Anda di halaman 1dari 63

KARYA ILMIAH EKSPERIMENTAL

EKSTRAK BUAH ASAM JAWA (Tamarindus indica L.)


MENGHAMBAT PERTUMBUHAN BAKTERI
Staphylococcus aureus

UNMAS DENPASAR

Oleh:

I MADE ANDI DHARMA SUPUTRA


NPM : 2106122010014

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR
DENPASAR
2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rongga mulut merupakan organ vital yang harus diperhatikan

kebersihannya. Pada rongga mulut terdapat berbagai jenis bakteri, mulai dari

bakteri yang normal berada di dalam rongga mulut dan bakteri yang masuk

melalui makanan dan minuman yang dikonsumsi sehari-hari. Bakteri dapat

terakumulasi pada jaringan keras maupun jaringan lunak yang dapat menyebabkan

terjadinya gangguan pada rongga mulut. Apabila terjadi gangguan pada area

tersebut maka dapat memicu berbagai masalah kesehatan.

Berdasarkan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018

mengemukakan bahwa gigi rusak/berlubang merupakan masalah kesehatan gigi

dengan proporsi terbesar di Indonesia, yaitu sebesar 45,3%, sedangkan proporsi

untuk masalah gusi bengkak atau keluar bisul (abses) di Indonesia sebesar 14%

dengan proporsi terbesar pada Provinsi Gorontalo sebesar 19,6% dan proporsi

terendah pada Provinsi Aceh sebesar 11,1% (Riskesdas 2018).

Abses merupakan rongga patologis yang berisi penumpukan pus (nanah)

di dalam tubuh yang dapat terjadi secara akut maupun kronis (Risky dkk. 2019).

Akumulasi pus dalam rongga mulut dibentuk melalui proses infeksi oleh bakteri

berupa jaringan granulasi (Rante dkk. 2017). Manifestasi yang dapat ditimbulkan

oleh abses, yaitu pembengkakan, peradangan, nyeri tekan, dan kerusakan jaringan

disekitar abses (Wiharningtias dkk. 2016). Abses dentoalveolar merupakan abses

rongga mulut yang sering dijumpai pada manusia. Abses ini dapat terjadi akibat

masuknya bakteri ke jaringan perikoronal, periapikal, dan jaringan periodontal

(Risky dkk. 2019).

Agen bakteri yang terlibat dalam abses rongga mulut adalah bakteri

anaerob dan fakultatif anaerob. Di antara bakteri anaerob, Staphylococcus aureus


merupakan salah satu bakteri yang menjadi penyebab abses rongga mulut.

Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif berbentuk kokus yang

memiliki peranan penting dalam invasi abses (Mahalakshmi & Chandrasekaran

2017; Rante dkk. 2017).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai

berikut:

1. Apakah ekstrak daging buah asam jawa konsentrasi 30% memiliki

diameter zona hambat yang lebih besar daripada konsentrasi 10% dalam

menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus?

2. Apakah ekstrak daging buah asam jawa konsentrasi 50% memiliki

diameter zona hambat yang lebih besar daripada konsentrasi 10% dalam

menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus?

3. Apakah ekstrak daging buah asam jawa konsentrasi 50% memiliki

diameter zona hambat yang lebih besar daripada konsentrasi 30% dalam

menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kandungan dari

ekstrak daging buah asam jawa (Tamarindus indica L.) sebagai antibakteri

terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk membuktikan apakah ekstrak daging buah asam jawa

konsentrasi 30% memiliki diameter zona hambat yang lebih


besar dibandingkan dengan konsentrasi 10% dalam

menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus.

2. Untuk membuktikan apakah ekstrak daging buah asam jawa

konsentrasi 50% memiliki diameter zona hambat yang lebih

tinggi dibandingkan dengan konsentrasi 10% dalam

menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Akademik

Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi bagi

perkembangan ilmu pengetahuan dan menjadi bahan acuan penelitian

selanjutnya.

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini dapat memberikan informasi kepada masyarakat

bahwa ekstrak daging buah asam jawa (Tamarindus indica L.) konsentrasi

10%, 30%, dan 50% dapat menghambat pertumbuhan bakteri

Staphylococcus aureus
BAB II TINJAUAN

PUSTAKA

2.1 Asam Jawa (Tamarindus indica L.)

Asam jawa merupakan tanaman tropis yang berasal dari Afrika (Astawan

2009). Meskipun demikian, tanaman ini biasa dijumpai di beberapa negara yang

terletak di benua Amerika, seperti Meksiko dan Costa Rica. Selain itu, asam jawa

juga dapat dijumpai di benua Asia dan telah banyak dibudidayakan di Indonesia

(Makrufa 2019). Asam jawa memiliki beranekaragam nama, yaitu Tamarindus

indica (Latin), Tamarind (Inggris), Tamarinier (Perancis), celagi (Bali), camba

(Makassar), asem (Sunda), acem (Madura), bage (Bima), dan asam jawa

(Sulawesi Utara) (Astawan 2009).

Asam jawa merupakan sejenis buah yang memiliki rasa asam yang khas

dan biasa digunakan sebagai bumbu dalam berbagai masakan Indonesia. Buah ini

dapat digunakan sebagai perasa atau penambahn rasa asam dalam makanan,

seperti pada sayur asam atau kuah pempek (Fattah 2016).

2.1.1 Morfologi Asam Jawa (Tamarindus indica L.)

Tanaman asam jawa (Tamarindus indica L.) memiliki batang pohon yang

cukup keras, dapat tumbuh hingga mencapai tinggi 25 m. Batang pohon asam

jawa berbentuk bulat dengan diameter hingga 1 m, berwarna coklat dan memiliki

banyak lentisel di permukaannya (Gardjito 2013). Kulit batang berwarna coklat,

pecah dan luruh seperti sisik ketika sudah tua. Daun asam jawa merupakan daun

majemuk dan menyempit, memiliki bentuk yang lonjong serta berwarna hijau

keputihan. Panjang tangkai dan rakis daun 5-16 cm, anak daun 10-20 pasang,

panjang daun 1-2,5 cm dan lebar 0,5-1 cm. Tepi daun rata, ujungnya tumpul dan
pangkalnya membulat (Gardjito 2013; Silalahi & Mustaqim 2020). Bunga asam

jawa merupakan bunga majemuk, berbentuk seperti kupu-kupu dengan kelopak

buah dan daun mahkota sebanyak 5 buah, berbau harum dengan mahkota

berwarna kuning keputihan serta urat bunganya berwarna merah kecoklatan

(Gardjito 2013; Ulung 2014)

2.1.2 Manfaat Asam Jawa (Tamarindus indica L.)

Biji asam jawa dilaporkan mampu menurunkan kadar gula darah sehingga

baik untuk menjaga dan mengobati penderita diabetes. Kulit batang asam jawa

yang dicampur dengan air digunakan untuk kumur-kumur pada penderita sariawan

dan dapat digunakan untuk mengobati luka. Daun muda asam jawa yang direbus

dapat digunakan sebagai obat batuk dan demam (Ulung 2014). Daging buah asam

jawa dapat digunakan untuk mengobati batuk, sariawan, melancarkan peredaran

darah, dan melancarkan buang air besar (Hariana 2013; Fattah 2016).

2.1.3 Kandungan Asam Jawa (Tamarindus indica L.)

Bagian daun asam jawa mengandung stexin, iovitexin, dan isoorientin,

sedangkan pada kulit kayunya mengandung zat tanin. Buah asam jawa

mengandung berbagai macam senyawa organik seperti, gula invert, tartaric acid,

citric acid, serine, vitamin B3, geranial, limonene, peptin, proline, leusin, dan

pipecolic acid (Hariana 2013). Buah asam jawa memiliki total keasaman sebesar

12,3% sampai dengan 23,8% yang dinyatakan sebagai asam tartrat (Fadhilah dkk.

2020). Buah asam jawa yang matang di pohon, setiap 100 gram mengandung

protein 2,8 g, lemak 0,6 g, karbohidrat 62,5 g, kalsium 74 mg, fosfor 113 mg, zat

besi 0,6 mg, vitamin A 30 SI, vitamin B1 0,34 mg, dan vitamin C 2 mg. Bijinya

mengandung albuminoid dan pati (Gardjito 2013). Daging buahnya memiliki

kandungan rata-rata kalium bitartarat sebanyak 5,27%; asam sitrat sebanyak

2,20%; dan asam tartrat sebanyak 6,63% (Fadhilah dkk. 2020).


2.2 Bakteri Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus diamati dan dibiakkan pertama kali oleh Pasteur

dan Koch, kemudian pada tahun 1880-an diteliti lebih lanjut oleh Ogston dan

Rosenbach. Nama genus Staphylococcus diberikan oleh Ogston karena apabila

diamati dengan mikroskop, bakteri ini terlihat seperti buah anggur. Nama spesies

aureus diberikan oleh Rosenbach karena pada biakan murni koloni bakteri ini

terlihat berwarna kuning-keemasan (Hasibuan 2019).

2.2.1 Morfologi dan Identifikasi Stapylococcus aureus

Bakteri Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif, anaerob,

tidak bergerak, tidak berspora serta berdiameter antara 0,8-1,0 mikron. Pada

sediaan langsung yang berasal dari nanah, bakteri ini dapat terlihat sendiri,

berpasangan, bergerombol, dan bahkan dapat tersusun seperti rantai pendek. Pada

sediaan yang dibuat dari perbenihan padat ditemukan susunan gerombolan yang

tidak teratur sedangkan dari perbenihan kaldu biasanya ditemukan tersendiri atau

tersusun sebagai rantai pendek (Syahrurachman dkk. 2010). Staphylococcus


o
aureus paling cepat berkembang pada suhu 37 C, tetapi suhu terbaik untuk
o
menghasilkan pigmen adalah pada suhu ruangan, yaitu 20-25 C. Koloni pada

medium padat berbentuk bulat, halus, meninggi, berkilau dan membentuk koloni

berwarna abu-abu-abu hingga kuning tua kecoklatan (Riedel dkk. 2019).

2.2.2 Faktor Virulensi Staphylococcus aureus

Faktor virulensi Staphylococcus aureus adalah sebagai berikut (Husna

2018):

a. Protein invasi yang membantu invasi dan penyebaran bakteri ke dalam tubuh

seperti leukosidin, kinase, dan hialuronidase.

b. Faktor permukaan yang dapat menghambat fagositosis, seperti simpai dan

protein A.
c. Zat-zat biokimia yang diproduksi untuk meningkatkan pertahanan terhadap

fagositosis, seperti karotenoid dan katalase.

2.2.3 Patogenisitas Staphylococcus aureus

Patogenisitas bakteri dapat ditentukan oleh kemampuan ntuk melakukan

perlekatan pada permukaan mukosa yang dihubungkan dengan struktur

permukaan bakteri dan faktor penjamu (host). Perlekatan Staphylococcus aureus

diperantarai oleh kapsul polisakarida dan protein reseptor pada permukaan sel

epitel. Dalam hal ini, protein tersebut berperan dalam proses perlekatan terhadap

protein host, seperti laminin dan fibronektin yang tampak pada permukaan

matriks ekstraseluler dari epitel dan endotel (Husna 2018).

2.2.4 Mekanisme Infeksi Staphylococcus aureus

Mekanisme infeksi dari Staphylococcus aureus adalah sebagai berikut

(Husna 2018):

a. Perlekatan pada protein sel host

Staphylococcus aureus memiliki protein permukaan yang membantu

perlekatan bakteri pada sel inang berupa laminin dan fibronektin yang membentuk

matriks ekstraseluler pada permukaan epitel dan endotel. Bakteri ini

mengekspresikan reseptor permukaan untuk fibrinogen, fibronektin, dan

vitronektin.

b. Invasi

Invasi Staphylococcus aureus ke jaringan inang melibatkan beberapa

kelompok protein ekstraseluler, yaitu α-toksin, β-toksin, γ-toksin, leukosidin,

koagulase, eksotoksin, stafilokinase, dan enzim ekstraseluler lainnya, seperti

enzim protease, lipase, deoksiribonuklease, dan enzim pemodifikasi asam

lemak.

c. Perlawanan terhadap sistem pertahanan host


Staphylococcus aureus memiliki kemampuan untuk mempertahankan diri

terhadap mekanisme pertahanan host diantaranya adalah dengan pembentukan

mikrokapsul yang terdapat pada permukaan selnya dan berguna untuk

menghalangi proses fagositosis serta leukosidin yang secara spesifik

menghalangi kerja PMN leukosit.

2.3 Abses Periodontal

Abses periodontal merupakan suatu inflamasi purulen yang terlokalisir

pada jaringan periodontal yang dapat memicu kerusakan ligamen periodontal dan

tulang alveolar (Kemenkes RI 2014; Newman dkk. 2018). Abses periodontal

disebut juga dengan abses lateral atau abses parietal. Abses periodontal

merupakan lesi yang dapat merusak jaringan periodontal dalam waktu yang

singkat dan mudah diketahui tanda-tanda serta gejala klinisnya, seperti adanya

akumulasi pus (nanah) yang terlokalisir di dalam poket (Newman dkk. 2018).

2.3.1 Pembentukan Abses Periodontal

Pembentukan abses periodontal dapat terjadi dengan cara-cara sebagai

berikut (Newman dkk 2018):

a. Perluasan infeksi dari poket periodontal jauh ke dalam jaringan periodontal dan

proses inflamasi supuratif di sepanjang aspek lateral dari akar gigi

b. Perluasan lateral dari inflamasi yang dimulai dari permukaan bagian dalam

poket periodontal ke jaringan ikat dinding poket. Pembentukan abses terjadi

ketika drainase ke daerah poket terganggu.

c. Abses periodontal dapat terbentuk dari cul de sac.

2.3.2 Klasifikasi Abses Periodontal

Abses periodontal dapat diklasifikasikan berdasarkan jalannya lesi,

jumlah, lokasi, dan kriteria penyebabnya. Klasifikasi abses periodontal dapat

dijabarkan sebagai berikut:


a. Berdasarkan jalannya lesi

1. Abses periodontal akut

Abses periodontal akut muncul sebagai elevasi ovoid dari gingiva di

sepanjang aspek lateral akar. Gingiva berwarna merah, bengkak,

pembengkakan teraba lunak pada saat palpasi, dan permukaannya menjadi

halus dan berkilau (Newman dkk. 2018; Shende dkk. 2018).

2. Abses periodontal kronis

Abses periodontal kronis merupakan abses yang berkembang secara

perlahan dan berlangsung lama (Singh & Saxena 2015). Abses ini

berkembang sebagai eksaserbasi dari abses periodontal akut (Shende dkk.

2018). Abses periodontal kronis biasanya berhubungan dengan saluran sinus

dan asimptomatik (Newman dkk. 2018).

2.3.3 Etiologi Abses Periodontal

Salah satu penyebab utama abses periodontal adalah adanya sumbatan

pada poket periodontal. Penyumbatan pada poket periodontal disebabkan oleh

akumulasi kalkulus maupun adanya benda asing, seperti benang gigi atau serpihan

tusuk gigi. Hal ini menyebabkan berkurangnya cairan sulkus gingiva sehingga

mengakibatkan akumulasi bakteri pada daerah tersebut (Yousefi dkk. 2021).

Abses periodontal dapat timbul dengan disertai periodontitis atau tanpa

periodontitis. Abses periodontal yang timbul dengan disertai periodontitis ditandai

dengan perluasan infeksi dari poket periodontal, timbul setelah skeling atau

setelah oral profilaksis rutin, skeling yang tidak adekuat, lumen sekitar poket yang

tersumbat, terapi nifedipin, dan pengobatan dengan membran GTR baik

resorbable atau non-resorbable. Abses periodontal pada periodontitis dapat terjadi

pada berbagai tahap, yaitu eksaserbasi periodontitis akut yang tidak diobati dan

refraktori periodontitis. Penyebab abses periodontal tanpa melibatkan

periodontitis adalah kista lateral yang terinfeksi, perforasi gigi oleh karena
instrumen endodontik, impaksi benda asing, seperti bulu sikat gigi, tulang ikan,

dan benang gigi (Singh & Saxena 2015).

2.3.4 Patogenesis Abses Periodontal

Tahap awal terjadinya abses periodontal adalah masuknya bakteri dari

jaringan lunak ke dalam poket periodontal kemudian proses radang akan terus

berlanjut melalui faktor-faktor kemotaktik yang dilepaskan oleh bakteri yang akan

menarik leukosit polymorphonuclear (PMN). Hal ini akan merangsang sitokin

yang menyebabkan penghancuran jaringan ikat dan produksi pus (nanah) (Herrera

dkk. 2018).
12

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Abses periodontal merupakan suatu inflamasi purulen yang terlokalisir

pada jaringan periodontal. Pembentukan abses periodontal dapat terjadi dengan

berbagai cara, seperti adanya sumbatan pada poket periodontal yang disebabkan

oleh akumulasi kalkulus. Abses periodontal yang tidak dirawat dapat

mengakibatkan kerusakan ligamen periodontal dan tulang alveolar. Gejala klinis

yang dapat ditimbulkan oleh abses periodontal adalah adanya akumulasi pus

(nanah) yang terlokalisir di dalam poket. Salah satu bakteri yang memiliki

peranan penting dalam invasi abses periodontal, yaitu Staphylococcus aureus.

Penanganan infeksi yang disebabkan oleh bakteri, seperti Staphylococcus

aureus umumnya diberikan terapi antibiotik. Namun, permasalahan utama yang

dihadapi dalam pemberian antibiotik adalah timbulnya resistensi yang disebabkan

oleh penggunaan antibiotik yang tidak rasional. Untuk dapat mengimbangi

penggunaan antibiotik, maka diperlukan peninjauan berbagai antibiotik baru

sehingga dapat mengurangi efek samping dari penggunaan yang tidak rasional,

yaitu seperti penggunaan tanaman herbal sebagai bahan dasar terapi pada obat

tradisional.

Tanaman herbal yang dapat digunakan sebagai bahan dasar terapi untuk obat

tradisional adalah asam jawa (Tamarindus indica L.). Bagian dari tanaman asam

jawa yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar obat tradisional adalah bagian

daging buahnya. Kandungan dari esktrak daging buah asam jawa yang

berkhasiat sebagai antibakteri, seperti flavonoid, saponin, tanin, alkaloid, fenol,

terpenoid, dan glikosida. Senyawa flavonoid berfungsi untuk merusak

permeabilitas dinding sel bakteri, senyawa saponin berfungsi untuk merusak

permeabilitas membrane sehingga terjadi hemolisis sel, senyawa tanin berfungsi


13
untuk menginaktivasi adhesi sel bakteri, senyawa alkaloid berfungsi untuk

mengganggu komponen penyusun peptidoglikan sel bakteri, senyawa fenol

berfungsi untuk mendenaturasi protein sel bakteri, senyawa terpenoid berfungsi

untuk mengurangi permeabilitas dinding sel bakteri, dan senyawa glikosida

berfungsi untuk menghambat fungsi membrane sel bakteri.

3.2 Hipotesis Penelitian

1. Ekstrak daging buah asam jawa konsentrasi 30% memiliki diameter zona

hambat yang lebih besar daripada konsentrasi 10% dalam menghambat

pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus.

2. Ekstrak daging buah asam jawa konsentrasi 50% memiliki diameter zona

hambat yang lebih besar daripada konsentrasi 10% dalam menghambat

pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus.

3. Ekstrak daging buah asam jawa konsentrasi 50% memiliki diameter zona

hambat yang lebih besar daripada konsentrasi 30% dalam menghambat

pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus.


14

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah true

experimental secara in vitro dengan post-test only control group design.

K1 O0

K2 O1

Ra
P S P1 O2

P2 O3

P3 O4

Keterangan

P = Populasi

S = Sampel

Ra = Random alokasi

K1 = Kelompok kontrol I (dengan etanol 96% sebagai kontrol negatif)

K2 = Kelompok kontrol II (dengan clindamycin sebagai kontrol positif)

P1 = Perlakuan dengan ekstrak daging buah asam jawa dengan konsentrasi

10%

P3 = Perlakuan dengan estrak daging buah asam jawa dengan konsentrasi

30%

P4 = Perlakuan dengan esktrak daging buah asam jawa dengan konsentrasi

50%
15
O0 = Pengamatan hasil pada kelompok K1

O1 = Pengamatan hasil pada kelompok K2

O2 = Pengamatan hasil pada kelompok P1

O3 = Pengamatan hasil pada kelompok P2

O4 = Pengamatan hasil pada kelompok P3

4.2 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah koloni bakteri Staphylococcus aureus

ATCC 29213 yang diperoleh dari UPTD. Balai Laboratorium Kesehatan Provinsi

Bali.

4.3 Sampel

Besar sampel pada penelitian ini ditentukan berdasarkan rumus Federer,

yaitu sebagai berikut (Roflin dkk. 2021):

(n-1)(t-1) ≥ 15

Keterangan

n : banyak pengulangan

t : perlakuan

Dalam penelitian ini sampel dibagi menjadi 5 kelompok dengan perlakuan

yang berbeda, yaitu sebagai berikut:

a. Kontrol I : Larutan kontrol negatif dengan etanol 96%

b. Kontrol II : Larutan kontrol positif clindamycin

c. Perlakuan I : Larutan ekstrak daging buah asam jawa 10%

d. Perlakuan II : Larutan ekstrak daging buah asam jawa 30%

e. Perlakuan III : Larutan ekstrak daging buah asam jawa 50%

Jadi, perlakuannya (t) adalah sebanyak 5


16
Penelitian ini menggunakan teknik probability sampling, yaitu

pengambilan sampel yang memberikan peluang yang sama bagi setiap unsur

dalam populasi untuk terpilih menjadi anggota sampel (Sumargo 2020).

4.4 Variabel Penelitian

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan 3 variabel, yaitu sebagai

berikut:

a. Variabel bebas : ekstrak daging buah asam jawa konsentrasi 10%,

30%, dan 50%.

b. Variabel terikat : pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus.

c. Variabel terkendali : media pertumbuhan bakteri, suhu inkubasi, jumlah

koloni bakteri, waktu pembiakkan bakteri.

4.5 Definisi Operasional Variabel

a. Daging buah asam jawa didapatkan dari pohon asam jawa (celagi) di

daerah Ubud.

b. Ekstrak daging buah asam jawa adalah ekstrak yang diperoleh dengan

melakukan ekstraksi dengan proses maserasi. Pertama kali daging buah

asam jawa dikeringkan. Setelah itu, dihaluskan dengan blender hingga

menjadi serbuk kemudian dimaserasi dengan pelarut etanol 96% dan

selanjutnya disaring dengan kertas saring kemudian diuapkan hingga

memperoleh ekstrak kental.

c. Ekstrak daging buah asam jawa konsentrasi 10% adalah ekstrak yang

dibuat dari 1 ml ekstrak daging buah asam jawa 100% ditambah 9 ml

etanol 96%.
17
d. Ekstrak daging buah asam jawa konsentrasi 30% adalah ekstrak yang

dibuat dari 3 ml ekstrak daging buah asam jawa 100% ditambah 7 ml

etanol 96%.

e. Ekstrak daging buah asam jawa konsentrasi 50% adalah ekstrak yang

dibuat dari 5 ml ekstrak daging buah asam jawa 100% ditambah 5 ml

etanol 96%.

f. Bakteri Staphylococcus aureus adalah bakteri gram positif yang bersifat

anaerob dan merupakan salah satu flora normal pada kulit dan selaput

mukosa manusia. Staphylococcus aureus adalah salah satu bakteri

penyebab abses periodontal. Pada penelitian ini menggunakan

Staphylococcus aureus ATCC 29213 yang merupakan bakteri biakan yang

diperoleh dari UPTD. Balai Laboratorium Kesehatan Provinsi Bali.

g. Suhu inkubasi adalah suhu pada inkubator yang digunakan dalam


o
penelitian sebesar 37 C.

h. Waktu inkubasi bakteri adalah waktu yang diperlukan untuk membiakkan

bakteri Staphylococcus aureus pada media, yaitu selama 24 jam.

i. Media pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus adalah Mueller Hinton

Agar (MHA) yang merupakan media terbaik untuk pemeriksaan

sensibilitas tes (dengan metode Kirby-Bauer) (Indrayati & Amelia 2019).

j. Koloni bakteri merupakan kumpulan bakteri sejenis pada medium kultur

yang mengelompok menjadi satu.

4.6 Instrumen Penelitian

Pengujian efektivitas antibakteri dilakukan dengan pengukuran luas zona

bening pada permukaan media biakan. Daerah bening tersebut dinyatakan

dengan
18
lebar diameter zona hambat. Diameter zona hambat diukur dalam

satuan milimeter (mm) menggunakan jangka sorong. Kemudian, kriteria

kekuatan daya

antibakteri ini dapat dikategorikan berdasarkan penggolongan Davis and Stout,

yaitu sebagai berikut (Ariyani dkk. 2018):

a. Diameter zona hambat < 5 mm dikategorikan lemah

b. Diameter zona hambat 5-10 mm dikategorikan sedang

c. Diameter zona hambat 11-20 mm dikategorikan kuat

d. Diameter zona hambat > 20 mm dikategorikan sangat kuat

4.7 Lokasi dan Waktu Penelitian

a. Pengeringan daging buah asam jawa dilakukan selama 14 hari.

b. Pembuatan ekstrak daging buah asam jawa dan uji fitokimia dilakukan di

Laboratorium Fakultas Farmasi Universitas Mahasaraswati Denpasar

selama 14 hari.

c. Pengujian daya hambat ekstrak daging buah asam jawa (Tamarindus

indica L.) terhadap Staphylococcus aureus dilakukan di UPTD. Balai

Laboratorium Kesehatan Provinsi Bali selama 4 hari.

4.8 Alat dan Bahan

4.8.1 Alat yang Digunakan dalam Penelitian Ini

1. Blender

2. Sonicator Elmasonic

3. Penyaring buchner

4. Ayakan

5. Pisau

6. Timbangan
19

7. Vacuum rotary evaporator

8. Kertas saring whatman

9. Batang pengaduk

10. Tabung erlenmeyer

11. Pipet tetes

12. Tabung reaksi

13. Rak tabung reaksi

14. Petri disc

15. Ose steril

16. Lampu bunsen

17. Label

18. Kertas cakram

19. Inkubator

20. Jangka sorong

21. Cotton swab steril

22. Lap

23. Timer

24. Autoklaf

4.8.2 Bahan yang Digunakan dalam Penelitian Ini

1. Daging buah asam jawa

2. Etanol 96%

3. Mueller Hinton Blood Agar

4. Larutan Mc Farland 0,5%

5. Bakteri Staphylococcus aureus ATCC 29213


20

6. Ekstrak daging buah asam jawa konsentrasi 10%, 30%, dan 50%

7. Clindamycin

8. KOH

9. NaCl

10. HCL

11. FeCl3

12. Handscoon

13. Masker

14. Aquades steril

4.9 Prosedur Penelitian

4.9.1 Persiapan Sampel

Sampel daging buah asam jawa dibersihkan dengan cara dicuci di bawah

air mengalir sampai bersih. Kemudian, buah asam jawa dikeringkan dengan cara

dijemur. Apabila sudah setengah kering, pisahkan daging buah dan bijinya

kemudian daging buah asam jawa dipotong kecil-kecil. Setelah itu, daging buah

asam jawa dikeringkan dengan cara dijemur di bawah sinar matahari dengan

ditutupi kain atau plastik hitam selama 14 hari. Sampel yang sudah kering

dihaluskan menggunakan blender dan disaring untuk mendapatkan serbuknya.

4.9.2 Pembuatan Ekstrak Daging Buah Asam Jawa

Pembuatan ekstrak daging buah asam jawa (Tamarindus indica L.)

dilakukan di Laboratorium Fakultas Farmasi Universitas Mahasaraswati

Denpasar. Ekstraksi dilakukan dengan cara maserasi. Sebanyak 150 g serbuk


21

daging buah asam jawa dimasukkan ke dalam botol kaca dan ditambahkan 500 ml

pelarut etanol 96% dan dimaserasi selama 3x24 jam. Selanjutnya, hasil ekstraksi

disaring menggunakan corong buchner sehingga diperoleh ekstrak cair dengan

pelarut. Setelah proses maserasi, serbuk yang masih tersisa digunakan kembali

untuk proses remaserasi untuk mendapatkan hasil ekstraksi yang maksimum.

Kemudian, filtrat diuapkan menggunakan vacuum rotary evaporator pada suhu


o
60 C hingga memperoleh ekstrak kental. Ekstrak disimpan dalam wadah tertutup

sebelum digunakan untuk pengujian.

4.9.3 Uji Fitokimia Ekstrak Daging Buah Asam Jawa

Uji fitokimia pada ekstrak daging buah asam jawa meliputi pemeriksaan

alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, fenol, dan terpenoid, yaitu sebagai berikut

(Sari & Sumadewi 2019):

a. Uji Alkaloid

Sebanyak 2 ml larutan ekstrak daging buah asam jawa dilarutkan

dalam 2 ml HCL 2%. Kemudian, larutan tersebut dipanaskan selama 5

menit dan disaring. Filtrat yang diperoleh ditetesi dengan pereaksi Mayer

sebanyak 3 tetes. Adanya senyawa alkaloid ditandai dengan terbentuknya

endapan putih.

b. Uji Flavonoid

Sebanyak 2 ml larutan ekstrak daging buah asam jawa dilarutkan

dalam 2 ml etanol dan ditambahkan serbuk Mg dan HCL pekat sebanyak 5

tetes. Adanya senyawa flavonoid ditandai dengan terbentuknya warna

merah atau jingga.


22

c. Uji Saponin

Sebanyak 2 ml larutan ekstrak daging buah asam jawa dilarutkan

dalam aquades pada tabung reaksi ditambah 10 tetes KOH dan dipanaskan

o
dalam penangas air dengan suhu 50 C selama 5 menit. Kemudian, tabung

reaksi dikocok secara vertikal selama 10 detik. Apabila terbentuk busa

setinggi 1-10 cm dan tetap stabil selama 15 menit, menunjukkan adanya

senyawa saponin.

d. Uji Tanin

Sebanyak 2 ml larutan ekstrak daging buah asam jawa ditambah

dengan pereaksi FeCl3. Adanya senyawa tanin ditandai dengan

terbentuknya warna biru tua atau hijau kehitaman.

e. Uji Fenol

Sebanyak 2 ml larutan ekstrak daging buah asam jawa dilarutkan

dalam akuades 10 ml. Kemudian, larutan tersebut dipanaskan selama 5

menit dan disaring. Filtrat yang terbentuk ditambahkan 5 tetes FeCl3 5%.

Adanya senyawa fenol ditandai dengan terbentuknya warna biru tua atau

hijau kehitaman.

f. Uji Terpenoid

Sebanyak 2 ml larutan ekstrak daging buah asam jawa ditambah

dengan pereaksi Liberman-Burchard 1 ml. adanya senyawa terpenoid

ditandai dengan terbentuknya warna biru tua atau coklat-ungu.


23

4.9.4 Pembuatan Larutan Uji

Larutan uji dibuat dengan konsentrasi 10%, 30%, dan 50% menggunakan

pelarut etanol 96%. Larutan 10% artinya larutan tersebut terdiri dari 1 ml ekstrak

daging buah asam jawa dan 9 ml etanol 96%. Larutan 30% artinya larutan tersebut

terdiri dari 3 ml ekstrak daging buah asam jawa dan 7 ml etanol 96%. Begitu juga

dengan larutan 50% artinya larutan tersebut terdiri dari 5 ml ekstrak daging buah

asam jawa dan 5 ml etanol 96%.

4.9.5 Pembuatan Media Mueller Hinton Agar

Ditimbang Mueller Hinton Agar sebanyak 3,4 gram dilarutkan dalam 100

ml aquadest (3,4 g/100 ml) menggunakan tabung erlenmeyer. Setelah itu,

dihomogenkan dengan magnetic stirrer di atas hotplate stirrer sampai larut

o
sempurna. Media tersebut disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121 C dan

tekanan 1,5 atm selama 15 menit. Media MHA yang masih cair dituang ke dalam

cawan petri sebanyak 20 ml dan ditunggu hingga memadat (Ervina dkk. 2018;

Suryani dkk. 2020)

4.9.6 Uji Aktivitas Antibakteri Secara In Vitro

Uji yang digunakan adalah uji sensitivitas dengan menggunakan metode

Kirby-bauer yang dilakukan menggunakan media MHA. Suspensi kekeruhan

bakteri Staphylococcus aureus yang setara dengan larutan Mc. Farland 0,5%,

diambil dengan menggunakan cotton swab steril. Kemudian pada media yang

telah memadat usapkan cotton swab yang telah berisi suspensi bakteri

Staphylococcus aureus hingga merata (Sari dkk. 2018). Kemudian kertas cakram
24

yang telah berisi larutan uji ekstrak daging buah asam jawa konsentrasi 10%,

30%, dan 50%, kontrol positif berupa clindamycin, dan kontrol negatif berupa

etanol 96% ditempatkan diatas permukaan media sesuai dengan posisi yang

o
diinginkan. Selanjutnya, media diinkubasi pada suhu 37 C selama 24 jam. Setelah

itu, dilakukan pengukuran diameter zona hambat dengan jangka sorong yang

dinyatakan dalam satuan milimeter (Sari dkk. 2017).

4.9.7 Pengamatan dan Pengukuran

Pengamatan dilakukan setelah 1x24 jam masa inkubasi. Daerah bening

merupakan tanda kepekaan bakteri terhadap antibiotik atau bahan antibakteri

lainnya yang digunakan dalam penelitian ini. Daerah bening tersebut dinyatakan

dengan lebar diameter zona hambat. Diameter zona hambat diukur dalam satuan

milimeter (mm) menggunakan jangka sorong. Kemudian diameter zona hambat

tersebut dikategorikan kekuatan daya antibakterinya berdasarkan penggolongan

Davis and Stout (Wahyuni & Karim 2020).

4.10 Analisis Data

Data dianalisis secara statistik dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Analisis deskriptif: analisis data untuk memberikan gambaran tentang

karakteristik data (zona hambat bakteri) yang didapatkan dari hasil

penelitian yaitu rerata, standar deviasi, nilai minimum, dan nilai

maksimum.

2. Uji normalitas: normalitas data diuji dengan menggunakan uji Saphiro-

Wilk karena jumlah sampel <30. Data yang diuji, yaitu diameter zona
25

hambat bakteri Staphylococcus aureus. Data berdistribusi normal

apabila nilai kemaknaan > 0,05.

3. Uji perbedaan: rerata diameter zona hambat diuji dengan menggunakan

uji Kruskal-Wallis untuk mengetahui perbedaan antar kelompok.

Sedangkan untuk membandingkan perbedaan rerata konsentrasi ekstrak

daging buah asam jawa pada masing-masing kelompok maka dilakukan

uji Post-Hoc dengan uji Mann-Whitney.


26

DAFTAR PUSTAKA

Amalia, A., Sari, I. & Nursanty, R., 2017, ‘Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etil
Asetat Daun Sembung (Blumen balsamifera (L.) DC.) Terhadap
Pertumbuhan Bakteri Methicillin Resistant Staphylococcus aureus
(MRSA)’, Prosiding Seminar Nasional Biotik, hlm. 387-391.

Arifin, B., &Ibrahim, S., 2018, ‘Struktur, Bioaktivitas dan Antioksidan


Flavonoid’, Jurnal Zarah 6(1), 21-29.

Ariyani, H., Nazemi, M., Hamidah & Kurniati, M., 2018, ‘Uji Efektivitas Ekstrak
Kulit Limau Kuit (Cytrus hystrix DC) Terhadap Beberapa Bakteri’,
Journal of Current Pharmaceutical Sciences 2(1), 136-141.

Astawan, M., 2009, ’Sehat Dengan Hidangan Kacang dan Biji-bijian’, Niaga
Swadaya, hlm. 82.

Ervina, R., Istiqomah, N. & Shofi, M., 2018, ‘Ekstrak Metanol Daun Turi Merah
(Sesbania grandiflora L. Pers) Sebagai Aktivitas Antibakteri
Staphylococcus aureus’, Prosiding Seminar Nasional Sains, Teknologi dan
Analisis ke-1, hlm. 142-145.

Fattah, M. H. A., 2016, ‘Mukjizat Herbal dalam Al Quran’, Vol. 2, Mirqat, hlm.
31-34, 38.

Gardjito, M., 2013, ‘Bumbu, Penyedap, dan Penyerta Masakan Indonesia’,


Indonesia: PT Gramedia Pustaka Utama, hlm. 6.

Hamidah, M. N., Rianingsih, L. & Romadhon, 2019, ‘Aktivitas Antibakteri Isolat


Bakteri Asam Laktat dari Peda dengan Jenis Ikan Berbeda Terhadap E.
coli dan S. aureus’ Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan 1(2), 11-21.

Hariana, A., 2013, ‘262 Tumbuhan Obat dan Khasiatnya’, Penebar Swadaya,
hlm. 40-41.

Hasibuan, K. A., 2019, ‘Efektivitas dari Beberapa Konsentrasi Ekstrak Daun


Sirsak Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923 (In Vitro)’,
Skripsi, Universitas Sumatera Utara.

Herrera, D.,Valdes, B. R., Alonso, B. & Feres, M., 2018, ‘Acute Periodontal
Lesions (Periodontal Abscess and Necrotizing Periodontal Disease) and
Endo-periodontal Lesions’, Journal of Periodontology 89(1), 85-102,
diakses tanggal 14 Juni 2021, dari
https://aap.onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1002/JPER.16-0642

Husna, C. A., 2018, ‘Peranan Protein Adhesi Matriks Ekstraselular Dalam


Patogenitas Bakteri Staphylococcus aureus’, Jurnal Avverous 4(2).

Kemenkes RI, 2014, ‘Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Gigi’, Kementerian
Kesehatan RI, hlm. 80.
27
Mahalakshmi, K. &Chandrasekaran, S.C., 2017, ‘Frequency of Staphylococcus
aureus in Periodontal Abscess – A Pilot Study’, IOSR Journal of
Pharmacy and Biological Sciences 12(5), 27-28, diakses tanggal 31 Mei
2021, dari
https://www.researchgate.net/publication/320878019_Frequency_of_Staph
ylococcus_aureus_in_periodontal_abscess_-a_pilot_study

Mardiyantoro, F., Munika, K., Sutanti, V., Cahyati, M. & Pratiwi, A. R., 2018,
‘Penyembuhan Luka Rongga Mulut’, Universitas Brawijaya Press,

Newman, M. G., Takei, H. H., Klokkevold, P. R., Carranza, F. A., 2015,


th
‘Carranza’s Clinical Periodontology’, 12 Edition, Missouri: Elsevier,
hlm. 373, 385.

Newman, M. G., Takei, H. H., Klokkevold, P. R., Carranza, F. A., 2018,


th
‘Newman and Carranza’s Clinical Periodontology 13 Edition’,
Philadelphia: Elsevier, hlm. 313-314, 390.

Rante, B. K., Assa, Y. A. & Gunawan, P. N., 2017, ‘Uji Daya Hambat Getah
Buah Pisang Goroho (Musa acuminafe L.) Terhadap Pertumbuhan
Staphylococcus aureus’, Jurnal e-Gigi 5(2), diakses tanggal 1 Juni 2021,
dari https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/egigi/article/view/17127

Riedel, S., Morse, S. A., Mietzner, T. & Miler, S., 2019, ‘Jawetz, Melnick &
th
Adelberg’s Medical Microbiology’, 28 Edition. New York: Mc Graw
Hill, hlm. 206, 208.

Riskesdas, 2018, ‘Laporan Nasional Riskesdas 2018’, Kemenkes RI: Badan


Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

Risky, Y. T., Agrijanti & Inayanti, N., 2019, ‘ Uji Screening Methicillin-resistant
Staphylococcus aureus (MRSA) Menggunakan Antibiotika Cefoxitin (fox)
30 µg Pada Pasien Penderita Abses Gigi di Klinik BPJS Mataram’, Jurnal
Analis Medika Bio Sains 6(2), 98-104, diakses tanggal 31 Mei 2021, dari
https://www.researchgate.net/publication/336895331_Uji_Screening_Meth
icillin-
resistant_Staphylococcus_Aureus_MRSA_Menggunakan_Antibiotik_Cefo
xitin_fox_30_g_Pada_Pasien_Penderita_Abses_Gigi_di_Klinik_BPJS_Ma
taram

Sari, R., Muhani, M. & Fajriaty, I., 2017, ‘Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak
Etanol Daun Gaharu (Aquilaria microcarpa Baill.) Terhadap Bakteri
Staphylococcus aureus dan Proteus mirabilis’, Pharm Sci Res, 4(3): 143-
154

Sari, N., Apridamayanti, P & Sari, R., 2018, ‘Penentuan Nilai MIC Ekstrak Etanol
Kulit Lidah Buaya (Aloe vera Linn.) Terhadap Isolat Bakteri Pseudomonas
aeruginosa Resisten Antibiotik', 7(2): 219-232.

Sari, N. K. Y. S. & Sumadewi, N. L. U., 2019, ‘Potensi Ekstrak Daun Akasia


(Acacia auriculiformis) sebagai Antifungi pada Candida albicans dan
Identifikasi Golongan Senyawanya’, Journal of Biological Sciences, 6(2):
143-147.
28
Singh, A. K.& Saxena, A., 2015, ‘The Periodontal Abscess: A Review’, IOSR
Journal of Dental and Medical Sciences 14(11), 81-86, diakses tanggal 13
Juni 2021, dari
https://www.researchgate.net/publication/306060513_The_periodontal_ab
scess_A_review

Ulung, G., 2014, ‘Sehat Alami dengan Herbal: 250 Tanaman Berkhasiat Obat’,
Indonesia: PT Gramedia Pustaka Utama, hlm. 34-35.

Wahyuni & Karim, S. F., 2020, ‘Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun
Kacapiring (Gardenia jasminoides Ellis) Terhadap Bakteri Streptococcus
mutans’, Jurnal Sains dan Kesehatan 2(4), 399-404, diakses tanggal 30
Oktober 2021, dari
https://jsk.farmasi.unmul.ac.id/index.php/jsk/article/view/191
29
30
31
2
3
BAB II TINJAUAN

PUSTAKA

2.1 Asam Jawa (Tamarindus indica L.)

Asam jawa merupakan tanaman tropis yang berasal dari Afrika (Astawan

2009). Meskipun demikian, tanaman ini biasa dijumpai di beberapa negara yang

terletak di benua Amerika, seperti Meksiko dan Costa Rica. Selain itu, asam jawa

juga dapat dijumpai di benua Asia dan telah banyak dibudidayakan di Indonesia

(Makrufa 2019). Asam jawa memiliki beranekaragam nama, yaitu Tamarindus

indica (Latin), Tamarind (Inggris), Tamarinier (Perancis), celagi (Bali), camba

(Makassar), asem (Sunda), acem (Madura), bage (Bima), dan asam jawa

(Sulawesi Utara) (Astawan 2009).

Asam jawa merupakan sejenis buah yang memiliki rasa asam yang khas

dan biasa digunakan sebagai bumbu dalam berbagai masakan Indonesia. Buah ini

dapat digunakan sebagai perasa atau penambahn rasa asam dalam makanan,

seperti pada sayur asam atau kuah pempek (Fattah 2016).

2.1.1 Morfologi Asam Jawa (Tamarindus indica L.)

Tanaman asam jawa (Tamarindus indica L.) memiliki batang pohon yang

cukup keras, dapat tumbuh hingga mencapai tinggi 25 m. Batang pohon asam

jawa berbentuk bulat dengan diameter hingga 1 m, berwarna coklat dan memiliki

banyak lentisel di permukaannya (Gardjito 2013). Kulit batang berwarna coklat,

pecah dan luruh seperti sisik ketika sudah tua. Daun asam jawa merupakan daun

majemuk dan menyempit, memiliki bentuk yang lonjong serta berwarna hijau

keputihan. Panjang tangkai dan rakis daun 5-16 cm, anak daun 10-20 pasang,

panjang daun 1-2,5 cm dan lebar 0,5-1 cm. Tepi daun rata, ujungnya tumpul dan
4
pangkalnya membulat (Gardjito 2013; Silalahi & Mustaqim 2020). Bunga asam

jawa merupakan bunga majemuk, berbentuk seperti kupu-kupu dengan kelopak

buah dan daun mahkota sebanyak 5 buah, berbau harum dengan mahkota

berwarna kuning keputihan serta urat bunganya berwarna merah kecoklatan

(Gardjito 2013; Ulung 2014)

2.1.2 Manfaat Asam Jawa (Tamarindus indica L.)

Biji asam jawa dilaporkan mampu menurunkan kadar gula darah sehingga

baik untuk menjaga dan mengobati penderita diabetes. Kulit batang asam jawa

yang dicampur dengan air digunakan untuk kumur-kumur pada penderita sariawan

dan dapat digunakan untuk mengobati luka. Daun muda asam jawa yang direbus

dapat digunakan sebagai obat batuk dan demam (Ulung 2014). Daging buah asam

jawa dapat digunakan untuk mengobati batuk, sariawan, melancarkan peredaran

darah, dan melancarkan buang air besar (Hariana 2013; Fattah 2016).

2.1.3 Kandungan Asam Jawa (Tamarindus indica L.)

Bagian daun asam jawa mengandung stexin, iovitexin, dan isoorientin,

sedangkan pada kulit kayunya mengandung zat tanin. Buah asam jawa

mengandung berbagai macam senyawa organik seperti, gula invert, tartaric acid,

citric acid, serine, vitamin B3, geranial, limonene, peptin, proline, leusin, dan

pipecolic acid (Hariana 2013). Buah asam jawa memiliki total keasaman sebesar

12,3% sampai dengan 23,8% yang dinyatakan sebagai asam tartrat (Fadhilah dkk.

2020). Buah asam jawa yang matang di pohon, setiap 100 gram mengandung

protein 2,8 g, lemak 0,6 g, karbohidrat 62,5 g, kalsium 74 mg, fosfor 113 mg, zat

besi 0,6 mg, vitamin A 30 SI, vitamin B1 0,34 mg, dan vitamin C 2 mg. Bijinya

mengandung albuminoid dan pati (Gardjito 2013). Daging buahnya memiliki

kandungan rata-rata kalium bitartarat sebanyak 5,27%; asam sitrat sebanyak

2,20%; dan asam tartrat sebanyak 6,63% (Fadhilah dkk. 2020).


5
2.2 Bakteri Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus diamati dan dibiakkan pertama kali oleh Pasteur

dan Koch, kemudian pada tahun 1880-an diteliti lebih lanjut oleh Ogston dan

Rosenbach. Nama genus Staphylococcus diberikan oleh Ogston karena apabila

diamati dengan mikroskop, bakteri ini terlihat seperti buah anggur. Nama spesies

aureus diberikan oleh Rosenbach karena pada biakan murni koloni bakteri ini

terlihat berwarna kuning-keemasan (Hasibuan 2019).

2.2.1 Morfologi dan Identifikasi Stapylococcus aureus

Bakteri Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif, anaerob,

tidak bergerak, tidak berspora serta berdiameter antara 0,8-1,0 mikron. Pada

sediaan langsung yang berasal dari nanah, bakteri ini dapat terlihat sendiri,

berpasangan, bergerombol, dan bahkan dapat tersusun seperti rantai pendek. Pada

sediaan yang dibuat dari perbenihan padat ditemukan susunan gerombolan yang

tidak teratur sedangkan dari perbenihan kaldu biasanya ditemukan tersendiri atau

tersusun sebagai rantai pendek (Syahrurachman dkk. 2010). Staphylococcus


o
aureus paling cepat berkembang pada suhu 37 C, tetapi suhu terbaik untuk
o
menghasilkan pigmen adalah pada suhu ruangan, yaitu 20-25 C. Koloni pada

medium padat berbentuk bulat, halus, meninggi, berkilau dan membentuk koloni

berwarna abu-abu-abu hingga kuning tua kecoklatan (Riedel dkk. 2019).

2.2.2 Faktor Virulensi Staphylococcus aureus

Faktor virulensi Staphylococcus aureus adalah sebagai berikut (Husna

2018):

a. Protein invasi yang membantu invasi dan penyebaran bakteri ke dalam tubuh

seperti leukosidin, kinase, dan hialuronidase.

b. Faktor permukaan yang dapat menghambat fagositosis, seperti simpai dan

protein A.
6
c. Zat-zat biokimia yang diproduksi untuk meningkatkan pertahanan terhadap

fagositosis, seperti karotenoid dan katalase.

2.2.3 Patogenisitas Staphylococcus aureus

Patogenisitas bakteri dapat ditentukan oleh kemampuan ntuk melakukan

perlekatan pada permukaan mukosa yang dihubungkan dengan struktur

permukaan bakteri dan faktor penjamu (host). Perlekatan Staphylococcus aureus

diperantarai oleh kapsul polisakarida dan protein reseptor pada permukaan sel

epitel. Dalam hal ini, protein tersebut berperan dalam proses perlekatan terhadap

protein host, seperti laminin dan fibronektin yang tampak pada permukaan

matriks ekstraseluler dari epitel dan endotel (Husna 2018).

2.2.4 Mekanisme Infeksi Staphylococcus aureus

Mekanisme infeksi dari Staphylococcus aureus adalah sebagai berikut

(Husna 2018):

a. Perlekatan pada protein sel host

Staphylococcus aureus memiliki protein permukaan yang membantu

perlekatan bakteri pada sel inang berupa laminin dan fibronektin yang membentuk

matriks ekstraseluler pada permukaan epitel dan endotel. Bakteri ini

mengekspresikan reseptor permukaan untuk fibrinogen, fibronektin, dan

vitronektin.

b. Invasi

Invasi Staphylococcus aureus ke jaringan inang melibatkan beberapa

kelompok protein ekstraseluler, yaitu α-toksin, β-toksin, γ-toksin, leukosidin,

koagulase, eksotoksin, stafilokinase, dan enzim ekstraseluler lainnya, seperti

enzim protease, lipase, deoksiribonuklease, dan enzim pemodifikasi asam

lemak.

c. Perlawanan terhadap sistem pertahanan host


7
Staphylococcus aureus memiliki kemampuan untuk mempertahankan diri

terhadap mekanisme pertahanan host diantaranya adalah dengan pembentukan

mikrokapsul yang terdapat pada permukaan selnya dan berguna untuk

menghalangi proses fagositosis serta leukosidin yang secara spesifik

menghalangi kerja PMN leukosit.

2.3 Abses Periodontal

Abses periodontal merupakan suatu inflamasi purulen yang terlokalisir

pada jaringan periodontal yang dapat memicu kerusakan ligamen periodontal dan

tulang alveolar (Kemenkes RI 2014; Newman dkk. 2018). Abses periodontal

disebut juga dengan abses lateral atau abses parietal. Abses periodontal

merupakan lesi yang dapat merusak jaringan periodontal dalam waktu yang

singkat dan mudah diketahui tanda-tanda serta gejala klinisnya, seperti adanya

akumulasi pus (nanah) yang terlokalisir di dalam poket (Newman dkk. 2018).

2.3.1 Pembentukan Abses Periodontal

Pembentukan abses periodontal dapat terjadi dengan cara-cara sebagai

berikut (Newman dkk 2018):

a. Perluasan infeksi dari poket periodontal jauh ke dalam jaringan periodontal dan

proses inflamasi supuratif di sepanjang aspek lateral dari akar gigi

b. Perluasan lateral dari inflamasi yang dimulai dari permukaan bagian dalam

poket periodontal ke jaringan ikat dinding poket. Pembentukan abses terjadi

ketika drainase ke daerah poket terganggu.

c. Abses periodontal dapat terbentuk dari cul de sac.

2.3.2 Klasifikasi Abses Periodontal

Abses periodontal dapat diklasifikasikan berdasarkan jalannya lesi,

jumlah, lokasi, dan kriteria penyebabnya. Klasifikasi abses periodontal dapat

dijabarkan sebagai berikut:


8
a. Berdasarkan jalannya lesi

1. Abses periodontal akut

Abses periodontal akut muncul sebagai elevasi ovoid dari gingiva di

sepanjang aspek lateral akar. Gingiva berwarna merah, bengkak,

pembengkakan teraba lunak pada saat palpasi, dan permukaannya menjadi

halus dan berkilau (Newman dkk. 2018; Shende dkk. 2018).

2. Abses periodontal kronis

Abses periodontal kronis merupakan abses yang berkembang secara

perlahan dan berlangsung lama (Singh & Saxena 2015). Abses ini

berkembang sebagai eksaserbasi dari abses periodontal akut (Shende dkk.

2018). Abses periodontal kronis biasanya berhubungan dengan saluran sinus

dan asimptomatik (Newman dkk. 2018).

2.3.3 Etiologi Abses Periodontal

Salah satu penyebab utama abses periodontal adalah adanya sumbatan

pada poket periodontal. Penyumbatan pada poket periodontal disebabkan oleh

akumulasi kalkulus maupun adanya benda asing, seperti benang gigi atau serpihan

tusuk gigi. Hal ini menyebabkan berkurangnya cairan sulkus gingiva sehingga

mengakibatkan akumulasi bakteri pada daerah tersebut (Yousefi dkk. 2021).

Abses periodontal dapat timbul dengan disertai periodontitis atau tanpa

periodontitis. Abses periodontal yang timbul dengan disertai periodontitis ditandai

dengan perluasan infeksi dari poket periodontal, timbul setelah skeling atau

setelah oral profilaksis rutin, skeling yang tidak adekuat, lumen sekitar poket yang

tersumbat, terapi nifedipin, dan pengobatan dengan membran GTR baik

resorbable atau non-resorbable. Abses periodontal pada periodontitis dapat terjadi

pada berbagai tahap, yaitu eksaserbasi periodontitis akut yang tidak diobati dan

refraktori periodontitis. Penyebab abses periodontal tanpa melibatkan

periodontitis adalah kista lateral yang terinfeksi, perforasi gigi oleh karena
9
instrumen endodontik, impaksi benda asing, seperti bulu sikat gigi, tulang ikan,

dan benang gigi (Singh & Saxena 2015).

2.3.4 Patogenesis Abses Periodontal

Tahap awal terjadinya abses periodontal adalah masuknya bakteri dari

jaringan lunak ke dalam poket periodontal kemudian proses radang akan terus

berlanjut melalui faktor-faktor kemotaktik yang dilepaskan oleh bakteri yang akan

menarik leukosit polymorphonuclear (PMN). Hal ini akan merangsang sitokin

yang menyebabkan penghancuran jaringan ikat dan produksi pus (nanah) (Herrera

dkk. 2018).
10

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Abses periodontal merupakan suatu inflamasi purulen yang terlokalisir

pada jaringan periodontal. Pembentukan abses periodontal dapat terjadi dengan

berbagai cara, seperti adanya sumbatan pada poket periodontal yang disebabkan

oleh akumulasi kalkulus. Abses periodontal yang tidak dirawat dapat

mengakibatkan kerusakan ligamen periodontal dan tulang alveolar. Gejala klinis

yang dapat ditimbulkan oleh abses periodontal adalah adanya akumulasi pus

(nanah) yang terlokalisir di dalam poket. Salah satu bakteri yang memiliki

peranan penting dalam invasi abses periodontal, yaitu Staphylococcus aureus.

Penanganan infeksi yang disebabkan oleh bakteri, seperti Staphylococcus

aureus umumnya diberikan terapi antibiotik. Namun, permasalahan utama yang

dihadapi dalam pemberian antibiotik adalah timbulnya resistensi yang disebabkan

oleh penggunaan antibiotik yang tidak rasional. Untuk dapat mengimbangi

penggunaan antibiotik, maka diperlukan peninjauan berbagai antibiotik baru

sehingga dapat mengurangi efek samping dari penggunaan yang tidak rasional,

yaitu seperti penggunaan tanaman herbal sebagai bahan dasar terapi pada obat

tradisional.

Tanaman herbal yang dapat digunakan sebagai bahan dasar terapi untuk obat

tradisional adalah asam jawa (Tamarindus indica L.). Bagian dari tanaman asam

jawa yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar obat tradisional adalah bagian

daging buahnya. Kandungan dari esktrak daging buah asam jawa yang

berkhasiat sebagai antibakteri, seperti flavonoid, saponin, tanin, alkaloid, fenol,

terpenoid, dan glikosida. Senyawa flavonoid berfungsi untuk merusak

permeabilitas dinding sel bakteri, senyawa saponin berfungsi untuk merusak

permeabilitas membrane sehingga terjadi hemolisis sel, senyawa tanin berfungsi


11
untuk menginaktivasi adhesi sel bakteri, senyawa alkaloid berfungsi untuk

mengganggu komponen penyusun peptidoglikan sel bakteri, senyawa fenol

berfungsi untuk mendenaturasi protein sel bakteri, senyawa terpenoid berfungsi

untuk mengurangi permeabilitas dinding sel bakteri, dan senyawa glikosida

berfungsi untuk menghambat fungsi membrane sel bakteri.

3.2 Hipotesis Penelitian

1. Ekstrak daging buah asam jawa konsentrasi 30% memiliki diameter zona

hambat yang lebih besar daripada konsentrasi 10% dalam menghambat

pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus.

2. Ekstrak daging buah asam jawa konsentrasi 50% memiliki diameter zona

hambat yang lebih besar daripada konsentrasi 10% dalam menghambat

pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus.

3. Ekstrak daging buah asam jawa konsentrasi 50% memiliki diameter zona

hambat yang lebih besar daripada konsentrasi 30% dalam menghambat

pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus.


12

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah true

experimental secara in vitro dengan post-test only control group design.

K1 O0

K2 O1

Ra
P S P1 O2

P2 O3

P3 O4

Keterangan

P = Populasi

S = Sampel

Ra = Random alokasi

K1 = Kelompok kontrol I (dengan etanol 96% sebagai kontrol negatif)

K2 = Kelompok kontrol II (dengan clindamycin sebagai kontrol positif)

P1 = Perlakuan dengan ekstrak daging buah asam jawa dengan konsentrasi

10%

P3 = Perlakuan dengan estrak daging buah asam jawa dengan konsentrasi

30%

P4 = Perlakuan dengan esktrak daging buah asam jawa dengan konsentrasi

50%
13
O0 = Pengamatan hasil pada kelompok K1

O1 = Pengamatan hasil pada kelompok K2

O2 = Pengamatan hasil pada kelompok P1

O3 = Pengamatan hasil pada kelompok P2

O4 = Pengamatan hasil pada kelompok P3

4.2 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah koloni bakteri Staphylococcus aureus

ATCC 29213 yang diperoleh dari UPTD. Balai Laboratorium Kesehatan Provinsi

Bali.

4.3 Sampel

Besar sampel pada penelitian ini ditentukan berdasarkan rumus Federer,

yaitu sebagai berikut (Roflin dkk. 2021):

(n-1)(t-1) ≥ 15

Keterangan

n : banyak pengulangan

t : perlakuan

Dalam penelitian ini sampel dibagi menjadi 5 kelompok dengan perlakuan

yang berbeda, yaitu sebagai berikut:

a. Kontrol I : Larutan kontrol negatif dengan etanol 96%

b. Kontrol II : Larutan kontrol positif clindamycin

c. Perlakuan I : Larutan ekstrak daging buah asam jawa 10%

d. Perlakuan II : Larutan ekstrak daging buah asam jawa 30%

e. Perlakuan III : Larutan ekstrak daging buah asam jawa 50%

Jadi, perlakuannya (t) adalah sebanyak 5


14
Penelitian ini menggunakan teknik probability sampling, yaitu

pengambilan sampel yang memberikan peluang yang sama bagi setiap unsur

dalam populasi untuk terpilih menjadi anggota sampel (Sumargo 2020).

4.4 Variabel Penelitian

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan 3 variabel, yaitu sebagai

berikut:

a. Variabel bebas : ekstrak daging buah asam jawa konsentrasi 10%,

30%, dan 50%.

b. Variabel terikat : pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus.

c. Variabel terkendali : media pertumbuhan bakteri, suhu inkubasi, jumlah

koloni bakteri, waktu pembiakkan bakteri.

4.5 Definisi Operasional Variabel

a. Daging buah asam jawa didapatkan dari pohon asam jawa (celagi) di

daerah Ubud.

b. Ekstrak daging buah asam jawa adalah ekstrak yang diperoleh dengan

melakukan ekstraksi dengan proses maserasi. Pertama kali daging buah

asam jawa dikeringkan. Setelah itu, dihaluskan dengan blender hingga

menjadi serbuk kemudian dimaserasi dengan pelarut etanol 96% dan

selanjutnya disaring dengan kertas saring kemudian diuapkan hingga

memperoleh ekstrak kental.

c. Ekstrak daging buah asam jawa konsentrasi 10% adalah ekstrak yang

dibuat dari 1 ml ekstrak daging buah asam jawa 100% ditambah 9 ml

etanol 96%.
15
d. Ekstrak daging buah asam jawa konsentrasi 30% adalah ekstrak yang

dibuat dari 3 ml ekstrak daging buah asam jawa 100% ditambah 7 ml

etanol 96%.

e. Ekstrak daging buah asam jawa konsentrasi 50% adalah ekstrak yang

dibuat dari 5 ml ekstrak daging buah asam jawa 100% ditambah 5 ml

etanol 96%.

f. Bakteri Staphylococcus aureus adalah bakteri gram positif yang bersifat

anaerob dan merupakan salah satu flora normal pada kulit dan selaput

mukosa manusia. Staphylococcus aureus adalah salah satu bakteri

penyebab abses periodontal. Pada penelitian ini menggunakan

Staphylococcus aureus ATCC 29213 yang merupakan bakteri biakan yang

diperoleh dari UPTD. Balai Laboratorium Kesehatan Provinsi Bali.

g. Suhu inkubasi adalah suhu pada inkubator yang digunakan dalam


o
penelitian sebesar 37 C.

h. Waktu inkubasi bakteri adalah waktu yang diperlukan untuk membiakkan

bakteri Staphylococcus aureus pada media, yaitu selama 24 jam.

i. Media pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus adalah Mueller Hinton

Agar (MHA) yang merupakan media terbaik untuk pemeriksaan

sensibilitas tes (dengan metode Kirby-Bauer) (Indrayati & Amelia 2019).

j. Koloni bakteri merupakan kumpulan bakteri sejenis pada medium kultur

yang mengelompok menjadi satu.

4.6 Instrumen Penelitian

Pengujian efektivitas antibakteri dilakukan dengan pengukuran luas zona

bening pada permukaan media biakan. Daerah bening tersebut dinyatakan

dengan
16
lebar diameter zona hambat. Diameter zona hambat diukur dalam

satuan milimeter (mm) menggunakan jangka sorong. Kemudian, kriteria

kekuatan daya

antibakteri ini dapat dikategorikan berdasarkan penggolongan Davis and Stout,

yaitu sebagai berikut (Ariyani dkk. 2018):

a. Diameter zona hambat < 5 mm dikategorikan lemah

b. Diameter zona hambat 5-10 mm dikategorikan sedang

c. Diameter zona hambat 11-20 mm dikategorikan kuat

d. Diameter zona hambat > 20 mm dikategorikan sangat kuat

4.7 Lokasi dan Waktu Penelitian

a. Pengeringan daging buah asam jawa dilakukan selama 14 hari.

b. Pembuatan ekstrak daging buah asam jawa dan uji fitokimia dilakukan di

Laboratorium Fakultas Farmasi Universitas Mahasaraswati Denpasar

selama 14 hari.

c. Pengujian daya hambat ekstrak daging buah asam jawa (Tamarindus

indica L.) terhadap Staphylococcus aureus dilakukan di UPTD. Balai

Laboratorium Kesehatan Provinsi Bali selama 4 hari.

4.8 Alat dan Bahan

4.8.1 Alat yang Digunakan dalam Penelitian Ini

1. Blender

2. Sonicator Elmasonic

3. Penyaring buchner

4. Ayakan

5. Pisau

6. Timbangan
17

7. Vacuum rotary evaporator

8. Kertas saring whatman

9. Batang pengaduk

10. Tabung erlenmeyer

11. Pipet tetes

12. Tabung reaksi

13. Rak tabung reaksi

14. Petri disc

15. Ose steril

16. Lampu bunsen

17. Label

18. Kertas cakram

19. Inkubator

20. Jangka sorong

21. Cotton swab steril

22. Lap

23. Timer

24. Autoklaf

4.8.2 Bahan yang Digunakan dalam Penelitian Ini

1. Daging buah asam jawa

2. Etanol 96%

3. Mueller Hinton Blood Agar

4. Larutan Mc Farland 0,5%

5. Bakteri Staphylococcus aureus ATCC 29213


18

6. Ekstrak daging buah asam jawa konsentrasi 10%, 30%, dan 50%

7. Clindamycin

8. KOH

9. NaCl

10. HCL

11. FeCl3

12. Handscoon

13. Masker

14. Aquades steril

4.9 Prosedur Penelitian

4.9.1 Persiapan Sampel

Sampel daging buah asam jawa dibersihkan dengan cara dicuci di bawah

air mengalir sampai bersih. Kemudian, buah asam jawa dikeringkan dengan cara

dijemur. Apabila sudah setengah kering, pisahkan daging buah dan bijinya

kemudian daging buah asam jawa dipotong kecil-kecil. Setelah itu, daging buah

asam jawa dikeringkan dengan cara dijemur di bawah sinar matahari dengan

ditutupi kain atau plastik hitam selama 14 hari. Sampel yang sudah kering

dihaluskan menggunakan blender dan disaring untuk mendapatkan serbuknya.

4.9.2 Pembuatan Ekstrak Daging Buah Asam Jawa

Pembuatan ekstrak daging buah asam jawa (Tamarindus indica L.)

dilakukan di Laboratorium Fakultas Farmasi Universitas Mahasaraswati

Denpasar. Ekstraksi dilakukan dengan cara maserasi. Sebanyak 150 g serbuk


19

daging buah asam jawa dimasukkan ke dalam botol kaca dan ditambahkan 500 ml

pelarut etanol 96% dan dimaserasi selama 3x24 jam. Selanjutnya, hasil ekstraksi

disaring menggunakan corong buchner sehingga diperoleh ekstrak cair dengan

pelarut. Setelah proses maserasi, serbuk yang masih tersisa digunakan kembali

untuk proses remaserasi untuk mendapatkan hasil ekstraksi yang maksimum.

Kemudian, filtrat diuapkan menggunakan vacuum rotary evaporator pada suhu


o
60 C hingga memperoleh ekstrak kental. Ekstrak disimpan dalam wadah tertutup

sebelum digunakan untuk pengujian.

4.9.3 Uji Fitokimia Ekstrak Daging Buah Asam Jawa

Uji fitokimia pada ekstrak daging buah asam jawa meliputi pemeriksaan

alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, fenol, dan terpenoid, yaitu sebagai berikut

(Sari & Sumadewi 2019):

a. Uji Alkaloid

Sebanyak 2 ml larutan ekstrak daging buah asam jawa dilarutkan

dalam 2 ml HCL 2%. Kemudian, larutan tersebut dipanaskan selama 5

menit dan disaring. Filtrat yang diperoleh ditetesi dengan pereaksi Mayer

sebanyak 3 tetes. Adanya senyawa alkaloid ditandai dengan terbentuknya

endapan putih.

b. Uji Flavonoid

Sebanyak 2 ml larutan ekstrak daging buah asam jawa dilarutkan

dalam 2 ml etanol dan ditambahkan serbuk Mg dan HCL pekat sebanyak 5

tetes. Adanya senyawa flavonoid ditandai dengan terbentuknya warna

merah atau jingga.


20

c. Uji Saponin

Sebanyak 2 ml larutan ekstrak daging buah asam jawa dilarutkan

dalam aquades pada tabung reaksi ditambah 10 tetes KOH dan dipanaskan

o
dalam penangas air dengan suhu 50 C selama 5 menit. Kemudian, tabung

reaksi dikocok secara vertikal selama 10 detik. Apabila terbentuk busa

setinggi 1-10 cm dan tetap stabil selama 15 menit, menunjukkan adanya

senyawa saponin.

d. Uji Tanin

Sebanyak 2 ml larutan ekstrak daging buah asam jawa ditambah

dengan pereaksi FeCl3. Adanya senyawa tanin ditandai dengan

terbentuknya warna biru tua atau hijau kehitaman.

e. Uji Fenol

Sebanyak 2 ml larutan ekstrak daging buah asam jawa dilarutkan

dalam akuades 10 ml. Kemudian, larutan tersebut dipanaskan selama 5

menit dan disaring. Filtrat yang terbentuk ditambahkan 5 tetes FeCl3 5%.

Adanya senyawa fenol ditandai dengan terbentuknya warna biru tua atau

hijau kehitaman.

f. Uji Terpenoid

Sebanyak 2 ml larutan ekstrak daging buah asam jawa ditambah

dengan pereaksi Liberman-Burchard 1 ml. adanya senyawa terpenoid

ditandai dengan terbentuknya warna biru tua atau coklat-ungu.


21

4.9.4 Pembuatan Larutan Uji

Larutan uji dibuat dengan konsentrasi 10%, 30%, dan 50% menggunakan

pelarut etanol 96%. Larutan 10% artinya larutan tersebut terdiri dari 1 ml ekstrak

daging buah asam jawa dan 9 ml etanol 96%. Larutan 30% artinya larutan tersebut

terdiri dari 3 ml ekstrak daging buah asam jawa dan 7 ml etanol 96%. Begitu juga

dengan larutan 50% artinya larutan tersebut terdiri dari 5 ml ekstrak daging buah

asam jawa dan 5 ml etanol 96%.

4.9.5 Pembuatan Media Mueller Hinton Agar

Ditimbang Mueller Hinton Agar sebanyak 3,4 gram dilarutkan dalam 100

ml aquadest (3,4 g/100 ml) menggunakan tabung erlenmeyer. Setelah itu,

dihomogenkan dengan magnetic stirrer di atas hotplate stirrer sampai larut

o
sempurna. Media tersebut disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121 C dan

tekanan 1,5 atm selama 15 menit. Media MHA yang masih cair dituang ke dalam

cawan petri sebanyak 20 ml dan ditunggu hingga memadat (Ervina dkk. 2018;

Suryani dkk. 2020)

4.9.6 Uji Aktivitas Antibakteri Secara In Vitro

Uji yang digunakan adalah uji sensitivitas dengan menggunakan metode

Kirby-bauer yang dilakukan menggunakan media MHA. Suspensi kekeruhan

bakteri Staphylococcus aureus yang setara dengan larutan Mc. Farland 0,5%,

diambil dengan menggunakan cotton swab steril. Kemudian pada media yang

telah memadat usapkan cotton swab yang telah berisi suspensi bakteri

Staphylococcus aureus hingga merata (Sari dkk. 2018). Kemudian kertas cakram
22

yang telah berisi larutan uji ekstrak daging buah asam jawa konsentrasi 10%,

30%, dan 50%, kontrol positif berupa clindamycin, dan kontrol negatif berupa

etanol 96% ditempatkan diatas permukaan media sesuai dengan posisi yang

o
diinginkan. Selanjutnya, media diinkubasi pada suhu 37 C selama 24 jam. Setelah

itu, dilakukan pengukuran diameter zona hambat dengan jangka sorong yang

dinyatakan dalam satuan milimeter (Sari dkk. 2017).

4.9.7 Pengamatan dan Pengukuran

Pengamatan dilakukan setelah 1x24 jam masa inkubasi. Daerah bening

merupakan tanda kepekaan bakteri terhadap antibiotik atau bahan antibakteri

lainnya yang digunakan dalam penelitian ini. Daerah bening tersebut dinyatakan

dengan lebar diameter zona hambat. Diameter zona hambat diukur dalam satuan

milimeter (mm) menggunakan jangka sorong. Kemudian diameter zona hambat

tersebut dikategorikan kekuatan daya antibakterinya berdasarkan penggolongan

Davis and Stout (Wahyuni & Karim 2020).

4.10 Analisis Data

Data dianalisis secara statistik dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Analisis deskriptif: analisis data untuk memberikan gambaran tentang

karakteristik data (zona hambat bakteri) yang didapatkan dari hasil

penelitian yaitu rerata, standar deviasi, nilai minimum, dan nilai

maksimum.

2. Uji normalitas: normalitas data diuji dengan menggunakan uji Saphiro-

Wilk karena jumlah sampel <30. Data yang diuji, yaitu diameter zona
23

hambat bakteri Staphylococcus aureus. Data berdistribusi normal

apabila nilai kemaknaan > 0,05.

3. Uji perbedaan: rerata diameter zona hambat diuji dengan menggunakan

uji Kruskal-Wallis untuk mengetahui perbedaan antar kelompok.

Sedangkan untuk membandingkan perbedaan rerata konsentrasi ekstrak

daging buah asam jawa pada masing-masing kelompok maka dilakukan

uji Post-Hoc dengan uji Mann-Whitney.


24
25
10
11
12
13
14
32
28
29

Anda mungkin juga menyukai