LAPORAN
disusun untuk memenuhi tugas Praktikum Teknologi Bahan Alam
2
berbagai manfaat terapetik yaitu analgesik, anaestesi, antiseptik, adstringen,
karminativa, dekongestan, ekspectoran, saraf, stimulan, lambung, penyakit
radang, maag, dan masalah perut.
Sedangkan basis dalam pembuatan suppositoria ini adalah campuran
polietilenglikol (PEG) 400 dan polietilenglikol (PEG) 6000. Basis ini digunakan
karena dapat meningkatkan titik lebur suppositoria sehingga lebih tahan terhadap
suhu ruangan yang hangat, dengan demikian pelepasan obat tidak tergantung dari
titik lelehnya, stabilitas fisik dalam penyimpanan lebih baik. Sehingga diharapkan
basis ini dapat mempertahankan kestabilan fisik sediaan.
Ketiga komponen tersebut dirancang untuk dijadikan sediaan suppositoria
intra nasal yang akan dikemas dalam bentuk wadah inhaler, sehingga dengan
dirancangnya bentuk sediaan tersebut, secara praktis masyarakat akan lebih suka
menggunakaan produk olahan herbal yang aman dan aroma khas terapi yang
melegakan hidung.
3
dialami masyarakat terutama pada sistem saluran pernapasan yang sering ditemui
akhir-akhir ini.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
2.1.2 Morfologi
Tanaman Sambiloto (Andrographis paniculata)
Sambiloto atau dikenal juga dengan sebutan Kalmegh, Kalafath, Kanjang,
Alui, Charita, Sambilata, Andrograpidis banyak ditemukan dan
dibudidayakan di daerah tropis dan subtropis Asia, Asia Tenggara dan India
(Benoy et al., 2012). Tanaman sambiloto memiliki tinggi 40 cm sampai 90 cm,
percabangan banyak dengan letak yang berlawanan, cabang berbentuk segi
empat dan tidak berambut. Bentuk daun lanset, ujung daun dan pangkal daun
tajam atau tegak tajam, tepi daun rata, panjang daun 3 cm sampai 12 cm dan
lebar 1 cm sampai 3 cm, panjang tangkai daun 5 mm sampai 25 mm; daun
bagian atas bentuknya seperti daun pelindung. Perbungaan tegak bercabang-
cabang, gagang 20, bunga 3 mm sampai 7 mm, panjang kelopak bunga 3 mm
sampai 4 mm. Bunga bibir bentuk tabung, panjang 6 mm, bibir bunga bagian
atas berwarna putih dengan warna kuning di bagian atasnya, bibir bunga bawah
lebar.
6
g) Pemberian rebusan daun sambiloto 40% sebanyak 20 milkg bb
dapat menurunkan kadar glukosa darah.
h) Infus daun sarnbiloto 5%, 10% dan 15%, semuanya dapat
menurunkan suhu tubuh marmut yarrg dibuat demam.
i) Infus herba sambiloto mempunyai daya anti jamur terhadap
Microsporum canis, Trichophyton mentagrophytes, Trichophyton
rubrum, Candida albicans, dan Epidermophyton floccosum.
j) Fraksi etanol herba sambiloto mempunyai efek anti histaminergik.
Peningkatan konsentrasi akan meningkatkan hambatan kontraksi
ileum.
Sambiloto dapat berhasiat untuk Hepatitis, infeksi saluran empedu, diare,
Influenza, radang amandel (tonsilitis), abses paru, malaria, radang paru
(pneumonia), radang saluran napas (bronkhitis), radang ginjal akut
(pielonefritis), radang telinga tengah (OMA), radang usus buntu, sakit gigi,
demam, kencing nanah (gonore), kencing manis (diabetes melitus), TB paru,
skrofuloderma, batuk rejan (pertusis), sesak napas (asma), leptospirosis, darah
tinggi (hipertensi), kusta (morbus hansen=lepra), keracunan jamur, singkong,
makanan laut, Kanker, dan tumor ganas (Fauziah, 1999).
2.1.4 Kandungan Kimia
Andrographis paniculata mengandung diterpene, laktone, dan
flavanoid. Flavanoid terutama ditemukan diakar tanaman, tetapi juga
ditemukan pada bagian daun. Bagian batang dan daun mengandung alkana,
ketone dan aldehid. Meskipun di awal diduga bahwa senyawa yang
menimbulkan rasa pahit adalah senyawa lakton. andrographolide, lebih lanjut
diketahui bahwa daun sambiloto mengandung dua senyawa yang menimbulkan
rasa pahit yakni andrographolide dan senyawa yang disebut dengan kalmeghin.
Empat senyawa lakton yang ditemukan dalam daun sambiloto (Akbar, 2011)
adalah:
1. deoxyandrographolide
2. andrographolide
3. neoandrographolide) dan
4. 14-deoxy-11, 12-didehydroandrographolide
7
2.1.5 Andrographolide
.
2.2.1 Klasifikasi
8
Regnum : Plantae
Divisio : Magnoliophyta
Classis : Magnoliopsida
Ordo : Lamiales
Famila : Lamiaceae
Genus : Mentha
Plantamor (2016).
2.2.2 Morfologi
9
2.2.3 Manfaat
2.2.4 Kandungan
10
2.3 Basis Suppositoria
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari nares
anterior hingga koana di posterior yang memisahkan rongga hidung dari
nasofaring. Septum nasi membagi tengah bagian hidung dalam menjadi kavum
nasi kanan dan kiri. Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu
dinding medial, lateral, inferior dan superior.
11
koana. Di sebelah lateral dan depan dibatasi oleh nasus externus. Di sebelah
lateral belakang berbatasan dengan orbita : sinus maksilaris, sinus etmoidalis,
fossa pterygopalatina, fossa pterigoides.
Dinding lateral dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu di anterior terdapat
prosesus frontalis os maksila, di medial terdapat os etmoidal, os maksila serta
konka, dan di posterior terdapat lamina perpendikularis os palatum, dan lamina
pterigoides medial. Bagian terpending pada dinding lateral adalah empat buah
konka. Konka terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior kemudian
konka yang lebih kecil adalah konka media, konka superior dan yang paling
kecil adalah konka suprema. Konka suprema biasanya akan mengalami
12
rudimenter.15 Diantara konkakonka dan dinding lateral hidung terdapat rongga
sempit yang dinamakan dengan meatus. Terdapat tiga meatus yaitu meatus
inferior, media dan superior.
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit
antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Resesus 9
sfenoetmoidal terletak di posterosuperior konka superior dan di depan konka os
spenoid. Resesus sfenoetmoidal merupakan tempat bermuaranya sinus sfenoid.
13
Septum membagi kavum nasi menjadi ruang kanan dan kiri. Bagian
posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh
kartilago septum, premaksila dan kolumela membranosa. Bagian posterior dan
inferior oleh os vomer, krista maksila, krista palatina dan krista sfenoid.
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal
dari n.oftalmikus (N.V1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion
sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima
serabut-serabut sensoris dari n.maksila (N.V2), serabut parasimpatis dari
14
n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus
profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung
posterior konka media.
Hidung tersumbat atau kongesti hidung terjadi karena adanya aliran udara
yang terhambat dikarenakan rongga hidung yang menyempit. Penyempitan
rongga ini bisa terjadi akibat proses inflamasi yang memberikan efek vasodilatasi
atau sekresi mukus yang berlebih, kelainan struktural anatomi yang
mempersempit rongga, serta infeksi.
a. Rinitis Alergi
Reaksi alergi terdiri atas dua fase yaitu fase sensitisasi dan fase
aktivasi. Paparan alergen terhadap mukosa menyebabkan alergen tersebut
dipresentasikan oleh Antigen Presenting Cell (APC) ke CD4+ limfosit T.
15
Ikatan antara sel penyaji antigen dan sel Th0 memicu deferensiasi Sel Th0
menjadi sel Th2. Hal ini mengakibatkan sitokin-sitokin IL3, IL4, IL5, IL9,
IL10, IL13 dan GranulocyteMacrophage Colony-Stimulating (GMCSF)
dilepaskan.
16
Leukotrien berefek pada maturasi esinofil, bertindak sebagai
chemoattractants eosinofil, mendorong adhesi eosinofil dan menginhibisi
apoptosis eosinofil.20 PGI D2 adalah prostanoid utama yang diproduksi
pada fase cepat reaksi alergi. Prostaglandin berhubungan dengan efek
hipertrofi dan infalamasi pada hidung dan peningkatan jumlah eosinofil.
Prostaglandin akan terikat pada reseptornya di pembuluh darah yang
menyebabkan vasodilatasi.
Anatomi bentuk hidung seseorang akan sesuai dengan tipe suku bangsa
atau ras tertentu. Bentuk dan ukuran hidung bagian luar akan mempengaruhi
ukuran dan bentuk hidung bagian dalam atau rongga hidung, sehingga akan
mempengaruhi pula tahanan hidungnya. Kelainan anatomi yang dapat
menyebabkan sumbatan hidung adalah septum deviasi, konka hipertrofi, konka
bulosa. Sedangkan kelainan anatomi yang bersifat kongenital adalah atresia koana
dan celah palatum.
A. Septum Deviasi
Bentuk septum normal adalah lurus di tengah rongga hidung,
namun bisa terdapat kelainan berupa septum yang tidak terletak di tengah
yang disebut septum deviasi. Septum deviasi dapat menyebabkan gangguan
jalan napas dan gejala sumbatan hidung. Defleksi anterior yang memiliki
dampak terbesar pada aliran udara.
17
Tipe septum menurut Mladina adalah23 :
a. Tipe I, terdapat rista unilateral di puncak septum yang tidak
mengganggu fungsi katup hidung
b. Tipe II, krista unilateral di ujung konka media
c. Tipe III, terdapat krista unilateral di ujung konka media -Tipe IV,
terdapat dua krista, satu krista terletak berdekatan dengan ujung konka
media, sedangkan krista lain terletak di sisi berseberangan pada area
katub.
d. Tipe V, krista unilateral pada dasar septum, sementara di sisi lain
septum lurus.
e. Tipe VI, menunjukan sulkus pada sisi yang berseberangan dengan
krista.
f. Tipe VII adalah campuran dari jenis I ke VI
Menurut Janardhan, klasifikasi septum deviasi tipe V yang paling
banyak (46%) pada 100 pasien dengan septum deviasi yang paling sering
menimbulkan gangguan pada aliran udara di rongga hidung adalah tipe III-VI.
Jin RH et al juga membagi septum deviasi berdasarkan berat atau
ringannya keluhan yaitu ringan ketika deviasi kurang dari setengah rongga hidung
dan belum ada bagian septum yang menyentuh dinding lateral hidung, sedang
ketika deviasi kurang dari setangah rongga hidung tetapi ada sedikit bagian
septum yang menyentuh dinding lateral hidung dan berat ketika septum deviasi
sebagian besar sudah menyentuh dinding lateral hidung.
a. Konka Hipertrofi
Konka terdiri dari struktur tulang yang dibatasi oleh mukosa. Mukosanya
memiliki epitel kolumnar pseudostratifed bersilia dengan sel goblet dan
banyak mengandung pembuluh darah dan kelenjar lendir. Konka
melindungi hidung dengan mengatur temperatur dan kelembaban udara
inspirasi dan menyaring benda-benda asing yang terhirup bersama udara
inspirasi. Hipertrofi konka menimbulkan keluhan hidung tersumbat
dengan mekanisme proses inflamasi. Inflamasi dapat diakibatkan rinitis
maupun rinosinusitis. Inflamasi ini menyebabkan adanya vasodilatasi, dan
18
produksi mukus yang meningkat sehingga aliran udara terhambat dan
timbul gejala hidung tersumbat.
2.6 Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang telah dikeringkan dipergunakan
sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali
dikatakan lain (Depkes RI, 2000). Simplisia menurut Depkes RI (1989) terbagi
menjadi 3, yaitu:
1. Simplisia nabati, yaitu simplisia yang berupa tanaman atau eksudat
tanaman. Eksudat tanaman adalah isi sel yang secara spontan keluar
dari tanaman atau isi sel dengan cara tertentu dikeluarkan dari
selnya, atau zat-zat nabati lainnya yang dengan cara tertentu
dipisahkan dari tanamannya dan belum berupa zat kimia murni.
2. Simplisia hewani, yaitu simplisia yang berupa hewan utuh, bagian
dari hewan atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan
belum berupa zat kimia murni.
3. Simplisia pelikan (mineral), adalah simplisia yang berupa bahan
pelikan (mineral) yang belum diolah atau telah diolah dengan cara
sederhana dan belum berupa zat kimia murni.
19
karena itu, ekstrak awal perlu dipisahkan ke dalam fraksi yang memiliki polaritas
dan ukuran molekul yang sama (Mukhriani, 2014).
2.8 Jenis Ekstraksi
2.8.1 Cara Dingin
A. Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada
temperatur ruangan (kamar). Prinsip metode yaitu pencapaian
konsentrasi pada kesetimbangan (Depkes RI, 2000).
Metode ini dilakukan dengan cara memasukkan serbuk tanaman
dan pelarut yang sesuai ke dalam wadah inert yang tertutup rapat
pada suhu kamar. Proses ekstraksi dihentikan ketika telah tercapai
kesetimbangan antara konsentrasi senyawa dalam pelarut dengan
konsentrasi dalam sel tanaman. Ketika proses ekstraksi, pelarut
dipisahkan dari sampel dengan penyaringan. Kerugian utama dari
metode maserasi ini adalah memakan banyak waktu, pelarut yang
digunakan cukup banyak, dan besar kemungkinan beberapa
senyawa hilang. Tetapi di sisi lain, metode maserasi dapat
menghindari rusaknya senyawa-senyawa yang bersifat termolabil
(Mukhriani, 2014).
B. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai
sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan
(Depkes RI, 2000). Bahan pengekstraksi yang dialirkan secara
kontinyu dari atas akan mengalir turun secara lambat melintasi
simplisia yang umumnya berupa serbuk kasar. Melalui penyegaran
bahan, pelarut secara kontinyu akan terjadi proses maserasi
bertahap banyak (Voight, 1994). Metode ekstraksi perkolasi lebih
baik dibandingkan dengan cara maserasi karena:
Aliran pelarut (cairan penyari) menyebabkan adanya pergantian
larutan yang terjadi dengan larutan yang konsentrasinya lebih
rendah, sehingga meningkatkan derajat perbedaan konsentrasi.
20
Ruangan diantara butir-butir serbuk simplisia membentuk saluran
tempat mengalir pelarut (cairan penyari). Akibat kecilnya saluran
kapiler tersebut, kecepatan pelarut cukup untuk mengurangi lapisan
batas, sehingga dapat meningkatkan perbedaan konsentrasi (Ditjen
POM, 2000).
2.8.2 Cara Panas
A. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik
didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang
relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya
dilakukan pengulangan proses residu pertama 3 sampai 5 kali
sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna (Depkes RI,
2000).
B. Soklet
Soklet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru,
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi
kontinyu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya
pendingin balik (Depkes RI, 2000).
C. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (pengadukan secara kontinyu) pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar),
yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-500C (Depkes
RI, 2000).
D. Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada penangas air (bejana
infus tertutup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur
(96-980C) selama waktu tertentu (15-20 menit) (Depkes RI, 2000).
E. Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (> 300C) dan
temperatur sampai titik didih air (Depkes RI, 2000)
21
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah blender, timbangan
analitik digital, kertas saring (Whatman), desikator, tanur, kaki tiga, kasa asbes,
moisture balance, vacum rotary evaporator, cetakan suppositoria, plat KLT, UV
cabinet, seperangkat alat destilasi, cawan penguap, cawan krus, spatel, botol
coklatdan alat-alat gelas seperti, beaker glass, gelas ukur, batang pengaduk, pipet
tetes, tabung reaksi, corong gelas, dan chamber.
3.2 Bahan
Bahan–bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah simplisia herba
sambiloto, etanol 95%, PEG 400, PEG 6000, pappermint oil, metanol, ammonia
25%, kloroform, HCl, NaOH, reagen dragendrof , reagen FeCl3, reagen Burchard
Liberman, gelatin, sulfat Vanilin, dan aquadest.
22
ditunjukkan dengan terbentuknya endapan atau kekeruhan berwarna
putih. Filtrat 3: Sebagai blangko atau contol negatif.
b. Kuinon
Serbuk simplisia ditambahkan dengan air, dididihkan selama 5 menit
kemudin disaring dengan kapas. Pada filtrat ditambahkan larutan
KOH 1N. Terjadinya warna kuning menunjukkan bahwa dalam
bahan uji mengandung senyawa golongan kuinon.
c. Tanin
Sejumlah kecil serbuk simplisia dalam tabung reaksi dipanaskan di
tangas air, kemudian disaring. Pada filtrat ditambahkan gelatin 1%
akan timbul endapan putih bila ada tannin.
d. Saponin
Serbuk simplisia ditambahkan dengan air, didihkan selama 5 menit
kemudian dikocok. Terbentuknya busa yang konsisten selama 5-10
menit ± 1 cm, hal tersebut menunjukkan bahwa bahan uji
mengandung saponin.
e. Monoterpen dan Seskuiterpen
Simplisia ditambahkan eter kemudian diuapkan setelah itu
ditambahkan vanilin sulfat sampai terbentuk warna coklat, merah,
dan ungu.
f. Steroid dan Triterpenoid
Serbuk simplisia digerus dengan eter, kemudian fase eter diuapkan
dalam cawan penguap hingga kering, pada residu ditetesi pereaksi
Liberman-Burcahard. Terbentuknya warna ungu menunjukkan
kandungan triterpenoid sedangkan bila terbentuk warna hijau biru
menunjukkan adanya senyawa steroid.
g. Flavonoid
Sejumlah serbuk simplisia digerus dalam mortir dengan sedikit air,
pindahkan dalam tabung reaksi, tambahkan sedikit logam
magnesium dan 5 tetes HCl 2N, seluruh cmpuran dipanaskan selma
5-10 menit. Setelah disaring panas-panas dan filtrat dibiarkan dingin,
kepada filtrat ditambahkan amil alkohol, lalu dikocok kuat-kuat,
23
reaksi positif dengn terbentuknya warna merah pada lapisan amil
alkohol.
3.2.3 Karakterisasi Simplisia
Karakterisasi suatu simplisia yang akan digunakan untuk obat
sebagai bahan baku harus memenuhi persyaratan yang tercantum dalam
monografi terbitan resmi Departemen Kesehatan (Materia Medika).
Parameter yang diuji diantaranya:
a. Penetapan Kadar Air
Di timbang 5 gram serbuk serbuk simplisia didalam cawan dangkal
berdasar rata yang telah diketahui beratnya, kemudian dikeringkan
dalam oven pada suhu 105ºC selama 5 jam, kemudian didinginkan
dalam desikator dan ditimbang hingga bobot tetap. Kadar dihitung
dalam persen terhadap bahan yang dikeringkan diudara.
% Kadar Air = (B – (C – A))/B x 100 %
Keterangan:
A = Berat cawan
B = Berat bahan
C = Berat cawan + Berat Bahan
b. Penetapan Kadar Sari Larut Air
Serbuk simplisia kering terlebih dahulu dikeringkan diudara,
kemudian 5 gram serbuk simplisia dimaserasi dengan menggunakan
100ml air:kloroform P (1000 : 2,5) dalam botol sambil berkali-kali
dikocok selama 6 jam pertama, dan kemudian dibiarkan selama 18
jam, kemudian disaring dan diambil 20 ml filtrat diuapkan hingga
kering dalam cawan yang telah ditara dengan suhu 105 oC, kemudian
dihitung terhadap bobot bahan yang telah dikeringkan (Depkes,
1989).
% Kadar Sari Larut Air = W2 - W0x 100 %
W1
Keterangan :
W0 = Bobot cawan kosong (g)
W1 = Bobot cawan isi (g)
24
W2 = Bobot simplisia yang diambil (g)
25
ditimbang, dimasukkan ke dalam botol timbang. Bahan uji kemudian
dikeringkan pada suhu 105°C selama 5 jam dan ditimbang kembali.
Proses pengeringan dilanjutkan dan timbang kembali selama 1 jam
hingga perbedaan antara penimbangan berturut- turut tidak lebih dari
0,25% (Depkes RI, 2000). Susut pengeringan dapat dihitung dengan
persamaan dibawah ini. Susut pengeringan tidak boleh lebih dari 13%.
Keterangan :
a = berat awal simplisia (g);
b = berat akhir simplisia (g)
3.4 Ekstraksi
Serbuk simplisia herba sambiloto diekstraksi dengan metode maserasi,
sebanyak 200 gram serbuk simplisia dimasukan kedalam alat maserasi dengan
menggunakan pelarut etanol 95% (800 mL) setiap penyarian dilakukan selama 3
hari dengan sesekali dilakukan pengocokan. Setelah 3 hari hasil maserasi
kemudian dipindahkan kedalam gelas kimia, lalu diuapkan dengan menggunakan
vacum rotary evaporator didapatkan ekstrak kental. Setelah itu ditimbang bobot
ekstrak dan dihitung rendemen ekstrak. Dilakukan skrining ekstrak untuk
mengetahui keberadaan metabolit tertentu.
bobot ekstrak kental (gram)
% Rendemen= bobot simplisia (gram)
x 100%
26
Formula yang dipakai :
R/ Ekstrak kental herba sambiloto 0,2 gram
Minyak peppermint 15 drops
PEG 400 70 %
PEG 6000 30 %
Formula Perhitungan :
Ekstrak kental herba sambiloto 0,2 gram
Minyak peppermint 15 drop = 0,75 ml
PEG 400 70 % 70/100 × 2 gr = 1,4 gr
PEG 6000 30% 30/100 × 2 gr =0,6 gr
Formula Perhitugan :
Ekstrak kental herba sambiloto 0,2 gr × 3 gr = 0,6 gram
Minyak peppermint 0,75 ml × 3 gr = 2,25 ml
PEG 400 70 % 1,4 gr × 3 gr = 4,2 gram
PEG 6000 30 % 0,6 gr × 3 gr = 1,8 gram
27
3.6 Evaluasi Sediaan
1) Uji Organoleptis
Dilakukan pengecekan pada sediaan berupa bau, warna, dan bentuk
sediaan suupositoria yang diinginkan.
2) Uji stabilitas
Sediaan suppositoria disimpan di suhu 5 – 15 ˚C dan 25 – 30˚C.
Kemudian diamati penampilan bobot penempelan pada alumunium
foil atau sampai berubah bentuk. Amati dan hasilnya dicatat.
BAB IV
28
Penelitian kali ini bertujuan untuk mengasilkan inovasi produk dry nose
suppositoria berbahan dasar Sambiloto (Andrograhis paniculata N) dan minyak
papermint (Menthae piperitha/arvensis) dan basis yang stabil terhadap
penyimpanan. Tanaman obat yang digunakan memiliki khasiat untuk
mengurangi gejala hidung tersumbat diantaranya sambiloto (Andrograhis
paniculata N) memiliki senyawa andrograpolid sebagai antiinflmasi dan minyak
papermint (Menthae piperitha/arvensis) yang memiliki senyawa methol. Basis
yang digunakan adalah Polietilenglikol (PEG), PEG yang dipakai adalah PEG
400 dan 6000 dengan perbandingan kosentrasi 70 : 30.
29
jumlahnya lebih dari yang diperbolehkan, maka simplisia tersebut akan menjadi
media yang baik ditumbuhi oleh mikroba. Susut pengeringan adalah semua
kandungan yang ada di dalam simplisia yang dapat menguap. Tujuan dari susut
pengeringan adalah memberi batas maksimal (rentang) besarnya senyawa yang
akan hilang pada proses pengeringan. Nilai atau rentang yang diperbolehkan
terkatit dengan kemurnian dan kontaminasi (Agoes, 2007).
Dari hasil perhitungan, diperoleh kadar abu dari simplisia herba sambiloto
adalah 11% tidak memenuhi literatur ( tidak lebih dari 10,2%). Sedangkan untuk
pengujian kadar sari larut air hasil perhitungannya adalah 8,2% hasil tidak
memenuhi syarat literatur (tidak kurang dari 15,7 %), pengujian kadar sari larut
etanol memiliki hasil 15,6 % memenuhi literatur (tidak kurang dari 9,2%),
pengujian kadar air memiliki hasil 20% tidak memenuhi syarat literatur (< 10%)
dan yang terakhir pengujian susut pengeringan memiliki hasil 5,94% memenuhi
syarat literatur ( tidak lebih dari 10%).
30
sambiloto tidak berubah warna menjadi merah. Pada pengujian saponin hasilnya
adalah negatif karena tidak terbentuk busa yang stabil pada saat pengujian. Dan
terakhir ada pengujian tannin hasilnya negatif karena tidak terjadi endapan.
Tabel 4.1 Hasil Skrining Fitokimia Herba Sambiloto
Uji Skrining Fitokimia Hasil Kesimpulan
Alkaloid Tidak ada warna jingga/end. putih +
Flavonoid Tidak ada perubahan warna +
Monoterpen dan Seskuiterpen Terjadi perubahan warna -
Fenolat Tidak ada perubahan warna +
Steroid dan Triterpenoid Tidak ada warna biru-hijau -
Kuinon Tidak berubah warna merah -
Saponin Tidak ada busa -
Tannin Tidak ada endapan -
4.3 Ekstrasi
Lalu simplisia herba sambiloto dimasukkan ke dalam toples kaca sebagai tempat
maserasi dan di tambahkan etanol 95% sebanyak 800 ml sebagai pelarut
organiknya. Proses penghalusan semplisia bertujuan untuk memperbesar luas
31
permukaan antara simplisia herba sambiloto dengan pelarut etanol 95% agar
proses penyarian zat aktif lebih optimal. Pelarut yang digunakan adalah etanol
95% yang bersifat semipolar, digunakannya pelarut tersebut dikarenakan senyawa
andrografolid merupakan diterpen lakton yang larut dalam pelarut semi polar
seperti etanol, aseton, kloform dan sedikit larut dalam air. Proses maserasi
dilakukan selama 3 x 24 jam, jadi setiap 24 jam pelarut etanolnya harus diganti
dengan yang baru ini karena pelarut yang sebelumnya digunakan sudah sangat
jenuh sehingga kemampuannya untuk melarutkan senyawa di dalam simplisia
kencur sudah tidak semaksimal sebelumnya. Selanjutnya filtrat disaring dengan
menggunakan kertas saring dan ditampung dalam botol. Setelah 3 hari proses
maserasi dan penyaringan filtrat dilakukan, selanjutnya dilakukan proses
penguapan filtrat yang dilakukan pada vacum rotary evaporator. Proses
penguapan dilakukan sampai filtrat menjadi kental dan memiliki bobot yang
konstan. Berat ekstrak kental yang didapatkan adalah 75,2607 gram dengan %
rendemen ekstrak sebesar 37,6288%.
32
Flavonoid Tidak terjadi perubahan warna +
Kuinon Tidak terbentuk warna merah +
Tannin Tidak ada endapan -
Saponin Tidak terbentuk busa -
Alkaloid Tidak terjadi endapan -
Fenolat Terbentuk warna kehijauan +
Triterpenoid Terbentuk warna biru-hijau -
Monoterpen Terjadi perubahan warna +
33
Gambar 4.1 Hasil Spot Ekstrak Kental Sambiloto
34
sehingga tidak mudah melebur. Karena pada penggunaannya sendiri suppositoria
dry nose ini lebih baik menggunakan basis PEG karena untuk menjaga stabilitas
produk agar tetap memiliki estetika yang baik.
Gambar 4.2 PEG 400: P EG 6000 Gambar 4.3 Ol. Cacao : Cera alba
35
PEG 6000 30 %
Formula Perhitungan :
Ekstrak kental herba sambiloto 0,2 gram
Minyak peppermint 15 drop = 0,75 ml
PEG 400 70 % 70/100 × 2 gr = 1,4 gr
PEG 6000 30% 30/100 × 2 gr =0,6 gr
Formula Perhitugan :
Ekstrak kental herba sambiloto 0,2 gr × 3 gr = 0,6 gram
Minyak peppermint 0,75 ml × 3 gr = 2,25 ml
PEG 400 70 % 1,4 gr × 3 gr = 4,2 gram
PEG 6000 30 % 0,6 gr × 3 gr = 1,8 gram
36
organoleptis kami acukan pada pemerian dari setiap komponen bahan yang
ditambahkan. Dari hasil penelitian sebelumnya didapatkan bentuk sediaan
suppositoria yang baik setelah dilakukan pemotongan secara horizontal dan
vertikal.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Pada penelitian tentang pembuatan produk suppositoria berbahan dasar
Sambiloto (Andrograhis paniculata N), minyak papermint (Menthae
37
piperitha/arvensis) dengan basis PEG 400 dan PEG 6000 telah berhasil dibuat.
Dan juga telah dilakukan evaluasi sediaan yaitu dengan melakukan uji
organoleptik dan uji stabilitas, didapatkan hasil yang baik pada kedua uji. Maka
dari itu, produk dapat dipastika yang stabil terhadap penyimpanan dan layak
untuk dipasarkan.
5.2 Saran
Saran dari penelitian ini adalah pada saat proses ekstraksi herba sambiloto
sebaiknya dilakukan ekstraksi dengan cara panas. Dikarenakan cara maserasi
terlalu lama membuang waktu, jadi jika memakai cara panas bisa meminimalisir
waktu percobaan. Dan saran pada saat produk yang sudah siap dipasarkan
sebaiknya disimpan terlebih dahulu di dalam kulkas dan hindarkan produk dari
sinar matahari langsung sebelum pemasan.
DAFTAR PUSTAKA
38
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2000). Parameter Standar Umum
Ekstrak Tumbuhan Obat. (Edisi I). Jakarta: Direktorat Jenderal
Pengawasan Obat Dan Makanan, Direktorat Pengawasan Obat
Tradisional.
Afikoh, N, dkk. 2017. PENGARUH KONSENTRASI PEG 400 DAN PEG 4000
TERHADAP FORMULASI DAN UJI SIFAT FISIK SUPPOSITORIA
EKSTRAK SOSOR BEBEK (Kalanchoe pinnata [L.] pers). Tegal :
Politeknik Harapan Bersama
Selly, M, dkk. 2015. Jurnal ISOLASI ANDROGRAFOLIDA HERBA
SAMBILOTO (Andrographis paniculata Nees). Jatinangor : Universitas
Padjadjaran.
El-Majri, M,A., Sharma, R,K., 2010, Formulation and evaluation of piroxicam
suppositories, International Journal of Drug Delivery, p.107-112.
Milala, A.S., dan Avanti, C., 2006, Penentuan Jumlah Spermaceti untuk
Meningkatkan Titik Lebur Suppositoria dengan Basis Oleum Cacao yang
dibuat di Surabaya, Artocarpus 6 (2) : 79.
Nursal, F.K., Widayanti, A., 2013. Formulasi Sediaan Suppositoria ekstrak etanol
daun Handeuleum (Graptophyllum pictum (L.) Griff) Dalam Basis Oleum
Cacao, Skripsi,. FMIPA Universitas Muhammadiyah Prof.DR HAMKA.
Jakarta.
Akbar, S. 2011. Andrographis paniculata: A Review of Pharmacological
Activities and Clinical Efects. Alternative Medicine Review. Vol: 16(1).
P.66-77.
Sari Rinda Intan, dkk. 2015. Pengaruh Aromaterapi Peppermint Terhadap
Penurunan Mual Muntah Akut Pada Pasien yang Menjalani Kemoterapi
di SMC RS Telogorejo. Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan. Vol.III
No.2.
Siswantoro, E. 2015. Pengaruh Aromaterapi Daun Mint dengan Inhalasi
Sederhana Terhadap Penurunan Sesak Nafas Pada Pasien Tuberculosis
Paru. Jurnal Keperawatan dan Kebidanan.
39
LAMPIRAN
A. Kemasan Primer
40
B. Brosur
41