Anda di halaman 1dari 42

DRY NOSE SUPPOSITORIA DARI EKSTRAK SAMBILOTO

(Androgrpahis paniculata N) DAN MINYAK PAPPERMINT


(Menthae piperitha) UNTUK MEREDAKAN HIDUNG
TERSUMBAT

LAPORAN
disusun untuk memenuhi tugas Praktikum Teknologi Bahan Alam

Disusun oleh kelompok 5:


Anjali Widhiyani A 171 064
Bunga Lusdiana Putri A 171 066
Devira Lukita A 171 071
Moch Akmal Akbar A 171 085
Sherly Marlianti A 171 097
Kelas:
Reguler Pagi B

PROGRAM STUDI FARMASI

SEKOLAH TINGGI FARMASI INDONESIA


YAYASAN HAZANAH
BANDUNG
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada zaman modern ini, terjadi perubahan iklim yang tidak menentu yang
menyebabkan individu rentan terkena gejala penyakit pancaroba seperti hal nya
demam, flu disertai hidung tersumbat dan batuk. Masyarakat indonesia sampai
saat ini masih banyak tumbuhan tradisional sebagai obat altenatif untuk cara
penyembuhan penyakit. Disamping efeknya yang murah, tumbuhan tradisional
juga mudah untuk didapatkan. Dan juga indonesia merupakan negara yang kaya
akan tanaman obat, dari 940 jenis diantaranya merupakan tumbuhan berkhasiat
obat (jumlah ini merupakan 90% dari jumlah tumbuhan obat di Asia). Tanaman
obat yang memiliki khasiat untuk mengurangi gejala hidung tersumbat
diantaranya sambiloto (Andrograhis paniculata N) dan minyak papermint
(Menthae piperitha/arvensis). Maka dari itu, diperlukan suatu inovasi produk yang
stabil dan efektif yang mampu mengurangi gejala hidung terumbat dan melegakan
pernafasan. Bahan campuran dasar tanaman sambiloto dan minyak papermint
dapat dikombinasikan dan diberi basis polietilenglikol (PEG) yang agar menjadi
suatu produk inovasi tersebut.
Sambiloto (Andrograhis paniculata N) merupakan salah satu tanaman
terna tegak yang sering digunaan dalam pengobatan tradisional di indonesia.
Tanaman ini diduga berasal dari daerah Asia tropis, dan bias tumbuh baik di
daerah dataran rendah hingga ketinggian 700 meter diatas permukaan laut. Orang
jawa menyebut tanaman ini dengan sebutan ‘andiloto’ sedangkan orang sunda
menyebutnya ‘ ki oray’. Herba sambiloto memiliki senyawa andrographolid yang
banyak manfaat diantaranya penyakit hepatitis, disentri basiler, infeksi saluran
pernafasan (ISPA), diare, radang usus buntu, radang saluran pernafasan, demam,
influenza dan lain – lain.
Selain daun sambiloto, minyak papermint (Menthae piperitha/arvensis),
anggota keluarga labitae, keluarga ini mencakup banyak minyak atsiri terkenal,
seperti chermin, lavender, sage, marjoram, dan thyme. Merupakan tanaman obat
terkenal dan penting yang banyak digunakan dalam sistem pengobatan asli untuk

2
berbagai manfaat terapetik yaitu analgesik, anaestesi, antiseptik, adstringen,
karminativa, dekongestan, ekspectoran, saraf, stimulan, lambung, penyakit
radang, maag, dan masalah perut.
Sedangkan basis dalam pembuatan suppositoria ini adalah campuran
polietilenglikol (PEG) 400 dan polietilenglikol (PEG) 6000. Basis ini digunakan
karena dapat meningkatkan titik lebur suppositoria sehingga lebih tahan terhadap
suhu ruangan yang hangat, dengan demikian pelepasan obat tidak tergantung dari
titik lelehnya, stabilitas fisik dalam penyimpanan lebih baik. Sehingga diharapkan
basis ini dapat mempertahankan kestabilan fisik sediaan.
Ketiga komponen tersebut dirancang untuk dijadikan sediaan suppositoria
intra nasal yang akan dikemas dalam bentuk wadah inhaler, sehingga dengan
dirancangnya bentuk sediaan tersebut, secara praktis masyarakat akan lebih suka
menggunakaan produk olahan herbal yang aman dan aroma khas terapi yang
melegakan hidung.

1.2 Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah dalam penelitian ini
dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana prosedur yang tepat dalam mengolah campuran simplisia
tersebut agar menjaga stabilitas tiap komponen ?
2. Bagaimana formulasi yang tepat dalam mengolang bahan menjadi suatu
produk yang stabil ?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan dalam penelitian ini yaitu menghasilkan produk inovasi berbahan
dasar Sambiloto (Andrograhis paniculata N), minyak papermint (Menthae
piperitha/arvensis) dan basis Virgin Coconut Oil (VCO) yang stabil terhadap
penyimpanan.

1.4 Kegunaan Penelitian


Berdasarkan hasil penelitian ini, diharapkan dapat memperoleh produk
campuran bahan alam yang bermanfaat dalam meringankan gejala penyakit yang

3
dialami masyarakat terutama pada sistem saluran pernapasan yang sering ditemui
akhir-akhir ini.

1.5 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-bulan April 2020, bertempat
di Laboratorium Bahan Alam Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia, Jl. Soekarno
Hatta 354. Bandung Jawa Barat.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tumbuhan Sambiloto (Andrographis paniculata)


Daun sambiloto banyak mengandung senyawa Andrographolide, yang
merupakan senyawa lakton diterpenoid bisiklik. Daun dan percabangannya
mengandung laktone yang terdiri dari deoksiandrografolid, andrografolid dan
homoandrografolid, mineral (kalium, kalsium, natrium), asam kersik dan damar.
Zat aktif andrografolid terbukti berkhasiat sebagai hepatoprotektor (melindungi
sel hati dari zat toksik) (Tjitrosoepomo, 2000).

2.1.2 Taksonomi Tumbuhan

Gambar 2.1 Tanaman sambiloto


Kingdom : Plantae
Sub Kingdom : Abri Folium
Super Divisi : Tracheobionta
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Asteridae
Ordo : Schrophulariales
Famili : Acanthaceae
Genus : Andrographis
Spesies : Andrographis paniculata
(Tjitrosoepomo, 2000).

5
2.1.2 Morfologi
Tanaman Sambiloto (Andrographis paniculata)
Sambiloto atau dikenal juga dengan sebutan Kalmegh, Kalafath, Kanjang,
Alui, Charita, Sambilata, Andrograpidis banyak ditemukan dan
dibudidayakan di daerah tropis dan subtropis Asia, Asia Tenggara dan India
(Benoy et al., 2012). Tanaman sambiloto memiliki tinggi 40 cm sampai 90 cm,
percabangan banyak dengan letak yang berlawanan, cabang berbentuk segi
empat dan tidak berambut. Bentuk daun lanset, ujung daun dan pangkal daun
tajam atau tegak tajam, tepi daun rata, panjang daun 3 cm sampai 12 cm dan
lebar 1 cm sampai 3 cm, panjang tangkai daun 5 mm sampai 25 mm; daun
bagian atas bentuknya seperti daun pelindung. Perbungaan tegak bercabang-
cabang, gagang 20, bunga 3 mm sampai 7 mm, panjang kelopak bunga 3 mm
sampai 4 mm. Bunga bibir bentuk tabung, panjang 6 mm, bibir bunga bagian
atas berwarna putih dengan warna kuning di bagian atasnya, bibir bunga bawah
lebar.

2.1.3 Efek Farmakologis Tanaman Sambiloto


Efek Farmakologis dan Hasil Penelitian sambiloto Tjitrosoepomo (2000):
a) Herba ini berkhasiat bakteriostatik pada Staphylococcus aurcus,
Pseudomonas aeruginosa, Proteus vulgaris, Shigella dysenteriae,
dan Escherichia coli.
b) Herba ini sangat efektif untuk pengobatan infeksi. In vitro, air
rebusannya merangsang daya fagositosis sel darah putih.
c) Andrografolid menurunkan demam yang ditimbulkan oleh
pemberian vaksin yang menyebabkan panas.
d) Andrografolid dapat mengakhiri kehamilan dan menghambat
pertumbuhan trofosit plasenta.
e) Dari segi farmakologi, sambiloto mempunyai efek muskarinik pada
pembuluh darah, efek pada jantung iskeniik, efek pada respirasi sel,
sifat kholeretik, dan antibakteri.
f) Komponen aktifnya andrografolid, berkhasiat anti radang.

6
g) Pemberian rebusan daun sambiloto 40% sebanyak 20 milkg bb
dapat menurunkan kadar glukosa darah.
h) Infus daun sarnbiloto 5%, 10% dan 15%, semuanya dapat
menurunkan suhu tubuh marmut yarrg dibuat demam.
i) Infus herba sambiloto mempunyai daya anti jamur terhadap
Microsporum canis, Trichophyton mentagrophytes, Trichophyton
rubrum, Candida albicans, dan Epidermophyton floccosum.
j) Fraksi etanol herba sambiloto mempunyai efek anti histaminergik.
Peningkatan konsentrasi akan meningkatkan hambatan kontraksi
ileum.
Sambiloto dapat berhasiat untuk Hepatitis, infeksi saluran empedu, diare,
Influenza, radang amandel (tonsilitis), abses paru, malaria, radang paru
(pneumonia), radang saluran napas (bronkhitis), radang ginjal akut
(pielonefritis), radang telinga tengah (OMA), radang usus buntu, sakit gigi,
demam, kencing nanah (gonore), kencing manis (diabetes melitus), TB paru,
skrofuloderma, batuk rejan (pertusis), sesak napas (asma), leptospirosis, darah
tinggi (hipertensi), kusta (morbus hansen=lepra), keracunan jamur, singkong,
makanan laut, Kanker, dan tumor ganas (Fauziah, 1999).
2.1.4 Kandungan Kimia
Andrographis paniculata mengandung diterpene, laktone, dan
flavanoid. Flavanoid terutama ditemukan diakar tanaman, tetapi juga
ditemukan pada bagian daun. Bagian batang dan daun mengandung alkana,
ketone dan aldehid. Meskipun di awal diduga bahwa senyawa yang
menimbulkan rasa pahit adalah senyawa lakton. andrographolide, lebih lanjut
diketahui bahwa daun sambiloto mengandung dua senyawa yang menimbulkan
rasa pahit yakni andrographolide dan senyawa yang disebut dengan kalmeghin.
Empat senyawa lakton yang ditemukan dalam daun sambiloto (Akbar, 2011)
adalah:
1. deoxyandrographolide
2. andrographolide
3. neoandrographolide) dan
4. 14-deoxy-11, 12-didehydroandrographolide

7
2.1.5 Andrographolide
.

Gambar 2.2 Struktur Molekul Andrographolide

Andrographolide, yang merupakan senyawa yang masuk dalam grup


trihidroksilakton memiliki rumus molekul C 20 H30 O5Andrographolide,
komponen utama daun sambiloto dapat dengan mudah larut dalam methanol,
ethanol, pyridine, asam asetat, dan aceton, tetapi sedikit larut dalam ether dan
air. Sifat fisika dari andrographolide adalah sebagai berikut: titik leleh 228—
230 °C, spektrum ultraviolet dalam etanol λ maskimal 223nm (Kumoro, 2007).

2.2 Tanaman Peppermint

2.2.1 Klasifikasi

Gambar 2.3 Tanaman Peppermint (Mentha piperita L.)

8
Regnum : Plantae

Divisio : Magnoliophyta

Classis : Magnoliopsida

Ordo : Lamiales

Famila : Lamiaceae

Genus : Mentha

Species : Mentha piperita L.

Plantamor (2016).

2.2.2 Morfologi

Pada daerah tropik tanaman peppermint tidak berbunga, pertumbuhan


batang tegakan atau sedikit menjalar, tinggi tanaman berkisar 30 – 60 cm,
percabangan simpodial, batang berbentuk segi empat. Tangkai daun dan
permukaan daun tanaman peppermint diselimuti oleh bulu – bulu yang
berwarna kuning kehijauan dengan tekstur permukaan daun licin. Warna daun
hijau, panjang daun berkisar antara 1,3-5,5 cm, bentuk daun lanset
(Lanceolate), ujung daun runcing (acute), tepi daun beringgit dangkal
(creneate) (Hadipoentyanti, 2010).

Tanaman peppermint memiliki pertulangan daun yang jelas dengan


anak tulang daun yang menyirip dan berkas duduk daun pada cabang yang
jelasTanaman peppermint (Mentha piperita) adalah keluarga mint dari Labiatae
dan merupakan herba tahunan. Pepermint banyak dibiakkan di banyak negara
Eropa, Asia Tengah dan Barat. Tumbuh di daerah lembab pada dataran tinggi
dengan tanah yang gembur yang banyak mengandung bahan organik,
berdrainase baik dan pH berkisar antara 6 – 7 (Hadipoentyanti, 2010).

9
2.2.3 Manfaat

Tanaman peppermint menghasilkan minyak peppermint (peppermint


oil) yang digunakan sebagai penambah aroma dan rasa pada makanan dan
minuman, obat, parfum, kosmetik, dan produk penyegar lainnya (Buchbauer et
al, 1991). Selain itu minyak dari tanaman peppermint ini digunakan sebagai
bahan campuran di beberapa produk pakai seperti, pasta gigi, balsem, sabun,
shampoo, dan berbagai obat-obatan serta bahan pembersih keperluan rumah
tangga termasuk kosmetik dan perekat/lem (BPSb, 2007). Ekstrak tanaman
peppermint dapat membunuh beberapa jenis bakteri, fungi, dan virus, sehingga
kandungannya dapat dikembangkan sebagai anti-bakteri, anti-fungi, dan
antivirus (Raja 2012). Mentol biasa dimanfaatkan sebagai obat karminatif
(penenang), antispasmodik (anti batuk) dan diaforetik (menghangatkan dan
menginduksi keringat).

2.2.4 Kandungan

Gambar 2.4 Struktur menthol dalam papermint

Sastrohamidjojo (2002) menemukan bahwa minyak peppermint


memiliki beberapa kandungan utama yaitu mentol, menton, isomenton,
piperiton dan mentil asetat, dengan mentol sebagai kandungan tertinggi. Dari
semua species yang ada peppermint paling banyak mengadung menthol (90%),
yaitu sejenis fitokimia Selain itu daun mint juga mengandung flavonoid,
phenolic acids, triterpenes, vitamin C dan provitamin (precursor vitamin) A,
mineral fosfor, besi, kalsium dan potasium.

10
2.3 Basis Suppositoria

Polietilenglikol merupakan polimer dari etilen oksida dan air, dibuat


bermacam-macam panjang rantainya. Bahan ini terdapat dalam berbagai macam
berat molekul dan yang paling banyak digunakan adalah PEG 200, 400, 600,
1000, 1500, 1540, 3350, 4000, dan 6000. Pemberian nomor menunjukan berat
molekul rata-rata dari masing-masing polimernya. PEG yang memiliki berat
molekul rata-rata 200, 400, dan 600 berupa cairan bening tidak berwarna dan yang
mempunyai berat molekul rata-rata lebih dari 1000 berupa lilin putih, padat, dan
kepadatannya bertambah dengan bertambahnya berat molekul (Ansel, 1989).
Polietilenglikol luas penggunaannya dalam berbagai formulasi farmasetika
termasuk parenteral, topikal, ophthalmic oral dan rektal. Polietilenglikol ini stabil
dalam air dan tidak mengiritasi kulit (Raymond, 2006).

Campuran polietilenglikol (PEG) 400 dan polietilenglikol (PEG) 6000


banyak digunakan sebagai basis suppositoria karena dapat meningkatkan titik
lebur suppositoria sehingga lebih tahan terhadap suhu ruangan yang hangat,
dengan demikian pelepasan obat tidak tergantung dari titik lelehnya, stabilitas
fisik dalam penyimpanan lebih baik, sediaan suppositoria akan segera bercampur
dengan cairan rektal. Oleh karena itu, PEG memiliki banyak keunggulan
dibandingkan lemak, karena basis lemak mudah tengik dan mudah meleleh pada
udara panas sedangkan PEG lebih tahan terhadap udara panas (Rowe et al, 2009)

2.4 Anatomi dan Fisiologi Hidung

2.4.1 Anatomi Hidung

Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari nares
anterior hingga koana di posterior yang memisahkan rongga hidung dari
nasofaring. Septum nasi membagi tengah bagian hidung dalam menjadi kavum
nasi kanan dan kiri. Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu
dinding medial, lateral, inferior dan superior.

Bagian inferior kavum nasi berbatasan dengan kavum oris dipisahkan


oleh palatum durum. Ke arah posterior berhubungan dengan nasofaring melalui

11
koana. Di sebelah lateral dan depan dibatasi oleh nasus externus. Di sebelah
lateral belakang berbatasan dengan orbita : sinus maksilaris, sinus etmoidalis,
fossa pterygopalatina, fossa pterigoides.

Gambar 2.5 Anatomi Hidung

2.3.2 Dasar hidung

Dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal os


palatum. Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, dan
tulang-tulang os nasale, os frontale lamina cribrosa, os etmoidale, dan corpus os
sphenoidale. Dinding medial rongga hidung adalah septum nasi. Septum nasi
terdiri atas kartilago septi nasi, lamina perpendikularis os etmoidale, dan os
vomer. Sedangkan di daerah apex nasi, septum nasi disempurnakan oleh kulit,
jaringan subkutis, dan kartilago alaris major.

2.3.3 Dinding lateral

Dinding lateral dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu di anterior terdapat
prosesus frontalis os maksila, di medial terdapat os etmoidal, os maksila serta
konka, dan di posterior terdapat lamina perpendikularis os palatum, dan lamina
pterigoides medial. Bagian terpending pada dinding lateral adalah empat buah
konka. Konka terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior kemudian
konka yang lebih kecil adalah konka media, konka superior dan yang paling
kecil adalah konka suprema. Konka suprema biasanya akan mengalami

12
rudimenter.15 Diantara konkakonka dan dinding lateral hidung terdapat rongga
sempit yang dinamakan dengan meatus. Terdapat tiga meatus yaitu meatus
inferior, media dan superior.

Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit
antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Resesus 9
sfenoetmoidal terletak di posterosuperior konka superior dan di depan konka os
spenoid. Resesus sfenoetmoidal merupakan tempat bermuaranya sinus sfenoid.

Meatus media merupakan salah satu celah yang di dalamnya terdapat


muara sinus maksila, sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik
bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding
lateralnya terdapat celah berbentuk bulan sabit yang disebut sebagai
infundibulum. Muara atau fisura berbentuk bulan sabit yang menghubungkan
meatus medius dengan infundibulum dinamakan hiatus semilunaris. Dinding
inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti
laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Ostium sinus frontal, antrum
maksila, dan sel-sel etmoid anterior bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan
sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus
maksila bermuara di posterior muara sinus frontal.

Meatus nasi inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus,


mempunyai muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai
3,5 cm di belakang batas posterior nostril.

2.3.4 Septum Hidung

Gambar 2.6 Septum Hidung

13
Septum membagi kavum nasi menjadi ruang kanan dan kiri. Bagian
posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh
kartilago septum, premaksila dan kolumela membranosa. Bagian posterior dan
inferior oleh os vomer, krista maksila, krista palatina dan krista sfenoid.

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang


a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang
disebut Pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya
superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis (pendarahan hidung) terutama pada anak.

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan


berdampingan dengan arteri. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung
bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena
di hidung tidak memiliki katup sehingga merupakan faktor predisposisi untuk
mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intrakranial.

Gambar 2.7 Vaskularisasi Hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal
dari n.oftalmikus (N.V1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion
sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima
serabut-serabut sensoris dari n.maksila (N.V2), serabut parasimpatis dari

14
n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus
profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung
posterior konka media.

Nervus olfaktorius turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah


bulbus olfaktorius dan berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa
olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.

2.4 Fisiologi Hidung

Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka


fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk
mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi,
penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal ; 2)
fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan
reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu ; 3) fungsi fonetik yang
berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah
hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang ; 4) fungsi statistik dan mekanik
untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas;
5) refleks nasal.

2.4.1 Definisi Sumbatan

Hidung tersumbat atau kongesti hidung terjadi karena adanya aliran udara
yang terhambat dikarenakan rongga hidung yang menyempit. Penyempitan
rongga ini bisa terjadi akibat proses inflamasi yang memberikan efek vasodilatasi
atau sekresi mukus yang berlebih, kelainan struktural anatomi yang
mempersempit rongga, serta infeksi.

2.4.2 Faktor yang berpengaruh

a. Rinitis Alergi

Reaksi alergi terdiri atas dua fase yaitu fase sensitisasi dan fase
aktivasi. Paparan alergen terhadap mukosa menyebabkan alergen tersebut
dipresentasikan oleh Antigen Presenting Cell (APC) ke CD4+ limfosit T.

15
Ikatan antara sel penyaji antigen dan sel Th0 memicu deferensiasi Sel Th0
menjadi sel Th2. Hal ini mengakibatkan sitokin-sitokin IL3, IL4, IL5, IL9,
IL10, IL13 dan GranulocyteMacrophage Colony-Stimulating (GMCSF)
dilepaskan.

IL 3 dan IL4 kemudian berikatan dengan reseptornya yang berada


pada permukaan sel limfosit B dan menyebabkan aktivasi sel B untuk
memproduksiIgE. IgE dapat berikatan dengan reseptornya (FceRI) di
permukaan sel mast yang ada di sirkulasi darah dan jaringan membentuk
ikatan IgE-sel mast. Dengan adanya komplek tersebut, individu ini disebut
individu yang sudah tersensitisasi.

Selanjutnya, pada fase aktivasi, paparan antigen yang sama pada


mukosa nasal akan menyebabkan adanya crosslinking (ikatan antara dua
molekul igE yang berdekatan pada permukaan sel mast dan basofil dengan
alergen yang polivalen). Hasil akhirnya adalah degranulasi sel mastosit
dan basofil hingga pengeluaran mediator kimia (preformed mediators)
terutama histamin, triptase, dan bradikinin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain PGD2, LTD4, LTC4,
bradikinin, TNF-α, IL-4, serta Platelet Activating Factor (PAF) dan
berbagai sitokin. Mediator-mediator yang dilepaskan oleh sel mast dan
basofil akan berikatan dengan reseptor yang berada pada ujung saraf,
endotel pembuluh darah, dan kelenjar mukosa hidung.

Histamin sebagai mediator utama yang dilepaskan oleh sel mast


dan basofil mengakibatkan lebih dari 50% gejala reaksi hidung. Efek
histamin pada kelenjar karena aktivasi reflek parasimpatis yang
meningkatkan efek sekresi kelenjar dan mengakibatkan gejala rinore
dengan seros yang akan memperberat gejala sumbatan hidung. Histamin
juga menstimulasi sel-sel endotel untuk mensintesis relaxan yang bekerja
pada pembuluh darah seperti Prostaglandin (PGI)2 dan Nitrit Oksida (NO)
yang menyebabkan vasodilatasi dan timbulnya gejala hidung.

16
Leukotrien berefek pada maturasi esinofil, bertindak sebagai
chemoattractants eosinofil, mendorong adhesi eosinofil dan menginhibisi
apoptosis eosinofil.20 PGI D2 adalah prostanoid utama yang diproduksi
pada fase cepat reaksi alergi. Prostaglandin berhubungan dengan efek
hipertrofi dan infalamasi pada hidung dan peningkatan jumlah eosinofil.
Prostaglandin akan terikat pada reseptornya di pembuluh darah yang
menyebabkan vasodilatasi.

Eosinofil adalah sel yang paling berperan dalam RAFL. Eosinofil


melepaskan berbagai mediator pro-inflamasi seperti leukotrien sisteinil,
eosinofil peroksidase dan protein basic. 22 Sitokin lain, PAF, juga
mempunyai peranan dalam mekanisme sumbatan hidung dengan cara
retraksi dan relaksasi sel-sel endotel pembuluh darah dan vasodilatasi.

Hasil pelepasan sitokin dan mediator lain adalah mukosa nasal


menjadi terinfiltrasi dengan sel inflamasi seperti eosinofil, neutrofil,
basofil, sel mast dan limfosit. Hal ini membuat reaksi inflamasi pada
mukosa hidung semakin parah sehingga menyebabkan hidung tersumbat.

2.4.3 Kelainan Anatomi

Anatomi bentuk hidung seseorang akan sesuai dengan tipe suku bangsa
atau ras tertentu. Bentuk dan ukuran hidung bagian luar akan mempengaruhi
ukuran dan bentuk hidung bagian dalam atau rongga hidung, sehingga akan
mempengaruhi pula tahanan hidungnya. Kelainan anatomi yang dapat
menyebabkan sumbatan hidung adalah septum deviasi, konka hipertrofi, konka
bulosa. Sedangkan kelainan anatomi yang bersifat kongenital adalah atresia koana
dan celah palatum.

A. Septum Deviasi
Bentuk septum normal adalah lurus di tengah rongga hidung,
namun bisa terdapat kelainan berupa septum yang tidak terletak di tengah
yang disebut septum deviasi. Septum deviasi dapat menyebabkan gangguan
jalan napas dan gejala sumbatan hidung. Defleksi anterior yang memiliki
dampak terbesar pada aliran udara.

17
Tipe septum menurut Mladina adalah23 :
a. Tipe I, terdapat rista unilateral di puncak septum yang tidak
mengganggu fungsi katup hidung
b. Tipe II, krista unilateral di ujung konka media
c. Tipe III, terdapat krista unilateral di ujung konka media -Tipe IV,
terdapat dua krista, satu krista terletak berdekatan dengan ujung konka
media, sedangkan krista lain terletak di sisi berseberangan pada area
katub.
d. Tipe V, krista unilateral pada dasar septum, sementara di sisi lain
septum lurus.
e. Tipe VI, menunjukan sulkus pada sisi yang berseberangan dengan
krista.
f. Tipe VII adalah campuran dari jenis I ke VI
Menurut Janardhan, klasifikasi septum deviasi tipe V yang paling
banyak (46%) pada 100 pasien dengan septum deviasi yang paling sering
menimbulkan gangguan pada aliran udara di rongga hidung adalah tipe III-VI.
Jin RH et al juga membagi septum deviasi berdasarkan berat atau
ringannya keluhan yaitu ringan ketika deviasi kurang dari setengah rongga hidung
dan belum ada bagian septum yang menyentuh dinding lateral hidung, sedang
ketika deviasi kurang dari setangah rongga hidung tetapi ada sedikit bagian
septum yang menyentuh dinding lateral hidung dan berat ketika septum deviasi
sebagian besar sudah menyentuh dinding lateral hidung.
a. Konka Hipertrofi
Konka terdiri dari struktur tulang yang dibatasi oleh mukosa. Mukosanya
memiliki epitel kolumnar pseudostratifed bersilia dengan sel goblet dan
banyak mengandung pembuluh darah dan kelenjar lendir. Konka
melindungi hidung dengan mengatur temperatur dan kelembaban udara
inspirasi dan menyaring benda-benda asing yang terhirup bersama udara
inspirasi. Hipertrofi konka menimbulkan keluhan hidung tersumbat
dengan mekanisme proses inflamasi. Inflamasi dapat diakibatkan rinitis
maupun rinosinusitis. Inflamasi ini menyebabkan adanya vasodilatasi, dan

18
produksi mukus yang meningkat sehingga aliran udara terhambat dan
timbul gejala hidung tersumbat.

2.6 Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang telah dikeringkan dipergunakan
sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali
dikatakan lain (Depkes RI, 2000). Simplisia menurut Depkes RI (1989) terbagi
menjadi 3, yaitu:
1. Simplisia nabati, yaitu simplisia yang berupa tanaman atau eksudat
tanaman. Eksudat tanaman adalah isi sel yang secara spontan keluar
dari tanaman atau isi sel dengan cara tertentu dikeluarkan dari
selnya, atau zat-zat nabati lainnya yang dengan cara tertentu
dipisahkan dari tanamannya dan belum berupa zat kimia murni.
2. Simplisia hewani, yaitu simplisia yang berupa hewan utuh, bagian
dari hewan atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan
belum berupa zat kimia murni.
3. Simplisia pelikan (mineral), adalah simplisia yang berupa bahan
pelikan (mineral) yang belum diolah atau telah diolah dengan cara
sederhana dan belum berupa zat kimia murni.

2.7 Ekstrak dan Ekstraksi


Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari
simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya
matahari langsung. Ekstrak kering harus mudah digerus menjadi serbuk. Sebagai
cairan penyari digunakan air, eter atau campuran etanol dan air (Anonim, 1979).
Ekstraksi adalah proses pemisahan bahan dari campurannya dengan
menggunakan pelarut yang sesuai. Proses ekstraksi dapat dilakukan dengan
metode yang berbeda-beda sesuai dengan sifat dan tujuan dari ekstraksi. Proses
ekstraksi dihentikan jika telah tercapai kesetimbangan antara konsentrasi senyawa
dalam pelarut dengan konsentrasi dalam sel tanaman. Setelah proses ekstraksi,
pelarut dipisahkan dari sampel dengan penyaringan. Ekstrak awal sulit dipisahkan
melalui teknik pemisahan tunggal untuk mengisolasi senyawa tunggal. Oleh

19
karena itu, ekstrak awal perlu dipisahkan ke dalam fraksi yang memiliki polaritas
dan ukuran molekul yang sama (Mukhriani, 2014).
2.8 Jenis Ekstraksi
2.8.1 Cara Dingin
A. Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada
temperatur ruangan (kamar). Prinsip metode yaitu pencapaian
konsentrasi pada kesetimbangan (Depkes RI, 2000).
Metode ini dilakukan dengan cara memasukkan serbuk tanaman
dan pelarut yang sesuai ke dalam wadah inert yang tertutup rapat
pada suhu kamar. Proses ekstraksi dihentikan ketika telah tercapai
kesetimbangan antara konsentrasi senyawa dalam pelarut dengan
konsentrasi dalam sel tanaman. Ketika proses ekstraksi, pelarut
dipisahkan dari sampel dengan penyaringan. Kerugian utama dari
metode maserasi ini adalah memakan banyak waktu, pelarut yang
digunakan cukup banyak, dan besar kemungkinan beberapa
senyawa hilang. Tetapi di sisi lain, metode maserasi dapat
menghindari rusaknya senyawa-senyawa yang bersifat termolabil
(Mukhriani, 2014).
B. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai
sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan
(Depkes RI, 2000). Bahan pengekstraksi yang dialirkan secara
kontinyu dari atas akan mengalir turun secara lambat melintasi
simplisia yang umumnya berupa serbuk kasar. Melalui penyegaran
bahan, pelarut secara kontinyu akan terjadi proses maserasi
bertahap banyak (Voight, 1994). Metode ekstraksi perkolasi lebih
baik dibandingkan dengan cara maserasi karena:
Aliran pelarut (cairan penyari) menyebabkan adanya pergantian
larutan yang terjadi dengan larutan yang konsentrasinya lebih
rendah, sehingga meningkatkan derajat perbedaan konsentrasi.

20
Ruangan diantara butir-butir serbuk simplisia membentuk saluran
tempat mengalir pelarut (cairan penyari). Akibat kecilnya saluran
kapiler tersebut, kecepatan pelarut cukup untuk mengurangi lapisan
batas, sehingga dapat meningkatkan perbedaan konsentrasi (Ditjen
POM, 2000).
2.8.2 Cara Panas
A. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik
didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang
relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya
dilakukan pengulangan proses residu pertama 3 sampai 5 kali
sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna (Depkes RI,
2000).
B. Soklet
Soklet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru,
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi
kontinyu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya
pendingin balik (Depkes RI, 2000).
C. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (pengadukan secara kontinyu) pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar),
yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-500C (Depkes
RI, 2000).
D. Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada penangas air (bejana
infus tertutup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur
(96-980C) selama waktu tertentu (15-20 menit) (Depkes RI, 2000).
E. Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (> 300C) dan
temperatur sampai titik didih air (Depkes RI, 2000)

21
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah blender, timbangan
analitik digital, kertas saring (Whatman), desikator, tanur, kaki tiga, kasa asbes,
moisture balance, vacum rotary evaporator, cetakan suppositoria, plat KLT, UV
cabinet, seperangkat alat destilasi, cawan penguap, cawan krus, spatel, botol
coklatdan alat-alat gelas seperti, beaker glass, gelas ukur, batang pengaduk, pipet
tetes, tabung reaksi, corong gelas, dan chamber.

3.2 Bahan
Bahan–bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah simplisia herba
sambiloto, etanol 95%, PEG 400, PEG 6000, pappermint oil, metanol, ammonia
25%, kloroform, HCl, NaOH, reagen dragendrof , reagen FeCl3, reagen Burchard
Liberman, gelatin, sulfat Vanilin, dan aquadest.

3.2 Prosedur Penelitian


3.2.1 Penyiapan simplisia
500 gram simplisia kering herba sambiloto dihaluskan dengan cara
di blender sampai menjadi agak sedikit halus. Lalu dilakukan
karakterisasi simplisia dan skrining fitokimia.
3.2.2 Skrining fitokimia
a. Alkaloid
Sejumlah serbuk simplisia dalam mortir, dibasakan dengan ammonia
sebanyak 1 mL, kemudian ditambahkan kloroform dan digerus kuat.
Cairan kloroform disaring, filtrat ditempatkan dalam tabung reaksi
kemudian ditambahkan HCl 2 N, campuran dikocok, lalu dibiarkan
hingga terjadi pemisahan. Dalam tabung reaksi terpisah. Filtrat 1:
Sebanyak 1 tetes larutan pereaksi dragendroff diteteskan ke dalam
filtrat, adanya alkaloid ditunjukkan dengan terbentuknya endapan
atau kekeruhan berwarna hingga coklat. Filtrat 2: Sebanyak 1 tetes
larutan pereaksi mayer diteteskan ke dalam filtrat, adanya alkaloid

22
ditunjukkan dengan terbentuknya endapan atau kekeruhan berwarna
putih. Filtrat 3: Sebagai blangko atau contol negatif.
b. Kuinon
Serbuk simplisia ditambahkan dengan air, dididihkan selama 5 menit
kemudin disaring dengan kapas. Pada filtrat ditambahkan larutan
KOH 1N. Terjadinya warna kuning menunjukkan bahwa dalam
bahan uji mengandung senyawa golongan kuinon.
c. Tanin
Sejumlah kecil serbuk simplisia dalam tabung reaksi dipanaskan di
tangas air, kemudian disaring. Pada filtrat ditambahkan gelatin 1%
akan timbul endapan putih bila ada tannin.
d. Saponin
Serbuk simplisia ditambahkan dengan air, didihkan selama 5 menit
kemudian dikocok. Terbentuknya busa yang konsisten selama 5-10
menit ± 1 cm, hal tersebut menunjukkan bahwa bahan uji
mengandung saponin.
e. Monoterpen dan Seskuiterpen
Simplisia ditambahkan eter kemudian diuapkan setelah itu
ditambahkan vanilin sulfat sampai terbentuk warna coklat, merah,
dan ungu.
f. Steroid dan Triterpenoid
Serbuk simplisia digerus dengan eter, kemudian fase eter diuapkan
dalam cawan penguap hingga kering, pada residu ditetesi pereaksi
Liberman-Burcahard. Terbentuknya warna ungu menunjukkan
kandungan triterpenoid sedangkan bila terbentuk warna hijau biru
menunjukkan adanya senyawa steroid.
g. Flavonoid
Sejumlah serbuk simplisia digerus dalam mortir dengan sedikit air,
pindahkan dalam tabung reaksi, tambahkan sedikit logam
magnesium dan 5 tetes HCl 2N, seluruh cmpuran dipanaskan selma
5-10 menit. Setelah disaring panas-panas dan filtrat dibiarkan dingin,
kepada filtrat ditambahkan amil alkohol, lalu dikocok kuat-kuat,

23
reaksi positif dengn terbentuknya warna merah pada lapisan amil
alkohol.
3.2.3 Karakterisasi Simplisia
Karakterisasi suatu simplisia yang akan digunakan untuk obat
sebagai bahan baku harus memenuhi persyaratan yang tercantum dalam
monografi terbitan resmi Departemen Kesehatan (Materia Medika).
Parameter yang diuji diantaranya:
a. Penetapan Kadar Air
Di timbang 5 gram serbuk serbuk simplisia didalam cawan dangkal
berdasar rata yang telah diketahui beratnya, kemudian dikeringkan
dalam oven pada suhu 105ºC selama 5 jam, kemudian didinginkan
dalam desikator dan ditimbang hingga bobot tetap. Kadar dihitung
dalam persen terhadap bahan yang dikeringkan diudara.
% Kadar Air = (B – (C – A))/B x 100 %
Keterangan:
A = Berat cawan
B = Berat bahan
C = Berat cawan + Berat Bahan
b. Penetapan Kadar Sari Larut Air
Serbuk simplisia kering terlebih dahulu dikeringkan diudara,
kemudian 5 gram serbuk simplisia dimaserasi dengan menggunakan
100ml air:kloroform P (1000 : 2,5) dalam botol sambil berkali-kali
dikocok selama 6 jam pertama, dan kemudian dibiarkan selama 18
jam, kemudian disaring dan diambil 20 ml filtrat diuapkan hingga
kering dalam cawan yang telah ditara dengan suhu 105 oC, kemudian
dihitung terhadap bobot bahan yang telah dikeringkan (Depkes,
1989).
% Kadar Sari Larut Air = W2 - W0x 100 %
W1
Keterangan :
W0 = Bobot cawan kosong (g)
W1 = Bobot cawan isi (g)

24
W2 = Bobot simplisia yang diambil (g)

c. Penetapan Kadar Sari Larut Etanol


Serbuk simplisia kering terlebih dahulu dikeringkan diudara,
kemudian 5 gram serbuk simplisia dimaserasi dengan menggunakan
100 ml etanol dalam botol sambil berkali-kali dikocok selama 6 jam
pertama, dan kemudian dibiarkan selama 18 jam, kemudian disaring
dan diambil 20 ml filtrat diuapkan hingga kering dalam cawan yang
telah ditara dengan suhu 105oC, kemudian dihitung terhadap bobot
bahan yang telah dikeringkan (Depkes, 1989).
% Kadar Sari Larut Etanol = W2 - W0x 100 %
W1
Keterangan :
W0 = Bobot cawan kosong (g)
W1 = Bobot cawan isi (g)
W2 = Bobot simplisia yang diambil (g)
d. Penetapan Kadar Abu
Sebanyak 1 g bahan (W1) dan di gerus halus kemudian di masukkan
kedalam cawan krus yang telah dipijarkan dan ditimbang (W 0). Cawan
krus di pijarkan hingga suhu 600± 25oC hingga arangnya habis,
setelah itu di dinginkan dan di timbang (W2) (Depkes RI, 1980).
% Kadar Abu Total = W2 - W0x 100 %
W1
Keterangan :
W0 = Bobot cawan kosong (g)
W1 = Bobot ekstrak awal (g)
W2 = Bobot cawan + ekstrak setelah diabukan (g)
e. Penetapan Susut Pengeringan
Botol timbang disiapkan, dipanaskan pada suhu 105°C selama 30
menit, lalu ditimbang. Hal tersebut dilakukan sampai memperoleh
bobot botol timbang yang konstan atau perbedaan hasil antara 2
penimbangan tidak melebihi 0,005 g. Sebanyak 1 g bahan uji

25
ditimbang, dimasukkan ke dalam botol timbang. Bahan uji kemudian
dikeringkan pada suhu 105°C selama 5 jam dan ditimbang kembali.
Proses pengeringan dilanjutkan dan timbang kembali selama 1 jam
hingga perbedaan antara penimbangan berturut- turut tidak lebih dari
0,25% (Depkes RI, 2000). Susut pengeringan dapat dihitung dengan
persamaan dibawah ini. Susut pengeringan tidak boleh lebih dari 13%.

Z Susut pengeringan (%) =

Keterangan :
a = berat awal simplisia (g);
b = berat akhir simplisia (g)

3.4 Ekstraksi
Serbuk simplisia herba sambiloto diekstraksi dengan metode maserasi,
sebanyak 200 gram serbuk simplisia dimasukan kedalam alat maserasi dengan
menggunakan pelarut etanol 95% (800 mL) setiap penyarian dilakukan selama 3
hari dengan sesekali dilakukan pengocokan. Setelah 3 hari hasil maserasi
kemudian dipindahkan kedalam gelas kimia, lalu diuapkan dengan menggunakan
vacum rotary evaporator didapatkan ekstrak kental. Setelah itu ditimbang bobot
ekstrak dan dihitung rendemen ekstrak. Dilakukan skrining ekstrak untuk
mengetahui keberadaan metabolit tertentu.
bobot ekstrak kental (gram)
% Rendemen= bobot simplisia (gram)
x 100%

3.5 Uji KLT Analisis


Ekstrak kental herba sambiloto diuji dengan KLT analisis untuk
mengetahui adanya senyawa androghrapolid pada ekstrak herba sambiloto. Pelarut
yang digunakan kloroform : metanol (9:1).
3.6 Formulasi dan Perhitungan Bahan
Formula literatur:
R/ Bubuk daun comprey 0,2 gram
Minyak peppermint 15 drops
Minyak kelapa ½ cup

26
Formula yang dipakai :
R/ Ekstrak kental herba sambiloto 0,2 gram
Minyak peppermint 15 drops
PEG 400 70 %
PEG 6000 30 %

3.6.1 Perhitungan Bahan

Formula Perhitungan :
Ekstrak kental herba sambiloto 0,2 gram
Minyak peppermint 15 drop = 0,75 ml
PEG 400 70 % 70/100 × 2 gr = 1,4 gr
PEG 6000 30% 30/100 × 2 gr =0,6 gr

3.6.2 Perhitungan Bahan per 1 bacth ( 3 buah)

Formula Perhitugan :
Ekstrak kental herba sambiloto 0,2 gr × 3 gr = 0,6 gram
Minyak peppermint 0,75 ml × 3 gr = 2,25 ml
PEG 400 70 % 1,4 gr × 3 gr = 4,2 gram
PEG 6000 30 % 0,6 gr × 3 gr = 1,8 gram

3.7 Pembuatan Suppositoria


Pembuatan suppositoria ini digunakan dengan cara panas, dengan cara
melebur semua bahan-bahan yang ada lalu dicetak. Pertama – tama disiapkan alat
dan bahan yang akan digunakan. Ditimbang bahan yang akan digunakan antara
lain Ekstrak kental herba sambiloto, pappermint essensial oil, PEG 400 dan PEG
6000. Dileburkan terlebih dahulu basis PEG 400 : PEG 6000. Setelah basis
menjadi cair di masukkan ekstrak kental dan essensial pappermint oil lalu campur
dan homogenkan. Setelah homogen masukkan cairan ke dalam cetakkan
suppositoria dengan bobot suppositoria 2 gram. Masukkan ke dalam freezer
kulkas dan tunggu hingga menjadi padat dan mengeras ± 20 menit. Kemudian,
keluarkan suppositoria yang sudat memadat dilakukan evaluasi sediaan dan
dikemas.

27
3.6 Evaluasi Sediaan
1) Uji Organoleptis
Dilakukan pengecekan pada sediaan berupa bau, warna, dan bentuk
sediaan suupositoria yang diinginkan.
2) Uji stabilitas
Sediaan suppositoria disimpan di suhu 5 – 15 ˚C dan 25 – 30˚C.
Kemudian diamati penampilan bobot penempelan pada alumunium
foil atau sampai berubah bentuk. Amati dan hasilnya dicatat.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

28
Penelitian kali ini bertujuan untuk mengasilkan inovasi produk dry nose
suppositoria berbahan dasar Sambiloto (Andrograhis paniculata N) dan minyak
papermint (Menthae piperitha/arvensis) dan basis yang stabil terhadap
penyimpanan. Tanaman obat yang digunakan memiliki khasiat untuk
mengurangi gejala hidung tersumbat diantaranya sambiloto (Andrograhis
paniculata N) memiliki senyawa andrograpolid sebagai antiinflmasi dan minyak
papermint (Menthae piperitha/arvensis) yang memiliki senyawa methol. Basis
yang digunakan adalah Polietilenglikol (PEG), PEG yang dipakai adalah PEG
400 dan 6000 dengan perbandingan kosentrasi 70 : 30.

4.1 Karakterisasi Simplisia


Pengujian karakterisasi simplisia terdiri dari kadar abu, kadar sari larut air
dan kadar sari larut etanol, kadar air dan susut pengeringan simplisia.
Pengujian kadar abu berfungsi untuk mengetahui besarnya kandungan
mineral yang terdapat dalam makanan/pangan (Sudjaja, 2009). Prinsipnya yaitu
dengan mengoksidasi semua zat organik pada suhu tinggi, yakni sekitar 500-
600°C dan kemudian melakukan penimbangan zat yang tertinggal setelah proses
pembakaran tersebut (Vanessa, 2008). Sedangkan kadar sari larut air dan larut
etanol merupakan pengujian untuk penetapan jumlah kandungan senyawa yang
dapat terlarut dalam air (kadar sari larut air) dan kandungan senyawa yang dapat
terlarut dalam etanol (kadar sari larut etanol) (Dirjen POM, 2000). Pada
penentuan kadar sari larut air, simplisia dijenuhkan terlebih dahulu menggunakan
kloroform yang berfungsi sebagai antimikroba atau pengawet, karena jika hanya
menggunakan pelarut air saja kemungkinan ekstraknya akan rusak karena air
merupakan media yang baikuntuk pertumbuhan mikroba atau dikhawatirkan dapat
terjadi proses hidrolisis yang akan merusak ekstrak sehingga menurunkan mutu
dan kualitas dari ekstrak sambiloto. Sementara pada penentuan kadar sari larut
etanol tidak perlu ditambahkan kloroform, karena etanol sudah memiliki sifat
sebagai antibakteri. Kadar air adalah jumlah air yang terkandung pada simplisia
dibandingkan dengan massa simplisianya. Tujuan dari penetapan kadar air adalah
untuk menentukan jumlah air yang terdapat dalam simplisia, karena jika

29
jumlahnya lebih dari yang diperbolehkan, maka simplisia tersebut akan menjadi
media yang baik ditumbuhi oleh mikroba. Susut pengeringan adalah semua
kandungan yang ada di dalam simplisia yang dapat menguap. Tujuan dari susut
pengeringan adalah memberi batas maksimal (rentang) besarnya senyawa yang
akan hilang pada proses pengeringan. Nilai atau rentang yang diperbolehkan
terkatit dengan kemurnian dan kontaminasi (Agoes, 2007).

Dari hasil perhitungan, diperoleh kadar abu dari simplisia herba sambiloto
adalah 11% tidak memenuhi literatur ( tidak lebih dari 10,2%). Sedangkan untuk
pengujian kadar sari larut air hasil perhitungannya adalah 8,2% hasil tidak
memenuhi syarat literatur (tidak kurang dari 15,7 %), pengujian kadar sari larut
etanol memiliki hasil 15,6 % memenuhi literatur (tidak kurang dari 9,2%),
pengujian kadar air memiliki hasil 20% tidak memenuhi syarat literatur (< 10%)
dan yang terakhir pengujian susut pengeringan memiliki hasil 5,94% memenuhi
syarat literatur ( tidak lebih dari 10%).

4.2 Skrining Fitokimia

Dilakukan pengujian skrining fitokimia, pengujian ini merupakan analisis


kualitatif terhadap senyawa-senyawa metabolit sekunder. Suatu ekstrak dari bahan
alam terdiri dari berbagai macam metabolit sekunder yang berperan dalam
aktivitas biologinya. Senyawa tersebut dapat diidentifikasi dengan pereaksi-
pereaksi yang mampu memberikan ciri khas dari setiap golongan dari metabolit
sekunder (Harborne, 1987). Senyawa metabolit yang akan di uji pada simplisia
sambiloto adalah alkaloid, flavonoid, monoterpen dan seskuiterpen, fenolat,
steroid dan triterpenoid, kuinon, saponin, dan tannin. Dari hasil yang didapatkan
pada pengujian alkaloid hasilnya positif karena simplisia yang diuji dengan
pereaksi dragendroff menghasilkan warna jingga begitu pula pengujian dengan
pereaksi mayer yang menghasilkan endapan putih. Pada pengujian flavonoid
hasilnya positif karena simplisia yang diuji adanya perubahan warna. Pada
pengujian monoterpen dan seskuiterpen hasilnya negatif karena tidak terjadi
perubahan warna. Pada pengujian fenolat hasilnya positif karena terjadi perubahan
warna. Pada pengujian steroid dan triterpenoid hasilnya positif karena muncul
warna ungu kemerahan. Pada pengujian kuinon hasilnya negatif karena sampel

30
sambiloto tidak berubah warna menjadi merah. Pada pengujian saponin hasilnya
adalah negatif karena tidak terbentuk busa yang stabil pada saat pengujian. Dan
terakhir ada pengujian tannin hasilnya negatif karena tidak terjadi endapan.
Tabel 4.1 Hasil Skrining Fitokimia Herba Sambiloto
Uji Skrining Fitokimia Hasil Kesimpulan
Alkaloid Tidak ada warna jingga/end. putih +
Flavonoid Tidak ada perubahan warna +
Monoterpen dan Seskuiterpen Terjadi perubahan warna -
Fenolat Tidak ada perubahan warna +
Steroid dan Triterpenoid Tidak ada warna biru-hijau -
Kuinon Tidak berubah warna merah -
Saponin Tidak ada busa -
Tannin Tidak ada endapan -

4.3 Ekstrasi

Setelah dilakukan pengujian-pengujian terhadap simplisia, pada tahap ini


akan dilakukan proses ekstraksi, jenis ekstraksi yang dilakukan adalah ekstraksi
dingin yaitu dengan cara maserasi dengan pelarut etanol 95%. Maserasi
merupakan teknik ekstraksi simplisia dengan menggunakan pelarut yang sesuai
dengan cara perendaman pada suhu kamar. Mekanisme dari maserasi adalah
pelarut organic akan menembus dinding sel dan akan masuk ke dalam rongga sel
yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dalam pelarut organik di luar sel
maka larutan terpekat akan berdifusi keluar sel dan proses ini akan berjalan terus
menerus sampai terjadinya kesetimbangan antara konsentrasi cairan zat aktif yang
ada di dalam dan di luar sel. Pada pengujiannya simplisia sambiloto sebanyak 250
g ditimbang dan dihaluskan menggunakan blender, setelah di blender bobot
simplisia herba sambiloto menjadi 200 g.
Tabel 4.2 Rendemen Ekstrak Herba Sambiloto
Simplisia Berat Simplisia Berat Ekstrak % Rendemen
 Rimpang Kencur 200 g 75,2607 g 37,6288%

Lalu simplisia herba sambiloto dimasukkan ke dalam toples kaca sebagai tempat
maserasi dan di tambahkan etanol 95% sebanyak 800 ml sebagai pelarut
organiknya. Proses penghalusan semplisia bertujuan untuk memperbesar luas

31
permukaan antara simplisia herba sambiloto dengan pelarut etanol 95% agar
proses penyarian zat aktif lebih optimal. Pelarut yang digunakan adalah etanol
95% yang bersifat semipolar, digunakannya pelarut tersebut dikarenakan senyawa
andrografolid merupakan diterpen lakton yang larut dalam pelarut semi polar
seperti etanol, aseton, kloform dan sedikit larut dalam air. Proses maserasi
dilakukan selama 3 x 24 jam, jadi setiap 24 jam pelarut etanolnya harus diganti
dengan yang baru ini karena pelarut yang sebelumnya digunakan sudah sangat
jenuh sehingga kemampuannya untuk melarutkan senyawa di dalam simplisia
kencur sudah tidak semaksimal sebelumnya. Selanjutnya filtrat disaring dengan
menggunakan kertas saring dan ditampung dalam botol. Setelah 3 hari proses
maserasi dan penyaringan filtrat dilakukan, selanjutnya dilakukan proses
penguapan filtrat yang dilakukan pada vacum rotary evaporator. Proses
penguapan dilakukan sampai filtrat menjadi kental dan memiliki bobot yang
konstan. Berat ekstrak kental yang didapatkan adalah 75,2607 gram dengan %
rendemen ekstrak sebesar 37,6288%.

Selanjutnya dilakukan skrining fitokimia terhadap ekstrak kental yang


sudah didapatkan. Proses skrining fitokimia ini sama dengan proses skrining
sebelumnya yakni untuk mengetahui senyawa apa saja yang terkandung di dalam
ekstrak kencur yang sudah didapatkan. Senyawa yang diuji antara lain flavonoid,
kuinon, tannin, saponin, alkaloid, fenolat, triterpenoid, dan monoterpen.
Dari uji skrining yang dilakukan didapatkan hasil yaitu pada uji flavonoid
hasilnya positif karena terjadi perubahan warna pada saat pengujian. Pada uji
kuinon hasilnya positif karena terbentuk warna merah. Pada pengujian tannin
hasilnya negatif karena tidak terbentuk endapan. Pada pengujian saponin hasilnya
negatif karena tidak terbentuknya busa. Pada pengujian alkaloid hasilnya negatif
karena tidak terbentuk endapan. Pada pengujian fenolat hasilnya positif karena
terjadi perubahan warna menjadi kehijuan. Pada pengujian triterpenoid hasilnya
negatif karena tidak terbentuk warna biru-hijau pada saat proses pengujian. Dan
pada pengujian monoterpen hasilnya positif karena terjadi perubahan warna pada
saat proses pengujian.
Tabel 4.3 Hasil Skrining Fitokimia Pada Ekstrak Herba Sambiloto
Uji Skrining Fitokimia Hasil Kesimpulan

32
Flavonoid  Tidak terjadi perubahan warna  +
Kuinon  Tidak terbentuk warna merah  +
Tannin  Tidak ada endapan  -
Saponin  Tidak terbentuk busa  -
Alkaloid  Tidak terjadi endapan  -
Fenolat  Terbentuk warna kehijauan  +
Triterpenoid  Terbentuk warna biru-hijau  -
Monoterpen Terjadi perubahan warna   +

4.4 Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Senyawa Andrograpolid

Proses selanjutnya adalah dilakukannya Kromatografi Lapis Tipis (KLT),


KLT adalah salah satu analisis kualitatif dari suatu sampel dengan cara
memisahkan komponen-komponen sampel berdasarkan perbedaan kepolarannya.
KLT adalah pemisaham secara fisika-kimia dengan menggunakan fase gerak
(eluen yang cocok) dan fase diam (bahan berbutir) yang diletakkan di dalam
chamber. Pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan) dan
hasilnya di deteksi di bawah sinar UV. Fase diam yang digunakan adalah Plat
Silika Gel GF 254 dan fase gerak yang digunakan adalah kloroform : metanol
yakni dengan perbandingan 9 : 1. Pada KLT saat dilakukannya deteksi noda dapat
diperiksa dan dihitung nilai Rf nya. Rf merupakan nilai dari jarak relatif pada
pelarut. Nilai Rf dihitung sebagai jarak yang ditempuh oleh komponen dibagi
dengan jarak tempuh oleh eluen (fase gerak) untuk setiap senyawa. Pada fase
diamnya di batasi untuk batas bawah dan batas atas menggunakan jarum, hal ini
dikarenakan jarum tidak akan mempengaruhi proses perambatan karena bersifat
inert. Setelah itu ekstrak ditotolkan pada batas bawah menggunakan pipa kapiler
karena diameternya yang kecil sehingga cocok digunakan untuk penotolan di satu
titik. Setelah itu plat KLT diletakkan didalam chamber dengan posisi berdiri saat
eluen sdah mencapai tanda batas atas itu tandanya proses KLT sudah berakhir dan
dapat di dilihat di bawah sinar UV. Dari hasil KLT yang dilakukan terdapat 3 spot
yang berbeda, dan apabila dihitung nilai RF nya maka hasinya Rf1 0,53; Rf2 0,73;
dan Rf3 0,80.

Ekstrak kental UV 254 UV 366

33
Gambar 4.1 Hasil Spot Ekstrak Kental Sambiloto

4.4 Preformulasi Basis Suppositoria

Untuk preformulasi basis suppositoria diambil kesimpulan dari jurnal


penelitian yang membandingkan formulasi dan evaluasi basis suppositoria antara
lain oleum cacao : cera alba dan PEG 400 : PEG 6000. Pada penelitian tersebut
digunakan 5 macam formulasi kosentrasi oleum cacao dan cera alba antara lain
97:3, 96.5:3,5, 96:4, 95,5:4,5 dan 95:5. Sedangkan digunakan 3 perbandingan
formulasi kosentrasi antara PEG 400 : PEG 6000 antara lain 30:70, 50:50 dan
70:30. Pada hasil evaluasi organoleptis kedua macam basis ini menunjukkan hasil
yang baik dimana setelah dipotong secara vertikal dan horizontal, didapatkan
warna suppositiria yang merata dan tidak ada penumpukkan zat aktif. Pada
pengujian titik lebur pada suppositoria didapatkan hasil, pada formulasi dengan
basis oleum cacao dan sera alba rata-rata titik lebur yang dihasilkan adalah
38,2°C. Sedangkan pada formulasi PEG 400 : PEG 6000 didapatkan rata-rata
hasil titik lebur adalah 40,3. Pada formulasi PEG 400 : PEG 6000 (70:30)
menunjukkan hasil titik lebur sebesar 53,9°C, sedangkan pada pebandingan
konsentrasi (30:70) menunkkan hasil titik lebur yang paling rendah sebesar 40,38
°C. Hasil dari titik lebur ini menunjukkan semakin besar konsentrasi PEG 400 dan
semakin kecil konsentrasi PEG 6000 menyebabkan menurunnya titik lebur
suppositoria. Hal ini dikarenakan PEG 400 memiliki titik lebur yang rendah
dibandingkan PEG 6000, sehingga PEG 400 akan menurunkan suhu lebur dari
PEG 6000. Dilihat dari hasil penelitian untuk basis yang dipakai di formula dry
nose suppositoria sambiloto adalah PEG 400 : PEG 6000 dengan konsentrasi 30%
:70 %. Dipilihnya basis ini karena cocok dengan sediaan dry nose suppositoria
yang harus mempunyai organoleptis yang baik dan titik lebur yang lumayan tinggi

34
sehingga tidak mudah melebur. Karena pada penggunaannya sendiri suppositoria
dry nose ini lebih baik menggunakan basis PEG karena untuk menjaga stabilitas
produk agar tetap memiliki estetika yang baik.

Tabel 4.4 Hasil Data Pengamatan Perbandingan Kosentrasi Formula

Tabel 4.5 Hasil Data Pengamatan Titik Leleh Basis Suppositoria

Gambar 4.2 PEG 400: P EG 6000 Gambar 4.3 Ol. Cacao : Cera alba

4.5 Formulasi Dan Perhitungan Bahan Sediaan Suppositoria

R/ Ekstrak kental herba sambiloto 0,2 gram


Minyak peppermint 15 drops
PEG 400 70 %

35
PEG 6000 30 %

4.5.1 Perhitungan Bahan

Formula Perhitungan :
Ekstrak kental herba sambiloto 0,2 gram
Minyak peppermint 15 drop = 0,75 ml
PEG 400 70 % 70/100 × 2 gr = 1,4 gr
PEG 6000 30% 30/100 × 2 gr =0,6 gr

4.5.2 Perhitungan Bahan per 1 bacth ( 3 buah)

Formula Perhitugan :
Ekstrak kental herba sambiloto 0,2 gr × 3 gr = 0,6 gram
Minyak peppermint 0,75 ml × 3 gr = 2,25 ml
PEG 400 70 % 1,4 gr × 3 gr = 4,2 gram
PEG 6000 30 % 0,6 gr × 3 gr = 1,8 gram

4.6 Pembuataan sediaan suppositoria

Pembuatan suppositoria ini digunakan dengan cara panas, dengan cara


melebur semua bahan-bahan yang ada lalu dicetak. Pertama – tama disiapkan alat
dan bahan yang akan digunakan. Ditimbang bahan yang akan digunakan antara
lain Ekstrak kental herba sambiloto, pappermint essensial oil, PEG 400 dan PEG
6000. Dileburkan terlebih dahulu basis PEG 400 : PEG 6000. Setelah basis
menjadi cair di masukkan ekstrak kental dan essensial pappermint oil lalu campur
dan homogenkan. Setelah homogen masukkan cairan ke dalam cetakkan
suppositoria dengan bobot suppositoria 2 gram. Masukkan ke dalam freezer
kulkas dan tunggu hingga menjadi padat dan mengeras ± 20 menit. Kemudian,
keluarkan suppositoria yang sudat memadat dilakukan evaluasi sediaan dan
dikemas.

4.7 Evaluasi Sediaan

4.7.1 Uji Organoleptis

Pada pengujian sediaan parameter acuan hasil ditentukan dari basis


yang dipakai karena tidak menemukan literatur yang sesuai. Untuk pengujian

36
organoleptis kami acukan pada pemerian dari setiap komponen bahan yang
ditambahkan. Dari hasil penelitian sebelumnya didapatkan bentuk sediaan
suppositoria yang baik setelah dilakukan pemotongan secara horizontal dan
vertikal.

Parameter pengujian organoleptis Hasil


Bentuk Peluru/ torpedo, padat, dengan
permukaan yang mulus
Bau Pahit dan segar
Warna Hijau tua merata

Gambar 4.5 Bentuk secara organoleptik suppositoria herba sambiloto

4.7.2 Uji Stabilitas

Pada uji stabilitas sediaan suppositoria disimpan di suhu 5 – 15 ˚C dan


25 – 30˚C. Kemudian diamati penampilan bobot penempelan pada alumunium
foil atau sampai berubah bentuk. Pada uji stabilitas ini didapatkan hasil yang
baik dimana dilihat dari basis suppositoria yaitu 40,38 °C, yang akan
membantu menstabilkan fisik dari sediaan suppositoria.

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Pada penelitian tentang pembuatan produk suppositoria berbahan dasar
Sambiloto (Andrograhis paniculata N), minyak papermint (Menthae

37
piperitha/arvensis) dengan basis PEG 400 dan PEG 6000 telah berhasil dibuat.
Dan juga telah dilakukan evaluasi sediaan yaitu dengan melakukan uji
organoleptik dan uji stabilitas, didapatkan hasil yang baik pada kedua uji. Maka
dari itu, produk dapat dipastika yang stabil terhadap penyimpanan dan layak
untuk dipasarkan.

5.2 Saran
Saran dari penelitian ini adalah pada saat proses ekstraksi herba sambiloto
sebaiknya dilakukan ekstraksi dengan cara panas. Dikarenakan cara maserasi
terlalu lama membuang waktu, jadi jika memakai cara panas bisa meminimalisir
waktu percobaan. Dan saran pada saat produk yang sudah siap dipasarkan
sebaiknya disimpan terlebih dahulu di dalam kulkas dan hindarkan produk dari
sinar matahari langsung sebelum pemasan.

DAFTAR PUSTAKA

Badan POM RI. (2004). Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia,


Volume I. Jakarta : Badan Pemeriksaan Obat dan Makanan Republik
Indonesia.

38
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2000). Parameter Standar Umum
Ekstrak Tumbuhan Obat. (Edisi I). Jakarta: Direktorat Jenderal
Pengawasan Obat Dan Makanan, Direktorat Pengawasan Obat
Tradisional.
Afikoh, N, dkk. 2017. PENGARUH KONSENTRASI PEG 400 DAN PEG 4000
TERHADAP FORMULASI DAN UJI SIFAT FISIK SUPPOSITORIA
EKSTRAK SOSOR BEBEK (Kalanchoe pinnata [L.] pers). Tegal :
Politeknik Harapan Bersama
Selly, M, dkk. 2015. Jurnal ISOLASI ANDROGRAFOLIDA HERBA
SAMBILOTO (Andrographis paniculata Nees). Jatinangor : Universitas
Padjadjaran.
El-Majri, M,A., Sharma, R,K., 2010, Formulation and evaluation of piroxicam
suppositories, International Journal of Drug Delivery, p.107-112.
Milala, A.S., dan Avanti, C., 2006, Penentuan Jumlah Spermaceti untuk
Meningkatkan Titik Lebur Suppositoria dengan Basis Oleum Cacao yang
dibuat di Surabaya, Artocarpus 6 (2) : 79.
Nursal, F.K., Widayanti, A., 2013. Formulasi Sediaan Suppositoria ekstrak etanol
daun Handeuleum (Graptophyllum pictum (L.) Griff) Dalam Basis Oleum
Cacao, Skripsi,. FMIPA Universitas Muhammadiyah Prof.DR HAMKA.
Jakarta.
Akbar, S. 2011. Andrographis paniculata: A Review of Pharmacological
Activities and Clinical Efects. Alternative Medicine Review. Vol: 16(1).
P.66-77.
Sari Rinda Intan, dkk. 2015. Pengaruh Aromaterapi Peppermint Terhadap
Penurunan Mual Muntah Akut Pada Pasien yang Menjalani Kemoterapi
di SMC RS Telogorejo. Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan. Vol.III
No.2.
Siswantoro, E. 2015. Pengaruh Aromaterapi Daun Mint dengan Inhalasi
Sederhana Terhadap Penurunan Sesak Nafas Pada Pasien Tuberculosis
Paru. Jurnal Keperawatan dan Kebidanan.

39
LAMPIRAN
A. Kemasan Primer

40
B. Brosur

41

Anda mungkin juga menyukai