Anda di halaman 1dari 8

Toksikologi Klinik

Keracunan merupakan efek berlawanan yang ditimbulkan oleh suatu zat kimia yang
terpapar dalam jumlah yang melebihi batas. Tubuh merespon keadaan ini dengan
mendetoksifikasi sejumlah tertentu zat kimia tersebut, namun ketika jumlah zat kimia yang
terpapar melebihi batas kritis yang dapat ditoleransi tubuh, toksisitas dapat timbul. Keracunan
yang diakibatkan zat kimia meliputi paparan terhadap obat, bahan kimia industri, produk rumah
tangga, hewan dan tanaman beracun, serta bahan kimia pertanian.
1. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, keracunan berkontribusi terhadap lebih kurang 30.000 kematian.
Dewasa usia 20 hingga 59 tahun merupakan golongan yang beresiko tertinggi terhadap kematian
akibat keracunan, di mana pria memiliki insidensi kematian dua kali lipat lebih tinggi
dibandingkan wanita. Sekitar 0,2% kematian akibat keracunan melibatkan anak-anak usia balita.
Dari segi ekonomi, kasus keracunan tercatat menghabiskan total biaya hidup sebesar 12,6 miliar
dolar Amerika, di mana di dalamnya termasuk biaya kesehatan dan pemasukan yang hilang
akibat menjadi korban keracunan.
Meski begitu, angka kematian akibat keracunan pada anak-anak telah menurun dalam
tiga dekade terakhir berkat adanya implementasi usaha pencegahan keracunan, salah satunya
yaitu dengan mengembangkan suatu kemasan yang sulit dibuka atau mempersulit anak-anak
untuk memperoleh isinya dalam jumlah yang dapat menimbulkan reaksi keracunan dalam jangka
waktu tertentu. Beberapa contoh produk yang membutuhkan kemasan child-resistant ini yaitu
asetaminofen, aspirin, difenhidramin, etilen glikol, ibuprofen, metanol, NaOH, dan asam sulfat.
2. Pengenalan Tanda dan Gejala Keracunan
Tugas seorang praktisi klinis dalam hal ini adalah untuk menentukan apakah telah terjadi
keracunan atau adakah potensi untuk terjadi keracunan. Adakalanya pasien mengalami sakit yang
tidak dapat dijelaskan dengan gejala yang tidak spesifik dan tidak menyadari bahwa dirinya
terpapar oleh zat racun. Hampir semua jenis tanda gejala dapat ditemukan pada pasien
keracunan, namun beberapa di antaranya dapat menunjukkan adanya keracunan zat tertentu.
Contoh zat kimia/racun yang bila terpapar pada seseorang akan menunjukkan karakteristik
tertentu adalah organofosfat, di mana penderita keracunannya akan menampakkan ciri depresi

sistem saraf pusat, suara nafas yang berderik, pengecilan pupil, bradikardia, berkeringat,
mengeluarkan banyak air liur, dan diare.
Setelah jenis keracunan dikenali dan dibutuhkan diagnosis secara medis, material
biologis yang tepat akan diambil sebagai sampel dan dibawa ke laboratorium untuk dianalisis. Isi
lambung bisa jadi merupakan material yang paling banyak mengandung zat obat yang
menimbulkan keracunan, namun sampel ini sulit dianalisis. Dapat dilakukan uji kualitatif
terhadap sampel darah atau urin untuk mengetahui keberadaan suatu obat, hanya saja hasil uji
kualitatif seringkali bias dikarenakan jumlah zat target/analit yang terlalu kecil di dalam sampel
atau karena adanya gangguan zat lain. Uji kuantitatif konsentrasi zat dalam serum juga penting
dilakukan untuk mendeteksi keracunan beberapa zat, misalnya asetaminofen, etanol, metanol,
besi, teofilin, dan digoxin.
3. Farmakokinetika Overdosis
Suatu obat yang digunakan dalam jumlah overdosis dapat memiliki karakteristik
farmakokinetik yang berbeda dibandingkan dengan ketika obat tersebut digunakan dalam dosis
terpeutiknya. Perbedaan ini diakibatkan oleh adanya perbedaan pada ADME obat yang berkaitan
dengan dosisnya, efek farmakologi dari obat, atau dampak patofisiologis yang ditimbulkan dari
overdosis tersebut. Namun, aplikasi variabel farmakokinetik dalam kasus keracunan tidak
relevan untuk dilakukan. Hal ini karena data-data seperti persentase protein pengikat dan volume
distribusi pada kasus keracunan sulit untuk diinterpretasikan dan dibandingkan, mengingat dosis
dan waktu paparan yang tidak pasti, waktu pengambilan sampel yang sempit, dan banyak faktor
lainnya.
Pendekatan Umum dalam Penanganan Pasien Keracunan
1. Perawatan Sebelum Tiba di Rumah Sakit
Tindakan yang paling penting dalam tahap ini adalah melakukan dekontaminasi racun
sesegera mungkin. Pada pasien yang terpapar racun melalui saluran nafas, hendaknya segera
pindahkan pasien ke udara terbuka. Jika pasien tidak bernafas, segera lakukan bantuan nafas
buatan. Pada pasien yang terpapar racun melalui kulit, segera lepaskan pakaian yang terpapar
racun dan cuci bagian kulit yang terpapar dengan air selama 10 menit. Pada pasien yang terpapar
racun melalui mata, basahi atau cuci mata dengan air hangat atau dingin yang dituang dari gelas

dengan jarak 2-3 inci dari mata dan diulangi selama 10-15 menit. Pada pasien yang terpapar
racun melalui oral, segera berikan pasien beberapa gelas air minum hingga bantuan datang.
2. Perawatan dari Rumah Sakit
Perawatan Umum
Yang terlebih dahulu harus dilakukan adalah selalu memantau fungsi dan aktivitas organ
pasien. Menjaga agar sirkulasi udara dan oksigenasi pasien tetap baik menjadi prioritas. Selain
itu, dilakukan juga penanganan dan manajemen terhadap adanya keadaan kejang, aritmia,
hipotensi, keseimbangan asam-basa, status cairan tubuh pasien, serta hipoglikemia.
Bilas Lambung
Bilas lambung atau irigasi lambung dilakukan dengan memasang suatu tube/selang ke dalam
lambung melalui mulut atau hidung lalu ke esofagus pasien dan menguras isi lambung pasien
tersebut. Pada pasien yang tidak sadar/koma dan tidak dapat menjaga jalan nafasnya sebelum
tube bilas lambung diinsersikan, pada pasien tersebut harus terlebih dahulu dipasangi intubasi.
Prosedur bilas lambung ini hanya boleh dilakukan ketika racun telah diyakini tertelan oleh
pasien, yang dapat diketahui melalui endoskopi. Bilas lambung dilakukan dengan menggunakan
larutan salin (37o-38oC) hingga isi lambung terkuras bersih. Kontraindikasi bilas lambung adalah
jika yang tertelan merupakan zat yang korosif pada kulit atau hidrokarbon.
Karbon Aktif Dosis Tunggal
Tindakan ini bertujuan untuk menghambat absorpsi toksin di dalam tubuh. Karbon aktif
bekerja dengan cara meng-adsorben obat yang menjadi penyebab keracunan ke permukaan
karbon aktif tersebut sehingga absorbsi gastrointestinal dari obat tersebut dapat dihambat.
Karbon aktif ini tidak efektif dalam mengatasi keracunan besi, timbal, lithium, alkohol
sederhana, dan zat-zat korosif. Dosis yang direkomendasikan adalah 25-50 g untuk anak usia 112 tahun dan 25-100 g untuk usia remaja dan dewasa.

Katarsis
Katarsis atau obat pencahar seperti magnesium sitrat dan sorbitol diperkirakan mampu
menghambat absorpsi racun dengan cara mempercepat eliminasi racun maupun karbon aktif
yang telah meng-adsorpsi racun dari saluran gastrointestinal.
Irigasi Kolon
Whole-bowel irrigation atau irigasi usus besar/kolon dilakukan dengan menggunakan cairan
pembersih usus, yaitu larutan polietilen glikol iso osmotic dalam volume besar. Prosedur ini
dilakukan dengan tujuan mempercepat sampainya racun ke rektum sebelum sempat diabsorpsi.
Irigasi usus disarankan pada kasus keracunan obat-obatan terlarang, overdosis besi, obat luar
yang tertelan, overdosis obat lepas lambat.
Peningkatan Laju Eliminasi Obat (Racun)
Ekskresi obat pada pasien spesifik dengan pertimbangan tertentu dapat ditingkatkan dengan
proses diuresis, karbon aktif dosis berulang, serta hemodialisis.
Antidotum
Terapi antidot melibatkan mekanisme antagonisme atau dengan menginaktivasi racun secara
kimiawi. Farmakodinamika racun dapat diubah dengan jalan memberikan kompetitornya pada
reseptor. Berikut beberapa contoh obat dan antidotumnya.
Indikasi Keracunan
Asetaminofen

Antidotum
Asetilsistein

Benzodiazepin

Flumazenil

Isoniazid

Piridoksin

Timbal

Ca-EDTA

Opioid

Nalmefen, Nalokson

Spektrum Klinis Keracunan


1. Asetaminofen
Keracunan asetaminofen akut dicirikan dengan adanya hepatotoksisitas. Selama 12 hingga 24
jam setelah menelan asetaminofen, dapat diamati adanya tanda dan gejala berupa mual, muntah,
anoreksia, dan diaforesis/berkeringat. Hari ke-1 hinggan hari ke-3 merupakan masa laten di mana
tanda dan gejala mulai berkurang tetapi terdapat peningkatan produksi enzim hati dan bilirubin.
Pada hari ke-3 hingga ke-5 setelah gejala awal, puncak gangguan faal hati, mual dan muntah
muncul kembali, ikterus dan terjadi penurunan kesadaran, serta ensefalopati hepatikum.
Keracunan asetaminofen disebabkan karena akumulasi dari salah satu metabolitnya yaitu Nacetyl-p-benzoquinoneimine (NAPQI), yang dapat terjadi karena overdosis, pada pasien
malnutrisi, atau pada peminum alkohol kronik.
Tindakan yang dilakukan sebagai pertolongan pertama ketikaterdapat pasien yang dicurigai
mengalami keracunan asetaminofen adalah dengan memicu rangsang muntah (tindakan ini hanya
efektif bila asetaminofen baru ditelan atau peristiwa tersebut terjadi kurang dari 1 jam sebelum
diketahui). Atau dapat juga diberikan karbon aktif dengan dosis 100 gram dalam 200 ml air
untuk orang dewasa dan larutan 1 g/kg bb untuk anak-anak. Antidotum utama keracunan
asetaminodfen adalah N-asetilsistein. N-asetilsistein akan mengisi ulang persediaan glutation
dengan cara menggantikan posisi glutation untuk bergabung dengan metabolit reaktif, sehingga
dapat mencegah kerusakan hati. Bila kadar serum asetaminofen di atas garis toksik (lihat
nomogram) maka N-asetilsistein dapat mulai diberikan dengan loading dose 140mg/kg BB
secara oral, lalu dosis berikutnya 40 mg/kg BB diberikan setiap 4 jam. Larutkan asetilsistein ke
dalam air, jus atau larutan soda.
2. Insektisida Antikolinesterase
Manifestasi klinis keracunan insektisida antikolinesterase meliputi: pengecilan pupil,
ekskresi berlebihan kelenjar air mata, produkisi air liur berlebih, terjadi bronchorrhea,
bronkospasmodik, mengi pada nafas (wheezing), hiperperistaltik yang mengakibatkan kram
perut, diare, bradikardia, keringat berlebih, fasikulasi, kelumpuhan otot rangka (terutama yang
berkaitan dengan respirasi), kejang, dan koma. Insektisida antikolinesterasi memfosforilasi sisi
aktif kolinesterase di semua bagian dalam tubuh. Penghambatan enzim ini menyebabkan

akumulasi asetilkolin pada reseptor yang terkena dampak dan sebagai akibatnya toksisitas pun
menyebar ke seluruh tubuh.
Tindakan pertolongan pertama pada pasien yang mengalami keracunan insektisida ini adalah
dengan eterlebih dahulu mencuci dengan sabun bagian tubuh yang terpapar insektisida. Berikan
rangsangan muntah jika termakan dan kemudian lakukan bilas lambung dan berikan 15-20g
karbon aktif. Penanganan secara farmakologi dapat dilakukan dengan pemberian atropine dan
pralidoksim. Atropin diberikan dalam dosis 2 mg IV atau IM. Dosis ini harus diulang setiap 10
15 menit dan dipertahankan selama 24 48 jam sampai terlihat gejala-gejala keracunan atropin
ringan berupa wajah merah, kulit dan mulut kering, midriasis dan takikardi. Semantara itu
pralidoksim digunakan untuk mengatasi kelumpuhan otot rangka dengan pemberian segera saat
keracunan dalam waktu kurang dari 24 jam dan setelah pasien diberi atropin. Dosis normal yang
diberikan yaitu 1 gram pada orang dewasa. Jika kelumpuhan otot tidak membaik, dosis dapat
diulangi dalam 1 2 jam. Pengobatan umumnya dilanjutkan tidak lebih dari 24 jam
3. Calcium Channel Blocker
Efek toksik dari kelebihan obat-obatan calcium channel blocker mulai terjadi dalam interval
waktu 2 hingga 18 jam. Ciri keracunan dapat berupa mual, muntah, bradikardi dalam 1 hingga 6
jam pertama setelah pemaparan, hipotensi, depresi SSP, takikardi reflektif, kejang, serta
iskemi/infark miokard yang kemudian mengakibatkan edema paru. Penanganan yang diberikan
antara lain dengan pemberian karbon aktif dan pemberian atropin atau kalsium (CaCl 2) untuk
mengatasi bradikardia.
4. Besi
Keracunan besi dapat dicirikan oleh adanya rasal mual yang sangat, muntah-muntah,
perdarahan lambung dan usus, serta muntah darah disertai diare. Gejala tersebut terjadi sekitar 20
menit setelah kejadian overdosis besi. Toksisitas ini bila berlanjut akan menyebabkan kerusakan
lambung, hati, ginjal dinding pembuluh darah, dan otak. Kejadian fatal dapat timbul segera
setelah terjadi shock atau koma.
Hal yang penting untuk diperhatikan dalam penanganan toksisitas besi akut adalah
mencegah absorpsi besi dalam saluran cerna dan pernapasan. Hal tersebut dapat dilakukan
dengan cara memuntahkan makanan yang terkontaminasi Fe dengan emetika atau dengan
menggunakan obat pencahar, yaitu memberi 5% NaHCO3 yang dapat mengikat besi dalam

bentuk Fe karbonat yang tidak dapat diabsorpsi sehingga akan segera dikeluarkan lewat feses.
Untuk tujuan pengikatan besi sebelum diabsorpsi dapat juga diberikan kombinasi garam
karbonat dan fosfat. Pemberian obat pencahar seperti garam katartik (MgSO 4), juga dapat
dilakukan untuk menguras isi lambung, sehingga besi tidak sempat untuk diabsorpsi. Pengobatan
dengan khelator deferoksamin dianjurkan bila kadar Fe dalam serum mencapai 300 ug/dl,
walaupun gejala klinis belum terlihat. Deferoksamin kompleks pada dosis 100 mg dapat
mengikat 9 mg besi. Obat tersebut diberikan melalui oral dan akan mengikat Fe dari usus
sehingga mencegah absorpsi besi oleh dinding usus. Bila diberikan secara injeksi intravena,
dilakukan dengan dosis 15 mg/kg bb/hari, di mana injeksi dilakukan dengan perlahan karena
deferoksamin dapat menyebabkan hipotensi. Bila diberikan secara intramuskuler, digunakan
dosis 90 mg/kg bb. Urin pasien keracunan besi ini harus selalu dimonitor. Urin yang berwarna
merah-orange menunjukkan adanya ekskresi dari Fe-komplek khelasi. Pengobatan khelasi harus
selalu dilakukan sampai urin berwarna normal kembali.
5. Antidepresan Trisiklik
Keracunan antidepresan trisiklik dapat ditandai terutama oleh terjadinya konvulsi, aritmia
jantung, serta koma. Selain itu, hipotensi, depresi pernapasan, takikardia, dilatasi pupil,
penglihatan kabur, delirium, mulut kering, dan retensi urin juga dapat terjadi.
Penatalaksanaan keracunan antidepresan trisiklik ini dapat dilakukan dengan mengusahakan
untuk muntah dengan memberikan rangsang muntah jika penderita masih sadar. Laksanakan juga
pengurasan lambung dengan obat cuci perut. Selain itu, monitoring dengan ECG juga diperlukan
selama lebih kurang 24 jam hingga gejala hilang. Untuk mengatasi gejala efek antikolinergik,
berikan fisostigmin. Berikan juga larutan natrium dan kalium bikarbonat secara IV, dengan
tujuan agar tekanan dan pH darah arteri tetap normal sehingga memperkecil kemungkinan terjadi
aritmia. Fisostigmin, fenitoin, propanolol, dan tidokain juga dapat digunakan untuk aritmia yang
spesifik.

Daftar Pustaka
Dipiro, J.T., et. al. 2008. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach 7th Edition. United
States of America: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Anda mungkin juga menyukai