring, pengaduk, penyaring buchner, dan rotary
evaporator.
2. Bahan
24

Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua
yaitu bahan pembuatan tahu dan bahan pembuatan ekstrak seledri. Bahan-
bahan yang digunakan untuk pembuatan tahu meliputi : kedelai, air, cuka,
dan ekstrak daun seledri. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan untuk
pembuatan ekstrak seledri meliputi daun seledri, akuades, dan etanol 96%.

H. Metode Penelitian
1. Pembuatan Tahu
a. Pembuatan Tahu Untuk Teknik Non-Rendaman
Pembuatan tahu untuk teknik non-rendaman diawali dengan
memilih kedelai yang besar dan sehat, kemudian dicuci bersih. Kedelai
bersih tersebut kemudian direndam dalam air bersih (3 liter air bersih
untuk 1 kg kedelai bersih) selama 8 jam. Setelah 8 jam perendaman,
kedelai dicuci bersih dan digiling hingga halus. Selama proses
penggilingan juga ditambahkan air hangat sedikit demi sedikit hingga
berbentuk bubur. Bubur kedelai ini kemudian dimasak pada suhu 700
– 8000C hingga matang. Setelah bubur kedelai matang, bubur disaring
dan diendapkan airnya menggunakan cuka (3 ml cuka untuk 1 liter
bubur kedelai). Endapan bubur kedelai diambil kemudian ditambahkan
dengan ekstrak seledri dan diaduk hingga merata. Kemudian endapan
bubur kedelai diambil kemudian dipress dan dicetak. Setelah itu, tahu
yang sudah terbentuk direbus dengan suhu 50 – 600C.
b. Pembuatan Tahu untuk Teknik Rendaman
Pembuatan tahu untuk teknik rendaman hampir sama seperti
pembuatan tahu untuk teknik rendaman yaitu diawali dengan memilih
kedelai yang besar dan sehat,kemudian dicuci bersih. Kedelai bersih
tersebut kemudian direndam dalam air bersih (3 liter air bersih untuk 1
kg kedelai bersih) selama 8 jam. Setelah 8 jam perendaman, kedelai
dicuci bersih dan digiling hingga halus. Selama proses pengilingan
juga ditambahkan air hangat sedikit demi sedikit hingga berbentuk
bubur. Bubur kedelai ini kemudian dimasak pada suhu 700 – 800 0C
25

hingga matang. Setelah bubur kedelai matang, bubur disaring dan


diendapkan airnya menggunakan cuka (3 ml cuka untuk 1 liter bubur
kedelai). Endapan bubur kedelai diambil kemudian dipress dan
dicetak. Setelah itu, tahu yang sudah terbentuk direbus dengan suhu
50 – 600C. Tahu yang sudah terbentuk kemudian direndam dengan
ekstrak seledri dengan kadar kurang dari 12,5 selama 8 jam.
2. Ekstraksi Daun Seledri Metode Maserasi
Pembuatan ekstrak daun seledri dilakukan dengan mencuci 1 kg
seledri hingga bersih dengan air mengalir dan kemudian di tiriskan. Daun
seledri yang sudah bersih tersebut kemudian dipotong-potong lalu
dimasukkan ke dalam oven selama 20 jam pada suhu 50ºC. Daun seledri
yang sudah kering ini ditimbang, selanjutnya diserbukkan dengan cara
diblender. Serbuk seledri ini kemudian diayah menggunakan ayakan
berukuran 50 mesh. Serbuk halus seledri ini kemudian direndam dengan
etanol 96% pada toples kaca bertutup dengan perbandingan 1:2 b/v selama
16 jam. Hasil rendaman ini kemudian disaring dan diambil filtratnya.
Filtrat ini kemudian dimaserasi menggunakan etanol 96%. Semua maserat
yang dihasilkan kemudian dievaporasi pada suhu 40-50°C selama 3 jam.
Ekstraksi daun seledri sebagai antioksidan alami terhadap ketahanan
tahu dilakukan dengan metode maserasi menggunakan etanol 96%.
Kemudian diberikan perlakuan sebanyak dua kali untuk masing-masing
teknik yaitu kontrol positif (pemberian ekstrak daun seledri pada
rendaman tahu dan pemberian ekstrak daun seledri pada komposisi tahu)
dan kontrol negatif (tahu tanpa penambahan ekstrak seledri).
26

3. Langkah Kerja

Daun Seledri 1 kg

Pembuatan ekstrak:
Pencucian
Penirisan

Dipotong-potong dan masukkan ke


dalam oven selama 20 jam dengan
suhu 500C

Ditimbang
Diserbukkan dengan cara
diblender

Direndam
Dengan menggunakan
etanol 96%

Disaring
Ambil filtratnya

Metode maserasi
menggunakan etanol 96%

Dievaporasi pada suhu 40-


50°C selama 3 jam

Pembuatan ekstrak daun seledri sebagai


antioksidan alami

Uji efektifitas daun seledri sebagai


antioksidan alami terhadap ketahanan tahu

Analisis data
27

I. Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil uji laboratorium selanjutnya dianalisis
secara statistik dengan menggunakan uji ANOVA dengan tujuan untuk
mengetahui efektivitas daun seledri sebagai antioksidan alami terhadap
ketahanan tahu. Perubahan yang terjadi pada ketahanan tahu dianalisis secara
kualitatif dengan melihat dan membandingkan masing-masing teknik yaitu
kontrol positif (pemberian ekstrak daun seledri pada rendaman tahu dan
pemberian ekstrak daun seledri pada komposisi tahu) dan kontrol negatif (tahu
tanpa penambahan ekstrak seledri). Analisis dilakukan dengan fasilitas
pengolah dan penyaji data Statistical Product and Service Solution (SPSS)
20 for Windows (Santoso, 2012).
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Penelitian


Penelitian ini telah dilaksanakan di Laboratorium Politeknik Medica
Farma Husada. Sampel yang digunakan adalah tahu yang berada di Kekalik
Gerisak Kecematan Mataram. Kemudian daun seledri ditimbang sebanyak 1
kg dan di cuci hingga bersih dengan menggunakan air mengalir dan ditiriskan.
Daun seledri dikeringkan selama 24 jam kemudian diblender sampai halus,
lalu dimasukkan etanol 96% sebanyak 600 ml dengan perbandingan 217,0 :
600. Setelah itu didiamkan selama 16 jam lalu di saring menggunakan kertas
saring, hasil saringan sebanyak 400 ml, kemudian di evaporasi selama 3 jam,
hasil evaporasi di ukur sebanyak 60 ml, hasil evaporasi tersebut direndam
dengan tahu selama 2 hari.

B. Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil pengamatan penelitian ketahanan tahu dapat
diketahui bahwa tahu dengan ekstrak seledri rata-rata memiliki ketahanan
yang lebih lama daripada yang tahu tanpa perlakuan.
Tabel 1.1 Hasil Pengamatan Ketahanan Tahu
Hari Tahu Asli Tahu yang direbus dan
(Waktu) (Perubahan)/direbus direndam dengan seledri
0 Dalam keadaan baik Dalam keadaan baik
1 Berlendir dan tidak bau Tidak bau dan tidak berlendir
2 Berlendir, bau dan sedikit Tidak bau dan sedikit berlendir
berwarna
3 Berlendir, bau dan berwarna Agak bau dan berlendir
pink
Pemberian ekstrak seledri yang menunjukkan ketahanan tahu yang baik
adalah tahu dengan pencampuran ekstrak langsung ke adonan tahu dan setelah
pengepresan direbus dan disimpan dengan penambahan air. Ketahanan
masing-masing tahu (dalam hari) ditunjukkan dalam tabel 1.2 berikut :

Tabel 1.2. Hasil Penelitian


Jenis tahu Biasa Rendaman
Ketahanan <1 2
harian

C. Pembahasan
Hari Tahu Asli Tahu yang direbus dan
(Waktu) (Perubahan)/direbus direndam dengan seledri
0 Dalam keadaan baik Dalam keadaan baik
1 Berlendir dan tidak bau Tidak bau dan tidak berlendir
2 Berlendir, bau dan sedikit Tidak bau dan sedikit berlendir
berwarna
3 Berlendir, bau dan berwarna Agak bau dan berlendir
pink

Berdasarkan hasil penelitian yang ditunjukkan pada tabel 1.1, maka


dapat dijelaskan bahwa tahu asli yang direbus hanya dapat bertahan dalam 1
hari namun sudah dalam keadaan berlendir tetapi tidak bau. Sedangkan pada
tahu yang direbus dan direndam dengan seledri mampu bertahan dalam 2 hari,
walaupun tidak bau namun agak sedikit berlendir tergantung dari perlakuan
yang diberikan. Kemudian untuk penambahan ekstrak daun seledri dengan
teknik biasa hanya mampu bertahan <1 hari. Sedangkan untuk penambahan
ekstrak seledri dengan menggunakan teknik perendaman mampu bertahan
sampai 2 hari. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan ekstrak daun seledri
dengan menggunakan teknik rendaman lebih efektif untuk meningkatkan
ketahanan tahu. Teknik rendaman ini cukup efektif karena air rendaman
hanya mengandung sedikit zat organik yaitu ekstrak seledri itu sendiri, zat
organik tersebut ketika berinteraksi dengan udara lebih mudah untuk
terkontaminasi, namun karena zat organiknya sedikit sehingga tidak
menimbulkan bau.
Kemudian pada tahu yang diberikan penambahan ekstrak daun seledri
diberikan dua perlakuan yaitu biasa dan rendaman. Dari hasil perlakuan
menunjukkan bahwa tahu yang diperlakukan dengan menggunakan teknik
biasa tidak dapat bertahan sampai 1 hari sedangkan pada tahu asli yang
diperlakukan dengan menggunakan teknik rendaman dengan extrak seledri
mampu bertahan dalam 1 hari namun agar sedikit berlendir. Hal ini
menunjukkan bahwa tahu yang direbus dan direndam dengan ekstrak seledri
memiliki ketahanan cukup lama dibandingkan dengan tahu yang hanya
direbus tanpa direndam dengan ekstrak seledri. Daya tahan tahu yang direbus
lebih rendah daripada yang direbus dan direndam dengan ekstrak seledri,
karena pada tahu yang hanya direbus masih memungkinkan terjadinya proses
pembusukan.
Tahu yang diberi penambahan ekstrak seledri dengan teknik biasa
hanya dapat bertahan <1 hari. Hal ini telah menunjukkan bahwa metode ini
kurang efektif untuk meningkatkan ketahanan tahu. Sedangkan tahu dengan
teknik rendaman ketahanan yang lebih lama yaitu 2 hari. Hal ini dikarenakan
teknik rendaman dapat mengurangi interaksi tahu dengan udara secara
langsung. Selain itu, teknik rendaman dapat menjaga tekstur tahu agar tidak
berongga sehingga dapat terisi udara yang banyak mengandung bakteri.
Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa untuk
meningkatkan ketahanan tahu dengan ekstrak seledri yang paling efektif
adalah dengan direbus dan direndam, kemudian setelah dipress
mengontaminasi saat proses pengepressan, dan memberikan air untuk
menyimpan tahu. Hal ini bertujuan agar antibakteri yang terkandung dalam
ekstrak seledri dapat tersebar merata diseluruh tahu, untuk
menghilangkan bakteri yang mungkin, dan agar bakteri tidak langsung
mengontaminasi tahu.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan
diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penambahan ekstrak seledri
dengan teknik rendaman dapat meningkatkan kualitas tahu yang dapat
diamati dari ketahanan tahu yang semakin lama. Adapun efektivitas ekstrak
seledri terhadap ketahanan tahu dengan menggunakan teknik rendaman paling
efektif untuk meningkatkan ketahanan tahu dari pada teknik yang lain.

B. Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang aktivitas antioksidan
sebagai ketahanan tahu untuk serbuk herba seledri.
2. Perlu dipertimbangkan adanya pengaruh absorbansi larutan uji pada hasil
pengukuran aktivitas antioksidan alami terhadap ketahanan tahu.
3. Perlu dilakukan orientasi konsentrasi larutan uji yang dibuat agar nilai
absorbansinya masuk dalam range absorbansi kurva baku dan didapatkan
hasil pengukuran yang memenuhi parameter validasi.
DAFTAR PUSTAKA

Aak. 2010. Teknik Bercocok Tanam Jagung.Kanisius. Yogyakarta


Agus, 2010. Manfaat Tanaman. http://agustarsana.blogspot.co.id/2010/11/pala -
myristica-fragan-haitt-1.html.
Anglemier, A.E. and M. W. Montgomery, 1976. Amino Acids Peptides and
Protein. Mercil Decker Inc. New York.
Andriani, 2007. Pengaruh Asam Asetat dan Asam Laktat sebagai
AntibakteriTerhadap Bakteri Salmonella sp. Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner 2007: 930 – 934.
Badan POM RI, 2010. Acuan Sediaan Herbal, Vol. 5, Edisi I, Direktorat Obat.
Asli Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik.
Bruulsema. 2003. Fertilizer and Tofu, Better Corps.PDF
Caballero, R. (2003). Developing Standard Operating Procedure in Wildland
Fire Management. Leadership Toolbox Reference SOP Workbook.
Cahyadi, W., 2007. Teknologi dan Khasiat Kedelai, Bumi Aksara, Jakarta
Halfacre, R.G. dan J.A.Barden. 2004. Horticulture. Mc.Graw -Hill. Book
company. United Stated of America
Jumin, 2002. Agronomi. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), 2009. Kolesterol, Pangan dan
Kesehatan. UPT - Balai Informasi Teknologi.
Majidah, 2014. Daya Antibakteri Ektrak Daun Seledri (Apium Graveolens L)
Terhadap Pertumbuhan Streptococcus Mutan Sebagai Alternative Obat
Kumur. 777-780:Printice-Hal I. New Jersey.
Nursalam. (2011). Konsep dan penerapan metodologi penelitian
ilmu keperawatan. Salemba Medika. Jakarta

P(u)rwaningsih,S.,2005,Isolasi,Enumerasi, dan karakterisasi Bakteri Rhizobium


Rosmarkam dan Nasih Widya Yuwono, 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius.
Yogyakarta.
Rubatzky dan Yamaguchi. 2008. Sayuran Dunia, Prinsip, Produksi, dan Gizi.
Bandung : ITB.
Rukmana, 2003. Budidaya Stevia. Kanisius. Jakarta.
Sarastani, 2002. Aktivitas Antioksidan Ekstrak dan Fraksi Ekstrak Biji Atung.
Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 13:149-156.
Susanti, Seprita. 2009. Model Pengembangan Industri Kecil di Era
Otonomi Daerah (Implikasi Perencanaan di Kota Solok).
Santoso, Singgih. (2003). Mengatasi Berbagai Masalah Statistik dengan SPSS
versi 11.5. PT. Elex Media Komputindo. . Jakarta.
Suryanto, Edi., Wehantouw, Frenly., 2009, Aktivitas Penangkap Radikal Bebas
Ekstrak Fenolik Daun Sukun (Artocarpus altilis), Universitas Sam
Ratulangi, Manado.
Suprapti, M. 2005. Kedelai Tradisional. Kanisius. Jogjakarta.
Tjay dan Rahardja, 2010. Obat-Obat Penting. Elex Media Komputindo. Jakarta
Winarsi, 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Kanisius. Yogyakarta
Winarno F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Yulianto, 2009, Buku Pedoman Pengolahan Sampah Terpadu: Konversi Sampah
Pasar Menjadi Kompos Berkualitas Tinggi. Jakarta: YDP

Anda mungkin juga menyukai