OLEH :
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas segala
rahmat dan hidayah-Nya maka kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan
salah satu penilaian dalam menyelesaikan mata kuliah Kultur Jaringan. Dalam
proses penulisan makalah ini penulis sedikit mengalami kesulitan. Namun berkat
adanya bantuan, bimbingan serta motivasi dari berbagai pihak yang dengan penuh
kesabaran dan telah meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya sehingga kesulitan
tersebut dapat diatasi dan penulisan makalah ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya.
namun partisipasi dari pihak-pihak lain yang ingin memberikan masukan dan
ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
tanaman jahe yang banyak dikonsumsi masyarakat sebagai bahan obat (Tim
Lentera, 2002). Jahe merah ini berbeda dari jahe biasa yang banyak
kandungan minyak atsiri dan oleoresin pada jahe merah lebih tinggi
diatasi dengan jahe merah antara lain, sakit kepala (pusing), sinusitis,
bronkitis, rematik, asam urat, dan batu ginjal (Tim Lentera, 2002). Sinerginya
dengan bahan alami lainnya juga dapat mengobati beberapa penyakit. Selain
minyak atsiri dan oleoresin, jahe merah juga mengandung gingerol dan
shogaol (Sakamura & Suga, 1989). Jahe juga dilaporkan dapat digunakan
dkk., 2002).
tanaman jahe lainnya, penyediaan bibit telah dilakukan dengan beberapa cara
1989). Budi daya jahe di rumah kaca menghasilkan rizom yang lebih banyak
karena lingkungan tumbuhnya dapat lebih mudah dikontrol dibandingkan
dapat ditekan juga oleh karena lingkungan yang lebih terkontrol. Secara
kultur jaringan, laporan khusus tentang budidaya jahe merah sangat terbatas.
Dengan menggunakan benih jahe beberapa varietas bukan jahe merah, telah
pucuk (Sakamura & Suga, 1989; Pandey dkk, 1997; Khatun dkk 2003;
(Martin, 2005). Upaya pembentukan jahe tetraploid ini perlu dilakukan untuk
mendapatkan rizom yang mempunyai ukuran lebih besar dari ukuran rizom
berbeda (Ma & Gang, 2006). Konservasi secara in vitro pada jahe juga belum
secara in vitro.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
D. Manfaat
TINJAUAN PUSTAKA
1. Kultur Jaringan
disebut kultur in vitro yakni teknik pemeliharaan jaringan atau bagian dari
bersangkutan. In vitro berasal dari bahasa Latin yang artinya “di dalam
kaca”. Jadi kultur in vitro daapat diartikan sebagai bagian jaringan yang
dibiakkan di dalam tabung inkubasi atau cawan petri dari kaca atau
Genetic Potential), bahwa setiap sel memiliki potensi genetik seperti zigot
lengkap.
Menurut Mariska (2002), seleksi in vitro merupakan salah satu
metode dari keragaman somaklonal tetapi lebih efektif dan efisien karena
kultur jaringan sebenarnya sangat sederhana, yaitu suatu sel atau irisan
dan dipelihara dalam medium padat atau cair yang cocok dan dalam
keadaan steril. Dengan cara demikian sebagian sel pada permukaan irisan
maka akan terbentuk tanaman kecil yang lengkap dan disebut planlet.
Dengan teknik kultur jaringan ini hanya dari satu irisan kecil suatu
jaringan tanaman dapat dihasilkan kalus yang dapat menjadi planlet dalam
sel seperti yang dikemukakan oleh Schleiden, yaitu bahwa sel mempunyai
2. Jahe
3 variates, yaitu :
dan lebih kecil dari pada jahe putih kecil, dengan diameter 42 s/d
43mm, tinggi 52 s/d 104mm, panjang 123 s/d 126mm. Sama seperti
jahe kecil, jahe merah selalu dipanen setelah tua, dan juga memiliki
ramuan obat-obatan.
disebut juga jahe gajah atau jahe badak. Rimpangnya lebih besar dan
PEMBAHASAN
menjadi tanaman kecil yang sifatnya akan sama seperti induknya. Kultur jaringan
dalam bahasa inggris juga disebut tissue culture. Atau pengertian kultur jaringan
menurut bahasa adalah kultur yang berarti budidaya, sedangkan jaringan adalah
sekelompok sel yang memiliki bentuk dan juga fungsi yang sama. Dapat juga
bunga serta jaringan tanaman seperti sel dan protoplaspada kondisi yang aseptik.
tunas pucuk tanaman secara adeventif, baik secara langsung maupun kelus
Media perlu ditambahkan agar untuk mendapatkan media semi padat yang
1967).
Inisiasi kultur tunas jahe merah dari mata tunas yang ditumbuhkan pada
media MS padat tanpa zat pengatur tumbuh dapat membentuk tunas tunggal
pada media MS tanpa zat pengatur tumbuh ini secara terus-menerus maka tunas
akan membentuk akar. Komposisi media dengan kombinasi zat pengatur tumbuh
ini telah dicobakan pada jahe merah, namun hasilnya tidak berbeda nyata dengan
Dengan demikian media yang lebih hemat dipergunakan untuk perbanyakan tunas
jahe merah. Media MS dengan penambahan 0,5–2,0 mg/l BAP juga meningkatkan
pertumbuhan tunas majemuk pada jahe cv Sanshu (Jepang) (Adaniya & Shirai,
2001).
menghasilkan rataan jumlah tunas per eksplan yang tidak terlalu berbeda. Dengan
menambah jumlah tunas majemuk. Penggantian sukrosa dengan gula juga dapat
pertumbuhan kultur tetap terjaga normal. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
dalam tabung melalui ventilasi berupa filter. Metode ini telah berhasil diterapkan
pada beberapa jenis tanaman termasuk pada tanaman tahunan (Nguyen & Kozai,
2004).
filter baik pada tabung magenta maupun botol kaca tidak berhasil mendukung
lingkungan lain seperti peningkatan intensitas cahaya agar planlet jahe merah
dapat tumbuh pada media tanpa gula. Penggunaan tabung magenta dibandingkan
majemuk. Pada kedua tabung kultur yang berbeda juga tidak dijumpai adanya
pertumbuhan tunas yang tidak normal. Di dalam tabung magenta, pada awalnya
bobol gelas lebih murah dibandingkan dengan harga tabung magenta. Pada tabung
yang dinding maupun tutupnya dapat diberi lubang untuk menempelkan ventilasi
filter berukuran 0,22 mikron. Keuntungan dari penggunaan tabung ini adalah
bahwa tunas atau plalet dapat tumbuh dengan lebih tegar karena adanya
pertukaran udara dari dalam dan keluar tabung dengan lebih meningkat sehingga
meningkat (Zobayet, 2004). Pada jahe merah, penggunaan tabung magenta tidak
menghasilkan jumlah tunas majemuk yang tinggi, dengan demikian tabung ini
dapat digantikan dengan botol kaca, dengan demikian biaya lebih murah. Hal ini
tergantung musim, bibit dapat diproduksi dalam jumlah banyak dengan waktu
yang relatif lebih cepat (dari satu mata tunas yang sudah respon dalam 1 tahun
pengangkutan bibit relatif lebih murah dan mudah, dalam proses pembibitan
bebas dari gangguan hama, penyakit, dan deraan lingkungan lainnya dan
dewasa. Adapun kerugian dari kultur jaringan yaitu membutuhkan modal investasi
jaringan pada akarnya kurang kokoh dan diperlukan persiapan SDM yang handal
yang memuaskan.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
rataan jumlah tunas per eksplan, penggantian sukrosa dengan gula juga
waktu yang relatif lebih cepat (dari satu mata tunas yang sudah respon
Horticulturae. 88:277-287
Babu KN, Samsudeen K, & Ratnambal MJ, 1992. In Vitro Plant Regeneration
Tim Lentera, 2002. Khasiat dan Manfaat Jahe Merah si Rimpang Ajaib. Agro