Anda di halaman 1dari 11

TUGAS

ILMU KEBIDANAN DAN KEMAJIRAN


GANGGUAN KEBUNTINGAN PADA HEWAN
“TORSIO UTERI”

Oleh :
ADE SYAHRIANI ARITONANG (1602101010197)
Kelas : 4

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS SYIAH KUALA

BANDA ACEH

2019
Torsio Uteri
Torsio Uteri adalah perputaran uterus pada sumbu memanjangnya. Peristiwa ini
biasanya terjadi pada ternak yang sedang bunting (Hardjopranjoto, 1995). Torsio uteri
sering terjadi pada hewan bunting tua dan pada saat melahirkan. Torsio dapat terjadi
pada sapi, domba, kambing, anjing dan kucing. Jarang terjadi pada kuda dan babi.
Dianatara semua hewan domestik, sapi dan kerbau sering mengalami torsio uteri
(Purohit et al., 2011).
Menurut derajatnya, torsio uteri dibagi menjadi dua macam yaitu torsio uteri
sempurna dan tidak sempurna. Torsio uteri sempurna terjadi apabila perputaran uteri
pada sumbu memanjang lebih dari 180˚, sedangkan torsio uteri tidak sempurna terjadi
apabila perputarannya kurang dari 180˚ (Hardjopranjoto, 1995). Letak pusat torsio
terbagi menjadi dua posisi yakni anterior vagina atau kaudal serviks (post cervical
torsion) serta kranial serviks (pre-cervical torsion). Torsio yang terjadi pada anterior
vagina lebih sering terjadi dari pada kranial serviks (Jackson, 2007).
Etiologi
Kejadian ini biasanya disebabkan oleh gerakan sapi yang mendadak saat
berbaring atau berdiri, kekurangan cairan fetus, terjatuh atau terpeleset dan selalu
dikandangkan, tonus uterus (kekuatan rahim) menurun, gerakan fetus yang berlebihan,
kebuntingan pada hewan tua, dan karena struktur anatomi (sebagai faktor predisposisi
atau pendukung).
Faktor resiko terjadinya torsio uteri ada bermacam-macam (Lyons et al., 2013).
Indukan menjadi salah satu faktor kejadian torsio uteri. Sapi yang pernah melahirkan
lebih rentan mengalami torsio uteri dari pada sapi yang masih dara. Sekitar 70% torsio
uteri terjadi pada sapi yang penah melahirkan, sedangkan 30% sisanya dialami oleh
sapi dara (Aubry et al., 2008). Roberts (1986) menyatakan bahwa rata-rata sapi yang
telah melahirkan mempunyai rongga abdomen yang lebih besar dan mengalami
penurunan tonus otot uteri, serta biasanya memiliki mesometrium yang telah terkoyak
saat proses melahirkan (Aubry et al., 2008).
Spesies hewan tertentu memiliki kecenderungan untuk mengalami torsio uteri.
Diantara semua ternak besar, sapi dan kerbau rentan menderita torsio uteri yang
mengakibatkan distokia (Porohit et al., 2011; Jengaar et al., 2015). Menurut Frazer et
al. (1996), diantara ternak sapi, ras Brown Swiss beresiko tinggi terhadap kejadian
torsio uteri karena memiliki rongga abdomen yang besar (Lyons et al., 2013).
Menurut Frazer et al. (1996), fetus dengan berat badan yang terlalu besar
menjadi faktor predisposisi torsio uteri (Aubry et al., 2008). Disproporsi fetopelvis
menjadi faktor yang mencegah terjadinya torsio uteri. Satu anakan dengan presentasi
kelahiran anterior memiliki kecenderungan induknya mengalami torsio uteri,
dibandingkan anakan dengan presentasi kelahiran posterior (Aubry et al., 2008).
Namun demikian, beberapa kondisi tersebut juga dapat menjadi pemicu kejadian
distokia.
Peningkatan mobilitas dari anakan menginisiasi terjadinya torsio uteri, namun
peristiwa ini jarang diketahui. Meningkatnya aktivitas indukan menjelang kelahiran
juga dapat menjadi salah satu faktor resiko kejadian torsio uteri (Lyons et al., 2013).
Pada sapi yang tidak dikandangkan atau berada kandang bebas, kejadian torsio uteri
umumnya disebabkan karena faktor mekanik seperi jatuh, menaiki tanjakan yang
curam, maupun terdesak oleh sapi lain. Menurut laporan studi kasus, pada sapi perah
dara yang dibesarkan pada kandang bebas dan kemudian dipindah pada kandang sempit
menjelang kelahiran. Beberapa sapi tersebut akan mengalami kesulitan merebahkan
diri atau bangun pada kandang yang sempit karena tidak terbiasa. Hal ini dapat memicu
terjatuhnya sapi yang mengakibatkan torsio uteri (Aubry et al., 2008).
Torsio uteri sering terjadi pada sapi yang biasa dikandangkan dalam kandang
jepit yang kemudian dibiarkan keluar kandang dan melakukan aktivitas yang tinggi
(Aubry et al., 2008). Sloss et al. (1980) dan Roberts (1986) menyatakan bahwa resiko
torsio uteri lebih besar pada sapi yang ditempatkan pada kandang jepit dalam jangka
lama karena kurangnya aktivitas otot menyebabkan kelemahan otot yang memicu
torsio uteri (Aubry et al., 2008).
Gejala Klinis
Gejala yang tampak pada hewan yang mengalami torsio utri antara lain adalah
hewan terlihat tidak tenang, menendang-nendang perut, mengejan, pulsus dan
frekuensi nafas meningkat, kehilangan nafsu makan, kolik, konstipasi dan terjadi
obstruksi suplai darah ke uterus yang berujung pada kematian fetus.
Diagnosa Penyakit
Diagnosa dapat dilakukaan melalui pemeriksaan vagina. Apabila ditemukan
adanya lipatan spiral, maka terjadi torsio uteri. Penegasan diagnosa dapat dilakukan
dengan palpasi rektal pada ligamentumnya. Palpasi rektal juga dapat menentukan
lokasi torsio (post cervical torsion atau pre-cervical torsion). Torsio ringan (kurang
dari 45°) mungkin akan sulit untuk terdeteksi (Lyon et al., 2013).
Penangan Torsio Uteri
Prosedur penanganan torsio uteri dapat dilakukan dengan beberapa pilihan
meliputi penanganan per vaginal, rolling hewan, serta tindakan bedah (Lyons et al.,
2013). Metode penanganan yang akan digunakan disesuaikan dengan tingkat
keparahan torsio, viabilitas fetus, dan lama kejadiannya (Purohit et al., 2011).
 Penanganan per vaginal
Kebanyakan kasus torsio uteri dapat ditangani secara manual dengan
penanganan per vaginal. Metode ini digunakan jika torsio yang terjadi tidak parah atau
sedang. Gerakan spontan dari fetus yang masih hidup biasanya sangat membantu dalam
proses penanganan ini (Lyon et al., 2013). Penanganan per vaginal dapat dilakukan
apabila fetus dapat dikontrol atau digerakkan dari luar induk dan cairan dalam uteri
masih cukup (Jackson, 1995).
Prosedur tersebut sangat bergantung pada kemampuan operator untuk
melakukan palpasi fetus. Anggota badan fetus yang mungkin dapat menonjol seperti
siku, sternum, atau paha dipegang. Fetus digoyangkan beberapa kali sebelum digoyang
dan didorong ke arah yang berlawanan dengan torsio yang terjadi (Purohit et al., 2011).
Presentasi torsio yang terjadi biasanya lebih banyak berlawanan arah jarum jam
sehingga fetus harus digoyang searah jarum jam dengan tenaga operator. Pada saat
menggoyang dan mendorong fetus, operator dibantu oleh asisten. Asisten memberikan
dorongan pada abdomen menggunakan kepalan tangan yang digerakkan ke arah
bawah. Proses mendorong tersebut harus dilakukan bersamaan dengan usaha operator
ketika menggoyang fetus (Lyon et al., 2013).
Daya dorong asisten diberikan pada sisi abdomen yang berlawanan dengan arah
torsio. Apabila torsio yang terjadi berlawanan arah jarum jam, maka abdomen yang
didorong adalah sisi kanan (Lyon et al., 2013). Gambar menunjukkan gambaran
prosedur tersebut.

Gambar. Ilustrasi gaya luar yang membantu proses penanganan torsio uteri secara manual pada
sapi yang sedang berdiri (sapi tampak dari belakang). Torsio berlawanan arah
jarum jam (panah hitam). Arah daya goyang fetus oleh operator (panah biru).
Dorongan luar yang dilakukan asisten pembantu (panah merah). Sumber: Lyon
et al., 2013.

Menurut Manning at al. (1982), beberapa dokter hewan operator menggunakan


tongkat destorsio untuk menggoyang fetus (Lyon et al., 2013). Penggunaan tongkat
tersebut beresiko menyebabkan trauma pada kaki fetus. Apabila kedua kaki fetus dapat
dipalpasi maka alat seperti kuhn crutch dapat digunakan untuk merotasi (Purohit et al.,
2011).

 Rolling atau rotasi


Rolling dilakukan apabila penanganan torsio uteri per vaginal tidak dapat
dilakukan karena anakan tidak dapat dipegang atau karena torsio uteri yang terjadi
cukup parah (≥ 360°). Metode Rolling memerlukan setidaknya seorang dokter hewan
dan dua orang pembantu (Lyon et al., 2013). Pattabiraman et al. (1979) mekaporkan
bahwa 73.4% dari kasus torsio uteri sukses ditangani dengan metode Rolling. Jumlah
induk yang selamat mencapai 97% (Singh et al.,2015). Prabhakar et al. (1994)
melaporkan bahwa tingkat keselamatan induk pasca penanganan kasus torsio uteri post
cervical (87%) dengan metode rolling lebih tinggi dari pada torsio uteri pre cervical
(54.5%) (Singh et al.,2015).
Prinsipnya, rolling dilakukan dengan cara merotasi hewan namun uteri harus
tetap dalam kondisi cukup statis. Hewan dirotasi di atas kompartemen yang lunak
seperti rumput dengan posisi kepala lebih rendah dari bagian belakang tubuh. Ketika
melakukan penanganan hewan yang galak, pemberian sedatif dapat dilakukan (Purohit
et al., 2011). Namun demikian, penggunaan sedasi diupayakan untuk tidak diberikan
kecuali pada kondisi mendesak. Sedasi berpotensi menimbulkan berbagai efek pada
viabilitas ternak karena meningkatnya kontraksi otot miometrium karena adanya
agonis 2-adrenoreceptor. Untuk tujuan keamanan, kaki belakang dan depan dipasang
dengan hobble atau tali pengikat (Lyon et al., 2013).
Rolling sederhana
Hewan diposisikan rebah lateral sama dengan arah torsio yang terjadi. Segera
setelah direbahkan, hewan diputar berlawanan arah dengan arah torsio yang terjadi.
Semakin cepat proses rotasi tubuh hewan, maka akan semakin melampaui kecepatan
rotasi dari uteri. Setelah hewan diputar hingga 180°, hewan diposisikan kembali seperti
semula secara lambat sehingga induk dapat dirotasi kembali untuk proses rotasi
ulangan. Setelah dilakukan dua kali rotasi, saluran kelahiran dapat diperiksa untuk
mengevaluasi keberhasilan tindakan yang telah dilaksanakan (Purohit et al., 2011).
Apabila penanganan tidak berhasil, prosedur rotasi dapat diulangi hingga tiga
atau empat kali. Tindakan lain dilakukan jika rotasi telah dilakukan sebanyak empat
kali namun belum menunjukkan tanda-tanda keberhasilan (Singh and Daliwal, 1998).
Rolling dapat dilakukan pada pasien yang emngalami torsio uteri lebih dari 36 jam.
Potensi robeknya uteri akibat proses rotasi harus diperhatikan. Jika lipatan vagina
setelah rolling menjadi berbalik arah, maka rolling harus dilakukan kembali dengan
arah yang berlawanan (Purohit et al., 2011).
Kombinasi rolling dengan manipulasi per vagina

Pada metode ini, anakan dipegang secara erat untuk memfiksasi posisinya.
Prosedur tersebut dilakukan bersamaan dengan proses rotasi induk. Metode ini cukup
beresiko mengakibatkan trauma pada operator akibat tendangan sapi. Sedasi dan tali
pengikat kaki sangat mutlak digunkaan(Lyon et al., 2013).

Rolling dengan metode Schaffer’s

Metode Schaffer’s merupakan modifikasi teknik rolling sederhana. Metode


Schaffer’s merupakan prosedur yang paling direkomendasikan untuk sapi dan kerbau
(Purohit et al., 2011). Metode ini merupakan prosedur alternatif yang lebih aman untuk
memfiksasi posisi fetus menggunakan papan kayu. Kayu sepanjang 4 hingga 5 meter
dan dengan lebar 8 hingga 12 inci diletakkan di atas abdomen induk tegak lurus dengan
bidang longitudinal hewan. Posisi rebah hewan searah dengan arah torsio yang terjadi
(Lyon et al., 2013). Kayu diposisikan seperti gambar.

Gambar. Posisi papan kayu di atas sapi yang rebah (untuk penanganan torsio uteri dengan arah
berlawanan jarum jam). Sumber: Lyon et al., 2013.

Seorang pembantu berdiri diatas papan ketika hewan secara perlahan diputar
berlawanan arah dengan arah torsio. Rolling dilakukan dengan bantuan tali yang telah
dipasang. Keuntungan dari metode ini adalah terfiksasinya uteri akibat tekanan dari
papan sehingga memudahkan penanganan torsio yang terjadi (Purohit et al., 2011).
Biasanya penanganan dapat berhasil dengan satu kali usaha rolling (Arthur et al.,
1996).
Rolling merupakan prosedur traumatik yang memicu perdarahan internal.
Berbagai tindakan dilakukan untuk mengkompensasi efek kehilangan cairan karena
perdarahan dan mengatasi rasa sakit. Treatment dilakukan dengan pemberian terapi
cairan dan obat anti inflamasi non steroid non-steroid. Komplikasi seperti metritis
dapat dicegah dengan pemberian antibiotik berspektrum luas (Singh et al.,2015).
 Tindakan bedah
Khammas et al. (1994) menyatakan bahwa tindakan bedah yang dikerjakan
untuk penanganan kasus tersio uteri dapat berupa operasi laparotomi untuk reposisi
torsio secara intra abdominal maupun laparohisterektomi (Purohit et al., 2011).
Tindakan ini dilakukan sebagai upaya menyelamatkan induk dan anaknya (Vermunt,
2008). Tindakan bedah merupakan pilihan terakhir ketika penanganan torsio uteri
secara manual tidak dapat dilakukan. Penanganan torsio uteri secara intra abdominal
kadang sulit untuk dilakukan karena resiko robeknya uteri akibat rapuhnya uteri yang
mengalami edema. Selain itu, malposisi usus menghabat akses terhadap uteri. Oleh
sebab itu, dilakukan tindakan bedah. Penanganan torsio uteri tanpa upaya secara
manual sangat tidak dianjurkan karena uteri akan kembali ke posisi semula ketika fetus
telah dikeluarkan. Hal ini dapat menimbulkan gangguan pada perbaikan jahitan. Selain
itu, prosedur bedah juga menimbulkan komplikasi lain pasca bedah (Lyon et al., 2013).
 Sectio caesar
Pembedahan caesar pada hewan besar terbaik dilakukan pada hewan berdiri pada
daerah flank (legok lapar) sebelah kiri karena gangguan organ viscera saat
mengeksteriosasi uterus bisa minimal karena hanya berbatasan dengan rumen,
sedangkan flank sebelah kanan ada omentum, juga dikhawatirkan intestinae keluar
(Deptan, 2006) .
Pada hewan yang berbaring juga dapat dilakukan dimana lokasi operasinya adalah
ventrolateral, paramedian, median dekat linea alba dan median pada linea alba, operasi
caesar pada hewan yang berbaring terlihat lebih mudah bila dilihat dari gerakan hewan
pada waktu operasi yang sangat terbatas. Akan tetapi usaha membaringkan hewan dan
kekurang tepatan tempat penyayatan dan lokasi uterus bunting di dalam abdomen
cukup menyulitkan prosedur operasi (Mozes, 1979).
“Sectio caesaria” pada hewan yang berdiri merupakan cara yang praktis dan
mudah. Sebelum dioperasi, daerah flank kiri dicuci bersih dan dicukur dengan lebar 5
cm dengan panjang 30-40 cm dan luas 20-45 cm, kemudian didesinfeksi dengan
Iodium tincture. Tempat incisi ditentukan pada jarak 1 telapak tangan dibawah
vertebrae lumbalis dan 1 telapak tangan dibelakang costae terakhir, incisi dilakukan
pada kulit secara tegak lurus kebawah sepanjang 30-40 cm. Pada saat pelebaran luka
bedah, incisi m. transversus externus dan internus, m. obliquus abdominis externus dan
internus juga peritoneum, dengan panduan jari tengan dan jari telunjuk sayatan
diperluas seperti sayatan pada kulit, begitu flank kiri terbuka, terlihat rumen yang
menutupi hampir semua lubang incisi.
Rumen di dorong ke arah cranial kedalam rongga perut, kemudian palpasi dinding
uterus, bila ada torsio uteri kembalikan dahulu ke posisi semula. Pembedahan
dilakukan terhadap dinding uterus, sayatan pada dinding uterus harus cukup besar
supaya pengeluaran foetus tidak terhalangi. Hindari teririsnya kotiledon saat mengiris
dinding uterus karena akan menyebabkan pendarahan pasca operasi. Dinding uterus
yang sudah terbuka dapat dijepit dengan tang uterus. Robeklah selaput amnion
sehingga cairannya keluar dan kedua kaki foetus terpegang dan ditarik keluar,
kemudian dibebaskan dari selaput foetus. Arah penarikan dengan posisi anterior yaitu
semula ke atas kemudian membengkok ke bawah dan foetus akan meluncur ke luar
dengan beratnya sendiri. Proses pengeluaran foetus harus berlangsung cepat, jika tidak
foetus akan mengalami pneumonia aspirasi, bahkan bisa mati. Hal ini terjadi karena
bila kaki belakang foetus ditarik keluar lebih dahulu, maka saluran pusar akan terputus,
padahal kepala foetus masih didalam selaput amnion yang berisi cairan. Bila proses
berlangsung lama, maka foetus akan bernafas di dalam cairan amnion. Pada letak
sungsang, selain kedua kaki depan, kepala juga ditarik keluar. Chorda umbilicalis akan
putus dengan sendirinya sewaktu pengeluaran foetus (Deptan, 2006) .
Bagian-bagian selaput foetus yang longgar dilepas memakai gunting. Kemudian
dibilas dengan Ringer lactate dan dimasukkan antibiotika kedalam rongga uterus
sebelum dinding uterus dijahit (Mozes, 1979). Efek Clenbuterol, uterus akan terus
berelaksasi setelah foetus keluar. Bila tidak menggunakan Clenbuterol, uterus akan
mengkerut dengan cepat, sehingga penjahitan dinding uterus akan sulit dilakukan
(Anonymous, 1979).
Penjahitan dimulai dari dinding uterus dengan pola jahitan Lambert dengan
menggunakan chromic cat gut sampai dinding uterus tertutup dan rapat. Sesudah
penjahitan, uterus dimasukkan kembali ke dalam rongga perut, lalu bersihkan rongga
perut dari darah yang membeku dan runtuhan jaringan yang berasal dari rongga uterus
dengan Ringer Lactate yang dicampur dengan Penstrep. Pembersihan ini penting untuk
menghindari terjadinya adhesi antar organ viscera pasca operasi. Bila rongga perut
sudah bersih, penutupan daerah sayatan di mulai dengan peritoneum dengan pola
jahitan simple interrupted memakai benang chromic cat gut, musculus dan fascia di
jahit dengan pola simple continous memakai benang chromic cat gut. Kemudian kulit
di tutup dengan jahitan simple interrupted menggunakan benang nilon. Ke dalam
daerah sayatan di semprotkan penicillin oil dan di bersihkan dengan menggunakan
Iodium tincture 3 %. Hewan disuntik penicillin kristal dengan dosis 3-6 juta unit atau
tetracyclin dengan dosis 1-2 gr secara intra muscular. Juga disuntikkan Oksitosin 5 ml
pasca operasi. Oksitosin merupakan antidota dari Clenbuterol. Oksitosin akan
membuat uterus berkontraksi dan proses involusi segera dimulai, plasenta akan
terbantu keluar dengan adanya kontraksi uterus (Deptan, 2006).
Evaluasi Keberhasilan Penanganan Torsio Uteri
Keberhasilan penanganan dapat terlihat dari hilangnya torsio. Lipatan vagina
kembali pada posisi yang normal. Lipatan spiral dan stenosis saluran kelahiran akan
hilang dan fetus dapat dipalpasi dengan mudah terutama ketika terjadi dilatasi serviks.
Banyak darah akan keluar dari saluran kanal jika serviks membuka. Fetus juga dapat
keluar dengan sedikit bantuan atau tanpa bantuan. Penanganan berhasil (Purohit et al.,
2011).
Tindakan Pasca Derotasi

Setelah kasus torsio uteri tertangani, tindakan selanjutnya adalah membantu


proses kelahiran. Hasil studi menunjukkan bahwa sebanyak 43% kasus pasca
penanganan torsio uteri memerlukan tindakan pertolongan kelahiran. Dilatasi serviks
yang tidak sempurna penjadi penyebab utamanya (Aubry et al., 2008). Proses dilatasi
servikss terkadang memerlukan waktu hingga 12 jam. Fetus sebaiknya tidak
dikeluarkan saat dilatasi servikss tidak terjadi. injeksi prostaglandin disarankan untuk
digunakan apabila servikss tidak mengalami dilatasi (Purohit et al., 2011). Apabila
sapi tidak memungkinkan untuk menjalani kelahiran sendiri, tindakan pertolongan
kelahiran dapat dilakukan. Kegagalan kelahiran pasca tindakan detorsio dapat terjadi
sehingga memerlukan tindakan operasi cesar. Hal ini perlu dikomunikasikan dengan
peternak dan sebaiknya diantisipasi sebelum melakukan penanganan torsio uteri (Lyon
et al., 2013).
Referensi:

Arthur, G.H., D.E. Noakes, and H. Pearson. 1996. Maternal dystocia treatment. In:
Arthur, G.H. Ed., Vet-erinary Reproduction and Obstetrics. W.B. Saunders Co.
Ltd., Philadelphia.

Aubry, P., L.D. Warnick, L. DesCôteaux, and E. Bouchard. 2008. A Study of 55 Field
Cases of Uterine Torsion in Dairy Cattle. Can Vet J, 49: 366–372.

Deptan, 2006. Pejantan Sapi Potong Dan Kambing. Balai Besar Inseminasi Buatan
Singosari. Direktorat Jendral Peternakan. Departemen Pertanian.

Hardjopranjoto, H.S. 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Penerbit Airlangga


University Press, Surabaya.

Jackson, P.G.G. 1995. Dystocia in the cow: In: Hand-book of veterinary obstetrics.
W.B. Saunders Co. Ltd., Philadelphia.

Jackson, P, G. 2007. Handbook Obstetrik Veteriner. Edisi ke-2. Diterjemahkan oleh


Aris Junaidi. Gadjah Mada University Press, Yogjakarta.

Lyon, N., P. Gordon, S. Brosberry, J. Mouncey, J. Macfarlane, and C. Lindsay. 2013.


Clinical Forum: Bovine Uterine Torsion: A Review. Livestock, 18: 18-24.

Purohit, G.N, Y. Barolia, C. Shekhar, and P. Kumar. 2011. Maternal Dystocia in Cows
And Buffaloes: A Review. Journal of Animal Sciences, 1 (2): 41-53.

Singh, J. and G.S. Dhaliwal. 1998. A retrospective study on survivability and fertility
following cesarean section in bovines. Indian Journal of Animal Reproduction,
19: 21-23.

Singh, G., A.K. Pandey, P. Kumar, A. Saini, and R.K. Chandolia. 2015. Non-surgical
Management of Uterine Torsion in Murrah Buffaloes. Haryana Vet., 54 (1): 70-
71.

Vermunt, J.J. 2008. The Caesarean Operation in Cattle: A Review. Iranian Journal of
veterinary Surgery : 82-100.

Anda mungkin juga menyukai