Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH FITOTERAPI

DAUN TAPAK DARA (Catharanthus roseus)

Dibimbing oleh :
apt. Mamik Ponco Rahayu., M.Si

Disusun oleh :
Refa Arinda Putri 2120414658
Refi Ady Kusuma wardhani 2120414659
Sesilia Putri Nandita 2120414671
Waskito Adhi 2120414683

PROGRAM PROFESI APOTEKER XLI


UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejak dulu masyarakat Indonesia sudah mengenal pengobatan dengan obat-obat
tradisional yang dibuat dari tanaman berkhasiat. Pengetahuan tentang tanaman berkhasiat
obat didasarkan pada pengalaman dan keterampilan yang telah diwariskan dari satu generasi
ke generasi berikutnya. Belakangan ini pengobatan tradisional mulai digali kembali
kegunaannya (back to nature). Efek samping yang ditimbulkan oleh obat sintetis menjadikan
perlunya penulusuran alternative obat baru dengan efektivitas yang sama namun dengan efek
samping yang relatif lebih kecil. Indonesia memiliki 75% kekayaan tanaman dunia yaitu
berkisar 30.000 jenis tanaman. Dari banyak tanaman yang ada di Indonesia adalah tanaman
obat dengan persentase cukup besar yaitu sekitar 90% dari jumlah tanaman obat yang ada di
Asia (Dephut 2009).
Penggunaan obat tradisional dewasa ini semakin meningkat, baik dalam kualitas maupun
kuantitasnya. Hal ini dapat dilihat dengan semakin banyaknya obat tradisional yang
berbentuk serbuk, kapsul, tablet maupun dalam bentuk cairan. Vinca (Vinca rosea) atau tapak
dara yang selama ini dianggap sebagai bunga liar dan murahan, kini mulai dilirik dan disukai
banyak orang. Tapak dara umumnya dikenal dalam pengobatan tradisional dalam
menurunkan kadar glukosa darah, namun pada pemeriksaan selanjutnya ternyata
menunjukkan adanya aktivitas antikanker (Lingga 2005). Zat aktif dalam daun tapakdara
yang berfungsi sebagai antikanker adalah vincristin. Pada akar, batang, daun, dan biji bunga
tapak darah ditemukan lebih dari 70 macam alkaloid. Komponen antikanker yang
dikandungnya yaitu alkaloid seperti vinblastine (VLB), vincristine (VCR), leurosine (LR),
vincadioline, leurodisine, dan catharanthine. Alkaloid yang berefek menurunkankadar gula,
antara lain leurosine, catharanthine, lochnerine, tetrahydroalstonine, vindoline, dan
vindolinine. Pengembangan teknologi akhirnya tapak dara berperan penting pada
komersialisasi produk vinblastine dan vincristine sebagai senyawa antikanker secara
kemoterapi (Thabaran 2012)
Penggunaan obat tradisional seperti juga penggunaan obat, perlu juga memperhatikan
aspek-aspek farmakologis yang lain, seperti dosis, mekanisme kerja, indikasi dan yang tidak
kalah penting yaitu efek samping baik akut maupun kronis. Suatu senyawa jika diberikan
secara oral akan masuk ke dalam tubuh melalui saluran cerna, kemudian ditransformasikan
ke sirkulasi portal hepatik dan dibawa langsung ke hepar. Hepar rentan terhadap pengaruh
cukup banyak zat kimia berdasarkan posisinya dalam sirkulasi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kerja zat diantaranya adalah dosis dan pemasukan
yang berulang. Dosis yang berlebih dan pemasukan yang berulang berpotensi menyebabkan
kerusakan pada organ tubuh terutama hepar yang berperan sebagai organ detoksifikasi.
Kerusakan pada sel-sel hepatosit menyebabkan terjadinya perubahan struktur sel, yang
berakibat terjadinya gangguan pada fungsi sel tersebut. Salah satu fungsi hepar adalah
sebagai penyimpan glikogen dalam sitoplasma. Sel-sel hepatosit yang mengalami kerusakan
struktur mengakibatkan gangguan dalam metabolisme, diantaranya metabolisme dan
mobilisasi glikogen dalam hepatosit.

B. Rumusan masalah
1. Bagaimanakah aspek botani dari tanaman tapak dara?
2. Apakah manfaat dari tanaman tapak dara?
3. Apakah tanaman tapak dara mampu menyebabkan kerusakan organ yang fatal pada
tubuh?

C. Tujuan penelitian
1. Mengetahui aspek botani dari tanaman tapak dara.
2. Mengetahui manfaat dari tanaman tapak dara.
3. Mengetahui tanaman tapak dara mampu menyebabkan kerusakan organ yang fatal
pada tubuh.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tapak Dara (Catharanthus roseus)


Tumbuhan tapak dara (Catharanthus roseus) merupakan tumbuhanyang berasal dari
Amerika tengah, umumnya ditanam sebagai tanaman hias(Dalimartha, 2008). Tumbuhan ini
memiliki nama yang beraneka ragam dariberbagai daerah seperti : Tapak dara (Indonesia),
Perwinkle (Inggris), ChangChun Hua (Cina), Keminting Cina dan Rumput Jalang (Malaysia)
(Pandiangan, 2006). Tapak dara dapat tumbuh di tempat terbuka denganberbagai macam
iklim, serta ditemukan mulai dataran rendah hinggaketinggian 800 m dpl (Dalimartha, 2008).
1. Klasifikasi Tapak Dara

Gambar 1. Tapak Dara (Catharanthus roseus)


Klasifikasi tapak dara menurut Plantamor (2008):
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Asteridae
Ordo : Gentianales
Famili : Apocynaceae
Genus : Catharanthus
Spesies : Catharanthus roseus
2. Morfologi Tumbuhan Tapak Dara
Habitus tapak dara berupa tumbuhan semak, termasuk tumbuhan tahunan, tingginya
sekitar 1-2 m, memiliki batang berkayu, bulat, bercabang, beruas-ruas dan berwarna hijau.
Daun tapak dara tergolong daun tunggal dengan letaknya silang berhadapan, mempunyai
morfologi bulat telur dengan ujungnya terdapat getah dan pangkal tumpul, tepi rata,
mengkilat, memiliki tangkai dengan panjang 2-6 cm, lebar daun 1-3 cm, pertulangan
menyirip, serta berwarna hijau. Bunga tapak dara ialah jenis bunga tunggal, terletak di
ketiak daun, memiliki mahkota berbentuk terompet, panjang tangkai 2,5-3 cm, memiliki
kelopak bertajuk lima, berbentuk runcing, benang sari berjumlah lima, kepala sari
berwarna kuning,dan tangkai putik putih. Buahnya kotak dengan bentuk pipih, ketika
masih muda berwarna hijau setelah tua maka akan berwarna coklat.Biji kecil, keras dan
berwarna coklat. Akar berupa akar tunggang dan berwarna putih (Badan POM Republik
Indonesia, 2008).
3. KandunganSenyawa Kimia Tapak Dara
Tapak dara mengandung berbagai zat kimia aktif. Hasil analisa fitokimia ekstrak
daun tapak dara (Catharantus roseus) menunjukkan adanya kandungan tanin, triterpenoid,
alkaloid, dan flavonoid. Alkaloid dan flavonoid merupakan senyawa aktif yang telah
diteliti memiliki aktivasi hipoglikemik (Ivorra et al., 1989). Flavonoid dapat menghambat
kerja enzim α-glukosida sedalam luteolin (Kim dan Sura, 2000). Sementara tannin dapat
berfungsi sebagai antimikroba untuk bakteri dan virus (Hara et al.,1993).
Alkaloid adalah kelompok besar senyawa organic alami dalam hamper semua
jenis tumbuhan. Alkaloid memiliki berbagai efek farmakologi seperti antikanker,
antiinflamasi dan antimikroba. Flavonoid adalah kelompok senyawa fenol yang terbesar
ditemukan di alam.
Tanin adalah senyawa fenol yang terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh,
dalam angiospermae terdapat khusus dalam jaringan kayu. Menurut batasannya, tanin
dapat bereaksi dengan protein yang tidak larut dalam air (Harborne, 1987).
Tapak dara mengandung berbagai senyawa bioaktif, diantaranya 4 senyawa
bioaktif yang telah banyak dimanfaatkan untuk penyembuhan penyakit. Berikut merupakan
senyawa kimia yang terkandung dalam tanaman tapak dara (Dalimartha, 2007):
a. Vinblasine, ternyata bias dimanfaatkan dalam pengobatan penyakit leukemia.
b. Vincristine, disamping dipakai dalam pengobatan leukemia, juga kanker payudara, dan
tumor ganas.
c. Vindesine, dipakai dalam pengobatan leukemia pada anak-anak, dan penderita tumor
pigmen.
d. Vinorelbine, seringkali digunakan sebagai bahan pengobatan untuk mencegah
pembelahan kelenjar.

B. Toksisitas
Toksisitas merupakan kemampuan suatu zat asing dalam menimbulkan kerusakan pada
organism baik saat digunakan atau saat berada dalam lingkungan (Priyanto, 2009). Uji
toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat pada system biologi dan
untuk memperoleh data dosis-respon yang khas dari sediaan uji. Data yang diperoleh dapat
digunakan untuk memberi informasi mengenai derajat bahaya sediaan uji tersebut bila terjadi
pemaparan pada manusia, sehingga dapat ditentukan dosis penggunaannya demi keamanan
manusia (DitjenPOM, 2014).
Efek toksik sangat bervariasi dalam mempengaruhi sifat, organ sasaran,maupun
mekanisme kerjanya. Umumnya toksikan hanya mempengaruhi satu ataubeberapa organ saja.
Hal tersebut dapat disebabkan lebih pekanya suatu organ,atau lebih tingginya kadar bahan
kimia dan metabolitnya pada organ. Efek toksikdapat berubah karena berbagai hal seperti
absorpsi, distribusi, dan ekskresisenyawa, peningkatan atau pengurangan biotransformasi,
serta perubahankepekaan reseptor pada organ sasaran. Toksisitas merupakan sifat bawaan
suatuzat, bentuk dan tingkat manifestasi toksiknya pada suatu organisme bergantungpada
berbagai jenis faktor. Faktor yang nyata adalah dosis dan lamanya paparanserta faktor lain
seperti spesies dan strain hewan, jenis kelamin, umur, serta statusgizi dan hormonal
(Hernawati, 2012).
Peristiwa timbulnya pengaruh berbahaya atau efek toksik racun terhadapmakhluk
hidup terjadi melalui beberapa proses. Pertama kali makhluk hidupmengalami paparan dengan
toksikan. Berikutnya setelah mengalami absorpsi daritempat paparannya maka toksikan atau
mertabolitnya terdistribusi ke tempat aksi(sel sasaran atau reseptor) tertentu yang ada dalam
diri makhluk hidup. Di tempataksi ini kemudian terjadi interaksi antara toksikan atau
metabolitnya dengankomponen penyusun sel sasaran atau reseptor sehingga timbul
pengaruhberbahaya atau efek toksik dengan wujud dan sifat tertentu (Retnomurti, 2008).
1. JenisToksisitasUmum
a. ToksisitasAkut
Uji toksisitas akut oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang
muncul dalam waktu singkat setelah pemberian sediaan uji yang diberikan secara oral
dalam dosis tunggal atau dosis berulang yang diberikan dalam waktu 24 jam. Prinsip
uji toksisitas akut oral yaitu, sediaan uji dalam beberapa tingkat dosis diberikan pada
beberapa kelompok hewan uji dengan satu dosis per kelompok, kemudian dilakukan
pengamatan terhadap adanya efek toksik dan kematian. Hewan yang mati selama
percobaan dan yang hidup sampai akhir percobaan diotopsi untuk dievaluasi adanya
gejala-gejala toksisitas (Ditjen POM,2014).
Tujuan dilakukannya uji toksisitas akut adalah untuk menentukan LD50 (Potensi
Ketoksikan) akut dari suatu senyawa (Priyanto, 2009). Penelitian LD50 merupakan
tahap awal untuk mengetahui keamanan bahan yang akan digunakan manusia dengan
menentukan besarnya dosis yang menyebabkan kematian 50%pada hewan uji setelah
pemberian dosis tunggal (Lu, 1995).Prinsip uji toksisitas akut oral yaitus ediaan uji
dalam beberapa tingkat dosis yang diberikan pada beberapa kelompok hewan uji
dengan satu dosis perkelompok, kemudian dilakukan pengamatan terhadap adanya
efek toksik dan kematian. Semakin kecilharga LD50 maka semakin besar potensi
ketoksikannya (OECD, 2001).
b. Toksisitas Subakut
Uji toksisitas subakut adalah uji yang digunakan untuk mengetahui toksisitas
suatu senyawa yang dilakukan pada hewan coba dengan sedikitnya tiga tingkat dosis,
umumnya dalam jangka waktu 28 hari. Tujuan toksisitas subakut adalah memberikan
informasi tentang efe kpaparan oral berulang, memberikan informasi tentang
pemilihan kosentrasi untuk jangka panjang, untuk indikasi hubungan dosis respon dan
informasi dosis yang tidak menimbulkan efek toksik(NOAEL) (OECD, 2008).
Prinsip uji toksisitas subakut adalah sediaan uji diberikan secara oral setiap hari
dalam beberapa tingkat dosis kepada beberapa kelompok hewan uji, satu tingkat dosis
per kelompok untuk jangka waktu 28 hari (OECD, 2008).
c. Toksisitas Subkronis
Uji toksisitas subkronis oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik
yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis berulang yang diberikan
secara oral pada hewan uji selama sebagian umur hewan, tetapi tidak lebih dari 10%
seluruh umur hewan. Tujuan uji toksisitas subkronis oral adalah untuk memperoleh
informasi adanya efek toksik zat yang tidak terdeteksi pada uji toksisitas akut,
informasi kemungkinan adanya efek toksik setelah pemaparan sediaan uji secara
berulang dalam jangka waktu tertentu, informasi dosis yang tidak menimbulkan efek
toksik dan mempelajari adanya efek kumulatif dan efek reversibilitas setelah
pemaparan sediaan uji secara berulang dalam jangka waktu tertentu (Ditjen POM,
2014).
Prinsip dari uji toksisitas subkronis oral adalah sediaan uji dalam beberapa
tingkat dosis diberikan setiap hari pada beberapa kelompok hewan uji dengan satu
dosis per kelompok selama 28 atau 90 hari, selama waktu pemberian sediaan uji,
hewan harus diamati setiap hari untuk menentukan adanya toksisitas. Hewan yang
mati selama periode pemberian sediaan uji, bila segera diotopsi, dan organ serta
jaringan diamati secara makropatologi dan histopatologi. Pada akhir periode
pemberian sediaan uji, semua hewan yang masih hidup diotopsi selanjutnya dilakukan
pengamatan secara makropatologi pada setiap organ dan jaringan. Selain itu juga
dapatdilakukan pemeriksaan hematologi, biokimiaklinis dan histopatologi (Ditjen
POM, 2014).
d. Toksisitas Kronis
Uji toksisitas kronis oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang
muncul setelah pemberian sediaan uji secara berulang sampai seluruh umur hewan. Uji
toksisitas kronis pada prinsipnya sama dengan uji toksisitas subkronis, tetapi sediaan
uji diberikan selama tidak kurang dari 12 bulan. Tujuan dari uji toksisitas kronis oral
adalah untuk mengetahui profil efek toksik setelah pemberian sediaan uji secara
berulang selama waktu yang panjang, untuk menetapkan tingkat dosis yang tidak
menimbulkan efek toksik. Pengamatan juga dilakukan secara lengkap seperti gejala
toksik, monitoring berat badan dan konsumsi makanan, pemeriksaan hematologi,
biokimia klinis, makropatologi, penimbangan organ dan histopatologi (Ditjen POM,
2014).
2. Jenis Toksisitas Khusus
a. Uji Teratogenik
Uji teratogenik adalah suatu pengujian untuk memperoleh informasi adanya
abnormalitas fetus yang terjadi karena pemberian suatu zat dalam masa perkembangan
embrio (Priyanto, 2009). Prinsip pengujian ini senyawa uji dalam beberapa tingkat
dosis diberikan kepada beberapa kelompok hewan hamil selama paling sedikit pada
masa organogenesis dari kehamilan, satu dosis untuk satu kelompok. Sesaat 14
sebelum waktu melahirkan, uterus diambil dan dilakukan evaluasi terhadap fetus
(OECD, 2008).
b. Uji Mutagenik
Uji mutagenic adalah uji yang dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai
kemungkinan terjadinya efek mutagenic dari suatu senyawa. Efek mutagenic
merupakan efek yang menyebabkan terjadinya perubahan pada sifat genetika sel tubuh
makhluk hidup. Apakah efek obat dapat meyebabkan perubahan atau mutasi pada gen
(Loomis, 1978).
c. Uji Karsinogenik
Uji karsinogenik adalah uji yang dilakukan untuk memperoleh informasi
mengenai efek karsinogenik suatu senyawa pada hewan percobaan (Lu, 1995). Dan
untuk mengetahui apakah zat jika dipakai dalam jangka panjang akan dapat
menimbulkan kanker. Uji ini dilakukan jika nantinya obat akan digunakan dalam
jangka panjang selama 2 tahun (Priyanto, 2009).

C. Hati
1. Anatomi Hati
Hati adalah organ terbesar di dalam tubuh kita, letaknya di rongga perut disebelah
kanan bawah diafragma. Hati berwarna merah tua dan beratnya ± 1,5 kg.Hati terbagi dalam
dua belahan utama, kanan dan kiri. Permukaan atas berbentuk cembung dan terletak di
bawahdiafragma, permukaanbawahtidak rata danmemperlihatkan lekukan yang disebut
fisura tranversus (Irianto, 2004). Fisuralongitudinal memisahkan belahan kanan dan kiri di
bagian atas hati. Selanjutnyahati dibagi empat belahan, yaitu lobus kanan, lobus kiri, lobus
kuadata dan lobuskuadratus. Hati mempunyai dua jenis peredaran darah, yaitu arteri
hepatika danvena porta yang berasal dari sebagian besar traktus digestivus (Syaifuddin,
2006).
2. Fisiologi Hati
Guyton dan Hall (2008) menyatakan bahwa hati memiliki beberapa fungsi:
a. Metabolisme karbohidrat
Fungsi hati dalam metabolisme karbohidrat adalah menyimpan glikogendalam jumlah
besar, mengkonversi galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa,glukoneogenesis dan
membentuk banyak senyawa kimia yang penting darihasil perantara metabolisme
karbohidrat.
b. Metabolisme lemak
Fungsi hati yang berkaitan dengan metabolisme lemak antara lain yaitu:
mengoksidasi asam lemak untuk menyuplai energy bagi fungsi tubuh yang lain,
membentuk sebagian besar kolesterol, fosfolipid dan lipoprotein, membentuk lemak dari
protein dan karbohidrat.
c. Metabolisme protein
Fungsi hati dalam metabolisme protein adalah deaminasi asam amino,
pembentukan ureum untuk mengeluarkan amonia dari dalam cairan tubuh, pembentukan
protein plasma, dan interkonversi membentuk senyawa lain dariasam amino. Hati sebagai
tempat menyimpan koagulasi darah dalam jumlahbanyak dan hati mengeluarkan atau
mengekskresikan obat-obatan, hormon danzat lain.

3. HistologiHati
Sel–sel yang terdapat di hati antara lain: hepatosit, sel endotel, dan selmakrofag
yang disebut sebagai sel kuppfer, dan sel ito (sel penimbun lemak). Selhepatosit berderet
secara radier dalam lobulus hati dan membentuk lapisan sebesar1-2 sel serupa dengan
susunan bata. Lempeng sel ini mengarah dari tepian lobuluske pusatnya dan
beranastomosis secara bebas membentuk struktur seperti labirindan busa. Celah diantara
lempeng-lempeng ini mengandung kapiler yang disebutsinusoid hati (Junqueira dan
Carneiro, 2007).
4. Jenis Kerusakan Hati
Toksikan dapat menyebabkan berbagai jenis efek toksik pada berbagai organel dalam
sel hati, mengakibatkan berbagai jenis kerusakan hati seperti dibawah ini:
a. Perlemakan hati (steatosis): terjadi jika hati mengandung berat lipid lebih dari5% ,sehingga
terjadi lesi yang bersifat akut maupun kronis.
b. Kolestatis: kerusakan bersifat akut dan lebih jarang ditemukan dibandingkan steatosis dan
nekrosis.
c. Karsinogenis: jenis neoplasma ganas yang paling umum pada hati.
d. Nekrosis: kematian hepatosit yang dapat bersifat fokal (sentral, pertengahan,perifer) atau
masif, dan biasanya nekrosis merupakan kerusakan akut. Nekrosis hati merupakan suatu
manifestasi toksik yang berbahaya, tetap itidak selalu kritis karena hati mempunyai
kapasitas yang luar biasa untuk pertumbuhan kembali.
e. Sirosis: kerusakan yang ditandai oleh adanya septa kolagen yang tersebar disebagian besar
hati. Pada sebagian besar kasus, sirosis disebabkan nekrosis sel tunggal karena kurangnya
mekanisme perbaikan sehingga kerja difiboblastic dan pembentukan jaringan parut (Lu,
1995).
BAB III
FARMAKOLOGI TAPAK DARA

A. Vinkristin dan Vinblastine

Alkaloid sitotoksik C. roseus (vinblastine, vincristine dan yang terbaru vinorelbine)


bersifat anti-mitosis, agen anti kanker menginduksi tubuline untuk membentuk spiral polimer
pada konsentrasi protein fisiologis sehingga mengganggu pembentukan mikro-tubulus.
Vinblastine adalah senyawa kimia analog dari vincristine. Vinblastine mengikat tubulin dan
dengan demikian mengganggu pembentukan mikrotubulus (Mousavi et al, 2013; Jordan &
Wilson, 2004).

Selama mitosis metafase, vinblastine menghambat polimerisasi tubulin menjadi


mikrotubulus, berbeda dengan obat anti kanker, taxol, dimana berfungsi menstabilkan
mikrotubulus, mengurangi pergerakan dengan demikian menghambat depolimerisasi dan
mempromosikan penangkapan mitosis, dan karenanya memproduksi, kematian sel (Barrales
& Ramirez, 2013).

Vinblastine bekerja secara khusus selama tahap metafase dari siklus sel, sejak
mikrotubulus adalah komponen dari gelendong mitosis, dan kinetokor yang diperlukan untuk
pemisahan kromosom selama anafase dalam mitosis. Vincristine memasuki sel melalui
mekanisme transportasi dan mengikat protein tubular. Dosis yang diresepkan untuk
vinblastine berkisar dari 3,7 hingga 18,5 mg / kg dengan interval setidaknya tujuh hari antara
setiap dosis; memiliki waktu paruh 25 jam dan 95% diekskresikan dalam tinja dan kurang dari
1% dieliminasi dalam urin tanpa metabolisme (Martinez et al., 2012).

Vinkristin terutama dimetabolisme di hati. Metabolit utamanya adalah


diacetylvinblastine, dengan aktivitas biologis yang lebih besar (Owellen et al., 1977).
Diacetylvinblastine juga mengganggu sintesis asam nukleat dan protein dengan memblokir
penggunaan asam glutamat. Efek lain dalam DNA dan Sintesis RNA baru-baru ini dijelaskan,
juga di penghambatan proteosom, anti-angiogenesis dan penurunan resistensi sel kemoterapi
(Piccinini et al., 2001; Vacca et al., 1999; Bates et al. 2011). Selanjutnya, vincristine sulfate
digunakan untuk pengobatan Tumor Wilm, neuroblastoma, kanker payudara,
rabdomyosarcoma dan sarkoma osteogenik.

B. Aktivitas biologis alkaloid tapak dara

Metabolit sekunder utama C. roseus adalah alkaloid terpene indol dengan aplikasi penting
dalam pengobatan manusia seperti yang disebutkan di atas, dan juga menyajikan aktivitas
biologis seperti: anti tumor, anti diabetes, anti cacing, anti hipertensi, antidiare, dan tindakan
antimikroba, antara lain. Bukti klinis dari aktivitas biologis C. roseus disajikan di bawah ini.

1. Aktivitas antitumoral

Kanker merupakan patologi genetik yang ditandai dengan tidak terkontrolnya


proliferasi kelompok sel tertentu di dalam tubuh. Jika kontrol pengatur perbanyakan sel
tidak bekerja dengan baik, pembelahan sel yang tidak perlu mulai tumbuh dan membelah,
dan ketika sel-sel muda mewarisi tren untuk berkembang biak tanpa kontrol apa pun,
hasilnya adalah klon yang berkembang tanpa batas dan membentuk tumor. Tumor ini
mungkin jinak, atau bisa menjadi ganas jika mereka mampu menyerang dan menyebar di
seluruh tubuh, dalam proses yang dikenal sebagai metastasis (Barrales et al., 2012).
Persentase berbeda dari ekstrak metanol mentah dari Catharanthus telah menunjukkan
aktivitas anti kanker dari banyak jenis sel dalam kondisi in vitro dan aktivitas yang lebih
besar terutama ditemukan pada multidrug tumor resisten (Moreno et al., 1998; Wang et
al., 2004).

Pada awal 1979, ekstrak etanol dari daun (70%) ditemukan asitis CA-Ehrlich yang
sangat aktif bila diberikan secara intra-peritoneal pada tikus betina (El Merzabani et al.,
1979). Fraksi alkaloid daun kering juga aktif di tingkat permukaan. Sembilan belas pasien
dengan kutil datar dan umum dirawat; dan hasiulnya semua kutil menghilang pada enam
pasien, hampir seluruhnya pada tujuh pasien, 50% kutil dieliminasi dalam lima pasien
dan satu pasien tidak menunjukkan respon apapun ekstrak kloroform (Chattopadhyay &
Das, 1990). Ekstrak kloroform daun aktif di Leuk-P3887 (Cordell et al., 1974). Jumlah
total alkaloid dari seluruh tanaman diberikan kepada tikus melalui intraperitoneal rute
dengan dosis 10 mg / kg dan secara oral rute pada 75 mg / kg, kedua konsentrasi
ditemukan aktif di Leuk-P15348.

2. Aktivitas anti-cacing

Infeksi yang disebabkan oleh cacing merupakan penyakit kronis yang mengganggu
manusia. C. roseus digunakan sebagai agen anti cacing dalam pengobatan. Agarwal dkk.
mengevaluasi properti anti-cacing C. roseus melalui penggunaan Pherethima posthuma
sebagai model percobaan dengan piperazine citrate sebagai acuan standar. Ekstrak etanol,
pada konsentrasi 250 mg / mL menunjukkan anti- aktivitas cacing pada menit 46,3,
sedangkan standar obat menunjukkan aktivitas pada konsentrasi 50 mg / mL pada 40,7
menit. Penelitian etno-medis ini mempertimbangkan C. roseus sebagai obat anti-cacing
yang efektif (Agarwal et al., 2011).

3. Aktivitas anti diare in vivo

Aktivitas anti-diare in vivo dari ekstrak etanol daun telah diuji pada tikus Wistar,
menggunakan minyak jarak sebagai agen penyebab diare eksperimental, selain perlakuan
awal ekstrak. Loperamide dan atropin sulfat digunakan sebagai standar obat. Efek anti
diare dari ekstrak etanol C. roseus menunjukkan penghambatan yang bergantung pada
dosis dari diare menginduksi minyak jarak dengan dosis antara 200 dan 500 mg / kg
(Hassan et al., 2011).

4. Aktivitas anti-oksidan

Kumar et al., 2012 mempelajari aktivitas anti-oksidan dari C. roseus. Para peneliti ini
menemukan bahwa suhu habitat tumbuh memiliki peran spesifik terhadap aktivitas
antioksidan, yang memungkinkan untuk mengamati bahwa enzim oksida dismutase dan
polifenol oksidase super memiliki aktivitas antioksidan yang lebih besar saat suhu
meningkat berbeda dengan katalase (Kumar et al., 2012). Ekstrak metanol daun
digunakan untuk mengarahkan pembelajaran. Rasool et al., pada tahun 2011 melakukan
beberapa kali tes vitro antioksidan untuk mempelajari efek pelarut pada ekstraksi dan
potensi anti-radikal total dari berbagai ekstrak C. roseus. Uji coba menunjukkan bahwa
ekstrak dan fraksi adalah sumber yang baik antioksidan alami. Ekstrak metanol 100% dan
fraksi 100% etil asetat dari pucuk C. roseus menunjukkan aktivitas antioksidan yang
tinggi (Rasool et al., 2011).

5. Aktivitas antimikroba

Muhammad dkk. melaporkan potensi anti-bakteri dalam ekstrak kasar dari berbagai
bagian (daun, batang, akar dan bunga) dari C. roseus terhadap relevansi secara klinis
strain bakteri. Aktivitas antimikroba ekstrak daun C. roseus diuji pada mikroorganisme
seperti Pseudomonas aeruginosa NCIM 2036, Salmonella typhimurium NCIM 2501 dan
Staphylococcus aureus NCIM 5021 dan ternyata ditemukan bahwa ekstrak kasar dapat
digunakan sebagai agen profilaksis dalam pengobatan berbagai penyakit (Patil & Ghosh,
2010). Kumari dan Gupta mengevaluasi potensi C. roseus terhadap beberapa kuman
patogen dalam kondisi in vitro, dengan dosis ekstrak 50 mg / mL dari C. roseus var. rosea
yang efektif melawan Bacillus fusiformis, sedangkan pada dosis 20 mg / mL dari ekstrak
itu selektif terhadap Aspergillus fumigatus, Candida albicans, Escherichia coli, Bacillus
fusiformis pada dua varietas C. roseus: Rosea dan Alba (Kumari & Gupta, 2013). Ekstrak
etanol bunga C. roseus dilaporkan memiliki sifat penyembuhan pada tikus (Nayak &
Pereira, 2006). Ekstrak tersebut mempromosikan kontraksi luka, meningkatkan
kandungan hidroksiprolin dan aktivitas anti bakteri dalam melawan P. aeruginosa dan S.
aureus. Selanjutnya ekstrak etanol daun, batang, Bunga dan ekstrak akar C. roseus
memiliki luas ruang lingkup aktivitas anti bakteri terhadap E. coli, Streptococcus
pyogenes, Streptococcus agalactiae, Salmonella typhi dan Aeromonas hydrophila
(Muhammad et al., 2009). Dari studi lain yang hampir sama, menunjukkan bahwa ekstrak
dari berbagai bagian tanaman dilaporkan menghambat baik gram positif maupun bakteri
gram negatif (Ramya et al., 2008).
6. Aktivitas sitotoksik

Fraksi alkaloid daun kering dalam kultur sel terlihat aktif di CA-9KB, dosis efektif
median (ED50) pada 0,0435 μg / mL (El-Sayed et al., 1981). Ekstrak dan filtrat
kloroform dari kultur kapalan in vitro, dengan dosis 50 mg (berat kering tanaman) aktif di
Ekstrak air dari biakan Leuk-L12. Ekstrak metanol daun C. roseus menghasilkan aktivitas
anti-proliferatif yang baik terhadap manusia HeLa sel kanker (sel HeLa adalah jenis sel
yang diklasifikasikan dalam file garis seluler abadi yang digunakan dalam penelitian
ilmiah. Pertumbuhannya agresif, dan ketahanannya terhadap apoptosis terutama
disebabkan oleh kombinasi virus papiloma 18 yang menghasilkan protein yang
mendegradasi p53 tanpa bermutasi, dan beberapa perubahan pada kromosom 1, 3, 5 dan
6), MCF-7 (merupakan garis sel kanker epitel yang telah banyak digunakan, dan berasal
dari payudara adenokarsinoma) dengan nilai konsentrasi menunjukkan 50% dari
penghambatan maksimum proliferasi sel (GI50) sebesar 3,5 ± 0,1 dan 4,7 ± 0,6 μg / mL,
masing-masing (Wong et al., 2011).

7. Efek anti-hiperglikemik

Pemberian ekstrak harian oral diklorometana: metanol (1: 1) telah dievaluasi dengan
menggunakan daun C. roseus (500 mg / kg tubuh) berat badan) selama 20 hari dan
efeknya diuji dalam glukosa darah dan enzim hati normal pada tikus diabetes (Jayanthi et
al., 2009). Ekstraknya menunjukkan peningkatan yang signifikan pada berat badan tubuh
dan penurunan glukosa, urea dan kolesterol tingkat hewan yang dirawat. Aktivitas hati
enzim seperti heksokinase, meningkat sementara itu glukosa-6 fosfatase dan fruktosa 1,6-
bifosfatase menurun secara signifikan.

8. Efek anti diabetes

Beberapa penelitian pada hewan menunjukkan bahwa etanol ekstrak daun dan bunga
C. roseus menghasilkan penurunan tingkat glukosa dalam darah (Ghosh & Gupta, 1980;
Chattopadhyay, 1991). Selanjutnya, ekstrak air memiliki kapasitas untuk menurunkan
glukosa darah di 20% dalam uji coba dengan diabetes tikus, sedangkan penurunan kadar
glukosa dalam darah dengan ekstrak diklorometana dan metanol masing-masing dari 49
dan 58% (Singh et al., 2011). Di sisi lain, alkaloid vindolicine didemonstrasikan memiliki
aktivitas penghambatan yang kuat di PTP-1B, yang disebabkan oleh efek vindolicine
sebagai inhibitor baru dari PTP-1B, yang dapat berfungsi sebagai "pemeka insulin" dalam
pengelolaan diabetes tipe 2. Paranitrofenil fosfat (pNPP) digunakan sebagai substrat
untuk uji coba aktivitas fosfatase (rekombinan enzyme PTP-1B) dan ditambahkan di awal
reaksi (Tiong et al., 2013). Kerangka struktural utama dari terpene indole alkaloid
bersama dengan aktivitas biologisnya ditunjukkan pada tabel 1.
BAB IV
EFEK TOKSIK DAUN TAPAK DARA

Obat- obat tradisonal (Herbal) menjadi penting dalam pengobatan berbagai penyakit.
Catharanthus roseus (Daun Tapak Dara) digunakan sebagai obat anti diabetes dan anti kanker.
Meskipun penggunaan Catharanthus roseus tersebar luas dalam pengobatan tradisional, namun
di dalam penelitian yang dilakukan oleh Venkateswar et al dilakukan penelitian untuk mengevaluasi
toksisitas oral akut dari ekstrak etanol daun tapak dara. Dalam penelitian ini bertujuan untuk
mengevaluasi toksisitas organ terkait jantung, hati dan ginjal pada tikus wistar albino.
( Venkateswar et al. 2017)
Penelitian ini melibatkan dua puluh lima ekor tikus wistar betina yang tidak bunting (n =
25). Studi pengamatan dilakukan dengan metode dosis tetap. Penelitian dilakukan dengan
pemberian obat uji dosis tunggal bervariasi dari 5, 50, 300 dan 2000 mg dan hewan diamati
selama empat belas hari. Sampel darah dikumpulkan dan temuan biokimia SGPT, SGOT, urea,
kreatinin, kreatinin fosfokinase dan Laktat Dehidrogenase (LDH) dianalisis. Konsumsi makanan,
asupan air dan perubahan histopatologi dievaluasi. Hasil yang diperoleh dalam ini adalah Ekstrak
Catharanthus roseus dengan dosis 2000 mg tidak menghasilkan kematian namun SGOT, SGPT,
Kreatinin fosfokinase, LDH, urea dan kreatinin meningkat dalam dosis 300 mg dan 2000 mg.
sehingga dapat dimpulkan bahwa Meskipun tidak ada kematian, ekstrak Catharanthus roseus
yang lebih tinggi dari 300 mg dapat menghasilkan tanda-tanda toksisitas biokimia dan
histopatologi pada hati, ginjal dan jantung. Dan dianjurkan agar dosis yang lebih rendah
digunakan untuk pengobatan. ( Venkateswar et al. 2017)
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan makalah yang kami buat dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1. Tanaman daun tapak dara dapat dimanfaatkan untuk sebagai antitumoral, anti-cacing,
anti diare in vivo, anti-oksidan, antimikroba, sitotoksik, anti-hiperglikemik dan
antidiabetes
2. Ekstrak daun tapak dara tidak menimbulkan kematian namum dalam dosis lebih
tinggi dari 300 mg dapat menghasilkan tanda-tanda toksisitas biokimia dan
histopatologi pada hati, ginjal dan jantung. Dan dianjurkan untuk menggunakan dosis
yang lebih rendah dari 300 mg untuk pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA

Agarwal S, Jacob S, Chettri N, Bisoyi S, Tazeen A, Vedamurthy AB, et al. Evalu¬ation of in-
vitro anthelminthic activity of Catharanthus roseus extract. Int J Pharm Sci Drug Res.
2011;3(3):211-3.
Badan POM RI, 2008, TaksonomiKoleksiTanamanObat, KebunTanamanObatCiteureup, Jakarta

Barrales-Cureño HJ, De la Rosa- Montoya, Villegas-Ortiz S. Hacia una genética celular del
cáncer. Revista la Ciencia y el Hombre. 2012;25(2):1-6.

Barrales-Cureño HJ, Ramírez Sepúlveda MF. A review on the production of taxoids anti-cancer
of callus and cells of Taxus spp. in cultures in vitro. Rev Colomb Biotecnol.
2013;25(2):167-77.

Bates DJ, Salerni BL, Lowrey CH, Eastman A. Vinblastine sensitizes leu¬kemia cells to cyclin-
dependent kinase inhibitors, inducing acute cell cycle phase-independent apoptosis. Cancer
Biol Ther. 2011;12(4):314-25.

Chattopadhyay RR. A comparative evaluation of some blood sugar lowering agents of plant
origin. J Ethnopharmacol. 1991;67(3):367-72..

Chattopadhyay SP, Das PK. Evaluation of Vinca rosea for the treatment of warts. Ind J Dermatol
Venerol Leprol. 1990;56(2):107-8.

Cordell GA, Weiss SG, Farnsworth NR. Structure elucidation and chemistry of Catharanthus
alkaloids. XXX. Isolation and structure elucidation of vincarodine. J Org Chem.
1974;39(4):431-4.

Dalimartha, S. 2008. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. TrubusAgriwidya, Jakarta

Ditjen POM. 2014. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan MakananRepublik Indonesia
Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Pedoman Uji ToksisitasNon Klinik Secara In Vivo. Jakarta:
Badan Pengawasan Obat dan MakananRepublik Indonesia. Halaman 3-5, 9, 11-12,28-32

El-Merzabani MM, El-Aaser AA, Attia MA, El-Duweini AK, Ghazal AM. Screening system for
Egyptian plants with potential anti-tumour activity. Planta Med. 1979;36(2):150-5.

El-Sayed A, Cordell GA. Catharanthus alkaloids. XXXIV. Catharanthamine, a new antitumor


bisindole alkaloid from Catharanthus roseus. J Nat Prod. 1981;44(3):289-93.

Ernawati. 2007. Gambaran MikroanatomiHeparMencit (Mus Musculus) Yang


DiberiPerlakuanInfusaDaunTapak Dara Bunga Putih (Vinca Rosea L.)
Ghosh RK, Gupta I. Effect of Vinca rosea and Ficus racemososus on hyperglycemiain rats. Ind J
Animal Health. 1980;19:145-8.

Guyton, A.C., Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi XXII.Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Halaman 34.

Harborne, J. B. 1987. MetodeFitokimia: Penuntun Cara Modern MenganalisisTumbuhan.


InstitutTeknologi Bandung. Bandung

Hassan KA, Brenda AT, Patrick V, Patrick OE. In vivo antidiarrheal activity of the ethanolic leaf
extract of Catharanthus roseus Linn. (Apocyanaceae) in Wistar rats. African J Pharm
Pharmacol. 2011;5(15):1797-800.

Hernawati. 2012. Gambaran Efek Toksik Etanol pada Sel Hati. Karya TulisIlmiah. Fakultas
Farmasi. Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.

Irianto, K. 2004. Struktur dan Fungsi Tubuh Manusia Untuk Paramedis.Bandung: Yrama Widya.
Halaman 225.

Ivora MD, Paya M, Villar A. 1989. A review of natural products and plants as potent ant diabetic
drugs. J Ethnopharmacol 27:243-275.

Jayanthi M, Sowbala N, Rajalakshmi G, Kanagavalli U, Sivakumar V. Study of anti


hyperglycemic effect of Catharanthus roseus in alloxan induced diabetic rats. Int J Pharm
Pharmaceut Sci. 2009;2(Suppl. 4):114-6.

Jordan MA, Wilson L. Microtubules as a target for anticancer drugs. Nat Rev Cancer.
2004;4(4):253-65.

Junqueira, L.C., Carneiro, J. 2007. Histologi Dasar. Edisi 10. Jakarta: PenerbitBuku Kedokteran
EGC. Halaman 3-5.

Kamuhabwa, A., Nshimo, C., dan de Witte, P. 2000. Cytotoxicity of Some Medicinal Plant
Extracts Used in Tanzanian Tradisional Medicine. Jurnal Ethnopharmacol70: 143-149.

Kumar A, Singhal KC, Sharma RA, Vyas GK, Kumar V. Analysis of antioxidant activity of
Catharanthus roseus (L.) and its association with habitat temperature. Asian J Exp Biol Sci.
2012;3(4):706-13.

Loomis, T.A. 1978. Toksikologi Dasar. Edisi Ketiga. Diterjemah oleh ImonoArgo Donatus.
Semarang: IKIP Semarang. Halaman 75.

Lu, F.C. 1995. Toksikologi Dasar: Asas, Organ Sasaran dan Penilaian Resiko.Jakarta: UI Press.
Halaman 46, 92, 206-220.
Martínez RA, Ceballos AA, Flores JA, Cuervo J, Gómez D. ¿Es la vinblastina útil en la leucemia
aguda mieloblástica? Rev Hematol Mex. 2012;13(1):11-5.

Moreno-Valenzuela OA, Galaz-Avalos RM, Minero-García Y, Loyola-Vargas VM. Effect of


differentiation on the regulation of indole alkaloid production in Catharanthus roseus hairy
roots. Plant Cell Rep. 1998;18(1):99-104.

Mousavi M, Ilkhani AR, Sharifi S, Mehrzad J, Eghdami A, Monajjemi M. DFT studies of nano
anticancer on vinblastine and vincristine molecules. Int J Microbiol Res Rev. 2013;1(2):31-
8.

Muhammad LR, Muhammad N, Tanveer A, Baqir SN. Antimicrobial activity of different


extracts of Catharanthas roseus. Clin. Exp Med J. 2009;3:81-5.

Nayak BS, Pinto Pereira LM. Catharanthus roseus flower extract has wound-healing activity in
Sprague Dawley rats. BMC Complement Altern Med. 2006;6:41-6.

OECD. 2001. Acute Oral Toxicity – Acute Toxic Class Method. OECD Guidelinesfor Testing
Chemicals. 423(1): 1-6.

OECD. 2008. Repeated Dose 28 – Day Oral Toxicity Study in Rodents.Organization for
Economic Cooperation and Development Guidelines forthe Testing of Chemicals. 407(1):
1-13.

Owellen RJ, Hartke CA, Hains FO. Pharmacokinetics and metabolism of vinblastine in humans.
Cancer Res. 1977;37(8 Pt 1):2597-602.

Pandiangan D, Nainggolan N (2006) Produksi alkaloid darikalustapakdara. JurnalIlmiahSains 6:


48-54

Patil PJ, Ghosh JS. Antimicrobial activity of Catharanthus roseus - A detailed study. Br J Pharm
Toxicol. 2010;1(1):40-4.

Piccinini M, Tazartes O, Mezzatesta C, Ricotti E, Bedino S, Grosso F, et al. Proteasomes are a


target of the anti-tumour drug vinblastine. Biochem J. 2001;356(Pt 3):835-41.

Plantamor, 2008. Plantamor Situs Dunia Tumbuhan, InformasiSpesies-


labu.http://www.plantamor.com/index.php?plant=1129. 22Maret 2021.

Priyanto. 2009. Toksikologi: Mekanisme, TerapiAntidotum dan PenilaianResiko.Jakarta:


Lembaga Studi dan KonsultasiFarmakologi (LESKONFI).Halaman 1-28, 132,151-155.

Ramya S, Govindaraji V, Kannan KN, Jayakumararaj R. In vitro evaluation of antibacterial


activity using crude extracts of Catharanthus roseus L. (G.) Don. Ethnobot Leaflets.
2008;12:1067-72.
Rasool N, Rızwan K, Zubaır M, Naveed K, Ahmed V. Antioxidant potential of different extracts
and fractions of Catharanthus roseus shoots. Int J Phytomed. 2011;3:108-14.

Retnomurti, H.R. 2008. Pengujian Toksisitas Akut Ekstrak Buah Merah(Pandanus conoideus
Lam.) Secara In Vivo. Skripsi. Fakultas TeknologiPertanian. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.

Singh R, Kharb P, Rani K. Rapid micropropagation and callus induction of Catharanthus roseus
in vitro using different explants. World J Agric Sci. 2011;7(6):699-704.

Soriton, H., Paulina, V.Y.Y., dan Lolo, W.A. 2014. Uji Efektivitas EkstrakEtanolDaunTapak
Dara (Catharanthus roseus (L.) G.Don) TerhadapPenurunan Kadar Gula Darah
TikusPutihJantanGalur Wistar (Rattus norvegicum L.) yang Diinduksi Sukrosa. Jurnal
Ilmiah Farmasi 3(3) : 162-169

Syaifuddin, H. 2006. Anatomi dan Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan.Edisi 3. Editor:


Monica Ester. Jakarta: EGC. Halaman 23-25.

Thabarani, E.C.A. 2012. Ekstraksi Alkaloid dalam Daun Tapak Dara. Skripsi. Universitas
Pembangunan Nasional Veteran Fakultas Teknologi Industri, Surabaya.

Tiong SH, Looi CY, Hazni H, Arya A, Paydar M, Wong WF, et al. Antidiabetic and antioxidant
properties of alkaloids from Catharanthus roseus (L.) G. Don. Molecules.
2013;18(8):9770-84.

Vacca A, Lurlaro M, Ribatti D, Minischetti M, Nico B, Ria R, et al. Antiangiogenesis is


produced by nontoxic doses of Vinblastine. Blood. 1999;94(12):4143-55.

Venkateswar R.V, M C Das, Muralidhar R, Siva P, Padma S. 2017. Evaluation of Acute Oral
Toxicity of Ethanol Leaves Extract of Catharanthus roseus in Wistar Albino Rats. Journal
of clinical and diagnostic research. India

Wang S, Zheng Z, Weng Y, Yu Y, Zhang D, Fan W, et al. Angiogenesis and anti-angiogenesis


activity of Chinese medicinal herbal extracts. Life Sci. 2004;74(20):2467-78.

Wong SK, Lim YY, Abdullah NR, Nordin FJ. Antiproliferative and phytochemical analyses of
leaf extracts of ten Apocynaceae species. Pharmacognosy Res. 2011;3(2):100-6.

Anda mungkin juga menyukai