Anda di halaman 1dari 5

Nama : Ade Syahriani Aritonang

NIM : 1602101010197
Kelas : 1

Opioid
Opioid adalah kelompok obat yang sering dipergunakan pada penanganan pasien dengan nyeri
yang berat. Berawal dari tumbuhan papaver somniferum atau opium yang diekstrak dan
digunakan secara luas pada peradaban kuno Persia, Mesir dan Mesopotamia. Kata opium sendiri
berasal dari bahasa yunani yang berarti jus. Telah dicatat bahwa penggunaan opium yang
pertama kali adalah pada salah satu teks kuno bangsa Sumeria pada tahun 4000 SM.
Opium digunakan dengan dihirup atau dengan cara ditusukkan pada kulit yang akan memberikan
efek analgesia, selain itu juga akan menyebabkan depresi pernafasan dan kematian sesuai dengan
derajat absorbsi yang diberikan. Opium merupakan campuran bahan kimia yang mengandung
gula, protein, lemak, air, lilin nabati alami, lateks, dan beberapa alkaloid. Adapun alkaloid yang
terkandung antara lain morfin (10%-15%), kodein (1%-3%), noskapin (4%-8%), papaverin (1%-
3%), dan thebain (1%-2%). Beberapa dari alkaloid-alkaloid tersebut banyak digunakan untuk
pengobatan diantaranya: untuk nyeri (morfin dan kodein), untuk batuk (kodein dan noskapin)
dan untuk mengobati spasme visceral (papaverin). Morfin berhasil diisolasi oleh Seturner pada
tahun 1803, kemudian dilanjutkan dengan kodein tahun 1832 lalu papaverin tahun 1848.
Istilah opioid digunakan untuk semua obat baik alami maupun sintetik yang dapat menduduki
reseptor opioid di tubuh manusia. istilah opiat digunakan untuk semua obat yang diekstrak dari
tumbuhan opium yang menempati dan bekerja pada reseptor opioid.
Dalam praktek klinis sehari-hari obat opioid dapat diberikan pada berbagai pilihan rute antara
lain:
1. Pemberian Sistemik : oral, sublingual, buccal, rectal, transdermal, subkutaneus, intramuscular,
intravena maupun nasal.
2. Pemberian serebrospinal : epidural dan spinal.
3. Pemberian melalui jalur perifer : lokal atau topical.
Keputusan pemberian obat-obat tersebut sangat beragam pertimbangannya. Hal ini disesuaikan
dengan kondisi pasien, obat yang tersedia maupun kemampuan pengetahuan klinisi terhadap obat
yang ada.

Golongan Opioid
Yang termasuk golongan opioid ialah : (1) obat yang berasal dari opium-morfin ; (2) senyawa
semisintetik morfin ; (3) senyawa sintetik yang berefek seperti morfin.
Didalam klinik opioid dapat digolongkan menjadi lemah (kodein) dan kuat (morfin). Akan tetapi
pembagian ini sebetulnya lebih banyak didasarkan pada efikasi relatifnya, dan bukannya pada
potensinya. Opioid kuat mempunyai rentang efikasi yang lebih luas, dan dapat menyembuhkan
nyeri yang berat lebih banyak dibandingkan dengan opioid lemah. Penggolongan opioid lain
adalah opioid natural (morfin, kodein, pavaperin, dan tebain), semisintetik (heroin, dihidro
morfin/morfinon, derivate tebain) dan sintetik (petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil dan
remifentanil).
Sedangkan berdasarkan kerjanya pada reseptor opioid maka obat-obat Opioid dapat digolongkan
menjadi:
1. Agonis opoid
Merupakan obat opioid yang menyerupai morfin yang dapat mengaktifkan reseptor, tertama pada
reseptor m, dan mungkin pada reseptor k contoh ; morfin, papaveretum, petidin (meperidin,
demerol), fentanil, alfentanil, sufentanil, remifentanil, kodein, alfaprodin.
2. Antagonis opioid
Merupakan obat opioid yang tidak memiliki aktivitas agonis pada semua reseptor dan pada saat
bersamaan mencegah agonis merangsang reseptor, contoh ; nalokson.
3. Agonis-antagonis (campuran) opioid
Merupakan obat opioid dengan kerja campuran, yaitu yang bekerja sebagai agonis pada beberapa
reseptor dan sebagai antagonis atau agonis lemah pada reseptor lain, contoh pentazosin, nabulfin,
butarfanol, bufrenorfin.

Farmakokinetik
1. Absorbsi
Sebagian besar analgesik opioid mampu diserap bagus melalui rute subkutan, intramuscular dan
oral. Oleh karena efek first pass metabolism opioid pada aliran darah di hepar maka dosis oral
opioid membutuhkan dosis yang lebih besar untuk mencapai efek terapeutik, seperti pada morfin.
Beberapa jenis opioid dipercaya lebih efektif jika diberikan melalui rute oral karena kecil yang
melalui first pass metabolism seperti kodein dan oksikodon. Insuflasi melalui nasal juga bisa
menjadi rute pilihan untuk menghindari first pass metabolism. Rute yang lain yaitu melalui
mukosa oral serta transdermal yang diyakini dapat memberikan analgesik yang poten hingga
dalam hitungan hari.
2. Distribusi
Penyerapan opioid pada organ sangat bervariasi. Meskipun tiap jenis opioid mempunyai afinitas
yang berbeda terhadap protein, opioid dapat secara cepat meninggalkan kompartemen darah,
kemudian berkumpul menuju jaringan yang mempunyai perfusi darah yang tinggi seperti otak,
paru-paru, hepar, ginjal dan limpa. Konsentrasi opioid pada otot sebenarnya lebih kecil, namun
jaringan otot mempunyai volume yang besar sehingga banyak juga yang terakumulasi disana.
Meskipun aliran darah pada jaringan lemak rendah, namun akumulasi pada jaringan lemak ini
adalah suatu hal yang penting oleh karena akan terjadi redistribusi kembali oleh opioid yang larut
baik dengan lemak, seperti fentanyl.
3. Metabolisme
Sebagian besar opioid akan diubah menjadi metabolit yang lebih polar sebagian besar
glukoronid, yang kemudian akan diekskresikan melalui ginjal. Sebagai contoh morfin, sebagian
besar akan dikonjugasi menjadi morfin-6-glukoronid, suatu kompenen yang mempunyai efek
neuroeksitatori. Efek neuroeksitatori ini bukan dimediasi oleh reseptor opioid melainkan oleh
system GABA/glisinergik. Kurang lebih 10% dari morfin akan diubah menjadi M6G, suatu
metabolit aktif dengan efek analgesik 4 hingga 6 kali lebih poten jika dibandingkan dengan
morfin. Namun metabolit yang lebih polar ini mempunyai keterbatasan untuk menembus sawar
darah otak. Akumulasi yang berlebihan dari obat ini seperti pada pasien dengan gagal ginjal
ataupun pemakaian dosis besar tentunya akan menyebabkan berbagai macam efek samping.
Kejang oleh karena efek neuroeksitasi dari M3G serta efek kerja yang memanjang dari opioid
yang dihasilkan oleh M6G.
Golongan ester seperti heroin dan remifentanyl dihidrolisa secara cepat oleh enzim esterase
jaringan. Heroin (diasetilmorfin) dihidrolisa menjadi monoasetilmorfin dan pada akhirnya
menjadi morfin yang kemudian dikonjugasi oleh asam glukoronat. Metabolism oksidatif hepatik
merupakan rute primer degradasi opioid golongan fenilpiperidin seperti meperidin, fentanyl,
alfentanyl dan sufentanyl. Hasil metabolit dimetilasi dari meperidin yaitu normeperidin dapat
terakumulasi pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal ataupun pada pemakaian dosis yang
tinggi. Normeperidin dapat menyebabkan kejang apabila terakumulasi dalam jumlah yang cukup
tinggi. Sebaliknya fentanyl tidak memiliki metabolit aktif. Isozim P450 CYP3A4
memetabolisme fentanyl melalui proses N-dealkilasi di hepar. CYP3A4 juga terdapat di mukosa
usus halus dan memberikan kontribusi pada proses first pass metabolism jika fentanyl diberikan
secara oral. Kodein, oksikodon, dan hidrokodon dimetabolisme di hepar oleh isozim P450
CYP2D6 yang akan menghasilkan metabolit dengan efek yang lebih besar. Sebagai contoh,
kodein dimetilasi menjadi morfin.
4. Ekskresi
Metabolit yang polar, termasuk konjugasi glukoronid dari analgesik opioid, sebagian besar
diekskresi melalui urin. Sejumlah kecil dari bagian yang yang tidak diubah dapat ditemukan juga
di urin. Selain itu konjugasi glukoronid juga ditemukan di empedu, namun sirkulasi
enterohepatik hanya berperan kecil dalam proses ekskresi.

RESEPTOR OPIOID :
Reseptor obat ialah makromolekul yang umumnya molekul enzim atau komponen fungsional
dari sel bisa terletak pada membran sel.didalam atau diluar sel. Penggabungan obat dengan
reseptor merupakan reaksi permulaan dalam satu rangkaian reaksi yang pada akhirnya
menimbulkan efek obat. Dengan menggambarkan bahwa semua obat harus bergabung dengan
suatu reseptor dulu berbagai fenomena efek obat,seperti hubungan antara dosis dan efek dan
antara waktu dan efek lebih mudah dimengerti. Bagaimana mekanisme kerja opioid sampai
menimbulkan efeknya harus ada penggabungan dengan reseptornya.
Pada tahun 1954 Becket dan Casey memulai konsep farmakologi tentang adanya tempat ikatan
spesifik opioid yang kemudian disebut reseptor opioid.
Martin Cs menemukan tiga macam reseptor opioid pada anjing yaitu reseptor U(Mu),K(Kappa)
dan S(Sigma), dimana reseptor U(Mu)(m dari morfin) bertanggung jawab terhadap analgesia
supraspinal, euforia, ketergantungan dan depresi nafas terutama terletak pada brain
stem/thalamus.
Reseptor K(Kappa) (K dari ketocyclazocine) satu analgetik tipe agonis antagonis yang
bertanggung jawab terhadap efek spinal analgesi,sedai,miosis, dan depresi nafas terutama
terletak pada kortek serebri.
Reseptor S(Sigma) (S dari SKF 10047) suatu benzomorfan dengan aktifitas yang aneh yaitu
eksitasi dan haluksinasi,Kemudian ditemukan reseptor delta (d dari vasdeferen tikus) yang
diaktifkan secara selektif olehopioid endogen (leu dan met enkefalin) yang bekerja memodulasi
reseptormu. Reseptor epsilon(e dari endorfin) terutama diaktifkan oleh peptida endogen beta
endorfin.
Kemudian ditemukan subtipa mu (mu1 dan mu2) dimana reseptor mu1 bertanggung jawab atas
analgesia opioid sedangkan mu2 bertanggung jawab terhadap depresi nafas, bradikardi dan
ketergantungan opiat.
Tetapi kloning reseptor mu tidak berhasil menunjukkan adanya reseptor subtipe mu1 dan mu2.
Reseptor mu, kappa dan delta merupakan reseptor yang terlibat dalam mekanisme antinosiseptif
dengan opioid yang diberikan secara sistemik atau secara lokal pada permukaan medulla
spinalis. Terletak di medulla spinalis terutama di substansia glatinosa (lamina I &V) dan akar
dorsalis.
Sedangkan distribusi yang lebih luas dan diffus berada dalam substansia abu abu diseluruh
medulla spinalis sesuai tempat berakhirnya serabut C di medulla spinalis.
Perbandingan distribusi reseptor kappa,mu,dan delta dalam medulla spinalis adalah 50%,40% &
10%.
Reseptor opioid tersebar di SSP dari konsentrasi paling tinggi sampai paling rendah adalah
globus palidus, substansia abu-abu periakuaduktal, medial thalamus, amigdala,area
pontine,medulla oblongata,caudatus, putamen,lateral thalamus, hipothalamus ,cerebellum dan
girus hipokampus.
Menurut Jacquet ada dua reseptor utama di SSP :
1.Reseptor endorfin yang punya affinitas streospesifik untuk opioid yang memediasi efek
analgesi dan katatoni dan sensitif terhadap naloxon dikenal sebagai reseptor mu.
2.Reseptor yang punya afinitas non streospesifik opioid berhubungan dengan explosive motor
behaviour tetapi insensitif terhadap naloxon oleh Lord dan Kosterlitz dikenal sebagai reseptor
delta.
Efek Samping
Efek samping pada opioid neuraxial disebabkan oleh adanya obat baik di CSS maupun di
sirkulasi sistemik (Chaney,1995). Secara umum, efek samping yang paling banyak adalah
ketergantungan dosis. Beberapa efek samping dimediasi oleh interakasi dengan reseptor opioid
spesifik, sedangkan yang lain bukan karena interaksi ini. Efek samping yang jarang muncul pada
pasien yang lama menggunakan opioid. Empat efek samping klasik pada opioid neuraxila adalah
pruritus/gatal, mual dan muntah, retensi urin, dan depresi pernapasan.
Efek samping NEURAXIAL (epidural dan spinal) opioids
 Pruritus
 Rasa mual/mabuk dan muntah
 Penurunan ventilasi
 Sedasi
 Merangsang system saraf pusat
 Pengaktifan kembali viral
 Kelainan neonatal
 Disfungsi sexual
 Disfungsi ocular
 Disfungsi gastrointestinal
 Disfungsi termoregulatory dan
 Retensi air/urin

Anda mungkin juga menyukai