Anda di halaman 1dari 8

TUGAS RESUME PRAKTIKUM TUGAS 4 DAN 5

Disusun untuk Memenuhi Tugas Praktikum Fitokimia

KELOMPOK : 1
KELAS : D
ANDI HARIYANTO (201710410311162)

DOSEN PEMBIMBING :
SITI ROFIDA, S.Si, M.Farm., Apt.
Drs. HERRA STUDIAWAN, M.Si.,Apt.
AMALIYAH DINA ANGGRAENI, M.Farm., Apt.

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2020
1. IDENTIFIKASI SENYAWA GOLONGAN POLIFENOL DAN TANIN
(Psidium guajava)
Pada praktikum ini dilakukan proses identifikasi senyawa golongan Polifenol
pada ekstrak Psidium guajava L (Jambu biji). Adapun analisis dilakukan secara
kualitatif, yakni berkaitan dengan cara untuk mengetahui ada atau tidaknya suatu
senyawa dalam suatu sampel. Sebelumnya perlu mengetahui apa yang dimaksud
dengan golongan polifenol dan tannin. Senyawa polifenol adalah suatu senyawa
yang berasal dari tumbuhan, dimana salah satu cirinya adalah mengandung cincin
aromatik yang tersubstitusi oleh dua atau lebih gugus fenol. Senyawa polifenol
meliputi aneka ragam senyawa yang berasal dari tumbuhan, yang mempunyai ciri
sama yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau dua penyulih hidroksil.
Senyawa polifenol cenderung mudah larut dalam air karena umumnya berikatan
dengan gula sebagai glikosida dan biasanya terdapat dalam vakuola sel. Senyawa
polifenol memiliki berbagai aktivitas, misalnya antibakteri, antijamur,
antioksidan, sedatif, dan lain-lain. Sementara bagi tanaman, fenolat berperan
sebagai bahan pembangun dinding sel, sebagai pigmen bunga (antosianin), dan
lain-lain. Namun, kemampuannya membentuk kompleks dengan protein melalui
ikatan tunggal dapat mengganggu dalam penelitian. Selain itu, fenol sendiri sangat
peka terhadap oksidasi enzim dan mungkin hilang pada proses isolasi akibat kerja
enzim fenolase yang terdapat dalam tumbuhan. Secara kimia, tanin adalah ester
yang dapat dihidrolisis oleh pemanasan dengan larutan asam sampai
menghasilkan senyawa fenol, biasanya merupakan derivate atau turunan dari asam
garlic dan gula. Tanin memiliki sifat-sifat diantaranya: merupakan senyawa
kompleks dalam bentuk campuran polifenol yang sukar dipisahkan sehingga sukar
mengkristal, tanin dapat diidentifikasikan dengan kromotografi, dansenyawa fenol
dari tanin mempunyai aksi adstrigensia, antiseptik dan pemberi warna. Secara
fisika, tanin memiliki sifat-sifat:jika dilarutkan kedalam air akan membentuk
koloid dan memiliki rasa asam dan sepat, jika dicampur dengan alkaloid dan
glatin akan terjadi endapan, tidak dapat mengkristal, dan dapat mengendapkan
protein dari larutannya dan bersenyawa denganprotein tersebut sehingga tidak
dipengaruhi oleh enzim protiolitik.
Untuk identifikasi senyawa golongan polifenol dan tanin dapat dilakukan
dengan uji gelatin, uji ferri klorida dan juga menggunakan metode kromatografi
lapis tipis (KLT).  Pada tahap preparasi sampel ekstrak jambu biji ditambah
dengan 10 ml aquadest yang telah dilakukan pemanasan diatas water bath, dalam
proses ini terjadi reaksi hidrolisis hal ini yang membuat polifenol mudah larut
dalam air, senyawa fenol yang berikatan dengan gula sebagai glikosida membuat
polifenol mudah larut dalam air. Kemudian ditambahkan 3 tetes NaCl 10%
berguna untuk mengendapkan senyawa garam yang terjadi pada proses hidrolisis.
NaCl juga berfungsi mendenaturasi protein untuk menghindari terjadinya hasil
positif palsu pada pengujian. Pemanasan ini berfungsi untuk melarutkan tanin
agar terpisah dari bagian tubuh tumbuhan sampel dan untuk mempercepat
larutnya senyawa polifenol dan tanin dari bagian tubuh tumbuhan ke dalam
aquadest. Selanjutnya setelah larutan ekstrak yang sudah dingin di bagi menjadi 3
bagian yang akan dilakukan identifikasi senyawa. Larutan IV A sebagai blanko,
IV B sebagai uji gelatin, IV C sebagai uji Ferri klorida.
Pada pengujian pertama dilakukan reaksi uji gelatin, pada uji ini larutan IV
B ditambahkan 2 tetes larutan gelatin dan 5 ml larutan NaCl 10%. Penambahan
gelatin bertujuan untuk mengendapkan garam tersebut, karena jika ikatan tanin
dan gelatin semakin kuat maka akan terbentuk endapan. Jika larutan mengandung
senyawa tanin, larutan akan akan terjadi endapan putih, hal ini terjadi karena
gelatin akan bereaksi dengan tannin, dimana tannin akan mengendapkan protein
pada gelatin. Tanin bereaksi dengan gelatin membentuk kopolimer mantap yang
tidak larut dalam air. Reaksi ini lebih sensitif dengan penambahan NaCl untuk
mempertinggi penggaraman dari tanni-gelatin dan membentuk kopolimer yang
tidak larut air. Pada hasil uji yang telah dilakukan, Larutan IV B yang telah
ditambahkan mengalami endapan putih setelah diberi NaCl 10% dan gelatin. Hal
ini menunjukkan pada larutan IV B mengandung senyawa tanin.
Uji selanjutnya adalah uji ferri klorida, yaitu larutan IV C ditambahkan
dengan beberapa tetes ferri klorida (FeCl3) , maka akan terjadi perubahan warna
menjadi warna hijau biru hingga hitam. Perubahan warna menjadi hijau
kehitaman terjadi karena senyawa polifenol dan tanin yang terkandung dalam
larutan ekstrak berekasi dengan larutan Ferri Klorida, hal ini terjadi karena gugus
OH pada polifenol dan tanin yang bereaksi dengan penambahan larutan ferri
klorida dan terbentuk senyawa kompleks sehingga terjadilah perubahan warna.
Perlu diperhatikan FeCl3 ditambahkan saat larutan dingin agar tidak teroksidasi. 
Pada uji yang telah dilakukan, menunjukkan hasil positif yakni terjadi perubahan
larutan IV C menjadi hijau kehitaman. Pada uji ferri klorida ini menunjukkan
pada larutan positif polifenol dan tanin.
Selanjutnya dilakukan uji kromatografi lapis tipis, Kromatografi lapis tipis
ialah metode pemisahan fisikokimia. Lapisan pemisah terdiri atas bahan berbutir-
butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga berupa plat gelas, logam atau
lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah berupa larutan yang ditotolkan
baik berupa bercak ataupun pita, setelah plat atau lapisan dimasukkan ke dalam
bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak),
pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan), selanjutnya
senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan. Cara mendeteksi ada beberapa
cara. Senyawa yang tidak berwarna dapat dilakukan dengan pengamatan dibawah
sinar ultraviolet. Senyawa organic dapat berfluorosensi jika terkena sinar
ultraviolet gelombang pendek (254 nm) atau gelombang panjang (366 nm),
apabila senyawa masih belum dapat diamatii maka harus dicoba disemprot dengan
pereaksi penampak noda baik tanpa dipanaskan maupun dengan
dipanaskan[ CITATION Sta85 \l 1057 ].
Kromatografi Lapis Tipis digunakan untuk memisahkan senyawa-senyawa
yang sifatnya hidrofob seperti lipida-lipida dan hidrokarbon. Sebagai fase diam
digunakan senyawa yang tak bereaksi seperti silica gel atau alumina. Silica gel
biasa diberi pengikat yang dimaksudkan untuk memberikan kekuatan pada lapisan
dan menambah adesi pada gelas penyokong. Senyawa pengikat umumnya
digunakan yaitu kalsium sulfat. Metode dalam KLT dapat dihitung nilai Retention
factor (Rf) dengan persamaan:
Jarak yang ditempuh senyawa
Rf =
Jarak yang ditempuh oleh pelarut

Pada uji KLT, fase diam yang digunakan adalah Kiesel Gel 254, dengan
fase gerak Kloroform : Aseton : Asma formiat ( 0,5 : 9 : 0,5 ) dengan penampak
noda Pereaksi FeCl3. Pada uji ini menggunakan larutan ekstrak IV A yang
selanjutnya ditotolkan pada plat KLT, selanjutnya dilakukan eluasi dalam
chamber, dan diamati di UV 254 dan 365 untuk mengetahui penampakan noda.
Setelah dilakukan penyemprotan dengan penampak noda FeCl3, didapatkan noda
berwarna hitam, dimana hal tersebut menunjukkan sampel IV B mengandung
senyawa polifenol. Uji ini juga diperkuat dengan hasil positif pada uji ferri
klorida. Pada hasil yang telah dilakukan mendapatkan 3 titik noda hitam yang
menunjukkan adanya kandungan polifenol pada ekstrak daun jambu. Selanjutnya
dilakukan pengukuran nilai Rf pada 3noda yang timbul pada plat KLT, didapatkan
Rf 1 = 0.,13 ; Rf 2 = 0,25 ; Rf 3 = 0,28. Pada literatur nilai rf pada simplisia daun
jambu biji didapatkan hasil 0,10 ; 0,25 ; 0,45 ; 0,70 ; 0,90. Berdasarkan nilai Rf
yang telah didapat kemudian dibandingkan dengan literatur. Maka dapat
disimpulkan bahwa ekstrak Psidium guajava mengandung senyawa polifenol dan
tanin.

Perhitungan nilai Rf
1,8
Rf Noda 1= =0,13
14
3,5
Rf Noda 2= =0,2 5
14
3,9
Rf Noda 3= =0,2 8
14

Faktor yang mempengaruhi harga Rf :


1. Struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan.
2. Sifat dan penyerap, derajat aktivitasnya.
3. Tebal dan kerataan dari lapisan penyerap.
4. Pelarut fase gerak.
5. Derajat kejenuhan dan uap dalam bejana pengembangan yang
digunakan.
6. Teknik percobaan.
7. Jumlah campuran yang digunakan.
8. Suhu.
9. Kesetimbangan.[ CITATION Sas85 \l 1057 ]

2. IDENTIFIKASI SENYAWA GOLONGAN ANTRAKINON ( Ekstrak


Rheum officinale L.)
Pada praktikum ini dilakukan Identifikasi senyawa golongan antrakuinon pada
ekstrak Rheum palmatum adalah dengan cara pengujian reaksi warna uji
Borntrager dan uji modifikasi Borntrager serta Kromatografi lapis tipis (KLT).
Sebelumnya perlu mengetahui apa yang dimaksud dengan senyawa golongan
antrakinon. Senyawa antrakinon dan turunannya seringkali bewarna kuning
sampai merah sindur (oranye), larut dalam air panas atau alcohol encer. Untuk
identifikasi digunakan reaksi Borntraeger. Semua antrakinon memberikan warna
reaksi yang khas dengan reaksi Borntraeger jika Amonia ditambahkan: larutan
berubah menjadi merah untuk antrakinon dan kuning untuk antron dan diantron.
Antron adalah bentuk kurang teroksigenasi dari antrakinon, sedangkan diantron
terbentuk dari 2 unit antron. Antrakinon yang mengandung gugus karboksilat
(rein) dapat diekstraksi dengan penambahan basa, misalnya dengan natrium
bikarbonat. Hasil reduksi antrakinon adalah antron dan antranol, terdapat bebas di
alam atau sebagai glikosida. Antron bewarna kuning pucat, tidak menunjukkan
fluoresensi dan tidak larut dalam alkali, sedangkan isomernya,
yaitu antranol bewarna kuning kecoklatan dan dengan alkali membentuk larutan
berpendar (berfluoresensi) kuat.
Pada pengujian pertama dilakukan reaksi uji borntrager, pada tahap ini
ekstrak sampel Rheum officinale ditambah dengan 10 ml aquadest, dalam proses
ini penambahan aquadest ditujukan untuk melarutkan senyawa yang terkandung di
dalam ekstrak Rheum officinale dan juga meghilangkan menghilangkan senyawa-
senyawa lain yang bersifat polar karena keberadaan senyawa tersebut dapat
mengganggun proses ekstraksi antrakuinon. Kemudian ditambahkan 5 ml toluena
dalam corong pisah. Penambahan toluena berfungsi untuk mengekstraksi senyawa
antrakuinon. Kemudian fase toluena dikumpulkan dan dibagi menjadi dua bagian,
disebut sebagai larutan V A dan V B. Larutan V A sebagai blanko, larutan V B
ditambah amonia pekat 1 ml. Penambahan amonia ditujukan agar bereaksi dengan
senyawa antrakinon. karena gugus fenol yang ada pada antrakuinon jika bereaksi
dengan ammonia akan membentuk kompleks phenate sehingga menghasilkan
warna merah. Pada hasil pengujian yang telah dilakukan didapatkan hasil larutan
V B berwarna merah. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak Rheum officinale
positif mengandung senyawa antrakinon.
Pada pengujian selanjutnya dilakukan uji Modifikasi Borntrager. Ekstrak
sebanyak ditambah dengan KOH 0,5 N dan 1 ml H 2O2 encer. Penambahan KOH
bertujuan untuk menghidrolisis glikosida antron dan antranol serta membentuk
garam kalium dengan aglikon sedangkan penambahan Asam peroksida digunakan
untuk mempercepat oksidasi antron/antranol menjadi antrakuinon. filtrat
kemudian ditambah asam asetat glasial, kemudian diekstraksi dengan 5 ml
toluena. Pemanasan bertujuan untuk menaikkan suhu larutan karena antrakuinon
larut dalam pelarut organik yang panas. Asam asetat glasial digunakan untuk
menetralkan larutan yang ada. Fase toluena diambil dan dibagi menjadi dua
sebagai larutan VIA dan VI B. Larutan VI A sebagai blanko, larutan VI B
ditambah amonia pekat 1 ml. penambahan ammonia bertujuan memberikan
suasana basa pada larutan dan juga akan bereaksi dengan senyawa antrakinon
membentuk kompleks phenate yang berwarna merah. Pada hasil pengujian yang
dilakukan mendapatkan hasil larutan berwarna merah muda. Hal ini menunjukkan
bahwa ekstrak Rheum officinale positif mengandung senyawa antrakinon.
Pengujian selanjutnya yaitu dengan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT).
Yang perlu dilakukan yaitu ambil sedikit ekstrak Rheum officinale kemudian
dilarutkan dalam ethanol sebanyak 0,5 ml. Fungsi penambahan etanol adalah
untuk melarutkan ekstrak sehingga ekstrak yang digunakan berupa cairan bukan
padatan. fase gerak untuk identifikasi kali ini adalah toluena-etil asetat-asam
asetat glasial dengan perbandingan (75 : 24 : 1). Fase gerak yang sudah jadi
dimasukkan ke dalam chamber sebagai fase gerak dan kertas saring dimasukkan
hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah chamber pada kondisi jenuh oleh eluen
atau tidak dengan cara melihat naiknya cairan pada kertas saring hingga terbasahi
seluruhnya. Sambil menunggu kertas saring terbasahi, disiapkan plat KLT dengan
panjang x lebar = 2 x 10 cm dengan bagian bawah lempeng diberi garis 1,5 cm
dari bawah lempeng dan bagian atas atas diberi garis dengan jarak 0,5 cm dari atas
lempeng. Kemudian, disiapkan pipa kapiler untuk menotolkan ekstrak pada plat
KLT dengan cara pipa kapiler dimasukkan dalam ekstrak yang sudah dibuat tadi
dan secara otomatis ekstrak tersebut masuk dalam pipa kapiler setelah itu
langsung ditotolkan pada plat. Setelah kertas saring sudah terbasahi, kertas saring
diangkat kembali dari wadah dan dimasukkanlah lempeng KLT. Setelah plat
terbasahi sampai batas atasnya kemudian diangkat dan dikeringkan sebentar
kemudian diamati pada sinar UV 365 nm dan 254 nm, lalu disemprot dengan
penampak noda larutan KOH 10% dalam metanol untuk memperjelas noda yang
tampak.
Pada hasil percobaan yang telah dilakukan didapatkan nilai Rf masing-masing
noda pada plat KLT Rheum officinale. Pada uji borntrager diperoleh 3 titik noda
dengan nilai Rf noda 1 : 0,15 ; Rf noda 2 : 0,58 ; Rf noda 3 : 0,61. Sedangkan uji
Modifikasi borntrager diperoleh 4 titik noda dengan nilai Rf noda yaitu, Rf noda 1
: 0,38 ; Rf noda 2 : 0,58 ; Rf noda 3 : 0,61 dan Rf noda 3 : 0,80. Pada hasil yang
didapat dilihat yang mendekati 0,80, dengan demikian pada ekstrak Rheum
officinale positif mengandung senyawa antrakinon.

Perhitungan Nilai Rf
 Uji Borntrager
2,1
Nilai Rf noda 1= =0,15
14
8,1
Nilai Rf noda 2= =0,58
14
8,5
Nilai Rf noda 3= =0,61
14

 Modifikasi Borntrager
5,3
Nilai Rf noda 1= =0,38
14
8,1
Nilai Rf noda 2= =0,58
14
8,5
Nilai Rf noda 3= =0,61
14
11,2
Nilai Rf noda 4= =0,8
14
DAFTAR PUSTAKA

Sastrohamidjojo, H. (1985). Kromatografi Edisi 1. Yogyakarta: Liberty.


Stahl, E. (1985). In Analisis Obat secara Kromatografi dan Mikroskopi. Bandung:
ITB Press.

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai