Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH HISTOKIMIA DAN IMUNOHISTOKIMIA

“TEKNIK FIKSASI SEDIAAN”

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 1
2019 A

HASRIANI TAHIR B1D119001


ADE EKA PUTRI B1D119002
CICI TRISNAWATI Y. SALEH B1D119003
SINTIA PUTRI SALMON B1D119006
NOVELIN CICILIA D.W. MITA B1D119007
RILA ANGRIANI MISBA B1D119009
MIFTAHUL JANNAH MOO B1D119010
ROHMA ZULFIRAH SILO B1D119011

PROGRAM STUDI DIV TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS


FAKULTAS TEKNOLOGI KESEHATAN
UNIVERSITAS MEGAREZKY
MAKASSAR
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat
dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah ini.
Makalah yang berjudul “Teknik Fiksasi Sediaan” ini disusun untuk memenuhi
tugas dari mata kuliah Histokimia dan Imunohistokimia semester 6.
Tak lupa kami sampaikan ucapan terima kasih kepada Ibu Andi Meryam
Susanti, S.Tr.A.K., M.Imun yang telah memberikan materi mengarahkan kami
dalam penyusunan makalah ini. Tanpa adanya arahan dari beliau, kami kiranya
tak akan mampu untuk menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini berisikan mengenai garis besar dalam hal “Teknik Fiksasi
Sediaan” mengenai jenis-jenis larutan fiksasi jaringan, metode pembuatan reagen
fiksatif jaringan, jenis-jenis metode fiksatif jaringan, dan kualitas kontrol
keberhasilan fiksasi jaringan. Sehingga makalah ini dapat digunakan untuk
penyajian diskusi, pembelajaran, dan untuk keperluan lainnya.
Adapun, penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk
itu, kami menyampaikan permohonan maaf apabila terdapat kesalahan dalam
penyusunan makalah ini. Kami pun berharap pembaca makalah ini dapat
memberikan kritik dan saran yang membangun kepada kami agar di kemudian
hari kami dapat menyusun makalah yang jauh lebih baik lagi.

Makassar, 26 Mei 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...................................................................................... 1
1.2 Tujuan .................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Mengenal Jenis-Jenis Larutan Fiksasi Jaringan.................................... 3
2.2 Metode Pembuatan Reagen Fiksatif Jaringan....................................... 6
2.3 Jenis-Jenis Metode Fiksatif Jaringan.................................................... 10
2.4 Kualitas Kontrol Keberhasilan Fiksasi Jaringan……………………...11
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan........................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pengolahan jaringan yang baik akan memberikan kualitas hasil sediaan
yang memuaskan untuk dinilai oleh patolog. Kualitas sediaan hasil
pengolahan jaringan dipengaruhi oleh banyak faktor, terutama dari tahap-
tahap pengolahan jaringan yang merupakan proses yang krusial agar dapat
membuat slide sediaan histopatologi yang layak untuk dibaca (Zulda dan
Salmiah. 2018).
Fiksasi adalah langkah dasar dibalik studi patologi dan sangat penting
untuk mencegah autolisis dan degradasi jaringan serta komponen jaringan
sehingga mereka dapat diamati baik secara anatomis dan mikroskopis.
Sekitar awal 400 tahun sebelum masehi, Hippocrates telah mendiskusikan
efek biologik merkuri dan alkohol sebagai cairan fiksatif, meskipun
keingintahuan tentang struktur histologik dimulai sejak penemuan mikroskop
cahaya (Zulda dan Salmiah. 2018).
Proses fiksasi biasanya merupakan tahap pertama dalam pembuatan
sediaan histopatologi. Fiksasi adalah berbagai perlakuan yang dapat
melindungi struktur sel dan komposisi biokimianya. Tentu saja kualitas
fiksasi adalah kunci untuk semua tahap selanjutnya yang penting dalam
pembuatan sediaan histopatologik, oleh karena itu pengawetan sel dengan
perubahan morfologi yang minimal dan secara kasat mata tanpa adanya
kehilangan molekul sangat penting dalam pengolahan jaringan. Fiksasi
diharapkan dapat melindungi spesimen biologi dari efek denaturasi dehidrasi
dan semua proses pengolahan jaringan (Zulda dan Salmiah. 2018).
Tujuan utama fiksasi adalah untuk menjaga sel dan komponen jaringan
pada keadaan “life-like state”. Selama proses fiksasi dan tahap-tahap yang
menyertainya terdapatperubaha substansial pada komposisi dan penampakan
sel serta komponen jaringan dan keadaan ini dapat mengubah keadaan dari
“life-like state” yang ideal. Fiksasi yang baik akan menghasilkan kualitas
sediaan yang baik untuk dinilai oleh patologi (Zulda dan Salmiah. 2018).

1
Fiksasi bertujuan untuk mencegah atau menahan degeneratif yang
dimulai segera setelah setelah jaringan kehilangan pasokan darah. Proses
autolisis akan menyebabkan jaringan dicerna dengan enzim intraseluler yang
dilepaskan ketika membran organel pecah. Salah satu proses yang harus
dicegah adalah bakteri pengurai atau pembusukan yang mungkin sudah ada
dalam spesimen. Kehilangan dan difusi zat terlarut harus dihindari sebisa
mungkin dengan cara resipitasi atau koagulasi atau dengan melakukan cross-
linking dengan komponen struktural tidak larut lainnya. Jaringan harus
sebagian besar terlindungi dari efek buruk pengolahan jaringan termasuk
infiltrasi dengan lilin panas, tapi yang paling penting, jaringan harus
mempertahankan rekativitas untuk pewarnaan dan reagen lainnya termasuk
antibodi dan probe asam nukleat (Zulda dan Salmiah. 2018).
Menurut Zulda dan Salmiah (2018) ada empat tujuan dari fiksasi:
1. Menghentikan autolisis jaringan dengan inaktivasi enzim hidrolisis dari
lisosom dan dengan demikian dapat memberikakn morfologi seluler yang
lebih baik untuk dianalisis serta menstabilkan struktur baik di dalam
maupun diantara sel dengan membuat molekul dengan menjadi resisten
terhadap disolusi air dan cairan lainnya.
2. Mengimobilisasi jaringan dan antigen seluler untuk imunolabelling dari
antigen.
3. Persiapan yang lebih baik dlaam pemotongan sampel histopatologi dengan
cara memadatkan dan mengeraskan jaringan.
4. Mencegah proses pembusukan yaitu proses penghancuran jaringan yang
diakibatkan oleh aktifitas bakteri dan biasanya dengan pembentukan gas.
1.2. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui jenis-jenis larutan fiksasi jaringan
2. Untuk mengetahui metode pembuatan reagen fiksatif.
3. Untuk mengetahui jenis-jenis metode fiksatif jaringan.
4. Untuk mengetahui kualitas control keberhasilan fiksasi jaringan.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Mengenal Jenis-Jenis Larutan Fiksasi Jaringan
a. Larutan Formalin
Formalin merupakan nama dagang dari suatu larutan yang
mengandung 40% formaldehida (yang merupakan gas) di dalam air.
Sebagian besar formaldehida hadir sebagai polimer larut, yang
dipolimerisasi pada suatu larutan. Ketika penyimpanan formalin di tempat
yang dingin, maka akan terdapat endapan bubuk putih (Erick dan Dewi,
2017).
Formalin dapat membuat protein dalam jaringan menjadi lebih asam
dari pada menggunakan fiksatif alkohol, oleh karena itu protein yang
difiksasi dengan formalin akan mempunyai afinitas yang lebih baik
terhadap zat-zat warna basa (Erick dan Dewi, 2017).
Larutan fiksatif yang paling umum digunakan untuk histopatologi
adalah larutan 4% formaldehid yang biasa disebut dengan formalin 10%.
Penggunaan larutan ini telah 50 tahun digunakan, hal ini dikarenakan
larutan fiksatif dapat mempertahankan pH netral dan memiliki tekanan
osmotik yang sama dengan cairan ekstraseluler (Zulda dan Salmiah,
2018).
Fiksasi formalin biasanya dilakukan pada suhu kamar, menggunakan
wadah spesimen rendah dan lebar untuk memungkinkan penetrasi yang
optimal dan kemudahan dalam pengambilan spesimen oleh teknisi.
Pilihan terbaik untuk rasio volume adalah 1:20, dan dimensi jaringan
sebesar 3-4 mm (Erick dan Dewi, 2017).
b. Larutan NBF (Neutral Buffer Formalin)
Untuk memastikan bahwa penggunaan formalin mencapai pH yang
netral maka dilakukan dengan menambah garam sehingga disebut dengan
Netral Buffered Formalin, atau NBF. Larutan NBF melakukan kerjanya
sebagai agen fiksasi bukan dengan koagulasi. Penetrasi larutan ini cepat,

3
sehingga fiksatif ini cocok untuk spesimen dengan ukuran yang besar atau
kecil (Syarifah, Tulus dan Fitri., 2018).
Untuk ukuran jaringan yang kecil (10 × 10 × 3 mm) ketika difiksasi
menggunakan NBF selama 12-24 jam pada umumnya akan menunjukkan
kondisi sitoplasma dan inti yang baik dan rinci.Untuk spesimen yang lunak
seperti otak manusia secara keseluruhan membutuhkan waktu 2-6 minggu
ketika difiksasi di NBF hingga menjadi cukupkuat untuk dipotong-potong
(Syarifah, Tulus dan Fitri., 2018).
c. Larutan Bouin
Pol André Bouin (1870-1962) menemukan beberapa campuran fiksatif
di tahun-tahun 1895-1900. Larutan fiksasi yang paling sering dikaitkan
dengan namanya adalah larutan Bouin yang pertama kali dilaporkan pada
tahun 1897 (Erick dan Dewi, 2017).
Larutan Bouin sendiri berisi 10% formaldehida (25% formalin), asam
asetat 0.9 M dan 0.04 M asam pikrat yang dilarutkan di dalam air. Asam
pikrat menembus jaringan agak lambat, mengentalkan protein dan dapat
menyebabkan beberapa penyusutan. Selain penggunaan asam pikrat akan
menyebabkan jaringan menjadi berwarna kuning. Efek dari penggunaan
larutan fiksasi ini akan menghasilkan warna kuning. Warna kuning ini
dapat dihilangkan dengan perendaman di alkohol 70%, lithium karbonat
atau pewarna asam yang dibarengi atau secara terpisah pemberiannya
ketika proses pewarnaan. Larutan Bouin ini memiliki pH berkisar 1,5 – 2.
Penetrasi menggunakan larutan Bouin imi lebih cepat daripada
penggunaan NBF (Rusmiatik, 2019).
Efek komplementer dari ketiga komponen penyusun larutan Bouin ini
bekerja baik untuk mempertahankan morfologi sel. Spesimen biasanya
direndam dalam larutan Bouin selama 24 jam. Namun ketika penyimpanan
terlalu lama di dalam campuran ini dapat menyebabkan hidrolisis dan
hilangnya DNA dan RNA. Hal ini mengharuskan jaringan yang difiksasi
dengan larutan Bouin harus dilakukan pencucian terlebih dahulu sebelum
di proses lebih lanjut (Rusmiatik, 2019).

4
Penggunaan larutan Bouin ini sangat cocok ketika sediaan hendak
dilakukan pewarnaan menggunakan pewarnaan Trichrome. Pewarnaan
Trichrome menggunakan kombinasi tiga pewarna dengan tambahan asam
phosphotungstic atau phosphomolibdic sebagai bagian dari peningkatan
warna sitoplasma, serat kolagen dan komponen lainnya dari jaringan
(Rusmiatik, 2019).
Dalam proses fiksasi dengan larutan bouin, mempunyai kemampuan
untuk penetrasi ke dalam jaringan lebih cepat pada nukleus dan jaringan
ikat akan terpulas dengan baik, tetapi jika waktu fiksasi yang di gunakan
terlalu lama, jaringan menjadi rapuh dan sukar untuk di iris. Larutan bouin
dapat di simpan dalam jangka waktu yang cukup lama dan digunakan
sewaktu-waktu (Rusmiatik, 2019).
d. Larutan Carnoy
Larutan fiksatif ini memerlukan waktu untuk fiksasi selama 1-4 jam.
Komposisi larutan ini terdiri dari methanol absolute 60 ml, chloroform 30
ml, dan acetic acid glacial 10 ml. Larutan Carnoy memiliki daya penetrasi
yang cepat, akan tetapi memiliki efek pengerutan yang kuat sehingga
menghancurkan sitoplasma dan berakibat pada penurunan kualitas
gambaran sediaan histologi. Selain itu, harga larutan carnoy cukup mahal
serta sulit untuk didapatkan sehingga membatasi penggunaan larutan
Carnoy dalam jumlah besar (Ernst, Indriati dan Rachmad., 2017).
e. Larutan Methacam
Larutan fiksatif ini memerlukan waktu untuk fiksasi selama 1-4 jam.
Komposisi larutan ini terdiri dari methanol absolute 60 ml, chloroform 30
ml, dan acetic acid glacial 10 ml. Larutan ini bersifat bereaksi cepat,
mempertahankan inti sel dengan baik, menahan glikogen, melisis eritrosit
dan melarutkan lipid, serta kurang menyebabkan pengerutan dan
penyusutan jaringan (Zulda dan Salmiah, 2018).
f. Larutan Alkohol 70%
Alkohol merupakan salah satu larutan yang digunakan untuk fiksasi
dengan konsentrasi 70%. Alkohol 70% lebih mudah diperoleh, murah,

5
daya penetrasi cepat, dapat melarutkan lemak, jaringan tidak perlu dicuci
secara khusus dan dapat dibawa langsung ke proses selanjutnya. Fiksasi
menggunakan larutan fiksatif Alkohol 70% dapat menyebabkan sitoplasma
mengkerut dan terjadi nekrosis, kromatin dan inti lebih menggumpal, sel
eritrosit tampak mengkerut dan bertumpuk dengan warna merah pucat
karena hilangnya hemoglobin. Sifat asam pada Alkohol 70% dapat
menyebabkan sel mengkerut dan merusak protein (Syarifah, Tulus dan
Fitri., 2018).
2.2 Metode Pembuatan Reagen Fiksatif Jaringan
Histologi adalah bidang biologi yang mempelajari tentang struktur
jaringan secara detail menggunakan mikroskop pada sediaan jaringan yang
dipotong tipis. Histologi dapat juga disebut sebagai ilmu anatomi
mikroskopis. Proses/langkah pertama dalam menyiapkan materi segar untuk
pembuatan sediaan histologi adalah fiksasi. Fiksasi merupakan langkah yang
penting dalam pembuatan sediaan utuh maupun sayatan (Mujimin dan Sri.
2013).
Fiksasi adalah memberikan perlakuan tertentu terhadap elemen-elemen
jaringan, terutama inti sel atau nukleusnya, sehingga dapat diawetkan dalam
kondisi yang sedikit banyak mendekati keadaan aslinya. Tujuan dari fiksasi
adalah untuk mempertahankan elemen-elemen sel atau jaringan agar tetap
pada tempatnya dan tidak mengalami perubahan bentuk maupun ukuran.
Sedangkan fungsi dari fiksasi adalah untuk menghambat proses metabolisme
dengan cepat, mengawetkan elemen sitologis dan histologis, mengawetkan
bentuk yang sebenarnya, serta mengeraskan atau memberi konsentrasi
material yang lemah (Mujimin dan Sri. 2013).
Sampel yang diambil adalah sampel yang sakit tapi belum mati,
merupakan contoh terbaik untuk diagnosa. Sampel yang sudah mati biasanya
sudah terkontaminasi oleh mikroorganisme dan sulit untuk mengetahui
parasit eksternal karena parasit tersebut biasanya sudah meninggalkan
sampel tersebut dan jaringannya sudah rusak (autolisa). Oleh karena itu,

6
sampel yang sudah mati tidak baik digunakan untuk pengamatan secara
histologi (Mujimin dan Sri. 2013).
Formalin yang dinetralkan dapat memberikan pengawetan yang baik,
terutama sampel-sampel yang bersifat penting. Namun sedikit memberikan
efek negatif terhadap sel meskipun tidak merusak sel. Untuk itu, pembuatan
larutan formalin yang akan digunakan sebagai bahan pengawet harus tepat
sebab kualitas formalin dapat memengaruhi ketahanan dan bentuk sel
(Mujimin dan Sri. 2013).
Menurut (Mujimin dan Sri. 2013), bahan yang dipakai dalam pembuatan
larutan fiksasi terdiri atas:
1. Formalin 37%-40% sebagai bahan utama dalam membuat larutan fiksasi
2. Air laut
3. Aquades
4. Natrium difosfat (NaH2 PO4)
5. Natrium fosfat (NaH2 PO4)
6. Picric acid (asam pikrat)
7. Glacial acetic acid
Menurut (Mujimin dan Sri. 2013), metode pembuatan larutan fiksasi
yang biasa digunakan untuk mengawetkan sampel terdiri atas:
a) Larutan Formalin 10% dalam Air Laut atau Aquades
Larutan ini digunakan untuk fiksasi gonad, organ dalam yang lunak
dari yuwana ikan, larutan ini praktis mudah dibuat dalam keadaan
mendesak. Sedangkan cara membuatnya adalah formalin 37%-40%
sebanyak 10 mL kemudian ditambahkan 10 mL air laut lalu ditambahkan
80 mL aquades dalam 100 mL.
b) Larutan buffer Formalin 10%
Pada prinsipnya kegunaannya hampir sama dengan formalin 10%
tapi larutan ini berpenyangga fosfat yaitu untuk fiksasi gonad, organ-
organ dalam yang lunak dari yuwana. Sampel atau jaringan dapat
disimpan dalam larutan ini dalam jangka waktu yang lama, cara
pembuatan yaitu: timbang natrium difosfat (NaH2 PO4) sebanyak 4,0 g

7
dan natrium fosfat (NaH2 PO4 ) sebanyak 6,5 g; kemudian dimasukkan
ke dalam beacker glass dan ditambah aquades sebanyak 400 mL, diaduk,
dan dipanaskan dengan tujuan supaya cepat larut, lalu ditambahkan
formalin 37%-40% sebanyak 100 mL; aquades sebanyak 500 mL. Larutan
tersebut diaduk kembali agar homogen dan ditambahkan lagi aquades
sampai volume 1 L.
c) Larutan Formalin 5% dalam Aquades atau Air Laut
Larutan ini digunakan untuk fiksasi larva dari D-0 sampai dengan
D-10, hasilnya lebih baik bila dibandingkan dengan larutan fiksasi lain.
Cara mencampur larutan adalah: formalin 37%-40% sebanyak 5 mL
ditambahkan dengan aquades 80 mL, untuk formalin 5% air laut aquades-
nya diganti dengan air laut
d) Larutan Bouins
Larutan bouins ini berwarna kuning karena terdapat bahan kimia
picric acid, digunakan untuk fiksasi gonad, insang, dan tulang. Larutan ini
dapat juga digunakan untuk fiksasi larva. Untuk fiksasi larva umur 1-10
hari dengan lama perendaman selama 2 jam, kemudian larutan diganti
dengan alkohol 50% selama 2 jam, alkohol 70% lamanya 2 jam, dan
dipindahkan ke alkohol 90% selama 2 jam, serta terakhir ke absolut
alkohol dan disimpan di dalam freezer (Mujimin dan Sri. 2013).
Fiksasi bouins biasanya selama 24 jam, apabila sampelnya kecil
dapat difiksasi dalam 2-3 jam kemudian dipindahkan ke alkohol 50%
dengan tujuan untuk menghilangkan picric acid dan disimpan dalam
alkohol 70%. Cara pembuatan larutan: picric acid diencerkan dengan
aquades agar warna larutan kuning bening (bahan picric acid sudah
mengendap), kemudian diambil sebanyak 75 mL ditambahkan dengan
formalin 37%-40% sebanyak 25 mL terakhir dicampurkan glacial acetic
acid 5 mL. Apabila larutan picric acid terlalu pekat hasilnya kurang
bagus, penguapan picric acid juga sangat berbahaya (Mujimin dan Sri.
2013).

8
Larutan formalin 10% yang paling sering digunakan dikarenakan
bahannya mudah didapat dan campuran larutan ini sangat sederhana.
Larutan ini biasanya dipakai jika melakukan survai ke daerah yang jauh
dengan jumlah sampel yang banyak. Larutan ini juga bisa dibuat di
tempat lokasi kerja atau di tempat sampling (Mujimin dan Sri. 2013).
Larutan buffer formalin 10% digunakan untuk memfiksasi semua
jenis organ/jaringan. Larutan ini umum digunakan dan menjadi larutan
fiksasi standar dalam bidang histologi maupun histopatologi. Hal tersebut
dikarenakan larutan ini mengandung bahan penyangga sehingga lebih
dapat memberikan efek fiksasi atau pengawet. Akan tetapi campuran
larutan ini lebih banyak bahannya sehingga diperlukan tempat atau
laboratorium untuk melakukannya. Oleh karena itu, larutan ini sering
digunakan di laboratorium atau untuk dibawa ke tempat/daerah untuk
sampling dalam jumlah/volume sedikit. Biasanya larutan ini digunakan
untuk mengganti larutan formalin 10% yang dipakai bahan fiksasi
sewaktu sampling ke daerah-daerah dengan tujuan untuk menyegarkan
pengawetan (refresh) agar hasil histologinya lebih baik (Mujimin dan Sri.
2013).
Larutan formalin 5% biasanya dipakai untuk fiksasi larva, bisa juga
untuk fiksasi yang lain, larutan ini harus selalu tersedia di laboratorium.
Apabila untuk fiksasi larva, hasil histologi preparat lebih baik dari fiksasi
lain. Akan tetapi, larutan ini kurang baik digunakan untuk mengawetkan
organ/jaringan dalam waktu lama terutama untuk tujuan melihat
perubahan organ/jaringan (histopatologi). Selain itu, dalam melakukan
pemotongan (cutting) dari blok preparat hasil fiksasi larva (D-1- D-10)
dengan larutan ini harus lebih hati-hati karena sampel larva hampir tidak
terlihat (transparan) dikarenakan warna sampel dengan parafin sama
putihnya (Mujimin dan Sri. 2013).
Larutan bouins merupakan larutan fiksasi yang sekaligus
mengandung senyawa asam yang berfungsi untuk melunakkan
(dekalsifikasi) jaringan keras seperi tulang, sirip, dan lainnya. Larutan ini

9
lebih banyak digunakan untuk mengawetkan larva karena berwarna
kekuning-kuningan, sehingga dalam proses histologi selanjutnya terutama
proses pengeblokkan dan pemotongan lebih mudah (Mujimin dan Sri.
2013).
Dalam memfiksasi suatu organ/jaringan, perlu diperhatikan
perbandingan antara larutan dengan organ sampel. Perbandingan larutan
dan organ sampel yang baik adalah 1:10-20. Sampel yang berukuran
besar atau yuwana sebelum dimasukkan ke dalam wadah larutan fiksasi
bagian perut harus dibelah untuk memudahkan penetrasi atau masuknya
bahan pengawet (Mujimin dan Sri. 2013).
Ukuran organ untuk fiksasi akan lebih baik jika organ berukuran
kecil dan dipotong tipis untuk memberi peluang bahan fiksasi dapat
meresap ke semua bagian organ. Jika organ atau ikan utuh yang difiksasi
memerlukan waktu yang lebih lama (> 1 minggu) dibandingkan dengan
organ ukuran kecil atau dipotong kecil-kecil dan tipis. Pemotongan organ
juga disesuaikan dengan cetakan blocking yang akan digunakan agar
sesuai dan tidak kebesaran. Sebagai contoh sampel berupa gonad
dipotong sesuai dengan cetakan, untuk sampel berukuran besar, potong
bagian ikan yang bermanfaat untuk keperluan diagnosa seperti insang dan
organ dalam (Mujimin dan Sri. 2013).
2.3 Jenis-Jenis Metode Fiksatif Jaringan
Menurut (Zulda dan Salmiah, 2018), secara garis besar terdapat dua
metode fiksatif yaitu denaturasi dan cross-linking atau gabungan keduanya.
a) Denaturasi
Efek denaturasi paling umum disebabkan oleh dehidran seperti
alcohol dan aseton contohnya adalah larutan Carnoy’s dan Methacam.
Reagen ini mengubah komposisi jaringan dan menstabilkan jaringan
dengan menghilangkan ikatan H- pada kelompok tertentu dalam molekul
protein seperti ikatan carboxyl bebas, hydroxyl, amino, amido dan imino
dari protein yang menyebabkan perubahan pada struktur tersier protein
dengan menstabilisasi ikatan hidropobik. Hal ini menyebabkan perubahan

10
pada solubilitas protein dimana protein yang larut dalam air menjadi tidak
larut, koagulasi protein dan penyusutan sel. Larutan fiksatif Carnoy’s
menambahkan cholorofm dan acetic acid ke dalam campuran yang dapat
melawan efek penyusutan sel oleh etanol dan mengakibatkan
terfiksasinya jaringan melalui ikatan hydrogen sedangkan pada larutan
Methacam, dimana etanol digantikan oleh methanol yang bekerja dengan
cara yang sama.
b) Cross-linking
Larutan fiksatif ini secara kimiawi bereaksi dengan protein serta
komponen sel dan jaringan dimana suatu ikatan kimia larutan fiksatif
diambil dan menjadi bagian dari jaringan dengan cara mengisi dan
membentuk cross-link, inter-molekul atau intra molekul. Zat fiksatif ini
adalah senyawa reaktif yang dapat mengikat berbagai komponen kimia di
jaringan sehingga sering mempengaruhi komponen pada tempat ia
berikatan. Hal ini mempunyai efek pada karakteristik pewarnaan
berikutnya dari partikel protein sehingga menggangu konformasi molekul
dan kelarutanya. Reaksi utama daricross-link terjadi antara bagian
kelompok amino dari lysine yang akan membentuk methylene bridges.
Hasil dari ikatan cross-linking ini adalah perubahan konformasi
pada struktur protein dan selanjutnya inaktivasi dari enzim. Kopleks yang
baru terbentuk berbeda dari protein yang tidak terdenaturasi pada profil
antigenik dan kimia. Menurut definisi, fiksatif mengubah komposisi kimia
yang asli dari jaringan yang serta menyebabkan perubahan fisik pada
komponen seluler dan ekstraseluler.
2.4 Kualitas Kontrol Keberhasilan Fiksasi Jaringan
Menurut (Zulda dan Salmiah, 2018), dengan mengikuti prinsip dari
setiap faktor yang berhubungan dengna proses fiksasi, hasil fiksasi yang
konsisten dan optimal dapat dicapai. Berikut adalah tiga hal penting untuk
fiksasi yang baik dan dua puluh peraturan yang harus diikuti untuk
memastikan pencapaiannya.
1. Kondisi Ketika Jaringan Segar

11
a. Masukkan jaringan secepat mungkin. Ingat bahwa degenerasi sel
dimulai segera setelah sel kekurangan suplai darah dan koordinasi
persyarafan tubuh.
b. Hentikan metabolisme dengan pendinginan. Jika fiksasi tidak dapat
segera mungkin untuk dilakukan, maka jaringan segera didinginkan
namun jangan sampai jaringan membeku. Suhu yang diperkenankan
adalah 4°C. Pembekuan jaringan yang lambat akan menghasilkan
kerusakan yang cukup besar akibat terbentuknya kristal es.
c. Jaringan segar dapat bersifat infeksius. Pertimbangkan jaringan yang
segar ketika Anda terima. Ketika jaringan segar atau tidak lengkap
terfiksasi maka akan berpotensi menularkan sumber infeksius kepada
Anda dan pekerja lainnya.
d. Jangan biarkan spesimen mengering. Pemotongan jaringan segar akan
membuat permukaan spesimen dapat mengalami kerusakan permanen
dan bisa menutupi perubahan sel akibat faktor patologis sehingga
menyebabkan negatif palsu. Spesimen endoskopik yang kecil sangat
rentan terhadap kerusakan jenis ini.
e. Jangan mendistorsi jaringan. Lakukan dengan lembut jaringan yang
segar. Distorsi atau kerusakan mekanis lainnya akan menyebabkan
perubahan morfologis permanen yang dapat membuat interpretasi
menjadi sulit.
f. Beri label secara lengkap dan akurat.Identifikasi merupakan hal yang
mutlak penting untuk bahan diagnostik dan penelitian.

2. Penentuan Larutan Fiksasi Yang Tepat


a. Fixative harus menembus dari semua sisi. Selalu tempatkan spesimen
ke dalam wadah yang sudah mengandung fiksatif. Hindari
menempelnya jaringan dengan wadah dikarenakan dapat mengurangi
sisi penetrasi larutan. Masukkan terlebih dahulu larutan fiksasi ke
dalam wadah kemudian masukkan jaringannya.

12
b. Rongga harus terbuka. Bila mungkin organ berongga atau spesimen
dengan rongga alami harus dibuka untuk memungkinkan akses fiksatif
langsung. Jika tidak memungkinkan seperti organ paru-paru, maka
bungkus dengan kertas saring atau lakukan dengan aspirator untuk
menarik udara keluar dan tergantikan dengan cairan fiksasi.
c. Perfusi beberapa spesimen. Fiksasi oleh perfusi melalui sistem
vaskular pada organ yang masih utuh atau pada hewan percobaan kecil
akan menghasilkan hasil yang sangat baik.
d. Ketebalan organ (maksimal 4mm).Ketebalan spesimen atau potongan
jaringan tidak boleh melebihi 4 mm jika menginginkan proses fiksasi
berjalan dengan optimal.
e. Lakukan agitasi pada proses. Jika memungkinkan lakukan agitasi
dengan lembut pada jaringan yang akan difiksasi dengan cara spesimen
digoyang-goyang atau diputar-putar dengan perlahan selama beberapa
menit atau hingga larutan fiksasi terpenetrasi sempurna.
f. Rasio Volume : rasio jaringan. Volume larutan fiksasi menjadi penting
dikarenakan konsentrasi akan berkurang seiring dengan jumlah
jaringan yang dimasukkan ke dalam wadah fiksasi.
g. Berikan waktu yang cukup. Waktu untuk proses fiksasi harus dapat
dipastikan bahwa larutan fiksasi dapat menembus bagian terpusat dari
spesimen dan sempurnanya reaksi kimia oleh larutan fiksasi.
h. Penggunaan suhu.Suhu fiksasi yang baik ketika awal pemberian akan
baik jika dilakukan pada suhu kamar (20°C), namun untuk kasus
tertentu suhu dapat ditingkatkan hingga 45°C namun perlu
diperhatikan waktu fiksasinya agar tidak merusak jaringan.

3. Pilihan Yang Tepat Dari Larutan Fiksasi


a. Larutan fixatives harus dibuat dengan hati-hati dari reagen dengan
kualitas yang sesuai dan segar. Reagen dengan kualitas buruk dapat
menghasilkan kualitas fiksasi yang buruk pula. Beberapa formulasi
harus dibuat dari larutan stok sesaat sebelum digunakan, hal ini

13
dikarenakan larutan fiksasi itu tidak stabil ketika diberikan larutan
pengencer yang (misalnya cairan Helly).
b. Pergantian Larutan Fiksasi. Spesimen yang diterima dan telah difiksatif
harus diperiksa dan diganti larutan fiksatifnya jika memang dianggap
perlu, dan jika meragukan segera ganti dengan larutan fiksasi yang
baru yang sebelumnya jaringan dicuci pada air mengalir.
c. Frekuensi Penggunan Larutan Fixatives. Larutan fiksasi yang telah
digunakan disarankan tidak digunakan kembali meskipun rasio yang
digunakan pada jaringan sebelumnya sangatlah tinggi. Hal ini
dilakukan agar tidak terjadi kontaminasi dengan jaringan sebelumnya.
d. Hindari tutup wadah yang bersifat logam. Ketika menggunakan wadah
untuk melakukan proses fiksasi, gunakan wadah yang bebas dari sifat
logam. Hal ini dikarenakan beberapa larutan fiksatif sangat korosif
(misalnya garam merkuri).
e. Perlakuan Setelah Pemberian Larutan Fiksasi. Beberapa larutan fiksasi
mengharuskan spesimen dicuci di air sebelum masuk ke tahap
pematangan jaringan (misalnya Zenker atau Helly) atau beberapa
persyaratan lainnya.
f. Semua fiksatif bersifat toksik dan korosif. Perlakukan larutan fiksasi
sebagai larutan yang beracun dan korosif, meskipun jumlahnya
bervariasi. Namun jika Anda kontak dengan larutan fiksatif maka harus
waspada terhadap potensi bahaya.

14
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
a) Mengenal Jenis-Jenis Larutan Fiksasi Jaringan
1) Larutan Formalin
2) Larutan NBF (Neutral Buffer Formalin)
3) Larutan Bouin
4) Larutan Camoy
5) Larutan Methacam
6) Larutan Alkohol 70%
b) Metode Pembuatan Reagen Fiksatif Jaringan
Menurut (Mujimin dan Sri. 2013), metode Pembuatan larutan fiksasi
yang biasa digunakan untuk mengawetkan sampel terdiri atas:
1) Larutan Formalin 10% dalam Air Laut atau Aquades
2) Larutan buffer Formalin 10%
3) Larutan Formalin 5% dalam Aquades atau Air Laut
4) Larutan Bouins
c) Jenis-Jenis Metode Fiksatif Jaringan
a) Metode Denaturasi
b) Metode Cross-linking
d) Kualitas Kontrol Keberhasilan Fiksasi Jaringan

15
DAFTAR PUSTAKA
Khristian, Erick dan Dewi Inderiati. 2017. Sitohistoteknologi (Hal 85-89).
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Mujimin, M., & Suratmi, S. 2016. Teknik Mencampur Larutan Fiksasi Untuk
Histologi. Buletin Teknik Litkayasa Akuakultur, 11(2), 137-140.
Musyarifah, Zulda dan Salmiah Agus. 2018. Proses Fiksasi Pada Pemeriksaan
Histopatologik. Jurnal Kesehatan Andalas. Vol. 7, No. 3.
Nur Fajriana Syarifah, Tulus Ariyadi dan Fitri Nuroini. 2018. Gambaran
Kualitas Sediaan Jaringan Hati Menggunakan Larutan Fiksatif NBF
10% dan Alkohol 70% Pada Pewarnaan HE (Hematoksilin-Eosin).
Prosiding Seminar Nasional Mahasiswa Unimus (Vol. 1, 2018).
Rusmiatik. 2019. Perbandingan Fiksasi Larutan Bouin Dan Formalin Pada
Sediaan Preparat Histologi Testis Marmut. Jurnal Kedokteran, Vol.
4, No. 2. Mataram.
Randy Nuralim Ernst, Indriati Dwi Rahayu dan Rachmad Sarwo Bekti. 2017.
Analisis Perbandingan Fiksasi Menggunakan Larutan Formalin Dan
Larutan Carnoy Pada Somit, Neural Tube, Dan Vaskular Embrio
Ayam Usia 48 Jam Dengan Pewarnaan Hematoxylin-Eosin. Majalah
Kesehatan FKUB, Vol.4, No. 1.
Zulda dan Salmiah. 2018. Proses Fiksasi Pada Pemeriksaan Histopatologik.
Jurnal Kesehatan Andalas. Vol. 7, No. 3.

16

Anda mungkin juga menyukai