Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Buah naga merupakan sejenis pohon kaktus yang berasal dari Meksiko,

Amerika Selatan, dan Amerika Tengah. Saat ini buah naga sudah ditanam secara

komersial dibeberapa negara seperti Vietnam, Taiwan, Malaysia, Australia, dan

Indonesia. Nama lain dari Buah naga adalah Dragon Fruit, dalam bahasa latin

buah naga dikenal dengan Phitahaya. Daging buah naga berwarna putih, merah,

dan ungu dengan taburan biji-biji berwarna hitam yang boleh

dimakan (Idawati, 2012).

Kulit buah naga atau yang memiliki nama ilmiah Hylocereus polyrhizus

ini memiliki banyak kandungan yang berguna bagi tubuh. Sebuah penelitian telah

menunjukan bahwa kulit buah naga mengandung senyawa aktif yang dapat

melenturkan pembuluh darah. Manfaat kulit buah naga yang lain yakni mengobati

tumor dan kulit buah naga diketahui dapat digunakan untuk mengetahui ada

tidaknya kandungan borak dan formalin di dalam makanan. Sebagai perlindungan

pembuluh darah mikro (Anonim, 2013).

Perbedaan kondisi lingkungan tempat tumbuh dapat menyebabkan

perbedaan jenis dan jumlah dari metabolit sekunder yang terkandung dalam

tanaman. Selain itu hal yang menyebabkan perbedaan kandungan metabolit

sekunder yaitu genetik, metode budidaya, waktu pengumpulan, serta pengolahan

pasca panen. Maka dari itu perlu dilakukan penentuan kandungan kimia yang

mampu bertanggungjawab dalam memberikan aktivitas dan meningkatkan kontrol

kualitas dari produk herbal tersebut (Vallisuta, 2012).

1
Berdasarkan uraian diatas maka dilakukanlah percobaan isolasi kulit buah

naga Hylocereus polyrhizus.

1.2 Maksud dan Tujuan Percobaan

1.2.1 Maksud Percobaan

Maksud dari percobaan ini adalah untuk mengetahui metode isolasi

metabolit sekunder dari kulit buah naga Hylocereus polyrhizus dan untuk

mengetahui kandungan kimia dalam kulit buah naga Hylocereus polyrhizus

dengan cara uji fitokimia.

1.2.2 Tujuan Percobaan

Tujuan percobaan ini adalah:

1. Mengisolasi dan mengidentifikasi metabolit sekunder yang terdapat dalam

kulit buah naga (Hylocereus polyrhizus).

2. Mengetahui golongan kandungan kimia dalam kulit buah naga (Hylocereus

polyrhizus) dengan cara uji fitokimia.

1.3 Prinsip Percobaan

Metabolit sekunder dapat diisolasi dari kulit buah naga

Hylocereus polyrhizus dengan mengekstraksi metabolit sekunder dari kulit buah

naga Hylocereus polyrhizus dengan menggunakan metode maserasi kemudian

digunakan metode evaporasi untuk mendapatkan senyawa metabolit sekunder.

Senyawa yang dihasilkan diuji fitokimianya.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Biologis Kulit Buah Naga

2.1.1 Taksonomi Buah Naga Merah

Klasifikasi buah naga merah yang menjadi objek praktikum ini adalah

sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Cactales
Gambar 1. Buah Naga Merah
Famili : Cactaceae

Subfamily : Hylocereanea

Genus : Hylodereus

Species : Hylocereus polyrhizus

(Anonim, 2016).

2.1.2 Morfologi Buah Naga Merah

Berdasarkan klasifikasi buah naga dalam ilmu taksonomi, maka secara

morfologis bisa digambarkan bahwa tanaman buah naga merupakan tumbuhan

tidak lengkap karena tidak memiliki daun seperti tumbuhan lain. Namun, tanaman

buah naga memiliki akar, batang, cabang, biji dan bunga (Anonim, 2016).

Beberapa fungsi dari bagian-bagian tumbuhan pada tanaman buah naga

adalah akar buah naga yang berfungsi sebagai perekat sehingga memungkinkan

tanaman untuk melekat atau memanjat tumbuhan lain atau median tumbuh

3
lainnya. Sementara itu, batang tumbuhan buah naga mengandung sejumlah air

yang berbentuk layaknya lendir dengan lapisan lilin dan memiliki bentuk

memanjang dengan model segitiga atau menyiku. durinya sangat pendek dan tidak

mencolok, sehingga sering dianggap "kaktus tak berduri".Batang dan juga cabang

dari tanaman ini memiliki fungsi utama sebagai pengganti daun dalam proses

asimilasi dan juga menyimpan kambium untuk pertumbuhan tanaman (Anonim,

2016).

Sementara itu, bunga tanaman buah naga berbentuk terompet. Dalam

bunga ini terdapat putik sekaligus benang sari sebab tanaman ini memang

digolongkan dalam kelompok hermaprodit (berkelamin dua) (Anonim, 2016).

Buah dari tanaman ini tergolong buah berbatu dan berlendir. Kulit

buahnya berwarna merah menyala untuk jenis buah naga putih dan merah,

berwarna merah gelap untuk buah naga hitam (super merah), dan berwarna kuning

untuk buah naga kuning. Di sekitar dipenuhi dengan jumbai-jumbai yang

dianalogikan dengan sisik naga. Oleh sebab itu, buah ini disebut buah naga. Biji

tanaman ini terdapat di dalam daging buahnya. Bentuknya kecil seperti selasih

dengan warna yang juga hitam. Meski termasuk tanaman berbiji, buah naga

diperbanyak dengan cara stek (Anonim, 2016).

2.2 Senyawa Metabolit Sekunder

Tumbuhan menghasilkan berbagai senyawa organik yang tidak

mempunyai fungsi yang spesifik dalam pertumbuhan dan perkembangan ;

senyawa-senyawa tersebut tidak mempunyai peran yang diketahui dalam

fotosintesis, respirasi, transpor zat terlarut, translokasi dan asimilasi nutrien

(Hartmann, 1991). Senyawa-senyawa tersebut mempunyai distribusi yang lebih

terbatas dibandingkan metabolit primer dalam seluruh kingdom dari tumbuhan.

4
Konsentrasi metabolit sekunder yang tinggi bisa menghasilkan tumbuhan yang

lebih resistan.

Metabolit sekunder atau biasa dikenal sebagai fitokimia, produk bahan

alam atau konstituen dari tumbuhan yang berperan dalam sifat keobatan dari

tumbuhan itu sendiri. Peran yang dipegang oleh metabolit sekunder dalam

tumbuhan bisa saja lebih dari sekedar untuk proteksi. Metabolit sekunder dalam

tumbuhan, yang didapatkan dari metabolit primernya seperti asam nukleat, asam

amino, karbohidrat, lemak adalah sangat “diverse”; dimana ribuan dari

metabolit-metabolit tersebut diidentifikasikan dan dibagi ke dalam beberapa kelas.

Selanjutnya setiap famili, genus dan spesies tumbuhan menghasilkan campuran

karakteristik dari bahan-bahan kimia ini, dan bisa digunakan sebagai karakter

taksonomik dalam mengklasifikasikan tumbuhan. Klasifikasinya juga bisa

didasarkan pada struktur kimia, komposisi dan kelarutan dalam berbagai pelarut

atau proses sintesisnya.

Metabolit sekunder merupakan senyawa kimia yang terdapat dalam suatu

organisme yang tidak terlibat secara langsung dalam proses pertumbuhan,

perkembangan atau reproduksi organisme. Berbeda dengan metabolit primer

yang ditemukan pada seluruh spesies dan diproduksi dengan menggunakan jalur

yang sama, senyawa metabolit sekunder tertentu hanya ditemukan pada spesies

tertentu. Tanpa metabolit sekunder organisme akan menderita kerusakan atau

menurunnya kemampuan bertahan hidup. Fungsi metabolit sekunder pada suatu

organisme, untuk bertahan hidup dari predator, kompetitor dan untuk mendukung

proses reproduksi (Herbert, 1996).

Menurut Saifuddin (2014), metabolit sekunder memiliki ciri sebagai

berikut:

5
1. Tidak terlibat langsung dalam metabolisme yaitu: pertumbuhan,

perkembangan dan reproduksi

2. Tidak esensial, ketiadaan jangka pendek tidak berakibat kematian.

Ketiadaan jangka panjang mengakibatkan kelemahan dalam pertahanan

diri, survival, estetika dan menarik serangga.

3. Golongan metabolit sekunder didistribusi hanya pada spesies filogenetik

atau familia tertentu.

4. Seringkali berperan di dalam pertahanan terhadap musuh.

5. Senyawa organik dengan berat molekul 50-1500 Dalton sehingga disebut

mikro molekul.

6. Penggolongan utama: terpenoid, fenil propanoid, poliketida, dan alkaloid

adalah metabolit sekunder.

7. Pemanfaatan oleh manusia yaitu sebagai: untuk obat, parfum, aroma,

bumbu, bahan rekreasi dan relaksasi.

Senyawa metabolit sekunder terdiri dari golongan flavonoid, alkoloid,

terpenoid, steroid, lipid, lakton, dan glikosida (Herbert, 1996):

1. Terpen

Terpen merupakan kelas metabolit sekunder yang terbesar, umumnya tidak

larut dalam air, konstituen minyak esensial, lipid yang disintesis dari asetil KoA

atau dari intermediet glikolisis. Pada suhu tinggi terpen dapat didekomposisi

menjadi unit-unit isopren. Terpen diklasifikasikan berdasarkan jumlah unit

isopren. Monoterpen : mengandung 10-karbon terpen atau 2 unit C5 lintasan asam

mevalonat. Semua terpen disusun oleh unit isopren ber-C5; sesquiterpen:

mengandung 15-karbon terpen atau 3 unit C5; diterpen mengandung 20-karbon

terpen atau 4 unit C5. Terpen yang lebih besar termasuk triterpen (30 karbon),

tetraterpen (40 karbon) dan politerpen (C5]n, dimana n > 8). Terpen disintesis

6
untuk menolak serangga, herbivor pemakan, dan untuk menarik insek predator

dan parasit pemakan herbivor (Mastuti, 2016).

Biosintesis lintasan methylerythritol phosphate (MEP) terpen dapat terjadi

melalui dua lintasan, yaitu lintasan asam mevalonat. Adapun jalur biosintesis dari

lintasan pertama, yaitu tiga molekul asetil ko-A bergabung membentuk asam

mevalonat kemudian intermediet berkarbon enam ini mengalami

pyrophosphorylasi, dekarboksilasi dan dehidrasi menghasilkan intermediet

isopenthyenyl diphosphate (IPP). IPP adalah struktur ber C5 penyusun terpen

(Mastuti, 2016).

2. Fenol

Tumbuhan menghasilkan banyak produk sekunder yang mengandung

gugus fenol. Senyawa ini dikelompokkan ke dalam senyawa fenolik yang

jumlahnya hampir mencapai 10.000. Beberapa senyawa fenol larut dalam pelarut

organik dan yang lainnya adalah polimer yang tidak larut (Mastuti, 2016).

Senyawa aromatik ini dibentuk melalui beberapa lintasan yang berbeda

sehingga menyusun banyak kelompok heterogen. Dua lintasan dasar yang terlibat

adalah lintasan asam sikimat yang berpartisipasi pada sebagian besar fenolik

tumbuhan dan lintasan asam malonat. Lintasan asam sikimat terdapat di

tumbuhan, fungi dan bakteri tetapi tidak terdapat di hewan. Hewan tidak memiliki

lintasan untuk mensintesis tiga asam amino aromatik, yaitu phenilalanin, tyrosin

dan tryptophan sehingga ketiganya merupakan nutrien esensial bagi hewan

(Mastuti, 2016).

Kelas senyawa sekunder fenolik yang terbanyak di tumbuhan diperoleh

dari phenylalanine melalui eliminasi molekul ammonia dari asam sinamat. Reaksi

ini dikatalis oleh phenylalanine ammonia lyase (PAL), enzim yang paling banyak

7
dipelajari pada metabolisme sekunder tumbuhan. Phenylalanin berada pada titik

percabangan antara metabolisme primer dan sekunder sehingga reaksi yang

dikatalisnya adalah tahap regulasi yang penting pada pembentukan banyak

senyawa fenolik. Aktivitas PAL dapat ditingkatkan oleh faktor lingkungan, seperti

nutrien yang rendah, cahaya (melalui pengaruhnya pada fitokrom), dan infeksi

fungi. Kontrolnya terjadi pada inisiasi transkripsi, contohnya, invasi fungal

memicu transkripsi mRNA yang mengkode PAL sehingga meningkatkan jumlah

PAL di tumbuhan yang akan menstimulir sintesis senyawa fenol. Regulasi

aktivitas PAL pada tumbuhan menjadi semakin kompleks karena banyaknya gen

pengkode berbagai PAL, beberapa diantaranya hanya diekspresikan pada jaringan

spesifik atau hanya dibawah kondisi lingkungan tertentu. Reaksi-reaksi

selanjutnya yang dikatalisis PAL adalah penambahan gugus hidroksil dan

substituent lainnya. Trans-sinamic acid, p-coumaric acid dan derivatnya adalah

senyawa fenol sederhana yang disebut phenyl propanoid karena mengandung

cincin benzen (Mastuti, 2016).

Adapun pembagian dari senyawa metabolit sekunder yaitu :

 Lignin

Lignin adalah bahan organik terbanyak kedua di tumbuhan setelah

selulosa. Lignin terikat secara kovalen dengan selulosa dan polisakarida lain di

dinding sel sehingga sulit diekstraksi. Lignin umumnya dibentuk dari tiga

phenylpropanoid alkohol yang berbeda, yaitu coniferyl, coumaryl, dan sinapyl

alkohol yang disintesis dari phenylalanin melalui berbagai derivat asam sinamat.

Lignin dijumpai di dinding sel berbagai tipe jaringan pendukung, yaitu trakeid dan

elemen pembuluh di xilem, terdapat pada penebalan dinding sekunder, tetapi juga

ada di dinding primer dan lamela tengah berdekatan dengan selulosa dan

8
hemiselulosa. Rigiditas lignin memperkuat batang dan jaringan pembuluh,

memungkinkan pertumbuhan ke atas dan membawa air dan minreral di dalam

jaringan xilem dibawah tekanan negatif. Selain berperan dalam suport mekanik,

lignin juga berfungsi sebagai pelindung yang signifikan pada tumbuhan. Struktur

lignin yang kaku dan kuat menyebabakan lignin tidak mudah dicerna oleh

herbivora atau pathogen (Mastuti, 2016).

 Flavonoid

Flavonoid merupakan klas terbesar pada senyawa fenolik tumbuhan, yang

berdasarkan derajat oksidasi pada jembatan berkarbon 3 dibagi menjadi empat

kelompok utama, yaitu anthosianin, flavon, flavonol dan disoflavon. Pigmen

berwarna pada tumbuhan ada dua yaitu karotenoid dan flavonoid. Karotenoid

yang terlihat adalah terpenoid berwarna kuning, oranye dan merah yang berfungsi

sebagai pigmen asesori pada fotosintesis. Flavonoid adalah senyawa fenolik yang

menyusun lebih banyak variasi warna. Pigmen flavonoid yang paling banyak

terdistribusi adalah antosianin yang bertanggungjawab pada sebagian besar warna

merah, pink, ungu, dan biru pada bagian-bagian tumbuhan. Sebagai warna bunga

dan buah antosianin penting untuk penarik hewan pollinator dan penyebar biji

(Mastuti, 2016).

Antosianin adalah glikosida yang memiliki gula pada posisi 3 atau kadang

di posisi lain. Antosianin tanpa gula dikenal sebagai antosianidin. Warna

antosianin dipengaruhi beberapa factor, yaitu jumlah gugus hidroksi dan metoksil

di cincin B antosianidin, keberadaan asam asomatik yang teresterifikasi di

kerangka utama dan pH vakuola sel dimana senyawa ini disimpan. Antosianin

juga dapat berada di kompeks supra molekul bersama-sama ion ligan pengkelat

dan kopigmen flavon. Adanya berbagi faktor yang mempengaruhi warna

antosianin dan kemungkinan keberadaan karotenoid maka dapat dipahami

9
banyaknya variasi warna bunga dan buah yang dapat dilihat di alam. Evolusi

warna bunga ini dapat disebabkan karena terseleksinya polinator berdasarkan

warna bunga yang disukai. Selain warna sebagai sinyal penarik polinator bunga

senyawa volatile khususnya monoterpen seringkali menghasilkan aroma yang

atraktif (Mastuti, 2016).

 Tanin

Tanin yang merupakan Polimer fenol dari tumbuhan yang bersifat sebagai

pertahanan selain lignin. Jenis tanin pertama adalah tanin terkondensasi, yaitu

senyawa yang dibentuk melalui polimerisasi unit flavonoid dan banyak terdapat di

tumbuhan berkayu karena tanin terkondensasi seringkali dapat dihidrolisis

menjadi antosianidin dengan perlakuan asam kuat maka seringkali disebut pro-

antosianidin. Jenis tanin kedua adalah tanin terhidrolisis, yaitu polimer heterogen

yang mengandung asam fenolik, khususnya asam galat dan gula sederhana; lebih

kecil dari tanin terkondensasi sehingga lebih mudah dihidrolisis. Sebagian besar

tanin memiliki massa molekul antara 600-3000. Tanin adalah toksin yang

meredukasi pertumbuhan dan ketahanan herbivora. Buah muda seringkali

mengandung tanin dalam jumlah banyak yang terkonsentrasi di lapisan sel sebelah

luar (Mastuti, 2016).

3. Alkaloid

Alkaloid adalah famili metabolit sekunder mengandung nitrogen yang

berjumlah lebih dari 15.000 dan dijumpai di sekitar 20% spesies tumbuhan

berpembuluh. Atom nitrogen biasanya bagian dari cincin heterosiklik, cincin yang

mengandung atom nitrogen dan karbon. Alkaloid adalah kelompok yang memiliki

efek farmakologis pada hewan vertebrata. Sebagaimana namanya, alkaloid adalah

alkalin. Pada nilai pH yang umum dijumpai di sitosol (pH 7.2) atau vakuola (pH

10
5-6) atom nitrogen bersifat proton, alkaloid bermuatan positif dan umumnya larut

dalam air (Mastuti, 2016).

Alkaloid disintesis dari asam amino, khususnya lisin, tirosin dan triptofan.

Tetapi kerangka karbon yang terdapat dalam alkaloid mengandung komponen

yang diperoleh dari lintasan terpen. Beberapa tipe berbeda termasuk nikotin dan

derivatnya diperoleh dari ornitin, intermediet biosintesis arginin. Vitamin B

nicotinic acid (niacin) adalah prekursor cincin pyridine alkaloid; cincin pyrolidon

nikotin muncul dari ornitin. Nicotinic acid juga konstituen NAD+ dan NADP+

yang merupakan carrier electron pada metabolisme (Mastuti, 2016).

4. Glikosida

Glikosida adalah senyawa yang menghasilkan satu atau Iebih gula (kon)

diantara produk hidrolisisnya dan sisanya berupa senyawa bukan gula (aglikon).

Bila gula yang terbentuk adalah glukosa maka golongan senyawa itu disebut

glukosida, sedangkan bila terbentuk gula Iainnya disebut glikosida. Di alam ada

D-glikosida, C-glikosida, N-glikosida, dan S-glikosida (Elisa UGM, 2016).

Secara kimia, glikosida merupakan asetal , yaitu hasil kondensasi gugus

hidroksil gula dengan gugus hidroksil dan komponen aglikon, serta gugus

hidroksil sekunder di dalam molekul gula itu sendiri juga mengalami kondensasi

membentuk cincin oksida. Secara sederhana glikosida merupakan gula eter.

Bentuk alfa dan beta mungkin saja ada, namun di alam atau di dalam tanaman

hanya bentuk beta (13) yang ada. Dari segi pandang biologi, glikosida berperan

dalam tumbuhan terlibat dalam fungsi pengaturan pengaturan, perlindungan, dan

kesehatan, sedangkan untuk manusia ada yang digunakan datam pengobatan

(Elisa UGM, 2016).

Dalam segi pengobatan, glikosida menyumbang hampir setiap kelas

pengobatan, misalnya sebagai obat jantung (kardiotonika) contohnya glikosida

11
digitalis, strophantus, squill, corivallaria, apocynum, dan lain-lain, sebagai obat

pencahar (laxantia), misalnya antrakinon dalam sena, aloe, kelembak, kaskara

sagrada, frangula, dan lain-lain, sebagai penyedap atau lokal iritan, misalnya

alilisotiosianat, sebagai analgesika, misalnya gaulterin dan gondopuro

menghasilkan metilsalisilat (Elisa UGM, 2016).

Klasifikasi (penggolongan) glikosida sangat sukar. Bila ditinjau dari

gulanya akan dijumpai gula yang strukturnya belum jelas; sedangkan bila ditinjau

dari aglikonnya akan dijumpai hampir semua golonqan konstituen tumbuhan,

misalnya tanin, stenol, terpenoid, antosian, flavonoid dsb. Bila ditinjau dan segi

pengobatan akan terjadi beberapa glikosida yang diabaikan, padahal penting

dalam farmakognosi (Elisa UGM, 2016).

2.3 Senyawa Metabolit Sekunder dalam Buah Naga

Manfaat kulit buah naga sudah dibuktikan oleh beberapa ahli dan telah

banyak diketahui oleh masyarakat. Buah naga ini tidak hanya lezat, tetapi kulitnya

juga memiliki banyak manfaat bagi kesehatan. Kulit buah naga bisa dimanfaatkan

untuk dijadikan pewarna makanan maupun obat (Handayani, 2014).

Buah naga mulai banyak dikonsumsi karena kandungan kimianya yang

bermanfaat bagi kesehatan. Kandungan kimia buah naga dan kulit buah naga yaitu

flavonoid (Hilal, 2006) dan vitamin A, C, E dan polifenol (Siregar, 2011). Kulit

buah naga yang bersisik dipercaya mengandung zat pentacyclic, triyepene, dan

taraxast yang dapat membuat lentur pembuluh darah, sehingga darah akan

mengalir dengan lancar ke seluruh tubuh (Handayani, 2014).

Kulit buah naga yang biasanya hanya dianggap sebagai limbah,

mengandung banyak zat yang bisa membasmi zat-zat asing yang membahayakan

12
tubuh. Tidak hanya itu, kulit tersebut dapat juga dapat mencegah diabetes dan

penyakit jantung. Kulit buah naga dapat pula dimanfaatkan sebagai alat

pendeteksi makanan yang mengandung boraks dan formalin, sehingga konsumsi

makanan akan tetap terjaga zat yang terkandung dalam kulit buah naga tersebut

(Handayani, 2014).

Tabel 1. Senyawa metabolit yang berhasil diidentifikasi dari Buah Naga Merah
dan Putih (Dong dkk., 2014).

No. Senyawa Metabolit No. Senyawa Metabolit


Asam amino dan amina Betacyanins
1 Alanine 30 betanin
2 Valine 31 decarboxylated betanin
3 Athanolamine 32 phylocactin
4 Proline 33 decarboxylated phyllocactin
5 Glicyne 34 neobetanin
6 Serine 35 decarboxylated neobetanin
7 Threonine 36 decarboxylated hylocerenin
8 aspartic acid 37 neophyllocactin
9 GABA 38 betanidin
10 glutamic acid 39 tridecarboxylated neobetanin
11 Phenylalanine 40 lampramthin II
12 Glutamine 41 tridercarboxylated hylocerenin
13 Tyrosine 42 dehydrogenated,
tridecarboxylated neobetanin
14 L-DOPA 43 dehydrogenated decarboxylated
neohylocerenin
15 Tryptophan 44 neohylocerenin
Asam-asam organic 45 bidecarboxylated hylocerenin
16 succinic acid Betaxanthins
17 fumaric acid 46 indicaxanthin
18 malic acid 47 dopaxantin
19 citric acid 48 miraxanthin
Gula dan Gula alcohol 49 3-methoxytyramine-betaxanthin
20 arabinose 50 phenylalanine-betaxanthin
21 Xylitol 51 portulacaxanthin II
22 Rhamnose Betalain precursor
23 Fucose 52 dopamine

13
24 Fructose 53 dopamine quinone
25 Glucose 54 3-methoxytryaminde
26 glucuronic acid 55 cyclo-DOPA
27 gluconic acid 56 L-tryptophan
Asam Lemak 57 betalamic acid
28 stearic acid 58 cyclo-5-O-glucoside
29 Oleamide Flavonoids
59 phlorizin

2.4 Ekstraksi

Ekstraksi adalah suatu metode pemisahan yang melibatkan perpindahan

suatu zat dari lapisan yang satu ke lapisan zat yang kedua (Zenta, 2015).

Pemilihan metode ekstraksi tergantung pada sifat bahan dan senyawa yang akan

diisolasi. Sebelum memilih suatu metode, target ekstraksi perlu ditentukan

terlebih dahulu. Menurut Sarker dkk. (2006) ada beberapa target ekstraksi

diantaranya:

1. Senyawa bioaktif yang tidak diketahui

2. Senyawa yang diketahui ada pada suatu organisme

3. Sekelompok senyawa dalam suatu organisme yang berhubungan secara

struktural

Terdapat beberapa teknik metode ekstraksi yang dapat digunakan seperti

maserasi, ultrasound – assisted solvent extraction, soxhlet, ekstraksi cair-cair dan

beberapa teknik ekstraksi lainnya.

2.4.1 Maserasi

Maserasi merupakan metode sederhana yang paling banyak digunakan.

Cara ini sesuai, baik untuk skala kecil maupun skala industri (Agoes, 2007).

Metode ini dilakukan dengan memasukkan serbuk tanaman dan pelarut yang

14
sesuai ke dalam wadah inert yang tertutup rapat pada suhu kamar. Proses ekstraksi

dihentikan ketika tercapai kesetimbangan antara konsentrasisenyawa dalam

pelarut dengan konsentrasi dalam sel tanaman. Setelah proses ekstraksi, pelarut

dipisahkan dari sampel dengan penyaringan. Kerugian utama dari metode

maserasi ini adalah memakan banyak waktu, pelarut yang digunakan cukup

banyak, dan besar kemungkinan beberapa senyawa hilang. Selain itu, beberapa

senyawa mungkin saja sulit diekstraksi pada suhu kamar. Namun di sisi lain,

metode maserasi dapat menghindari rusaknya senyawa-senyawa yang bersifat

termolabil (Moekhrieani, 2014).

2.5 Rotary Evaporator

Rotary evaporator merupakan instrumen yang didesain secara khusus

untuk memisahkan pelarut dalam keadaan vakum. Evaporator terdiri dari bak

pemanas dengan labu yang memutar, yang mendistribusikan larutan sebagai

lapisan tipis dalam permukaan dinding labu sehingga mudah menguap dengan

mudah. Tingkat penguapan diatur oleh suhu bak pemanas, ukuran labu, tekanan

distilasi serta kecepatan rotasi (Hoegger, 1998).

Alat ini dirancang untuk memindahkan pelarut yang mudah menguap

dalam jumlah yang besar dari larutan pada penurunan tekanan, dan meninggalkan

komponen yang relatif tak mudah menguap. Rotary evaporator paling sering

digunakan untuk memindahkan pelarut pada pekerjaan ekstraksi dan kromatografi

yang biasa digunakan dalam mengisolasi produk reaksi. Perbedaan utama

pekerjaan ini dengan kerja distilasi pengurangan tekanan adalah dilakukannya

pemutaran labu distilasi selama pemindahan pelarut. Pemutaran ini mempunyai

15
dua fungsi penting yakni mencegah resiko bumping dan meningkatkan kecepatan

pemindahan pelarut (Zenta, 2011).

Gambar 2. Instrumen rotary evaporator (Hoegger, 1998).

2.6 Uji Fitokimia

Uji fitokimia merupakan salah satu teknik analisis untuk mengidentifikasi

senyawa metabolit yang terkandung dalam suatu ekstrak sampel. Uji fitokimia

terdiri dari beberapa metode untuk mengetahui apakah suatu sampel tersebut

mengandung senyawa metabolit sekunder tersebut atau tidak.

Menurut Robinson (1991) alasan lain melakukan fitokimia adalah untuk

menentukan ciri senyawa aktif penyebab efek racun atau efek yang bermanfaat,

yang ditunjukan oleh ekstrak tumbuhan kasar bila diuji dengan sistem biologis.

Pemanfaatan prosedur fitokimia telah mempunyai peranan yang mapan dalam

semua cabang ilmu tumbuhan. Meskipun cara ini penting dalam semua penelitian

kimia dan biokimia juga telah dimanfaatkan dalam kajian biologis. Sejalan dengan

hal tersebut, menurut Moelyono (1996) analisis fitokimia merupakan bagian dari

ilmu farmakognosi yang mempelajari metode atau cara analisis kandungan kimia

16
yang terdapat dalam tumbuhan atau hewan secara keseluruhan atau bagian-

bagiannya, termasuk cara isolasi atau pemisahannya.

Pada tahun terakhir ini fitokimia atau kimia tumbuhan telah berkembang

menjadi satu disiplin ilmu tersendiri, berada diantara kimia organik bahan alam

dan biokimia tumbuhan, serta berkaitan dengan keduanya. Bidang perhatiannya

adalah aneka ragam senyawa organik yang dibentuk dan ditimbun oleh tumbuhan,

yaitu mengenai struktur kimianya, biosintesisnya, perubahan serta

metabolismenya, penyebarannya secara ilmiah dan fungsi biologisnya

(Harborne,1996).

Keanekaragaman dan jumlah struktur molekul yang dihasilkan oleh

tumbuhan banyak sekali, demikian juga laju pengetahuan tentang struktur

molekul. Dengan demikian masalah utama dalam penelitian fitokimia adalah

menyusun data yang ada mengenai setiap golongan senyawa khusus. Kandungan

kimia tumbuhan dapat digolongkan menurut beberapa cara. Pengolahan

didasarkan pada asal biosintesis, sifat kelarutan dan adanya gugus fungsi tertentu.

17
BAB III

METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Bahan Percobaan

Bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah kertas sring,

etanol 95%, HCl pekat, asam borat pekat, aseton pekat, H2SO4 pekat, kloroform,

FeCl3 10%, asam asetat anhidrat dan asam oksalat pekat.

3.2 Alat Percobaan

Alat-alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah erlenmeyer, labu

alas bulat, gelas kimia, tabung reaksi, pipet tetes, batang pengaduk, sendok tanduk

dan corong.

3.3 Waktu dan Tempat Percobaan

Percobaan ini dilaksanakan pada tanggal 14 Oktober 2016, di

Laboratorium Kimia Organik, Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam, Universitas Hasanuddin.

3.4 Prosedur Kerja

3.4.1 Preparasi Sampel

Kulit buah manggis yang bersih dipotong kecil-kecil, kemudian

dikeringkan dan digiling hingga menghasilkan serbuk. Dimaserasi 100 gram

serbuk kulit buah manggis dengan 110 mL etanol 95% pada suhu kamar selama 5

hari. Disaring untuk memisahkan residu dan filtrat, dipekatkan filtrat dengan

rotary vacuum evaporator pada suhu 50°C, selanjutnya diuapkan kembali dengan

oven pada suhu 40°C.

18
3.4.2 Skrining Fitokimia

Ditimbang 500 mgekstrak etanol 95%, kemudian dilarutkan dalam 50 mL

etanol 95% sehingga dihasilkan larutan uji fitokimia.

3.4.2.1 Uji Alkaloid

Dipipet 2 mL larutan ekstrak uji, kemudian diuapkan diatas cawan

porselin. Setelah didapatkan residu, residu dilarutkan dengan 5 mL HCl 2N

kemudian dibagi ke dalam 3 tabung reaksi. Tabung 1 ditambahkan dengan HCl

sebagai larutan blanko, tabung 2 ditambahkan pereaksi drgendorf sebanyak tiga

tetes, hasil positif ditandai dengan endapan jingga dan tabung 3 ditambahkan

pereaksi mayer, hasil positif ditandai dengan adanya endapan putih hingga

kekuningan.

3.4.2.2 Uji Glikosida

Serbuk simplisia dilarutkan dalam pelarut etanol kemudian diuapkan

diatas penangas air hingga didapatkan residu. Dilarutkan residu ke dalam 5 mL

asam asetat anhidrat pekat dan ditambahkan 10 tetes asam sulfat pekat kemudian

diamati, hasil positif ditandai dengan adanya warna biru atau hijau.

3.4.2.3 Uji Sterol dan Triterpenoid

Dipipet 2 mL larutan uji diuapkan hingga didapatkan residu, dilarutkan

residu dalam 0,5 mL kloroform, kemudian ditambahkan dengan 0,5 mL asam

asetat anhidrat, selanjutnya ditetesi dengan 2 mL H2SO4 pekat melalui dinding

tabung dan diamati, hasil positif sterol ditandai dengan adanya warna hijau

kebiruan sedangkan triterpenoid ditandai dengan adanya cincin kecoklatan atau

violet.

19
3.4.2.4 Uji Saponin

Dipipet 1 mL ekstrak uji kedalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan

10 mL air panas, selanjutnya didinginkan kembali dan diaduk selama 10 menit,

diamati jika terbentuk buih ditambahkan HCL 2N dan uji positif apabila buih

tidak hilang.

3.4.2.5 Uji Polifenol dan Tanin

Dipipet 1 mL ekstrak uji, kemudian direkasikan dengan FeCl3 10% dan

diamati perubahan warna, uji positif apabila dihasilkan warna birutua kehitaman

atau hitam kehijauan.

3.4.2.6 Uji Flavonoid

1 mL ekstrak pekat ditambahkan dengan serbuk Mg kemudian

ditambahkan 5 tetes HCl pekat. Diamati perubahan warna yang terjadi.

20
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Percobaan

Uji fitokimia merupakan uji kualitatif untuk menduga adanya

senyawametabolit sekunder pada ekstrak daun belimbing wuluh.

Tabel 2. Hasil skrining fitokimia ekstrak etanol kulit buah naga

No Uji Pereaksi Hasil Uji Keterangan


Polifenol dan Warna hijau
1 FeCl3 10 % +
Tanin kehitaman
Kloroform +
Sterol dan Triterpenoid = cincin
2 CH3COOH p.a + +
Triterpenoid kecoklatan
H2SO4 p.a
3 Alkaloid Dragendorff + Endapan jingga
CH3COOH p.a +
4 Glikosida + Hijau
H2SO4 p.a
Serbuk Mg + HCl
5 Flavonoid + Hijau kehitaman
pekat
6 Saponin HCl 2N + Terbentuk buih

4.2 Pembahasan

4.2.1 Preparasi Sampel Kulit Buah Naga

Sampel (kulit buah naga) dicuci untuk menghilangkan pengotor seperti

debu yang menempel pada daun. Sampel dipotong kecil-kecil dan dikeringkan.

21
Pengeringan sampel dilakukan pada suhu kamar selama 1 minggu untuk

menghilangkan air dan mencegah terjadinya perubahan kimia (kulit cepat busuk

sehingga dapat menghasilkan mikroorganisme yang dapat merubah konformasi

senyawaan kimia yang terkandung di kulit buah naga tersebut). Sampel yang telah

kering diblender untuk memperluas permukaan serta membantu pemecahan

dinding dan membran sel, sehingga mempermudah dan memaksimalkan proses

ekstraksi. Residu dari esktraksi kemudian dimaserasi dengan pelaut etanol selama

2 x 24jam dan dsiertai pengadukan. Hasil ekstrak etanol diperoleh cairan

berwarna kuning. Ekstrak etanol ini selanjutnya digunakak untuk analisis

berikutnya.

4.2.2 Ekstraksi Senyawa Metabolit Sekunder dari Kulit Buah Naga

Ekstraksi merupakan proses pemisahan suatu zat berdasarkan perbedaan

kelarutannya terhadap dua cairan tidak saling larut yang berbeda. Metode yang

digunakan dalam penelitian ini adalah ekstraksi maserasi. Maserasi adalah salah

satu metode pemisahan senyawa dengan cara perendaman menggunakan pelarut

organik pada temperatur ruangan. Proses maserasi sangat menguntungkan dalam

isolasi senyawa bahan alam karena selain murah dan mudah dilakukan,dengan

perendaman sampel tumbuhan akan terjadi pemecahan dinding dan membran sel

akibat perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar sel, sehingga metabolit

sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut. Pelarut yang

mengalir ke dalam sel dapat menyebabkan protoplasma membengkak danbahan

kandungan sel akan larut sesuai dengan kelarutannya.

Sampel ditimbang sebanyak 60 g kemudian direndam dengan 110 mL

pelarut etanol 95% selama 2 x 24jam. Semakin lama waktu ekstraksi, kesempatan

22
untuk bersentuhan makin besar sehingga hasilnya juga bertambah sampai titik

jenuh larutan. Kontak antara sampel dan pelarut dapat ditingkatkan apabila

dibantu dengan pengadukan. Pada penelitian ini dilakukan pengadukan dengan

menggunakan batang pengaduk sehingga kontak antara sampel dan pelarut terjadi

dan proses ekstraksi lebih sempurna. Pelarut yang digunakan dalam penelitian ini

adalah etanol 95%. Pemilihan pelarut ini karena senyawa metabolit sekunder yang

ada dalam kulit buah naga merupakan senyawa yang bersifat polar. Suatu molekul

bersifat polar apabila tersusun atas atom-atomyang berbeda dan molekul yang

tersusun atas atom-atom yang sama. Pemakaian pelarut etanol 95% bertujuan

untuk memaksimalkan ekstrak metabolit sekunder.

Maserat yang sudah didapat disaring untuk memisahkan residu dan filtrat.

Filtrat yang diperoleh dipisahkan pelarutnya dengan menggunakan vacum

rotaryevaporator dengan suhu 50-60 °C. Vacum berfungsi untuk mempermudah

proses penguapan pelarut dengan memperkecil tekanan dalam vacum dari pada di

luar ruangan, sehingga temperatur di bawah titik didih pelarut dapat menguap.

Filtrat yang diperoleh berwarna coklat pekat.

4.2.3 Analisis Uji Fitokimia

Komponen yang terdapat dalam ekstrak etanol kulit buah naga dianalisis

golongan senyawanya dengan tes uji warna dengan beberapa pereaksi untuk

golongan senyawa alkaloid, tanin dan polifenol, saponin dan glikosida. Pereaksi-

pereaksi spesifik yang digunakan kebanyakan bersifat polar sehingga berinteraksi

dengan sampel berdasarkan prinsip “like dissolve like”. Hasil skrining fitokimia

ekstrak etanol dapat dilihat pada Tabel 1.

Terbentuknya endapan coklat pada uji Dragendorff menunjukkan bahwa

ekstrak etanol kulit buah naga mengandung alkaloid. Uji mayer pada percobaan

23
ini tidak dilakukan karena bahan yang digunakan untuk membuat pereksi Mayer

tidak tersedia di laboratorium. Sehingga uji yang dapat dilakukan hanya uji

Dragendorff saja.

Hasil positif alkaloid pada uji Dragendorff ditandai dengan terbentuknya

endapan coklat muda sampai kuning. Endapan tersebut adalah kalium-alkaloid.

Pada pembuatan pereaksi Dragendorff, bismuth nitrat dilarutkan dalam HCl agar

tidak terjadi reaksi hidrolisis karena garam-garam bismuth mudah terhidrolisis

membentuk ion bismutil (BiO+).

Agar ion Bi3+ tetap berada dalam larutan, maka larutan itu ditambah asam

sehingga kesetimbangan akan bergeser kea rah kiri. Selanjutnya ion Bi 3+ dari

bismuth nitrat bereaksi dnegan kalium iodide membentuk endapan hitam Bismut

(III) iodide yang kemudian melarut dalam kalium iodide berlebih membentuk

kalium tetraiodobismutat. Pada uji alkaloid dengan pereaksi Dragendorr, nitrogen

digunakan untuk membentuk ikatan kovalen koordinat dengan K+ yang

merupakan ion logam.

Gambar 3. Uji alkaloid dengan reagen Dragendorff

Pada uji tanin dan polifenol diperoleh hasil positif, yang ditunjukan

dengan adanya warna hijau kehitaman. Penambahan ekstrak dengan FeCl3 1 %

dalam air menimbulkan warna hijau, merah, ungu atau hitam yang kuat.

24
Terbentuknya warna hijau tua karena tanin bereaksi dengan ion Fe3+ membentuk

senyawa kompleks.

Gambar 4. Uji polifenol/tanin

Hasil positif saponin ditunjukkan dengan terbentuknya busa. Saponin

merupakan suatu glikosida dengan gugus hidroksil pada molekulnya. Saponin

mempunyai sifat seperti sabun ketika dilarutkan ke dalam air sehingga akan

membentuk busa. Saponin berssifat polar dan dapat larut dalam air karena adanya

gugus hidrofil (OH) yang dapat membentuk ikatan hydrogen dengan molekul air.

Busa yang dihasilkan diuji kestabilannya dengan penambahan HCl. Hal ini

menandakan bahwa kulit buah naga merah mengandung saponin

Gambar 5. Uji saponin

Pada identifikasi flavonoid menggunakan uji Wilstater menunjukkan

warna jingga yang menandakan bahwa kulit buah naga merah mengandung

25
flavonoid. Magnesium dan asam klorida pada uji Wilstater bereaksi membentuk

gelembung-gelembung yang merupakan gas H2 , sedangkan logam Mg dan HCl

pekat pada uji ini berfungsi untuk mereduksi inti benzopiron yang terdapat pada

struktur flavonoid sehingga terbentuk perubahan warna menjadi merah atau

jingga. Jika dalam suatu ekstrak tumbuhan terdapat senyawa flavonoid maka akan

terbentuk garam flavilium saat penambahan Mg dan HCl yang berwarna merah

atau jingga.

Uji glikosida dilakukan dengan menambahkan 5 mL asam asetat anhidrat

dan 10 tetes asam sulfat kedalam simplisia yang telah dilarutkan dengan

menggunakan pelarut etanol. Hasil pengamatan menunjukkan adanya perubahan

warna menjadi biru atau hijau yang menandakan terbentuknya glikosida dalam

kulit buah naga merah.

Gambar 6. Uji Glikosida

Hasil uji fitokimia yang telah dilakukan menunjukkan bahwa dalam

sampel ekstrak etanol kulit buah naga mengandung alkaloid, tanin dan polifenol,

flavonoid, saponin, triterpenoid dan glikosida.

4.3 Mekanisme Reaksi

26
4.3.1 Uji Reaksi Dragendorff

Bi3+ + H2O  BiO+ + 2H+

Bi(NO3)3 + 3KI BiI3 + 3KNO3


coklat
BiI3 + KI K[BiI4]
kalium tetraiodobismutat

+ K[BiI4] + [BiI4]-

N N

K
Endapan Kalium-alkaloid

4.3.2 Reaksi Uji Tanin


OH
OH OH
HO OH
HO O O OH
FeCl3 +
3HCl + Fe

COOH OH
COOH COOH

HOOC OH

4.3.3 Reaksi Uji Glikosida

27
R
R

(HOAc/H2SO4)
-H2O

HO

+H+
R
R

+SO3

-SO2

4.3.4 Reaksi Uji Flavonoid

28
O O

HCl +
Cl-
OH OH

O OH

O
O

Cl- +
OH Cl-
OH
OH
OH
Garam Flavilium merah tua

29
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengamatan diatas dapat disimpulkan bahwa kulit buah

naga merah mengandung metabolit sekunder alkaloid, tanin dan polifenol,

saponin, triterpenoid dan glikosida.

5.2 Saran

Disarankan untuk menganalisis dan mengisolasi lebih lanjut salah satu

senyawa metabolit dari golongan tertentu untuk mengetahui secara spesifik

senyawa apa yang terdapat dalam kulit buah naga

30
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2016, Buah Naga, (Online), (https://id.wikipedia.org/wiki/Buah_naga,


diakses 1 Desember 2016).

Dong, S. H., Sunmin, L., Do, Y. L., Young, S. K., Song, K. C., Lee, S., dan
Chong, H. L., 2014, Metabolite Profiling of Red and White Pitayas
(Hylocereus polyrhizus and Hylocereus undatus) for Comparing Betalain
Biosynthesis and Antioxidant Activity, Journal Of Agricultural Food
Chemistry, ACS Publications.

Handayani, S., 2014, Kandungan Kimia Beberapa Tanaman dan Kulit Buah
Berwarna serta Manfaatnya Bagi Kesehatan, Universitas Yogyakarta,
Yogyakarta.

Harborne, J., 1996, Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis


Tumbuhan, Cetakan kedua, Penerjemah: Padmawinata, K. dan I. Soediro,
Penerbit ITB, Bandung.

Hartmann, T., 1991, Alkaloids In Herbivore: Their Interaction with Secondary


Plant Metabolite, The Chemical Participants 2nd Ed, Academic Press, San
Diego.

Herbert, R. B., 1989, The Biosynthesis of Secondary Metabolites, Springer,


London.

Hilal, M. F., 2006, Identifikasi Senyawa Metabolit Sekunder dari Kulit Buah
Naga Hylocereus undatus Dalam Ekstrak Kloroform, Skripsi, FMIPA,
UNY.

Hoegger, 1998, Buchi Training Papers: Distillation With A Rotary Evaporator,


Buchi Labortechnik AG, Germany.

Marliana S. D., Suryanti, V. dan Suyono, 2005, Skrining Fitokimia dan Analisis
Kromatografi Lapis Tipis Komponen Kimia Buah Labu Siam (Sechium
edule Jacq. Swartz.) dalam Ekstrak Etanol, Jurnal Biofarmasi, 3(1): 26–31

McMurry, J. dan Fay, R.C., 2004, McMurry Fay Chemistry, 4th edition, Pearson
Education International, Belmont, CA.

Mastuti, R., 2016, Metabolit Sekunder dan Pertahanan Tumbuhan, Universitas


Brawijaya, Malang.

31
Miroslav, V., 1971, Detection and Identification of Organic Compound, Planum
Publishing Corporation and SNTC Publishers of Technical Literatur, New
York.

Moelyono, M. W., 1996, Panduan Praktium Analisis Fitokimia. Laboratorium


Farmakolohi Jurusan Farmasi FMIPA, Universitas Padjadjaran Bandung.

Robinson, T., 1991, The Organic Constituen of Higher Plants, 6th Edition,
Department of Biochemistry, University of Massachusetts.

Rusdi, 1990, Tetumbuhan Sebagai Sumber Bahan Obat, Pusat Penelitian


Universitas Andalas, Padang.

Santos, A. F., Guevera, B. Q., Mascardo, A. M., dan Estrada, C. Q., 1978,
Phytochemical, Microbiological and Pharmacological, Screening of
Medical Plants, Research Center University of Santo Thomas, Manila.

Saifudin, A., 2014, Senyawa Alam Metabolit Sekunder Teori Konsep dan Teknik
Pemurnian, Deepublish, Yogyakarta.

Siregar, N. K., 2011, Karakterisasi Simplisia dan Skrining Fitokimia serta Uji
Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Buah Naga (Hylocereus undatus),
(Online), (http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/29088 diakses 01
Desember 2016).

Svehla, G., 1990, Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro.
Edisi kelima, Penerjemah: Setiono, L. dan A.H. Pudjaatmaka, PT Kalman
Media Pusaka, Jakarta.

32

Anda mungkin juga menyukai