Anda di halaman 1dari 16

6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Ketepeng Cina (Cassia alata L.)

Gambar 1. Tanaman ketepeng cina (Cassia alata L.)


(Anonima, 2010)

a. Klasifikasi ketepeng cina


Kingdom

: Plantae

Subkingdom : Tracheobionta
Super divisi

: Spermatopytha

Divisi

: Magnoliophyta

Kelas

: Magnoliopsida

Sub kelas

: Rosidae

Ordo

: Fabales

Famili

: Fabaceae

Genus

: Cassia

Spesies

: Cassia alata L. (Anonima, 2010)

b. Nama daerah
Bulinggang, ketepeng badak, ketepeng kebo, acon-aconan,
sajamara, kupang-kupang (Maluku) dan tabonkun (Santosa, 2005).
c. Morfologi tumbuhan daun ketepeng cina
ketepeng cina merupakan tanaman perdu yang besar dan
tumbuhnya tegak dengan tinggi mencapai 5 meter. Bagian tanaman
ketepeng cina terdiri dari yaitu :
1) Daun, daun ketepeng tidak berbau dan rasanya kelat. Daun
tersususn sebagai daun majemuk berganda dan anak daun yang
berbentuk bulat telur terbalik dan tumpul dengan jumlah 8-24
pasang. Helai daun hampir tidak berambut dengan tepi daun
berwarna merah kecoklatan. Ukuran daun dengan panjang 3,5 cm
sampai 15 cm, lebar 2,5 cm sampai 9 cm.
2)

Bunga, bunga muncul pada ujung cabang yang tersusun dalam


tandan dengan tangkai yang panjang. Mahkota bunga warnanya
kuning terang.

3) Buah, buah dari tanaman ketepeng cina merupakan buah polong


yang gepeng, berwarna hitam, dengan sayap pada kedua sisinya
jika polongan pecah di dalamnya berisi antara 50-70 bij
(Kartasapoetra, 2004).

d. Bagian tanaman yang digunakan


Bagian tanaman ketepeng cina yang biasa dimanfaatkan dalam
pengobatan penyakit kulit adalah daunnya yang memiliki kandungan
kimia yang berefek sebagai antijamur (Santosa, 2005).

e. Kegunaan
Secara tradisional daun ketepeng cina digunakan untuk obat kudis
(sebagai obat luar) dan obat malaria (oral). Berdasarkan aktivitas
biologi yang telah diteliti kulit daunnya dapat menghilangkan rasa gatal
di kulit serta anti parasit pada kulit seperti kudis, panu, kurap dan
eksema. Masyarakat menggunakan daun ketepeng cina dengan cara
daun ketepeng cina dihaluskan atau dilumatkan lalu digosokkan kuat
pada kulit yang terinfeksi (Santosa, 2005).

f. Kandungan kimia daun ketepeng cina


Berdasarkan aktivitas biologi yang diteliti kandungan aktif
tanaman ketepeng cina yang ada kaitannya dengan pengobatan penyakit
kulit adalah aloe-emodin, tanin, rein, glikosida antarkuion dan asam
oleat (Santosa 2005) selain itu di dalam daun ketepeng cina memiliki
kandungan lain yaitu senyawa tetrahidroksi isoflavon dan tetrahidroksi
flavon dari golongan flavonoid (Rahman 2010).
1) Flavonoid
Flavonoid merupakan senyawa larut dalam air yang dapat
diekstraksi dengan etanol 70% dan tetap ada lapisan air setelah dikocok
dengan eter minyak bumi. Flavonoid berupa senyawa fenol, karena itu

warnanya berubah apabila ditambah basa atau amoniak. Fungsi


flavonoid bekerja sebagai antimikroba dan antivirus dan bekerja pula
terhadap serangga (AnonimB, 2013)
2)

Tanin
Tanin merupakan zat organik yang sangat kompleks dan terdiri dari

senyawa fenolik. Istilah tanin pertama sekali diaplikasikan pada tahun


1796 oleh Seguil. Tanin terdiri dari sekelompok zat zat kompleks
yang terdapat pada tumbuhtumbuhan, antara lain terdapat pada bagian
kulit kayu, batang, daun dan buahbuahan. Tanin berfungsi sebagai anti
hama bagi tanaman sehingga mencegah serangga dan fungi. Pada
kelarutannya tanin lebih larut dalam etanol dibandingkan air (Anonima,
2013).

2. Penyakit Panu (Pitiriasis versikolor)


a. Sejarah
Pitiriasis versikor atau panu sebenarnya sudah lama dikenal namun
penyebabnya baru dibuktikan pada tahun 1846 dan 1847 oleh Eichstedt
dan Sluyter. Pada tahun 1889, Baillon memberi nama Malassezia
furfur. Jamur ini sering ditemukan sebagai saprofit pada kulit manusia
dan bahkan bisa menjadi patogen dengan kondisi yang sesuai (Sutanto
dkk, 2008).
Pitiriasis versikolor dapat menyerang semua umur terutama pada
usia 16-40 tahun. Penyakit ini tersebar di seluruh dunia terutama daerah
subtropis dan tropis termasuk Indonesia. Penyakit ini banyak ditemukan

10

di daerah yang sosial ekonominya rendah dan berhubungan dengan


buruknya higienitas perorangan (Danukusumo,1980).
b. Gambaran Klinis
Letak lesi pada kulit sangat superfisial dengan warna bercak yang
bermacam-macam. Lesi dimulai dengan bercak kecil tipis yang
kemudian menjadi banyak dan menyebar disertai dengan adanya sisik.
Kelainan kulit pada penderita panu tampak jelas, timbul bercak putih
pada orang yang berkulit gelap merupakan bercak hipopigmentasi
sedangkan timbul bercak berwarna merah tembaga atau cokelat
kehitaman pada orang yang berkulit putih merupakan bercak
hiperpigmentasi.

Gambar 2. Penyakit panu (Pitiriasis versikolor)


(Anonim, 2011)
Kelainan kulit tersebut terutama bagian atas (leher, muka, lengan,
dada, perut, dan lain-lain). Bentuk lesi tidak teratur, dapat berbatas
tegas sampai difus, dan ukuran lesi dapat milier, lentikuler, numuler
sampai plakat. Biasanya tidak ada keluhan tetapi terkadang ada rasa
gatal saat berkeringat (Siregar, 1995).

11

c. Epidemiologi
Penyakit ini ditemukan di seluruh dunia (kosmopolit) terutama di
daerah beriklim panas. Di Indonesia penyakit panu merupakan mikosis
superfisial yang frekuensi tinggi. Penularan panu akan terjadi bila ada
kontak dengan jamur penyebab. Oleh karena itu, faktor kebersihan
pribadi sangat penting tetapi pada kenyataannya ada orang yang mudah
terkena infeksi jamur dan ada yang tidak karena penyakit ini juga dapat
disebabkan oleh faktor endogen dan faktor eksogen (Gandahusada,
2000). Faktor endogen disebabkan oleh defisiensi imun, sedangkan
eksogen dapat karen fakrot suhu, kelembaban dara, dan keringat
(Djuanda, 2002).
d. Pencegahan penyakit panu
Sebelum diagnosis ditetapkan dipertimbangkan beberapa hal untuk
melakukan tindak lanjut dalam mekanisme pencegahan yaitu :
1) Mencegah faktor endogen yaitu defisiensi imun
2) Mencegah faktor eksogen seperti perubahan cuaca dan kelembaban
3) Menghindari pemakaian pakaian bersamaan
4) Menjaga kebersihan lingkungan
5) Mematuhi penggunaan obat antijamur yang pada umumnya lebih
dari 1 minggu
6) Menentukan penggunaan obat sintetis dengan mempertimbangkan
efektivitas dan keamanan obat tersebut.

12

3. Jamur Malassezia furfur


Jamur adalah tumbuh-tumbuhan berbentuk sel atau benang
bercabang mempunyai dinding dari selulosa atau kitin atau keduanya,
mempunyai protoplasma yang mengandung satu atau lebih inti, tidak
mempunyai klorofil dan berkembang biak secara aseksual, seksual, atau
keduanya (Gandahusada, 2000).
Jamur berbeda dengan protozoa yang hanya bersel tunggal,
organisme ini berinti, mempunyai spora dan berkembang biak secara
vegetatif dan generatif. Jamur termasuk tumbuhan filum talofita yang tidak
mempunyai akar, batang, dan daun (Irianto,2009).
Jamur tidak bisa menghisap makanan dari tanah dan tidak
mempunyai klorofil sehingga tidak bisa menghasilkan makanan untuk
pertumbuhannya,

sehingga

jamur

hidup

sebagai

parasit.

Jamur

memerlukan senyawa organik untuk nutrisinya, mereka disebut sebagai


saprofit bila hidup dari benda organik mati yang akan menghancurkan
sisa-sisa tumbuhan dan hewan yang kompeks. Pada umumnya jamur
tumbuh dengan baik di tempat yang lembab. Jamur juga dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya sehingga jamur dapat ditentukan
di seluruh dunia termasuk gurun pasir yang panas (Hadioetomo, 1986).
Sampai saat ini dikenal 100.000 spesies jamur, 500 spesies diduga
dapat menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan. Sejumlah 100
spesies jamur bersifat patogen pada manusia. Sekitar 100 spesies hidup
tersebut bersifat komensial pada manusia (hidup saprofit) baik pada kulit,
subkutis maupun menyerang alat dalam atau sistematik dan menimbulkan

13

kelainan pada manusia bila keadaan mengutungkan untuk pertumbuhan


jamur tersebut (Sutanto, 2008).
Mikosis superfisial ialah penyakit jamur yang mengenai lapisan
permukaan kulit yaitu stratum korneum, rambut dan kuku. Mikosis
superfisial dibagi dua kelompok yaitu disebabkan oleh jamur bukan
golongan dermatofita seperti tinea versikolor, otomikosis, piedra hitam,
piedra putih, onikomikosis, dan tinea nigra palmaris dan disebabkan oleh
jamur

oleh

golongan

dermatofita

atau

disebut

dermatifitosis

(Gandahusada,2000).
Jamur dapat menimbulkan suatu penyakit jika dapat melawan
pertahanan tubuh manusia atau hospes. Pada waktu menginvasi penderita,
jamur harus mempunyai kemampuan melekat pada kulit dan mukosa serta
menembus jaringan penjamu. Jamur harus mampu bertahan di dalam
lingkungan dan dapat menyesuaikan diri dengan suhu serta keadaan
biokimia penjamu untuk dapat berkembang biak dan menimbulkan reaksi
jaringan atau radang. Dari berbagai kemampuan tersebut, kemampuan
jamur untuk menyesuaikan diri di dalam lingkungan hospes dan
kemampuan mengatasi pertahanan seluler, merupakan dua mekanisme
terpenting dalam patogenesis penyakit jamur.
Pada kulit penderita, jamur tampak sebagai kelompok kecil. Sel ragi
berbentuk lonjong uniseluler atau bulat bertunas (4-8m) dan hifa pendek,
berseptum yang kadang bercabang (diameter 2,4-4m dan panjangnya
bervariasi). Sedangkan pada biakan jamur Malassezia furfur membentuk
kolon khamir, kering dan berwarna putih sampai krem.

14

a. Klasifikasi Jamur Malassezia furfur


Klasifikasi jamur panu yaitu :
Kingdom

: Fungi

Divisi

: Basidiomycota

Kelas

: Hynenomycetes

Ordo

: Tremellales

Familia

: Filobasidiaceae

Genus

: Malassezia

Spesies

: Malassezia furfur (Anonimb, 2013)

Gambar 3. Jamur Malassezia furfur


(Anonimb, 2013)
b. Patogenesis jamur Malassezia furfur
Jamur

Malassezia

furfur

bersifat

lipofilik

dimorfik

yang

membutuhkan lipid untuk pertumbuhannya. Manusia terinfeksi bila


jamur Malassezia melekat pada kulit. Awal infeksi jamur tampak

15

sebagai sel ragi (saprofit) dan berubah menjadi patogen setelah ragi
menjadi miselium sehingga menyebabkan timbulnya lesi.
Lesi dimulai dengan bercak kulit tipis yang kemudian menjadi
banyak dan menyebar, disertai adanya sisik. Kelainan kulit pada
penderita panu tampak jelas, pada orang kulit berwarna panu ini
merupakan bercak dengan hipopigmentasi sedangkan pada orang
berkulit putih merupakan hiperpigmentasi. Dengan demikian warna
kelainan kulit ini dapat bermacam-macam (versikolor). Kelainan kulit
tersebut terutama pada bagian tubuh bagian atas (leher, muka, lengan,
dada, perut, dan lain-lain) berupa bercak yang bulat-bulat kecil
(nummular) atau bahkan melebar menjadi plakat pada penderita panu
yang sudah menahun. Penyakit ini menimbulkan keluhan berupa rasa
gatal bila berkeringat. Bila kulit panu disinari dengan sinar ultra violet
maka tampak fluorosensi hijau kebiru-biruan. Reaksi ini disebut Woods
light positive (Danukusumo, 1980).

4. Antimikotika
Antimikotika adalah obat-obat yang berdaya menghentikan
pertumbuhan atau mematikan jamur yang menghinggapi manusia (Tan,
2010).
Beberapa macam penyakit kulit seperti panu, kudis, eksema,
koreng dan sebagainya diobati dengan bahan-bahan yang bersifat
antiseptika, melindungi kulit yang luka, menghaluskan kulit, dan
mengurangi rasa gatal. Obat-obat tersebut dipakai sebagai obat
kompres, pasta, salep, krim, lotio maupun liniment (Widjajanti,1998).

16

Pengobatan infeksi jamur dapat digolongkan antara lain :


a. Antibiotika

griseofulvin

dan

senyawa

polyen

(amfoterisin B, nistatin).
b. Derivat-imidazol :

mikonazol,

ketokonazol,

klotrimazol,

bifonazol, ekonazol, isokonazol, dan


tiokonazol.
c. Derivat-triazol

: flukonazol dan itrakonazol.

d. Asam organis

asam

salisilat,

asam

benzoat,

asam

undesilenat (Tan, 2010).


a. Mikonazol
Mikonazol merupakan obat antimikotika yang tergolong derivat
imidazol. Mekanisme kerjanya berdasarkan pengikatan pada enzim
sitokrom P450, sehingga sintesa ergosterol dirintangi dan terjadi
kerusakan membran sel (Tan, 2010).
Derivat imidazol ini berkhasiat fungisida kuat dengan spektrum
kerja lebar sekali, lebih aktif dan efektif terhadap dermatofit biasa dan
candida daripada fungistatika lainnnya. Zat ini juga bekerja bakterisida
pada dosis terapi terhadap sejumlah kuman gram-positif, kecuali basilbasil doderlein yang terdapat dalam vagina. Resorbsinya dari usus
hanya ringan dengan Bioavalibilitas (BA) ca 25% maka mikanazol
terutama digunakan untuk mengobati infeksi kulit dan kuku.
Penggunaannya juga sebagai krem/tablet vaginal yang dapat digunakan
oleh wanita hamil (Tan, 2010).

17

Gambar 4.Struktur kimia mikonazol


(Anonim, 2005)
Sifat fisikokimia dari mikonazol adalah serbuk hablur, putih atau
praktis putih, berbau lemah. Sangat sukar larut dalam air dan
isopropanol, sukar larut dalam etanol, kloroform, dan propilen glikol,
agak sukar larut dalam metanol, larut dalam dimetilformamid, mudah
larut dalam dimetilsulfoksida (Anonim, 2005).
5. Ekstraksi
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi
zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut
yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan
massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi
baku yang telah ditetapkan (Depkes, 1995).
Metode dasar ekstraksi adalah cara panas dan cara dingin. Pada
metode cara panas digunakan metode infusa,soxheltasi,destilasi sedangkan
pada metode cara dingin adalah maserasi dan perkolasi. Biasanya metode
ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari bahan
mentah.

18

a.

Maserasi
Masukkan 10 bagian simplisia atau campuran simplisia dengan

derajat halus yang cocok kedalam sebuah bejana, tuangi dengan 75 bagian
cairan penyari, tutup, biarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya sambil
sering diaduk, serkai, peras, cuci ampas dengan cairan penyari secukupnya
hingga diperoleh 100 bagian.Suling atau uapkan maserat pada tekanan
rendah pada suhu tidak lebih dari 500 C hingga konsistensi yang
dikehendaki (Anonimb, 2010).
Perendaman bahan yang dilakukan pada proses maserasi akan
menaikkan permeabilitas dinding sel melalui tiga tahapan yaitu :
1) masuknya pelarut ke dalam dinding sel dan membengkakannya
2) senyawa yang terdapat pada dinding sel akan lepas dan masuk ke dalam
pelarut
3) difusi senyawa yang terekstraksi oleh pelarut keluar dari dinding sel.
Proses ekstraksi dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu lama ekstraksi,
suhu yang digunakan, pengadukan, dan banyaknya pelarut yang digunakan
(Anonimb, 2012).
6. Pengukuran Daya Hambat
Cara pengukuran daya anti mikroba dapat dilakukan dengan berbagai
metode, antara lain :
a. Metode dilusi
Uji ini dilakukan untuk mengetahui konsentrasi minimal yang bisa
menghambat

pertumbuhan

(Konsentrasi

Hambat

Minimal)

dan

membunuh (Konsentrasi Bunuh Minimal) mikroba yang diperiksa.

19

Keuntungan tes pengenceran ini yaitu memungkinkan adanya suatu


hasil kuantitatif, yang menunjukan jumlah obat yang diperiksa untuk
menghambat atau mematikan organisme yang diperiksa.
b. Metode difusi
Metode difusi agar (the agar diffusion methode) adalah metode
yang paling sering digunakan. Metode ini ada dua cara, yaitu
menggunakan kertas cakram dan sumuran agar kirby bauer yang
mengandung antimikroba dalam jumlah tertentu, ditempatkan pada
pembenihan padat yang sebelumnya telah ditanami dengan biakan
kuman yang akan diperiksa.
Pada metode difusi jika antimikroba mampu menghambat
pertumbuhan mikroba maka akan terlihat daerah jernih di sekeliling
disk ataupun sumuran. Luas daerah jernih menjadi ukuran daya kerja
antimikroba. Semakin rentan suatu mikroba terhada antimikroba, maka
semakin besar zona hambat atau daerah jernih yang terbentuk. Jika
konsentrasi terinhibisi telah tercapai maka akan tidak terlihat
pertumbuhan mikroba (Jawetz dkk, 2007).

20

B. Kerangka Teori
Ekstrak daun ketepeng cina (Cassia alata L.)

Kandungan aktif dalam daun ketepeng cina


seperti aloe-emodin, tanin, rein, glikosida
antarkuion, asam oleat dan flavonoid.

Dibandingkan efektivitas dengan obat


antimikotika yaitu mikonazol 2%

Menghambat pertumbuhan jamur Malassezia


furfur

Gambar 5. Kerangka teori

C. Kerangka Konsep
Ekstrak daun ketepeng
cina (Cassia alata L.)
dengan konsentrasi
50%, 60%, 70%,
80%,90% dan 100%

Pertumbuhan
Malassezia furfur

Gambar 6. Kerangka konsep penelitian

21

D. Definisi Operasional
Tabel 1. Definisi Operasional
No

Variabel

1.

Variabel
bebas:
Ekstrak daun
ketepeng cina

Variabel
terikat:
Pertumbuhan
jamur
Malassezia
furfur

Definisi
Operasional
Ekstrak daun
ketepeng cina
adalah
simplisia
kering daun
ketepeng cina
yang
diekstraksi
dengan etanol
70%
Pertumbuhan
jamur
Malassezia
furfur
pada
media SDA

Cara Ukur

Alat ukur

Hasil Ukur

Skala

Ekstrak daun
ketepeng
cina yang
diencerkan
dengan
aquadest
dengan
rumus :
V1 x %1 =
V2 x %2
Metode yang
digunakan
difusi
dengan
mengukur
zona bening
sekitar
sumuran.

a. pipet
ukur
b. labu
ukur

Konsentrasi
pengenceran
dari 100%
menjadi 50%,
60%, 70%,
80%, dan 90%

Ratio

Penggaris

Zona hambat
yang terbentuk
berupa zona
bening disekitar
sumuran yang
diukur dalam
milimeter pada
media untuk
menyimpulkan :
a.Pertumbuhan
jamur dapat
terhambat
b.Pertumbuhan
jamur tidak
terhambat

Ratio

E. Hipotesis
Ekstrak daun ketepeng cina (Cassia Alata L.) mempunyai daya hambat
dan efektif dalam menghambat pertumbuhan jamur Malassezia furfur
penyebab Pitiriasis versikolor atau panu.

Anda mungkin juga menyukai