Anda di halaman 1dari 10

MIKROTEKNIK

Ade Syahriani Aritonang


NIM: 2102501010028

1. Pendahuluan

Dalam dunia kedokteran hewan, pengamatan histopatologi merupakan salah

satu pemeriksaan untuk menegakkan diagnosa penyakit yang dialami oleh pasien.

Pembuatan sediaan histologi ini dilakukan untuk mengamati struktur, anatomi dan

fisiologis sel atau jaringan ataupun organisme lain yang berukuran kecil agar sejelas

dan seasli mungkin. Disinilah peran mikroteknik untuk memecahkan masalah

tersebut. Mikroteknik merupakan teknik yang sangat penting dalam ilmu pengetahuan

tentang pembuatan sediaan histologi.

Pengetahuan dasar mikroteknik diperlukan guna menghasilkan suatu kajian-

kajian yang bersifat membantu dan mengembangkan keahlian dalam penemuan hal-

hal penting yang berhubungan dengan peran pendidikan, kesehatan dan penelitian

dalam pengetahuan histologi. Metode pembuatan preparat atau mikroteknik

dikembangkan lebih dari seabad yang lalu, dalam prosesnya metode ini banyak

mengalami perkembangan seiring dengan berkembangnya peralatan mikroskopis,

metode pewarnaan dan pemahaman tentang sifat dan perilaku sel atau jaringan.
2. Tinjauan Pustaka

2.1 Pengertian Mikroteknik

Mikroteknik merupakan salah satu teknik pembuatan sediaan pada bagian


tumbuhan ataupun hewan yang bertujuan mempermudah pengamatan bagian
tumbuhan ataupun hewan dengan bantuan mikroskop (Gunawan, 2019). Sediaan
histologis ada dua macam yaitu sediaan segar dan sediaan permanen. Pada pembuatan
sediaan segar, tidak ada perlakuan artinya bahan segar langsung diamati di bawah
mikroskop, sehingga bisa mengamati keadaan alamiah sediaan. Misalnya, tentang
warna, bentuk, jumlah, jenis komponen jaringan, adanya gerakan serta aktivitas
tertentu. Kerugian sediaan segar adalah sediaan mudah rusak, kontras antara bagian-
bagiannya tidak nyata.
Pada laboratorium histologi, sediaan permanen atau awetan biasanya lebih sering
dipakai. Sediaan permanen dapat berupa sediaan utuh, sediaan apus dan sediaan
irisan. Diantara pembuatan sediaan permanen tersebut yang banyak dilakukan adalah
pembuatan sedian irisan. Sediaan irisan ini dikenal beberapa macam cara
pembuatannya sesuai dengan pemancangannya diantaranya, cara parafin, cara
celloidin dan irisan beku (frozen section).
Proses pembuatan sediaan mikroskopis ini adalah pekerjaan yang memerlukan
ketelitian, kemampuan yang tinggi, serta ditunjang kemampuan minat yang didasari
oleh faktor seni yang dimiliki masing-masing individu. Proses dalam pembuatan satu
sediaan histologi secara umum melalui beberapa tahapan yaitu: persiapan jaringan,
pemrosesan jaringan, pemotongan jaringan dan pewarnaan jaringan. Mengingat
besarnya pengaruh dari masing-masing tahap terhadap hasil pemeriksaan maka kita
dituntut untuk bekerja secara cermat dan teliti sehingga kita bisa mendapatkan
sediaan sesuai dengan yang diharapkan (Wahyuni, 2013).

2.2 Tahapan Pembuatan Sediaan Histologis (Parafin)

Metode parafin adalah suatu metode pembuatan preparat dengan melakukan


penanaman jaringan di dalam blok parafin untuk menghasilkan preparat jaringan
hewan ataupun tumbuhan yang tipis. Preparat parafin ini dilakukan penyelubungan
karena jaringan merupakan bahan yang lunak. Pembuatan sediaan dengan
pemotongan jaringan menggunakan parafin dan mikrotom sebagai alat pemotongnya.
Dilakukan infiltrasi agar parafin yang masuk berfungsi sebagai penyangga jaringan
saat diiris dengan mikrotom, lalu diembedding (proses penanaman) yaitu merendam
jaringan ke dalam parafin cair, dan parafin akan masuk ke seluruh bagian jaringan,
proses pemotongan dengan mikrotom, penempelan pada kaca objek, pewarnaan
dengan haematoksilin (pada umumnya bahan ini yang sering digunakan untuk
jaringan hewan) sedangkan jaringan tumbuhan seringkali menggunakan safranin
ataupun fast green. Setelah diwarnai lalu dimounting, diberi perekat entellan, dan
diberi label nama (Ma’roef, 2015).
Metode parafin sekarang banyak digunakan, karena hampir semua macam
jaringan dapat dipotong dengan baik bila menggunakan metode ini. Kebaikan-
kebaikan metode ini adalah irisan yang dihasilkan jauh lebih tipis dari pada
menggunakan metode beku atau metode seloidin. Dengan metode beku, tebal irisan
rata-rata diatas 10 mikron, tapi dengan metode paraffin tebal irisan dapat mencapai
rata-rata 6 mikron. Irisan-irisan yang bersifat seri dapat dikerjakan dengan mudah bila
menggunakan metode ini. Prosedurnya jauh lebih cepat dibandingkan dengan metode
seloidin. Namun metode paraffin juga memiliki kelemahan yaitu jaringan menjadi
keras, mengerut dan mudah patah. Jaringan-jaringan yang besar tidak dapat
dikerjakaan, bila menggunakan metode ini. Sebagian besar enzim-enzim akan larut
dengan metode ini (Perceka, 2011)
Tahapan pembuatan sediaan histologis dengan cara parafin:
2.1.1. Pengambilan Jaringan
Jaringan hewan dapat diambil dari berbagai jenis hewan selagi masih dalam
keadaan hidup, setelah mengalami pembiusan maupun yang baru saja mati dan
segera mungkin dimasukkan larutan fiksatif. Organ-organ yang halus sifatnya
seperti hati, jantung, buah pinggang maupun testis tikus atau kelinci dapat
secara utuh langsung dimasukkan kedalam larutan fiksatif sebelum dipotong
atau disayat dalam ukuran yang sesuai. Untuk usus, bila dikehendaki
pemotongan dengan ukuran lebih dari satu sentimeter panjangnya maka
sebaiknya dilakukan penginjeksian larutan fiksatif kedalam lumen usus tersebut
agar lapisan mukosa didalamnya dapat terfiksasi (Wangko, 2014). Jaringan
diambil sekecil mungkin, tetapi masih dapat mewakili struktur secara
keseluruhan (representatif). Tebal jaringan tidak melebihi 1 cm, sebaiknya
kurang dari 5 mm.
2.1.2. Fiksasi
Fiksasi adalah langkah dasar di balik studi patologi dan sangat penting
untuk mencegah autolisis dan degradasi jaringan serta komponen jaringan
sehingga mereka dapat diamati baik secara anatomis dan mikroskopis. Sekitar
awal 400 tahun sebelum masehi, Hippocrates telah mendiskusikan efek biologik
merkuri dan alkohol sebagai cairan fiksatif, meskipun keingintahuan tentang
struktur histologik dimulai sejak penemuan mikroskop cahaya. Proses fiksasi
biasanya merupakan tahap pertama dalam pembuatan sediaan histopatologi.
Fiksasi adalah berbagai perlakuan yang dapat melindungi struktur sel dan
komposisi biokimianya. Tentu saja kualitas fiksasi adalah kunci untuk semua
tahap selanjutnya yang penting dalam pembuatan sediaan histopatologik, oleh
karena itu pengawetan sel dengan perubahan morfologi yang minimal dan
secara kasat mata tanpa adanya kehilangan molekul sangat penting dalam
pengolahan jaringan. Fiksasi diharapkan dapat melindungi spesimen biologi
dari efek denaturasi dehidrasi dan semua proses pengolahan jaringan
(Musyarifah, 2018).
Fiksasi merupakan suatu usaha untuk mempertahankan komponen-
komponen sel atau jaringan agar tidak mengalami perubahan dan tidak mudah
rusak. Proses ini diharapkan setiap molekul pada jaringan yang hidup tetap
berada pada tempatnya dan tidak ada molekul baru yang timbul. Tujuan fiksasi
ini agar jaringan tersebut tetap utuh. Fiksasi harus dilakukan sesegera mungkin
setelah pengangkatan jaringan atau setelah kematian agat tidak terjadi autolisis
(Ulmer, 1994).
Klasifikasi fiksasi terdapat tiga kelas, sebagai berikut:
1. Berdasarkan komposisinya dibedakan menjadi dua
 Sederhana : larutan fiksasi yang hanya menggunakan 1 jenis.
Contoh: formalin dan etanol
 Campuran : larutan fiksasi yang digunakan lebih dari 1 jenis.
Contoh: etanol + asam asetat glasial dan formaldehida
+ merkuri klorida.
2. Berdasarkan efek terhadap sel dan jaringan:
 Mikroanatomi yaitu, fiksasi yang memperlihatkan jaringan dengan
cara yang disetujui oleh studi mikroskopik secara umum.
 Sitologi yaitu, fiksasi dengan melihat struktur intrasel yang dibagi
menjadi dua bagian, yaitu nucleus dengan pH kurang dari 4,6 dan
sitoplasma dengan pH lebih dari 4,6.
3. Berdasarkan golongannya
 Aldehid: formaldehida, glutaraldehida, akrolein, glioksal.
 Oxidizing agents: osmium tetroksida, potassium dikromat, asam
pikrart, asam kromatik
 Unknown mechanism: asam pikrat, merkuri klorida.
 Protein-denaturing agents: asam asetat, metil alkohol, etil alkohol.
 Physical: panas, microwave (Waheed, 2012).
Fiksasi Formalin
Formalin atau formaldehida adalah gas yang terbentuk dalam gugus aldehida
(-CHO). Konsentrasi formaldehida yang sering digunakan untuk fiksasi adalah
4%-10%. Formaldehida adalah gas yang keras sehingga dapat menyebabkan
terjadinya iritasi. Salah satu alsan penggunaannya dalam fiksasi karena dapat
menurunkan tekanan atmosfer dan vakum untuk pemrosesan jaringan. Proses
fiksasi berlangsung selama 12-18 jam dan dilanjutkan dengan fenol formalin
selama 6 jam atau lebih. Penggunaan formalin sebagai fiksasi
direkomendasikan untuk kebutuhan teknik histologi dan histokimia. Dalam
beberapa fiksasi, alcohol ditambahkan ke dalam formalin karena memiliki
keuntungan lebih cepat menghasilkan glikogen yang lebih baik meskupin sel
darah merah banyak yang hancur (Jamie, et al., 2010).
2.1.3. Pembuatan Blok
Proses pembuatan blok menggunakan metode paraffin ini dimulai dari
fiksasi, pencucian (washing), dehidrasi, penjernihan (clearing), infiltrasi
paraffin, penanaman (embedding), penyayatan (section), penempelan (affixing),
deparafinisasi, pewarnaan (staining), penutupan (mounting), dan labeling
(Waheed, 2012).
2.1.3.1. Dehidrasi
Dehidrasi merupakan metode yang digunakan untuk mengeluarkan
seluruh cairan yang terdapat dalam jaringan setelah dilakukakn proses fiksasi,
Sehingga nantinya dapat diisi dengan parafin untuk membuat blok preparat.
Proses ini menggunakan alkohol bertingkat. Mulai dari alkohol 30%, 50%,
70%, 80%, 95%, dan alkohol absolut. Jaringan akan dicelupkan kedalam
masing-masing alkohol dengan kisaran waktu tertentu sampai prosesnya
berakhir (Jusuf, 2009).
2.1.3.2. Penjernihan (clearing)
Penjernihan bertujuan untuk mengeluarkan alkohol dari jaringan dan
menggantikannya dengan suatu larutan yang berikatan dengan parafin. Proses
ini sangat penting karena apabila dijaringan masih tersisa alkohol walaupun
sedikit, parafin tidak akan bisa dimasukkan ke dalam jaringan. Sehingga
jaringan nantinya tidak akan sempurna dalam proses lanjutannya. Pada proses
ini menggunakan bermacam-macam zat penjernih yaitu xylol atau xylene dan
toluol atau toluene yang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing
(Jusuf, 2009).
Kelebihan xylol prosesnya cepat dan harganya tidak terlalu mahal.
Kekurangannya yaitu jaringan yang dapat dipindahkan hanya dari alkohol
absolut, dan jaringan tidak begitu jelas menjadi transparan sehingga tidak
diketahui proses ini berjalan sempurna atau tidak.
Toluol atau toluene kelebihannya sudah banyak dipergunakan oleh
kebanyakan laboratorium, harganya murah, mudah didapat, dan jaringan yang
penjernihannya sempurna akan terlihat jelas transparan. Kekurangannya yaitu
jaringan hanya bisa dipindahkan dari alkohol absolut, apabila jaringan terlalu
lama di toluol akan menyebabkan kerasnya jaringan sehingga sukar untuk
dipotong menggunakan mikrotom (Gordon, et al., 1990).
2.1.3.3. Penanaman (embedding)
Penanaman merupakan proses untuk mengeluarkan cairan penjernih
dari jaringan dan digantikan dengan parafin. Jaringan ini harus terbebas dari
cairan penjernih karena nantinya akan mengkristal dan sewaktu dipotong
jaringan akan mudah robek. Metode proses penanaman ini yaitu jaringan akan
dibenamkan dilarutan parafin selama tiga kali dalam jangka waktu tertentu
sambil dipanaskan agar parafinnya tidak membeku. Keuntungan dari
penggunaan paraffin dengan titik lebur rendah yaitu jaringan tidak mudah
menjadi rapuh (Waheed, 2012).
Beberapa jenis parafin memiliki titik lebur yang bervariasi berkisar
antara 40-70°C. Normalnya parafin melebur pada suhu 54-58°C. Paraplast
merupakan medium yang tersususn dari parafin murni dan beberapa polimer
plastic sintesis. Paraplast memiliki rentan titik lebur yang lebih sempit daripada
paraffin yakni 56-57°C. Keuntungan menggunakan paraplast yaitu sifat
parafinnya sangat elastis sehingga tidak mudah sobek atau rusak ketika
dipotong (Gordon, et al., 1990).
2.1.3.4. Pembuatan blocking
Pembuatan blocking merupakan proses pembuatan preparat agar dapat
dipotong menggunakan mikrotom. Proses ini menggunakan parafin sebagai alat
menempelkan jaringannya agar mudah dipotong. Tahapannya yaitu dengan
menyiapkan tempat blocking, dan menuangkan parafin, dilanjutkan dengan
memasukkan organ kedalam parafin yang sudah disediakan. Selanjutnya setelah
blok parafin kering dan sudah beku dapat dikeluarkan dari tempat blocking dan
dilanjut ke proses selanjutnya (Gordon, et al, 1990).
Blok parafin yang sudah beku dan akan dipotong harus diberi label. Ini
bertujuan agar diketahui organ yang akan dipotong nanti.
2.1.4. Pemotongan
Proses ini dilakukan menggunakan pisau khusus yang biasa disebut
mikrotom. Mikrotom adalah alat yang dilengkapi dengan pisau yang tajam dan
dapat mengiris potongan block dengan sangat tipis dan sesuai dengan ukuran
kekebalan yang diinginkan. Ada beberapa jenis mikrotom yaitu hand microtom,
rocking microtom, rotary microtom, freezing microtome, base sledge
microtome, dan vibrating knife microtome (Gordon, et al., 1990).
Teknik pemotongan blok parafin yaitu:
1. Blok parafin yang berisi jaringan dilektakkan pada dudukan mikrotom
dan dikunci dengan kuat
2. Atur sudut kemiringan pisau mikrotom. Biasanya berkisar antara 20-30
derajat.
3. Atur ketebalan yang diinginkan, biasanya 5-7 mikrometer.
4. Gerakkan blok preparat kearah pisau sedekat mungkin dan potonglah
blok preparat secara teratur ketebalannya. Buang pita-pita parafin yang
tanpa jaringan sampai mendapatkan potongan yang mengandung
preparat jaringan.
5. Pita parafin yang mengandung jaringan dipindahkan ke dalam
waterbath dengan suhu 37-40°C dan diamkan beberapa saat sampai
pita parafin yang berisi potongan jaringan mengembang dan tidak
menggulung.
6. Setelah pita parafin mengembang dengan baik, tempelkan pada kaca
objek yang sebelumnya sudah direkatkan denagan albumin. Masukkan
kaca objek ke dalam waterbath sampai mendapatkana pita parafin
beserta jaringannya dankeluarkan secara perlahan.
7. Letakkan kaca objek yang berisi pita parafin diatas hotplate dengan
suhu 40-45°C dan biarkan beberapa jam. Atau dapat juga menggunakan
cara lain yaitu dengan melewatkan kaca objek diatas api sehingga
merekat.
8. Setelah air mengering dan pita paraffin sudah melekat dengan kuat,
kaca objek dapat dilanjutkan ke proses pewarnaan.
2.1.5. Teknik Pewarnaan
Pewarnaan merupakan salah satu proses yang digunakan dalam bidang
histoteknik. Pewarnaan adalah proses pemberian warna pada jaringan yang
telah dipotong dehingga unsur jaringan menjadi kontras dandapat diamati
dengan mikroskop. Zat warna yang sering digunakan dalam histoteknik
sekarang adalah hematoksilin dan eosin. Pewarnaan dilakukan untuk
memberikan perbedaan warna pada komponen tiap sel. Beberapa faktor yang
mempengaruhi pewarnaan adalah reaksi asam basa, adsorbsi dan perbedaan
kelarutan (Waheed, 2012).
a. Pewarna HE
Hematoksilin didapatkan dari ekstrak pohon
Haematoxyloncampevhianum Linnaeus yang berasal dari Amerika.
Sebelum diberi warna oleh hematoksilin terlebih dahulu jaringan harus
dioksidasi dengan hematin, proses ini disebut dengan pematangan. Dengan
paparan oksigen proses pematangan ini berlangsung spontan namun lama.
Untuk proses pematangan yang cepat dapat ditambahkan senyawa kimia
seperi merkuri, oksida, dan sodium iodide (Jamie, et al., 2010).
Hematoxilin adalah zat yang berwarna biru tua atau keunguan,
hematin adalah bentuk oksidasi dari hematoxilin. Hematoxilin akan
memberikan warna ungu kebiruan pada DNA maupun RNA yang ada
dalam sel. Hal ini terjadi karena hematoxilin merupakan zat yang bersifat
basa dan bermuatan positif, sehingga mudah berikatan dengan molekul
DNA dan RNA yang bersifat asam dan bermuatan negatif. Muuatan positif
dari DNA dan RNA berasal dari molekul fosfat yang ada di dalamnya.
Saat ini hematoksilin yang dijual umumnya sudah dicampur dengan
eosin untuk mempermudah pewarnaan. Pada awalnya hematoksilin
memberikan warna merah baik pada sel maupun jaringan, untuk
melihatnya disarankan menggunakan etanol 95% yang memiliki pH normal
agar tidak dapat dilihat dengan mikroskop. Hematoksilin dapat
memberikan pewarnaan dengan dua metode yaitu, secara progresif dan
regresif. Secara progresif jaringan dibiarkan dalam larutan sampai beberapa
waktu kemudian larutan dibuang. Sedangkan pada metode progresif,
jaringan di celupkan ke dalam larutan hematoksilin hingga intensitas yang
diinginkan tercapai seperti pada potongan jaringan beku (Jamie, et al.,
2010).
b. Pewarna Eosin
Eosin ialah zat warna merah fluorescent yang dihasilkan dari aksi
brom pada fluorescein. Eosin dapat digunakan untuk mewarnai sitoplasma,
kolagen dan serat otot untuk pengujian di bawah mikroskop. Struktur yang
mudah diwarnai dengan eosin disebut eosinofil.
Eosin berwarna kemerahan dan mendekati pink. Eosin akan
memberikan warna pink pada protein-protein yang terdapat pada sel. Hal
ini terjadi karena eosin merupakan zat yang bersifat asam dan bermuatan
negatif, sehingga mudah berikatan dengan molekul protein yang bersifat
basa dan bermuatan positif. Molekul protein di dalam sel kebayakan
bersifat basa dan bermuatan positif karena pengaruh asam amino
penyusunnya. Asam amino arginin, lisin, dan histidin memiliki sifat basa
dan bermuatan positif
Eosin adalah pewarna asam yang memiliki afinitas terhadap
sitoplasma sel sedangkan hematoksilin memiliki afinitas terhadap nucleus.
Eosin penggunaannya lebih aman dibandingkan dengan hematoksilin.
Namun satu-satunya masalah pada eosin adalah pewarnaan berlebih
terutama pada jaringan yang memiliki dekalsifikasi (Jamie, et al., 2010).
DAFTAR PUSTAKA
Gordon, Keitch, C., Bancrof, John, D., Stevens, and Alan. (1990). Theory and
Practice of Histological Techniques: Tissue Processing 3rd Edition.
Edinburgh, New York.
Gordon, Keith, C., Bancrof, John, D., Stevens, and Alan. (1990). Theory and
Practice of Histological Techniques: Microtomy and Paraffin Section
Chapter 4. Edinburgh, New York.
Gunawan, D.L.N. (2019). Kualitas preparat organ tanaman apel (Malus domesyica)
dengan pewarna alami ekstrak pinang (Area catechu L.) sebagai sumber
belajar biologi SMA. Skripsi. Universitas Muhamadiyah Malang.
Jamie, M., Novack, Kumar, George, L., Kiernan, and John, A. (2010). Education
Guide: Special Stains and H&E Second Edition. California, US: Dako
North America.
Jusuf, A.A. (2009). Histoteknik Dasar. Universitas Indonesia, Jakarta.
Ma’roef, M., jannah, A. (2015). Pengaruh pemberiaan ekstrak buah asam jawa
terhadap penurunan kontraksi otot polos uterus terpisah marmut betina.
Jurnal Kedokteran. 11(2): 25-41.
Musyarifah, S., Agus, S. (2018). Proses Fiksasi pada Pemeriksaan Histopatologik.
Jurnal Kesehatan Andalas. 7(3): 444-456
Perceka, (2011) dalam Pratiwi, H.C., dan Manan, A. (2015). Teknik dasar histologi
pada ikan gurami (Osphronemus gouramy). Jurnal Ilmiah Perikanan Dan
Kelautan. 7(2): 153-159.
Ulmer, D. (1994). Fixation: the key to good tissue preservation. Journal of the
International Society for Plastination. 8(1): 7-10.
Waheed, U. (2012). Histotechniques laboratory techniques in histopathology: a
handbook for medical technologist. LAP LAMBERT Academic
Publishing.
Wahyuni, S. (2013). Buku Petunjuk Praktikum Mikroteknik. Laboratorium Biologi.
Universitas Muhamadiyah Malang, Malang
Wangko, S. (2014). Jaringan otot rangka struktur membran. Jurnal Biomedik. 6(3):
11-18.

Anda mungkin juga menyukai