Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjuan Teori

1. Histologi Jaringan

1.1 Definisi

Histologi adalah ilmu yang mempelajari tentang jaringan tubuh dan

cara jaringan ini menyusun organ-organ. Histologi mencakup semua

aspek biologi jaringan, yang berfokus pada mekanisme susunan dan

struktur sel dalam mengoptimalkan fungsi yang spesifik untuk setiap

organ (Mescher, 2014).

Menurut Fajrina, Ariyadi, Nuroini (2018), histoteknik adalah

metode untuk membuat sajian histologi dari jaringan tertentu melalui

rangkaian proses hingga menjadi sediaan yang siap diamati secara

mikroskopis. Sediaan yang berkualitas baik sangat dibutuhkan oleh

patolog untuk menjawab permasalahan yang timbul. Dasar dari

pembuatan sediaan histologi yang baik terletak pada tahap fiksasi

(Suprianto, 2014).

7
2. Hewan Coba Mencit (Mus musculus)
Berdasarkan Interagency Taxonomyc Information System (ITIS),

taksonomi mencit (Mus musculus) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Class: Mammalia

Ordo: Rodentia

Family: Muridae

Genus: Mus

Spesies :Mus musculus

Afrianti, Ramadheni, & Irsanti (2017) , menyatakan bahwa mencit

sering digunakan untuk hewan percobaan karena memiliki beberapa

keunggulan seperti siklus hidup yang pendek, jumlah anak yang banyak

setiap kali kelahiran, mempunyai variasi sifat yang tinggi, dan mudah

dalam perawatan. Menurut Tolistiawati, Widjaja, Sumolang, dan Octaviani

(2014), mencit banyak digunakan sebagai hewan coba karena siklus

hidupnya yang relatif pendek, jumlah anak perkelahiran banyak, variasi

sifatnya tinggi, mudah ditangani, dan sifat anatomi fisiologisnya

terkarakterisasi dengan baik (Priyambodo, 2003)

8
Gambar 2.1 Mencit (Mus musculus)
Sumber : Tontonoz, (2014)
https://www.cancerresearch.org/blog/november-2014/birth-of-the-lab-
mouse

Anatomi fisiologi mencit cukup sederhana, sehingga menjadi salah

satu alasan digunakannya hewan ini sebagai hewan coba dalam penelitian.

Berdasarkan gambar 2.1, anatomi hepar mencit berwarna coklat

kemerahan yang terletak dibagian bawah diafragma. Fisiologi hepar

mencit adalah mengubah hasil metabolsime untuk diekskresikan kedalam

empedu dan urin (Tamam, 2016).

Gambar 2.2 Antomi Mencit (Mus musculus)

Sumber : Tamam, (2016)


https://www.generasibiologi.com/2016/12/anatomi-morfologi-fisiologi-
klasifikasi-nama-ilmiah-latin-mencit-mus-musculus.html

9
3. Hepar

Gambar 2.3 Anatomi Hepar

Sumber : Widigdo, (2014)

Menurut Widigdo (2014), hepar terdiri dari lobus dextra dan lobus sinistra.

lobus kanan berukuran lebih besar dari pada lobus kiri serta memiliki 2 lobus kecil

tambahan yaitu lobus kaudatus dan lobus kuadratus. Daerah penting diantara

lobus kaudatus dan kuadratus dinamakan area porta hepatika yang mempunyai

tiga saluran utama yaitu vena porta, arteri hepatika, dan duktus koledukus. Lobus

kanan hepar berdasarkan klasifikasi anatomis terdiri dari lobus kaudatus dan

kuadratus. Akan tetapi, secara fungsional, lobus kaudatus dan sebagian besar

lobus kuadratus merupakan bagian dari lobus kiri karena mendapat darah dari

arteri hepatika sinistra dan aliran empedunya menuju duktus hepatika sinistra.

Oleh karena itu, berdasarkan klasifikasi fungsional hepar, batas antara lobus

kanan dan kiri terletak pada bidang vertikal yang berjalan ke posterior dari

kandung empedu menuju vena kava inferior (Sultana,2011).

10
Gambar 2.4 Gambaran mikroskopis hepar mencit
Sumber : Maulida, Ilyas, Hutahaen (2013)

Keterangan gambar :
a : vena sentralis
b : hepatosit

Hepatosit atau sel- sel hepar merupakan sel yang berbentuk

polihedral besar,dengan enam atau lebih permukaan, dan berdiameter 20-

30µm. Sitoplasma hepatosit memiliki banyak mitokondria sehingga ketika

dipulas dengan pewarnaan hematoksilin & eosin akan bersifat eosinofilik.

Hepatosit memiliki inti sferis besar dengan nukleolus yang berjumlah 2

atau lebih. Hepatosit membentuk suatu lempeng yang berhubungan seperti

susunan batu- bata dan lempeng sel ini tersusun radial di sekeliling vena

sentral. Dari bagian perifer lobulus ke pusatnya, lempeng hepatosit

bercabang dan beranastomosis secara bebas membentuk struktur yang

menyerupai spons. Celah di antara lempeng ini mengandung komponen

mikrovaskular penting, yaitu sinusoid. Sinusoid berukuran lebar dan

bentuknya tidak teratur, terdiri atas lapisan diskontinyu sel endotel

bertingkap. Sel- sel endotel terpisah dari hepatosit dibawahnya oleh suatu

11
lamina basal tipis yang tidak kontinyu dan suatu celah perisinusoid yang

sangat tipis (Mescher, 2014).

4. Proses Pembuatan preparat Jaringan (mikroteknik )

Proses pembuatan sediaan jaringan membutuhkan tahapan- tahapan

yang sangat kompleks. Tahapan- tahapan tersebut berkaitan satu sama lain

sehingga harus dilakukan sesuai dengan standar prosedur operasional.

Sediaan yang baik menggambarkan kondisi sel atau jaringan yang serupa

dengan ketika jaringan tersebut berada di dalam tubuh.

4.1 Narkose dan section organ

Hewan coba dibius dengan menggunakan kloroform atau

anastetika lain sehingga lebih mudah dalam melakukan pembedahan

tubuh dan pengambilan organ. Hewan coba yang telah dibius

diletakkan di atas styroform dengan posisi terlentang sehingga

pembedahan dilakukan pada bagian posterior. Praktikan harus

mengetahui dan memahami anatomi dari hewan coba sehingga akan

lebih mudah mengetahui posisi organ yang akan diambil. Organ yang

telah diambil, sebelum difiksasi akan dilakukan pengirisan dengan

ukuran tertentu sesuai dengan spesifikasi dari larutan fiksasi yang

digunakan. Hal itu dikarenakan daya penetrasi dari larutan fiksasi juga

dipengaruhi oleh ketebalan organ yang diiris. Menurut Khristian dan

Inderiati (2017), semakin tebal jaringan maka waktu fiksasi yang

dibutuhkan juga semakin lama.

12
4.2 Fiksasi

Fiksasi merupakan langkah dasar dibalik studi patologi untuk

mencegah terjadinya degradasi atau autolisis jaringan sehingga

jaringan masih bisa diamati sesuai aslinya baik secara anatomi maupun

mikroskopis. Fiksasi adalah tahapan mikroteknik yang diharapkan

dapat melindungi spesimen biologi dari efek denaturasi dan semua

proses pengolahan jaringan. Kualitas fiksasi adalah kunci untuk

tahapan selanjutnya yang penting dalam pembuatan preparat histologi,

oleh karena itu pengawaten sel dan jaringan dalam perubahan

morfologi yang minimal dan secara kasat mata tanpa adanya

kehilangan molekul sangat penting dalam pengolahan jaringan

(Musyarifah & Agus, 2018).

A. Tujuan Fiksasi

Fiksasi bertujuan untuk mencegah atau menahan proses

degenaritif yang dimulai segera setalah jaringan kehilangan

pasokan darah. Proses autolisis menyebabkan jaringan dicerna oleh

enzim intraseluler yang dilepas ketika membran organel pecah.

Mikroorganisme seperti bakteri pengurai yang mungkin sudah ada

dalam spesimen juga dapat menyebabkan pembususkan jaringan

sehingga harus dilakukan pencegahan. Menurut Khristian &

Inderiati (2017) tujuan fiksasi secara lebih spesifik diuraikan

sebagai berikut:

13
1. Menjaga struktur dan komponen kimiawi dari sel atau jaringan

seperti organ tersebut ketika berada di dalm tubuh.

2. Untuk mencegah kerusakan postmortem seperti autolisis dan

pembusukan. Autolisis terjadi akibat adanya enzim intraseluler

yang dieksresi ketika terjadi pecahnya lisosom sehingga dapat

menyebabkan penghancuran jaringan. Pembusukan terjadi

akibat mikroorganisme yang mungkin sudah ada didalam

jaringan.

3. Pengerasan jaringan merupakan efek dari fiksasi. Hal ini

memberikan keuntungan saat proses pemotongan secara

makroskopis terutama pada organ lunak seperti otak

4. Pemadatan komponen sel atau jaringan dari cair menjadi

setengah padat hingga padat terjadi akibat adanya reaksi

kimiawi dari larutan fiksasi

5. Proses fiksasi dapat mengubah indeks bias dari berbagai

komponen sel dan jaringan sehingga komponen yang terfiksasi

dengan baik lebih mudah divisualisasikan

6. Fiksasi dapat meningkatkan intensitas pewarnaan sel atau

jaringan, misalnya seperti larutan fiksatif formalin yang dapat

mengintensifkan pewarnaan yang menggunakan hematoksilin

dan eosin.

14
B. Larutan Fiksasi NBF 10%

Larutan fiksasi yang paling umum digunakan untuk

histopatologi adalah larutan 4% formaldehid yang biasa disebut

dengan neutral buffer formalin 10% (NBF 10%). Penggunaan

larutan ini sudah 50 tahun digunakan karena dapat

mempertahankan pH netral dan memiliki tekanan osmotik yang

sama dengan cairan ekstravaskuler. Untuk mencapai pH netral,

maka dilakukan penambahan garam sehingga larutan fiksasi ini

disebut neutral buffer formalin 10%. Mekanisme kerja NBF 10%

bukan dengan koagulasi melainkan dengan menambahkan ke sisi

rantai dasar asam amino, terutama lisin,dan ikatan peptida dari

atom nitrogen. Penggunaan NBF 10% sebagian besar akan

terfiksasi sempurna dalam waktu 24 jam, tetapi reaksi silang ini

akan terus berlanjut selama kurang lebih 2 minggu. Spesimen

lunak seperti otak manusia membutuhkan waktu 2-6 minggu,

apabila difiksasi dengan NBF 10% agar jaringan cukup kuat ketika

dipotong (Khristian & Inderiati, 2017).

C. Larutan Fiksasi Zenker

Gambar 2.5 gambaran mikroskopis jaringan yang difiksasi dengan


larutan Zenker.
Sumber: Musyarifah & Agus, (2018)

15
Komposisi larutan fiksasi Zenker antara lain merkuri

klorida, kalium dikromat, asam asetat glasial, natrium sulfat, dan

aquadest. Merkuri klorida bereaksi dengan amina, amida, asam

amino, dan kelompok sulfidril. Selama fiksasi dengan larutan yang

mengandung merkuri klorida, dapat terbentuk pigmen merkuri

yaitu artefak amorf berwarna coklat kehijauan yang secara acak

terdeposit di jaringan seperti pada gambar 2.5. Fiksasi

menggunakan larutan Zenker membutuhkan waktu 4-24 jam

(Musyarifah & Agus, 2018). Menurut Ulmer (n.d.), Zenker

merupakan larutan fiksasi rutin yang mempunyai daya penetrasi

yang cepat. Setelah difiksasi, jaringan harus dibilas dengan air

mengalir. Ketebalan jaringan yang ≤ 3mm membutuhkan waktu

fiksasi 2-3 jam (Musyarifah & Agus, 2018).

Merkuri klorida yang digunakan dalam pembuatan larutan

Zenker bersifat toksik. Merkuri merupakan salah satu unsur kimia

golongan IIB bersama seng (Zn) dan Cadmium (Cd). Nomor atom

merkuri adalah 80, dengan massa atom 200,59. Nama lain merkuri

adalah hydragium atau perak cair. Secara umum, pada suhu kamar

merkuri berwujud cair, titik beku -39⁰C dan masih berwujud cair

pada suhu 196⁰C (Pooli & Sonya, 2002).

Merkuri adalah salah satu bahan berbahaya dan beracun

yang bersifat persisten, bioakumulasi, dan berbahaya bagi

kesehatan manusia. Bentuk merkuri di alam ada 3, yaitu logam

16
merkuri (merkuri elemental), merkuri anorganik, dan merkuri

organik. Merkuri elemental berwujud cair pada suhu ruang dan

mudah menguap akibat pemanasan. Merkuri anorganik merupakan

senyawa yang muncul ketika merkuri elemental bereaksi dengan

klorin, sulfur atau oksigen, biasanya berwujud serbuk dan

berwarna putih. Mekuri organik terbentuk apabila unsur merkuri

bereaksi dengan senyawa karbon (Permenkes Nomor 57 tahun

2016).

Tubuh terpapar merkuri melalui jalur inhalasi, oral, dan

skin contact. Paparan merkuri elemental menyebabkan gangguan

pada system saraf pusat dan perifer, sedangkan merkuri anorganik

dapat menyebabkan iritasi pada mata, kulit, dan saluran

pencernaan, serta dapat menggangu fungsi ginjal apabila tertelan

(Permenkes Nomor 57, 2016)

Laboran harus melakukan tindakan preventif untuk

mengurangi paparan merkuri ketika bekerja di laboratoirum.

Berdasarkan Manual Safety Data Sheet (MSDS) penggunaan

merkuri, untuk menghindari pajanan langsung merkuri terhadap

mata, kulit, dan saluran pernafasan maka dalam bekerja laboran

harus menggunakan APD lengkap, meliputi jas laboratorium,

sarung tangan, masker, kaca mata pelindung (googles), dan sepatu

laboratorium. Laboran harus selalu mencuci tangan setelah

melakukan pemeriksaan yang melibatkan penggunaan merkuri.

17
Selain itu, ruang laboratorium harus mempunyai ventilasi udara

yang baik.

Pemusnahan limbah laboratorium merkuri harus dilakukan

sesuai regulasi yang berlaku. Berdasarkan Peraturan Menteri

Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republk Indonesia Nomor P.56/

Menlhk-setjen/ 2015, limbah B3 merkuri tidak boleh dimusnahkan

dengan insenerator. Limbah B3 ditampung terlebih dahulu pada

kontainer plastik anti bocor, terpisah dari limbah non B3 dan

limbah B3 lainnya sebelum diserahkan kepada pihak ketiga yang

mempunyai izin pemusnahan limbah B3 merkuri.

4.3 Dehidrasi

Dehidrasi adalah proses menghilangkan air dan zat fiksatif dari

komponen jaringan. Reagen dehidirasi bersifat hidrofilik, memiliki

kutub yang kuat berinteraksi dengan molekul air dengan cara mengikat

hidrogen. Dehidrasi harus dilakukan secara perlahan karena jika

konsentrasi larutan dehidrasi terlalu tinggi, mengakibatkan arus difusi

yang melintasi membran sel memicu terjadinya kerusakan pada sel.

Oleh karena itu, proses dehidrasi dilakukan dengan larutan yang

konsenstrasinya meningkat. Larutan dehidrasi yang bisa digunakan

seperti etanol, methanol, aseton, butil alkohol, isopropil alkohol

(Khristian & Inderiati, 2017).

18
4.4 Clearing

Larutan clearing harus mempunyai daya penetrasi jaringan yang

cepat, penghapusan agen dehidrasi yang cepat, mudah digantikan oleh

agen infiltrasi, menyebabkan kerusakan jaringan yang minimal, sifat

mudah terbakar yang rendah, toksisitas rendah, dan murah. Sebagian

besar larutan clearing, adalah cairan yang mudah terbakar, sehingga

harus digunakan dengan hati- hati. Larutan celaring mempunyai titik

didih rendah sehingga lebih mudah digantikan dengan lelehan paraffin.

Pemaparan larutan clearing yang terlalu lama dapat menyebabkan

jaringan menjadi rapuh. Oleh karena itu, kontrol terhadap waktu harus

diperhatikan. Macam- macam larutan clearing yang sering digunakan

antara lain xylol, toluen, kloroform,xylol substistusi, dan cytrus fruit

oil (Khristian & Inderiati, 2017).

4.5 Infiltrasi dan embedding

Lilin parafin adalah campuran hidrokarbon berantai panjang yang

diproduksi dari pemecahan minyak mineral. Lilin parafin meresapi

jaringan dalam bentuk cair dan saat didinginkan akan membeku

dengan cepat. Jaringan yang dibenamkan dalam parafin akan

membentuk matriks sehingga dapat mencegah kerusakan struktur

jaringan selama pemotongan menggunakan mikrotom. Lilin parafin

yang mempunyai titik leleh tinggi cocok digunakan untuk jaringan

yang lebih keras seperti tulang begitu pula sebaliknya. Sebagian besar

proses infiltrasi dan embedding menggunakan paraffin karena murah,

19
mendukung kualitas potongan, mudah beradaptasi untuk semua

kegunaan, dan cocok digunakan untuk berbagai jenis pewarnaan (rutin,

khusus, dan histokimia) (Khristian & Inderiati, 2017).

4.6 Pengirisan (sectioning)

Untuk mendapatkan hasil pemotongan yang baik, maka harus

menggunakan teknik pemotongan yang benar. Teknik pemotongan

jaringan menggunakan mikrotom ada dua jenis, yaitu pemotongan

kasar dan pemotongan halus. Proses pemotongan kasar atau trimming

bertujuan untuk menghilangkan kelebihan paraffin yang menutupi

jaringan sehingga permukaan jaringan dapat terbuka dan bisa

dihasilkan pita jaringan yang utuh. Ketebalan pemotongan yang

digunakan cukup tinggi, yaitu 15-30µm. pada proses ini perlu

dilakukan dengan teliti karena jika tidak dapat mengakibatkan artefak

pada pita jaringan (Khristian & Inderiati, 2017)

Pemotongan halus bertujuan untuk menghasilkan pita jaringan

dengan ketebalan tertentu. Blok jaringan yang akan dipotong harus

didinginkan terlebih dahulu untuk memberikan suhu yang stabil pada

blok parafin dan ketebalan pita jaringan untuk jaringan rutin dari hasil

pembedahan adalah sekitar 3-4µm (Khristian & Inderiati, 2017)

4.7 Pewarnaan (Stainning)

Pewarnaan sangat diperlukan untuk mewarnai komponen jaringan

yang awalnya berwarna transparan sehingga akan lebih mudah dalam

pengamatan struktur dan morfologi jaringan atau sel- sel jaringan

20
tertentu. Pewarnaan rutin yang biasa digunakan dalam pembuatan

sediaan histologi adalah hematoxilin & eosin (HE). Prinsip pewarnaan

HE ini didasarkan pada sifat asam basa dari larutan yang kemudian

akan berikatan dengan komponen jaringan yang mempunyai

kecenderungan terhadap sifat asam maupun basa tersebut hingga

terjadilah ikatan antara molekul zat warna dengan komponen jaringan.

HE banyak digunkan karena sangat sederhana dan mampu

membedakan komponen- komponen yang ada didalam jaringan

(Khristian & Inderiati, 2017).

5. Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi

5.1 Fiksasi

Fiksasi merupakan tahapan yang sangat penting dalam mikroteknik.

Adapun faktor- faktor yang dapat mempengaruhi tingkat evektifitas

dan kecepatan fiksasi jaringan adalah :

5.1.1 Suhu/ temperatur

Peningkatan suhu larutan fiksasi akan mempercepat

proses penetrasi larutan fiksasi kedalam jaringan dan

mempercepat reaksi kimia antara unsur fiksatif dengan sel atau

jaringan. Fiksasi yang menggunakan teknik pemanasan

disarankan dimulai dari suhu kamar yang ditingkatkan secara

perlahan hingga suhu mencapai 45⁰C. Suhu ini merupakan suhu

yang sangat baik untuk menjaga morfologi sel dan jaringan

dengan kualitas yang baik. Peningkatan suhu akan mengurangi

21
waktu fiksasi sehingga kontrol suhu dan waktu perlu

diperhatikan dengan baik (Khristian dan Inderiati, 2017).

5.1.2 Waktu penetrasi larutan

Waktu penetrasi larutan terhadap jaringan bergantung

dari jenis larutan yang digunakan. Perhitungan waktu penetrasi

larutan fiksatif menjadi pertimbangan dalam mengejar waktu

autolisis dari sel atau jaringan yang terdapat di pusat terdalam

jaringan tersebut. Ketika bagian dalam jaringan tidak terfiksasi

maka akan menyebabkan terdistorsinya sebagian gambaran

sediaan mikroskopis (Khristian & Inderiati,2017).

5.1.3 Dimensi spesimen

Dimensi spesimen berhubungan dengan waktu optimal

jaringan terfiksasi dari seluruh sisi dan juga proses difusi dari

larutan yang digunakan dalam pematangan jaringan.

5.1.4 Rasio volume terhadap specimen

Rasio volume larutan fiksasi dengan kecepatan penetrasi

berbanding lurus. Rasio volume fiksasi dan spesimen yang

besar, maka konsentrasi akhir ketika isotonik tidak begitu

bermakna dan kecepatan penetrasi terjaga. Volume larutan

fiksasi yang sedikit, maka konsentrasi akhir ketika terjadi

kondisi isotonik akan menurun dengan drastis, dan tentunya

akan mengurangi kecepatan penetrasi. Rasio volume larutan

22
fiksasi dan spesimen yang telah teruji adalah 1:20 (specimen :

larutan fiksasi) (Khristian & Inderiati, 2017).

5.1.5 Derajat keasaman (pH)

pH larutan fiksasi diharapkan sesuai dengan pH sel yaitu

6.8-7.2. Ketika larutan fiksasi mempunyai pH basa, maka

kemungkinan sel akan mengalami pembengkakan. pH asam

terkadang diperlukan pada beberapa larutan fiksatif seperti

larutan bouin yang mengandung asam asetat maupun asam

pikrat. Hal ini diharapkan daya pentrasi larutan bisa lebih cepat

demikian pula waktu fiksasinya. Akan tetapi, semakin lama

perendaman pada larutan fiksasi yang bersifat asam

mengakibatkan sel rentan mengalami kerusakn fisik (Khristian

& Inderiati, 2017).

6. Tabel Kualitas Penilaian Gambaran Mikroskopis

Tabel 2.1 Kriteria Penilaian Kualitas Mikroskopis Sediaan

No Struktur Kriteria
1. Pewarnaan inti sel Biru keunguan pucat/ terang
Biru keunguan terang
2. Pewaranaan Merah muda pucat/ terang
Sitoplasma Merah muda gelap
3. Kerusakan Tidak mengalami kerusakan
membrane sel Mengalami kerusakan ringan
Mengalami kerusakan sedang
Mengalami kerusakan berat
Sumber : Kriteria ini diambil dari penelitian Prakash dan Huseein (2017)

23
7. Deskripsi Objektif Tentang Kriteria Penilaian Kualitas Mikroskopis
Sediaan
Tabel 2.2. Deskripsi Objektif Tentang Kriteria Penilaian Kualitas
Mikroskopis Sediaan
No. Struktur Kriteria Deskripsi
1. Pewarnaan inti Biru keunguan Warna inti sel tampak pudar
sel terang/ pucat dengan sedikit semburat putih

Biru keunguan Warna inti sel tampak berwarna


gelap lebih gelap dan kuat sehingga
lebih kontras dengan warna
sitoplasma
2. Sitoplasma Merah muda Warna sitoplasma tampak pudar
terang/pucat

Merah muda Warna sitoplasma tampak lebih


gelap gelap dan kuat sehingga
sitoplasma tampak lebih jelas
3. Kerusakan Tidak Dalam satu lapang pandang
membrane sel mengalami tidak terdapat memberan sel
kerusakan yang mengalami kerusakan

Kerusakan Dalam satu lapang pandang


ringan tampak keruskaan membranl sel
mencapai 1/3 lapang pandang
Kerusakan Dalam 1 lapang pandang
sedang tampak kerusakan membrane sel
mencapai ½-2/3 lapang pandang
Kerusakan berat Dalam 1 lapang pandang
tampak kerusakan membrane sel
mencapai >2/3 lapang pandang

Sumber: Dimodifikasi dari Prakash dan Hussein (2017)

24
D. Kerangka Teori

Faktor yang memengaruhi :


Organ hepar mencit
(Mus musculus)  Suhu
 Waktu penetrasi
larutan
 Dimensi spesimen
Section organ
 Rasio volume larutan
terhadap spesien
Fiksasi  Derajat keasaman (pH)

Larutan NBF 10% Larutan Zenker

Mikroteknik

Preparat hepar mencit

Gambaran mikroskopis
jaringan

Pewarnaan Inti Pewarnaan Kerusakan


hepatosit Sitoplasma membrane sel

Gambar 2.6 Kerangka Teori

25

Anda mungkin juga menyukai