Anda di halaman 1dari 51

LAPORAN PRAKTIKUM MIKROTEKNIK

MEMBUAT SEDIAAN DARAH


METODE OLES (SMEAR)

Disusun oleh :

Nama : Citra Ayu Widya Ningrum


NPM : F1D016065
Kelompok : VIII (Delapan)
Hari/Tanggal : Senin, 19 Februari 2018
Dosen Pengampu : 1. Dra. Novia Duya, M.Si
2. Hari Marta Saputra, S.Si., M.Sc
Asisten : 1. Ayu Wulandari (F1D014017)
2. Uci Cahlia (F1D015030)
3. Muhammad Adiguna Rabbuka (F1D015039)

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BENGKULU
2018
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Histologi adalah ilmu yang mempelajari tentang jaringan tubuh dan cara
jaringan ini menyusun organ-organ. Jaringan kebanyakan merupakan jaringan
filamen dan serat yang saling terjalin, baik selular maupun non selular dengan
lapisan membranosa. Histologi mencakup semua aspek biologi jaringan, yang
berfokus pada mekanisme susunan dan struktur sel dalam mengoptimalkan fungsi
yang spesifik untuk setiap organ (Mescher, 2012).
Jaringan dibentuk oleh dua komponen yang saling berinteraksi yaitu, sel
dan matriks ekstrasel. Matriks ekstrasel terdiri atas banyak jenis molekul, dan
kebanyakan diantaranya sangat rumit dan membentuk struktur kompleks seperti
serabut kolagen dan membran basal. Fungsi utama yang dulu dikatakan sebagai
fungsi matriks ekstrasel adalah sebagai penunjang mekanis bagi sel-sel,
mengangkut nutrien ke sel-sel, dan membawa katabolit dan produk sekresi. Kita
kini mengetahiu bahwa, meskipun menghasilkan matriks ekstrasel, sel tersebut
dipengaruhi dan terkadang diatur oleh molekul-molekul matriks. Jadi, terdapat
semacam interaksi intensif antara sel-sel dan matriks, dengan sejumlah komponen
matriks yang dikenali dan tertambat pada reseptor-reseptor di permukaan
sel (Eroschenko, 2003).
Setiap jaringan fundamental dibentuk oleh beberapa jenis sel dan secara
khas dibentuk oleh asosiasi sel dan matriks ekstrasel yang spesifik. Asosiasi yang
khas ini mempermudah pengenalan sejumlah besar subtipe jaringan oleh
mahasiswa. Kebanyakan organ dibentuk oleh kombinasi. Kombinasi yang tepat
dari jaringan-jaringan tersebut memungkinkan berfungsinya setiap organ dan
organisme secara keseluruhan. Ukuran sel dan matriksnya yang kecil
menyebabkan histologi bergantung pada penggunaan mikroskop, sehingga kita
bisa membuat sendiri preparat jaringan tentang apus sel darah (Mescher, 2012).
Preparat adalah tindakan atau proses pembuatan maupun penyiapan
sesuatu menjadi tersedia, specimen patologi maupun anatomi yang siap dan
diawetkan untuk penelitian dan pemeriksaan. Sediaan apus darah ini tidak saja
untuk mempelajari bentuk masing-masing sel darah, tetapi juga dapat digunakan
untuk menghitung perbandingan antar masing-masing jenis sel darah (Dorland,
2002).
Darah adalah jaringan cair yang terdiri atas dua bagian yaitu plasma darah
dan sel darah. Sel darah terdiri dari tiga jenis yaitu eritrosit, leukosit dan
trombosit. Volume darah secara keseluruhan adalah satu per dua belas berat badan
atau kira-kira lima liter. Sekitar 55% adalah plasma darah, sedang 45% sisanya
terdiri dari sel darah (Evelyn, 2008).
Pembuatan preparat apus darah ini menggunakan suatu metode yang
disebut metode oles (metode smear) yang merupakan suatu sediaan dengan jalan
mengoles atau membuat selaput (film). Film darah (sediaan oles) dapat diwarnai
dengan berbagai macam metode. Metode pewarnaan ini banyak digunakan untuk
mempelajari morfologi sel-sel darah, sel-sel lien, sel-sel sumsum dan juga untuk
mengidentifikasi parasit-parasit darah misalnya Tripanosoma, Plasmodia dan lain-
lain dari golongan protozoa. (Sundoro, 1983).
Praktikum ini bertujuan membuat sediaan darah dengan menggunakan
metode oles (smear) sebagai keterampilan dalam pembuatan preparat dan
pengamatan perbedaan sitologi darah yang telah dibuat.
1.2. Tujuan
1. Mahasiswa dapat mempelajari dan mengamati pembuatan sediaan darah
dengan metode oles (smear).
2. Mahasiswa dapat membedakan perbedaan sitologi darah pada amfibi, aves
dan mamalia.
3. Mahasiswa memahami kegunaan pembuatan sediaan darah dengan metode
oles (smear).
4. Mengetahui perbedaan dan fungsi dari eritrosit dan bermacam - macam
leukosit.
5. Mengetahui persentase normal bermacam – macam leukosit dan
membandingkan dengan hasil pengamatan.
BAB II
LANDASAN TEORI
Darah adalah suatu suspensi sel dan fragmen sitoplasma yang dapat
dianggap sebagai jaringan pengikat dalam arti luas, karena pada dasarnya darah
terdiri atas unsur-unsur sel dan substansi interseluler yang berbentuk plasma.
Fungsi utama dari darah adalah mengangkut oksigen yang diperlukan oleh sel-sel
diseluruh tubuh. Darah manusia bisa dijadikan suatu preparat untuk diamati,
prosedur yang paling sering dilakukan dalam pembuatan preparat atau jaringan
sediaan histology atau irisan jaringan yang dapat dipelajari dengan bantuan
mikroskop cahaya. Di bawah mikroskop cahaya, jaringan diamati melalui berkas
cahaya yang menembus jaringan. Karena jaringan dan organ biasanya terlalu tebal
untuk ditembus cahaya, jaringan tersebut harus diiris menjadi lembaran-lembaran
tipis yang translusendan kemudian diletakkan diatas kaca objek sebelum jaringan
tersebut diperiksa (Mescher, 2012).
Sediaan jaringan mikroskop yang ideal harus dibuat sedemikian rupa
sehingga jaringan pada sediaan tersebut tetap memiliki struktur dan komposisi
molekul yang sama seperti di tubuh. Prosedur atau tahapan-tahapan yang
dilakukan dalam pembuatan sediaan atau preparat jaringan, yaitu :
1.      Fiksasi
Jika sediaan yang permanen dikehendaki, jaringan harus difiksasi. Untuk
menghindari penceraan jaringan oleh enzim di dalam sel (autolisis) atau oleh
bakteri dan untuk mempertahankan struktur dan komponen molekul, potongan
organ harus segera diolah dengan tepat, sebelum atau secepat mungkin setelah
organ atau darah yang di ambil dari manusia dan hewan. Pengolahan fiksasi ini
dapat dilakukan secara kimiawi. Pada fiksasi kimiawi, jaringan biasanya direndam
dalam larutan yang menstabilkan atau dalam bahan pengikat yang disebut bahan
fiksasi. Karena bahan fiksasi memerlukan waktu untuk meresap menjadi fragmen
kecil sebelum difiksasi untuk mempermudah penetrasi bahan fiksasi dan untuk
menjamin pengawetan jaringan. Penyuntikan intravaskular bahan fiksasi dapat
dilakukan. Dalam hal ini, bahan fiksasi sampai dijaringan secara cepat melali
pembuluh darah sehingga fiksasi semakin baik (Mescher, 2012).
Salah satu bahan fiksasi terbaik untuk pemeriksaan mikroskop cahaya
rutin adalah larutan dapar isotonik dari formaldehid 37%. Proses kimiawi yang
terlibat dalam fiksasi tersebut sangat rumit dan tidak selalu dimengerti dengan
baik. Formaldehida dan glutaraldehida, yaitu bahan fiksasi lain yang banyak
dipakai, diketahui bereaksi dengan gugus amina (NH2)  protein jaringan. Pada
glutaraldehida, kerja fiksasinya diperkuat karena zat ini merupakan dialdehida
yang dapat membentuk ikatan silang antar protein (Mescher, 2012).
2.      Pemendaman dan Pemotongan
Jaringan umum nya dipendam dalam medium padat untuk memudahkan
pemotongan. Untuk memperoleh sediaan yang tipis dengan mikrotom, jaringan
harus diinfiltrasi sesudah fiksasi dengan substansi pemendaman yang memberi
sifat padat pada jaringan. Bahan pemendaman meliputi parafin, dan damar plastik.
Parafin digunakan secara rutin untuk mikroskop cahaya, damar digunakan baik
untuk mikroskop cahaya maupun elektron. Proses pemendaman parafin, atau
impregnasi jaringan, biasanya didahului oleh dua tahap utama yaitu, pengeringan
dan penjernihan. Air mula-mula dihilangkan dari potongan jaringan yang ingin
dipendam dengan cara merendamnya berturut-turut secara bertahap dalam larutan
etanol dan air, biasanya dari etanol 70% sampai 100% (pengeringan). Etanol
kemudian digantikan dengan larutan yang dapat bercampur dengan alkohol dan
media pemendaman. Sewaktu jaringan diinfiltrasi oleh pelarut, jaringan biasanya
menjadi jernih (transparan). Setelah jaringan tersebut dipenuhi (terimpregnasi)
dengan larutan, jaringan dimasukkan dalam parapin cair di dalam oven, pada suhu
52-60 . Panas akan menguapkan pelarut dalam jaringan dan celah jaringan yang
ditinggalkan akan diisi dengan parafin. Setelah dikeluarkan dari oven, potongan
jaringan dengan parafin didalamnya akan menjadi keras. Jaringan yang akan
dipendam dalam damar plastik juga menjadi kering dalam etanol dan bergantung
pada jenis damar yang dipakai dan kemudian diinfiltrasi dengan larutan plastik
(Mescher, 2012).
Cara lain untuk menyediakan sediaan jaringan adalah pemaparan jaringan
dengan pembekuan cepat. Pada proses ini, jaringan difiksasi melalui pembekuan
dan sekaligus menjadi keras dan siap untuk dipotong. Pembekuan jaringan juga
efektif untuk studi histokimiawi enzim yang sangat sensitif atau molekul kecil,
karena pembekuan tidak seperti fiksasi dan tidak menginaktifkan sebagian besar
enzim (Eroschenko, 2003).
3.      Pemulasan
Agar dapat di lihat dibawah mikroskop, sediaan harus di pulas atau
diwarnai karena kebanyakan jaringan tidak berwarna. Oleh sebab itu sejumlah
metode pemulasan jaringan telah dirancang agar berbagai unsur jaringan jelas
terlihat dan dapat dibedakan satu dengan yang lain. Pewarna memulas berbagai
unsur jaringan kurang lebih secara selektif. Kebanyakan pewarna ini bersifat
sebagai senyawa asam atau basa dan cenderung membantuk ikatan elektrostatik
(garam) dengan radikal yang dapat terionisasi di jaringan. Komponen jaringan
dengan muatan negatif (anionik) lebih mudah dipulas dengan pewarna basa dan
disebut basofilik, komponen kationik, seperti protein dengan banyak gugus amino
yang terionisasi, memiliki afinitas untuk pewarna asam dan disebut asidofilik
(Eroschenko, 2003).
Dari semua pewarna, kombinasi hematoksilin dan eosin (H & E) paling
banyak dipakai. Hematoksilin memulas DNA inti sel dan struktur asam lainnya di
sel menjadi biru. Sebaliknya, eosin memulas sitoplasma dan kolagen menjadi
merah muda. Banyak pewarna lain, seperti trikrom, dipakai pada prosedur
histologi lainnya (Mescher, 2012).
Pada banyak prosedur, struktur tertentu seperti inti sel menjadi terlabel,
tetapi bagian sel lain sering tidak nampak. Dalam hal ini pulasan balik digunakan
untuk memberikan informasi tambahan, pemulasan balik biasanya adalah pewarna
tunggal yang diberikan pada suatu sediaan dengan metode lain untuk
mempermudah pengenalan inti atau struktur lain (Eroschenko, 2003).
Pembuatan sediaan apus darah biasanya digunakan dua buah kaca sediaan
yang sangat bersih terutama harus bebas lemak. Satu buah kaca sediaan bertindak
sebagai tempat tetes darah yang hendak diperiksa dan ynag lain bertindak sebagai
alat untuk meratakan tetes darah agar didapatkan lapisan tipis darah (kaca perata).
Darah dapat diperoleh dari tusukan jarum pada ujung jari. Sebaiknya tetesan darah
pertama dibersihkan agar diperoleh hasil yang memuaskan. Tetesan yang kedua
diletakan pada daerah ujung kaca sediaan yang bersih. Salah satu ujung sisi
pendek kaca perata diletakan miring dengan sudut kira- kira 45o tepat didepan
tetes darah menyebar sepanjang sisi pendek kaca perata, maka dengan
mempertahankan sudutnya, kaca perata digerakan secara cepat sehingga
terbentuklah selapis tipis darah diatas kaca sediaan. Setelah sediaan darah
dikeringkan pada suhu kamar barulah dilakukan pewarnaan sesudah difiksasi
menurut metode yang dipilih, yaitu metode Giemsa dan Wright yang merupakan
modifikasi metode Romanosky (Maskoeri, 2008).
Zat warna yang digunakan dalam metode Romanovsky adalah Giemsa
yang sebelumnya telah diencerkan dengan aquades. Sediaan apus yang telah
dikeringkan diudara, difixir dulu dengan methyl alkohol selama 3-5 menit.
Semakin lama pewarnaan yang dilakukan maka intensitasnya menjadi semakin
tua. Preparat apus yang yang telah selesai dibuat kemudian diamati dibawah
mikroskop dengan perbesaran 100x. Gambar yang didapat dalam hasil
menunjukan sel-sel butir darah baik eritrosit, leukosit, trombosit, atau yang lain.
Darah adalah cairan tubuh yang mengalir dalam pembuluh dan beredar ke seluruh
tubuh. Darah pada umumnya terdiri atas unsur-unsur seluler dan matrik cairan
yang disebut plasma. Darah terdiri atas plasma dan komponen-komponen seluler
yaitu sel darah merah atau eritrosit, sel darah putih atau leukosit dan trombosit.
Plasma merupakan cairan yang mengandung ion-ion dan molekul organik
meliputi protein, elektrolit, nitrien, materi sampah, zat terlarut dan materi terlarut
(Maskoeri, 2008).
Sel darah pada umumnya dikenal ada tiga tipe yaitu: eritrosit, lekosit dan
trombosit. Eritrosit manusia dalam keadaan normal berbentuk cakram bulat
bikonkaf dengan diameter 7,2 µm tanpa inti, lebih dari separoh komposisi eritrosit
terdiri dari air (60%) dan sisanya berbentuk substansi koloidal padat. Sel ni
bersifat elastis dan lunak. Lekosit (sel darah putih) terdapat pada bagian pinggir
sel darah, lekosit ini dibagi menjadi dua yaitu granulosit dan agranulosit.
Granulosit terbagi menjadi tiga yaitu Netrofil (terbanyak) berbentuk bulat dengan
diameter 10-12 µm, Eosinofil yang strukturnya lebih besar daripada netrofil (10-
15 µm) dan Basofil (paling sedikit) dengan ukuran hampir sama dengan netrofil
tetapi basofil sangat sulit ditemukan. Agranulosit dibagi menjadi dua yaitu
Limfosit yang mempunyai ukuran yang bevariasi, inti bulat sitoplasma
mengelilingi inti seperti cincin dan berperan penting dalam imunitas tubuh, dan
Monosit (sel lekosit terbesar), intinya berbentuk oval kadang terlipat-lipat dapat
bergerak dengan membentuk pseudopodia. Tipe ketiga yaitu Trombosit (disebut
juga keping darah), berbentuk sebagai keping-keping sitoplasma lengkap dengan
membran yang mengelilinginya, Trombosit terdapat khusus pada sel darah
mamalia (Dorland, 2002).
Untuk melihat struktur sel-sel darah dengan mikroskop cahaya pada
umumnya dibuat sediaan apus darah. Sediaan apus darah ini tidak hanya
digunakan untuk mrmpelajari sel darah tapi juga digunakan untuk menghitung
perbandingan jumlah masing-masing sel darah. Pembuatan preparat apus darah ini
menggunakan suatu metode yang disebut metode oles (metode smear)
yangmerupakan suatu sediaan dengan jalan mengoles atau membuat selaput (film)
dan substansi yang berupa cairan atau bukan cairan di atas gelas benda yang
bersih dan bebas lemak untuk kemudian difiksasi, diwarnai dan ditutup dengan
gelas penutup (Handari, 2003).
Beberapa langkah yang harus diperhatikan dalam pembuatan preparat dengan
metode smear sebagai berikut
1. Ketebalan film
2. Film difiksasi agar melekat erat pada gelas benda sehingga yakin bahwa
sel-sel di dalamnya strukturnya tetap normal.
3. Memberi warna (pewarnaan)
4.  Menutup dengan gelas penutup
Film darah (sediaan oles) ini dapat diwarnai dengan berbagai macam
metode termasuk larutan-larutan yang sederhana antara lain: pewarnaan Giemsa,
pewarnaan acid fast, pewarnaan garam, pewarnaan wright, dan lain-lain.
Pewarnaan Giemsa disebut juga pewarnaan Romanowski. Metode pewarnaan ini
banyak digunakan untuk mempelajari morfologi sel-sel darah, sel-sel lien, sel-sel
sumsum dan juga untuk mengidentifikasi parasit-parasit darah misal
Tripanosoma, Plasmodia dan lain-lain dari golongan protozoa. Hasil pewarnaan
dengan Giemsa pada darah manusia akan memperlihatkan eritrosit berwarna
merah muda, nukleolus lekosit berwarna ungu kebiru-biruan, sitoplasma lekosit
berwarna sangat ungu muda, granula dari lekosit eosinofil berwarna ungu tua,
granula dari lekosit netrofil dan lekosit basofil berwarna ungu (Mescher, 2012).
BAB III
METODELOGI PRAKTIKUM
3.1. Waktu dan Tempat
Praktikum Mikroteknik Hewan tentang pembuatan Sediaan Darah dengan
Metode Oles (Smear) dilakukan pada hari Senin,19 Februari 2018, pukul 13.00-
17.00 WIB di Laboratorium Biologi Dasar Gedung Basic Science, Jurusan
Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Bengkulu.
3.2. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah jarum franke/
lancet pena, spuit 1 cc, testube (eppendorf) 2,5 mL, gelas benda, kaca penutup,
kapas, tisu, tusuk gigi, killing bottle, mikroskop cahaya, bak bedah, alkohol 70%,
EDTA bubuk, pemulas Giemsa 3%, kloroform, katak, burung merpati, dan Homo
sapiens.
3.3. Cara Kerja
Koleksi darah katak
1. Katak dinarkose didalam killing bottle yang sebelumnya telah dimasukkan
kapas dan kloroform.
2. Katak ditelentangkan diatas bak bedah yang telah dialasi dengan tisu
kering.
3. Permukaan kulit katak ditetesi dengan air, dengan menggunakan jarum
injeksi 1 cc, darah dihisap dari jantung. Jarum injeksi kemudian
diposisikan didaerah thoraks-abdominal yang mengarah ke jantung.
4. Dengan perlahan darah dihisap sebanyak 0,5 sampai 1 cc dan segera
dimasukkan ke dalam tube eppendorf yang sebelumnya sudah diberi
bubuk EDTA.
5. Testube digoyang dengan perlahan (kira-kira 10 kali, caranya dengan
memegang testube dengan ibu jari dan jari telunjuk).
6. Dilanjutkan dengan cara kerja apusan darah.
Koleksi darah burung
1. Burung ditelentangkan diatas bak bedah yang telah dialas dengan tisu
tanpa proses anestesi, hati-hati dalam handling burung.
2. Salah satu sayap burung direntangkan, diperhatikan dengan baik bagian
yang terdapat pembuluh darah (jika diperlukan,bulu-bulu dapat dicabut
sedikit). Jika sudah terlihat, bagian sayap diusap dengan kapas yang telah
diberi alkohol 70%.
3. Dengan menggunakan jarum injeksi 1 cc, darah dihisap sebanyak 0,5
sampai 1 cc dan segera dimasukkan ke dalam tube eppendorf yang
sebelumnya sudah diberi bubuk EDTA.
4. Testube digoyang dengan perlahan (kira-kira 10 kali, caranya dengan
memegang testube dengan ibu jari dan jari telunjuk).
5. Sayap diusap kembali dengan kapas yang telah diberi alkohol 70%.
6. Dilanjutkan dengan cara kerja apusan darah.

Koleksi darah manusia


1. Darah diambil dari jari ke-3 atau ke-4 dari tangan yang tidak dominan.
2. Jari diusap dengan kapas yang telah dibasahi dengan alkohol 70%.
3. Dengan menggunakan pena lancet, jari ditusuk dan dibuang tetesan darah
pertama dengan mengusapnya menggunakan tisu steril.
4. Diambil tetesan darah kedua dan selanjutnya diletakkan pada sisi kanan
gelas benda.
5. Jari diusap lagi dengan kapas yang telah diberi alkohol 70% dan ditekan
dengan ibu jari agar darah tidak keluar.
6. Dilanjutkan dengan cara kerja apusan darah.

Pembuatan sediaan apusan darah


1. Disediakan dua gelas
2. Darah ditetesi dibagian kanan gelas benda I yang bersih dan bebas lemak
(kira-kira 2,5 cm dari tepi kanan kaca benda). Untuk darah katak dan
burung, darah diambil dari tube eppendorf dengan menggunakan dua
batang tusuk gigi.
3. Diambil gelas benda II, kemudian disentuhkan salah satu ujungnya pada
kaca benda I disebelah kiri tetesan darah sehingga kedua gelas benda
tersebut membentuk sudut 45° ke kanan.
4. Gelas benda II digerakkan ke kanan (digeser perlahan-lahan), sehingga
tetesan darah berada disudut antara gelas benda I dan II membentuk garis
tipis.
5. Gelas benda II digerakkan ke kiri dengan cepat (digeser dengan cepat dan
teratur) tanpa merubah besar sudutnya. Darah akan membentuk lapisan
(film) tipis yang homogen di gelas benda I.
6. Dibiarkan beberapa saat hingga film darah mengering.

Pewarnaan sediaan apusan darah


1. Sediaan difiksasi dengan metanol semama 5 menit. Fiksasi dapat
dilakukan dengan cara merendam sediaan didalam staining jar yang diisi
metanol atau dengan meneteskan fiksatif ke permukaan sediaan yang telah
diletakkan diatas rak secara horizontal. Bila dilakukan cara kedua, maka
sediaan harus ditutup supaya tidak kekeringan karena metanol mudah
menguap.
2. Sediaan diatur dirak. Kemudian diteteskan pewarna giemsa diatas sediaan
hingga apusan tertutup seluruhnya oleh pewarna, dibiarka selama 30
menit.
3. Sediaan dicuci dengan aquades dan dibiarkan mengering pada suhu
ruangan. Sebaiknya gelas benda diposisikan vertikal agar air tidak
mongering diatas apusan darah yang akan mengganggu pengamatan.
4. Sediaan diamati dengan mikroskop cahaya dari perbesaran kecil hingga
perbesaran besar.
5. Hasil pengamatan di foto pada setiap perbesaran 4x, 10, dan 100x. Pada
perbesara 100x , lensa objek diberi minyak imersi.
6. Diamati perbedaan sel darah merah katak, burung, dan manusia.
7. Pengamatan dan pembuatan HEMOGRAM leukosit, dibuat tabel
jumlah leukosit dari setiap 100 leukosit, dengan cara :
a. Leukosit diamati dari perbesaran lemah hingga diperoleh area yang
akan diperiksa, yaitu bidang pandang ynag terdapat pada sel-sel darah.
Kemudia dipindahkan ke perbesaran kuat.
b. Disiapkan tabel hemogram

Jenis Bidang pandang Σ


leukosit 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Basofil
Eosinofil
Neutrofil
Limfosit
Monosit
Jumlah 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 100

c. Jenis dan jumlah leukosit ditentukan pada setiap bidang


pandang.
d. Persentase dari masing-masing jenis leukosit dihitung.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Pengamatan Sel Darah Amfibi, Aves, dan Mamalia
Adapun hasil dari praktikum pembuatan preparat sel darah amfibi, aves,
dan mamalia adalah sebagai berikut:
Gambar Sel darah Amfibi, Aves dan Mamalia

Sel Darah
Katak

Sel Darah
Burung Merpati

Sel Darah
Manusia

4.2. Pembahasan
Pada praktikum kali ini, percobaan yang dilakukan yaitu pembuatan
sediaan darah dengan metose oles (smear) berupa pembuatan preparat darah
katak, burung, dan mamalia. Pada pembuatan preparat darah katak, burung, dan
mamalia digunakan metode smear apus tipis, karena hanya menggunakan pewarna
tunggal yaitu Giemsa. Sebelum dilakukan pewarnaan dilakukan terlebih dahulu
proses fiksasi selama lima menit dengan menggunakan alkohol 70%, proses ini
bertujuan untuk mempertahankan sel agar tidak rusak dan sediaan melekat erat
pada gelas benda. proses pewarnaan selama 30 menit menggunakan pewarna
giemza. Tujuan pewarnaan pada pembuatan preparat adalah untuk mempertajam
atau memperjelas berbagai elemen tissu, terutama sel-selnya sehingga dapat
dibedakan dan ditelaah dengan mikroskop. Tanpa pewarnaan tissu akan
transparan sehingga sulit untuk diamati. Setelah proses pewarnaan, preparat dicuci
dengan menggunakan aquadest, hal ini bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa
pewarna. Penggunakan bubuk EDTA berfungsi sebagai antikoagulan, yaitu untuk
mencegah terjadinya penggumpalan darah.
Pada sel darah pada katak dan aves mempunyai bentuk eritrosit yang
lonjong dengan inti di tengahnya. Hasil ini berbanding terbalik dengan eritrosit
pada mamalia yang tidak memiliki inti dan berbentuk seperti cakram bikonkaf.
Tidak adanya inti sel pada sel darah merah pada mamalia adalah merupakan
bentuk adaptasi sistem transportasi pada organisme yang kompleks. Tidak adanya
inti sel ini memberikan keuntungan pada organisme tersebut sebagai alat
transportasi oksigen keseluruh tubuh secara efektif dan efisien. Tidak adanya
nukleus memberi ruang cukup banyak untuk pengangkutan oksigen, juga
menjadikan struktur eritrosit menjadi bikonkaf sehingga jarak tepi ke pusat sel
menjadi lebih pendek dalam hal ini dapat mempercepat pertukaran oksigen dari
sel darah merah ke jaringan. Pada pengamatan leukosit pada manusia diketahui
dengan sel yang memiliki inti berwarna ungu. Warna ungu disebabkan oleh inti
leukosit yang basa sehingga mudah menyerap zat warna giemsa yang ada di sel
darah manusia. Menurut referensi yang kami peroleh, jenis sel darah putih yang
paling banyak adalah netrofil dengan presentase sebesar 50-70 % sedangkan yang
paling sedikit adalah basofil, yaitu 0,1-0,4 %.
Pada pengamatan sediaan sel darah katak, burung maupun mamalia
intinya terlihat jelas dengan bentuk eritrosit lonjong. Tetapi pewarnaan pada
sediaan darah burung tidak terwarnai secara sempurna. Pada sediaan darah
manusia tidak terlihat bentuk-bentuk leukositnya, yang ada hanya gumpalan-
gumpalan saja. Karena bentuk leukosit tidak terlihat maka kami tidak bisa
membuat HEMOGRAM dan tidak dapat menghitung berapa jumlah dari
basophil, eosinophil, neutrophil, limfosit, dan monosit.
Banyaknya kekurangan dan kesalahan pada sediaan darah yang telah
dibuat dapat disebabkan karena olesan atau smear pada sediaan terlalu tebal,
lamanya objek disimpan sebelum diamati dan kurangnya ketelitian praktikan.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Salah satu metode yang digunakan dalam pembuatan sediaan mikroskopis
adalah metode oles (smear method). Metode oles adalah suatu cara
membuat sediaan mikroskopis dengan jalan mengoles atau membuat
selaput tipis dari bahan yang berupa cairan atau bukan cairan di atas gelas
obyek.
2. Sitologi eritrosit pada mamalia dewasa tidak berinti, sedangkan pada
bangsa burung, dan amfibi memilki inti.
3. Pembuatan sediaan darah dengan metode oles berguna untuk mengamati
dan mempelajari sitologi darah, sum-sum tulang merah, pulpa putih lien,
dan eksudat dari berbagai jaringan yang meradang.
4. Eritrosit berfungsi mengangkut oksigen ke seluruh tubuh serta leukosit
berfungsi sebagai pertahanan dan perbaikan tubuh organisme. Leukosit
terbagi menjadi granulosit polirfonuklear (neutrofil, eusinofil, basofil) dan
agranulosit monokulear (monosit dan eosinofil).
5. Neutrofil memiliki persentase terbanyak dibandingkan tipe leukosit
lainnya.
5.2. Saran
1. Pratikan lebih berhati-hati dalam proses pengambilan darah katak, burung,
dan manusia.
2. Pratikan dapat menjaga kebersihan dan ketertiban dalam praktikum.
3. Pratikan dalam membuat preparat darah harus dilakukan secara hati-hati
dan terampil dan juga untuk menghasilkan preparat yang baik dan jelas,
sebaiknya pada waktu melakukan pengapusan diusahakan setipis mungkin.
DAFTAR PUSTAKA

Dorland, Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta : EGC.
Eroschenko, Victor P., 2003. Atlas Histologi 'di Fiore' dengan Korelasi
Fungsional. Jakarta : EGC
Evelyn C.Pearce. 2008. Anatomi Dan Fisiologi Untuk Para Medis. Jakarta: PT.
Gramedia.
Handari. 2003. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: UGM Press.
Maskoeri, Jasin. 2008. Ilmu Alamiah Dasar. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Mescher, A.L. 2012. Histologi Dasar Junqueira Teks dan Atlas. Jakarta: EGC.
Sundoro, S.H. 1983.Metode Pewarnaan (Histologis dan Histokimia). Jakarta:
Bharata Karya Aksara.
LAMPIRAN
No Gambar Keterangan
1.

Darah Katak

2.

Darah Burung

3.

Preparat sediaan setelah


Fiksasi

4.

Proses Pewarnaan Sediaan

5.

Setelah Pewarnaan

LAPORAN PRAKTIKUM MIKROTEKNIK


MEMBUAT SEDIAAN SUPRAVITAL
EPITELIUM MUKOSA MULUT

Disusun oleh :

Nama : Citra Ayu Widya Ningrum


NPM : F1D016065
Kelompok : VIII (Delapan)
Hari/Tanggal : Senin, 26 Februari 2018
Dosen Pengampu : Dra. Novia Duya, M.Si
Asisten : 1. Ayu Wulandari (F1D014017)
2. Uci Cahlia (F1D015030)
3. Muhammad Adiguna Rabbuka (F1D015039)

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BENGKULU
2018

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Histologi adalah ilmu yang mempelajari tentang jaringan tubuh dan cara
jaringan ini menyusun organ-organ. Jaringan kebanyakan merupakan jaringan
filamen dan serat yang saling terjalin, baik selular maupun non selular dengan
lapisan membranosa. Histologi mencakup semua aspek biologi jaringan, yang
berfokus pada mekanisme susunan dan struktur sel dalam mengoptimalkan fungsi
yang spesifik untuk setiap organ (Mescher, 2012).
Jaringan dibentuk oleh dua komponen yang saling berinteraksi yaitu, sel
dan matriks ekstrasel. Matriks ekstrasel terdiri atas banyak jenis molekul, dan
kebanyakan diantaranya sangat rumit dan membentuk struktur kompleks seperti
serabut kolagen dan membran basal. Fungsi utama yang dulu dikatakan sebagai
fungsi matriks ekstrasel adalah sebagai penunjang mekanis bagi sel-sel,
mengangkut nutrien ke sel-sel, dan membawa katabolit dan produk sekresi.
Meskipun menghasilkan matriks ekstrasel, sel tersebut dipengaruhi dan terkadang
diatur oleh molekul-molekul matriks. Jadi, terdapat semacam interaksi intensif
antara sel-sel dan matriks, dengan sejumlah komponen matriks yang dikenali dan
tertambat pada reseptor-reseptor di permukaan sel (Eroschenko, 2003).
Jaringan tubuh manusia terdiri dari jaringan epitelium, jaringan ikat,
jaringan otot dan jaringan syaraf. Jaringan epitel adalah jaringan yang terdiri atas
sel-sel yang sangat rapat tanpa adanya zat antar sel. Epitel tidak mempunyai
pembuluh darah, namun semua epitel tumbuh pada jaringan ikat yang mempunyai
pembuluh darah. Epitel dipisahkan dengan jaringan ikat melalui membrana basalis
(Subowo, 2006).
Jaringan epitelium (epithelial tissue) terdapat dalam wujud lapisan-lapisan
sel yang terkemas dengan rapat. Pada banyak epitelium, sel-sel tersebut dipatri
menjadi satu oleh tight junction (persambungan ketat). Permukaan bebas pada
epitelium itu terpapar ke udara atau cairan, sementara sel-sel yang berada di
bagian dasar rintangan itu melekat ke suatu membran basal (Campbell, 2004).
Istilah epithelium berasal dari kata epi yang berarti upon atau di atas dan
thele yang berarti nipple atau punting. Penggunaan istilah epitel meluas untuk
semua bentuk lapisan yang terdiri atas lembaran sel-sel (cellular membrane) baik
yang bersifat tembus cahaya ataupun yang tidak. Hal tersebut didukung dengan
hasil penelitian embriologis yang menyimpulkan bahwa sel-sel epitel pada
permukaan tumbuh ke dalam jaringan pengikat di bawahnya dan berkembang
menjadi kelenjar (Subowo, 2006).
Jaringan epitel mempunyai ciri-ciri umum terdiri atas sel-sel yang saling
berdekatan, yang berbentuk pipih. Hanya ada sedikit material antarsel. Jaringan
bersifat avaskular atau tanpa pembuluh darah. Permukaan atas epithelium bebas,
atau terbuka bagi bagian luar tubuh atau rongga tubuh bagian dalam. Permukaan
basal berada pada jaringan ikat. Pembelahan sel pada epithelium terjadi secara
terus menerus untuk menggantikan sel-sel yang rusak (Evelyn, 2008).
Sel-sel epitel mukosa mulut terdiri dari empat lapisan berturut-turut dari
yang paling dalam ke permukaan yaitu lapisan germinativum/basalis, lapisan
spinosum, lapisan granulosum dan lapisan corneum. Stratum basalis terdiri dari
selapis sel berbentuk kubus yang berbatasan dengan lamina propia dan
mengandung sel-sel induk yang secara kontinyu bermitosis dan anak selnya
dikirimkan ke lapisan yang lebih superfisial (Sundoro, 1983).
Untuk membuat preparat jaringan segar dari sel epitelium mukosa mulut,
digunakan metode supravital. Metode supravital merupakan suatu metode untuk
mendapatkan sediaan dari sel atau jaringan yang hidup. Sel-sel yang hidup juga
dapat menyerap warna. Zat warna yang biasa dipakai untuk pewarnaan supravital
adalah janus green, neutral red, atau methylene blue dengan kosentrasi tertentu.
Preparat supravital merupakan preparat yang bersifat sementara sehingga harus
segera diamati setelah pembuatan. Pengamatan terhadap epithelium ini akan
nampak inti dari sel-sel yang teramati (Rudyatmi, 2016).
1.2. Tujuan
1. Mahasiswa memahami pembuatan sediaan supravital epitelium mukosa
mulut.
2. Mahasiswa memahami kegunaan pembuatan sediaan supravital untuk
keperluan diagnosis kesehatan.

BAB II
LANDASAN TEORI
Lapisan mukosa adalah lapisan basah yang berkontak dengan lingkungan
eksternal.Terdapat pada saluran pencernaan, rongga hidung, dan rongga tubuh
lainnya.Pada rongga mulut, lapisan ini dikenal dengan oral mucous membrane
atau oral mucosa. Mukosa oral mempunyai fungsi utama yaitu sebagai pelindung
jaringan yang lebih dalam pada rongga mulut. Fungsi lainnya, antara lain
sebagai organ sensoris, aktifitas kelenjar, dan sekresi. Sebagai lapisan terluar,
oral mukosa akan melindungi jaringan rongga mulut dari lingkungan eksternal.
Oral mukosa akan melakukan proses adaptasi pada epitel dan jaringan ikat untuk
menahan gaya mekanis dan abrasi yang disebabkan aktifitas normal seperti
mastikasi. Selain itu, lapisan epitel mulut akan bertindak sebagai pelindung
terhadap populasi mikroorganisme yang tertinggal di rongga mulut yang
dapat menyebabkan infeksi bila masuk ke dalam jaringan (Subowo, 2006).
Fungsi sensoris oral mukosa akan memberikan informasi mengenai hal-
hal yang terjadi pada rongga mulut. Dalam rongga mulut, reseptor akan merespon
terhadap pengaruh suhu, sentuhan dan rasa sakit. Reseptor tertentu dalam rongga
mulut juga akan meerespon terhadap kebutuhan akan air. Refleks seperti menelan,
muntah, dan salivasi juga di inisiasi oleh reseptor - reseptor pada oral mukosa
(Rudyatmi, 2016).
Secara histologis mukosa mulut terdiri dari 2 lapisan. Yang pertama
adalah lapisan epitelium, yang melapisi di bagian permukaan luar, terdiri dari
berlapis-lapis sel mati yang berbentuk pipih dimana lapisan sel-sel yang mati ini
selalu diganti terus-menerus dari bawah, dan sel-sel ini disebut dengan stratified
squamous epithelium. Struktur epitel rongga mulut dari arah luar ke dalam
adalah stratum keratinosum,stratum granulosum, stratum spinosum, stratum
basalis. Yang kedua adalah lamina propria ini terdapat ujung - ujung saraf
rasa sakit, raba, suhu dan cita rasa (Mescher, 2012).
Pengamatan kondisi patologis yang terjadi di dalam rongga mulut
dapat dilakukan dengan membuat preparat apusan yang diperoleh dari sepotong
kecil jaringan mukosa mulut yang telah ditetesi dengan garam fisiologis,
kemudian dipulas, dilekatkan dalam medium dengan indeks refraksi yang sesuai
di atas sebuah kaca objek kemudian ditutup dengan suatu kaca tutup. Setelah itu,
baru dilakukan pemulasan atau pewarnaan yang bertujuan meningkatkan kontras
alami dan untuk memperjelas berbagai unsur sel dan jaringan. Setelah dipulas,
kelebihan warna dihilangkan melalui proses dehidrasi (penarikan molekul air dari
dalam jaringan) yang dilakukan dengan cara menyerap sisa cairan garam fisiologis
dan pewarna pada gelas objek (Balaciart, 2004).
Menurut (Dorland, 2002) asal, fungsi dan ciri-ciri sel epitel yaitu tumbuh
dari lapisan ectoderm dan entoderm embrio, walaupun ada sejumlah epitel yang
berasal dari mesoderm seperti pada systema vrogenitale dan cortex glandula
suprarenalis. Epitel yang berbentuk membrane dan berasal dari mesoderm ada dua
yaitu :
1. Endothelium merupakan susunan sel-sel yang membatasi permukaan
dalam pembuluh darah, jantung dan pembuluh limfa.
2. Mesothelium merupakan susunan sel-sel yang membatasi rongga tubuh
yang besar yang yang juga menutupi beberapa organ tertentu, seperti
misalnya melapisi peritoneum, pleura dan pericardium.
Fungsi umum dari membrane epitel itu sendiri yaitu diantaranya :
1. Proteksi atau perlindungan, karena epitel melapisi permukaan dalam dan
luar tubuh.
2. Absorbsi, misalnya epitel yang membatasi permukaan dalam usus
berperan dalam proses penyerapan hasil-hasil pencernaan makanan yang
bekerja secara selektif.
3. Lubrikasi, sebagian besar saluran-saluran dalam tubuh permukaannya
harus tetap basah, sehingga epitel yang menutupi harus menghasilkan
cairan tertentu.
4. Sekretoris, dalam hal ini epitel bertindak sebagai kelenjar.
5. Neurosensoris, untuk sebaran sel epithelium dalam tubuh manusia antara
lain sel epitel di mulut.
Jaringan epithelium mempunyai ciri-ciri umum sebagai berikut :
1. Epithelium hanya terdiri atas sel-sel yang saling berdekatan, yang
berbentuk pipih. Hanya ada sedikit material antarsel.
2. Jaringan bersifat avaskular atau tanpa pembuluh darah.
3. Permukaan atas epithelium bebas, atau terbuka bagi bagian luar tubuh atau
rongga tubuh bagian dalam. Permukaan basal berada pada jaringan ikat.
4. Pembelahan sel pada epithelium terjadi secara terus menerus untuk
menggantikan sel-sel yang rusak.
Sel adalah unit terkecil dari suatu organisme. Terdiri dari dua macam sel
yaitu sel gamet dan sel somatik.Sel somatik mengalami pembelahan yang dsebut
pembelahan mitosis. Pembelahan mitosis akan menghasilkan dua sel anak yang
mempunyai kopi genom yang sama. Waktu yang diperlukan kurang lebih 30-
60 menit.Interfase adalah periode diantara dua pembelahan yang terjadi berturut-
turut.Mitosis memiliki empat tahap pembelahan yaitu profase, metaphase,
anafase, telofase. Munculnya kromosom sebagai suatu benang langsing
pada nukleus menandakan dimulainya proses profase. Kromosom terus
memendek dan menebal. Masing-masing terdiri dari dua untai parallel yang
disebut dengan kromatid yang saling berhubungan dengan sentromer. Bersamaan
dengan proses ini, sentriol bereplikasi dan berpindah ke kutub yang berlawanan,
diikuti dengan pecahnya selaput sel yang menandakan akhir tahap profase
(Campbell, 2004).
Metafase dimulai dengan tersusunnya kromosom membentuk bidang
ekuator. Kejadian dini yang terjadi dalam anafase adalah membelahnya sentromer
menjadi dua sehingga tiap kromatid mempunyai satu sentromer sehingga dapat
bergerak kearah yang berlawanan sebagai komosom terpisah. Kromosom
berkumpul di kumparan dan tak lama kemudian selaput inti terbentuk. Nuklei
dibentuk kembali dan selaput inti yang tadinya tidak menyatu, akhirnya menjadi
sisterna perinukleus utuh. Setelah terpapar suatu substansi genotoksik dalam
waktu yang cukup lama, maka akan terjadi suatu kesalahan atau kegagalan pada
pembelahan mitosis terutama pada proses anafase. Fragmentasi kromosom yang
tidak mengandung sentromer (asentrik), maka fragmen tersebut tidak dapat ditarik
ke kutub sehingga akan tertinggal. Pada fase selanjutnya, nukleus yang tidak
mempunyai sentromer tersebut tetap diperlakukan sama dengan nukleus normal.
Olehkarena itu, maka mikronukleus yang terbentuk dapat terpisah sempurna
dengan inti sel sejati (Balaciart, 2014).
Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi frekuensi pembentukan
mikronukleus pada individu seperti kebersihan rongga mulut, kebiasaan merokok,
dan jenis kelamin. Wanita mempunyai frekuensi mikronukleus yang lebih tinggi
daripada laki-laki. Karena kromosom X mempunyai kecenderungan mengalami
keterlambatan replikasi sehingga meningkatkan frekuensi pembentukan
mikronukleus. Stratum basalis mempunyai sel puncak atau stem sel yang
mempunyai kemampuan untuk melakukan pembelahan, sehingga mikronukleus
sebenarnya hanya terbentuk pada stratum basalis saja. Namun, bukan hal
yang mustahil untuk dapat menemukan mikronukleus pada lapisan yang
lebih superfisial seperti stratum spinosum, stratum granulosum ataupun stratum
keratinosum. Hal tersebut disebabkan oleh kemampuan migrasi dari sel-sel
yang berada di stratum basalis dalam proses regenerasi sel pada stratum
keratinosum. Mikronukleus tidak akan direduksi oleh sistem metabolisme sel
setelah terbentuk (Rudyatmi, 2016).
Penggunaan mikronukleus sebagai indikasi dari kerusakan kromosom
pertama kali diusulkan oleh Countryman dan Heddle pada tahun 1976 dan
kemudian terus dikembangkan penggunaannya, sehingga memungkinkan
mikronukleus untuk memberikan hasil spesifik. Akibatnya penggunaan biomarker
ini telah banyak digunakan untuk mengevaluasi keberadaan dan tingkat kerusakan
kromosom pada populasi manusia yang terpapar subtansi genotoksik baik dalam
kehidupan profesi, lingkungan, atau sebagai akibat dari gaya hidup. Beberapa
komunitas dari populasi umum dapat juga dikatakan beresiko tinggi karena
proses genetik atau karena penyakit tertentu mempengaruhi mereka. Pola
pembentukan mikronukleus dalam individu adalah sangat tergantung pada lama
paparan substansi genotoksik. Frekuensi mikronukleus akan bervariasi secara
signifikan antara sampel. Kelainan lain seperti nukleus bertunas, sel binukleus
yang memperlihatkan dua nukleus dalam satu sel, pykotic sel dimana terjadi
penyusutan nukleus, kondensasi kromatin, terjadinya sel karyorrecthic yaitu
agregasi kromatin penyebab fragmentasi nukleus, serta karyolitic sel yang berarti
hancurnya nukleus. Terbentuknya binukleus memperlihatkan adanya gangguan
sitokinesis akibat adanya kelainan pada sepindel sel, sedangkan kondensasi
kromatin, karyorrecthic, pykotic dan karyolitic menandakan terjadinya apoptosis
atau kematian sel (Balaciart, 2014).

BAB III
METODELOGI PRAKTIKUM
3.1. Waktu dan Tempat
Praktikum Mikroteknik Hewan tentang Pembuatan Sediaan Supravital
Epitelium Mukosa Mulut dilakukan pada hari Senin, 26 Februari 2018, pukul
13.00- 17.00 WIB di Laboratorium Biologi Dasar Gedung Basic Science, Jurusan
Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Bengkulu.
3.2. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah tangkai tusuk
gigi pipih steril dan bersih, pipet tetes, gelas benda, kaca penutup, tisu, mikroskop,
pewarna Metilen Blue (MB), garam fisiologis 0,9 %, sel epitel mukosa mulut
Homo sapiens, dan minyak imersi.
1.1. Cara Kerja
1. Alat dan bahan diletakkan di meja kerja.
2. Satu tetes garam fisiologis diteteskan ke bagian tengah gelas benda yang
bersih dan bebas lemak.
3. Dengan menggunakan tusuk gigi pipih, sel epitel rongga mulut diambil
dari bagian pipi dalam dengan cara menggerakkan tusuk gigi ke atas dank
e bawah sebanyak 10 – 15 kali.
4. Tusuk gigi tersebut dioleskan ke larutan fisiologis di permukaan kaca
benda, dibolak-balikkan tususk gigi dan dibuat gerakkan memutar.
Kemudian tusuk gigi dibuang ke dalam tempat sampah.
5. Kaca benda ditutup dengan kaca penutup secara hati-hati agar tidak
terbentuk gelembung udara.
6. Satu tetes metilen blue diteteskan di samping kaca penutup, pewarna
dibiarkan masuk ke dalam. Digunakan tisu di sisi sebelah kaca benda
untuk menghisap larutan garam fisiologis. Proses pewarnaan dibiarkan
selama 5 menit.
7. Kelebihan metilen blue dihisap dengan tisu. Kemudian tisu dibuang ke
tempat sampah.
8. Sediaan diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya dari perbesaran
4x, 10x dan 100x (jangan lupa diberi minyak imersi pada pengamatan
dengan lensa objektif 100x).
9. Diulangi langkah kerja 1 – 9 untuk setiap kelompok praktikum.
10. Dibandingkan hasil pengamatan untuk setiap individu dan diantara
perokok aktif dan bukan perokok. Perhatikan jika ditemukan abnormalitas
pada nukleus seperti mikronuklei, nukleus bertunas, binukleus, fragmen
nukleus, sel karyorrecthic serta karyolitic sel.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Dari pengamatan yang telah dilakukan tentang Pembuatan Sediaan
Supravital Epitelium Mukosa Mulut diperoleh hasil pengamatan sebagai berikut :
Gambar 1. Sel Epitelium Mukosa Mulut Normal
Perbesaran Gambar Keterangan

Sel epitel mukosa mulut


4x

10x Sel epitel mukosa mulut

Membran sel

Sel epitel mukosa mulut

40x Nukleus
Sitoplasma

Membran sel

Gambar 2. Sel Epitelium Mukosa Mulut Perokok Aktif


Perbesaran Gambar Keterangan

4x Sel epitel mukosa mulut

Sel epitel mukosa mulut

10x
Membran sel

Binukleus
Nukleus

Sitoplasma

40x Sel epitel mukosa mulut

Membran sel
Piknosis

Kariolisis

4.2. Pembahasan
Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis, epithelium mukosa mulut
termasuk dalam epithelium skuamosa simplek atau epitel pipih selapis karena
terdiri dari satu lapis sel tunggal, pipih, nucleus sentral dan bulat. Dalam
praktikum ini menggunakan pewarna methylen blue 0,25% dalam garam fisiologi
(NaCl 0,9%), bertujuan agar sel tetap hidup dan tidak lisis atau krenasi. Inti sel
epitel berwarna gelap dikarenakan inti sel bersifat asam sedangkan methylene
blue merupakan pewarna basa. Preparat ini merupakan termasuk kedalam
preparat sementara, Preparat sementara adalah preparat yang keawetannya hanya
sementara atau hanya beberapa jam saja tidak lebih dari 24 jam. Preparat
supravital epitelium mukosa mulut ini tidak dilakukan pengawetan dengan cara
apapun, namun tetap dengan memberikan pewarnaan pada preparat ini yaitu
dengan pewarna methylen blue. Pewarnaan ini termasuk kedalam pewarnaan
tunggal yaitu pewarnaan yang hanya menggunakan satu macam zat warna saja.
Pada pengamatan di bawah mikroskop, untuk sel epitel mukosa
mulut individu normal dengan perbesaran 4x sudah teramati jelas sel
epitel mukosa mulut tetapi pada perbesaran ini inti sel tidak dapat terlihat jelas.
Pada perbesaran 10x sel-sel epitel dapat teramati lebih jelas dengan inti terwarna
biru dengan kontras jika dibandingkan dengan sitoplasma serta membrane selnya
telah terlihat. Pada perbesaran 40x tampak sel epitel, membrane sel, sitoplasma
dan inti sel dapat terlihat sangat jelas terlihat terwarna lebih kuat yaitu lebih
biru, karena inti sel yang bersifat asam sehingga lebih mudah untuk menyerap
warna ketika terwarnai oleh pewarna basa yaitu methylene blue. Pada preparat ini
masih terlihat sel yang menumpuk karena pada saat pembuatan sel epitel tidak
terbentang dengan baik.
Pada pengamatan selanjutnya untuk sel epitel mukosa mulut individu
perokok aktif dengan yang diamati dengan mikroskop pada perbesaran 4x telah
terlihat sel epitel mukosa mulut, tetapi sel epitel tersebut sangat menumpuk dan
terdapat kotoran makanan. Pada perbesaran 10x sel epitel mukosa mulut mulai
terlihat dengan jelas, terlihat jelas membran selnya namun inti sel belum terlihat
dengan jelas. Pada perbesaran 40x sel epitel mukosa mulut telah terlihat sangat
jelas dengan sel yang menumpuk, kemudian terlihat membran sel, sitoplasma dan
inti selnya. Namun terlihat adanya abnormalitas yang terjadi, dimana terlihat
kelainan nukleus sel seperti mikronuklei ataupun binukleus yang memperlihatkan
adanya dua nukleus dalam satu sel, kemudian terlihat juga piknosis sel dengan
nukleus yang terlihat lebih bundar namun berukuran lebih kecil dan gelap akibat
adanya penyusustan pada sel nukleus. Selain itu terlihat adanya abnormalitas lain
seperti kariolisis, dimana sel nukleus mengalami lisis sehingga rongga kosong
hanya dibatasi membran nukleus karena hancurnya inti sel. Terbentuknya sel
binukleus memperlihatkan adanya gangguan sitokinesis karena kelainan spindle
sel, sedangkan terbentuknya piknosis sel dan kariolisis sel memperlihatkan
terjadinya apoptosis atau kematian sel. Adanya kelainan pada nucleus tersebut
dapat menjadi indikasi bahwa terdapat gangguan/ kerusakan pada sel epitel
mukosa mulut.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.2. Kesimpulan
Dari pengamatan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa :
1. Untuk membuat preparat jaringan segar dari sel epitelium mukosa mulut,
digunakan metode supravital. Metode supravital merupakan suatu metode
untuk mendapatkan sediaan dari sel atau jaringan yang hidup. Sel-sel
yang hidup juga dapat menyerap warna. Zat warna yang biasa dipakai
untuk pewarnaan supravital adalah janus green, neutral red, atau
methylene blue dengan kosentrasi tertentu.
2. Pembuatan sediaan supravital epitel mukosa mulut dapat digunakan untuk
keperluan diagnosis kesehatan karena dapat digunakan sebagai indikasi
adanya kerusakan/ gangguan pada nukleus sel epitel mukosa
mulut,kemudian dapat digunakan pada studi epidemiologi seperti
mengevaluasi adanya perubahan DNA/genetik, serta biomarker digunakan
untuk mengevaluasi keberadaan dan tingkat kerusakan kromosom pada
populasi manusia yang terpapar subtansi genotoksik baik dalam
kehidupan profesi, lingkungan, atau sebagai akibat dari gaya hidup.
5.3. Saran
Pada pengamatan selanjutnya disarankan agar :
1. Dalam pembuatan sediaan supravital epitelium mukosa mulut, disarankan
agar dapat digunakan pewarna lain seperti Janus Green ataupun Nuetral
Red sehingga dapat diketahui perbedaannya dengan pewarna Metilen
Blue (MB).
2. Praktikan disarankan agar saat melakukan pengambilan sel epitelium
mukosa mulut harus secara hati-hati agar tidak terjadi kerusakan jaringan
sebelum digunakan sebagai preparat sediaan.
DAFTAR PUSTAKA
Balaciart,D.2004.Evaluation of Keratinization and Agnors Count in
Exfoliative Cytology of Normal Oral Mucosa from Smokers and Non-
Smokers. MED ORAL 2004; 9: 197 - 203.
Campbell, R.M. 2004. Biologi. Edisi Kelima. Jilid 3. Jakarta : Erlangga.
Dorland, N. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta : EGC.
Eroschenko, V.P. 2003. Atlas Histologi 'di Fiore' dengan Korelasi Fungsional.
Jakarta : EGC
Evelyn, C.P. 2008. Anatomi Dan Fisiologi Untuk Para Medis. Jakarta: PT.
Gramedia.
Mescher, A.L. 2012. Histologi Dasar Junqueira Teks dan Atlas. Jakarta: EGC.
Rudyatmi, E. 2016. Bahan Ajar Mikroteknik. Semarang: Jurusan Biologi FMIPA
UNNES.
Subowo. 2006. Histologi Umum. Jakarta : PT Bumi Aksara.
Sundoro, S.H. 1983.Metode Pewarnaan (Histologis dan Histokimia). Jakarta:
Bharata Karya Aksara.
LAPORAN PRAKTIKUM MIKROTEKNIK
MEMBUAT SEDIAAN POLEN
METODE ASETOLISIS

Disusun oleh :

Nama : Citra Ayu Widya Ningrum


NPM : F1D016065
Kelompok : VIII (Delapan)
Hari/Tanggal : Senin, 07 Mei 2018
Dosen Pengampu : Dra. R.R. Sri Astuti, MS
Asisten : 1. Ayu Wulandari (F1D014017)
2. Uci Cahlia (F1D015030)
3. Muhammad Adiguna Rabbuka (F1D015039)

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BENGKULU
2018
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bunga merupakan modifikasi suatu tunas (batang dan daun) yang bentuk,
warna, dan susunannya disesuaikan dengan kepentingan tumbuhan. Oleh karena
itu,  bunga ini berfungsi sebagai tempat berlangsungnya penyerbukan dan
pembuahan yang akhirnya dapat dihasilkan alat-alat perkembangbiakan.
Mengingat pentingnya bunga bagi tumbuhan maka pada bunga terdapat sifat-sifat
yang merupakan penyesuaian untuk melaksanakan fungsinya sebagai penghasil
alat perkembangbiakan. Pada umumnya, bunga mempunyai sifat-sifat seperti
berikut (Alfiansyah, 2012) :
1.    Mempunyai warna menarik.
2.    Biasanya berbau harum.
3.    Bentuknya bermacam-macam.
4.    Biasanya mengandung madu.
Serbuk sari dan spora pada berbagai jenis tumbuhan memiliki bentuk yang
berbeda, terkadang ia berbentuk seperti piramid, segi tiga, bulat atau sepertitelur
tergantung pada jenis pohonnya. Dinding serbuk sari terdiri dari dua lapisan,yaitu
eksin (lapisan luar) tersusun atas sporopolenin, dan intin (lapisan dalam) yang
tersusun atas selulosa. Struktur dinding serbuk sari, khususnya bagian
eksin,merupakan salah satu karakter yang digunakan dalam identifikasi. Struktur
haluseksin dapat dibedakan menjadi tiga tire, yaitu tektat, semitektat, dan intektat
(Budipramana, 1992).
Polen-polen yang tidak mencapai sel kelamin jantan akan jatuh dan ikut
terendapkan di sungai, rawa-rawa, danau, lagoon sampai zona litoral.Spora
dihasilkan oleh tumbuh-tumbhan dari kelompok Ptrophyta, Bryophyta, dan
sebagian Thallophya. Golongan Pterophyta (paku-pakuan), ada yang
menghasilkan dua jenis spora (heterospore) (Sutjahjo, 2005).
Butir polen sering berperan dalam taksonomi di taraf familia atau
dibawahnya. Dinding serbuk sari terdiri dari dua lapisan, yaitu eksin (lapisan
luar)tersusun atas sporopolenin, dan intin (lapisan dalam) yang tersusun atas
selulosa. Struktur dinding serbuk sari, khususnya bagian eksin, merupakan salah
satukarakter yang digunakan dalam identifikasi. Struktur halus eksin dapat
dibedakanmenjadi tiga tire, yaitu: tektat, semitektat dan intektat. Metode asetolisis
adalah metode yang digunakan dalam pembuatan preparat polen dan spora.
Prinsip dasar asetolisis, adalah memecah atau melisis dinding polen (eksin dan
intin) dan spora dengan menggunakan asam kuat (Campbell, dkk., 2009).
1.2. Tujuan
Praktikum Mikroteknik Tumbuhan tentang Pembuatan Sediaan Pollen
Metode Asetolisis bertujuan agar :
1. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami cara pembuatan sediaan
pollen dari anther Ixora coccinea L. dengan metode asetolisis.
2. Mahasiswa dapat mengetahui struktur dan bentuk pollen dari anther Ixora
coccinea L serta bagian-bagiannya.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Pollen
Pollen merupakan gametofit jantan pada tumbuhan Gymnospermae dan
Angiospermae, sedangkan spora biasanya dihasilkan tumbuhan non vaskuler
seperti alga, jamur, lumut serta tumbuhan vaskuler tingkat rendah yaitu paku-
pakuan. Melalui pembelahan meiosis, sel induk mikrospora membelah manjadi
empat sel haploid yang disebut mikrospora atau sering disebut sebagai butir
pollen (serbuk sari) dan spora (Kapp, 1969). 
2.2. Struktur dan Bentuk Pollen
Walker (1975) menyatakan bahwa serbuk sari merupakan alat penyebaran
dan perbanyakan generatif dari tumbuhan berbunga. Secara sitologi, serbuk sari
merupakan sel dengan tiga nukleus, yang masing-masing dinamakan inti
vegetatif, inti generatif I, dan inti generatif II. Sel dalam serbuk sari dilindungi
oleh dua lapisan (disebut intine untuk yang di dalam dan exine yang di bagian
luar), untuk mencegahnya mengalami dehidrasi. Perbedaan antara pollen
monokotil dan dikotil antara lain:
1) Butir pollen monokotil umumnya lonjong dibandingkan dikotil.
2) Pada monokotil butir pollen tetrad tunggal yang biasanya tersusun dalam
satu    bidang, sedangkan dikotil susunannya biasaanya tetrahedral

Morfologi Umum Pollen (Sewyer, 1981)


Ilmu yang mempelajari tentang pollen dan spora disebut palinologi yang
umumnya lebih terfokus pada struktur dinding (Erdtman, 1969).Selain sebagai
tempat gametofit jantan danalat penyerbukan pada tumbuhan berbunga,serbuk sari
memiliki fungsi dan pentingdalam beberapa bidang meliputi morfologiserbuk sari
dan kaitannya dalam taksonomi,filogeni dan palinologi fosil.Beberapa karakter
dari morfologi serbuksari adalah: simetri, ukuran dan bentuk,struktur dinding
serbuk sari (pollen wall),stratifikasi exine, ornamentasi exine,kerutan/alur dan
lubang. (Agashe & Caulton, 2009)
Daya tahan pollen sangat tinggi karena memiliki exine yang keras dan
secara kimia tidak mudah hancur oleh aktifitas mikroba, tingkat salinitas, kondisi
basah, oksigen rendah, dan kekeringan (Moore et al., 1991). Selain ukuran dan
bentuk, ciri pollen adalah tipe, jumlah dan posisi apertura serta arsitektur
dinding.Ciri morfologi pollen tersebut semakin meningkat penggunaannya dalam
taksonomi, terutama untuk mengoreksi kembali hubungan kekerabatan antara satu
tumbuhan dengan tumbuhan lainnya dalam kelompok-kelompok takson (Erdtman,
1969).
Berbagai variasi pollen dapat digunakan untuk mengetahui arah evolusi
suatu tumbuhan (Moore e tal., 1991), sifat pollen yang mudah melekat pada
berbagai benda membantu dalam penyelidikan kriminal, sedangkan kandungan
protein, karbohidrat dan zat-zat lainnya yang tinggi mempengaruhi kualitas madu
(Bhojwani & Bhatnagar, 1978). Hasil penelitian menunjukkan pula bahwa pollen
adalah penyebab utama alergi pernafasan. Oleh karena itu data tentang pollen
diperlukan untuk menunjang berbagai disiplin ilmu diantaranya taksonomi,
sejarah vegetasi danevolusi flora (Moore etal., 1991). Selain itu juga dapat
menunjang beberapa data antara lain kriminologi, medis dan melittopalinologi
yaitu studi kandungan pollen dalam madu (Bhojwani & Bhatnagar, 1978).
Pollen memiliki dinding yang berfungsi untuk melindungi inti sperma
tumbuhan dari proses desikasi dan iradiasi selama perpindahan dari antera menuju
ke stigma. Butir pollen yang kecil dilapisi oleh lilin dan protein yang berupa
elemen scluptura (Davis, 1999). Menurut Faegri & Iversen (1989) pollen
mempunyai dua lapis dinsing, yaitu lapisan dalam (intine) dan lapisan luar (exine).
Exine tersusun dari sporopollenin sebagai komponen utamanya, yaitu berupa
substansi keras yang berfungsi memberikan daya tahan yang kuat kepada dinding
butir pollen. Sedangkan lapisan intine merupakan dinding pektoselulosa tipis yang
mengelilingi butir pollen yang masak (Fahn, 1991).
Sifat pollen yang penting dalam mempelajari pollen yaitu unit pollen,
polaritas pollen, simetri pollen, bentuk pollen, tipe dan jenis apertura serta
ornamen exine (Erdtman, 1969). Sebagian besar tanaman memiliki bentuk unit
pollen monad. Pada beberapa genus ada yang tetrad, dyad, dan polyad.(Faegri &
Iversen, 1989). Apertura adalah suatu penipisan atau modifikasi dinding spora
atau pollen yang berfungsi untuk jalan keluar isi spora atau pollen (Davis, 1999).
Bentuk polen Perbandingan P/E
Peroblate <4/8
Oblate 4/8 – 6/8
Subspheroidal 6/8 – 8/6
Subspheroidal 6/8 – 7/8
Oblate spheroidal 7/8 – 8/8
Prolate spheriodal 8/8 – 8/7
Subprolate 8/7 – 8/6
Prolate 8/6 – 8/4
Perprolate >8/4
2.3. Ornamentasi Pollen
Dinding luar polen (eksin), terdiri dari dua lapisan, yakni lapisan luar
disebut ekteksin dan lapisan dalam disebut endeksin. Dinding polen (eksin) yang
tersimpan menjadi fosil.Di bagian luar lapisan eksin tersebut terdapat hiasan
(ornamentation/sclupture) yang penting untuk diskripsi polen. Moore dan Webb
(1991), membagi bentuk ornamentasi sbb:
- Psilate :bila permukaan polen halus
- Verrucate :bila polen atau spora mempunyai tonjolan seperti kutil,
biasanya tonjolan lebarnya lebih besar dari tingginya
- Echinate : bila ornamentasinya menyerupai duri
- Striate : bila ornamentasinya memanjang dengan pola parallel
- Reticulate :polen atau spora memiliki pola ornamentasi seperti jarring-
jaring
- Rugulate : apabila elemen ornamentasinya memanjang kesamping
dan tidak teratur
- Clavate : tonjolan ornamentasinya melebar dibangian pangkal
- Perforate :ornamentasinya berupa lubang-lubang dengan diameter
kurang dari satu micrometer
- Gemmete : ornamentasinya baik lebar maupun tinggi tonjolannya
sama ukurannya dan mengkerut pada bagian dasarnya
- Scabrate : memiliki proyeksi elemen dengandiameter lebih dari satu
micrometer dan menyerupai granua sehingga disebut juga granulate
Butir pollen adalah mikrosporaa tumbuhan berbiji yang mengandung
mikrogametofit masak atau belum masak. Serbuk sari atau pollen adalah alat
reproduksi jantan yang terdapat pada tumbuhan dan mempunyai fungsi yang sama
dengan sperma sebagai alat reproduksi jantan pada hewan. Serbuk sari berada
dalam kepala sari (anthera) tepatnya dalam kantung yang disebut ruang serbuk
sari (theca). Setiap anthera rata-rata memiliki dua ruang serbuk sari yang
berukuran relatif besar (Septina, 2006).
2.4. Metode Asetolisis
Asetolisis adalah salah satu metode pembuatan preparat serbuk sari yang
menggunkan prinsip melisiskan dinding sel serbuk sari dengan asam asetat glasial
serta asam sulfat pekat sebagai bahan tambahan. Hal ini bertujuan untuk
mendapatkan hasil amatan morfologi dinding serbuk sari ornamentasi dari serbuk
sari tersebut. Serbuk sari yang digunakan dalam pembuatan preparat ini haruslah
merupakan serbuk sari yang matang. Serbuk sari yang matang ini dapat ditandai
dengan sudah tidak ada air dalam serbuk sari tersebut, jika serbuk sari dipatahkan
maka hanya akan seperti tepung saja (Suntoro, 1983).
Langkah-langkah dari proses asetolisis ini antara lain adalah fiksasi,
pemanasan, pencucian, pewarnaan (staining), penutupan (mounting), dan
labelling. Langkah pertama yaitu fiksasi serbuk sari.
2.5. Fiksasi
Fiksasi adalah suatu usaha untuk mempertahankan elemen-elemen sel atau
jaringan, dalam hal ini serbuk sari agar tetap pada tempatnya, dan tidak
mengalami perubahan bentuk maupun ukuran dengan media kimia sebagai
fiksatif. Fiksasi umumnya memiliki kemampuan untuk mengubah indeks bias
bagian-bagian sel, sehingga bagian-bagian dalam sel tersebut mudah terlihat di
bawah mikroskop. Tetapi tidaklah berarti banyak, karena tanpa diwarnai bagian-
bagian jaringan tidak akan dapat jelas dibedakan satu sama lain, dan untungnya
fiksatif mempunyai kemampuan untuk membuat jaringan mudah menerap zat
warna. Dari proses fiksasi ini, fiksatif diharapkan akan (Bia, 2011) :
1.    Menghentikan proses metabolisme dengan cepat
2.    Mengawetkan elemen sitologis dan histologis
3.    Mengawetkan bentuk yang sebenarnya
4.    Mengeraskan atau memberi konsistensi material yang lunak biasanya secara
koagulasi, dari protoplasma dan material-material yang dibentuk oleh
protoplasma.
Suatu larutan fikasasi (fiksatif) yang baik akan mematikan serta
mengawetkan semua isi sel dalam ukuran serta posisi semula dalam sel. Akan
tetapi bila ditangani secara kasar, bahan akan rusak sebelum dimasukkan ke dalam
larutan pengawet (Suntoro, 1983). Pembuatan preparat serbuk sari dengan fiksatif
yang tepat akan memberikan hasil yang baik dimana serbuk sari akan berada
dalam kondisi yang baik seperti sebelum pengawetan.

BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1. Waktu dan Tempat
Praktikum Mikroteknik Tumbuhan tentang Pembuatan Sediaan Pollen
Metode Asetolisis dilakukan pada hari Senin, 02 April 2018, pukul 13.00- 17.00
WIB di Laboratorium Biologi Dasar Gedung Basic Science, Jurusan Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Bengkulu.
3.2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah botol vial, tabung reaksi,
beaker glass, kaca arloji, pinset, silet, kuas, batang pengaduk, sentrifuge, penjepit
tabung sentrifuge, jarum aluminium, waterbath, pipet tetes, kaca benda, kaca
penutup dan mikroskop.
Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah serbuk sari bunga Ixora
coccinea L., larutan GAA (Glacial Acetic Acid), larutan H 2S04 pekat, larutan
aquades, pewarna safranin, gliserin , alkohol dan xilol.
3.3. Prosedur Kerja
1. Diambil anther pada Ixora coccinea L. dengan menggunakan silet
kemudian dibuka untuk diambil serbuk sarinya.
2. Dilakukan fiksasi dengan merendam serbuk sari menggunakan beberapa
tetes larutan GAA ke dalam botol vial selama ± 2 jam.
3. Larutan serbuk sari diletakkan ke dalam kaca arloji untuk dicacah
serbuknya kemudian dipindahkan kedalam tabung sentrifuge dan diaduk
menggunakan batang pengaduk hingga keruh. Larutan yang telah keruh
selanjutnya disentrifuge dengan kecepatan 1500 rpm selama ± 15 menit.
4. Setelah disentrifuge, sisa larutan dibuang dengan kuas dan diganti dengan
campuran larutan GAA dan H2S04 pekat dengan perbandingan 9:1 (H2S04
ditambahkan setetes demi setetes ke dalam GAA).
5. Tabung kemudian dipanaskan ke dalam waterbath menggunakan penjepit
tabung selama ± 15 menit. Setelah dingin tabung kemudian disentrifuge
kembali lalu cairan dibuang dan diganti dengan larutan aquades.
6. Jika larutan berwarna gelap dilakukan bleaching menggunakan larutan
aquades sebanyak 2 kali, setiap kali pencucian harus disentrifuge kembali.
7. Larutan aquades kemudian dibuang dan diganti dengan beberapa tetes
pewarna safranin selama ± 15 menit. Setelah itu diganti dengan larutan
gliserin.
8. Larutan gliserin kemudian dibuang dan diganti dengan larutan alkohol dan
xilol masing-masing selama ± 10 menit. Setiap kali penggantian, larutan
dibuang kembali dengan tingkat perbandingan larutan :
Alkohol : Xilol (3 : 1)
Alkohol : Xilol (1 : 1)
Alkohol : Xilol (1 : 3)
9. Pada perlakuan terakhir larutan tidak dibuang, larutan diteteskan beberapa
tetes di atas kaca benda dan kemudian diamati dibawah mikroskop.
10. Dilihat adanya bentuk pollen dan diamati bagian-bagiannya.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Dari pengamatan yang telah dipraktikumkan tentang Pembuatan Sediaan
Pollen Metode Asetolisis, diperoleh hasil pengamatan sebagai berikut :
Perbesaran Gambar Keterangan
Hasil Pengamatan

Exine
Intine
Apertura
P : 400X
Pore
Sitoplasma
Ornamen

Literatur
Apertura

Ornamen
Exine
P : 400X Intine

Pore

4.2. Pembahasan
Pada pengamatan pembuatan sediaan pollen, digunakan anther dari Ixora
coccinea L., dimana tujuannya adalah untuk mendapatkan serbuk sari yang berisi
pollen. Pollen adalah mikrosporaa tumbuhan berbiji yang mengandung
mikrogametofit masak atau belum masak. Serbuk sari atau pollen adalah alat
reproduksi jantan yang terdapat pada tumbuhan dan berada dalam kepala sari
(anthera) tepatnya dalam kantung yang disebut ruang serbuk sari (theca). Setiap
anthera rata-rata memiliki dua ruang serbuk sari yang berukuran relatif besar.
Pada pengamatan ini digunakan metode asetolisis dimana metode ini
merupakan metode yang digunakan dalam pembuatan preparat serbuk sari yang
menggunakan prinsip melisiskan dinding sel serbuk sari dengan asam asetat
glasial serta asam sulfat pekat sebagai bahan tambahan. Hal ini bertujuan untuk
mendapatkan hasil amatan morfologi dinding serbuk sari ornamentasi dari serbuk
sari tersebut. Serbuk sari yang digunakan dalam pembuatan preparat ini haruslah
merupakan serbuk sari yang matang. Serbuk sari yang matang ini dapat ditandai
dengan sudah tidak ada air dalam serbuk sari tersebut, jika serbuk sari dipatahkan
maka hanya akan seperti tepung saja.
Proses pertama yaitu fiksasi dengan larutan GAA dimana bertujuan untuk
mempertahankan elemen-elemen sel atau jaringan, dalam hal ini serbuk sari agar
tetap pada tempatnya, dan tidak mengalami perubahan bentuk maupun ukuran
dengan media kimia sebagai fiksatif. Setelah fiksasi, dilakukan centrifuge dengan
tujuan untuk dapat memisahkan serbuk sari dan asam asetat glacial, karena serbuk
sari berukuran kecil dan bercampur dengan asam asetat glacial sehingga serbuk
sari susah untuk diambil, maka diperlukan centrifuge. Dari hasil centrifuge ini
akan terbentuk supernatan asam asetat dan endapan serbuk sari. Asam asetat
kemudian dibuang, sehingga didapatkan serbuk sari yang mengendap di dasar
tabung centrifuge saja.
larutan campuran antara asam asetat glasial dan H2SO4 pekat dengan
perbandingan 9 : 1 pada tabung centrifuge berisi endapan serbuk sari.
Penambahan larutan kemudian diikuti dengan pemanasan campuran larutan
tersebut di dalam waterbath (penangas air). Pemanasan larutan ini bertujuan untuk
mempercepat terjadinya reaksi yang terjadi pada serbuk sari. Penggunaan larutan
campuran antara asam asetat glasial dan H2SO4 pekat dengan perbandingan 9 : 1
ini berfungsi untuk untuk melisiskan selulosa pada dinding serbuk sari (asetolisis),
sehingga setelah dibuat preparat, morfologi eksin serbuk sari akan terlihat lebih
jelas dibandingkan dengan sebelum asetolisis. Selain itu, asetolisis ini juga
berfungsi seperti proses fiksasi, yaitu memelihara atau mempertahankan struktur
dari serbuk sari (Khasim, 2002).
Setelah pemanasan dalam waterbath selesai, serbuk sari dalam larutan
akan berubah warna menjadi agak kecoklatan. Dilakukan centrifuge kembali
dengan tujuan untuk mendapatkan serbuk sari yang telah terasetolisis dan
memisahkannya dari larutan GAA dan H2SO4 pekat. Hasil centrifuge adalah
supernatan di bagian atas tabung centrifuge, yaitu larutan asam asetat glasial dan
asam sulfat pekat serta endapan di dasar tabung, yaitu serbuk sari yang telah
terasetolisis. Supernatan kemudian dibuang secara hati-hati agar serbuk sari yang
sudah mengendap tidak menyebar kembali kedalam larutan dan ikut terbuang.
Setelah itu dilakukan bleaching yaitu pencucian serbuk sari dengan
aquadest sebanyak dua kali pada tabung centrifuge, tujuannya untuk mendapatkan
serbuk sari yang sudah bersih. Perlakuan tersebut dilakukan dua kali untuk
mendapatkan serbuk sari yang bersih tanpa ada sisa zat kimia seperti fiksatif
dalam serbuk sari yang akan dibuat preparat (Khasim, 2002).
Setelah bleaching, dilakukan proses pewarnaan menggunakan larutan
safranin dengan tujuan untuk meningkatkan kontras warna pada serbuk sari dan
sekitarnya sehingga memudahkan dalam pengamatan serbuk sari dibawah
mikroskop. Pewarnaan dapat memperjelas bentuk ornamen dinding sel serbuk sari
serta mempermudah mengetahui ukuran serbuk sari. Safranin adalah suatu
chlorida dan zat warna  basa yang kuat. Zat warna ini tergolong dalam zat warna
golongan azine, yaitu zat warna yang mengandung cincin orthoquinonoid yang
dihubungkan dengan bentuk cincin lainnya melalui 2 atom N. Sebenarnya, zat
warna ini akan mewarnai dengan sangat baik bila jaringan difiksasi dengan larutan
fleming. Dalam pembuatan preparat serbuk sari, pewarnaan serbuk sari
menggunakan safranin hasilnya akan menjadi lebih baik.
Setelah itu, pewarna diganti dengan larutan gliserin, tujuannya yaitu untuk
mengawetkan struktur pollen dalam jangka waktu yang agak lama, kemudian
diganti dengan larutan xilol dan alkohol dengan perbandingan 3 : 1, 1 : 1, dan 1 :
3 tujuannya untuk membersihkan sisa-sisa gliserin dan untuk mempermudah
proses pengamatan dimikroskop.
Setelah dilakukukan pengamatan, didapatkan polen unit dari anther Ixora
coccinea L., adalah monad yang isopolar (bentuk pollen terbagi dua bagian yang
sama menjadi bagian distal dan proksimal) dengan bentuk spheroidal/globose,
yaitu berbentuk bulat. Garis luar yang terbentuk pada penampakan garis polar
adalah circular dengan bentuk prolate. Jika dilihat dari garis equatorial (bagian
distal dan proksimal) berbentuk oblate (bulat memanjang). Bentuk apertura pollen
colporate dengan bentuk ornament pollen microreticulate. Bagian-bagian yang
terlihat yaitu adanya lapisan exine yaitu lapisan luar yang komponen utamanya
terdiri dari sporopolenin yaitu substansi keras yang memberikan daya tahan yang
hebat kepada dinding butir polen dan adanya apertura yaitu area tipis pada exine
yang secara langsung berhubungan dengan pertunasan, kemudian intine yaitu
lapisan dalam berupa dinding pektoselulosa yang tipis dan mengelilingi butir
polen yang masak dan berfungsi untuk melindungi didalam sel serbuk sari.
Terlihat adanya sitoplasma (cairan sel), kemudian pore yaitu pori-pori sebagai
jalan keluar masuk isi serbuk sari dan ornament yang merupakan suatu bentuk
hiasan pada permukaan eksin pollen dari dari Ixora coccinea L., adalah
microreticulate yaitu ornament yang berbentuk seperti jala-jala yang kecil. Hasil
ini sesuai dengan literature ataupun referensi yang kami dapatkan dimana
bentuknya juga monad isopolar (bentuk pollen terbagi dua bagian yang sama
menjadi bagian distal dan proksimal) dengan bentuk spheroidal/globose, yaitu
berbentuk bulat dengan bentuk apertura pollen yang colporate dan bentuk
ornament pollen microreticulate. Bagian-bagian yang tampak adalah exine, intine,
aperture, pore, dan microornament.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Dari pengamatan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa :
1. Untuk membuat sediaan pollen dari anther Ixora coccinea L., digunakan
metode asetolisis yaitu metode yang digunakan dalam pembuatan serbuk
sari dengan prinsip melisiskan dinding sel serbuk sari menggunakan asam
asetat glacial dan asam sulfat pekat.
2. Bentuk unit pollen dari anther Ixora coccinea L., adalah monad isopolar
(bentuk pollen terbagi dua bagian yang sama menjadi bagian distal dan
proksimal) dengan bentuk spheroidal/globose, yaitu berbentuk bulat. Garis
luar yang terbentuk pada penampakan garis polar adalah circular dengan
bentuk prolate. Jika dilihat dari garis equatorial (bagian distal dan
proksimal) berbentuk oblate (bulat memanjang). Bentuk apertura pollen
colporate dengan bentuk ornament pollen microreticulate berupa (jala-jala
yang kecil) dengan bagian-bagiannya berupa exine, intine, apertura, pore,
sitoplasma dan ornament.
5.2. Saran
Pada pengamatan selanjutnya disarankan agar :
1. Mahasiswa lebih memahami metode asetolisis, terutama tahapan dalam
fiksasi dan sentrifuge larutan serta dapat berhati-hati dalam membuang
larutan serbuk sari agar pollen tidak ikut terbuang.
2. Mahasiswa dapat mencari berbagai referensi yang dapat dibandingkan
dengan hasil pengamatan serta untuk mengetahui struktur dan bagian-
bagian yang terlihat pada objek pengamatan.
DAFTAR PUSTAKA

Alfiansyah. 2012. Bagian, Fungsi, dan Struktur Bunga. Jakarta : Gramedia.

Agashe, S. N. and E. Caulton. 2009. PollenAnd Spores: Applications With


SpecialEmphasis On Aerobiology And Allergy. United States of America:
Science Publishers.

Bia. 2011. Pembuatan Preparat Pollen dengan Metode Asetolisis. Jakarta: UI


Press.

Bhojwani, S.S & Bhatnagar, S.P. 1978. The Embryologi of Angiosperms. Third


Revised Edition. LTD: Vikas Publishing Hous

Budipramana, L.1992. Mikroteknik dan Pembuatan Peraga Biologi. Surabaya:


Unesa Press.

Campbell, N.A., J.B. Reece, L.G. Mitchell. 2009. Biology: Eight Edition. San
Francisco: Pearson Benjamin Cummings.

Davis, G. L. 1999. Systematic embryology of the angiosperms.John Wiley and


Sons Inc., New York, NY.528 p.

Erdtman, G. 1952. Pollen Morphology and Plant Taxonomy Angiospermae (An


Introduction to Palinology I). USA : The Chronica Botanica Co. Waltham.
Mass.

Faegri, K. and Iverson., J. (1964). Text Book ofPollen Analysis.3rd revised edition
by Faegri,K. Munksgaard, Copenhagen, and Denmark.pp. 1-295.

Fahn, A. 1991.Anatomi Tumbuhan Edisi 3.Yogyakarta: Gadjah MadaUniversity


Press.

Kapp, N.1969. Anatomi dan Fisiologi Tumbuhan. Yogyakarta : UAD.

Khasim, M. 2002. Laporan Praktikum Mikroteknik.Yogyakarta:Fakultas


Pertanian, UGM.

Moore, P.D., Webb, J.A., & Collinson, M.E.. 1991. Pollen Analysis. Oxford :
Blackwell Scientific Publication Oxford.

Septina, S. 2006. Hubungan Kekerabatan Beberapa Tanaman Murbei  Morus sp.


Berdasarkan Morfologi Pollen. Bogor: Fakultas Pertanian, Insitus
Pertanian Bogor.

Suntoro, H. 1983. Metode Pewarnaan (Histologi dan Histokimia). Yogyakarta :


UGM Press
Sutjahjo, H.2005. Pengantar Pemulyaan Tanaman. Departemen Agronomi Dan
Hortikultura. Yogyakarta: Fakultas Pertanian UMY.

Walker, J.W.1975.The basis ofAngiosperm phylogeny:Palynology. Ann.Mo.


Bot.Gard.62: 666- 732.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai