Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rimpang rumput teki (Cyperus rotundus L) adalah salah satu tanaman

yang dapat digunakan sebagai obat, merupakan tanaman yang termasuk dalam

family Ciperaceae. Rimpang rumput teki ini merupakan tumbuhan gulma yang

dapat tumbuh dengan mudah tanpa memilih tanah atau ketinggian tempat.

Rumput teki memilki ketinggian 10 cm – 80 cm, dimana bagian tumbuhan yang

sering digunakan adalah rimpang (Departemen Kesehatan, 1980), Rimpang

rumput teki ini mengadung komponen-komponen kimia antara lain minyak atsiri,

alkaloid, flavonoid, polifenol, resin, amilum, tanin, triterpen, d-glukosa, d-

fruktosa dan gula tak mereduksi (Murnah, 1995).

Rimpang rumput teki (Cyperus rotundus L) merupakan tanaman liar yang

banyak digunakan untuk menggobati penyakit yang disebabkan oleh aktivitas

bakteri seperti gatal-gatal di kulit, bisul, dan keputihan. Beberapa penelitian yang

telah dilaporkan menyebutkan rimpang rumput teki mempunyai aktivitas sebagai

antibakteri (Abdul, 2008). Hasil penelitian yang telah dilaporkan adalah ekstrak

etanol rimpang rumput teki mempunyai aktivitas antibakteri terhadap

Staphylococcus epidermidis (Marlina, 2010). Dari hasil laporan penelitian

pengujian aktivitas antibakteri dari ekstrak dan fraksi rimpang ruput teki terhadap

bakteri Staphylococcus epidermidis dilaporkan ekstrak etanol memiliki diameter

daya hambat rata-rata 10,31mm dengan respon pertumbuhan lemah, fraksi

heksana memiliki diameter daya hambat rata-rata 10,41mm dengan respon

pertumbuhan lemah, fraksi etil asetat memiliki daya hambat rata-rata 16,41mm

1
dengan respon pertumbuhan sedang (Rahim , 2013).

Kulit adalah organ terluar dan terluas yang melindungi tubuh. Terdapat

berbagai macam tipe kulit, ada kulit kering, berminyak dan kulit sensitif. Kulit

dewasa dan kulit bayi pun berbeda, bayi memiliki kulit yang sangat peka, Kondisi

kulit pada bayi yang relatif lebih tipis menyebabkan bayi lebih rentan terhadap

infeksi, iritasi dan alergi. Salah satu masalah kulit yang masih sering terjadi pada

bayi dan anak adalah diaper dermatitis. Diaper dermatitis adalah kelainan

peradangan kulit di daerah yang tertutup popok yang paling sering diderita oleh

bayi atau anak-anak (Maya, 2004) . Umumnya, penyakit ini timbul pada lipatan –

lipatan kulit paha, diantara kedua pantat, dan dapat timbul dibagian kulit lainnya.

Sedangkan masalah kulit bagi orang dewasa, terjadinya rasa gatal yang

disebabkan oleh biang keringat, ada pula yang terjadi karena memiliki kulit

sensitif dan ketidakcocokan dalam penggunaan komestik, baju dll, sehingga

menimbulkan ruam, gatal, dan bintik kemerah-merahan pada kulit (Maya, 2004).

Penggunaan ekstrak rimpang rumput teki secara langsung dioleskan pada

kulit memberikan rasa kurang nyaman, terutama jika diberikan pada anak-anak,

maka diformulasikan dalam bentuk bedak tabur untuk mempermudah

penggunaanya. Bedak tabur merupakan sediaan kosmetik berupa bubuk padat,

halus, dan lembut, homogen, sehingga mudah ditaburkan atau disapukan merata

pada kulit(Departemen Kesehatan, 1985). Bedak tabur dalam penggunaan untuk

kulit memiliki keuntungan diantaranya menyerap kelembaban kulit,

mendinginkan, mengurangi gesekan. Selain itu penggunaan bedak tabur sebagai

antiseptik ini dapat digunakan pada bayi- bayi yang sering mengalami gatal akibat

biang keringat, dan juga dapat digunakan oleh orang dewasa. Keunggulan lain

2
dari bedak ini adalah  mudah menyerap di kulit sehingga cocok untuk mencegah

timbulnya biang keringat yang dapat menyebabkan kulit terasa gatal – gatal dan

berwarna merah

.Pada penelitian ini diformulasi ekstrak etanol rimpang rumput teki

(Cyperus rotundus L) dalam sediaan Bedak Tabur dan menguji daya antiseptik

dengan metode Replika yaitu menghitung jumlah koloni .

1.2 Perumusan Masalah

Rimpang rumput teki (Cyperus rotundus L) telah diformulasi dan diuji

aktivitas mikrobiologinya. Apakah ekstrak dapat diformulasi dalam sediaan bedak

tabur dan menguji aktivitasnya sebagai antiseptik.

1.3 Tujuan Penelitian

1. Memformulasikan ekstrak etanol rimpang rumput teki (Cyperus rotundus)

menjadi sediaan bedak tabur sebagai antiseptik dengan variasi konsentrasi

ekstrak rimpang teki.

2. Menghitung jumlah koloni dengan metode replika sebagai uji aktivitas

antiseptik.

1.4 Hipotesa Penelitian

H0 : Tidak ada pengaruh variasi ekstrak rimpang rumput teki pada sediaan

bedak tabur terhadap pertumbuhan mikroorganisme.

H1 : Ada pengaruh variasi ekstrak rimpang rumput teki pada sediaan bedak

tabur terhadap mikroorganisme.

3
1.5 Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi pada masyarakat bahwa tumbuhan gulma seperti

rimpang rumput teki (Cyperus rotundus) tidak hanya merugikan tetapi

juga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kesehatan dan komestik.

2. Memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan,

khususnya dalam bidang farmasi dan teknologi kecantikan.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Biologi

2.1.1 klasifikasi Tumbuhan Rumput Teki (Departemen Kesehatan, 2006)

Tumbuhan Rumput Teki diklasifikasikan sebagai berikut :

Devisi : Magnoliophyta

Klas : Liliopsida

Bangsa : Cyperales

Suku : Cyperaceae

Marga : Cyperus

Spesies : Cyperus rotundus L.

2.1.2 Morfologi Rumput Teki (Departemen Kesehatan, 2006)

Terna, menahun, tinggi 10 cm sampai 80 cm. Batang tumpul segitiga,

tajam. Daun 4 sampai 10 helai berjejal pada pangkal batang dengan pelepah daun

tertutup tanah, helaian daun berbentuk garis, buah memanjang sampai bulat telur

sungsang, persegi tiga berwarna coklat, panjang lebih kurang 5 mm. Rimpang

utuh berbentuk jorong atau bulat panjang sampai bulat telur memanjang, bagian

pangkal meruncing, sangat keras, sukar dipatahkan. Panjang 1 cm - 5,5 cm, garis

tengah 7 mm sampai 1,5 cm. Warna coklat muda sampai coklat kehitaman,

kadang-kadang berbintik putih, permukaan beruas-ruas, jarak antara tiap ruas

sampai lebih kurang 4 mm. Bindang patahan tidak rata, warna putih kotor. Batas

antara korteks dan silinder pusat jelas.

5
2.1.3 Nama Daerah (Departemen Kesehatan, 2006)

Teki (Jawa) ; Mota ( Madura) ; Kahera Wai ( Nusa Tenggara) ; Rukut

Teki, Wita (Sulawesi) ; Rumpuik Banto (Sumatra Barat).

2.1.4 Etiologi dan Penyebaran (Departemen Kesehatan, 1980)

Di Jawa tumbuh liar ditempat yang terbuka atau terlindung sedikit dari

sinar matahari seperti tanah yang tidak ditanami, jalan, lapangan bahkan juga

dilahan tegalan, pematang sawah dan sawah yang kurang mendapat pengairan. Di

lahan pertanian teki tumbuh sebagai gulma yang sukar diberantas.

2.2 Tinjauan Kimia

2.2.1 Kandungan Kimia

Rimpang rumput teki mengadung alkaloida, glikosida, flavonoid, gula, zat

pati, resin, dan minyak terbang (minyak menguap 0,3 – 1 %) yang isinya

bervariasi cyperol, cyperene I DAN II, alfa- cyperone, cyperotundune, dan

cyperolone, patcholulenone sineol, pinen, rotunal dan kandungan yang lain berupa

karbohidrat, seperti d-glukosa (41,7%), d-fruktosa (9,3%), dan gula tak mereduksi

(4,9%) (Sastrimidjoyo, 1997)

a. Flavonoid

Senyawa flavonoida adalah suatu kelompok senyawa fenol yang terbesar yang

ditemukan di alam. Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu, biru

dan sebagai zat warna kuning yang ditemukan di tumbuh-tumbuhan. Flavonoid

mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom karbon, dimana dua

cincin benzene (C6) terikat pada suatu rantai propane (C3) sehingga membentuk

suatu susunan C6-C3-C6 (Lenny, 2006).

6
Flavonoid mencakup banyak pigmen yang paling umum dan terdapat pada

seluruh dunia tanaman mulai dari fungus sampai angiospermae. Efek flavonoid

terhadap macam-macam organisme sangat banyak macamnya dan dapat

menjelaskan mengapa tanaman yang mengandung flavonoid dipakai dalam

pengobatan tradisional.

Flavonoid dapat bekerja sebagai inhibitor kuat pernapasan. Beberapa

flavonoid menghambat fosfodiesterase, flavonoid lain menghambat aldoreduktase,

monoamina oksidase, protein kinase, balik transkriptase, DNA polimerase dan

lipooksigenase. Penghambatan lipooksigenase dapat menimbulkan pengaruh yang

lebih luas karena pengaruh lipooksigenase merupakan langkah pertama pada jalur

yang menuju hormon eikosanoid seperti prostaglandin dan tromboksan. Flavonoid

bertindak sebagai penampung yang baik radikal hodroksi dan superoksida.

Flavonoid tertentu dalam makanan tampaknya menurunkan agregasi platelet dan

dengan demikian mengurangi pembekuan darah tetapi, jika dipakai pada kulit,

flavonoid lain menghambat perdarahan (Robinson, 1995)

Flavonoid berfungsi sebagai antiradang dengan cara menghambat enzim

siklooksigenase dan lipoksigenase dapat memberi harapan untuk pengobatan

gejala peradangan dan alergi. Mekanisme flavonoid dalam menghambat terjadinya

radang melaui dua cara yaitu menghambat asam arakhidonat dan sekresi enzim

lisosom dari sel endothelial dan menghambat fase proliferasi dan fase eksudasi

dari proses radang. Terhambatnya pelepasan asam arakhidonat dari sel inflamasi

akan menyebabkan kurang tersedianya substrat arakhidonat bagi jalur

sikloogsigenase dan jalur lipooksigenase, asam hidroksieikosatetraionoat,

leukotrien disisi lain

7
b. Alkaloid

Senyawa yang mengandung nitrogen mempunyai sifat alkaloid dan sering

sekali digolongkan ke dalam golongan alkaloid meskipun kerangka karbonnya

menunjukkan bahwa senyawa ini turunan isoprenoid. Anggota terpenting dalam

golongan ini adalah alkaloid nakonitum dan alkaloid steroid. Beberapa alkaloid

diterpenoid kompleks yang strukturnya serupa dengan akonitina dan veatkina

terdapat dalam berbagai spesies Acontium, Delphinium, dan Garrya. Steroid dan

alkaloid steroid yang dimodifikasi biasanya terdapat sebagai Glikosida C-3 atau

ester. Struktur seperti ini jelas sangat menyerupai struktur saponin. Seperti

senyawa isoprenoid yang tidak mengandung nitrogen, diantara alkaloid ini ada

senyawa penolak serangga dan senyawa antifungus (Robinson, 1995)

c. Seskuiterpenoid

Seskuiterpenoid merupakan senyawa terpenoid yang dihasilkan oleh tiga unit

isopren yang terdiri dari kerangka asiklik dan bisiklik dengan kerangka dasar

naftalen. Anggota seskuiterpenoid yang penting adalah farnesol, alkohol yang

tersebar luas. Senyawa ini mempunyai bioaktivitas yang cukup besar diantaranya

adalah sebagai antifeedant, antimikroba, antibiotik, toksin, serta regulator

pertumbuhan tanaman dan pemanis (Robinson, 1995).

d. Tanin

Sejenis kandungan tanaman yang bersifat fenol mempunyai rasa sepat.

Beberapa tanin terbukti mempunyai aktivitas antioksidan, menghambat

pertumbuhan tumor, menghambat enzim seperti DNA topoisomerase. Tanin yang

lainnya dapat meracuni hati (Robinson, 1995).

8
e. Saponin

Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat yang menimbulkan busa

jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi yang rendah sering menyebabkan

hemolisis sel darah merah. Beberapa saponin bekerja sebagai antimikroba juga.

Diantara banyak efek yang dilaporkan, efek yang ditunjang dengan baik oleh

bukti ialah penghambatan jalur ke steroid anak ginjal, tetapi senyawa ini

menghambat juga dehidrogenase jalur prostaglandin (Robinson, 1995).

f. Minyak Atsiri

Minyak atsiri dikenal dengan minyak eteris atau minyak terbang (essential oil

atau volatile oil) yang merupakan minyak mudah menguap pada suhu kamar tanpa

mengalami perubahan komposisi, larut dalam pelarut organik, memiliki komposisi

yang berbeda-beda sesuai dengan sumber penghasilnya (Gunawan, 2004).

2.3 Tinjauan Farmakologi

2.3.1 Khasiat dan Kandungan

Rimpang rumput teki merupakan tumbuhan yang mengadung senyawa

metabolit sekunder yaitu alkaloid, flavonoid dan minyak atsiri (Sastrimidjoyo,

1997), yang biasanya digunakan oleh masyarakat sebagai bedak dingin dengan

aroma yang khas menyegarkan, sedikit berbau menthol karena baunya yang khas,

sering digunakan sebagai pencuci mulut (Heyne, 1987). Selain itu rumput teki

digunakan sebagi obat sakit ggi, obat mempelacar kencing, obat cancingan, obat

sakit perut, nyeri lambung, bisul, mual, muntah dll (Fikri, 2009)

2.3.2 Penelitian Yang Telah Dilakukan

Penelitian tentang rimpang rumput teki yang telah banyak dilakukan, baik

itu dalam bidang kesehatan maupun dalam bidang pertanian. Hasil dari penelitian

9
yang dilakukan adalah ekstrak etanol rimpang rumput teki mempunyai aktivitas

antibakteri terhadap Staphylococcus epidermidis, dan fraksi yang mempunyai

aktivitas antibakteri paling aktif adalah fraksi kloroform (Marlina, 2010). Selain

itu rumput teki juga telah diformulasi dalam bentuk masker peel off rimpang

rumput teki, aktivitas fraksi dan formula yang paling baik ditunjukan oleh formula

masker fraksi etil asetat 5% (Rahim, 2013). Pada suatu penelitian juga

menyatakan bahwa rimpang rumput teki memiliki aktivitas antioksidan yang

tinggi dimana setiap 100 gram ekstrak rimpang rumput teki mengadung polifenol

sebanyak 73,27+ 4,24g (Nagulendran, 2007). Selain rimpang akara dari rumput

teki juga telah diformulasi dalam bentuk krim wajah herbal (jangde, 2011). Air

rebusan rumput teki juga dapat digunakan sebagai alternatif penyembuhan

sariawan (Fikri, 2009).

2.4 Tinjauan Farmasetik

2.4.1 Bentuk Sediaan Cyperus Rotundus

Rimpang rumput teki belum ada diproduksi secara resmi, hanya saja

penggunaanya masih dalam bentuk tradisional. Secara tradisional tepung rimpang

telah diolah oleh masyarakat sebagai bedak dingin dengan aroma yang khas

menyegarkan, rimpang rumput teki juga diolah secara tradisional sebagai larutan

pencuci mulut, ternyata bau tersebut juga berefek sebagai pengusir serangga dan

nyamuk, hingga sering dipakai sebagai bedak anti nyamuk (Heyne, 1987).

Rimpang rumput teki juga telah diformulasi dalam bentuk kosmetik herbal yaitu

krim wajah (Jangde, 2011).

10
2.4.2 Bedak Tabur

Obat topikal adalah obat yang mengandung dua komponen dasar yaitu zat

pembawa (vehikulum) dan zat aktif. Zat aktif merupakan komponen bahan topikal

yang memiliki efek terapeutik, sedangkan zat pembawa adalah bagian inaktif dari

sediaan topikal dapat berbentuk cair atau padat yang membawa bahan aktif

berkontak dengan kulit. Idealnya zat pembawa mudah dioleskan, mudah

dibersihkan, tidak mengiritasi serta menyenangkan secara kosmetik. Selain itu,

bahan aktif harus berada di dalam zat pembawa dan kemudian mudah dilepaskan.

Bedak tabur merupakan sediaan kosmetik berupa bubuk padat, halus, dan lembut,

homogen, sehingga mudah diburkan atau disapukan merata pada kulit

(Departemen Kesehatan, 1985). Syarat bedak tabur adalah mudah disapukan,

bebas partikel keras dan tajam, tidak mudah menggumpal, tidak mengiritasi kulit

dan memenuhi derjat halus tertentu.

2.4.3 Komposisi Bedak Tabur

a Talkum

Talkum adalah magnesium silikat hidrat alam, kadang-kadang mengadung

sedkit aluminium silikat. Pemerian dari talkum merupakan serbuk hablur, sangat

halus licin, dan mudah melekat pada kulit, bebas dari butiran, berwarna putih atau

putih kelabu. Kelarutan talkum yaitu tidak larut dalam hampir semua

pelarut.penyimpang talkum dalam wadah tertutup baik. Memiliki khasiat sebagai

bahan tambahan (Departemen Kesehatan, 1979)

b Kalsium Karbonat

Kalsim Karbonat mengandung tidak kurang dari 98,5 % CaCO3, dihitung

terhadap zat yang telah dikeringkan. Pemerian dari Kalsium Karbonat adalah

11
berupa serbuk hablur, berwarna putih, tidak berbau, tidak berasa. Kelarutan nya

praktis tidak larut dalam air, sangat sukar larut dalam air yang mengadung karbon

dioksida. Penyimpanan dalam wadah tertutup baik. Memiliki khasiat sebagai

Antasidum (Departemen Kesehatan, 1979)

c Zink Oksida

Sengoksida mengandung tidak kurang dari 99,0% ZnO, dihitung terdapat

zat yang telah dipijarkan. Pemerian nya berupa serbuk amorf, sangat halus,

berwarna putih atau putik kekuningan, tidak berbau, tidak berasa, lambat laun

menyerap karbindioksida dari udara (Departemen Kesehatan, 1979)

d. Zink Stearat

Zink dan magnesium stearat sejauh ini merupakan bahan yang paling sering

digunakan dari logam stearat. Untuk bedak wajah, stearat harus memiliki kualitas

yang tinggi untuk mencegah timbulnya keasaman, bau yang tidak diinginkan.

Sifat yang paling penting dari zink dan magnesium stearat adalah sifat adhesif

dan anti air. Zink stearat, yang paling sering digunakan juga memiliki efek

menenangkan.

Penggunaan yang berlebihan, stearat dapat menyebabkan noda dan efek

jerawat pada kulit. Dalam jumlah yang cukup (4-15%) zink stearat memberikan

sifat adheren pada bedak wajah.

2.4.4 Metode Pembuatan Bedak Tabur (Syamsuni, 2006)

1. Bahan Padat

a. Halus Sekali

 Tidak berkhasiat keras

12
- Belerang : dalam bedak tabur belerang tidak ikut diayak dan tidak

boleh diayak dengan bahan sutra atau logam.

- Iodoform: harus diayak dengan ayakan khusus/ terpisah karena

baunya lengket dan tidak enak.

- Sb2S5 : sangat halus sehingga sangat mudah masuk kedalam pori

-pori lumpang/ mortir. Oleh karena itu, bahan ini harus digerus

dalam lapisan zat tambahan.

 Berkhasiat keras

Jika jumlahnya banyak, bahan tersebut digerus dalam lapisan zat

tambahan. Jika jumlahnya sedikit, dilakukan pengeceran, misalnya pada

luminal, As2O3 (dibuat pengecran), dan atropin sulfat (pengeceran bertingkat).

b. Hablur / Kristal

- Kamfor: mudah mengkristal kembali. Oleh karena itu, ditetesi terlebih

dahulu dengan eter atau etanol 95%. Selanjutnya, dikeringkan dengan

penambahan zat tambahan yang cocok.

- Asam salisilat : sangat ringan, mudah beterbangan, dan dapat merangsang

hidung hingga bersin: tetesi dahulu dengan eter atau etanol 95% dan

tambahkan zat tambahan.

- Asam benzoat, naftol, mentol, timol, salol : campuranya mudah mencair,

dikerjakan seperti kamfor atau asam salisilat,

- Garam – garam yang mengadung air kristal, misalnya Na-karbonat, Fe (II)

sulfat, Al-& K-sulfat 67%, Mg-sulfat 67%, Na-sulfat 50% dari jumlah

yang tertera dalam resep.

13
- Iodium : tetesi dengan eter atau etanol 95% dan keringkan dengan zat

tambahan, jika mengggunakan amilum akan berubah warna dari puih

menjadi biru.

- FeI2, FeCl2, FeCO3 : gunakan resep standar untuk pillulae.

2. Bahan Setengah Padat

Bahan setengah padat biasanya digunakan dalam pembuatan bedak tabur. Jika

jumlahnya banyak banyak, bahan tersebut dilebur terlebih dahulu jika jumlahnya

sedikit ditetesi dengan eter atau aseton terlebih dahulu, misalnya adeps lanae,

cera,parafin padat, vaselin.

3. Bahan Cair

a) Minyak atsiri : tetesi terakhir atau dibuat oleo sacchara, yaitu campuran 2

g gula dengan 1 tetes minyak atsiri.

b) Kalii arsenitis solutio: uapkan terlebih dahulu sampai hampir kering

kemudian tambahkan zat tambahan.

c) Sol. Formaldehida ( formalin): bahan ini dapat diganti dalam bentuk

padatnya, yaitu kadar formaldehida sebanyak kadar formalin persediaan.

Misalnya, kadar formalin persediaan menurut FI adalah 36%. Jadi,

paraformaldehida ditimbang adalah 36% dari berat formalin yang diminta

dalam resep.

d) Tingtur

- Tingtur yang tidak menguap ( tingtur opium, tingtur digitalis, tingtur

arconiti, tingtur belladona, tingtur ratanhiae). Jika jumlahnya sedikit,

dikerjakan dalam lumpang panas, selanjutnya keringkan dengan zat

tambahan. Jika jumlahnya banyak, diuapkan sampai sekental sirup,

14
selanjutnya keringkan dengan zat tambahan. Berat yang hilang untuk

serbuk tak terbagi harus diganti dengan zat tambahan tetapi perlu untuk

serbuk terbagi.

- Tingtur yang mudah menguap: ambil zat yang berkhasiat nya saja jika

diketahui bagian-bagiannya saja, seperti pada tingtur iodium, tingtur

opium benzoikum, kamfor spiritus, berat yang kurang diganti dengan zat

tambahannya. Jika tidak diketahui bagian nya maka uapkan pada suhu

serendah mugkin.

e) Ekstrak

- Ekstrak kering (siccum), misalnya ekstrak opium, ekstrak striknin,

dikerjakan seperti mengerjakan bahan padat lainnya.

- Ekstrak kental (spissum), misalnya ekstrak belladone, ekstrak hyosyami,

ekstrak calis, gunakan etanol 70% dalam lumpang panas, sedangkan untuk

ekstrak canabis indicae, gunakan etanol 90% dalam lumpang panas

- Ekstrak cair (liquidum) misalnya ekstrak chinae liquidum, ekstrak

hydrastis liquidum, dikerjakan seperti mengerjakan tingtur lainnya.

2.4.5 Evaluasi Bedak Tabur

a Pemeriksaan Organoleptis

Meliputi pengamatan terhadap bentuk, bau dan warna yang dilakukan secara

visual dan sesudah didiamkan pada suhu kamar selama 6 minggu (Wasitaatmadja,

1997).

b Uji iritasi kulit

Uji iritasi kulit dilakukan pada manusia dengan cara uji sampel terbuka.

Sediaan dioleskan pada lengan bagian bawah dengan ukuran diameter tertentu,

15
dibiarkan terbuka selama 24 jam (Departemen Kesehatan, 1985).

c Uji pH

Pemeriksaan pH dilakukan dengan alat pH meter inolab. Alat dikalibrasi

dahulu mengggunakan larutan dapar asetat pH 4 dan dapar fosfat pH 7 sehingga

posisi jarum alat menunjukkan harga pH tersebut. Elektroda dibilas dengan air

suling dan dikeringkan. Pengukuran dilakukan dengan 1 gram masa sediaan

diencerkan dengan air suling hingga 10 ml dalam wadah yang cocok. Elektroda

dice;upkan dalam wadah tersebut. Biarkan jarum bergerak pada posisi konstan.

Angka yang ditunjukkan oleh pH meter merupakan nilai pH pada sediaan tersebut

(Departemen kesehatan, 1995)

d Uji daya lekat

Ujiini dilakukan dengan menyapukan sediaan pada permukaan kulit dan

ditiup dengan peniup karet, kemudian dihitung persentase serbuk yang jatuh

(Voigh, 1995).

serbuk yang jatuh


Rumus= ×100 %
Berat serbuk

e Uji kelembaban

Bedak tabur ditimbang secara akurat dan dimasukkan kedalam krush

porselen dengan diameter 2-4 cm. Kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu

1050c sampai berat konstan (Alkelesh, 2010)

Berat massa bedak yang hilang


% Masa= × 100 %
Berat bedak sebelum dioven

16
f Uji ukuran partikel

Pengukuran dilakukan dengan menggunakan miksroskop listrik yang

dilengkapi dengan mikrometer dengan pembesaran 100 x. Sebelum digunakan

dengan mikrometer dikalibrasi terlebih dahulu. Caranya serbuk ditimbang

sebanyak 0,1 gram lalu diencerkan dengan air suling hingga 10 ml. Kemudian

ambil sedkit hasil pengeceran dan diteteskan pada kaca objek, kemudian

diratakan. Tutup kaca dengan cover glass, dihitung jumlah partikel dengan ukuran

masing-masing (Martin, 1993).

.5 Tinjauan Umum

2.5.1 Antiseptik

Antiseptik adalah bahan kimia yang dapat menghambat atau membunuh

pertumbuhan jasad renik seperti bakteri, jamur dan lain-lain pada jaringan hidup

(Subronto, 2001).

Mekanisme kerja antiseptik sebagai berikut :

a. Penginaktifan enzim tertentu.

Penginaktifan enzim tertentu adalah mekanisme umum dari senyawa

antiseptika, seperti turunan aldehid, etilen oksida. Aldehida dan etilen oksid

bekerja dengan mengalkilasi secara langsung gugus nukleofil seperti gugus –

gugus amino, karboksil, hidroksil, fenol dan tiol dari protein sel bakteri

(Siswandono & Soekardjo, 2000).

b. Denaturasi protein

         Turunan alkohol, turunan fenol bekerja sebagai antiseptik dengan cara

denaturasi dan koagulasi protein sel bakteri. Senyawa alkohol dapat menimbulkan

denaturasi protein sel bakteri dan proses tersebut memerlukan air. Hal ini

17
ditunjang oleh fakta bahwa alkohol absolut, yang tidak mengandung air,

mempunyai aktivitas antibakteri jauh lebih rendah disbanding alkohol yang

mengandung air. Selain itu turunan alkohol juga menghambat sistem fosforilasi

dan efeknya terlihat jelas pada mitokondria, yaitu pada hubungan substrat –

nikotinamid adenine nukleotida (NAD). Turunan fenol berinteraksi dengan sel

bakteri melalui proses absorbsi yang melibatkan ikatan hidrogen. Pada kadar

rendah terbentuk kompleks protein – fenol dengan ikatan yang lemah dan segera

mengalami peruraian, diikuti penetrasi fenol ke dalam sel menyebabkan

presipitasi serta denaturasi protein. Pada kadar tinggi fenol menyebabkan

koagulasi protein dan sel membran mengalami lisis  (Siswandono & Soekardjo,

2000).

c. Mengubah permeabilitas

Turunan fenol dapat mengubah permeabilitas membran sel bakteri, sehingga

menimbulkan kebocoran konstituen sel yang esensial dan mengakibatkan bakteri

mengalami kematian (Siswandono & Soekardjo, 2000).

d. Interkalasi ke dalam ADN

            Beberapa zat warna, seperti turunan trifenilmetan dan akridin, bekerja

sebagai antibakteri dengan mengikat secara kuat asam nukleat, menghambat

sintesis ADN dan menyebabkan perubahan kerangka mutasi pada sintesis protein.

Turunan trifenil metan seperti gentian violet adalah kation aktif, dapat

berkompetisi dengan ikatan hidrogen membentuk kompleks yang tak terionisasi

dengan gugus bermuatan negatif dari konstituen sel, terjadi pemblokan proses

biologis yang penting untuk kehidupan bakteri sehingga bakteri mengalami

kematian (Siswandono & Soekardjo, 2000).

18
e.  Pembentukan kelat

Beberapa turunan fenol seperti heksaklorofen dan oksikuinolin, dapat

membentuk kelat dengan ion Fe danCu, kemudian bentuk kelat tersebut dialihkan

ke dalam sel bakteri. Kadar yang tinggi dari ion – ion logam didalam sel

menyebabkan gangguan fungsi enzim – enzim sehingga mikroorganisme

mengalami kematian (Siswandono & Soekardjo, 2000).

2.5.2 Mikroorganisme Yang Hidup Dikulit

a Staphyloccus aureus

Bakteri Staphyloccus aureus adalah bakteri patogen utama pada manusia.

Hampir setiap orang pernah mengalami berbagai infeksi Staphylococcus aureus

selama hidupnya, dari keracunan makanan yang berat atau infeksi kulit yang kecil,

sampai infeksi yang tidak bisa disembuhkan, Staphylococcus aureus adalah

bakteri koki Gram positif dan jika diamati di bawah mikroskop akan tampak

dalam bentuk bulat tunggal atau berpasangan, atau berkelompok seperti buah

anggur (Jawetz, 2005).

b Malassezia furfur

Malassezia adalah spesies tunggal yang menyebabkan penyakit Pityriasis

versicolor (Panu). Jamur ini menyerang stratum korneum dari epidermis kulit

biasanya diderita oleh seseorang yang sudah mulai banyak beraktifitas dan

mengeluarkan keringat. Jamur Malassezia furfur sangat mudah menginfeksi kulit

orang yang selalu terkontaminasi dengan air dalam waktu yang lama dan disertai

dengan kurangnya kesadaran akan kebersihan diri dan lingkungan disekitar.

Pityriasis versicolor merupakan infeksi jamur di permukaan kulit. Definisi

19
medisnya adalah infeksi jamur superfisial yang ditandai dengan adanya makula di

kulit, skuama halus, dan disertai rasa gatal (Partologi, 2008)

c Bakteri Streptococcus

Bakteri Streptococcus adalah suatu bakteri yang memiliki bentuk seperti

rangkaian rantai. Streptococcus berasal dari kata “strepto” yang berarti rantai dan

“coccus” yang berarti bulat. Sebagian besar bakteri yang masuk dalam kelompok

streptococcus dapat hidup di lingkungan beroksigen ataupun tanpa oksigen

(Andre Tjie Wijaya, 2014). Infeksi Streptococcus dapat menyerang siapa saja, dari

anak-anak hingga dewasa dan lanjut usia. Bakteri streptococcus menyebabkan

infeksi yang bervariasi dari ringan hingga berat, dari infeksi tenggorokan ringan

hingga radang paru-paru dan selaput otak (Andre Tjie Wijaya, 2014).

d Bakteri Streptococci pyogenes

Bakteri Streptococcus pyogenes adalah salah satu jenis dari bakteri

Streptococci sebagai penyebab banyak penyakit penting pada manusia yang

berkisar dari infeksi kulit permukaan yang ringan hingga penyakit sistemik yang

mengancam hidup. Infeksi khasnya bermula di tenggorokan atau kulit. Infeksi

ringan Streptococcus pyogenes termasuk faringitis atau radang kerongkongan dan

infeksi kulit seperti impetigo, erisipelas dan selulitis berupa perbiakan dan

penyebaran dari kuman tersebut di lapisan dalam kulit. Serangan dan perbiakan

tersebut dapat menimbulkan fasitis nekrosis, keadaan yang besar kemungkinan

mengancam hidup yang memerlukan penanganan bedah. Infeksi lainnya bisa

dikaitkan dengan pelepasan toksin bakteri (Gus Adi Suryana, 2012).

20
e Bakteri Pseudomonas aeruginosa

Pseudomonas aeruginosa merupakan patogen utama bagi

manusiadisebut patogen oportunistik, yaitu memanfaatkan kerusakan pada

mekanisme pertahanan tubuh manusia untuk memulai suatu infeksi. Bakteri

ini dapat juga tinggal pada manusia yang normal dan berlaku sebagai saprofit

pada usus normal dan pada kulit manusia. Bakteri ini menimbulkan berbagai

penyakit diantaranya yaitu infeksi pada luka dan luka bakar menimbulkan

nanah hijau kebiruan; infeksi saluran kemih, infeksi pada saluran napas

mengakibatkan pneumonia yang disertai nekrosis, otitis eksterna ringan pada

perenang, dan infeksi mata. Bakteri ini sering dijumpai di rumah sakit.

Penyebaran bakteri Pseudomonas aeruginosa melalui aliran udara, air, tangan

tercemar, penanganan dan alat-alat yang tidak steril di rumah sakit. Oleh

karena itu, sangat penting mencuci tangan Anda dengan sabun setelah

memegang benda-benda di sekitar Anda terutama di rumah sakit (Gus Adi

Suryana, 2012).

2.5.3 Metode Pengujian Aktivitas Antiseptik

1. Metode Replica (Retno, 2006)

Pengujian aktivitas antiseptic dengan cara sebagai berikut :

 Kontrol

Telapak tangan dicuci dengan air, kemudian dikeringkan.

Selanjutnya sidik ibu jari ditempelkan pada media padat nutrient agar dalam

cawan petri. Media diinkubasi, jumlah bakteri koloni bakteri dihitung.

Replikasi dilakukan sebanyak 5 kali.

21
 Sediaan Uji

Telapak tangan dicuci dengan air, kemudian dikeringkan. Selanjutnya

pada telapak tangan diteteskan 0,5 mL gel kemudian diratakan dan didiamkan

selama satu menit. Selanjutnya dilakukan kontak sidik ibu jari pada media

dalam cawan petri. Media diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Setelah

inkubasi, jumlah koloni bakteri dihitung. Replikasi dilakukan sebanyak 5 kali.

2. Metoda Difusi (Izkhar, 2013)

a Metoda disc diffusion (Tes Kirby & Bauer).

Tes ini menggunakan piringan kertas cakram yang berisikan agen

antimikroba dan ditanam di atas agar berisikan pembiakan bakteri tertentu dan

natinya akan di inkubasi selama 18 – 24 jam dengan suhu 37°C. Interpretasi dari

uji ini akan terbentuknya daerah bening yang tidak ditumbuhi oleh pembiakan

bakteri di agar yang di sebut zona hambat,jika semakin besar zona hambat yang

terbentuk maka semakin efektif agen mikroba tersebut.

b Metoda Lubang (Cup-plath technique)

Metode ini dilakukan dengan membuat lubang dan diisi dengan uji

antimikroba pada agar yang sudah diisikan biakan bakteri tertentu. Interpretasi

dari uji ini dengan melihat daerah bening yang terbentuk disekitar lubang.

c Metode Parit (Dith-Plath technique)

Pada metoda ini antimiroba yang ingin diuji diletakan pada potongan

agar yang dipotong secara membujur pada bagian tengah Petridis yang

menyerupai parit.

22
d Gradient-Plate technique

Pada metoda ini konsentrasi agen antimikroba pada media agar yang akan

dicampurkan bervariasi menurut jenisnya. Awalnya media agar dicairkan dan

ditambahkan dengan larutan agen antimikroba yang ingin di uji kemudian

campuran dituangkan nutrisi kedua diatasnya. Plate diinkubasi selama 24 jam

untuk memungkinkan agen antimikroba berdifusi dan permukaan media

mengering. Mikroba uji (Maksimal 6 macam) di goreskan pada arah mulai dari

konsentrasi tinggi hingga rendah, lalu hasil diperhitungkan sebagai panjang

gelombang total petumbuhan mikroorganisme maksimum yang mungkin

dibandingkan dengan panjang pertumbuhan hasil goresan.

3. Metode Dilusi

Metode dilusi dibedakanmenjadi dua, yaitu dilusi cair (broth dilution) dan

dilusi padat (solid dilution).

a Metoda Dilusi Cair

Metoda ini mengukur kadar hambat minimum dan kadar bunuh minimum.

Cara yang dilakukan dengan membuat seri pengenceran agen antimikroba pada

medium cair yang ditambahkan dengan bakteri yang diingin diujikan. Larutan uji

agen antimikroba pada kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya

pertumbuhan mikroba itu, maka di tetapkan sebagai kadar hambat minimum.

Namun larutan yang ditetapkan sebagai kadar hambat minimum itu selanjutnya

dikultur ulang pada media cair tanpa penambahan bakteri yang uji maupun agen

antimikroba lalu diinkubasi selama 18-24 jam. Media cair yang tetap jernih

setelah inkubasi sitetapkan sebagai kadar bunuh minimum.

23
b Metode Dilusi Padat

Metode ini sama dengan metode dilusi cair, perbedaannya hanya pada

media yang digunakan yaitu media padat (solid).

24
BAB III

BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini direncanakan selama + 3 bulan di Laboratorium

Farmasetika Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia Yayasan Perintis Padang (STIFI-

YP) Padang, Laboratorium Mikrobiologi Universitas Negeri Padang dan

Laboraturium Tablet Universitas Andalas.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian dalam penelitian ini adalah :

oven, pipet tetes, corong, spatel, aluminium foil, ayakan no 90, alat-alat gelas

standar laboratorium, lumpang dan stanfer, timbangan digital, cawan

petri, ,colony counter.pH meter.

3.2.2 Bahan

Bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah wadah plastik,

ekstrak rimpang rumput teki, zink oksida, zink stearat, ca-carbonat, talkum,

serbuk Na, kloroform, aquadest, norit, H2SO4.

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Pemeriksaan Ekstrak Etanol Rimpang Rumput Teki

a. Uji Fitokimia (Harborne, 1987)

Ekstrak etanol rimpang rumput teki dimasukkan kedalam tabung reaksi,

ditambahkan 5 ml aquadest dan 5 ml kloroform, dikocok dan dibiarkan sampai

terbentuk 2 lapisan air dan kloroform .

25
 Uji Flavonoid (Metode Sianidin Test)

Ambil lapisan air 1-2 tetes, diteteskan pada plat tetes lalu ditambahkan

serbuk Mg dan HCL(p) , terbentuknya warna merah menandakan adanya

flavonoid .

 Uji Saponin

Ambil lapisan air, dikocok kuat-kuat dalam tabung reaksi, terbentuknya busa yang

permanen (+ 15 menit) menunjukkan adanya flavonoid.

 Uji Terpenoid dan Steroid ( Metode Simes )

Ambil sedikit lapisan kloroform ditambahkan norit, ditambahkan

H2SO4(p), ditambahkan asam asetat anhidrat, terbentuknya warna bitu ungu

menandakan adanya steroid, sedangkan bila terbentuk warna merah menunjukkan

adanya terpenoid.

 Uji Alkaloid (Metode Culvenore – Fitzgerald)

Ambil sedikit lapisan kloroform tambahkan 10 ml kloroform amoniak 0.05

N, aduk perlahan tambahkan beberapa tetes H2SO4 2N kemudian dikocok

perlahan, biarkan memisah, Lapisan asam ditambahkan beberapa tetes pereaksi

mayer, reaksi positif alkaloid ditandai dengan adanya kabut putih hingga

gumpalan putih.

 Uji Minyak Atsiri

Ekstrak rimpang rumput teki dilarutkan dengan etanol dan diuapkan

hingga kering. Jika tercium bau aromatis yang spesifik maka sampel mengadung

minyak atsiri.

b. Pemeriksaan Organoleptis

Dilakukan secara visual dengan mengamati bentuk, warna, dan bau.

26
c. Pemeriksaan Kelarutan

Pemeriksaan kelarutan dilakukan dengan melarutkan ekstrak kental pada

air dan etanol 95% (Djamal, 2010).

d. Pemeriksaan Kadar Abu

Ekstrak kental ditimbang 2 gram dimasukkan kedalam krush porselen

yang telah dipijarkan dan ditimbang. Dipijarkan perlahan-lahan pada suhu 600-

7000c hingga arang habis, lalu didinginkan dan ditimbang sampai diperoleh bobot

tetap (Departemen kesehatan, 1995).

e. Pemeriksaan Susut Pengeringan

Ekstrak kental ditimbang 1 gram dimasukkan kedalam cawan penguap

yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu 1050c selama 30 menit dan telah

ditara, kemudian dimasukkan kedalam oven pada suhu 1050c selama 2 jam, lalu

didinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap

(Departemen kesehatan, 1995).

f. Pemeriksaan pH Ekstrak

Dengan menggunakan pH meter. Alat dikalibrasi terlebih dahulu dengan

menggunakan larutan dapar pH 4 dan larutan dapar pH 7. Angka yang muncul

pada alat berada pada harga pH larutan tersebut. Kemudian elektroda dicuci

dengan aquadest dan dikeringkan dengan tisu. Pengukuran pH ekstrak kental

dilakukan dengan cara mengencerkan 1 gram ekstrak kental dengan aquadest

hingga 10 ml dalam wadah yang cocok. Elektroda dicelupkan kedalam wadah

tersebut dan dibiarkan angka bergerak sampai posisi konstan. Angka yang

ditunjukkan pH meter merupakan harga pH ekstrak.

27
3.3.2 Pemeriksaan Bahan Tambahan

Pemeriksaan bahan tambahan yaitu zink sterat, zink oksida, ca-carbonat ,

talkum dilakukan menurut Farmakope Indonesia Edisi III 1979. Sedangkan bahan

tambahan Natrium metabisulfit dilakukan menurut Farmakope Indonesia Edisi IV

1995.

3.3.3 Formula Bedak

Komposisi F0 F1 (%) F2(%) F3(%)


Ekstrak rimpang teki - 3 5 7
Zink stearat 7,8 7,8 7,8 7,8
Zink Oksida 11,1 11,1 11,1 11,1
Ca-carbonat 11,1 11,1 11,1 11,1
Talk ad 100 100 100 100

Cara pembuatan bedak :

Dimasukkan kedalam lumpang zink stearat, zink oksida ( yang telah diayak), ca-

carbonat , kemudian bahan digerus, lalu ditambahkan sebagian talkum yang sudah

disterilkan, kemudian digerus homogen (masa I). Pada lumpang yang lain

dimasukkan ekstrak rimpang teki , kemudian ditambahkan sebagian talkum yang

sudah disterilkan, lalu digerus homogen (masa II). Lalu masa I dimasukkan

kedalam masa II, kemudian di gerus homogen. Setelah itu bahan diayak dengan

Ayakan no.90 , serbuk hasil ayakan berupa bedak tabur, dan lakukan evaluasi.

3.3.4 Evaluasi Bedak Tabur

a Pemeriksaan Organoleptis

Meliputi pengamatan terhadap bentuk, bau dan warna yang dilakukan secara

visual dan sesudah didiamkan pada suhu kamar selama 6 minggu (Wasitaatmadja,

1997).

b Uji iritasi kulit

28
Uji iritasi kulit dilakukan pada manusia dengan cara uji sampel terbuka.

Sediaan dioleskan pada lengan bagian bawah dengan ukuran diameter 2cm dan

dibiarkan terbuka selama 24 jam, kemudian diamati gejala yang ditimbulkan.

Apabila tidak menimbulkan iritasi kulit, maka sediaan dinyatakan memenuhi

persyaratan pengujian (Departemen Kesehatan, 1985).

c Uji pH

Pemeriksaan pH dilakukan dengan alat pH meter inolab. Alat dikalibrasi

dahulu mengggunakan larutan dapar asetat pH 4 dan dapar fosfat pH 7 sehingga

posisi jarum alat menunjukkan harga pH tersebut. Elektroda dibilas dengan air

suling dan dikeringkan. Pengukuran dilakukan dengan 1 gram masa sediaan

diencerkan dengan air suling hingga 10 ml dalam wadah yang cocok. Elektroda

dice;upkan dalam wadah tersebut. Biarkan jarum bergerak pada posisi konstan.

Angka yang ditunjukkan oleh pH meter merupakan nilai pH pada sediaan tersebut

(Departemen kesehatan, 1995).

d Uji daya lekat

Ditimbang 100 mg disapukan pada permukaan kulit dengan luas 100cm 2 .

lokasi kulit yang disapukan ditiup dengan peniup karet, serbuk yang jatuh dari

permukaan kulit ditapung dikertas perkamen. Kemudian ditimbang serbuk yang

jatuh dari lokasi lekatan. Hitung persentase serbuk yang jatuh (Voigh, 1995).

serbuk yang jatuh


Rumus= ×100 %
Berat serbuk

e Uji kelembaban

29
5 gram bedak tabur ditimbang secara akurat dan dimasukkan kedalam

krush porselen dengan diameter 2-4 cm. Kemudian dikeringkan dalam oven pada

suhu 1050c sampai berat konstan (Alkelesh, 2010)

Berat massa bedak yang hilang


% Masa= × 100 %
Berat bedak sebelum dioven

f Uji ukuran partikel

Pengukuran dilakukan dengan menggunakan miksroskop listrik yang

dilengkapi dengan mikrometer dengan pembesaran 100 x. Sebelum digunakan

dengan mikrometer dikalibrasi terlebih dahulu. Caranya serbuk ditimbang

sebanyak 0,1 gram lalu diencerkan dengan air suling hingga 10 ml. Kemudian

ambil sedkit hasil pengeceran dan diteteskan pada kaca objek, kemudian

diratakan. Tutup kaca dengan cover glass, dihitung jumlah partikel dengan ukuran

masing-masing (Martin, 1993).

3.3.5 Uji Aktivitas Antiseptik

a) Sterilisasi

Alat yang digunakan terlebih dahulu telah dicuci bersih, disterilkan dengan

air mendidih dan dikeringkan, kemudian beberapa alat seperti cawan petri

dibungkus dengan kertas koran dan corong, tabung reaksi, pipet tetes, erlenmeyer

dan gelas ukur di tutup mulutnya dengan kapas lalu bungkus satu persatu dengan

kertas koran. Semua alat disterilkan dalam oven pada suhu 160˚C selama 2 jam.

Pinset, jarum ose disterilkan dengan cara di flamber menggunakan lampu spritus.

b) Pembuatan media Na

Pembuatan medium NA padat dilakukan dengan memasukkan 20 gram

serbuk NA sintetik ke dalam 1000 ml aquades, kemudian dipanaskan sampai

mendidih sambil diaduk agar merata, setelah itu medium NA diautoklaf pada

30
temperatur 121oc selama 15 menit. Setelah diautoklaf medium NA dituangkan ke

dalam cawan petri steril kurang lebih 20 ml, medium NA dalam cawan petri

dibiarkan dingin (Waluyo dan Wahyuni, 2014).

c) Metode replika

Uji efek antiseptik dilakukan dengan metode Replika dengan cara sebagai

berikut :

 Kontrol negatif

Telapak tangan dicuci dengan air, kemudian dikeringkan. Selanjutnya

pada telapak tangan ditaburkan sediaan 0,5gram bedak tanpa ekstrak rimpang

rumput teki kemudian diratakan dan didiamkan selama satu menit, selanjutnya

sidik ibu jari ditempelkan pada media padat nutrient agar dalam cawan petri.

Media diinkubasi, jumlah bakteri koloni bakteri dihitung. Replikasi dilakukan

sebanyak 5kali.

 Kontrol positif

Telapak tangan dicuci dengan air, kemudian dikeringkan. Selanjutnya

pada telapak tangan ditaburkan 0,5gram bedak HEROCYN kemudian diratakan

dan didiamkan selama satu menit. Selanjutnya dilakukan kontak sidik ibu jari

pada media dalam cawan petri. Media diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam.

Setelah inkubasi, jumlah koloni bakteri dihitung. Replikasi dilakukan sebanyak

5kali.

 Sediaan uji

Telapak tangan dicuci dengan air, kemudian dikeringkan. Selanjutnya

pada telapak tangan ditaburkan sediaan 0,5gram formula bedak tabur yang

31
mengadung ekstrak rimpang rumput teki kemudian diratakan dan didiamkan

selama satu menit. Selanjutnya dilakukan kontak sidik ibu jari pada media dalam

cawan petri. Media diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Setelah inkubasi,

jumlah koloni bakteri dihitung. Replikasi dilakukan sebanyak 5kali.

32
DAFTAR PUSTAKA

Abdul. (2008). Extraction, Identification and Antibacterial Activity of Cyperus


Oil from Iraqi C, rotundus.
D, P. (2008). Ptyriasis versikolor dan diagnosis bandingnya.
Departemen Kesehatan, R. (1979). Farmakope Indonesia (Jilid III). jakarta.
Departemen Kesehatan, R. (1980). Materia Medika Indonesia (Jilid IV,). jakarta:
Dirjen POM RI.
Departemen Kesehatan, R. (1985). Formularium Kosmetik Indonesia. jakarta:
Dirjen POM RI.
Departemen kesehatan, R. (1995). farmakope Indonesia. dirjen POM,Jakarta
(Edisi IV). jakarta.
Departemen Kesehatan, R. (2006). Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia
Vol 2. jakarta: BPOM RI.
Djamal, R. (2010). prinsip-prinsip dasar isolasi dan identifikasi. Universitas
Baiturrahmah, Padang.
evaluation of standard of some selected cosmetic preparation. (2010), 2(4).
Fikri, W. et al. (2009). Air Rebusan Rumput Teki Sebagai Alternatife
Penyembuhan Sariawan. Lamongan.
Gunawan, M. (2004). Ilmu Obat Alami (Jilid I). jakarta: Swadaya.
harborne, j. . (1987). metode fitokimia penentuan cara modern menganalisa
tumbuhan. Cetakan Ke-2 , Diterjemahkan Oleh K.padmawinata Dan I.
soediro,ITB,Bandung.
Heyne, J. . (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia (Jilid I). jakarta: Yayasan
Sarana Wana Jaya.
Izkhar. (2013). Efek Antiseptik Berbagai Merk Hand Sanitizer Terhadap Bakteri

33
Staphylococcus aureus.
Jawetz, D. (2005). Jawetz, dkk. 2005. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta :
Salemba Medika.
Lenny, S. (2006). SENYAWA FLAVONOIDA , FENILPROPANOIDA.
Marlina, S. (2010). Ujia Aktivitas Antibakteri Ekstrak Rimpang Teki (Cyperus
rotundus) terhadap Staphylococcus Epidermis. Jurusan Farmasi Fakultas
Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Islam Indonesia.
Martin. (1993). farmasi fisik edisi III.
Maya, D. (2004). Popok Bayi Bisa Menjadi Sumber Penyakit.
Murnah. (1995). Pemeriksaan Kualitatif dan Kuantitatif Minyak Atsiri dan Tannin
dalam Umbi Teki.
Nagulendran, K, R., Velavan, M., & H, B. (n.d.). In Vitro Antioxidant Activity
and Total Polyphenolic Content of Cyperus Rotundus Rhizomes.
POM, D. (1985). Forularium Kosmetik Indonesia.
Pt, R. J., & Sahu, R. K. (2011). Formulation and evaluation of Cyperus rotundus
and Cucumis sativus based herbal face cream, (July 2014).
Rahim, F. dan D. N. (2013). Formulasi Masker Peel Off Ekstrak Rimpang
Rumput Teki (Cyperus rotundus L) Sebagai Anti Jerawat. Jurnal Penelitian
Farmasi, Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia Perintis Padang.
Robinson, T. (1995). Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi (Edisi IV). Bandung:
Terjemahan Kosasih Padmawinata. ITB Press.
Sari, Retno., D. and N. R. (2006). Pemanfaatan Sirih sebagai Sediaan Hand Gel
Antiseptik.
Sastrimidjoyo. (1997). Obat Asli Indonesia. jakarta: Dian Rakyat.
Siswandono, B. p, & Soekardjo. (2000). Kimia Medisinal. Surabaya: Airlangga
University Press.
Subronto, T. (2001). Ilmu Penyakit Ternak II. Gajah Mada University Press.
Syamsuni, H. (2006). Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi. (S. R. Winny,
Ed.). Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Voigh, R. (1995). buku pembelajaran tentang teknologi farmasi. Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Waluyo, J. dan Wahyuni, D. (2014). Petunjuk Praktikum Mikrobiologi.
wasitaatmadja S.M. (1997). Penuntun Ilmu Kosmetik Medik. Universitas
Indonesia, Jakarta.

34

Anda mungkin juga menyukai