Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban)


1. Deskripsi Pegagan
Pegagan (Centella asiatica) termasuk salah satu tumbuhan yang
paling banyak dipakai sebagai bahan ramuan obat tradisional. Centella
asiatica berasal dari daerah Asia tropik dan tumbuh di berbagai Negara
seperti Filipina, Cina, India, Sri Langka, Madagaskar, Afrika, dan
Indonesia. Di Indonesia tumbuhan ini dikenal dengan berbagai macam
nama sesuai dengan daerah tempat tumbuhnya. Di Jakarta, tumbuhan ini
disebut pegagan, di Sunda antanan, di Sumatra daun kaki kuda, di Madura
tikusan, di Jawa gagan-gagan dan di Bali piduh, sedangkan di luar negeri
terkenal dengan sebutan pennywort di Inggris, gotu kola di Amerika
(Natural Standard, 2010). Ilustrasi 1 menunjukkan gambar tanaman
pegagan.
Pegagan merupakan tanaman liar yang tumbuh di perkebunan,
ladang, tepi jalan serta pematang sawah, merupakan keluarga apiaceae
atau umbilliferae yang dapat dimakan (Suryo, 2010). Tanaman ini
berasalah dari daerah Asia tropik, tersebar di Asia tenggara, termasuk
Indonesia, India, Republik Rakyat Cina, Jepang, dan Australia kemudian
menyebar ke berbagai negara-negara lain. Nama yang biasa dikenal untuk
tanaman ini selain pegagan adalah daun kaki kuda dan antanan. Pegagan
mempunyai senyawa fotokimia yang terkandung seperti flavonoid,
saponin, polifenol, dan alkaloid serta sifat anti mikrobia, anti hipertensi,
anti fertilasi, anti oksidan, anti infammatori, anti neoplastik, dan anti
gastrik (Natural Standard, 2010). Pegagan termasuk tanaman tahunan
daerah tropis yang berbunga sepanjang tahun. Tanaman ini tumbuh
menjalar di atas permukaan tanah. Bentuk daunnya seperti ginjal,
bertangkai panjang dan tepinya bergerigi. Pegagan menyukai tanah yang
lembab dan cukup sinar matahari atau tempat teduh (Suryo 2010).
Menurut Winarto dan Surbakti (2003), pegagan tumbuh dengan baik yang
ditandai dengan daunnya yang besar dan tebal karena ditanam pada tempat
yang intensitas cahayanya 30-40%. Suryo (2010) menyatakan bahwa
pegagan banyak ditemukan tumbuh liar di tepi kebun, padang rumput, tepi
sawah atau di pekarangan rumah, sedangkan menurut Winarto dan
Surbakti (2003), pegagan tumbuh di daerah dengan ketinggian lebih dari
500 m dpl dengan kelembaban udara yang diinginkan 70- 90%, memiliki
temperatur udara antara 20-25℃dan tingkat keasaman tanah netral (pH)
antara 6-7.4
Mutu hasil panen pegagan dapat ditentukan berdasarkan derajat
kematangan pada waktu pemanenan. Pemanenan pegagan dapat dilakukan
setelah pegagan berumur 3-4 bulan dengan cara memangkas bagian batang
daun dan batang daunnya (Natural Standard, 2010).
2. Khasiat Pegagan
Kandungan zat aktif pegagan yang terbesar terletak pada zat
triterpen saponinnya, bersifat saponin sehingga menimbulkan efek busa
pada air. Kandungan zat triterpen saponin pegagan terdiri dari asiatikosida,
asam asiatik, thanukunside, isothankuside, madecassoside, brahmaside,
brahmic acid, madasiatic acid, meso-inosetol, centellose, caroteinoid,
garam K, Na, Ca, Fe, vellarine, tannin, mucilage, resin, pektin, gula,
protein, fosfor, vitamin B, vitamin C dan sedikit minyak atsiri (Winarto
dan Surbakti, 2003). Asiatikosida dalam pegagan bersifat polar akibat
gugus glikosida. Aglikon tirterpen dari asiatikosida ini disebut asam
asiatik yang mempunyai gugus alkohol primer sehingga asiatikosida dalam
pegagan berkhasiat sebagai anti demensia, anti infeksi, anti racun, penurun
panas, peluruh air seni, anti lepra, dan anti sifilis (Winarto dan Surbakti,
2003).
Triterpenoid atau triterpen yang terkandung pada pegagan
merupakan senyawa aktif yang terbanyak dibanding dengan senyawa
lainnya sehingga merupakan senyawa yang potensial untuk
dikembangkan. Untuk mendapatkan senyawa triterpen ini diperlukan
ekstrak khusus. Triterpen ini merupakan senyawa yang kurang polar dan
tidak larut dalam air (Herlina, 2010). Triterpenoid merupakan molekul
yang kompleks, mengandung aglikon non gula yang tergabung dalam unit
rantai gugus gula. Faktanya, bahwa saponin umumnya berada pada
tumbuhan dan merupakan komponen yang cukup rumit untuk determinasi
dan separasinya (Xing, et al., 2009). Komposisi utama triterpenoid ini
adalah asiatikosida, asam asiatan, dan asam madekasad.
Triterpenoid merupakan golongan senyawa terbesar dalam kelas
terpenoid yang dibentuk oleh kerangka karbon yang terdiri dari 6 isopren
dan merupakan turunan dari hidrokarbon C30 asiklik (Mora dan Fernando,
2012). Triterpenoid banyak dijumpai dalam senyawa yang tidak berwarna
dan titik lelehnya tinggi. Sebagian triterpenoid ini mempunyai 4 atau 5
cincin yang bergabung dengan pola yang sama dan fungsinya tertentu.
Triterpenoid dalam tumbuhan ini mempunyai kerangka struktur
pentasiklik (Mora dan Fernando, 2012). Untuk membuat total triterpen
pegagan menjadi bahan pangan fungsional, dibutuhkan optimasi ekstraksi
dari pegagan ini.
Pegagan dipercaya memiliki senyawa anti mikroba, dan terbukti
dari beberapa senyawa yang berkhasiat, ternyata juga mampu
meminimalisir bakteri. Untuk bakteri Eschericia coli yang merupakan
bakteri penyebab diare, pada ekstrak pegagan pada 25% mampu
menghambat perkembangan bakteri dan pada kadar 50% mampu
membunuh bakteri (Praswitasari, 2008). Namun, ekstrak daun pegagan
belum mampu menghambat pertumbuhan Vibrio cholerae yang
merupakan penyebab penyakit kolera (Ramadhan, et al., 2015). Penelitian
lainnya juga menyebutkan bahwa ekstrak pegagan dengan metanol
mempunyai aktivitas daya hambat yang tinggi terhadap bakteri
Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, Pseudomonas aeruginosa, dan
Escherichia coli (Arumugam et al., 2011).
Selain itu, jenis ekstrak juga berpengaruh terhadap daya hambat
mikroba. Jenis ekstrak yang menggunakan air merupakan jenis ekstrak
yang terburuk dalam pengekstrakan yang kurang efektif untuk dijadikan
bahan. Ekstrak pegagan dengan konsentrasi 10% dengan menggunakan
pelarut metanol sudah mampu membangun 20 mm zona hambat
mikroorganisme (Arumugam, et al., 2011). Selain pengujian bakteri
mikroba, juga telah diuji untuk kapang dan jamur. Penelitian sebelumnya
telah membuktikan bahwa pegagan mampu menghambat pertumbuhan
Aspergillus dengan ekstrak 25 ul sudah mampu menghambat Aspergillus
yang diinkubasi selama 4 minggu yang cukup signifikan. (Rathnavijaya, et
al., 2011).
Adapun senyawa herbal pegagan yang berkontribusi dalam anti
mikroba ini sangat beragam. Senyawa aktif yang diduga menghambat
mikroorganisme antara lain alkaloid, glikosida, terpenoid, steroid,
flavonoid dan tanin (Arumugam, et al., 2011). Selain itu juga, diduga
senyawa kompleks seperti saponin, fitosterol, fenolik, tannin dan
terpenoids juga diduga mampu menghambat mikroorganisme patogen
(Kannabiran, et al., 2009). Senyawa tersebut selain memiliki efek khusus
terhadap kesehatan, juga mampu menangkal bakteri patogen dan
kerusakan yang diakibatkan oleh mikroorganisme yang tidak diinginkan.
Selain sifat anti mikroba yang terdapat pada ekstrak pegagan ini
juga terdapat senyawa antioksidan yang dipercayai mampu menahan dan
menangkal radikal bebas dalam bahan pangan. Selain dapat menangkal
radikal bebas juga dipercaya mampu mempertahankan terjadinya oksidasi
seperti oksidasi asam lemak sehingga dapat mencegah ketengikan.
Pegagan memiliki senyawa fenolik serta asam askorbat yang berfungsi
sebagai antioksidan (Chaikham, et al., 2013). Senyawa antimikroba dan
antioksidan dalam pegagan ini mempunyai potensi yang baik dan perlu
pengembangan selanjutnya dan berpotensi dalam pengaplikasian dodol
susu yang sifat mutunya menurun akibat kapang dan tengik akibat asam
lemak yang teroksidasi.
3. Karakteristik Zat Aktif Pegagan
Zat aktif pegagan mempunyai sifat yang unik sehingga perlu
diperhatikan sebagai pedoman pengolahannya. Zat asiatikosida,
madekassosida, dan beta karoten pada daun pegagan, secara umum cukup
stabil dalam proses pengolahan dan penyimpanan, namun konsentrasi dari
komposisi total phenolik, dan asam askorbat sebagai antioksidan
cenderung menurun seiring meningkatnya masa simpan (Chaikham, et al.,
2013). Sedangkan untuk aroma flavor, senyawa volatil seperti linalool dan
geraniol dapat bertahan namun senyawa seperti alfa-terpine dan kelas
keton cenderung hilang akibat panas (Apichartseangkoon, et al., 2009).
Daun pegagan ini memiliki sifat anti-fertilasi, karena terbukti dalam dosis
yang tertentu dapat menurunkan hormon pembentukan sel seksual seperti
spermatozoid dan sel ovum sehingga perlu diwaspadai oleh konsumen
yang produktif secara seksual (Kristanti, 2010).

B. Jerawat
1. Definisi Jerawat
Jerawat merupakan salah satu penyakit kulit yang selalu mendapat
perhatian dan sering dialami oleh remaja, namun tidak sedikit pula orang
dewasa yang masih mengalaminya. Insidensi tertinggi terdapat pada
perempuan antara umur 14–17 tahun dan pada laki-laki antara umur 16–19
tahun. Tetapi dapat pula timbul pada usia di atas 40 tahun dan penyakit ini
dapat pula menetap pada usia lanjut. Pada usia 30-40 tahun terdapat 10%
kasus yang didapat. Bentuk yang lebih berat dari jerawat terdapat pada laki
laki kira-kira 3% dan lebih jarang pada perempuan (Wahdaningsih dkk.,
2014). Jerawat atau bahasa medisnya acne vulgaris ditandai dengan
adanya komedo, papul yang tidak beradang, pustul, nodus, dan kista yang
beradang pada daerah wajah, leher, lengan atas, dada dan punggung, dapat
juga disertai rasa gatal. Meskipun tidak mengkhawatirkan namun jerawat
dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang dengan memberikan efek
psikologis yang buruk berupa cara seseorang memandang, menilai, dan
menanggapi kondisi mengenai situasi dirinya (Wahdaningsih dkk., 2014).
2. Proses Terjadinya Jerawat
Proses terjadinya jerawat diawali pada masa pubertas, kelenjar
minyak pada kulit dibawah pengaruh hormone androgen tumbuh
membesar dan meningkatkan produksi sebum, yaitu berupa produk lipid
kompleks. Jerawat terjadi terutama pada kelenjar folikel. Apabila folikel
sebasues tertutup oleh sel kulit mati, maka sebum dapat 10 terakumulasi
sehingga folikel akan membengkak dan menjadi sumber nutrisi bagi
pertumbuhan mikroorganisme karena lingkungan folikel kaya akan lipid
(Soewolo, 2005).
3. Faktor Penyebab Jerawat
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebab dari jerawat antara
lain: faktor genetik (keturunan) sekitar 60% diturunkan dari orang tua,
faktor kosmetik yang mengandung lemak/minyak seperti pelembab akan
merangsang timbulnya jerawat, faktor makanan seperti makanan tinggi
karbohidrat dan banyak mengandung lemak dapat memperberat gejala
klinis dan mempermudah kambuhnya jerawat, faktor hormonal (hormone
androgen memegang peranan penting) biasanya jerawat akan muncul pada
saat premenstruasi bagi wanita, faktor infeksi mikroba terutama terinfeksi
bakteri Propionibacterium acne, Staphylococcus aureus dan
Staphylococcus epidermidis, faktor kejiwaan (psikis) kasus timbulnya
jerawat diduga ada hubungannya dengan stress, faktor lingkungan seperti
daerah (tropis/subtropis) keadaan lembab dan suhu tinggi di beberapa
daerah tropis dapat memudahkan kambuhnya jerawat, faktor trauma akibat
gangguan mekanik seperti gesekan, tekanan, peregangan dan cubitan pada
kulit akan menyebabkan jerawat menjadi lebih parah (Wirakusumah,
1994).

C. Bakteri Staphylococcus aureus


1. Definisi Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif berbentuk
bulat berdiameter 0,7-1,2 μm, tersusun dalam kelompok-kelompok yang
tidak teratur seperti buah anggur, fakultatif anaerob, tidak membentuk
spora, dan tidak bergerak. Bakteri ini tumbuh pada suhu optimum 37 ºC,
tetapi membentuk pigmen paling baik pada suhu kamar (20-25 ºC). Koloni
pada perbenihan padat berwarna abu-abu sampai kuning keemasan,
berbentuk bundar, halus, menonjol, dan berkilau. Lebih dari 90% isolat
klinik menghasilkan Staphylococcus aureus yang mempunyai kapsul
polisakarida atau selaput tipis yang berperan dalam virulensi bakteri.
Berbagai derajat hemolisis disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan
kadang-kadang oleh spesies Staphylococcus lainnya. (Jawetz et al., 2008).

Klasifikasi Staphylococcus aureus, yaitu:


Domain : Bacteria
Kingdom : Eubacteria
Filum : Firmicutes
Kelas : Bacilli
Ordo : Bacillales
Famili : Staphylococcaceae
Genus : Staphylococcus
Spesies : S. aureus
Nama binomial : Staphylococcus aureus
2. Patogenesis Staphylococcus aureus
Kolonisasi dari Staphylococcus aureus 30% berada pada lubang
hidung orang sehat, dapat pula ditemukan pada permukaan kulit. Infeksi
dari Staphylococcus aureus dapat terjadi apabila dijumpai sisi lemah dari
penjamu, seperti kulit yang terluka misalnya infeksi pada luka operasi.
Staphylococcus aureus juga dapat masuk melalui membran mukosa
misalnya pada pneumonia akibat penggunaan ventilator. Staphylococcus
aureus mampu bertahan hidup dan mengakibatkan berbagai manifestasi
klinis karena memiliki banyak faktor virulensi. Staphylococcus aureus
menghasilkan peptidoglikan yang merupakan polimer pembentuk dinding
sel bakteri, peptidoglikan berfungsi menghambat respon inflamasi dan
memiliki endotoxin-likeactivity. Bakteri Staphylococcus aureus memiliki
protein sel permukaan atau Components Recognizing Adhesive Matrix
Molecules (MSCRAMMs), seperti clumping factors yang berikatan
dengan fibrinogen, fibronectin-binding proteins yang berikatan dengan
fibronektin, kolagen, dan bone sialoprotein-binding proteins. Protein
permukaan tersebut bersama-sama memperantarai perlekatan bakteri ke
jaringan inang. Keberadaan faktor tersebut dihubungkan dengan terjadinya
endokarditis, osteomielitis, septik arthritis, dan infeksi akibat penggunaan
alat prostetik serta kateter (Utaminingsih, 2015).
Mikrokapsul dan protein A pada Staphylococcus aureus membantu
menghambat proses fagositosis. Protein A adalah komponen utama dari
dinding sel Staphylococcus aureus, protein ini akan berikatan dengan sisi
Fc dari IgG, membentuk anti opsonin sehingga dapat memiliki efek
antifagosit yang kuat. Staphylococcus aureus juga menghasilkan beberapa
enzim seperti protease, lipase, elastase, hialuronidase, dan kinase yang
memampukan Staphylococcus aureus untuk menginvasi dan merusak
jaringan inang sehingga Staphylococcus aureus mampu bermetastasis ke
berbagai organ (Utaminingsih, 2015).
Staphylococcus aureus mampu menghasilkan enzim katalase yang
berperan dalam proses pengubahan hidrogen peroksida (H2O2) menjadi
hidrogen (H2) dan oksigen (O2), karena hal tersebut Staphylococcus
aureus dikatakan bersifat katalase positif dimana hal ini dapat
membedakannya dari genus Streptococcus. Staphylococcus aureus juga
menunjukkan kemampuan untuk menghasilkan enzim koagulase yang
dapat membedakannya dari Staphylococcus jenis lainnya, seperti
Staphylococcus epidermidis. Staphylococcus aureus memiliki kemampuan
untuk memfermentasikan manitol menjadi asam, hal ini dapat dibuktikan
bila Staphylococcus aureus dibiakkan dalam agar Manitol, dimana terjadi
perubahan pH dan juga perubahan warna dari merah ke kuning (Pandia,
2015).
Faktor virulensi lain yang dapat digunakan untuk menghindari
sistem imun adalah koagulase yang mana enzim ini dapat menggumpalkan
plasma oksalat atau plasma sitrat. Enzim koagulase akan berikatan dengan
protombin sehingga mengaktifkan polimerasi fibrin dan membentuk
deposit fibrin pada permukaan kuman yang berfungsi untuk menghambat
fagositosis (Utaminingsih, 2015). Patogenitas Staphylococcus aureus
disebabkan karena produksi toksin dimana toksin tidak akan bekerja
sebelum bakteri berhasil masuk dan bertahan dalam tubuh hospes, pada
fase awal inilah koagulase berperan sebagai faktor virulensi dengan
melindungi bakteri dari fagositosis sehingga bakteri dapat menimbulkan
infeksi dan melalukan multiplikasi (Smith et al., 1947). Ada dua jenis
produksi koagulase yaitu koagulase bebas (free coagulase) dan koagulase
terikat (bound coagulase). Bakteri yang membentuk koagulase dianggap
mempunyai potensi menjadi patogen invasif (Jawetz et al., 2001).
Staphylococcus aureus memiliki membrane-damaging toxin yaitu
hemolisin, leukotoksin, leukosidin yang merusak membran sel eukariotik.
Leukosidin bekerja dengan membentuk pori pada membran sel leukosit
sehingga menyebabkan kerusakan sel leukosit. Eksotoksin seperti SEA
sampai SEG, TSST, ET dapat menimbulkan keracunan makanan, toxic
shock syndrome, scalded skin syndrome, bullous impetigo dan sindroma
sepsis, sedangkan strain CA-MRSA memiliki eksotoksin yang dinamakan
Pantone Valentine Leukodin (PVL). PVL ini dapat menyebabkan lisisnya
Polymorphonuclear Neutrophils (PMN) dan melepaskan reactive oxygen
species (ROS) yang mengakibatkan nekrosis jaringan (Utaminingsih,
2015).
Bakteri Staphylococcus aureus mampu membuat biofilm di
jaringan inang maupun di permukaan alat prostetik serta dapat membentuk
small-variant colony (SVCs) yang dapat bersembunyi dalam sel inang
tanpa menyebabkan kerusakan signifikan pada sel. Hal tersebut dapat
membuatnya terlindung dari efek antibiotik dan mekanisme pertahanan
tubuh. Keberadaan faktor-faktor tersebut menimbulkan manifestasi klinis
dari infeksi Staphylococcus aureus menjadi sangat luas mulai dari
keracunan makanan, infeksi kulit ringan sampai dengan infeksi berat yang
mengancam jiwa bila terjadi bakterimia, dan bermetastasis ke berbagai
organ, pada otak dapat mengakibatkan meningitis, abses otak dan
serebritis (Utaminingsih, 2015).

Anda mungkin juga menyukai