Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori

1. Histologi Jaringan

Histologi atau yang disebut juga anatami mikro adalah ilmu yang

mempelajari suatu organ atau bagian tubuh hewan maupun tumbuhan

secara cermat dan rinci. Usaha atau cara untuk mengamati, mempelajari

serta meneliti jaringan-jaringan tertentu dari suatu organisme dapat

dilakukan dengan cara menyiapkan spesimen histologi (Percaka, 2011).

Struktur jaringan secara detail dapat diamati menggunakan mikroskop

pada sediaan jaringan dengan irisan tipis. Irisan tersebut nantinya akan

memperlihatkan bentuk, ukuran dan lapisan yang beragam yang terdiri

dari struktur seluler, fibrosa dan tubuler (Jusuf, 2009).

Histologi adalah ilmu yang mempelajari tentang sel, organ, dan

jaringan tubuh dalam kondisi mikroskopis. Ada ilmu yang mempelajari

tentang morbiditas atau patologi jaringan yang disebut histopatologi. Baik

struktur jaringan normal dan struktur jaringan abnormal dapat dipelajari

secara mikroskopis dalam persiapan jaringan. Sediaan ini dibuat melalui

pemrosesan jaringan sampai sediaan diwarnai. Kemudian struktur

histologi dapat ditonton dengan jelas sehingga membuatnya mudah dibaca

(Pratiwi dan Manan, 2015).

7
2. Hewan Coba

Hewan coba adalah hewan yang sengaja dipelihara untuk digunakan

sebagai hewan model yang berkaitan untuk pembelajaran dan

pengembangan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau

pengamatan laboratorium (Tolistiyawati.dkk, 2014). Hewan coba banyak

digunakan sebagai penunjang dalam melakukan pengujian-pengujian

terhadap obat, vaksin, atau dalam penelitian biologi. Hewan coba yang

sering digunakan yakni mencit (Mus musculus), tikus putih (Rattus

Norvegicus), kelinci (Oryctolagus cuniculus), dan hamster

(Tolistiyawsati.dkk, 2014).

a. Mencit (Mus musculus)

Gambar 2.1. Mencit

Mencit (Mus musculus) merupakan mamalia kecil yang menjadi

pilihan untuk berbagai penelitian karena mempunyai beberapa

keuntungan, yaitu tidak mahal, mudah didapat, hanya membutuhkan

sedikit ruang, makan, dan minum, mudah dalam pemeliharaan, dan dapat

diubah secara genetik. (Winny, 2013).

8
Syarat yang harus dimiliki oleh hewan coba pada bidang kedokteran

adalah sifat respon biologis dan adaptasi yang mendekati fisiologis

manusia, mudah diperoleh, mudah dikembangbiakkan, mudah dipelihara,

murah, tidak berbahaya, dan praktis. Mencit adalah hewan yang memenuhi

kriteria tersebut khususnya secara fisiologi organ yang sama dengan

manusia sehingga dapat digunakan sebagai hewan coba (Malole dan

Pramono,1989).

Mencit laboratorium memiliki bobot 18-20 g pada umur empat

minggu dan pada umur dewasa dapat mencapai 30-40 g (Setyorini, 2010).

Klasifikasi mencit (Mus musculus albinus) adalah sebagai berikut (ITIS,

2016) : Kingdom Animalia, Filum Chordata, Kelas Mammalia, Ordo

Rodentia, Superfamili Muroidea, Famili Muridae, Subfamili Murinae,

Genus Mus, Spesies Mus musculus albinus.

3. Ginjal

Kedua ginjal terletak di dinding posterior perut, di luar rongga

peritoneum. Parenkim setiap ginjal memiliki korteks ginjal luar, dan

medula ginjal bagian dalam sebagian besar tubulus linear dan saluran.

Medula ginjal pada manusia terdiri dari 8-15 struktur kerucut disebut

piramid ginjal. Ginjal masing-masing berisi 1-4 juta unit fungsional yang

disebut nefron, masing-masing terdiri dari sel dan tubulus ginjal epitel

yang panjang dan sederhana dengan tiga bagian utama. Divisi utama

masing-masing nefron adalah : Sel ginjal, tubulus proksimal, loop henle

(atau loop nefron), tubulus distal (Mescher,2016).

9
Gambar 2.2. Mikroskopis Ginjal normal (a) Perbesaran 4x, terlihat
gambaran tubulus (Tu) dan glomerulus (Gl) ; (b) Perbesaran 20x, terlihat
gambaran glomerulus (Gl), tubulus kontortus proksimal (TKP), dan
tubulus kontortus distal (TKD); (c) Gambaran glomerulus Perbesaran
40x, terlihat gambaran glomerulus (Gl), kapsula bowman (KB), tubulus
kontortus proksimal (TKP), dan tubulus kontortus distal (TKD) (Atlas
of Laboratory Mouse Histology, 2004).

4. Processing Jaringan Histologi

a. Definisi

Prosesing jaringan histologi merupakan proses pembuatan

jaringan histologi yang dilakukan dalam laboratorium patologi.

Menurut PERMENKES RI Nomor 411/MENKES/PER/III/2010

menyebutkan bahwa Laboratorium patologi anatomi merupakan

laboratorium yang melaksanakan pembuatan preparat histopatologi,

pulasan khusus sederhana, pembuatan preparat sitologik, dan

pembuatan preparat dengan teknik potong beku. Pelayanan

laboratorium Patologi Anatomik menerima spesimen berupa jaringan

10
dan/atau cairan tubuh yang didapat dari tubuh pasien dan bermakna

klinis bagi diagnosis suatu penyakit. Pelayanan laboratorium patologi

anatomik berperan sebagai baku emas dalam penegakkan diagnosis

yang berbasis perubahan morfologi sel dan jaringan sampai

pemeriksaan imunologik dan molekuler khusus yang bersumber dari

sel maupun jaringan (BPPSDMK, 2017).

b. Proses Pembuatan Sediaan Histologi

Rangkaian proses pembuatan preparat histologi dimulai dari

proses pengambilan organ setelah hewan dilakukan eutanasi

kemudian organ dimasukan dalam larutan fiksatif (Suntoro, 1983).

Pembuatan preparat histologi melalui beberapa tahapan diantaranya

tahap persiapan seperti euthanasia, trimming, fiksasi dilanjutkan pada

tahap pemprosesan jaringan seperti dehidrasi, penjernihan, infiltrasi

paraffin, pengeblokan, pemotongan, pewarnaan, perekatan dan

pelabelan (Jusuf, 2009).

1) Eutanasia

Euthanasia berasal dari istilah Yunani, eu yang artinya baik

dan Thanatos yang artinya kematian. Istilah ini biasanya

digunakan untuk menggambarkan mengakhiri kehidupan

binatang atau individu dengan cara yang meminimalkan atau

menghilangkan rasa sakit dan penderitaan. Euthanasia

menyebabkan kematian oleh tiga mekanisme dasar: (1) depresi

langsung neuron yang diperlukan untuk fungsi kehidupan, (2)

hipoksia, dan (3) gangguan fisik aktivitas otak. Euthanasia bias

11
dilakukan dengan cara fisik dan zat anastesi dengan inhalasi serta

gas gas bersifat non anastesik (Hedrich, 2004).

2) Pemotongan (Trimming)

Trimming merupakan pemotongan sampel organ menjadi

ukuran yang lebih kecil sehingga memudahkan tahap pembuatan

preparat selanjutnya (Pratomo, 2011). Jaringan dipotong

menggunakan pisau scalpel dengan ketebalan 1x1 cm dan di

masukkan larutan NBF 10%.

3) Fiksasi

a) Definisi Fiksasi

Tahapan histoteknik salah satunya adalah fiksasi.

Fiksasi (pengawetan) adalah stabilisasi unsur penting pada

jaringan sehingga unsur tersebut tidak terlarut, berpindah,

atau terdistorsi selama prosedur selanjutnya. Fiksasi yang

baik merupakan faktor utama dalam pembuatan preparat

yang baik. Fungsi fiksasi adalah menghambat proses

pembusukan dan autolisis, pengawetan, pengerasan jaringan,

pemadatan koloid, diferensiasi optik, dan berpengaruh

terhadap pewarnaan (Bancroft, 2008).

b) Prinsip Fiksasi

Prinsip kerja dari fiksasi adalah mengawetkan bentuk

sel dan organel sehingga mendekati bentuk fisiologinya.

Cairan fiksatif mengubah komposisi jaringan secara kimiawi

dan fisik. Secara kimiawi, protein sel diubah secara

12
fungsional dan struktural dengan cara koagulasi dan

membentuk senyawa aditif baru. Senyawa tersebut terbentuk

melalui ikatan silang dari dua makromolekul yang berbeda,

yakni cairan fiksatif dan protein sel. Hal ini menyebabkan sel

resisten terhadap gerakan air dan cairan-cairan lainnya.

Akibatnya, struktur sel menjadi stabil, baik di dalam sel

maupun antar sel. Selain itu, kebanyakan enzim di dalam sel

menjadi terinaktivasi, sehingga proses metabolisme sel tidak

terjadi, dan mencegah adanya autolisis sel. Secara fisik,

membran sel yang awalnya hidrofilik, dilarutkan dengan

cairan fiksatif, yang menyebabkan pori-pori sel membesar.

Akibatnya, makromolekul dapat memasuki sel. Hal ini

membantu untuk teknik setelah fiksasi, khususnya pada

proses parafinisasi dan pewarnaan dimana zat-zat tersebut

akan dapat masuk ke dalam sel dan menempel dengan mudah

(Waheed, 2012).

c) Tujuan Fiksasi

Ada empat tujuan dari fiksasi jaringan yaitu :

1. Menghentikan autolisis jaringan dengan inaktivasi

enzim hidrolisis dari lisosom dan dengan demikian dapat

memberikan morfologi seluler yang lebih baik untuk

dianalisis serta menstabilkan struktur baik di dalam

maupun di antara sel.

13
2. Mengimobilisasi jaringan dan antigen seluler untuk

imunolabelling dari antigen.

3. Persiapan yang lebih baik dalam pemotongan sampel

histopatologi dengan cara memadatkan dan

mengeraskan jaringan.

4. Mencegah proses pembusukan yaitu proses

penghancuran jaringan yang diakibatkan oleh aktifitas

bakteri dan biasanya dengan pembentukan gas

(Musyarifah, dan Agus, 2018).

d) Penentuan Larutan Fiksasi yang Tepat

Pemilihan cairan fiksatif tergantung pada tahap

pengolahan jaringan dan analisis akhir yang direncanakan

(Musyarifah, dan Agus, 2018). Secara umum cairan fiksasi

yang baik memiliki PH netral, kisaran 6-8, kemudian

penetrasi jaringan tergantung pada kemampuan difus

masing-masing cairan fiksatif, oleh karena itu pilihlah cairan

fiksatif yang dapat menyentuh hingga bagian dalam sel.

Konsentrasi dan lama waktu dalam proses fiksasi tergantung

pada cairan fiksatif yang akan dipilih (Ganjali,2013). Bahan

pengawet yang rutin digunakan dalam proses fiksasi adalah

larutan Neutral Buffer Formalin (NBF) 10% merupakan

cairan fiksatif untuk mengawetkan jaringan pada

pemeriksaan histopatologi rutin. Alasan pemilihan cairan ini

karena penggunaannya lebih mudah dan dapat digunakan

14
untuk mengawetkan jaringan dalam kurun waktu yang cukup

lama (Miranti, 2010).

e) Larutan Fiksasi NBF 10 %

Larutan fiksatif yang lazim digunakan adalah

formalin 4% - 10% dari pengenceran formaldehida 37% atau

40%. Formaldehida akan berikatan dengan beberapa protein

membentuk ikatan silang serta mendenaturasi protein lain

tetapi tidak pada lipid sehingga jaringan akan mengalami

pengerasan dan menginaktivasi enzim untuk mencegah

jaringan terdegradasi. (Peckham, 2014). Menurut Miranti

2010, komposisi untuk larutan netral buffer formalin 10%

adalah campuran dari 100 ml formalin 37 - 40%,

akuadestilata 900 ml, NaPO4 monobasik 4 gr dan NaPO4

dibasil anhidrous 6,5 gr, sehingga PH yang di dapat 7.

4) Dehidrasi

Dehidrasi merupakan suatu metode yang digunakan untuk

mengeluarkan seluruh cairan yang terdapat dalam jaringan

setelah dilakukan proses fiksasi sehingga nantinya dapat diisi

dengan parafin untuk membuat blok preparat. Proses dehidrasi ini

menggunakan alkohol dengan konsentrasi bertingkat. Mulai dari

alkohol 30%, 50%, 70%, 80%, 95%, dan alkohol absolut. Pada

prosesnya, suatu jaringan akan dicelupkan kemasing-masing

alkohol dengan kisaran waktu tertentu sampai prosesnya berakhir

(Rina S. et al, 2013).

15
Hal ini perlu dilakukan karena air tidak dapat bercampur

dengan cairan paraffin atau zat lainnya yang dipakai untuk

membuat blok preparat. Pengeluaran air dari sel/jaringan

dilakukan dengan cara merendam jaringan dalam bahan kimia

yang berfungsi sebagai dehidrator (penarik air) yang secara

progresif konsentrasinya meningkat, yakni alcohol (Pratiwi dan

Manan, 2015).

5) Penjernihan (Clearing)

Penjernihan atau clearing adalah metode yang digunakan

untuk mengeluarkan alkohol dari jaringan dan menggantikannya

dengan suatu larutan yang berikatan dengan parafin. Pada proses

clearing ini sangat penting karena apabila dijaringan masih tersisa

alkohol walaupun sedikit, parafin tidak akan bisa masuk ke dalam

jaringan. Sehingga jaringan nantinya tidak akan sempurna dalam

pembuatan blocking, pemotongan, dan pewarnaan. Proses

clearing ini menggunakan bermacam-macam zat penjernih yaitu

xylol atau xylene dan toluol atau toluene yang memiliki kelebihan

dan kekurangannya masing-masing. Xylol atau xylene

kelebihannya yaitu prosesnya cepat dan harganya tidak terlalu

mahal. Kekurangannya yaitu jaringan yang dapat dipindahkan

hanya dari alkohol absolut, dan jaringan yang dijernihkan dengan

xylene tidak begitu jelas menjadi transparan, sehingga tidak

diketahui proses ini berjalan sempurna atau tidak (Waheed,

2012).

16
6) Infiltrasi Parafin (Embedding)

Infiltrasi paraffin dimaksudkan sebagai suatu proses

perendaman jaringan dalam paraffin cair pada suhu 58 – 60℃

selama 30 menit sampai 6 jam dalam incubator bertujuan untuk

mengeluarkan cairan pembening (clearing agent) dari jaringan

dan diganti dengan parafin selain itu juga membuat jaringan tahan

terhadap pemotongan (Junqueira dan Carneiro, 1992).

Paraffin wax adalah medium yang sering digunakan untuk

mengisi suatu wadah dengan memecahkan minyak mineral dan

reaksikan dengan senyawa hidrokarbon jenuh. Beberapa jenis

parafin memiliki titik lebur yang bervariasi berkisar antara 40-

70°C. Normalnya parafin melebur pada suhu 54-58°C. Jika ingin

mendapatkan parafin yang sesuai dengan kebutuhan dapat

menambahkan beberapa zat, seperti lard, beeswax, satiric acid,

rubber, dan ceresin (Waheed, 2012).

7) Pengeblokan (Blocking)

Tahap selanjutnya adalah pemrosesan jaringan dengan

menanamkan jaringan yang terisi parafin cair ke dalam cetakan

yang telah dituangi parafin cair dan didiamkan sampai paraffin

membeku. Blok parafin yang berisi jaringan siap dipotong

(Miranti, 2010).

8) Pemotongan (Sectioning)

Sectioning adalah proses pemotongan blok jaringan dengan

menggunakan mikrotom. Mikrotom merupakan alat yang

17
digunakan untuk memotong tipis atau irisan suatu jaringan.

Sampel jaringan berparaffin bergerak maju secara manual menuju

pisau sesuai dengan ketebalan irisan yang diinginkan. Hasil dari

proses pemotongan jaringan ini berupa pita tipis yang sangat

penting karena irisan-irisan tipis ini akan membantu ketepatan

diagnosa (Pratiwi dan Manan, 2015). Ningrum & Abdulgani

(2014), menyebutkan bahwa pada tahapan pemotongan jaringan

organ mencit (Mus musculus) dilakukan menggunakan

mikrotom dengan ketebalan irisan sebesar 5 𝜇𝑚. Miranti

(2010) menyebutkan jika seluruh tahapan pembuatan preparat

histologi mempunyai tujuan untuk menghasilkan potongan

dengan ketebalan 2 – 7 𝜇𝑚.

9) Pembuatan Sediaan (Affixing)

Hasil sayatan di ambil ditempel pada kaca objek. Kaca

obyek tersebut diletakkan di atas meja penangas (haeting plate)

atau water bath.

10) Pewarnaan (Staining)

Pewarnaan adalah teknik memberikan warna pada

komponen seluler dengan tujuan membedakan antar sel pada

jaringan (Waheed, 2012). Warna adalah persepsi dari mata yang

dapat dibedakan berdasarkan panjang gelombang. Teknik

pewarnaan ini membantu dalam menghasilkan kontras dimana

setiap warna memiliki afinitasnya masing-masing (Steven dkk,

2013). Jenis-jenis zat pewarna yang dapat digunakan dalam

18
pewarnaan antara lain pewarna ada Alcian Blue (AB), van gieson,

‘azan’ azocarmine-anilin blue’ dan Hematoxyilin-Eosin.

11) Perekatan (Mounting)

Perekatan preparat berfungsi untuk mengawetkan jaringan

yang telah diwarnai sehingga jaringan akan awet lebih dari 5

tahun. Proses perekatan ini dilakukan dengan objek glass berisi

pita preparat ditetesi canada balsam kemudian ditutup dengan

cover glass (Jusuf, 2009).

12) Pelabelan

Pelabelan berfungsi untuk memberikan informasi jaringan

dalam preparat serta berisi kode sampel.

c. Tissue Processing

Conventional histoprocessing adalah metode memprosesing

jaringan histology dengan tahapan prosessing pada alat secara

Conventional (seperti jalan tangan) yaitu fiksasi, dehidrasi bertingkat,

clearing, dan infiltrasi paraffin dengan pemanasan ± 72˚𝐶. Alat ini

telah di program secara otomatis dalam tahapan prosesing sehingga

memudahkan operasional. Waktu yang dibutuhkan untuk memproses

jaringan dari tahap awal (fiksasi) sampai menjadi blok parafin

± 18 𝑗𝑎𝑚 (bisa diubah sesuai kebutuhan), Conventional

histoprocessing menggunakan reagen xylol pada tahap clearing.

(Ariyadi, 2017).

Leica TP1020 adalah prosesor jaringan otomatis yang dirancang

untuk aplikasi laboratorium. Hal ini digunakan untuk fiksasi,

19
dehidrasi dan infiltrasi sampel jaringan histologi dengan fiksatif,

alkohol, pelarut dan lilin paraffin.

5. Faktor- faktor yang mempengaruhi fiksasi

Adapun dalam prosesnya sejumlah factor yang mempengaruhi efektifitas

dan kecepatan fiksasi seperti :

a. Suhu/Temperatur

Meningkatkan suhu atau memanaskan larutan fiksasi akan

berbanding lurus terhadap meningkatkan kecepatan penetrasi

larutan fiksatif ke dalam jaringan. Peningkatan suhu dapat juga

mempercepat kecepatan reaksi kimia antara unsur fiksatif dengan sel

atau jaringan. Fiksasi yang menggunakan teknik pemanasan

disarankan dimulai dari suhu kamar yang ditingkatkan secara

perlahan hingga suhu mencapai 45°𝐶. Suhu ini merupakan suhu

yang dapat diterima dengan baik untuk menjaga morfologi sel dan

jaringan dengan kualitas yang baik. Peningkatan suhu pada larutan

fiksasi dapat juga dilakukan dengan suhu yang lebih tinggi, sampai

65°𝐶, namun perlu diperhatikan jika waktu yang digunakan harus

lebih singkat (BPPSDMK, 2017).

b. Waktu penetrasi

Waktu penetrasi optimal untuk proses fiksasi bermacam-

macam diantara jenis-jenis larutan fiksatif yang ada dan juga jenis

sel yang ada di larutannya. Perhitungan waktu penetrasi larutan

fiksatif menjadi pertimbangan dalam “mengejar” waktu autolysis

dari sel atau jaringan yang terdapat di pusat terdalam suatu jaringan

20
tersebut. Waktu penetrasi diharuskan mencapai titik pusat terdalam

sebelum proses autolysis berjalan. Pertimbangan waktu penetrasi

selain mengejar waktu autolysis adalah tingkat sirkulasi penerimaan.

Ketika bagian dalam dari jaringan tidak sempat terfiksasi maka akan

ada kemungkinan gambaran sediaan mikroskopis yang terdistorsi

sebagian (BPPSDMK, 2017).

c. Tingkat Keasaman (pH)

Tingkat keasaman suatu larutan (pH) dapat menjadi penting

ketika larutan yang digunakan dalam fiksasi mengandung

formaldehid. pH yang diberikan diharapkan sesuai dengna pH sel

yaitu 6,8 − 7,2. Ketika kondisi larutan fiksasi mengandung

Formaldehid akan membentuk asam format dan menghasilkan

larutan asam yang akan bereaksi dengan hemoglobin dan

menghasilkan pigmen artefak (asam Hematin Formaldehid).

Namun ketika larutan fiksasi memiliki pH basa, maka kemungkinan

yang terjadi adalah sel yang mengalami pembengkakan. Pada kasus

tertentu asam kadang-kala diperlukan seperti penggunaan asam

asetat maupun asam pikrat (Bouin). Hal ini biasa dilakukan ketika

waktu fiksasi diharapkan lebih cepat dibanding penggunaan

formalin atau karena penggunaan lainnya seperti peningkatan

kekontrasan, namun perlu diperhatikan ketika pemberian larutan

yang bersifat asam dalam waktu yang lama, akan membuat sel

mengkerut dan lebih rentan terhadap kerusakan fisik (BPPSDMK,

2017).

21
b. Jenis Larutan Fiksasi

Penetrasi jaringan tergantung pada kemampuan difus masing-

masing larutan fiksatif yang akan digunakan. Larutan formalin dan

alcohol dapat menembus sel dengan baik, sedangkan larutan dengan

glutaraldehid memiliki kemampuan menembus sel atau difusi yang

buruk. Salah satu cara untuk mengatasi ini adalah dengan memotong

organ dengan ukuran ketebalan yang lebih tipis dari ukuran standar

(Ganjali, 2013).

22
6. Kriteria Penilaian Kualitas Mikroskopis Sediaan
Tabel 2.1 Kriteria Penilaian Kualitas Mikroskopis Sediaan
Skala
No Struktur Deskripsi
Nominal
1 Inti Sel Inti tidak dapat diidentifikasi 0
Inti sel tidak jelas 1
Inti sel kurang jelas 2
Inti sel jelas 3
2 Sitoplasma Sitoplasma tidak dapat
0
diidentifikasi
Sitoplasma dan jaringan ikat
1
tidak jelas
Sitoplasma dan jaringan ikat
2
kurang jelas
Sitoplasma dan jaringan ikat
3
jelas
3 Keseragaman Keseragaman warna tidak
0
warna pada dapat diidentifikasi
preparat Warna pada preparat tidak
1
seragam
Keseragaman warna pada
2
preparat kurang
Warna pada preparat seragam 3
Sumber : Kriteria ini dikembangkan dari (Ariyadi & Suryono, 2017) dan
disetujui oleh dr. Desy Armalina M.Si, Med

Keterangan :

Gambar 2.3. Keterangan Hasil Pewarnaan

23
7. Skoring Kualitas Mikroskopis Sediaan
Tabel 2.2 Skoring Kualitas Mikroskopis Sediaan
No Deskripsi Nilai
1 Tidak Baik 0–3
2 Kurang Baik 4–6
3 Baik 7–9
Sumber : Kriteria ini dikembangkan dari (Prasetiawan E., Sabri E.,
& Ilyas S., 2012) dan disetujuioleh dr. Desy Armalina M.Si, Med

24
B. Kerangka Teori

Gambar 2.4. Flowchart Kerangka Teori

25

Anda mungkin juga menyukai