Anda di halaman 1dari 10

BAB II

PEMBAHASAN
A. Mengenal Jenis-Jenis Larutan Fiksasi Jaringan
1. Larutan Formalin
Formalin merupakan nama dagang dari suatu larutan yang mengandung
40% formaldehida (yang merupakan gas) di dalam air. Sebagian besar
formaldehida hadir sebagai polimer larut, yang dipolimerisasi pada suatu
larutan. Ketika penyimpanan formalin di tempat yang dingin, maka akan
terdapat endapan bubuk putih.
Formalin dapat membuat protein dalam jaringan menjadi lebih asam
dari pada menggunakan fiksatif alkohol, oleh karena itu protein yang
difiksasi dengan formalin akan mempunyai afinitas yang lebih baik
terhadap zat-zat warna basa.
Larutan fiksatif yang paling umum digunakan untuk histopatologi
adalah larutan 4% formaldehid yang biasa disebut dengan formalin 10%.
Penggunaan larutan ini telah 50 tahun digunakan, hal ini dikarenakan
larutan fiksatif dapat mempertahankan pH netral dan memiliki tekanan
osmotik yang sama dengan cairan ekstraseluler.
Fiksasi formalin biasanya dilakukan pada suhu kamar, menggunakan
wadah spesimen rendah dan lebar untuk memungkinkan penetrasi yang
optimal dan kemudahan dalam pengambilan spesimen oleh teknisi. Pilihan
terbaik untuk rasio volume adalah 1:20, dan dimensi jaringan sebesar 3-4
mm.
2. Larutan NBF (Neutral Buffer Formalin)
Untuk memastikan bahwa penggunaan formalin mencapai pH yang
netral maka dilakukan dengan menambah garam sehingga disebut dengan
Netral Buffered Formalin, atau NBF. Larutan NBF melakukan kerjanya
sebagai agen fiksasi bukan dengan koagulasi. Penetrasi larutan ini cepat,
sehingga fiksatif ini cocok untuk spesimen dengan ukuran yang besar atau
kecil.
Untuk ukuran jaringan yang kecil (10 × 10 × 3 mm) ketika difiksasi
menggunakan NBF selama 12-24 jam pada umumnya akan menunjukkan
kondisi sitoplasma dan inti yang baik dan rinci. Untuk spesimen yang lunak
seperti otak manusia secara keseluruhan membutuhkan waktu 2-6 minggu
ketika difiksasi di NBF hingga menjadi cukup kuat untuk dipotong-potong.
3. Larutan Bouin
Pol André Bouin (1870-1962) menemukan beberapa campuran fiksatif
di tahun-tahun 1895-1900. Larutan fiksasi yang paling sering dikaitkan
dengan namanya adalah larutan Bouin yang pertama kali dilaporkan pada
tahun 1897.
Larutan Bouin sendiri berisi 10% formaldehida (25% formalin), asam
asetat 0.9 M dan 0.04 M asam pikrat yang dilarutkan di dalam air. Asam
pikrat menembus jaringan agak lambat, mengentalkan protein dan dapat
menyebabkan beberapa penyusutan. Selain penggunaan asam pikrat akan
menyebabkan jaringan menjadi berwarna kuning. Efek dari penggunaan
larutan fiksasi ini akan menghasilkan warna kuning. Warna kuning ini
dapat dihilangkan dengan perendaman di alkohol 70%, lithium karbonat
atau pewarna asam yang dibarengi atau secara terpisah pemberiannya
ketika proses pewarnaan. Larutan Bouin ini memiliki pH berkisar 1,5 – 2.
Penetrasi menggunakan larutan Bouin imi lebih cepat daripada penggunaan
NBF.
Efek komplementer dari ketiga komponen penyusun larutan Bouin ini
bekerja baik untuk mempertahankan morfologi sel. Spesimen biasanya
direndam dalam larutan Bouin selama 24 jam. Namun ketika penyimpanan
terlalu lama di dalam campuran ini dapat menyebabkan hidrolisis dan
hilangnya DNA dan RNA. Hal ini mengharuskan jaringan yang difiksasi
dengan larutan Bouin harus dilakukan pencucian terlebih dahulu sebelum
di proses lebih lanjut.
Penggunaan larutan Bouin ini sangat cocok ketika sediaan hendak
dilakukan pewarnaan menggunakan pewarnaan Trichrome. Pewarnaan
Trichrome menggunakan kombinasi tiga pewarna dengan tambahan asam
phosphotungstic atau phosphomolibdic sebagai bagian dari peningkatan
warna sitoplasma, serat kolagen dan komponen lainnya dari jaringan.
Dalam proses fiksasi dengan larutan bouin, mempunyai kemampuan
untuk penetrasi ke dalam jaringan lebih cepat pada nukleus dan jaringan
ikat akan terpulas dengan baik, tetapi jika waktu fiksasi yang di gunakan
terlalu lama, jaringan menjadi rapuh dan sukar untuk di iris. Larutan bouin
dapat di simpan dalam jangka waktu yang cukup lama dan digunakan
sewaktu-waktu.
4. Larutan Carnoy
Larutan fiksatif ini memerlukan waktu untuk fiksasi selama 1-4 jam.
Komposisi larutan ini terdiri dari methanol absolute 60 ml, chloroform 30
ml, dan acetic acid glacial 10 ml. Larutan Carnoy memiliki daya penetrasi
yang cepat, akan tetapi memiliki efek pengerutan yang kuat sehingga
menghancurkan sitoplasma dan berakibat pada penurunan kualitas
gambaran sediaan histologi. Selain itu, harga larutan carnoy cukup mahal
serta sulit untuk didapatkan sehingga membatasi penggunaan larutan
Carnoy dalam jumlah besar.
5. Larutan Methacam
Larutan fiksatif ini memerlukan waktu untuk fiksasi selama 1-4 jam.
Komposisi larutan ini terdiri dari methanol absolute 60 ml, chloroform 30
ml, dan acetic acid glacial 10 ml. Larutan ini bersifat bereaksi cepat,
mempertahankan inti sel dengan baik, menahan glikogen, melisis eritrosit
dan melarutkan lipid, serta kurang menyebabkan pengerutan dan
penyusutan jaringan.
6. Larutan Alkohol 70%
Alkohol merupakan salah satu larutan yang digunakan untuk fiksasi
dengan konsentrasi 70%. Alkohol 70% lebih mudah diperoleh, murah, daya
penetrasi cepat, dapat melarutkan lemak, jaringan tidak perlu dicuci secara
khusus dan dapat dibawa langsung ke proses selanjutnya. Fiksasi
menggunakan larutan fiksatif Alkohol 70% dapat menyebabkan sitoplasma
mengkerut dan terjadi nekrosis, kromatin dan inti lebih menggumpal, sel
eritrosit tampak mengkerut dan bertumpuk dengan warna merah pucat
karena hilangnya hemoglobin. Sifat asam pada Alkohol 70% dapat
menyebabkan sel mengkerut dan merusak protein.
B. Metode Pembuatan Reagen Fiksatif Jaringan
Histologi adalah bidang biologi yang mempelajari tentang struktur jaringan
secara detail menggunakan mikroskop pada sediaan jaringan yang dipotong
tipis. Histologi dapat juga disebut sebagai ilmu anatomi mikroskopis.
Proses/langkah pertama dalam menyiapkan materi segar untuk pembuatan
sediaan histologi adalah fiksasi. Fiksasi merupakan langkah yang penting
dalam pembuatan sediaan utuh maupun sayatan (Mujimin dan Sri. 2013).
fiksasi adalah memberikan perlakuan tertentu terhadap elemen-elemen
jaringan, terutama inti sel atau nukleusnya, sehingga dapat diawetkan dalam
kondisi yang sedikit banyak mendekati keadaan aslinya. Tujuan dari fiksasi
adalah untuk mempertahankan elemen-elemen sel atau jaringan agar tetap pada
tempatnya dan tidak mengalami perubahan bentuk maupun ukuran. Sedangkan
fungsi dari fiksasi adalah untuk menghambat proses metabolisme dengan cepat,
mengawetkan elemen sitologis dan histologis, mengawetkan bentuk yang
sebenarnya, serta mengeraskan atau memberi konsentrasi material yang lemah
(Mujimin dan Sri. 2013).
Sampel yang diambil adalah sampel yang sakit tapi belum mati, merupakan
contoh terbaik untuk diagnosa. Sampel yang sudah mati biasanya sudah
terkontaminasi oleh mikroorganisme dan sulit untuk mengetahui parasit
eksternal karena parasit tersebut biasanya sudah meninggalkan sampel tersebut
dan jaringannya sudah rusak (autolisa). Oleh karena itu, sampel yang sudah
mati tidak baik digunakan untuk pengamatan secara histologi (Mujimin dan
Sri. 2013).
formalin yang dinetralkan dapat memberikan pengawetan yang baik,
terutama sampelsampel yang bersifat penting. Namun sedikit memberikan efek
negatif terhadap sel meskipun tidak merusak sel. Untuk itu, pembuatan larutan
formalin yang akan digunakan sebagai bahan pengawet harus tepat sebab
kualitas formalin dapat memengaruhi ketahanan dan bentuk sel (Mujimin dan
Sri. 2013).
Menurut (Mujimin dan Sri. 2013), bahan yang dipakai dalam pembuatan
larutan fiksasi terdiri atas:
1. Formalin 37%-40% sebagai bahan utama dalam membuat larutan fiksasi
2. Air laut
3. Aquades
4. Natrium difosfat (NaH2 PO4)
5. Natrium fosfat (NaH2 PO4)
6. Picric acid (asam pikrat)
7. Glacial acetic acid
Menurut (Mujimin dan Sri. 2013), metode Pembuatan larutan fiksasi yang
biasa digunakan untuk mengawetkan sampel terdiri atas:
1. Larutan Formalin 10% dalam Air Laut atau Aquades
Larutan ini digunakan untuk fiksasi gonad, organ dalam yang lunak dari
yuwana ikan, larutan ini praktis mudah dibuat dalam keadaan mendesak.
Sedangkan cara membuatnya adalah formalin 37%-40% sebanyak 10 mL
kemudian ditambahkan 10 mL air laut lalu ditambahkan 80 mL aquades
dalam 100 mL.
2. Larutan buffer Formalin 10%
Pada prinsipnya kegunaannya hampir sama dengan formalin 10% tapi
larutan ini berpenyangga fosfat yaitu untuk fiksasi gonad, organ-organ
dalam yang lunak dari yuwana. Sampel atau jaringan dapat disimpan dalam
larutan ini dalam jangka waktu yang lama, cara pembuatan yaitu: timbang
natrium difosfat (NaH2 PO4) sebanyak 4,0 g dan natrium fosfat (NaH2 PO4
) sebanyak 6,5 g; kemudian dimasukkan ke dalam beacker glass dan
ditambah aquades sebanyak 400 mL, diaduk, dan dipanaskan dengan tujuan
supaya cepat larut, lalu ditambahkan formalin 37%-40% sebanyak 100 mL;
aquades sebanyak 500 mL. Larutan tersebut diaduk kembali agar homogen
dan ditambahkan lagi aquades sampai volume 1 L.
3. Larutan Formalin 5% dalam Aquades atau Air Laut
Larutan ini digunakan untuk fiksasi larva dari D-0 sampai dengan D-10,
hasilnya lebih baik bila dibandingkan dengan larutan fiksasi lain. Cara
mencampur larutan adalah: formalin 37%-40% sebanyak 5 mL ditambahkan
dengan aquades 80 mL, untuk formalin 5% air laut aquades-nya diganti
dengan air laut
4. Larutan Bouins
Larutan bouins ini berwarna kuning karena terdapat bahan kimia picric
acid, digunakan untuk fiksasi gonad, insang, dan tulang. Larutan ini dapat
juga digunakan untuk fiksasi larva. Untuk fiksasi larva umur 1-10 hari
dengan lama perendaman selama 2 jam, kemudian larutan diganti dengan
alkohol 50% selama 2 jam, alkohol 70% lamanya 2 jam, dan dipindahkan ke
alkohol 90% selama 2 jam, serta terakhir ke absolut alkohol dan disimpan di
dalam freezer. Fiksasi bouins biasanya selama 24 jam, apabila sampelnya
kecil dapat difiksasi dalam 2-3 jam kemudian dipindahkan ke alkohol 50%
dengan tujuan untuk menghilangkan picric acid dan disimpan dalam alkohol
70%. Cara pembuatan larutan: picric acid diencerkan dengan aquades agar
warna larutan kuning bening (bahan picric acid sudah mengendap),
kemudian diambil sebanyak 75 mL ditambahkan dengan formalin 37%-40%
sebanyak 25 mL terakhir dicampurkan glacial acetic acid 5 mL. Apabila
larutan picric acid terlalu pekat hasilnya kurang bagus, penguapan picric
acid juga sangat berbahaya.
Larutan formalin 10% yang paling sering digunakan dikarenakan bahannya
mudah didapat dan campuran larutan ini sangat sederhana. Larutan ini biasanya
dipakai jika melakukan survai ke daerah yang jauh dengan jumlah sampel yang
banyak. Larutan ini juga bisa dibuat di tempat lokasi kerja atau di tempat
sampling (Mujimin dan Sri. 2013).
Larutan buffer formalin 10% digunakan untuk memfiksasi semua jenis
organ/jaringan. Larutan ini umum digunakan dan menjadi larutan fiksasi
standar dalam bidang histologi maupun histopatologi. Hal tersebut dikarenakan
larutan ini mengandung bahan penyangga sehingga lebih dapat memberikan
efek fiksasi atau pengawet. Akan tetapi campuran larutan ini lebih banyak
bahannya sehingga diperlukan tempat atau laboratorium untuk melakukannya.
Oleh karena itu, larutan ini sering digunakan di laboratorium atau untuk dibawa
ke tempat/daerah untuk sampling dalam jumlah/volume sedikit. Biasanya
larutan ini digunakan untuk mengganti larutan formalin 10% yang dipakai
bahan fiksasi sewaktu sampling ke daerah-daerah dengan tujuan untuk
menyegarkan pengawetan (refresh) agar hasil histologinya lebih baik (Mujimin
dan Sri. 2013).
Larutan formalin 5% biasanya dipakai untuk fiksasi larva, bisa juga untuk
fiksasi yang lain, larutan ini harus selalu tersedia di laboratorium. Apabila
untuk fiksasi larva, hasil histologi preparat lebih baik dari fiksasi lain. Akan
tetapi, larutan ini kurang baik digunakan untuk mengawetkan organ/jaringan
dalam waktu lama terutama untuk tujuan melihat perubahan organ/jaringan
(histopatologi). Selain itu, dalam melakukan pemotongan (cutting) dari blok
preparat hasil fiksasi larva (D-1- D-10) dengan larutan ini harus lebih hati-hati
karena sampel larva hampir tidak terlihat (transparan) dikarenakan warna
sampel dengan parafin sama putihnya (Mujimin dan Sri. 2013).
Larutan bouins merupakan larutan fiksasi yang sekaligus mengandung
senyawa asam yang berfungsi untuk melunakkan (dekalsifikasi) jaringan keras
seperi tulang, sirip, dan lainnya. Larutan ini lebih banyak digunakan untuk
mengawetkan larva karena berwarna kekuning-kuningan, sehingga dalam
proses histologi selanjutnya terutama proses pengeblokkan dan pemotongan
lebih mudah (Mujimin dan Sri. 2013).
Dalam memfiksasi suatu organ/jaringan, perlu diperhatikan perbandingan
antara larutan dengan organ sampel. Perbandingan larutan dan organ sampel
yang baik adalah 1:10-20. Sampel yang berukuran besar atau yuwana sebelum
dimasukkan ke dalam wadah larutan fiksasi bagian perut harus dibelah untuk
memudahkan penetrasi atau masuknya (Mujimin dan Sri. 2013).
bahan pengawet. Ukuran organ untuk fiksasi akan lebih baik jika organ
berukuran kecil dan dipotong tipis untuk memberi peluang bahan fiksasi dapat
meresap ke semua bagian organ. Jika organ atau ikan utuh yang difiksasi
memerlukan waktu yang lebih lama (> 1 minggu) dibandingkan dengan organ
ukuran kecil atau dipotong kecil-kecil dan tipis. Pemotongan organ juga
disesuaikan dengan cetakan blocking yang akan digunakan agar sesuai dan
tidak kebesaran. Sebagai contoh sampel berupa gonad dipotong sesuai dengan
cetakan, untuk sampel berukuran besar, potong bagian ikan yang bermanfaat
untuk keperluan diagnosa seperti insang dan organ dalam (Mujimin dan Sri.
2013).
C. Jenis-Jenis Metode Fiksatif Jaringan

Secara garis besar terdapat dua metode fiksatif yaitu denaturasi dan cross-
linking atau gabungan keduanya.

1) Denaturasi
Efek denaturasi paling umum disebabkan oleh dehidran seperti
alcohol dan aseton contohnya adalah larutan Carnoy’s dan Methacam.
Reagen ini mengubah komposisi jaringan dan menstabilkan jaringan dengan
menghilangkan ikatan H- pada kelompok tertentu dalam molekul protein
seperti ikatan carboxyl bebas, hydroxyl, amino, amido dan imino dari
protein yang menyebabkan perubahan pada struktur tersier protein dengan
menstabilisasi ikatan hidropobik. Hal ini menyebabkan perubahan pada
solubilitas protein dimana protein yang larut dalam air menjadi tidak larut,
koagulasi protein dan penyusutan sel. Larutan fiksatif Carnoy’s
menambahkan cholorofm dan acetic acid ke dalam campuran yang dapat
melawan efek penyusutan sel oleh etanol dan mengakibatkan terfiksasinya
jaringan melalui ikatan hydrogen sedangkan pada larutan Methacam,
dimana etanol digantikan oleh methanol yang bekerja dengan cara yang
sama.
2) Cross-linking
Larutan fiksatif ini secara kimiawi bereaksi dengan protein serta
komponen sel dan jaringan dimana suatu ikatan kimia larutan fiksatif
diambil dan menjadi bagian dari jaringan dengan cara mengisi dan
membentuk cross-link, inter-molekul atau intra molekul. Zat fiksatif ini
adalah senyawa reaktif yang dapat mengikat berbagai komponen kimia di
jaringan sehingga sering mempengaruhi komponen pada tempat ia
berikatan. Hal ini mempunyai efek pada karakteristik pewarnaan berikutnya
dari partikel protein sehingga menggangu konformasi molekul dan
kelarutanya. Reaksi utama daricross-link terjadi antara bagian kelompok
amino dari lysine yang akan membentuk methylene bridges.
Hasil dari ikatan crosslinking ini adalah perubahan konformasi pada
struktur protein dan selanjutnya inaktivasi dari enzim. Kopleks yang baru
terbentuk berbeda dari protein yang tidak terdenaturasi pada profil antigenic
dan kimia. Menurut definisi, fiksatif mengubah komposisi kimia yang asli
dari jaringan yang serta menyebabkan perubahan fisik pada komponen
seluler dan ekstraseluler.

DAPUS
Mujimin, M., & Suratmi, S. (2016). Teknik Mencampur Larutan Fiksasi untuk
Histologi. Buletin Teknik Litkayasa Akuakultur, 11(2), 137-140.
Musyarifah, Zulda & Salmiah Agus. (2018). Proses fiksasi pada pemeriksaan
histopatologik. Jurnal kesehatan andalas. Vol. 7 No. 3
Khristian, Erick dan Dewi Inderiati. 2017. “Sitohistoteknologi (Hal 85-
89)”. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Rusmiatik. 2019. “Perbandingan Fiksasi Larutan Bouin Dan Formalin


Pada Sediaan Preparat Histologi Testis Marmut”. Jurnal kedokteran, Vol.
4, No. 2. Mataram.

Randy Nuralim Ernst, Indriati Dwi Rahayu dan Rachmad Sarwo Bekti.
2017. “Analisis Perbandingan Fiksasi Menggunakan Larutan Formalin
Dan Larutan Carnoy Pada Somit, Neural Tube, Dan Vaskular Embrio
Ayam Usia 48 Jam Dengan Pewarnaan Hematoxylin-Eosin”. Majalah
kesehatan FKUB, Vol.4, No. 1.

Musyarifah, Zulda dan Salmiah Agus. 2018. “Proses Fiksasi Pada


Pemeriksaan Histopatologik”. Jurnal Kesehatan Andalas 7 (3).

Nur Fajriana Syarifah, Tulus Ariyadi dan Fitri Nuroini. 2018. “Gambaran
Kualitas Sediaan Jaringan Hati Menggunakan Larutan Fiksatif NBF 10%
dan Alkohol 70% pada Pewarnaan HE (Hematoksilin-Eosin)”. Prosiding
Seminar Nasional Mahasiswa Unimus (Vol. 1, 2018).

Anda mungkin juga menyukai