Anda di halaman 1dari 16

Histologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari struktur dan sifat jaringan dan organ tubuh

untuk menjelaskan fungsinya dalam keadaan normal, termasuk perubahannya sepanjang usia dan dalam
keadaan sakit (Wonodirekso, 2003).

Histologi merupakan cabang dari ilmu kedokteran dimana mempelajari struktur jaringan, sifat jaringan
dan organ tubuh serta perubahannya sepanjang usia atau dalam keadaan sakit sehingga dapat diketahui
fungsinya dalam keadaan normal (Wonodirekso, 2003).

Histologi adalah ilmu yang mempelajari tentang jaringan hewan atau tumbuhan ( Mayer 1819). Jaringan
dalam biologi adalah sekumpulan sel yang memiliki bentuk dan fungsi yang sama. Jaringan-jaringan yang
berbeda dapat bekerja sama untuk suatu fungsi fisiologi yang sama membentuk organ. Jaringan
dipelajari dalam cabag biologi. Selain mempejari jaringan hewan atau tumbuhan, histoogi juga
memepejari jaringan tubuh manusia. Salah satu jaringan tubuh manusia terdapat dalam gigi.

Menurut Mayer (1819), histologi adalah ilmu yang mempelajari tentang jaringan hewan atau tumbuhan.
Jaringan dalam bio

Histologi adalah cabang ilmu yang mempelajari jaringan tubuh secara mikroskopik. Dalam mempelajari
histologi jaringan dasar tubuh memerlukan dasar yang kuat tentang biologi sel, sehingga dalam
mempelajari histologi , ada yang menggolongkan menjadi tiga bagian yaitu histologi sel, histologi
jaringan dasar, dan histologi organ. Buku ajar ini membahas tentang histologi jaringan dasar tubuh
dengan penjelasan berupa empat jaringan dasar dari tubuh yang menekankan bagaimana sel menjadi
terspesialisasi untuk melakukan fungsi-fungsi khusus dari jaringan tersebut. Empat jaringan dasar yang
dimaksud adalah Jaringan Epitel, Jaringan Otot, Jaringan Penyambung dan Jaringan Syaraf.

Histoteknik adalah metode atau cara untuk membuat sajian histologi dari spesimen tertentu melalui
suatu rangkaian proses hingga menjadi sajian yang siap untuk diamati atau dianalisis. Sajian histologi
yang baik dapat digunakan untuk bahan pengajaran dan praktikum mahasiswa untuk mempelajari
bentuk dan struktur jaringan tubuh tertentu, sebagai riset untuk mempelajari perubahan jaringan dan
organ tubuh hewan percobaan, dan membantu menegakkan diagnosis penyakit yang diderita oleh
seorang pasien. Tujuan tersebut dapat tercapai apabila sajian histologi yang dibuat dapat memberikan
gambaran tentang bentuk serta susunan sel, inti sel dan sitoplasma, badan inklusi (glikogen, tetesan
lemak, pigmen), susunan serat jaringan ikat, otot dan lain sebagainya sesuai dengan gambaran jaringan
tubuh tersebut dalam kondisi hidup (Jusuf, 2009).

Histoteknik adalah suatu cara atau metode yang digunakan untuk menyajikan suatu spesimen tertentu
secara histologis melalui serangkaian proses hingga menjadi suatu presentasi yang siap untuk diamati
atau dianalisis. Presentasi histologi yang baik dapat digunakan sebagai buku teks dan sebagai magang
mahasiswa untuk mempelajari bentuk dan struktur jaringan tubuh tertentu, sebagai studi untuk
mempelajari perubahan jaringan dan organ pada hewan laboratorium, dan untuk membantu
mendiagnosis penyakit pada pasien. Hal ini dapat dicapai jika temuan histologis yang dilakukan dapat
memberikan gambaran tentang bentuk dan susunan sel, inti dan sitoplasma, badan inklusi (glikogen,
tetesan lemak, pigmen), susunan serat jaringan ikat, otot, dll. Deskripsi organisasi , kondisi hidup (Jusuf,
2009)
Sajian yang baik dapat membantu dalam memahami struktur histologi jaringan tubuh sesuai dengan
kondisi yang sebenarnya pada waktu hidup. Sajian yang baik juga akan memberikan hasil yang benar-
benar akurat yang sangat dibutuhkan oleh para peneliti untuk menjawab permasalahan yang timbul.
Selain itu, sajian yang baik juga diperlukan oleh klinisi untuk menunjang diagnosis penyakit yang diderita
oleh pasien (Jusuf, 2009).

Rangkaian proses pembuatan sajian histologi terdiri atas fiksasi (fixation), dehidrasi (dehydration),
pembeningan (clearing), penanaman (impregnasi/embedding), pengeblokan (blocking), pemotongan
jaringan (sectioning), pembuatan sediaan (afixing), pewarnaan (staining), penutupan (mounting), dan
pelabelan (labelling) (Sumanto. 2014).

terdiri atas fiksasi (fixation), dehidrasi (dehydration), pembeningan (clearing), penanaman


(impregnasi/embedding), pengeblokan (blocking), pemotongan jaringan (sectioning), pembuatan
sediaan (afixing), pewarnaan (staining), penutupan (mounting), dan pelabelan (labelling).

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan jaringan histologi adalah tebal irisan jaringan, volume
larutan fiksasi dan jenis cairan fiksasi. Tebal irisan jaringan adalah 3-5 mm sehingga larutan fiksasi dapat
dengan cepat masuk ke seluruh jaringan. Apabila irisan terlalu tebal maka hanya permukaan luarnya saja
yang difiksasi dengan baik, sedangkan bagian tengah jaringan sudah membusuk sebelum larutan fiksasi
masuk ke dalam jaringan. Volume larutan fiksasi sekurang-kurangnya harus 10-20x volume jaringan yang
akan difiksasi. Besarnya volume jaringan menentukan volume fiksasi yang diperlukan sedangkan tebal
jaringan menentukan kecepatan fiksasi. Panjang dan lebar jaringan umumnya ditentukan oleh jenis
mikrotom yang akan digunakan (Jusuf, 2009).

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan histologi jaringan adalah ketebalan bagian jaringan,
volume fiksatif dan jenis cairan fiksatif. Bagian jaringan yang setebal 3-5 mm memungkinkan fiksatif
dengan cepat menembus seluruh jaringan. Jika irisan terlalu tebal, hanya permukaan luar yang terfiksasi
dengan baik, dan bagian tengah jaringan telah membusuk sebelum bahan fiksatif dapat masuk ke
jaringan. Volume fiksatif harus minimal 10-20 kali volume jaringan yang akan difiksasi. Besar kecilnya
volume jaringan menentukan volume fiksasi yang diinginkan, sedangkan ketebalan jaringan menentukan
kecepatan fiksasi. Panjang dan lebar jaringan seringkali tergantung pada jenis mikrotom yang akan
digunakan (Jusuf, 2009).

Larutan formalin merupakan larutan fiksatif yang paling umum digunakan. Laurtan formalin yang
digunakan adalah formalin 10%. Formula yang digunakan adalah formalin 40% sebanyak 10 mL dan
aquades sebanyak 90 mL. Formalin dalam bentuk polimer dari formaldehida tidak dapat digunakan
untuk fiksasi. Formalin yang dapat digunakan adalah bentuk monomernya. Untuk menghasilkan formalin
dalam bentuk monomer diperlukan waktu, kecuali apabila pH larutan netral atau sedikit alkalis, karena
kecepatan depolarisasi tergantung pada pH. Formalin bersifat asam karena mengandung asam formiat
akibat oksidasi formaldehida. Larutan formalin 10% harus dibuat netral atau sedikit alkalis dengan
menggunakan larutan buffer phosphate dengan pH 7.2 sebagai pelarut, atau dengan menambahkan
kalsium asetat (Jusuf, 2009).

Larutan formalin 10% dengan buffer phosphate yang sering digunakan adalah Formol Calcium (Lillie
1965), Buffer formalin (NBF 10%), dan Buffer formalin sukrosa (Holt dan Hicks, 1961). Pembuatan NBF
10% yaitu dengan mencampurkan 10 mL formalin, 0,40 gram acid sodium phosphate monohydrate, 0,65
gram anhydrous disodium phosphate, dan aquadest sampai mencapai volume 100 mL. Larutan fiksatif
formalin akan mengawetkan struktur halus (fine structure) dengan sangat baik, phospholipid dan
beberapa enzim. Larutan ini sangat dianjurkan untuk dipakai pada penelitian gabungan secara sitokimia
dan mikroskop elektron. Jaringan harus didinginkan sampai 4° Celsius dalam refrigerator untuk
mendapatkan hasil yang terbaik (Jusuf, 2009).

Larutan yang digunakan pada proses fiksasi antara lain larutan bouin, larutan zenker, larutan helly,
larutan carnoy, larutan orth dan larutan NBF 10%. Larutan fiksasi NBF 10% merupakan salah satu larutan
fiksasi rutin yang digunakan dalam pembuatan sediaan histologi. Larutan NBF 10% sebagai larutan fiksasi
secara umum membutuhkan waktu 24 jam setelah jaringan dinekropsi. Larutan fiksasi NBF 10% memiliki
kelebihan seperti daya penetrasi yang cepat, pH mendekati normal, dapat disimpan dalam jumlah besar
dan waktu yang lama serta mudah didapatkan. Konsentrasi larutan fiksatif yang dibutuhkan untuk
pembuatan sediaan histologi adalah 10%. Larutan fiksasi NBF 10% merupakan larutan fiksatif yang
dibuat dengan menggunakan formalin 4% dan aquadest sebagai bahan campuran atau pengenceran.
Formalin yang memiliki konsentrasi tinggi dapat mengendapkan protein dan memberikan hasil yang
kurang baik pada kualitas sediaan histologi. Salah satu sifat NBF 10% adalah mudah teroksidasi menjadi
asam format yang bersifat asam. Oleh karena itu perlu adanya perlakuan khusus untuk mencegah
terjadinya pembentukan asam tersebut dengan menyimpan BNF 10% di tempat yang berwarna gelap
dan tertutup rapat atau pada dasar botol yang diletakkan sejumlah bubuk kalsium karbonat untuk
menetralisir terbentuknya asam format yang dapat mengubah pH pada larutan fiksatif (Levy, 1934 ;
Galang, 2015)

Larutan fiksasi yang rutin digunakan dalam pembuatan sediaan histologi adalah NBF 10%. Larutan NBF
10% secara umum membutuhkan waktu 24 jam setelah jaringan dinekropsi. Fiksatif NBF 10% memiliki
keunggulan penetrasi yang cepat, nilai pH yang mendekati normal, penyimpanan jangka panjang dalam
jumlah banyak, dan akses yang mudah. Konsentrasi fiksatif yang diperlukan untuk pembuatan preparat
histologis adalah 10%. Fiksatif NBF 10% adalah fiksatif yang dibuat dengan menggunakan formalin 4%
dan aquadest sebagai campuran atau pengenceran. Konsentrasi formalin yang tinggi dapat
menyebabkan pengendapan protein dan mempengaruhi kualitas sediaan histologis. Salah satu sifat NBF
10% adalah mudah teroksidasi menjadi asam format asam. Oleh karena itu, diperlukan perlakuan khusus
untuk mencegah pembentukan asam, simpan 10% BNF di tempat yang gelap dan kedap udara atau
letakkan bubuk kalsium karbonat dalam jumlah tertentu di bagian bawah botol untuk menetralkan asam
yang terbentuk. Asam format dapat mengubah pH fiksatif. (Levy, 1934 ; Galang, 2015)
 (NBF) memiliki umur simpan yang lebih lama. Jaringan yang difiksasi dengan NBF menghasilkan RNA
dengan kualitas yang lebih baik secara konsisten meskipun asam nukleat berkualitas baik dapat
diperoleh dari paraformaldehyde 4% yang disiapkan "baru".

Dehidrasi merupakan metode yang digunakan untuk mengeluarkan seluruh cairan yang terdapat dalam
jaringan setelah dilakukan proses fiksasi sehingga nantinya dapat diisi dengan parafin untuk membuat
blok preparat (Rina, 2013).

Penjernihan adalah metode yang digunakan mengeluarkan alkohol dari jaringan dan menggantikannya
dengan suatu larutan yang berikatan dengan parafin. Pada proses clearing ini sangat penting karena
apabila dijaringan masih tersisa alkohol walaupun sedikit, parafin tidak akan bisa masuk kedalam
jaringan. Sehingga jaringan nantinya tidak akan sempurna dalam pembuatan blocking, pemotongan dan
pewarnaan. Proses clearing ini menggunakan bermacam-macam zat penjernih yaitu xylol atau xylene
dan toluol atau toluene (Waheed, 2012).

Clearing adalah metode yang digunakan untuk menghilangkan alkohol dari jaringan dan menggantinya
dengan larutan yang terikat parafin. Proses penghilangan ini sangat penting karena jika masih ada sedikit
alkohol di dalam jaringan, parafin tidak akan bisa masuk ke dalam jaringan. Dengan cara ini jaringan
tidak akan sempurna dalam pembuatan blocking, cropping, dan pewarnaan nanti. Proses clearing ini
menggunakan berbagai zat penghalus yaitu xylol atau xylene dan toluol atau toluene (Waheed, 2012).

Penanaman (Embedding) merupakan proses untuk mengeluarkan cairan pembening dari jaringan dan
digantikan dengan parafin. Jaringan ini harus terbebas dari cairan pembening karena nantinya akan
mengkristal dan sewaktu dipotong jaringan akan mudah robek. Berdasarkan metode prosesnya yaitu
jaringan akan dibenamkan di larutan parafin selama 3x dan dalam jangka waktu tertentu sambil
dipanaskan agar parafinnya tidak membeku (Rina, 2013).

Pembuatan (Blocking) merupakan proses pengisian parafin padat yang dicairkan agar dapat dipotong
menggunakan mikrotom. Proses ini menggunakan parafin sebagai media pengisian jaringannya agar
memadat dan mudah dipotong. Prosesnya yaitu dengan menyiapkan tempat blocking, dan menuangkan
parafin, dilanjutkan dengan memasukan organ kedalam parafin yang sudah disediakan. Selanjutnya
setelah blok parafin kering dan sudah beku dapat dikeluarkan dari tempat blocking dan dapat
dilanjutkan ke proses selanjutnya (Rina, 2013).

Blocking adalah proses pengisian dengan parafin cair sehingga dapat dipotong dengan mikrotom.
Prosedur ini menggunakan parafin sebagai media pengemasan untuk jaringan, sehingga jaringannya
memadat dan mudah dipotong. Prosedurnya dilakukan dengan menyiapkan tempat blocking dan
menuangkan parafin, kemudian memasukkan organ ke dalam parafin yang disediakan. Selanjutnya
setelah blok parafin dikeringkan dan dibekukan,hasil dapat dikeluarkan dari tempat blocking dan dapat
dilanjutkan ke prosedur selanjutnya (Rina, 2013).

Pemotongan dilakukan menggunakan pisau khusus yang biasa disebut mikrotom. Mikrotom adalah alat
yang dilengkapi dengan pisau yang tajam dan dapat mengiris potongan block dengan sangat tipis dan
sesuai dengan ukuran ketebalan yang kita inginkan (Rina, 2013).
Deparafinisasi adalah suatu tahap pada proses pewarnaan (staining) dengan tujuan membersihkan
parafin dari jaringan atau kaca objek (Sari et al, 2016). Reagen yang sering dipakai adalah xylol,
toluen,benzol, atau kloroform.waktu penjernihan harus diatur dengan tepat agar jaringan tidak terlalu
keras, misalnya pada penggunaan xylol yang terlalu lama. Kloroform merupakan bahan penjernih pilihan
yang dipakai di laboratorium tertentu, karena tidak menimbulkan masalah pada parafinisasi., tidak
membuat jaringan terlalu keras, namun jaringan yang terendam didadalamnya dapan menjadi
transparan (Miranti, 2010).

Deparafinisasi merupakan tahapan dalam proses pewarnaan yang bertujuan untuk menghilangkan
parafin dari jaringan atau kaca objek (Sari et al., 2016). Pereaksi yang umum digunakan adalah xylol,
toluen,benzol, atau kloroform.Waktu pemurnian harus diatur dengan tepat agar jaringan tidak terlalu
keras, misalnya menggunakan xylol terlalu lama. Kloroform merupakan bahan dekontaminasi yang lebih
disukai digunakan di beberapa laboratorium karena tidak menimbulkan masalah parafinisasi dan tidak
membuat jaringan terlalu keras, tetapi jaringan yang direndam di dalamnya akan menjadi transparan
(Miranti, 2010).

Jaringan yang sudah terblok kemudian dipotong menggunakan mikrotom. Pemotongan blok jaringan
yang baik akan menghasilkan pita potongan jaringan yang panjang. Potongan jaringan tersebut lalu
dibuat sediaan (afixing). Afixing adalah proses menempelkan potongan jaringan pada kaca objek untuk
kemudian dilakukan pewarnaan (Sumanto, 2014).

Buffered Neutral Formalin (BNF) 10% biasa disingkat menjadi BNF, Telah menjadi fiksatif standar untuk
digunakan dalam pengaturan diagnostik. Ini lebih efektif dari pada campuran formalin sederhana seperti
garam fosfat yang hadir membuatnya tidak mungkin bahwa eritrosit akan rusak, dan pH netral
menghambat pigmen formalin. Fosfat akan menyesuaikan pH sekitar 7,0 sebagai netral tetapi tidak
perlu menyesuaikannya ketingkat ini jika sedikit berbeda.

Neutral Buffered Formalin (NBF) 10% merupakan fiksatif standar yang sering digunakan dalam
pengaturan diagnostik. NBF 10% lebih efektif digunakan dibandingkan campuran formalin sederhana
seperti garam fosfat yang

Meskipun pembentukan pigmen formalin dihambat tidak berhenti sama sekali, dan dapat perlahan-
lahan terbentuk di jaringan yang sangat berdarah, atau dalam jaringan yang disimpan untuk waktu yang
lama di BNF 10% tanpa itu berubah. BNF berguna sebagai fiksatif untuk spesimen museum dan fotografi
karena memungkinkan pemulihan warna alami pada spesimen. Waktu fiksasi ini harus diterapkan
semalaman seminial mungkin, tetapi tidak lenkap sampai diterapkan selama beberapa hari, dan satu
dua minggu tidak terlalu lama. Untuk fiksasi menyeluruh, protein di jaringan perlu diikat silang, tetapi
sudah diketahui bahwa campuran formalin sederhana dapat mengubah jaringan dengan baik sebelum
mengikat protein. Oleh karena itu pengamatan visual tidak memberikan indikasi apapun mengenai
tingkat fiksasi, dan perubahan warna tidak boleh digunakan sebagai indicator bahwa itu sudah lengkap.

No Variabel Definisi Operasional Satuan


1. Kualitas Gambaran kualitas preparat - Baik
Mikroskopis ginjal mencit (Mus - Tidak Baik
Sediaan musculus) merupakan hasil - Kurang Baik
pengamatan mikroskopis
jaringan ginjal mencit berupa
intisel, sitoplasma dan
keseragaman warna yang
dinyatakan dengan hasil yang
berkualitas baik, kurang baik,
dan tidak baik.
2. Fiksasi Merupakan proses - - Nominal
pembuatan jaringan dengan
menggunakan larutan
neutral buffer formalin 10%,
gula pasir 10% dan 20%.

Histoteknik adalah metode, cara atau proses untuk membuat sajian histologi dari spesimen tertentu
melalui suatu rangkaian proses hingga menjadi sajian yang siap untuk diamati atau dianalisa.Sajian yang
baik memberikan hasil yang sangat dibutuhkan oleh para peneliti untuk menjawab permasalahan yang
timbul. Dasar dari pembuatan sajian histologi yang baik adalah melakukan fiksasi yang benar. Kesalahan
yang dilakukan pada tahap fiksasi tidak akan pernah dapat diperbaiki lagi pada tahapan selanjutnya. Jadi
hasil akhir sajian histologi yang baik sangat tergantung pada cara melakukan fiksasi dengan baik

Fiksasi adalah proses kimia pengawetan jaringan biologis sehingga mencegah autolisis atau proses
pembusukan.Fiksasi bertujuan untuk mengawetkan jaringan sehingga jaringan secara permanen mirip
sedekat mungkin dengan keadaan saat hidup serta untuk mengeraskan sehingga memudahkan
pembuatan jaringan irisan yang tipis (Ganjali H, 2013)

Fiksasi adalah proses mengawetkan jaringan dengan tujuan agar jaringan awet sehingga struktur
selnya masih sama dengan keadaan hidup (Durachim A,2017). NBF 10% yang digunakan untuk
fiksasi mengandung sekitar 4% dari volume formaldehida (Gamble M, 2007)
Fiksasi merupakan salah satu bagian dari beberapa tahapan dalam pembuatan sediaan
histologi. Maksud dari dilakukannya fiksasi adalah untuk mambuat struktur unsur-unsur
jaringan menjadi stabil, tidak mengalami perubahan (post-mortem) pasca kematian. Apabila
individu mati maka ada dua hal yang bisa merusak struktur jaringan yaitu pengaruh enzim proteolitik
dan pengaruh bakteri pembusuk (Rusmiatik, 2019)

Ada dua macam jenis bahan fiksatif :

•Sederhana, terdiri dari satu mcam zat seperti formalin, etanol, asam cuka, bekromat dan sublimat.
•Campuran, mengandung lebih dari satu macam zat misalnya larutan bouin, zenker, helly,
larutan carnoy.

Dalam proses fiksatif dengan formalin, tidak mengkerutkan jaringan tetapi jaringan
mengkerut karena pengaruh alkohol pada waktu proses dehidrasi. Jaringan yang di fiksasi dengan
formalin dapat langsung di pindahkan ke dalam alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 96%,dan alkohol
absolut.

Jaringan tidak menyusut selama fiksasi dengan formalin, tetapi karena efek alkohol selama dehidrasi.
Jaringan yang difiksasi dengan formalin dapat dipindahkan langsung ke dalam alkohol bertingkat

Formalin dapat membuat protein dalam jaringan menjadi lebih asam dari pada menggunakan
fiksatif alkohol, oleh karena itu protein yang difiksasi dengan formalin akan mempunyai afinitas
yang lebih baik terhadap zat-zat warna basa. Sedangkan dalam proses fiksasi dengan larutan
bouin, mempunyai kemampuan untuk penetrasi ke dalam jaringan lebih cepat pada nukleus dan
jaringan ikat akan terpulas dengan baik, tetapi jika waktu fiksasi yang di gunakan terlalu lama,
jaringan menjadi rapuh dan sukar untuk di iris. Larutan bouin dapat di simpan dalam jangka waktu
yang cukup lama dan digunakan sewaktu-waktu (Suntoro.S.H, 1983).

Formalin dapat membuat protein dalam jaringan lebih asam dibandingkan dengan fiksatif alkohol,
sehingga protein yang difiksasi dengan formalin memiliki afinitas yang lebih baik terhadap pewarna
basa. Selama fiksasi dengan larutan Bouin, ia menembus lebih cepat ke dalam jaringan di dalam nukleus,
dan jaringan ikat akan terwarnai dengan baik, tetapi jika waktu fiksasi terlalu lama, jaringan akan
menjadi rapuh dan sulit untuk dipotong. Larutan bouin dapat disimpan dalam waktu lama dan
digunakan setiap saat (Suntoro.S.H, 1983).

Fiksasi merupakan tahap yang sangat penting dalam rangkaian pemerosesan suatu spesimen. Fiksasi
akan mempertahankan morfologi sel atau jaringan seperti ketika sel atau jaringan tersebut berada
dalam tubuh dan masih mendapat suplai nutrisi oksigen. Menurut Buku Pedoman Pelayanan Patologi
Anatomi Indonesia (2015), penyimpanan sediaan tidak boleh lebih dari 24 jam (Kemenkes, 2015).
Kemenkes, 2015.Buku Pedoman Pelayanan Patologi Anatomi Indonesia

Cairan fiksasi yang baik adalah cairan yang menghentikan proses enzymatic sel tubuh secepatnya untuk
mencegah autolisis, mengkoagulasi protein, membuat jaringan mudah diwarnai. Zat yang digunakan
sebagai cairan fiksasi yang umum pada sediaan apusa sitologi adalah alcohol 96% sedangkan untuk
cairan segar bisa digunakan alkohol 50-70% Tujuan fiksasi untuk mempertahankan komponen-
komponen sel atau jaringan agar tidak mengalami perubahan dan tidak mudah rusak (Boon and Drijver,
2006).

Boon, M.E., and Drijver, J.S., 1986.Routine Cytological Staining Technique, Theoritical background and
practice

Pengolahan jaringan dapat dipastikan ada unsur-unsur jaringan yang hilang atau rusak. Fiksasi yang baik
memungkinkan unsur protein tetap ada atau berkurangnya minimal unsur lipid akan selalu hilang
kecuali menggunakan teknik yang lebih khusus lagi. Fiksasi merupakan langkah yang sangat penting yang
harus dilakukan dengan sempurna, menggunakan zat fiksator yang baik, dan faktor-faktor yang
mempengaruhi fiksasi yaitu pH, perubahan volume, suhu dan kosentrasi harus diperhatikan, karena
sangat berpengaruh pada langkah selanjutnya (Nasar, 2008).

Nasar, I M, 2008.Prinsip Dasar Pengolahan Jaringan untukHistologi dan Sitoplasma Fiksasi Alkohol 70%
Dab BNF 10% Pada Pewarnaan HE.Skripsi

Fiksasi adalah usaha untuk mempertahankan komponen-komponen sel atau jaringan agar tidak
mengalami perubahan dan tidak mudah rusak. Proses fiksasi ini diharapkan setiap molekul pada jaringan
yang hidup tetap berada pada tempatnya dan tidak ada molekul baru yang timbul. Pada prosesnya ini
tentu tidak akan berjalan dengan sempurna, apa bila timbul molekul asing baru pada jaringan disebut
artefak. Tujuan fiksasi ini agar jaringan tersebut tetap utuh. Fiksasi harus dilakukan sesegerah mungkin
setelah pengangkatan jaringan atau setelah kematian agar tidak terjadi autolysis.

Dehidrasi merupakan metode yang digunakan untuk mengeluarkan seluruh cairan yang terdapat dalam
jaringan setelah dilakukan proses fiksasi sehingga nantinya dapat diisi dengan paraffin untuk membuat
blok preparat. Proses dehidrasi ini menggunakan alkohol bertingkat, mulai dari alkohol 30%, 50%, 60%,
70%, 80%, 95% dan alkohol absolut. Prosesnya suatu jaringan akan dicelupkan masing-masing alkohol
dengan kisaran waktu tertentu sampai proses berlangsung.

Proses pemotongan organ atau pengirisan jaringan dengan menggunakan pisau khusus yang biasa
disebut mikrotom. Mikrotom adalah alat yang dilengkapi dengan pisau yang tajam dan dapat mengiris
potongan blok dengan sangat tipis dan sesuai dengan ukuran atau ketebalan yang kita inginkan. Proses
pemotongan blok farafin dengan cara meletakkan blok paraffin pada penjepit kaset mikrotom, pisau
mikrotom yang masih tajam dipasang pada tempat pisau mikrotom kemudian atur pada ketebalan 3
atau 4 mikron dengan suhu 300 c. Putar pemutar mikrotom menggunakan tangan kanan sampai jaringan
terpotong menjadi lembaran tipis jaringan dengan ketebalan 3-4 mikron, kemudian lembaran jaringan
diambil dan diletakkan pada waterbath dengan suhu 500 c, sampai mengembang. Lembaran jaringan
diambil menggunakan objek glass (Sumarno, 2011).
Tehnik pewarnaan merupakan suatu prosedur yang digunakan dalam bidang histotehnik. Pewarnaan
adalah proses pemberian warna pada jaringan yang telah dipotong sehingga unsur jaringan menjadi
kontras dan dapat diamati dengan mikroskop. Zat warna yang sering digunakan dalam histotehnik
adalah hematoksilin eosin.

Hematoksilin didapatkan dari ekstrak pohon haematoxyloncampechiamun Linnaeus yang berasal dari
amerika. Sebelum diberi warna oleh hematoksilin terlebih dahulu jaringan harus dioksidasi dengan
hematin. Proses ini disebut dengan pematangan. Jika menggunakan paparan oksigen proses
pematangan ini berlangsung dengan cepat dapat ditambahkan senyawa kimia, seperti merkuru oksida
dan sodium iodide. Saat ini hematoksilin yang dijual sudah tercampur dengan eosin untuk
mempermudah pewarnaan, pada awalnya hematoksilin memberikan warna merah baik pada sel
maupun jaringan, untuk melihatnya disarankan untuk menggunakan etanol 95% yang memiliki pH
normal, agar jaringan dapat dilihat dengan mikroskop, hematoksilin dapat memberikan pewarnaan
dengan dua metode yaitu secara progresif dan regresif. Pada metode regresif jaringan dibiarkan dalam
larutan sampai beberapa waktu kemudian larutan tersebut dibuang, sedangkan pada metode progresif
jaringan di celupkan kedalam larutan hematoksilin hingga intensitas yang diinginkan tercapai seperti
pada potongan jaringan yang beku.

Eosin adalah pewarnaan asam yang memiliki afinitas terhadap sitoplasma sel sedangkan pada
hematoksilin memiliki afinitas terhadap nucleus. Eosin penggunaan lebih aman dibandingkan dengan
hematoksilin. Namun satu-satunya masalah pada eosin adalah pewarnaan berlebih terutama pada
jaringan yang memiliki dekalsifikasi. Proses pewarnaan hematoksilin eosin yaitu sebagai berikut
(Deparafinisasi) dengan cara preparat dimasukkan ke xylol I, II dan III masing-masing 3 menit, setelah itu
dibersihkan pinggir jaringan dengan kain kasa. (rehidrasi) preparat masuk ke alkohol 100%, 95%, 80%,
70% masing-masing 3 menit. Tahapan berikutnya, preparat dialiri air mengalir 3 menit, dilanjudkan
dengan pengecatan inti sel, preparat masuk kedalam meyer hematoksilin selama 15 menit setelah itu
preparat dialiri dengan air mengalir selama kurang lebih 3 menit dan dilanjudkan dengan merendam
alkohol 70% I selama 3 menit, alkohol 70% II selama 3 menit, alkohol 70% III selama 3 menit, tahapan
berikutnya preparat dimasukkan kedalam larutan eosin selama 5 menit. Tahpan berikutnya (dehidrasi)
dengan memasukkan preparat ke dalam alkohol 70%, 80%, 95%, 100% masing-masing 3 menit.
Dilanjudkan dengan (clearimg) mengunakan xilol I, dan II masing-masing 3 menit. Tahapan berikutnya
adalah (mounting) dengan cara menetesi preparat menggunakan entelan dan menutup dengan objek
glass (Lee, 1991).

Sel dari sebuah jaringan ditentukan dari bentuk dan ukuran makromolekul yang ada di dalam sel.
Makromolekul utama yang ada dalam sel adalah protein dan asam nukleat. Fiksasi merupakan bagian
terpenting dari semua tehnik histologi dan sitology dengan tetap memberikan warna yang alami, Prinsip
kerja dari fiksasi adalah mengawetkan bentuk sel dan organel sehingga mendekati bentuk fisiologinya.
Cairan fiksasi mengubah komposisi jaringan sehingga secara kimiaw dan fisik. Secara kimiawi protein sel
diubah secara fungsional dan struktur dengan cara koagulasi dan membentuk senyawa aditif baru .
senyawa tersebut terbentuk dengan cara ikatan silang dari dua makromolekul yang berbeda, yakni
cairan fiksasi dan protein sel. Hal ini menyebabkan sel resisten terhadap gerakan air dan cairan-cairan
lainnya. Akibatnya struktur sel menjadi stabil, baik di dalam maupun di antara sel-sel selain itu,
kebanyakan enzim di dalam sel menjadi terinaktivasi, sehingga proses metabolisme sel tidak terjadi, dan
mencegah adanya autolisis sel. Secara fisik merman sel yang awalnya hidrofilik dilanjudkan dengan
cairan fiksasi yang menyebabkan pori-pori sel membesar, akibatnya makroolekul dapat memasuki sel.
Hal ini membantu untuk tehnik setelah fiksasi, khusunya pada proses parafinisasi dan pewarnaan
dimana zat-zat tersebut akan dapat mauk kedalam sel dan menempel dengan mudah.

Dehidrasi merupakan metode yang digunakan untuk mengeluarkan seluruh cairan yang terdapat dalam
jaringan setelah dilakukan proses fiksasi sehingga nantinya dapat diisi dengan paraffin untuk membuat
blok preparat. Proses dehidrasi ini menggunakan alkohol bertingkat, mulai dari alkohol 30%, 50%, 60%,
70%, 80%, 95% dan alkohol absolut. Prosesnya suatu jaringan akan dicelupkan masing-masing alkohol
dengan kisaran waktu tertentu sampai proses berlangsung.

Berdasarkan penelitian Risanto (2018) dan Syarifah (2018) hasil menunjukkan larutan BNF 10%
dengan hasil baik yaitu warna biru terang pada inti sel, warna merah pada sitoplasma dan jaringan
ikat serta warna pada preparat seragam. Penelitian dari Risanto (2018) hasil fiksasi Aseton
menunjukan hasil yang kurang baik yaitu warna biru pada inti sel kurang, warna merah pada
sitoplasma dan jaringan ikat kurang serta keseragaman warna pada preparat kurang tetapi masih bisa
didiagnosis, lalu pada hasil penelitian Syarifah (2018) hasil fiksasi Alkohol 70% menunjukkan hasil sel
hepatosit tampak kasar dan tidak merata, biru pada inti sel serta merah pada sitoplasma tampak
berwarna jelas pekat, kemudian penelitian Winy Yohana (2017) menunjukkan bahwa sediaan
preparat dengan cairan bouin menunjukkan hasil sangat sedikit nekrosis sel serta menunjukkan detil
sel yang baik, sedangkan pada cairan BNF 10% menunjukkan adanya nekrosis sel dan ditemukan detil
sel yang kurang baik

Risanto M. Fauzi, Sri Sinto Dewi, Arya Iswara. 2018. Perbandingan Fiksasi BNF 10% dan Aseton Pada
Jaringan Dengan Pewarnaan HE (Hematoxylin Eosin). Manuscript Fakultas Ilmu Keperawatan Dan
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Semarang.

Dehidrasi harus dilakukan secara seksama dan sebaiknya dilakukan secara bertahap,karena jika terjadi
kesalahan pada proses dehidrasi akibatnya jaringan menjadi buruk di dalam deretan teknik parafin. Di
dalam deretan tenik parafin dehidrasi umumnya dilakukan satu kali yaitu setelah proses pencucian
namun apabila proses pewarnaan terlalu tebal, dehidrasi juga bisa dilakukan, apabila waktu fiksasi
jaringan bentuk daripada jaringan yang bersangkutan terlalu besar atau terlalu tebal. Sehingga tidak
dapat diletakan di dalam kaca sediaan maka jaringan tersebut di anggap rusak.

Ada empat tujuan dari fiksasi jaringan yaitu:

1. Menghentikan autolisis jaringan dengan inaktivasi enzim hidrolisis dari lisosom dan dengan demikian
dapat memberikan morfologi seluler yang lebih baik untuk dianalisis serta menstabilkan struktur baik di
dalam maupun di antara sel dengan membuat molekul menjadi resisten terhadap disolusi air dan cairan
lainnya.

2. Mengimobilisasi jaringan dan antigen seluler untuk imunolabelling dari antigen.

3. Persiapan yang lebih baik dalam pemotongan sampel histopatologi dengan cara memadatkan dan
mengeraskan jaringan.
4. Mencegah proses pembusukan yaitu proses penghancuran jaringan yang diakibatkan oleh aktifitas
bakteri dan biasanya dengan pembentukan gas

Howat WJ, Wilson BA. Tissue fixation and the effect of molecular fixatives on downstream staining
procedures. Methods. Elsevier Inc. 2014;70(1):12–9.

Secara umum terdapat dua tipe fiksasi untuk spesimen biologi yaitu fiksasi fisik dan fiksasi kimia
(Gamble dan Bancroft, 2013)

Fiksasi secara fisik menggunakan temperatur yang sangat rendah (cryo-fixation) atau yang sangat tinggi
(boiling dan microwave). Fiksasi panas jarang digunakan untuk spesimen jaringan, biasanya digunakan
untuk pemeriksaan smears atau mikroorganisme, meskipun saat ini fiksasi microwave telah banyak
digunakan pada pemeriksaan rutin di laboratorium. Berbeda dengan cryo-fixation yang digunakan pada
pewarnaan histokimia tapi jarang digunakan untuk diagnostik jaringan (Rolls G, 1994)

Fiksasi kimia biasanya dilakukan dengan merendam jaringan pada larutan fiksatif atau pada sebagian
kecil organ seperti paru dengan memasukkan cairan fiksatif pada sistem vaskuler. Fiksasi kimia
menjalankan perannya dalam memproteksi sel dan jaringan dengan mendenaturasi protein
menggunakan cara koagulasi (fiksasi non aditif), cross-linking (membentuk senyawa aditif) atau dengan
kombinasi keduanya. Fiksatif kimia adalah yang paling umum digunakan untuk sediaan yang dilihat
menggunakan mikroskop (Rolls G, 1994)

11.Gamble M, Bancroft JD. Bancroft’s theory and practice of histological techniques. 6th Edisi ke-6.
Philadelphia: Churcill Livingstone; 2013. hlm 536.

12.Rolls G, Farmer Veville J HJB. Artifacts in histological and cytological preparations. Scientia Leica;
1994;21–6

Untuk dapat menghasilkan efek fiksasi dengan baik, ada beberapa faktor yang harus dipenuhi oleh suatu
proses fiksasi, antara lain :

a. Koagulasi

Koagulasi adalah proses penggumpalan partikel koloid didalam sel karena adanya penambahan bahan
kimia atau pemberian perlakuan fisik sehingga partikelpartikel tersebut bersifat netral dan membentuk
endapan. Koagulasi pada proses fiksasi dapat terjadi pada protein yang ada didalam sel atau kandungan
lainnya yang dianggap perlu dipertahankan akibat degrasi yang terus berlangsung (Khristian & Inderiati,
2017)

b. Presipitasi

Secara umum presipitasi adalah pengendapan yang terjadi akibat koagulasi yang terjadi sebelumnya.
Presipitrasi yang diharapkan ketika proses fiksasi adalah presipitasi protein, yang mana protein inilah
yang menjadi salah satu faktor utama pembusukan (Khristian & Inderiati, 2017)
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat efektifitas dan kecepatan fiksasi jaringan adalah sebagai
berikut :

a. Suhu/Temperatur

Peningkatan suhu dapat juga mempercepat kecepatan reaksi kimia antara unsur fiksatif dengan sel atau
jaringan. Dampak peningkatan suhu pada larutan fiksatif berpotensi meningkatkan laju degenerasi
jaringan di area yang tidak sulit untuk dihentikan. Fiksasi yang menggunakan teknik pemanasan
disarankan dimulai dari suhu kamar yang ditingkatkan secara perlahan hingga suhu mencapai 450 °C.
Peningkatan suhu pada larutan fiksatif dapat juga dilakukan dengan suhu yang lebih tinggi sampai 650
°C, namun perlu diperhatikan jika waktu yang digunakan harus lebih singkat(Khristian & Inderiati, 2017).

b. Penetrasi Larutan

Penetrasi jaringan bergantung pada kemampuan difusi masing-masing fiksatif.. Untuk mengatasi ini,
jaringan diiris dengan ketipisan 3 – 5 mm. Jaringan yang tipis akan lebih mudah dipenetrasi daripada
jaringan tebal. Untuk pekerjaan rutin, jaringan dapat dibuat dengan ketebalan hingga 1 cm. Dengan
ketebalan ini, diharapkan cairan fiksasi dapat dengan cepat memfiksasi seluruh jaringan. Bila irisannya
terlalu tebal, maka permukaan luarnya saja yang berhasil difiksasi sedangkan bagian tengahnya dapat
membusuk sebelum cairan fiksasi sempat merembes/menginfiltrasi ke sana. Untuk mikroskopi elektron,
ketebalan irisan jaringan adalah 1 mm (Jusuf, 2009).

c. Waktu Penetrasi

Waktu penetrasi optimal untuk proses fiksasi bermacam-macam diantara jenisjenis larutan fiksatif yang
ada dan juga jenis sel yang ada dilarutannya. Perhitungan waktu penetrasi larutan fiksatif menjadi
pertimbangan dalam mengejar waktu autolysis dari sel atau jaringan yang terdapat dipusat terdalam
suatu jaringan tersebut. Waktu penetrasi diharuskan mencapai titik pusat terdalam sebelum proses
autolysis berjalan (Khristian & Inderiati, 2017).

d. Dimensi Spesimen

Dimensi spesimen merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan. Hal ini berhubungan dengan
waktu optimal jaringan terfiksasi dari seluruh sisi dan juga proses difusi dan larutan yang digunakan
dalam pematangan jaringan (Khristian & Inderiati, 2017).

e. Volume Pengawet

Volume pengawet adalah penting. Sebaiknya, volume pengawet adalah 10 x volume jaringan yang
difiksasi. Besarnya volume jaringan menentukan volume fiksasi yang diperlukan sedangkan tebalnya
jaringan menentukan lamanya fiksasi. Panjang dan lebar jaringan umumnya ditentukan oleh jenis
mikrotom yang digunakan (Jusuf, 2009).

f. Tingkat Keasaman (pH)

Tingkat keasaman suatu larutan (pH) dapat menjadi penting ketika larutan yang digunakan dalam fiksasi
mengandung formaldehid. pH yang diberikan diharapkan sesuai dengan pH sel yaitu 6,8-7,2 (Khristian &
Inderiati, 2017).
Formalin adalah larutan yang tidak berwarna dan baunya sangat menusuk. Didalam formalin
mengandung sekitar 37% formaldehid dalam air, biasanya ditambah metanol hingga 15% (Astawan,
2006). Secara empiris terbukti untuk pemeriksaan rutin (morfologi) dan imunohistokimia zat formalin
10% dengan pH sekitar 7 adalah yang optimum. Untuk mempertahankan pH netral ditambah buffer
pospat. Cara pembuatan formalin buffer pospat adalah 100 ml larutan formaldehyde 40%, 900 ml
aquades, 4 gr sodium dihidrogen fosfat monohidrat, 6,5 gr disodium hidrogen fosfat anhidrat (Nassar,
2008).

Bahaya formalin ialah pada saat secara langsung terkontaminasi, baik itu terhirup atau terkena
pada makanan yang kita konsumsi. Pada konsentrasi pekat dampak dari formalin dapat berupa iritasi
pada saluran pernapasan, reaksi alergi, pemicu kanker dan dapat pula mengakibatkan kulit terbakar
(WHO, 2002).

Formalin adalah larutan tidak berwarna dengan bau yang sangat menyengat. Kadungan formalin
adalah sekitar 37% formaldehid dalam air, sering ditambah hingga 15% metanol (Astawan, 2006).
Beberapa tinjauan menunjukkan bahwa pH sekitar 7 dalam 10% formalin untuk pemeriksaan rutin
(morfologi) dan imunohistokimia adalah yang optimal. Buffer fosfat digunakan untuk mejaga pH agar
tetap netral. Buffer formalin fosfat dibuat dengan 100 mL larutan formaldehid 40%, 900 mL air suling, 4
g natrium dihidrogen fosfat monohidrat, 6,5 g dinatrium hidrogen fosfat anhidrat (Nassar, 2008).

Fromalin berbahaya apabila kita terkontaminasi secara langsung, baik melalui penghirupan
maupun paparan makanan yang kita makan. Dalam keadaan pekat, efek formalin dapat bermanifestasi
sebagai iritasi pernapasan, reaksi alergi, pemicu kanker, dan kemungkinan luka bakar pada kulit (WHO,
2002).

Secara umum, yang banyak dipakai di laboratorium patologi anatomi adalah NBF 10%, yaitu
campuran dari 100 ml formaldehid 40%, aquadest 900 ml, sodium dehidrogen fosfat 4 gr dan disodium
hydrogen fosfat 6,5 gr, dengan pH larutan 7, larutan ini memiliki penetrasi yang baik ke jaringan serta
tidak menyebabkan jaringan menjadi rapuh, prinsipnya akan mengawetkan struktur halus (fine
structures), fosfolipida, dan beberapa enzim dengan sangat baik efek pada jaringan yang mengandung
lemak tidak rusak, sehingga menyerap warna dengan baik (Juliati, 2017).

Salah satu sifat formaldehida adalah mudah teroksidasi menjadi asam format yang bersifat
asam. Namun formaldehida sendiri mempunyai sifat asam dan mempunyai afinitas baik pada zat warna
basa. Untuk mencegah ini terjadi formalin sebaiknya disimpan dalam botol yang tertutup rapat, atau
diletakkan bubuk kalsium karbonat pada dasar botol untuk netralisasi asam format yang terbentuk.
Formaldehida tidak boleh dicampur dengan asam format atau osmium teroksida (Prasetyani, 2017).

Secara umum, NBF 10% banyak digunakan di laboratorium patologi anatomi, yaitu campuran
100 ml 40% formaldehida, 900 ml aquadest, 4 g natrium dehidrogen fosfat, dan 6,5 g dinatrium
hidrogen fosfat. Larutan ini Tidak menyebabkan kerapuhan jaringan, dan pada prinsipnya
mempertahankan struktur halus, fosfolipid, beberapa enzim yang bekerja dengan baik pada jaringan
yang mengandung lemak tidak hancur, sehingga menyerap warna dengan baik (Juliati, 2017).

Salah satu sifat formaldehida adalah mudah teroksidasi menjadi asam format yang bersifat
asam. Tapi formaldehida itu sendiri bersifat asam dan memiliki afinitas yang baik untuk zat warna basa.
Untuk mencegah hal ini terjadi, formaldehida harus disimpan dalam botol kedap udara atau meletakkan
bubuk kalsium karbonat di bagian bawah botol untuk menetralkan asam format yang terbentuk.
Formaldehida tidak boleh dicampur dengan osmium teroksida atau asam format (Placetiani, 2017).

Larutan formalin memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari cairan fiksatif ini adalah
sebagai cairan fiksatif umum, lebih murah, lebih mudah disiapkan, dan merupakan cairan stabil.
Pengerutan dan kerapuhan tidak disebabkan oleh cairan fiksatif formalin. Baik untuk sel lemak, sel
protein dan paling baik untuk jaringan otak. pH cairan mendekati netral, sehingga tidak terjadi interaksi
dengan haemoglobin atau produknya yang dapat membentuk pigmen formalin. Potongan jaringan atau
organ dapat ditinggalkan dalam cairan dalam jangka waktu yang lama. Sedangkan kerugiannya adalah
potongan jaringan membutuhkan waktu paling sedikit 24 jam untuk dapat diproses ke tahap berikutnya,
bersifat toksik, iritan, menyebabkan sinusitis, dan karsinogenik (Prasetyani, 2017)

Larutan formalin sendiri memiliki keuntungan, namun ada juga kekurangannya. Keuntungan dari
fiksatif ini adalah murah, mudah disiapkan, dan cairannya stabil, sama seperti fiksatif pada umumnya.
Penyusutan dan penggetasan tidak disebabkan oleh fiksatif formalin. Bermanfaat untuk sel lemak, sel
protein dan jaringan otak. PH cairan mendekati netral dan karena itu tidak berinteraksi dengan
hemoglobin atau produknya yang dapat membentuk pigmen formalin. Fragmen jaringan atau organ
mungkin tetap berada dalam cairan untuk waktu yang lama. Sedangkan kerugiannya adalah fragmen
jaringan membutuhkan waktu minimal 24 jam untuk diproses ke tahap selanjutnya, bersifat toksik,
iritatif, penyebab sinusitis, dan karsinogenik (Prasetyani, 2017).

Fiksasi adalah suatu metode untuk mempertahankan komponen-komponen sel atau jaringan
agar tidak mengalami perubahan dan tidak mudah rusak. Proses fiksasi ini diharapkan setiap molekul
pada jaringan yang hidup tetap berada pada tempatnya dan tidak ada molekul baru yang timbul. Pada
prosesnya ini tentu tidak akan berjalan dengan sempurna, apabila timbul molekul asing baru pada
jaringannya disebut artefak. Tujuan fiksasi ini agar jaringan tersebut tetap utuh. Fiksasi harus dilakukan
sesegera mungkin setelah pengangkatan jaringan atau setelah kematian agar tidak terjadi autolisis (Anil
& Rajendran, 2008).

Prinsip kerja dari fiksasi adalah mengawetkan bentuk sel dan organel sehingga mendekati
bentuk fisiologinya. Cairan fiksatif mengubah komposisi jaringan secara kimiawi dan fisik. Secara
kimiawi, protein sel diubah secara fungsional dan struktural dengan cara koagulasi dan membentuk
senyawa aditif baru. Senyawa tersebut terbentuk dengan cara ikatan silang dari dua makromolekul yang
berbeda, yakni cairan fiksatif dan protein sel. Hal ini menyebabkan sel resisten terhadap gerakan air dan
cairan-cairan lainnya. Akibatnya, struktur sel menjadi stabil, baik di dalam maupun di antara sel-sel.
Selain itu, kebanyakan enzim di dalam sel menjadi terinaktivasi, sehingga proses metabolisme sel tidak
terjadi, dan mencegah adanya autolisis sel. Secara fisik, membran sel yang awalnya hidrofilik, dilarutkan
dengan cairan fiksatif, yang menyebabkan pori-pori sel membesar. Akibatnya, makromolekul dapat
memasuki sel. Hal ini membantu untuk teknik setelah fiksasi, khususnya pada proses parafinisasi dan
pewarnaan dimana zat-zat tersebut akan dapat masuk ke dalam sel dan menempel dengan mudah
(Jamie et al, 2010).

Prinsip kerja fiksasi adalah menjaga bentuk sel dan organel tetap dekat dengan bentuk
fisiologisnya. Fiksatif secara kimia dan fisik mengubah komposisi jaringan. Secara kimiawi, protein seluler
mengalami perubahan fungsional dan struktural melalui kondensasi dan pembentukan senyawa aditif
baru. Senyawa ini dibentuk oleh ikatan silang dari dua makromolekul yang berbeda, yaitu protein fiksatif
dan seluler. Hal ini memungkinkan sel untuk menahan pergerakan air dan cairan lainnya. Akibatnya,
struktur seluler menjadi stabil di dalam dan di antara sel. Selain itu, sebagian besar enzim dalam sel
tidak aktif, mencegah berlangsungnya proses metabolisme seluler dan mencegah autolisis sel. Secara
fisik, membran sel yang awalnya hidrofilik dilarutkan oleh fiksatif, menyebabkan pori-pori sel membesar.
Akibatnya, makromolekul dapat masuk ke dalam sel. Hal ini sangat membantu dalam teknik setelah
fiksasi, terlebih pada proses parafinisasi dan pewarnaan yang dimana zat-zat tersebut dengan mudah
dapat masuk dan menempel ke dalam sel (Jamie et al, 2010).

Untuk membuat potongan-potongan, maka jaringan harus dipendam dalam lilin. Namun
demikian, lili (parafin) tidak terlarut dalam air. Oleh sebab itu, air dalam jaringan harus dihilangkan dan
diganti dengan medium dimana lilin dapat larut didalamnya. Hal dilakukan pertama-tama dengan
mengganti air dengan alkohol, menempatkan jaringan dalam serangkaian larutan yang mengandung
alkohol dengan konsentrasi yang semakin meningkat, dan berakhir pada konsentrasi 100%. Proses ini
dilakukan secara bertahap dengan tujuan meminimalkan kerusakan jaringan. Selanjutnya, jaringan harus
“dijernihkan” sebelum dipendam dalam lilin (Peckham, 2014)

Untuk membuat potongan-potongan ini, jaringan harus ditanam dalam lilin. Namun, lilin
(parafin) tidak larut dalam air. Oleh karena itu, air yang ada pada jaringan harus dihilangkan dan diganti
dengan media yang dapat melarutkan lilin.Hal yang pertama dilakukan adalah dengan mengganti air
dengan alkohol, menempatkan jaringan dalam serangkaian larutan yang mengandung alkohol yang
konsentrasinya meningkat, dan berakhir pada konsentrasi 100%. Prosesnya dilakukan secara bertahap,
dengan tujuan meminimalkan kerusakan jaringan. Selain itu, jaringan harus "dijernihkan" sebelum
ditanamkan ke dalam lilin (Peckham, 2014)

Penjernihan adalah metode yang digunakan mengeluarkan alkohol dari jaringan dan
menggantikannya dengan suatu larutan yang berikatan dengan parafin. Pada proses clearing ini sangat
penting karena apabila dijaringan masih tersisa alkohol walaupun sedikit, parafin tidak akan bisa masuk
kedalam jaringan. Sehingga jaringan nantinya tidak akan sempurna dalam pembuatan blocking,
pemotongan dan pewarnaan. Proses clearing ini menggunakan bermacam-macam zat penjernih yaitu
xylol atau xylene dan toluol atau toluene(Waheed, 2012)

Pembenaman (impregnasi) adalah proses untuk mengeluarkan cairan pembening (clearing


agent) dari jaringan dan diganti dengan parafin. Pada tahap ini jaringan harus benar-benar bebas dari
cairan pembening karena sisa cairan pembening dapat mengkristal dan sewaktu dipotong dengan
mikrotom akan menyebabkan jaringan menjadi mudah robek(Peckham, 2014)

Pewarnaan merupakan salah satu prosedur yang digunkan dalam bidang histoteknik. Pewarnaan
adalah proses pemberian warna pada jaringan yang telah dipotong sehingga unsur jaringan menjadi
kontras dan dapat diamati dengan mikroskop. Zat warna yang sering digunkan dalam histoteknik
sekarang adalah hematoksilin dan eosin (Rina, 2013).

Jika terdapat potongan jaringan yang tidak diwarnai dan langsung dilihat ke mikroskop cahaya,
maka komponen seluler tersebut terlihat sama antara organ yang satu dengan yang lainnya. Pewarnaan
dilakukan untuk memberikan perbedaan warna pada komponen tiap sel. Faktor yang mempengaruhi
pewarnaan yang pertama yaitu Reaksi asam basa dimana Komponen sel di alam terdiri dari komponen
asam basa. Untuk komponen asam dapat diwarnai komponen basa dan pelarut dasar, begitupun
sebaliknya, yang kedua yaitu Adsorbsi. Dalam adsorbsi, molekul kecil nantinya akan menempel pada
molekul sel yang lebih besar. Yang ketiga adalah Perbedaan kelarutan. Pada larutan yang berbeda, jenis
pewarnaan tergantung dari tingkat kelarutan yang ada pada sel (Rina, 2013).

Pewarnaan merupakan salah satu prosedur yang ada didalam bidang histoteknik. Pewarnaan
merupakan proses pemberian warna pada jaringan yang telah dipotong agar jaringan mudah dikenali
pada saat pengamatan dengan menggunakan mikroskop. HE (Hematoxilyn-Eosin) merupakan zat warna
yang sering digunakan dalam pewarnaan histoteknik (Jamie et al, 2010).

Hematoxylin berfungsi untuk memberikan warna biru (basofilik) pada inti sel, serta eosin yang
berfungsi untuk memberikan warna merah muda pada sitoplasma sel dan jaringan penyambung (Juliati,
2017).

Berikut merupakan tabel skor hasil pewarnaan dengan menggunakan pewarnaan

HE : Tabel 2.Tabel skor hasil pewarnaan HE (Juliati, 2017) No Deskripsi Kualitas Skala Ordinal
Skala Interval 1 Warna biru pada inti sel tidak jelas, warna merah (eosin) pada sitoplasma dan jaringan
ikat tidak jelas serta warna pada preparat tidak seragam. Sediaan tidak didiagnosis. Tidak Baik 1 2 Warna
biru pada inti sel kurang, warna merah (eosin) pada sitoplasma dan jaringan ikat kurang, serta
keseragaman warna pada preparat kurang. Tetapi masih bisa didiagnosis. Kurang Baik 2 3 Warna biru
pada inti sel, warna merah (eosin) pada sitoplasma dan jaringan ikat serta warna pada preparat seragam
Baik 3

Gambar 1. Gambar jaringan hasil pewarnaan HE Sumber : (Ariyadi T, 2017).

Jaringan adalah sekelompok sel dengan struktur dan fungsi yang mirip. Jaringan berperan terhadap
fungsi organ dimana dia ditemukan. Jaringan tubuh dapat dikelompokkan dalam 4 tipe utama sesuai
struktur dan fungsinya.

Arikunto mendefinisikan bahwa:”Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian”. Sedangkan menurut


Sugiyono : “Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari obyek atau subyek yang menjadi
kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya”.

Anda mungkin juga menyukai