Anda di halaman 1dari 25

USULAN PROPOSAL PENELITIAN

PENGARUH FORMULASI KONSORSIUM RIZOBAKTERI TERHADAP


PERKEMBANGAN PENYAKIT HAWAR DAUN BAKTERI
(Xanthomonas oryzae pv.oryzae) DAN PERTUMBUHAN TANAMAN PADI

COVER

OLEH :
SRI MULYANI
1610252014

Usulan Penelitian Sebagai Salah Satu Syarat Untuk


Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian

PROGRAM STUDI PROTEKSI TANAMAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2019
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Padi (Oryza sativa L.) adalah salah satu tanaman pangan yang utama di
Indonesia, hal ini dikarenakan beras merupakan bahan makanan pokok penduduk
Indonesia. Sejalan dengan pertumbuhan penduduk yang setiap tahunnya
meningkat maka kebutuhan akan beras juga selalu meningkat dari tahun ke tahun.
Untuk memenuhi kebutuhan pangan, pemerintah telah melakukan usaha yang
maksimal agar produksi padi nasional baik secara kuantitatif maupun kualitatif
meningkat (Sa’adah et al., 2013).
Salah satu faktor penyebab menurunnya produksi padi adalah serangan
penyakit hawar daun bakteri (HDB) yang disebabkan oleh bakteri Xanthomonas
oryzae pv. oryzae (Xoo), dalam keadaan tertentu serangan penyakit ini dapat
membuat kegagalan dalam produksi padi (Semangun, 2004).
Berdasarkan data dari BBPOPT (2018) luas serangan HDB pada tahun 2018
adalah 17.142 Ha. Pada tahun 2019 (periode januari-agustus) luas pertanaman
padi yang terserang penyakit HDB adalah 26.998 (DITLIN, 2019) Dari data diatas
dapat dilihat terjadinya peningkatan luas serangan penyakit HDB terhadap
pertanaman padi di Indonesia.
Penyakit ini semakin berkembang jika pertumbuhan tanaman padi tidak
optimal karena kondisi lahan yang kurang subur. Penyakit HDB dapat
menurunkan hasil 7,5-23,8% pada kondisi panas (musim kemarau) dan 20,6-
35,6% pada kondisi lembab (musim hujan) (BBPOPT 2007). Di Indonesia,
kerusakan hasil padi karena penyakit HDB berkisar antara 15%-23% (Triny 2002)
sedangkan di India mencapai 6%-60% dan Jepang mencapai 20%-50% (IRRI,
2003), sehingga dapat mengakibatkan kerugian yang besar secara ekonomi.
Bakteri Xoo adalah patogen tular benih yang dapat menginfeksi tanaman padi
mulai dari persemaian sampai panen. Patogen ini dapat menginfeksi tanaman padi
melalui luka pada daun, lubang-lubang alami pada tanaman sehingga dapat
merusak klorofil daun dan menggangu proses fotosintesis, apabila hal ini terjadi
pada fase vegetatif akan menyebabkan kematian dan pada fase generatif akan
menyebabkan gabah tidak berisi dengan sempurna (Balai Besar Penelitian
Tanaman Padi, 2015).
Pengendalian penyakit HDB saat ini dilakukan dengan menanam varietas
tahan dan penggunaan bakterisida. Penggunaan varietas tahan belum memberikan
hasil yang baik karena Xoo memiliki keragaman patotip dan mutabilitas gen yang
tinggi (Keller et al., 2000). Menurut Ilyas (2006) peluang lain dalam pengendalian
HDB adalah melalui perlakuan benih menggunakan biopestisida. Perlakuan benih
dengan biopestisida dalam mengendalikan penyakit HDB dinilai lebih aman
daripada bakterisida (Habazar dan Rivai 2004). Tujuan dari perlakuan tersebut
untuk melindungi benih dari patogen tular benih, melindungi bibit ketika akan
tumbuh ke permukaan tanah serta meningkatkan perkecambahan (Ilyas 2006).
Rizobakteri maupun bakteri endofit sudah banyak dilaporkan berpotensi
untuk mengendalikan penyakit tanaman dan sudah banyak digunakan sebagai
biopestisida. Rizobakteri banyak digunakan sebagai biopestisida dan biofertilizer
karena mudah dibiakkan secara massal. Beberapa rizobakteri yang banyak
dikembangkan sebagai pestisida hayati adalah Alcaligenes faecalis, Serratia
marsescens, Bacillus subtilis dan Pseudomonas fluorescens (Rahma et al,2019),
dan beberapa kelompok bakteri lainnya seperti genus Stenotrophomonas.
Eksplorasi dan aplikasi beberapa bakteri yang diperoleh dari tanaman
jagung dan akar rumput seperti Alcaligenes faecalis AJ14, Bacillus subtilis
KJTSB7.2, dan Serratia marsescens AR1 mampu menekan perkembangan
penyakit layu stewart dan meningkatkan pertumbuhan tanaman jagung. Isolat
bakteri asal tanaman jagung dan rumput ini ternyata juga mampu menekan
perkembangan bakteri Xoo dan meningkatkan pertumbuhan bibit padi (Rahma et
al,2019).
Konsorsium adalah mikroba yang dicampur membentuk komunitas
sehingga memiliki hubungan yang kooperatif, komensal, dan mutualistik.
Mikroba tersebut akan berasosiasi bersama-sama sehingga dalam mendegradasi
senyawa kimia akan lebih efektif dibandingkan isolat tunggal (Okoh,2006). Kerja
enzim dari setiap jenis mikroba diharapkan dapat saling melengkapi dan dapat
bertahan hidup dalam sumber nutrient yang tersedia (Siahaan, 2013). Konsorsium
bakteri baik yang terbentuk alami maupun buatan memiliki kelebihan yaitu
memiliki fungsi metabolisme yang saling melengkapi dalam suatu ekosistem
(Prescott et al., 2002).
Dalam Habazar et al., (2015) rizobakteri maupun bakteri endofit yang
digunakan dalam bentuk suspensi sel dapat menyebabkan menurunnya
kemampuan dalam mengendalikan penyakit di kondisi lapangan oleh karena itu
perlu dibuat dalam bentuk formulasi agar dapat mempertahankan daya hidup
bakteri, mudah dalam pengaplikasian, penyimpanan dan pemasaran produk.
Bahan formula yang digunakan dapat berupa padat ataupun cair. Bahan pembawa
yang dipilih harus memiliki kandungan nutrisi sesuai dengan yang dibutuhkan
oleh mikroorganisme. Nakkeeran et al (2015) melaporkan bahan organik dan non
organik dapat dijadikan sebagai bahan formulasi.
Bahan pembawa tersebut menjadi pendukung pertumbuhan dan bertahan
hidup bakteri pada bentuk tunggal maupun konsosium. Pada konsorsium bakteri
terjadi proses quorum sensing (QS) yang merupakan regulasi ekspresi gen
tergantung pada densitas sel (Nofiani 2008). Pengujian antagonis isolat bakteri
B.cereus dan S.marcescens terhadap Xoo menunjukkan indeks hasil
penghamabatannya yaitu 1,43%, sedangkan konsorsium A7 (B.cereus +
S.marcescens + P.aeruginosa) menunjukkan indeks hasil penghambatan yang
lebih besar yaitu 40% (Trianggana, 2013). Dapat disimpulkan bahwa konsorsium
beberapa bakteri yang kompatibel juga efektif untuk menekan pertumbuhan
bakteri patogen.
Bahan pembawa yang digunakan untuk formulasi dalam penelitian ini
yaitu bentuk bubuk (Talk dan Kaolin) dan suspensi (Campuran air kelapa dan
ekstrak kong mas). Air kelapa muda memiliki komposisi mineral dan gula yang
sempurna, selain memiliki komposisi gizi yang baik air kelapa juga memiliki
hormon pertumbuhan yaitu giberalin (Radley,1958). Hasil penelitian terhadap
jamur Saccharomyces cerevisiae menunjukkan hasil pertumbuhan dengan media
air kelapa muda lebih tinggi dari pada air kelapa tua dengan data 79,75 juta sel/ml
pada air kelapa muda dan 69,25 juta sel/ml pada air kelapa tua. (Sierra dan
Velasco, 1976). Hal itu disebabkan karena pada air kelapa banyak terkandung
sumber karbon yang menjadi nutrisi untuk mendukung perkembangan bakteri
selama penyimpanan. Air kelapa mengandung air 91%, protein 0,14%, lemak
1,5%, karbohidrat 4,6% serta abu 1,06% dan berbagai nutrisi seperti sukrosa,
dekstrosa, fruktosa serta vitamin B kompleks (Demse, 2008).
Keong mas (Pomaceae canaliculata) adalah keong air tawar yang banyak
hidup di sawah, selain itu keong mas merupakan salah satu hama yang merusak
pertanaman padi di sawah. Kandungan mineral dalam daging keong mas
(mg/100g) yaitu kalsium 7593,81, natrium 620,84 kalium 824,84 fosfor 1454,32
dan magnesium 238,05. Keong mas cukup potensial sebagai sumber protein
hewani, selain itu keong mas juga memiliki kandungan kalori, karbohidrat,
vitamin dan mineral (Pambudi, 2011). Oleh karena itu keong mas digunakan
sebagai bahan formulasi agar dapat memanfaatkan hama yang sifatnya merusak
menjadi sumber nutrisi bagi pertumbuhan sel bakteri.
Rahma (2019) membuktikan bahwa penambahan ekstrak keong pada air
kelapa mempengaruhi pertumbuhan populasi bakteri. Populasi isolat KJKB5.4
dengan penambahan ekstrak keong mas dapat mencapai 264.00 x 108 CFU/ml
sedangkan isolat RK12 yang tidak diberi penambahan ekstrak keong mas hanya
sebanyak 105.00 x 108 CFU/m. Campuran air kelapa dan penambahan ekstrak
keong mas dan gula merupakan perlakuan yang terbaik untuk pertumbuhan
populasi bakteri
Kaolin adalah kelompok mineral lempung dengan kandungan besi rendah
yang pada umumnya berwarna putih atau agak keputih-putihan. Trianggana
(2013) mengatakan bahwa penggunaan kaolin pada konsorsium bakteri A8
memiliki jumlah sel lebih banyak yaitu 9,4 x 109 dibandingkan dengan jumlah sel
konsorsium A5 dengan bahan pembawa suspensi yang hanya 1,6 x 108. Teddy
(2013) mengatakan bahwa penggunaan bahan pembawa kaolin pada formulasi
kering T.harzianum dan T.viride memiliki jumlah spora paling tinggi. Formulasi
kering T.harzianum dengan bahan pembawa kaolin adalah yang paling baik dalam
menekan keparahan penyakit (34%), sedangkan uji di lapangan formulasi
T.viridae dengan bahan pembawa kaolin yang paling efektif dalam menekan
keparahan penyakit BBK (26%).
Bahan pembawa talk yaitu berupa bubuk yang ringan dan halus serta
memiliki kemampuan untuk menyerap cairan. Nopiyanti (2013) mengatakan
bahwa viabilitas konsorsium A8 (B. firmus, B. cereus, S. marcescens, dan P.
aeruginosa) dalam bahan pembawa talk memiliki jumlah sel yang stabil.
Formulasi talk tersebut sangat efisien untuk digunakan atau diproduksi serta
efektif karena kemampuan penyerapan yang baik.
Pengendalian hayati menggunakan konsorsium bakteri dengan formulasi talk,
kaolin, air kelapa + ekstrak keong mas dapat dipertimbangkan sebagai
pengendalian penyakit HDB yang ramah lingkungan. Maka dari itu penulis
memberi judul penelitian ini “Pengaruh Formulasi Konsorsium Rizobakteri
Terhadap Perkembangan Penyakit Hawar Daun Bakteri (Xanthomonas
oryzae pv.oryzae) Dan Pertumbuhan Tanaman Padi”

B. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui formulasi konsorsium bakteri
yang efektif dalam menekan pertumbuhan bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae
penyebab penyakit Hawar Daun Bakteri serta pertumbuhan tanaman padi.

C. Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan
formulasi konsorsium bakteri yang efektif sebagai biokontrol terhadap penyakit
hawar daun bakteri pada padi.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Produksi Padi (Oryza sativa L.) di Indonesia


Padi (Oryza sativa L) merupakan tanaman penghasil beras yang bernilai
ekonomis tinggi karena sebagai bahan pangan utama bagi masyarakat di
Indonesia. Beras adalah salah satu kebutuhan pokok dan memegang peranan
penting dalam ekonomi bagi masyarakat Indonesia. Nilai-nilai gizi yang
terkandung dalam beras antara lain : Karbohidrat 74,9-77,8% , protein 7,1- 8,3 %,
lemak 0,5-0,9 %, vitamin, mineral dan hidrat arang 75%. Masing-masing
komponen nutrisi tersebut dipengaruhi oleh varietas dan lingkungan budidaya.
(Kusmiadi, 2004).
Berdasarkan data lima tahun terakhir produktivitas padi (Ku/Ha) pada tahun
2015 mencapai 53,41 kondisi ini meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya
51,35. Pada tahun 2016 dan 2017 terjadi penurunan, produktivitas padi pada tahun
tersebut hanya mencapai 52,36 dan 51,65. Pada tahun 2018 mencapai angka 51,92
pertumbuhan produktivitas padi pada tahun 2018 terhadap 2017 hanya 0,52 %. Di
Sumatera Barat sendiri produktivitas padi pada tahun 2017 adalah 52,47 (Ku/Ha)
dan terjadi penurunan produktivitas sebanyak 1,72% pada tahun 2018 yang hanya
mencapai angka 51,57(Ku/Ha) (Kementrian Pertanian, 2019).
Produksi padi di Indonesia mengalami penurunan, hal tersebut harus segera
dicegah untuk memenuhi kebutuhan akan beras nasional dan untuk mencapai
swasembada maka produksi beras harus ditingkatkan. Selain penambahan luas
tanam, strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi padi adalah
dengan penggunaan varietas unggul, menerapkan sistem tanam yang sesuai
(Tridesianti, 2017) dan penggunaan agen biokontrol.

B. Penyakit Hawar Daun Bakteri (Xanthomonas oryzae pv. Oryzae)


Penyakit Hawar daun bakteri (HDB) yang disebabkan oleh patogen
Xanthomonas oryzae pv. oryzae merupakan salah satu penyakit utama pada padi
sawah di Indonesia (Semangun 2004) Penyakit HDB disebabkan oleh patogen
Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo) yang merupakan bakteri fitopatogen,
digolongkan kedalam bakteri gram negatif , berbentuk batang pendek dengan
ukuran 1-2 x 0.8-1 μm dengan flagel yang monotrik berukuran 6-8 μm x 30 nm,
bersifat motil, diselubungi oleh kapsul lendir. Koloni berbentuk sirkuler,
cembung, berwarna kuning dengan permukaan yang halus (Gnanamanickam
2009). Bakteri ini dapat berkembang pada suhu optimal 250C – 300C, serta
menghasilkan pigmen xantomonadin dan polisakarida ekstraseluler (EPS) (Jonit et
al. 2016).
Bakteri Xoo ini masuk dan menginfeksi tanaman padi melalui lubang-lubang
alami seperti hidatoda dan luka pada daun. Kebiaasaan petani memotong pucuk
daun bibit padi yang akan ditanam memungkinkan patogen Xoo masuk kedalam
luka tersebut. Kemudian Xoo masuk ke dalam ruang antar sel selanjutnya ke
jaringan epitem dan berkas pembuluh dan menyebar secara sistemik.
Pertumbuhan Xoo selama 48 jam setelah infeksi dapat mencapai 103 hingga 108.
Butiran air berwarna kuning yang keluar dari hidatoda pada pagi hari merupakan
eksudat bakteri (bakteriooze) yang dapat menjadi sumber inokulum penyebaran
penyakit hawar daun bakteri (Mew et al. 1993) dan jatuhnya cairan tersebut ke
bagian tanaman lain atau ke aliran irigasi juga dapat menjadi sumber inokulum
penyebaran penyakit hawar daun bakteri (Ou 1985; Reddy dan Yin 1989).
Bakteri Xoo merupakan kelompok bakteri aerob obligat, tidak membentuk
spora, katalase positif, tidak dapat mereduksi nitrat dan sedikit memproduksi asam
dari karbohidrat (Nino-liu et al. 2006) serta memproduksi polisakarida
ekstraseluler (EPS). EPS penting dalam formasi droplet eksudat bakteri dari daun
yang terinfeksi, sehingga dapat melindungi dari kekeringan dan membantu
penyebaran melalui angin dan air hujan (Ou 1985).
Bakteri Xoo merupakan patogen tular benih, dengan kemampuan bertahan
hidup dalam benih mencapai 11 bulan. Berbagai survei menunjukkan bahwa
intensitas infeksi benih oleh patogen ini berkisar antara 5%-100%, bergantung
pada saat kejadian HDB muncul di lapangan, keparahan penyakit, dan varietas
padi (Reddy dan Yin 1989). Rata-rata, infeksi patogen ini pada biji di lapangan
berkisar 11%-21%. Ilyas et al. (2007) melaporkan bahwa bakteri patogen ini
dapat diisolasi dari benih. Hasil ini menunjang pendapat bahwa bakteri ini adalah
tular benih.
Xoo memiliki inang alternatif dari jenis padi liar seperti Oryza sativa, O.
rufipogon, O. australiensis dan gulma sebagai inang alternatif seperti Leersia
oryzoides dan Zizania latifolia, Echinocloa colonum, Leptochloa spp. dan
Cyperus spp. (Ou 1985; Niño-Liu et al. 2006). Bakteri ini bahkan dapat hidup
untuk sementara waktu pada tanaman non-inang seperti rerumputan dan jagung
(Huang dan De Cleene 1989). Bakteri ini dapat bertahan hidup lama hingga
musim tanam berikutnya dalam bentuk koloni bakteri kering maupun basah
pada jerami, serasah tanaman, dan singgang/turiang padi (Ou 1985).
Datta (1981) mengemukakan bahwa gejala serangan Xoo di daerah tropik
dapat dibedakan atas tiga tipe, yaitu gejala kresek, gejala hawar daun dan gejala
kuning muda. Kresek dan hawar daun adalah gejala utama dari infeksi Xoo,
sedangkan gejala kuning sebagai gejala sekunder. Infeksi yang terjadi pada fase
pembibitan menyebabkan bibit menjadi kering. Infeksi Xoo pada fase pembibitan
akan menimbulkan gejala seperti daun berwarna kelabu dan pada keadaan yang
parah keseluruhan daun akan menggulung layu dan tanaman akan mengalami
kematian. Selanjutnya pada fase anakan hingga perbungaan menunjukkan gejala
yang ditandai dengan adanya garis kekuningan mulai dari ujung daun dan pada
stadia lanjut berubah menjadi warna keabu-abuan atau mencokelat (Mew et al.
1993). Iklim merupakan faktor pemicu serangan Xoo seperti peralihan musim
kemarau ke musim penghujan dan sebaliknya. Struktur tanah yang lembab
membuat bakteri mudah untuk berkembang (Manik, 2011).
Untuk meningkatkan produktivitas padi maka berbagai upaya harus dilakukan
untuk mengendalikan penyakit hawar daun bakteri ini. Hingga saat ini yang paling
utama dilakukan untuk pengendalian hama dan penyakit tanaman masih
menggunakan pestisida . Kenyataan menunjukkan bahwa upaya pengendalian
secara kimiawi bukan merupakan alternatif yang terbaik (Ismail et al. 2011)
Pencegahan penyakit HDB dapat dimulai dari tahap pembenihan mencakup
disinfeksi biji dan membuang benih yang terinfeksi. Sebelum menanam, sawah
terlebih dahulu disinfeksi dengan membakar jerami hasil musim tanam
sebelumnya. Sebaiknya menghindari pemupukan nitrogen yang berlebihan karena
dapat memicu pertumbuhan vegetatif tanaman menjadi lebih cepat. Hal ini dapat
mempercepat perkembangan infeksi Xoo (Nino-liu et al. 2006). Agens pengendali
hayati merupakan solusi alternatif yang ramah lingkungan dibandingkan dengan
pengendali kimia. Bakteri antagonis terhadap Xoo memperoleh perhatian penting
sebagai kandidat agens pengendali hayati karena secara umum cepat tumbuh,
penanganan yang relatif mudah serta efektif dalam mengkolonisasi rizosfer
(Gnanamanickam 2009).

C. Bakteri sebagai Agen Biokontrol Hayati


Pengendalian hayati dengan memanfaatkan komponen biologi seperti
mikroorganisme antagonis merupakan pilihan yang tepat dan perlu dikembangkan
karena ramah lingkungan. Salah satunya adalah penggunaan bakteri antagonis
sebagai komponen pengendalian penyakit tumbuhan. Wei et al. (1991)
menyebutkan keuntungan dari penggunaan bakteri antagonis adalah tidak
mengandung bahan beracun, tidak memberikan efek samping terhadap organisme
yang bermanfaat pada tanaman dan tidak meninggalkan residu terhadap
lingkungan sekitar serta dapat menginduksi ketahanan tanaman dari serangan
patogen.
Banyak laporan menyatakan penggunaan bakteri rizosfir atau bakteri endofit
dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman karena menghasilkan hormon
pertumbuhan seperti etilen, auxin, dan sitokinin (Bacon & Hinton, 2007).
Bakteri endofit adalah bakteri yang hidup dan berasosiasi dengan jaringan
tanaman tanpa menimbulkan gejala penyakit pada tanaman tersebut. Keberadaan
bakteri ini berperan dalam perbaikan pertumbuhan tanaman karena dapat
menghasilkan zat pemacu tumbuh, memfiksasi nitrogen, dan memobilitasi fosfat.
Bakteri endofit dapat memproduksi senyawa antimikroba, enzim, asam salisilat,
dan senyawa sekunder lainnya yang berperan dalam meningkatkan sistem
pertahanan tanaman terhadap serangan patogen (Backman dan Sikora 2008).
Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) merupakan bakteri
menguntungkan bagi tanaman, bakteri ini dapat berkolonisasi dengan akar
tanaman dan meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan mekanisme yang
bervariasi. Mekanisme tersebut diantaranya adalah pelarutan fosfat, menghasilkan
hormon pertumbuhan IAA (indole acetic acid), ammonia, siderofor, aktivitas
enzim yang dapat mendegradasi dinding sel seperti sellulase, kitinase dan
protease, menghasilkan HCN dan sebagai biokontrol terhadap fitopatogen
(Fitriani, 2016)
Keunikan bakteri PGPR ini adalah bersifat saprofitik, dapat menghasilkan
antibiotik, melarutkan fosfat dan kalium, serta dapat menghasilkan hormon
pemicu pertumbuhan tanaman seperti indole acetic acid (IAA), potensi ini
berpeluang besar untuk dikembangkan sebagai pestisida hayati (bio-pesticide) dan
juga sebagai pupuk hayati (bio-fertilizer). Rizobakteri banyak digunakan sebagai
biopestisida dan biofertilizer karena mudah dibiakkan secara massal. Beberapa
rizobakteri yang banyak dikembangkan sebagai pestisida hayati adalah
Alcaligenes faecalis, Serratia marsescens, Bacillus subtilis dan Pseudomonas
fluorescens (Rahma et al,2019).
Menurut Rahma et al., (2014) eksplorasi dan aplikasi beberapa bakteri
yang diperoleh dari tanaman jagung dan akar rumput seperti Alcaligenes faecalis
AJ14, Bacillus subtilis KJTSB7.2, dan Serratia marsescens AR1 mampu
menekan perkembangan penyakit layu stewart dan meningkatkan pertumbuhan
tanaman jagung. Isolat bakteri asal tanaman jagung dan rumput ini ternyata juga
mampu menekan perkembangan bakteri Xoo dan meningkatkan pertumbuhan
bibit padi.
Menurut Hasan et al., (2010) kelompok Bacillus sp. Mempunyai
karakteristik paling baik karena mampu dalam bersporulasi dan sangat efektif
dalam mengkolonisasi akar. Resti et al., (2013) melaporkan B.cereus
menunjukkan keberhasilannya dalam menekan penyakit hawar daun bakteri
karena serangan Xanthomonas axonopodis pv. alii pada bawang merah. Penyakit
layu bakteri pada tanaman kentang (Prihatiningsih et al., 2015) dan layu bakteri
pada tomat (Istiqomah dan Kusumawati, 2018).
Bakteri dari kelompok Bacillus spp. dapat menghasilkan asam formiat,
asam asetat, asam laktat yang dapat melarutkan bentuk-bentuk fosfat yang sukar
larut sehingga menjadi bentuk yang mudah diserap oleh tanaman (Rao, 2007).
Bacillus merupakan bakteri Gram positif penghasil endospora sehingga tahan
pada kondisi kering dan panas. Bacillus cocok untuk aplikasi di lapangan sebagai
pengendali hayati tanaman (Mubarik et al. 2010).
Bakteri dari kelompok Bacillus, Pseudomonas, dan Serratia merupakan
bakteri agens biokontrol untuk patogen tanaman (Kloepper et al, 2004)
Stenotrophomonas maltophilia juga terbukti menjadi agen biokontrol yang efektif
(Berg et al. 2005).
Messiha et al (2007) melaporkan bakteri Stenotrophomonas maltophilia
biasa ditemukan pada rizosfer tanaman jagung dan bit, cukup dominan di rizosfer
tanaman sereal, bahkan dapat berkoloni dan bertahan di dalam jaringan tanaman
kentang (Garbeva et al. 2001).
John dan Thangavel (2017) melaporkan bahwa Stenotrophomonas
maltophilia MB9 memiliki kemampuan yang tinggi dalam meningkatkan
pertumbuhan dan menekan perkembangan penyakit yang disebabkan oleh
patogen . Bakteri tersebut dipilih untuk uji biokontrol terhadap jamur fitopatogen
dan karakterisasi lebih lanjut ternyata menunjukkan aktivitas antijamur yang baik.
Stenotrophomonas maltophilia menunjukkan aktivitas tertinggi dalam semua sifat
meningkatkan pertumbuhan tanaman dibandingkan dengan 19 isolat yang
digunakannya. Diantaranya adalah kemampuan dalam melarutkan fosfat,
memproduksi auksin dan asam organik, fiksasi nitrogen, pelarutan seng, produksi
ACC Deaminase dan hidrogen sianida, produksi siderofor, serta pelarutan kalium.
Adanya sifat-sifat utama tersebut maka dapat meningkatkan pertumbuhan
tanaman, berpotensi sebagai pupuk hayati serta efisiensi biokontrol terhadap
berbagai fitopatogen jamur.
Menurut John and Thangavel (2017) uji antagonis Stenotrophomonas
maltophilia terhadap beberapa jamur fitopatogenik diantaranya R.solani,
F.oxysporum, Colleotrichum sp, Diplodia sp, A.niger dan Curvularia sp
menunjukkan persentase daya hambat sebesar 54,7%-80%. Enzim-enzim yang
dapat diproduksi oleh Stenotrophomonas maltophilia diantaranya adalah enzim
protoase, lipase, gelatinase, kitinase dan DNAase.
Elhalag, et al (2016) melaporkan aplikasi dari Stenotrophomonas
maltophilia sendiri mampu menekan keparahan penyakit layu kentang dan
penurunan populasi R. solanacearum.
Strain Stenotrophomonas maltophilia W81, diisolasi dari rhizosfer bit gula
menghasilkan enzim ekstraseluler kitinase dan protease dapat menghambat
pertumbuhan jamur fitopatogenik Pythium ultimum secara invitro (Dunne et al,
1997)
BAB III BAHAN DAN METODA

A. Waktu dan Tempat


Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Oktober 2019-Februari 2020.
Penelitian akan dilakukan di Laboratorium Pengendalian Hayati Hayati dan di
Rumah Kaca Fakultas Pertanian, Universitas Andalas, Padang. Jadwal Pelaksanaan
dapat dilihat pada lampiran 1.

B. Alat dan Bahan


Adapun alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah cawan petri,
gelas ukur, tabung reaksi, rak tabung reaksi, micropipet, microtip, vortex, lampu
bunsen, jarum ose, timbangan digital, labu erlenmeyer, botol schot, botol kultur,
hand sprayer, kompor listrik, laminar air flow cabinet, autoclave, oven, rotary
shaker, spatula, gunting, cutter, batang pengaduk, jarum suntik 1 ml, pinset, bak
kecambah, ember (diameter atas= 30 cm, diameter bawah= 20 cm, tinggi= 25 cm),
alat dokumentasi dan alat tulis.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah isolat bakteri yaitu
Stenotrophomonas pavanii LMTSA5.4, Stenotrophomonas malthophilia KJKB
5.4, Bacillus cereus AJ3.4, Alcaligenes faecalis AJ1.4, Serratia marcescens AR1,
Pseudomonas fluorescens LPK1.9, isolat bakteri X. oryzae pv. oryzae, media
TSA, NA, King’s B dan WA, daging keong mas, air kelapa, gula, kaolin, talk,
akuades, alkohol 70%, HCL, NaOH, spritus, wrapper plastic, aluminium foil,
tisu, label nama, tanaman tembakau (Nicotiana tabacum), Benih padi varietas
xxxx, media tanam, pupuk kandang, pupuk urea, SP-36, dan KCL.

C. Metodologi Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan ini bersifat eksperimen yang terdiri dari 2 tahap
yaitu : 1. Optimasi formula rizobakteri dan konsorsiumnya secara in-vitro di
laboratorium dan Tahap 2. Pengujian formula rizobakteri dan konsorsiumnya
secara in-planta di rumah kaca.
1. Optimasi formula rizobakteri dan konsorsiumnya secara in-vitro di
laboratorium
Penelitian ini bersifat eksperimen menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) yang terdiri dari n perlakuan dengan 3 ulangan dengan kontrol positif
menggunakan aquadest, dan kontrol negatif dengan pembanding kimia
(streptomisin sulfat). Perlakuan terdiri dari isolat rizobakteri dan konsorsiumnya
yang diformulasi dengan masing-masing bahan pembawa formula dan disimpan
dalam waktu yang berbeda-beda (tanpa penyimpanan, 2,4,6 minggu). Data
kemudian dianalisis dengan menggunakan sidik ragam, jika berbeda nyata maka
diuji lanjut dengan Duncan’s New Multiple Range Test (DNMRT) pada taraf 5%

2. Pengujian formula rizobakteri dan konsorsiumnya secara in-planta di


rumah kaca.
Penelitian ini bersifat eksperimen menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) yang terdiri dari n perlakuan (hasil tahap 1) dengan 3 ulangan. Tahap ini
menggunakan kontrol negatif yaitu perlakuan tanpa formulasi rizobakteri
sedangkan kontrol positif tanpa formulasi rizobakteri dan tanpa inokulasi Xoo.
Untuk kontrol pembanding tanaman menggunakan antibiotik agrymycin. Data
kemudian dianalisis dengan menggunakan sidik ragam, jika berbeda nyata maka
diuji lanjut dengan Duncan’s New Multiple Range Test (DNMRT) pada taraf 5%

D. Pelaksanaan Penelitian
1. Optimasi formula rizobakteri dan konsorsiumnya secara in-vitro di
laboratorium
1.1. Persiapan Rizobakteri
a. Peremajaan Isolat Rizobakteri
Isolat rizobakteri yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Stenotrophomonas pavanii LMTSA5.4, Stenotrophomonas malthophilia KJKB
5.4, Bacillus cereus AJ3.4, Alcaligenes faecalis AJ1.4, Serratia marcescens AR1,
Pseudomonas fluorescens LPK1.9 yang diperoleh dari koleksi Dr. Haliatur
Rahma, S.Si., MP. di Laboratorium Pengendalian Hayati, Jurusan Hama Penyakit
Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Andalas. Isolat diremajakan dengan
metode gores pada medium TSA, kemudian diinkubasi selama 2x24 jam. Isolat
tersebut kemudian dikonfirmasi dengan dilakukan uji gram dan reaksi
hipersensitif untuk membuktikan apakah hasil uji isolat tersebut masih sama
dengan koleksi.
b. Konfirmasi isolat (Uji Gram dan Reaksi Hipersensitif)
- Uji Gram
Uji Gram bertujuan untuk mengetahui bakteri bersifat Gram positif atau
negatif. Larutan KOH 3% diteteskan di atas kaca objek kemudian ditambahkan
dengan 1 koloni tunggal biakan bakteri endofit yang telah berumur 2 x 24 jam
Apabila terjadi penggumpalan dan terasa lengket ketika jarum ose diangkat maka
bakteri tersebut bersifat Gram negatif, sebaliknya apabila tidak terjadi
penggumpalan dan tidak lengket maka bakteri bersifat Gram positif. (Schaad et
al., 2001)

- Reaksi Hipersensitif
Reaksi hipersensitif bertujuan untuk mengetahui sifat bakteri yang tergolong
patogen terhadap tanaman. Reaksi hipersensitif dilakukan dengan mengikuti
metode yang digunakan oleh Wahyudi et al. (2011), yaitu menggunakan tanaman
tembakau (Nicotiana tabacum) sehat. Isolat bakteri endofit disuspensikan
menggunakan akuades steril dengan kerapatan 108 sel/ml dan dihomogenkan
menggunakan vortex. Inokulasi dilakukan dengan menyuntikkan suspensi ke
bagian permukaan bawah daun tanpa menembus lapisan daun bagian atas
menggunakan jarum suntik volume 1 ml. Pengamatan dilakukan setelah 2 x 24
jam, jika terjadi gejala nekrotik pada bagian daun yang disuntikkan maka berarti
reaksi positif (tergolong patogen), sedangkan jika tidak terjadi gejala nekrotik
pada daun maka berarti reaksi negatif (tidak patogen).

c. Perbanyakan isolat rizobakteri


Koloni bakteri pada media NA yang berumur 48 jam diambil dengan
menggunakan jarum ose dan dimasukkan ke dalam 25 ml medium NB dalam
botol kultur volume 50 ml dan diinkubasi selama 24 jam pada rotary shaker
dengan kecepatan 150 rpm. Selanjutnya hasil preculture dipindahkan sebanyak 1
ml ke dalam 49 ml air kelapa steril dalam botol kultur volume 100 ml untuk
mainculture dan diinkubasi pada rotary shaker selama 2 x 24 jam dengan
kecepatan 150 rpm (Yanti et al., 2017).
Kepadatan populasi ditentukan dengan membandingkan kekeruhan suspensi
bakteri dengan campuran 0,8 ml larutan BaCl2 + 9,2 ml larutan H2SO4 yang
menjadi larutan McFarland skala 8 (kepadatan populasi bakteri diperkirakan 108
sel/mL).

1.2. Uji Kompatibilitas antar Isolat


Bakteri agens hayati diuji kompatibilitasnya menggunakan metode disk
diffusion. Uji kompatibilitas dilakukan dengan meneteskan 10 μL suspensi bakteri
A pada kertas saring steril berdiameter 5 mm yang terdapat pada media NA yang
telah disebar dengan 100 μL suspensi bakteri B (Putra 2011). Pasangan isolat
bakteri bersifat kompatibel apabila tidak tebentuk zona bening setelah dilakukan
pengujian dengan posisi bakteri A dan B secara bergantian.

1.3. Penyiapan Patogen Xanthomonas oryzae pv. Oryzae


a. Peremajaan dan Perbanyakan Xoo
Isolat Xoo yang digunakan dalam penelitian ini merupakan koleksi Dr. Haliatur
Rahma, S.Si., MP. di Laboratorium Pengendalian Hayati, Jurusan Hama Penyakit
Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Andalas. Isolat Xoo diremajakan
dengan metode gores kuadran pada media Wakimoto Agar dan diinkubasi selama
2 x 24 jam. Biakan diperbanyak dengan cara yang sama.

b. Uji Patogenesis Xoo


Uji patogenesitas bertujuan untuk mengindentifikasi isolat Xoo sebagai
penyebab penyakit hawar daun bakteri pada padi. Penyiapan suspensi Xoo sebagai
berikut: Biakan murni Xoo dalam cawan petri ditambah dengan 9 ml akuades steril
dan dikikis dengan jarum ose. Suspensi Xoo dipindahkan ke dalam tabung reaksi
dan dihomogenkan dengan vortex. Kerapatan suspensi yang digunakan adalah 108
sel/ml (Khaeruni et al., 2014).
Benih padi xxxxx yang telah disterilkan permukaannya dengan direndam
dalam akuades steril selama 1 menit, direndam dalam NaOCl 2% 1 menit,
kemudian dibilas menggunakan akuades steril 1 menit ditumbuhkan di dalam
growth chamber hingga berusia 2 minggu. Daun padi selanjutnya dilukai dengan
gunting dan dicelupkan ke dalam suspensi Xoo selama ±10 detik. Pengamatan
gejala penyakit dilakukan setiap hari sampai 14 hari setelah inokulasi.

1.4. Uji Kemampuan Antibiosis Rizobakteri terhadap Xoo


Uji antibiosis secara in vitro dilakukan dengan sebanyak 800µL (107 cfu/ml)
kultur cair bakteri patogen diinokulasi ke dalam 80 ml WA semipadat lalu dituang
pada permukaan cawan WA padat masing-masing sebanyak 10 ml. Setelah
permukaan media memadat, potongan kertas saring Whatman No.2 (diameter 0,7
cm) yang telah direndam dalam formulasi bakteri dan konsorsiumnya lalu
dikeringanginkan, kemudian diletakkan di tengah cawan petri yang berisi biakan
bakteri Xoo. Biakan diinkubasi selama 24-48 jam kemudian diamati zona hambat
di sekeliling cakram. Perlakuan kontrol terdiri atas, kontrol negatif menggunakan
akuades dan kontrol positif menggunakan pembanding kimia (streptomisin sulfat).
Setiap perlakuan dilakukan tiga ulangan. Isolat yang dapat menghambat
pertumbuhan Xoo ditunjukkan dengan luasnya zona bening di sekitar koloni yang
kemudian dihitung indeks penghambatannya.

1.5. Pengujian Viabilitas Bakteri Pada Masing-Masing Formulasi.


a. Formulasi Bahan Pembawa Agens Biokontrol
Bahan pembawa yang digunakan yaitu Talk, Kaolin, dan Suspensi yang
kemudian dibuat menjadi formulasi. Komposisi masing-masing formulasi yaitu :
Formula bubuk (powder) dibuat dengan bahan pembawa Talk dan Kaolin, yaitu
dengan menambahkan 150 ml suspensi hasil main culture bakteri dengan
kerapatan 108 cfu/ml ke dalam 500g talk dan 500g kaolin dan tambahkan CMC.
Untuk formula cair yaitu dengan bahan pembawa air kelapa ekstrak keong +
larutan gula dan ditambah dengan CMC. Masing-masing bahan pembawa
sebelumnya di autoclave selama 90 menit pada suhu 1210C dengan tekanan 1 atm.

b. Pengujian Viabilitas Formulasi


Uji viabilitas isolat bakteri pada bahan pembawa yaitu dengan mengencerkan 1
gram formulasi (Talk dan kaolin) dengan 9 ml NaCl steril dan untuk formulasi
cair dengan mengencerkan 1 ml formulasi (air kelapa+ekstrak keong mas) dengan
9ml aquadest steril kemudian dilakukan pengenceran serial. Perhitungan populasi
sel dilakukan dengan metode cawan sebar atau total plate count. Uji viabilitas
dilakukan pada 0 (tanpa penyimpanan), 2, 4, 6 minggu

2. Pengujian Formula Rizobakteri Dan Konsorsiumnya Secara In-Planta Di


Rumah Kaca
2.1. Penyiapan Media Tanam
Media tanam yang digunakan adalah tanah yang dicampur dengan pupuk
kandang dengan perbandingan 2:1. Tanah dimasukkan ke dalam plastik berukuran
5 kg dan disterilisasi dengan cara dimasukkan ke dalam autoclave selama 1 jam
pada suhu 100o C. Selanjutnya didinginkan dengan cara didiamkan selama 1 hari.

2.2. Introduksi Rizobakteri


a. Introduksi Rizobakteri Pada Benih Padi
Benih padi disterilisasi permukaan dengan direndam dalam akuades steril
selama 1 menit, direndam dalam NaOCl 2% 1 menit, kemudian dibilas
menggunakan akuades steril 1 menit. Selanjutnya, benih padi direndam pada
setiap formulasi bakteri dan konsorsiumnya selama 15 menit dan
dikeringanginkan selama ± 5 menit. Untuk kontrol, benih padi direndam dalam
akuades steril dengan waktu yang sama. Setelah dilakukan perendaman benih padi
disemai dalam bak kecambah berukuran (25 x 20 x 5) cm yang telah berisi media
tanah dan kompos (2:1) steril. Penyemaian dilakukan selama 20 hari.
Pemeliharaan meliputi penyiraman bibit padi pada pagi dan sore hari (disesuaikan
dengan kondisi tanaman).

b. Introduksi Rizobakteri Pada Bibit Padi


Setelah bibit padi berumur 20 hari, bibit dicabut dan dibersihkan
perakarannya dari sisa tanah yang melekat lalu direndam dalam formulasi
rizobakteri (0,2,4,6, dan 8 minggu) dan konsorsiumnya selama 15 menit.
Sementara itu, untuk kontrol bibit direndam dalam akuades steril dengan waktu
yang sama.

2.3. Penanaman
Setelah perendaman, bibit padi ditanam pada ember (diameter atas= 30
cm, diameter bawah= 20 cm, tinggi= 25 cm) yang telah berisi tanah dan kompos
(2:1) steril sebanyak 3 bibit per ember dengan jarak antar ember 20 cm x 20 cm.
Satu minggu kemudian dilakukan pencabutan 2 bibit padi, sehingga hanya
terdapat 1 bibit padi dalam ember (Reflin et al., 2018).

2.4. Inokulasi Patogen Xanthomonas oryzae pv. oryzae


Inokulasi Xoo dilakukan saat tanaman padi berumur 45 HST (Khaeruni et al.,
2014). Ujung daun digunting sepanjang 5 cm dan dicelupkan ke dalam suspensi
Xoo dengan kerapatan 108 sel/ml selama ±10 detik. Jumlah daun yang
diinokulasikan yaitu 5 daun per tanaman uji. Inokulasi dilakukan pada sore hari
untuk menghindari cekaman suhu yang terlalu tinggi bagi Xoo.

2.5. Pemeliharaan dan Pemupukan Tanaman Padi


Pemeliharaan dilakukan dengan cara mengatur pengairan, mengendalikan
gulma dan hama, serta melakukan pemupukan rutin. Tanaman padi disiram setiap
sore sampai tanah dalam ember tergenang oleh air. Gulma yang tumbuh
dikendalikan secara mekanik dengan melakukan pencabutan untuk menurunkan
kompetisi unsur hara dalam ember. Cara yang sama juga dilakukan untuk
pengendalian hama, yaitu secara mekanik. Pemupukan dilakukan sesuai dengan
rekomendasi Badan Litbang Pertanian (2006). Pupuk yang digunakan adalah Urea
dengan dosis 1,05 gram/ember, pupuk SP-36 0,52 gram/ember, dan pupuk KCL
0,52 gram/ember (setara dengan Urea 200 kg/ha, pupuk SP-36 100 kg/ha dan
pupuk KCL 100 kg/ha) (dapat dilihat pada lampiran 3). Pemberian pupuk
dilakukan dengan cara menebarkan di sekeliling tepi ember.

E. Pengamatan
1. Uji Kompatibilitas Antar Bakteri
Pasangan isolat bakteri bersifat kompatibel apabila tidak tebentuk zona bening
setelah dilakukan pengujian dengan posisi bakteri secara bergantian.

2. Uji Kemampuan Antibiosis Rizobakteri terhadap Xoo


Kemampuan rizobakteri dalam menekan pertumbuhan Xoo dilihat dari zona
bening yang dihasilkannya. Kemudian dihitung indeks penghambatannya dengan
rumus Warbung, dkk (2014) sebagai berikut :
𝑑1+𝑑2
IP = − 𝑥 ……………….. (Rumus 1)
2
Keterangan:
IP = Indeks penghambatan
d1 = diameter vertikal zona bening pada media.
d2 = diameter horizontal zona bening pada media.
X = paper disk (5 mm).
Susanto, Sudrajat dan Ruga (2012) berdasarkan perhitungan luas zona hambat
yang diamati pada media, zona hambat dapat dikategorikan sebagai berikut, untuk
diameter >20 mm dikategorikan sangat kuat, 11-20 mm dikategorikan kuat, 6-10
mm dikategorikan sedang dan <5 mm dikategorikan lemah.

3. Viabilitas Rizobakteri pada formulasi


Viabilitas rizobakteri pada formula cair dihitung dengan cara berikut : 1 ml
formula cair ditambah 9 ml aquadest steril dan diencerkan secara seri 10-1 sampai
10-6 . Dari pengenceran 10-5 dan 10-6 diambil 1ml, dituangkan ke medium TSA,
diinkubasi selama 2x24 jam, jumlah koloni dihitung dengan colony counter.
Pengamatan kepadatan populasi rizobakteri pada formula cair yang disimpan
selama 0,2,4, dan 6 minggu. Perhitungan menggunakan rumus (Klement et al.,
1990)
JB = A X C ………………….. (Rumus 2)
Keterangan : JB = Penetapan populasi
A = Jumlah Koloni terbentuk
C = Faktor pengenceran

4. Perkembangan Penyakit
a. Masa Inkubasi
Masa inkubasi Xoo diamati setiap hari setelah inokulasi pada daun tanaman
padi sampai tanaman menunjukan gejala pertama pada setiap unit percobaan.
Gejala awal ditandai dengan adanya warna kekuningan pada daun. Efektivitas
penekanan masa inkubasi dihitung dengan menggunakan rumus Sivan dan Chet
(1986) dalam Yanti et al., (2013):
Kn−P
E= X 100% ....................(Rumus 3)
Kn
Keterangan: E : Efektivitas
P : Perlakuan
Kn : Kontrol negatif

b. Kejadian Penyakit
Kejadian penyakit merupakan proporsi tanaman yang terserang patogen dalam
suatu populasi tanaman. Kejadian penyakit diamati pada hari ke- 7 setelah
inokulasi dengan interval 1 minggu. Untuk mengetahui kejadian penyakit akibat
Xoo pada tanaman padi dilakukan dengan mengamati gejala yang muncul, dan
dihitung dengan menggunakan rumus Abbot (1987):
n
I = N × 100% ....................(Rumus 4)

Keterangan: I : kejadian penyakit


n : jumlah tanaman terinfeksi
N : total jumlah tanaman yang diamati

c. Keparahan Penyakit
Keparahan penyakit diamati dengan mengukur panjang hawar daun.
Pengamatan dimulai setelah gejala muncul sampai 30 hari setelah inokulasi
dengan interval 3 hari. Pengukuran dilakukan dari ujung daun yang digunting
hingga titik terjauh munculnya gejala. Data panjang hawar kemudian dikonversi
ke dalam persentase berat serangan dengan membandingkan panjang hawar
dengan panjang daun. Selanjutnya dihitung keparahan penyakit dengan
menggunakan rumus Towsend dan Hueberger (1943) dalam Sholikhin (2014) :

∑ ni ×vi
KP = × 100% ....................(Rumus 5)
Z×N

Keterangan: KP : keparahan penyakit


Ni : jumlah daun terinfeksi pada setiap kategori
Vi : nilai numerik (skor) pada setiap kategori serangan
N : jumlah daun yang diamati
Z : nilai numerik (skor) untuk kategori serangan terberat
Nilai keparahan penyakit dihitung dengan skor kerusakan daun berdasarkan
sistem evaluasi baku dari Standard Evaluation System for Rice (SES). Kategori
berat serangan penyakit HDB yang digunakan yaitu:
Skor Gejala
0 Tidak ada gejala
1 Ada gejala bercak sepanjang 1 – 2 mm di sekitar titik inokulasi
2 Gejala membentuk melingkar seperti ellips dengan panjang
sekitar 2 – 3 cm
3 Gejala mulai memanjang kurang dari ½ panjang daun
4 Gejala melebar dan mulai menyatu, bagian atas daun mulai
mengalami kematian jaringan, meluas kira-kira ¼ dari bagian
bawah permukaan daun yang menjadi titik inokulasi
5 Gejala hawar menyatu, bagian atas dari daun menjadi kering,
gejala meluas sampai ½ panjang daun
6 Gejala meluas sampai ¼ dari bagian bawah daun
7 Gejala meluas sampai mendekati ke bagian bawah daun dan
hampir merusak seluruh bagian daun
8 Gejala hawar merusak seluruh helai daun dan meluas sampai ke
sekitar ½ pelepah daun
9 Seluruh daun dan bagian pelepahnya terinfeksi

d. AUDPC (Area Under the Disease Progress Curve)


AUDPC adalah jumlah penyakit pada setiap perlakuan dari pengamatan
pertama hingga pengamatan terakhir. AUDPC dapat dihitung dengan
menggunakan rumus Van der Plank (1963) dalam Sholikhin (2014):

yi +yi+1
AUDPC = ∑n−1
i ( ) (t i+1 − t i ) ....................(Rumus 6)
2

Keterangan: yi : data pengamatan ke-i


yi+1 : data pengamatan ke-i + 1
ti+1 : waktu pengamatan ke-i + 1
ti : waktu pengamatan ke-i
setelah mendapatkan nilai AUDPC, dilihat tingkat keefektifan pengendalian
dengan menghitung nilai indeks penekanan penyakit dengan rumus sebagai
berikut:
AUDPC kontrol−AUDPC perlakuan
Indeks penekanan penyakit = ..............(Rumus 7)
AUDPC kontrol

5. Pertumbuhan Bibit Padi


a. Daya Perkecambahan Benih
Daya perkecambahan benih dilakukan untuk benih yang ditanam pada bak
kecambah. Daya berkecambah benih dihitung saat berusia 7 hari setelah semai
(HSS) dengan menggunakan rumus Kamil (1979):
∑ kecambah normal
DB = ∑ benih yang ditanam
× 100% ...................(Rumus 8)

Keterangan: DB : Daya berkecambah

b. Daya Muncul Lapang


Daya muncul lapang ditentukan dengan mengamati bibit yang muncul
pada permukaan tanah. Pengamatan dilakukan mulai dari benih ditanam sampai
tidak ada lagi bibit yang muncul pada permukaan tanah. Persentase daya muncul
lapang dihitung dengan rumus Kamil (1979):
b
P = B × 100% ...................(Rumus 9)

Keterangan: P : Persentase bibit muncul


b : Jumlah bibit yang muncul
B : Jumlah benih yang disemai
Efektivitas peningkatan persentase bibit muncul dihitung menggunakan rumus 3.

c. Tinggi Bibit
Tinggi bibit diukur saat bibit muncul ke permukaan dan berumur 7 HSS.
Pengukuran dimulai dari pangkal batang sampai titik tumbuh tertinggi bibit.
Tinggi bibit diamati 1 minggu sekali sampai bibit berumur 20 HSS. Efektifitas
masing-masing perlakuan dihitung menggunakan rumus 3.
d. Jumlah Daun
Jumlah daun diamati dan dihitung sejak daun pertama muncul. Jumlah
daun diamati 1 minggu sekali sampai bibit berumur 20 HSS. Efektifitas masing-
masing perlakuan dihitung menggunakan rumus 3.
e. Panjang Akar
Setelah bibit berumur 20 hari, bibit dicabut dari bak kecambah dan
dibersihkan dari media tanam. Jumlah bibit yang diamati sebanyak 5 bibit untuk
masing-masing perlakuan. Pengukuran dilakukan dari pangkal akar sampai titik
tumbuh akar terpanjang. Efektifitas masing-masing perlakuan dihitung
menggunakan rumus 3.
f. Berat Segar dan Berat Kering (g)
Bibit yang telah dicabut dan dibersihkan dari media tanam kemudian ditimbang
untuk mengetahui berat segar bibit. Berat segar yang diperoleh merupakan bobot
basah per- 5 bibit untuk masing-masing perlakuan. Untuk mengukur berat kering
bibit dibungkus dengan kertas stensil dan dikeringkan di oven pada suhu 60oC
selama 5 jam dan ditimbang (sampai beratnya konstan). Efektifitas masing-
masing perlakuan dihitung menggunakan rumus 3.

6. Pertumbuhan Tanaman Padi


a. Tinggi Tanaman
Tinggi tanaman padi diukur dari pangkal batang sampai titik tumbuh
tertinggi. Tinggi tanaman diamati setiap 1 minggu sekali setelah tanaman berumur
7 hari setelah tanam (HST) sampai pertumbuhan konstan (fase reproduktif).
Efektifitas masing-masing perlakuan dihitung menggunakan rumus 3.
b. Jumlah Daun
Jumlah daun diamati setelah tanaman padi berumur 7 HST. Pengamatan
dilakukan setiap 1 minggu sekali sampai tanaman memasuki fase reproduktif.
Efektifitas masing-masing perlakuan dihitung menggunakan rumus 3.
c. Jumlah Anakan
Jumlah anakan dihitung mulai dari muncul anakan pertama sampai tidak
ada lagi pertambahan anakan. Pengamatan dilakukan setiap 1 minggu sekali.
Efektivitas masing-masing perlakuan dihitung menggunakan rumus 3.
F. Analisis Data
Data dianalisis dengan ANOVA (Analysis of Variance) dengan uji F pada taraf
nyata 5%. Apabila data berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Least Significance
Difference (LSD).

Anda mungkin juga menyukai