Anda di halaman 1dari 13

DESAIN PENELITIAN

Kandungan Antibakteri Pada Minyak Biji Buah Nyamplung (Calophyllum


inophyllum L) Sebagai Obat Penghilang Jerawat dan Bekasnya

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kimia Bahan Alam Terestrial

Dosen Pengampu : Ratih Rizqi Nirwana

Oleh :
RIZKA AZKIA
NIM 1608076037

JURUSAN PENDIDIKAN KIMIA


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Desain penelitian ini dibuat dengan acuan permasalahan yang ada di sekitar atau
lingkungan penyaji. Di lingkungan penyaji terdapat banyak permasalahan lingkungan atau
kesehatan yang dapat di selesaikan dengan memberikan sebuah solusi hasil dari penelitian.
Dari banyaknya permasalahan yang ada, jerawat merupakan salah satu permasalahan yang
paling sering dijumpai penyaji dilingkungannya. Terlebih, penyaji juga mengalami hal
tersebut.
Jerawat merupakan penyakit kulit yang sering terjadi pada masa remaja bahkan
hingga dewasa yang ditandai dengan adanya komedo, papul, pustul, nodus, dan kista pada
daerah wajah, leher, lengan atas, dada, dan punggung. Meskipun tidak mengancam jiwa,
jerawat dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang dengan memberikan efek psikologis
yang buruk berupa cara seseorang menilai, memandang dan menanggapi kondisi dan
situasi dirinya (Wahdaningsih dkk., 2014).
Menurut Mitsui (1997), ada tiga penyebab terjadinya jerawat diantaranya: sekresi
kelenjar sebaseus yang hiperaktif, hiperkeratosis pada infundibulum rambut, efek dari
bakteri. Ketiga faktor diatas dapat menyebabkan jerawat secara terpisah, tetapi ketiganya
juga dapat saling memengaruhi untuk membentuk jerawat. Selain itu, masih ada faktor
lain yang dapat menyebabkan jerawat bertambah buruk, antara lain faktor genetik,
makanan, kerja berlebih, dan stress.
Pengobatan yang lazim digunakan untuk mengobati jerawat adalah dengan
menggunakan antibiotik seperti tetrasiklin, eritromisin, doksisiklin dan klindamisin. Selain
itu pengobatan jerawat juga dapat menggunakan benzoil peroksida, asam azelat dan
retinoid. Namun obat-obat tersebut memiliki efek samping dalam penggunaannya sebagai
antijerawat antara lain iritasi dan penggunaan antibiotik sebagai pilihan pertama dalam
penyembuhan jerawat harus ditinjau kembali untuk membatasi perkembangan resistensi
antibiotik.
Kondisi tersebut mendorong untuk dilakukannya pengembangan penelitian antibakteri
alami dari tumbuhan yang ada di Indonesia diantaranya adalah minyak biji buah
nyamplung. Dalam penelitian terdahulu, minyak buah nyamplung memiliki aktivitas
antibakteri. Sehingga diharapkan, minyak buah nyamplung juga memiliki aktivitas
antibakteri yang baik terhadap bakteri penyebab jerawat seperti P. acnes, S. epidermidis
dan S. aureus. Di Indonesia masih jarang yang menggunakan minyak biji nyampung
sebagai obat jerawat dengan kandungan antibakterinya. Tren di Indonesia tentang minyak
biji nyamplung masih sebatas sebagai biodisel. Dan ada yang sedang mengembangkannya
menjadi obat HIV/AIDS, namun masih butuh penelitian lain untuk membuktikan bahwa
minyak biji nyamplung dapat digunakan sebagai obat HIV.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan jerawat ?
2. Apa yang dimaksud dengan Nyamplung dan karakteristiknya ?
3. Apa saja senyawa dan potensi yang ada dalam minyak biji nyamplung ?
4. Bagaimana cara analisis kulitatif senyawa fitokimia dalam minyak biji nyamplung ?
5. Bagaimana cara analisis kuantitatif senyawa fitokimia dalam minyak biji nyamplung ?
6. Bagaimana bioassay antibakteri pada minyak biji nyamplung ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tinjauan Pustaka
1. Jerawat
Jerawat merupakan penyakit kulit yang sering terjadi pada masa remaja
bahkan hingga dewasa yang ditandai dengan adanya komedo, papul, pustul, nodus,
dan kista pada daerah wajah, leher, lengan atas, dada, dan punggung. Meskipun tidak
mengancam jiwa, jerawat dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang dengan
memberikan efek psikologis yang buruk berupa cara seseorang menilai, memandang
dan menanggapi kondisi dan situasi dirinya (Wahdaningsih dkk., 2014).
Pada kulit yang semula dalam kondisi normal, sering kali terjadi penumpukan
kotoran dan sel kulit mati karena kurangnya perawatan dan pemeliharaan, khususnya
pada kulit yang memiliki tingkat reproduksi minyak yang tinggi. Akibatnya saluran
kandung rambut (folikel) menjadi tersumbat menghasilkan komedo. Sel kulit mati dan
kotoran yang menumpuk tersebut, kemudian terkena bakteri acne, maka timbulah
jerawat. Jerawat yang tidak diobati akan mengalami pembengkakan (membesar dan
berwarna kemerahan) disebut papul. Bila peradangan semakin parah, sel darah putih
mulai naik ke permukaan kulit dalam bentuk nanah (pus), jerawat tersebut disebut
pustul. Jerawat radang terjadi akibat folikel yang ada di dalam dermis mengembang
karena berisi lemak padat, kemudian pecah, menyebabkan serbuan sel darah putih ke
area folikel sebaseus, sehingga terjadilah reaksi radang.
Peradangan akan semakin parah jika kuman dari luar ikut masuk ke dalam
jerawat akibat perlakuan yang salah seperti dipijat dengan kuku atau benda lain yang
tidak steril. Jerawat radang mempunyai ciri berwarna merah, cepat membesar, berisi
nanah dan terasa nyeri. Pustul yang tidak terawat, maka jaringan kolagen akan
mengalami kerusakan sampai pada lapisan dermis, sehingga kulit/wajah menjadi
bekas luka (Mitsui, 1997).
2. Buah Nyamplung
Nama ilimiah dari Calophyllum inophyllum diambil dari bahasa yunani Kalos,
yang berarti cantik dan Phullon yang berarti daun. Di Inggris, pohonnya dikenal
sebagai beatiful leaf (terjemahan dari bahasa yunani, Indian Laurel (karena berasal
dari India), Alexandrian Laurel, dan Beach Calophyllum (karena pohonnya biasanya
tumbuh di tepi pantai). Di Tahiti, pohon ini dinamakan ati dan buahnya disebut
tamanu. Di Samoa, phon ini dikenal dengan nama featau, damamu di Pulau Fiji, dan
te itai di Pulau Kirbati. Di Indonesia, tanaman ini disebut dengan nyamplung, Penaga
Laut di Malaysia, dan Puna di Pulau Lakshadweep (Ling, 2009).
Taksonomi tanaman nyampung menurut Heyne (1987) adalah sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledone
Bangsa : Guttiferales
Suku : Guttiferae
Marga : Calophyllum
Jenis : Calophyllum inophyllum L.
Nama Umum : Nyamplung
Nyamplung memiliki habitus berupa pohon yang bertajuk rimbun dengan tinggi
mencapai 10-30 m, biasanya tumbuh agak bengkok, condong atau bahkan cenderung
mendatar, serta memiliki getah lekat berwarna putih atau kuning ( Noor, et al., 1999).
Helaian daun nyamplung berbentuk jorong hingga agak lonjong, atau bundar telur
terbalik dengan ujung tumpul, membundar, atau melekuk ke dalam, kaku seperti kulit
dan mengkilap. Bunga berkelamin ganda dan berbau harum terletak pada ketiak daun
yang teratas. Daun mahkota berwarna putih sebanyak empat helai dan benang sari
yang banyak. Bakal buah umumnya berwarna merah, buah berbentuk seperti bola
dengan garis tengah mencapai 2,5-3 cm dengan kulit biji yang tebal (Steenis, 1972;
Soerianegara dan Lemmens, 1993).
Buah nyamplung memiliki biji yang berpotensi menghasilkan minyak
nyamplung, terutama biji yang sudah tua. Kandungan minyaknya mencapai 50-70%
(basis kering) dan mempunyai daya kerja dua kali lipat lebih lama dibandingkan
minyak tanah.
Tabel I Karakteristik Tanaman Calophyllum inophyllum
3. Senyawa Fitokimia dan Aktivitas Antibakteri

Produksi biji nyamplung per tahun mencapai 20 ton/ha. Kandungan minyak


biji nyamplung yaitu 55% pada inti segar dan 70,5% pada inti biji kering (Heyne,
1987). Menurut Dweek dan Meadows (2002) yaitu 75%, menurut Soerawidjaja
(2001) sekitar 40-73%, serta sekitar 75% berat dari hasil penelitian Venkanna (2009).

Kandungan minyak atsiri dari biji nyamplung dilaporkan mengandung


calophyllolide, palmitic acid, oleic acid, stearic acid, linoleic acid,
cyclohexanecarboxylic acid dan eicosanedioic acid berpotensi untuk pengobatan
(Artanti, 2018). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diluar negeri dari bagian
daun, buah, akar, dan kayu bila diisolasi terdapat senyawa yang mempunyai aktivitas
biologi seperti anti inflamasi, anti HIV (Patil et al., 1993), anti kanker (Yimdjo et al.,
2004), anti malaria (Hay et al.,2004), anti bakteri (Cottiglia et al., 2004), dan anti
tumor (Itoigawa et al., 2001).

Senyawa antibakteri secara alamiah dapat ditemukan dalam konsentrasi yang


beragam pada tanaman tropis, termasuk tanaman nyamplung. Fitokimia merupakan
zat kimia (bioaktif) alami yang terdapat pada tumbuhan dan dapat memberikan rasa,
aroma dan warna pada tumbuhan tersebut. Kandungan senyawa bioaktif tersebut
dapat diketahui dengan melakukan uji skrining fitokimia. Uji fitokimia meliputi uji
alkaloid, steroid/triterpenoid, flavonoid, saponin dilakukan berdasarkan metode
Harbone (1987).

B. Metode Penelitian (M. Novianti, 2015)


Alat yang digunakan sebagai berikut: serangkaian alat soklet, rotary
evaporatorvacuum, neraca analit, hotplate, incubator shaker, Spektrofotometer UV-Vis,
statif dan klem, jarum ose, spatula logam, botol vial, tabung reaksi, lemari pendingin dan
peralatan gelas.
Bahan yang digunakan: biji nyamplung, kertas saring, karet gelang, tisu,alumunium
foil, kapas, plastik wrap, etanol p.a, heksana, etil asetat, klorofom, asam asetat anhidrat,
H2SO4 pekat, HCl 2 M, reagen Dragendorf, reagen Mayer, reagen Wagner, NH3 10 %,
metanol 50 %, FeCl3(aq), NaCl(s), Mg(s).
Pembuatan Simplisia

Siapkan 1 kg buah nyamplung yang sudah tua, kemudian dilakukan pengeringan


dibawah sinar matahari sampai benar-benar kering. Setelah itu, pisahkan biji nyamplung
dari kulitnya.

Setelah dilakukan pemisahan kulit dan biji seperti diatas, dilakukan penggilingan biji
nyamplung dengan blender, hingga halus. Kemudian dilakukan penyaringan, agar hasil
gilingan biji nyamplung yang masih besar tidak terbawa menjadi sampel. Etelah itu
disimpan didalam toples dan ditutup rapat.

Ekstraksi Sampel Biji Nyamplung

Sebanyak 50 gram serbuk kering biji Callophyllum inophyllum Linn. yang telah
dideterminasi sebelumnya di Laboratorium diisolasi dengan alat soklet menggunakan 250
mL etanol selama 20 siklus. Selanjutnya hasil ekstrak dievaporasi sampai dihasilkan
ekstrak pekat. Pada ekstrak etanol dilakukan KLT untuk mengetahui jumlah senyawa yang
terdapat dalam ekstrak etanol dilihat dari jumlah spot yang terbentuk menggunakan eluen
heksana : etil asetat (6 : 4), analisis ini untuk memprediksikan jumlah senyawa yang
terdapat dalam ekstrak etanol biji nyamplung.
Uji Kualitatif Fitokimia (Uji Tabung)
Pemeriksaan kualitatif penggolongan senyawa dilakukan dengan skrining fitokimia
menggunakan uji tabung (Indrayani et al., 2006). Pengujian yang dilakukan meliputi
pengujian golongan steroid, triterpenoid, alkaloid, flavonoid, dan saponin dilakukan
berdasarkan metode Harbone (1987).
a. Steroid dan Triterpenoid
Ekstrak biji nyamplung diuapkan sampai kering, kemudian residu yang dihasilkan
dilarutkan dalam 0,5 mL kloroform, lalu ditambah dengan 0,5 mL asam asetat anhidrat.
Selanjutnya campuran ini ditetesi dengan 1 - 2 mL H2SO4 pekat melalui dinding tabung
tersebut. Jika hasil yang diperoleh berupa cincin kecoklatan atau violet pada perbatasan
dua pelarut menunjukkan adanya triterpenoid, sedangkan munculnya warna hijau
kebiruan menunjukkan adanya steroid.
b. Alkaloid
Ekstrak biji nyamplung diuapkan sampai kering, kemudian residu ditambah 1,5ml
2 % HCl dan larutan dibagi dalam tiga tabung. Tabung 1 ditambah 0,5 mL larutan asam
encer sebagai pembanding, tabung 2 ditambah 2 - 3 tetes reagensia Dragendorff, dan
tabung 3 ditambah 2 - 3 tetes reagensia Mayer. Jika tabung 2 terbentuk endapan jingga
dan pada tabung 3 terbentuk endapan kekuning-kuningan menunjukkan adanya
alkaloid.
c. Flavonoid
Ekstrak biji nyamplung diuapkan sampai kering, kemudian dilarutkan dalam 1 – 2
mL metanol panas 50 %. Setelah itu ditambahkan logam Mg dan 4 - 5 tetes HCl pekat.
Larutan berwarna merah atau jingga yang terbentuk menunjukkan adanya flavonoid.
d. Saponin
Ekstrak biji nyamplung dalam tabung reaksi ditambah air (1:1) sambil dikocok
selama 5 menit. Adanya busa yang dapat bertahan selama 30 menit menunjukkan
adanya senyawa saponin.

Uji Kuantitatif Fitokimia

a. Uji Kadar Flavonoid Total

Kadar Flavonoid Total Ditimbang 200 mg ekstrak sampel, yang dilarutkan


dalam 1 mL etanol, kemudian di buat pengenceran dengan 3 replikasi. Total
flavonoid dari ekstrak etanol dihitung berdasarkan metode kolorimetri yang
dikerjakan oleh Chang et al. (2002). Setiap 0,2 mL larutan sampel ditambahkan 3,7
mL etanol 95 %, 0,1 mL AlCl3 10 %, 0,1 mL kalium asetat 1 M dan di tambahkan
akuades sampai 5 mL, lalu dicampur hingga homogen dan didiamkan selama 30
menit. Kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 437 nm. Kuersetin
digunakan sebagai kurva kalibrasi dengan konsentrasi 100– 400 μg/mL. Total
flavonoid sampel dihitung ekuivalen dengan jumlah (g) kuersetin/100 g sampel.
Data dibuat tiga replikasi (Chang, 2002).
y = ax+b
Keterangan :
y = Nilai Absorbansi
x = Kadar Flavonoid
a,b = Konstanta
b. Uji Kadar Alkaloid Total
Sampel yang berupa ekstrak kental ditimbang secara seksama sebanyak 2,5 g
dan dilarutkan dengan 50 mL larutan asam asetat 10% (dalam etanol). Larutan
dikocok dengan magnetic stirrer selama 4 jam, kemudian disaring. Filtrat kemudian
dievaporasi. Kemudian ditetesi dengan ammonium hidroksida hingga terjadi endapan
alkaloid. Timbang dahulu kertas saring yang akan digunakan untuk menyaring
endapan. Kemudian endapan disaring dan dicuci dengan menggunakan larutan
ammonium hidroksida 1%. Kertas saring yang mengandung endapan dikeringkan
dalam oven pada suhu 600 °C selama 30 menit. Setelah dingin, endapan ditimbang
hingga didapatkan bobot yang konstan. Rendemen alkaloid ditetapkan dari presentasi
bobot endapan alkaloid yang diperoleh terhadap bobot penimbangan awal sampel.
Pengujian diulang sebanyak 3 kali (Saifudin, 2011). Analisa data dilakukan secara
univariat dimana kadar alkaloid yang dihitung menggunakan rumus :

𝑥2 − 𝑥1
% 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 = × 100%
𝐴

Keterangan :

x1 = bobot kertas saring (g)

x2= bobot kertas saring + endapan saponin (g)

A = bobot ekstrak etanol biji nyamplung

c. Uji Kadar Saponin Total


Ditimbang 1,25 g ekstrak kemudian di refluks dengan 50 ml Petroleum Eter
pada suhu 60º-80ºC selama 30 menit. Setelah dingin larutan petroleum eter dibuang
dan residu yang tertinggal dilarutkan dalam 50 ml etil asetat. Larutan dipindahkan ke
corong pisah kemudian dipisahkan larutan etil asetat. Residu yang tertinggal
dilarutkan dengan n-butanol sebanyak 3 kali masing-masing dengan 50 ml. seluruh
larutan butanolik dicampur dan diuapkan dengan rotavapor. Sisa penguapan
dilarutkan dengan methanol 10 ml kemudian larutan ini diteteskan ke dalam 50 ml
dietil eter sambil diaduk. Endapan yang terbentuk dalam campuran dituang pada
kertas saring yang telah diketahui bobotnya. Endapan di atas kertas saring kemudian
ditimbang sampai bobot tetap. Selisih bobot kertas sa ring sebelum dan sesudah
penyaringan ditetapkan sebagai bobot saponin (Dumanauw, Wullur & Poli Anindita,
2015). Analisa data dilakukan secara univariat dimana kadar saponin yang dihitung
menggunakan rumus :

𝑥2 − 𝑥1
% 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 = × 100%
𝐴

Keterangan :

x1 = bobot kertas saring (g)

x2= bobot kertas saring + endapan saponin (g)

A = bobot ekstrak etanol biji nyamplung

Bioassay Uji Aktivitas Antibakteri

Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan dengan menggunakan metode OD


λmax600 nm (Sezonov et al., 2007 dan Matlock et al., 2011) terhadap bakteri, S. aureus
meliputi 3 tahap sebagai berikut:

a. Persiapan Media
Media pertumbuhan bakteri S. aureus yang digunakan adalah Luria Bertani
(LB) (Lahmer et al., 2012; Matlock et al., 2011; Sezonov et al., 2007 dan Tang et al.,
2010). Sterilisasi alat dan bahan dilakukan pada suhu 121 oC selama 15 menit
menggunakan autoklaf. Hal tersebut bertujuan untuk membunuh mikroorganisme
yang terdapat pada alat dan bahan yang dapat mengganggu pengujian. Pembuatan
Media LB Broth 2,5 % (b/v) dengan melarutkan 1,25 gram LB Broth ke dalam 50 mL
akuades, kemudian disterilkan menggunakan autoklaf pada suhu 121 oC selama 15
menit.
b. Persiapan Inokulum.
Sebanyak 1 ose bakteri uji ditumbuhkan dalam LB Broth, kemudian diinkubasi
pada suhu 37 oC selama 18 - 24 jam dengan kecepatan 150 rpm (Lahmer et al., 2012
dan Tang et al., 2010).
c. Uji Aktivitas Antibakteri
Metode yang digunakan untuk pengujian aktivitas antibakteri adalah metode
OD λmax 600 nm (Sezonov et al., 2007 dan Matlock et al., 2011). Sebanyak 0,05
gram sampel ekstrak etanol dilarutkan ke dalam 40 mL akuades dan ditambahkan 1
gram LB Broth 2,5 % (b/v), kemudian disterilkan menggunakan autoklaf pada suhu
121 oC selama 15 menit. Campuran yang terbentuk didinginkan dan ditambahkan 0,5
mL inokulum bakteri 1 % hasil inkubasi. Sampel uji diinkubasi pada 37 oC dengan
kecepatan 150 rpm (Lahmer et al., 2012).
Pengujian antibakteri dilakukan dengan mengukur adsorbansi larutan sampel
jam ke-0, 3, 6, 9, 12, dan 24 menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada λmax 600
nm secara duplo (Sezonov et al., 2007 dan Matlock et al., 2011).
Dari data absorbansi dihitung persentase daya hambat (% inhibisi)
terhadap bakteri pada masing-masing sampel sehingga dapat diketahui
seberapa kuat aktivitas antibakteri pada ekstrak biji nyamplung untuk
mematikan bakteri jerawat yang diuji cobakan.
Rumus yang digunakan :
DAFTAR PUSTAKA

Anif, Nur.dkk,. (2018). IBM PENINGKATAN PRODUKSI MINYAK NYAMPLUNG


(Callophylum Inophyllum) SEBAGAI BAHAN BAKU KOSMETIK. Prosiding
Seminar Nasional seri 8 “Mewujudkan Masyarakat Madani dan Lestari”. Program
Studi S1 Farmasi, FMIPA, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Yogyakarta. e-
ISBN: 978-602-450-321-5 p-ISBN: 978-602-450-320-8
Chang CC, Yang MH, Wen HM., Chern JC. 2002. Estimation of Total Flavonoid Content in
Propolis by Two Complementary Colorimetric Methods . Journal of Food and
Drug Analysis. 10:178-182
Dumanauw, Carolin WA, Anindita P. 2015. Penetapan Kadar Saponin Pada Ekstrak Daun
Lidah Mertua (Sansievera trifasciata Prain varietas S. Laurentii) Secara
Gravimetri. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kesehatan. 2(2):65-69.
Dweek, A.C. dan Meadows, T. (2002). Tamanu (Calophyllum inophyllum L.) the Africa,
Asia Polynesia and Pacific Panacea. International J Cos Sci 24: 1-8.
Harborne, J. B., 1987, Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan.
Penerbit ITB, Bandung.
Hasibuan, S. S. (2013). KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN ANTIBAKTERI HASIL
PURIFIKASI MINYAK BIJI NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum
L).AGRITECH, No 33, hal.311-319.
Lahmer, R.A., Williams, A.P., Townsend, S., Baker, S., Jones, D.L., 2012, Antibacterial
Action of Chitosan-Arginine against Escherichia coli O157 in Chicken Juice, Food
Control, vol. 26, pp. 206-211.
M. Novianti, e. a. (2015). UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI DARI SENYAWA HASIL
EKSTRAKSI DAUN NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum Linn.).ALCHEMY
jurnal penelitian kimia, Vol 2 (No 1), hal. 200-210.
Murniasih, D. (2009). Kajian Proses Produksi Biodiesel dari Minyak Biji Nyamplung
(Calophyllum inophyllum L.). Skripsi. Departemen Teknologi Industri Pertanian,
Fakultas Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Rejeki, S. (2015). Ekstraksi Dan Penetapan Nilai SPF Minyak Nyamplung Dengan Metode
Sektrofotometri (Extraction And SPF Value Determination Of Tamanu Oil By
Spectrofotometri Methode).IJMS – Indonesian Journal On Medical Scienc,Vol 2
(No 1).
Saifudin A, Rahayu V, Teruna HY. 2011. Standardisasi Bahan Obat Alam.Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Syakir, M.K,. NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum Linn.). Tanaman Perkebunan
Penghasil BBN
Syifalia, L. A. (2017). Pemurnian Senyawa Trigliserida Dari Minyak Nyamplung
(Calophyllum Inophyllum) Dengan Proses Continuous Countercurrent Extraction .
Skripsi – Tk141581 , Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Departemen Teknik
Kimia Fakultas Teknologi Industri.

Anda mungkin juga menyukai