Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN PRAKTIKUM BIOTEKNOLOGI PERTANIAN

Pembuatan Media MS dan Aplikasi Penanaman


Kultur Jaringan pada Tanaman Stroberi

DISUSUN OLEH: KELOMPOK 2 – R1

Kevin Moris Aditya T 225040200111164


Yahya Fadila Rahman 225040200111172
Nala Purnamasyari 225040200111200
Ikram Wadudu 225040200111219
Agus Cahyanto 225040200111238
Zalika Rahma Dina 225040201111014
Alfitra Frizy Kusuma 225040201111066
Raif Difa Rashaeeka 225040201111085
Catur Luhur Atmaja 225040201111104
Farah Athira Rahadat 225040201111108

Asisten Praktikum:
Putra Aji Pratama

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2023
1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ketersediaan bibit yang unggul, seragam, bebas hama dan penyakit dalam skala
besar dan berkelanjutan menjadi tuntutan dalam produksi pertanian saat ini. Perbanyakan
tanaman secara konvensional meliputi biji, stek, umbi, dan sebagainya dinilai kurang efektif
dari segi waktu, jumlah bibit, serta kualitas bibit (Basri, 2016). Metode dalam perbanyakan
tanaman untuk penyediaan bibit dalam jumlah yang banyak dan waktu yang relatif singkat
dapat dicapai melalui kultur jaringan (Pratomo, 2016). Oleh karena itu, aplikasi kultur
jaringan dalam perbanyakan tanaman menjadi pilihan yang cukup menjanjikan.
Aplikasi kultur jaringan dalam perbanyakan tanaman selain dapat menghasilkan bibit
dengan jumlah banyak dalam waktu yang singkat, juga dapat mengeliminasi virus maupun
menginduksi ketahanan sistemik tanaman dari jamur (Khotimah 2016). Meskipun demikian,
dalam praktiknya kultur jaringan seringkali mengalami kendala yang menyebabkan
kegagalan. Kendala tersebut yaitu adanya kontaminasi dan pencoklatan tanaman
(browning) yang berujung pada kematian tanaman. Adanya kontaminasi dalam kultur
jaringan dapat dihindari dengan menggunakan eksplan yang sehat, menjaga aseptisitas
pekerja dan ruangan, serta sterilisasi alat dan bahan (Basri, 2016). Sedangkan browning
dapat dikelola dengan memilih eksplan yang berasal dari tanaman yang tidak terlalu muda
maupun penggunaan antioksidan seperti asam askorbat (Basri, 2016). Beberapa penelitian
menunjukkan penggunaan asam askorbat sebelum penanaman dengan dosis berkisar
antara 10 mg/L hingga 150 mg/L terbukti meminimalkan pencoklatan (Permadi et al., 2023).
Keberhasilan kultur jaringan juga ditentukan oleh penggunaan media kultur. Media
MS (Murashige dan Skoog) sering digunakan dalam banyak kultur jaringan terkait tingkat
keberhasilannya (Pratomo, 2016). Namun dalam prakteknya, media MS seringkali tidak
cocok untuk semua tanaman. Kandungan garam yang tinggi seperti kalium, nitrat, dan
amonium selain menjadi kelebihan dari media MS juga dapat menjadi kendala dalam
keberhasilan kultur jaringan beberapa tanaman. Pengurangan konsentrasi media MS
dengan penambahan bahan lain, terbukti dapat meningkatkan keberhasilan kultur jaringan
pada tanaman blueberry, spearmint, kentang, dan coneflower (Setiawati et al., 2018).
Kendala lain yaitu munculnya vitrifikasi pada eksplan yang berujung pada kematian.
Diketahui bahwa konsentrasi nutrisi yang terlalu tinggi pada media menjadi penyebab
vitrifikasi (Rosmaina et al.,2021). Adanya kontaminasi pada media MS menjadi salah satu
penyebab kegagalan kultur jaringan yang disebabkan oleh sterilisasi yang tidak sempurna
2

(Shofiyani et al., 2019). Oleh sebab itu, pembuatan media MS yang baik meliputi sterilisasi
sempurna dan pengaturan komposisi dapat meminimalkan masalah-masalah diatas.
Salah satu tanaman yang memiliki potensi untuk dilakukan kultur jaringan yaitu
stroberi. Stroberi (Fragaria x ananassa) merupakan tanaman yang kaya akan vitamin dan
mineral dikategorikan Desirable Dietary Pattern (Pola Pangan Harapan) oleh FAO (Raisya et
al., 2020). Penyediaan bibit yang baik melalui kultur jaringan dirasa perlu mengingat
konsumsi stroberi di Indonesia yang tinggi ditandai dengan kenaikan produksi. Produksi
stroberi pada tahun 2021-2022 mengalami kenaikan 193% di Indonesia (BPS 2022).
Beberapa penunjang keberhasilan stroberi selain pembuatan media MS dan aplikasi kultur
jaringan yang baik, yakni pengaturan konsentrasi hormon. Beberapa penelitian terkait variasi
hormon pada stroberi yakni, kombinasi hormon BAP dengan IBA (Dewi et al., 2016), BAP
dengan NAA (Lailia, 2014), serta BAP atau TDZ (Raisya et al.,2020). Berdasarkan penelitian
di atas, penggunaan media MS dengan kombinasi hormon BAP dan NAA pada rentang
0,05; 0,1; 1; dan 2 ppm terbukti berpengaruh positif terhadap pertumbuhan stroberi.
Pembuatan media MS dan teknik aplikasi kultur jaringan pada stroberi yang baik dan
benar akan menunjang keberhasilan perbanyakan stroberi. Melalui perbanyakan kultur
jaringan diharapkan dapat menghasilkan bibit stroberi yang unggul, seragam, bebas hama
dan penyakit dalam jumlah banyak dan singkat. Selain itu, perlu diketahui pengaruh
perlakuan variasi hormon BAP 0, 1, 3, dan 5 ppm terhadap pertumbuhan stroberi melalui
praktikum.
1.2 Tujuan
Kegiatan praktikum kultur jaringan pada tanaman stroberi bertujuan untuk.
1. Mengetahui cara pembuatan media pada kultur jaringan
2. Mengetahui cara penanaman eksplan tanaman stroberi
3. Mengetahui pengaruh konsentrasi ZPT terhadap pertumbuhan kultur organ.
.
2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Media MS
Media merupakan tempat jaringan untuk tumbuh dan mengambil nutrisi yang
mendukung kehidupan jaringan. Media tanam yang dapat mengoptimalkan hasil
pertumbuhan membutuhkan nutrisi yang berkombinasi sehingga tanaman mampu
melakukan pertumbuhan, perkembangan, dan reproduksi dengan maksimal (Linda et al.,
2021). Media tumbuh menyediakan berbagai bahan yang diperlukan jaringan untuk hidup
dan memperbanyak dirinya. Ada dua penggolongan media tumbuh: media padat dan media
cair. Media padat pada umumnya berupa padatan gel, seperti agar. Media cair adalah nutrisi
yang dilarutkan di air (Mahmoud, 2013). Keberhasilan kultur jaringan banyak ditentukan oleh
media tanam yang di pengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan, salah satunya yaitu pH,
cahaya, temperatur, sterilisasi, dan pemilihan eksplan. Faktor lain yang mempengaruhi
pembelahan yang menyebabkan faktor genetik lebih dominan terhadap pembelahan tunas
dan akar. Media tanam pada kultur jaringan berisi kombinasi dari asam amino esensial,
garam-garam anorganik, vitamin-vitamin, larutan buffer, dan sumber energi (glukosa). Media
berbahan dari agar biasanya ditambahkan untuk mendapatkan media yang berbentuk semi
padat, fungsinya adalah untuk meletakkan dan membenamkan eksplan suatu tanaman
(Puspita, 2017).
Media MS (Murashige and Skoog) merupakan media dasar yang paling banyak
digunakan dalam perbanyakan secara kultur in vitro dengan modifikasi komposisi atau
penambahan bahan lain di dalamnya (Lely et al., 2021). Media MS mengandung garam-
garam mineral dalam jumlah yang tinggi dan senyawa N dalam bentuk NO 3- dan NH4+.
Media perlu ditambahkan zat pengatur tumbuh yang membantu pertumbuhan dan
diferensiasi eksplan. Ada 2 jenis hormon tanaman yang sekarang banyak dipakai dalam
propagasi secara in vitro, yaitu auksin dan sitokinin (Herawan, 2015). Penggunaan media
dasar yang tepat merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan dalam perbanyakan bibit
menggunakan teknik kultur jaringan sehingga dapat diperoleh hasil yang optimum (Imelda,
2018). Media MS umum digunakan karena memiliki kandungan nutrisi yang lebih tinggi
dibanding media lainnya (media Gamborg, Vacin and Went, dan media white). Pemberian
ZPT pada media MS juga penting dalam mendukung upaya pertumbuhan planlet kentang
secara in vitro (Munggarani et al., 2018). ZPT dari golongan auksin dapat berupa hormon
2,4 D yang umum digunakan untuk induksi kalus, dan auksin lainnya yaitu IAA, IBA, dan
NAA yang umum digunakan untuk inisiasi akar (Sukmadjaja, 2014).
4

Menurut Dinas Pertanian dan Pangan Umumnya ada dua golongan zat pengatur
tumbuh (ZPT) yang digunakan dalam kultur in vitro, yakni golongan auksin dan sitokinin.
ZPT golongan auksin yang biasa digunakan dalam kultur in-vitro adalah: indole-3- acetic
acid (IAA), indole-3- butricacide (IBA), 2,4-dichlorophenoxy-acetic acid (2,4-D) dan
naphthalene- acetic acid (NAA). ZPT dari golongan sitokinin adalah: BA (Benzyladenine),
BAP (6-benzyloaminopurine), 2- iP (isopentenyl adenine), kinetin (6-furfurylaminopurine),
Zeatin (6-4-hydroxy-3-methyl-trans-2-butenylaminopurine) dan TDZ (thidiazuron). Faktor
yang menentukan keberhasilan dalam kultur jaringan adalah jenis dan konsentrasi zat
pengatur tumbuh (ZPT), yang penggunaannya tergantung pada tujuan dan tahap
pengkulturan. Rasio kedua golongan ZPT ini akan mempengaruhi arah morfogenesis yang
terjadi pada kultur. Rasio auksin yang lebih tinggi dari sitokinin akan menstimulasi
terbentuknya akar, sedangkan rasio sitokinin yang lebih tinggi dari auksin akan menginduksi
terbentuknya tunas. Jika auksin dan sitokinin pada konsentrasi yang sama (rasio 1) maka
akan terbentuk kalus. Untuk pembentukan kalus juga dapat digunakan 2,4-D. Ada beberapa
jenis ZPT lainnya yang digunakan dalam kultur in vitro. ZPT tersebut yaitu gibberellin (GA3)
untuk pembentukan tunas pada spesies tertentu, dan asam absisik (ABA) untuk
pematangan embrio pada proses embriogenesis somatik. Dalam proses pembuatan larutan
stok ZPT, untuk IAA, 2,4-D dan NAA dapat dilarutkan awal dengan beberapa tetes alkohol
95% atau NaOH 1N, sedangkan untuk golongan sitokinin umumnya digunakan beberapa
tetes HCL 1N atau dimethylsulfoxide (DMSO). Jika bahan sudah terlarut oleh pelarut awal,
maka baru kemudian ditambah DD water (Double distilled water) untuk mencapai volume
yang diinginkan. Penggunaan pelarut awal ini diperlukan untuk menghindari terjadinya
penggumpalan akibat tidak larutnya ZPT tersebut (Anny, 2021).
2.2 Penanaman Kultur Jaringan
Kultur jaringan merupakan salah satu perbanyakan tanaman yang melibatkan
pemotongan jaringan tanaman dan menumbuhkannya pada sebuah media nutrisi. Kultur
jaringan bekerja didasari oleh kemampuan totipotensi tanaman yaitu dimana bagian sel
yang dikulturkan apabila berada pada kondisi yang sesuai akan menghasilkan individu yang
sempurna seperti induknya (Safitri et al., 2013). Metode kultur jaringan biasa digunakan
pada tanaman yang sulit dikembangbiakkan secara generatif atau tanaman yang memiliki
bibit terbatas. Teknologi ini merupakan suatu metode isolasi bagian-bagian tanaman seperti
sel, kelompok sel, jaringan atau organ dan membudidayakannya dalam lingkungan
terkendali (in vitro) dan secara aseptik sehingga bagian-bagian tanaman tersebut dapat
beregenerasi menjadi tanaman utuh. Prinsip dasar teknik kultur jaringan adalah
5

perbanyakan tanaman dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman dalam lingkungan


buatan di tempat yang steril (Prihandono, 2017). Perbanyakan ini memiliki jenis antara lain
kultur meristem, kultur protoplas, kultur suspensi, kultur organ, dan kultur antler untuk
memproduksi tanaman haploid (Kumar dan Loh, 2012). Bagian tanaman yang digunakan
sebagai kultur disebut eksplan yang bisa berupa ujung tunas, kotiledon, akar, maupun daun,
pengambilan eksplan diutamakan pada bagian sel yang masih aktif membelah. Eksplan
yang dipilih harus dibuat aseptis (steril) dengan penambahan larutan etanol maupun natrium
hipoklorit seperti yang ada pada pemutih (Mastuti, 2017). Eksplan dibuat steril untuk
mengurangi resiko terserang mikroorganisme seperti jamur dan bakteri. Pemberian hormon
juga perlu ditambahkan guna merangsang pertumbuhan eksplan. Hormon yang bisa
digunakan berupa auksin dan sitokinin. Hormon auksin seperti NAA (Naftalen Acetyl Acid)
mampu mempercepat pertumbuhan akar, pembentukan serabut, hingga mendorong
perpanjangan sel pucuk, sedangkan hormon sitokinin berguna untuk multiplikasi tunas
(Mahadi et al, 2015). Eksplan yang ditanam akan berkembang menjadi kalus lalu planlet
atau tanaman muda. Aklimatisasi merupakan tahap akhir kultur jaringan yang dilakukan
dengan memindahan planlet ke tempat pembibitan(bedengan) yang diberi sungkup untuk
melindungi dari hama atau penyakit. Proses ini berfungsi untuk mengkondisikan planlet yang
sebelumnya hidup dalam wadah (in vitro) agar mampu bertahan hidup di lingkungan luar
sebelum akhirnya disebarluaskan (Arimasetiowati, 2012).
Kultur jaringan pada tanaman hortikultura merupakan suatu hal yang penting untuk
dilakukan karena permintaan pasar terkait tanaman hortikultura sangatlah tinggi hal tersebut
juga berbanding lurus dengan permintaan bibit pada tanaman hortikultura sedangkan bibit
dari suatu varietas unggul jumlahnya sangat terbatas. Berdasarkan hal tersebut tanaman
hortikultura merupakan tanaman yang sangat menguntungkan secara ekonomi (Saty et al.,
2017). Salah satu tanaman hortikultura yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi adalah
tanaman stroberi. Stroberi merupakan salah satu spesies buah yang sangat populer di
banyak negara pertumbuhan komersial dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Meningkatnya permintaan pasar tentu saja membatasi terbatasnya kuantitas dan kualitas
benih, yang berarti produksi buah terganggu dan pasokan buah ke konsumen tidak selalu
terpenuhi. Stroberi (Fragaria x ananassa) merupakan tanaman buah dataran tinggi yang
populer selain buah hortikultura lainnya seperti jeruk dan apel. Stroberi kaya akan senyawa
fenolik dan vitamin C, B1 dan B2 yang bermanfaat bagi kesehatan. Stroberi dapat
dibudidayakan di wilayah geografis yang luas terutama pada daerah tropis, sehingga
merupakan salah satu tanaman buah-buahan yang dapat dibudidayakan di Indonesia
6

(Maya, 2022). Pada pertengahan tahun 1990-an, para petani Indonesia khususnya petani di
Rancabali, Ciwidey dan Kabupaten Bandung Jawa Barat mulai mengenal dan
membudidayakan tanaman ini. Setelah itu tanaman strawberry dikembangkan di beberapa
tempat lain, termasuk di wilayah Jawa Tengah, yaitu Balai Pertanian Tawangmangu,
Kabupaten Karanganyar, Batu (Jawa Timur) dan Bedugul (Bali) (Dwiyani et al., 2023).
Sehubungan dengan tumbuh dan berkembangnya daerah budidaya stroberi di Indonesia,
maka diperlukan benih stroberi dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pasar.
Untuk memenuhi kebutuhan benih stroberi yang bebas penyakit dan mencegah penyebaran
patogen, diterapkan teknik kultur jaringan. Perbanyakan tunas stroberi secara in vitro
dengan bahan awal meristem telah banyak dilakukan oleh para peneliti dari berbagai negara
yang bertujuan untuk menghasilkan tanaman stroberi yang bebas dari patogen bawaan.
Meristem merupakan bagian tumbuhan yang sel-selnya sangat aktif dan membelah dengan
cepat, sehingga virus yang reproduksinya lebih lambat tidak akan mencapai meristem
(Rozana, 2017). Media dasar yang sering digunakan untuk budidaya batang laut adalah
Media Murashige and Skoog (MS), biasanya dilengkapi dengan beberapa kombinasi zat
pengatur tumbuh (ZPT). Beberapa kombinasi zat pengatur tumbuh yang biasa digunakan
pada stroberi antara lain 1-6-benzylaminopurine (BAP) dan naphthalene acetic acid (NAA).
Bagian-bagian tanaman (eksplan) yang dapat digunakan untuk proliferasi tunas adalah
daun, dan stolon pada stroberi (Siregar, 2013).
3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat


Kegiatan praktikum bioteknologi kultur jaringan dilakukan pada tanggal 27
September 2023 pukul 13.00 – 14.40 WIB. Lokasi kegiatan dilakukan di laboratorium kultur
jaringan, gedung Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.
Pengamatan dilakukan 5 hari setelah penanaman dikarenakan tutupnya lab pada saat
tanggal merah. Berikut adlaah timeline pengamatan eksplan dari stroberi.
Tabel 1. Timeline Pengamatan Eksplan Stroberi
02-10-2023 04-10-2023 06-10-2023 08-10-2023 10-10-2023 12-10-2023

Pengamatan 1
Pengamatan 2
Pengamatan 3
Pengamatan 4
Pengamatan 5
Pengamatan 6

3.2 Alat dan Bahan


3.2.1 Alat-alat Dalam Kultur Jaringan dan Pembuatan Media Kultur
Alat yang digunakan pada saat kegiatan praktikum kultur jaringan adalah Pinset,
Pisau Skalpel, Cawan Petri, Botol Kultur, Botol Spiritus, LAFC, Gunting, dan Beaker Glass.
Sedangkan, alat yang digunakan pada saat kegiatan praktikum pembuatan media kultur
jaringan adalah Pinset, pH Meter, Microwave, Magnetic Hot Plate Stirrer, Gelas Beaker,
Botol Kultur, Autoclave, Timbangan Analitik, Pipet Ukur dan Bola Hisap.
3.2.2 Bahan-bahan Dalam Kultur Jaringan dan Pembuatan Media Kultur
Bahan yang digunakan pada saat kegiatan praktikum kultur jaringan adalah
Tanaman Stroberi, Media MS, Alkohol 70%, Ethanol 90%, Cloroks 30%, Fungisida,
Detergen, Aquades Steril. Bahan dasar sebagai media yang digunakan dalam pembuatan
media kultur jaringan adalah Murashige & skoog (MS), kemudian dengan bahan tambahan
Larutan Stok Makro, Larutan Stok Ca, Larutan Stok Mikro A, Larutan Stok Mikro B, Larutan
Stok Fe, Vitamin, ZPT BAP dan NAA Sukrosa, Agar-agar, dan Aquades

3.3 Metode Pelaksanaan


Metode Pelaksanaan terbagi menjadi 3 bagian yaitu metode pelaksaan dalam
pembuatan media lalu setelahnya adalah metode pelaksanaan dalam mensterilkan eksplan
kemudian metode pelaksanaan dalam menanam eksplan.
8

3.3.1 Metode Pelaksanaan Pembuatan Media


Langkah awal pada pembuatan media MS adalah menyiapkan berbagai jenis larutan
stok dengan volume yang telah ditentukan, diantaranya larutan Makro, Mikro, Vitamin, Fe-
EDTA, dan ZPT. Campurkan semua jenis larutan stok ke dalam sebuah beaker gelas.
Pasang magnet stirrer (pengaduk magnetik) di dalam beaker gelas yang berisi larutan
campuran. Tempatkan beaker gelas dengan magnet stirrer di atas Plate Magnetic Stirer.
Nyalakan magnet stirrer untuk mengaduk larutan dengan baik sehingga menjadi homogen.
Selama proses pengadukan, tambahkan sukrosa ke dalam larutan hingga larut sepenuhnya.
Ukur pH larutan dengan pH meter, pastikan pH larutan berada dalam rentang yang
diinginkan, yaitu antara 5.6 hingga 5.8. Jika pH larutan sudah sesuai, tambahkan agar-agar
dengan konsentrasi 7 g/L ke dalam larutan. Aduk kembali media menggunakan magnetic
stirrer hingga larut sempurna. Tuangkan larutan media yang telah larut ke dalam botol kultur,
masing-masing dengan volume 20 mL. Media dalam botol kultur harus disterilisasi
menggunakan autoclave untuk memastikan kebersihannya dari mikroorganisme patogen
atau kontaminan lainnya. Setelah di autoclave botol media di pindahkan ke ruang kultur
jaringan dan selanjutnya siap untuk digunakan sebagai media tanam.
3.3.2 Metode Pelaksanaan Pensterilan Eksplan
Sterilisasi eksplan dilakukan sesudah proses pemotogan nodul batang atau pucuk
tanaman krisan. Pada pemotongan nodul, pemilihan nodul harus sesuai yaitu memotong
atau mengambil bagian yang masih kecil, yang biasanya terletak di bagian bawah tanaman.
Pemotongan tidak terlalu pendek dan dilebihkan ukuran pemotongannya. Pada proses
sterilisasi eksplan dilakukan sebanyak tiga kali yaitu sterilisasi dengan detergen untuk
membersihkan eksplan dari kotoran, sterilisasi dengan chloroks (Bayclin) untuk
membersihkan eksplan dari bakteri, dan sterilisasi dengan fungisida (Benlate) untuk
membersihkan eksplan dari jamur. Pada masing-masing proses sterilisasi diselingi dengan
pembilasan menggunakan air mengalir. Stelah dilakukan semua tahap sterilisasi maka
eksplan langsung dimasukan ke dalam botol yang telah terisi aquades steril dan masukan
dalam LAFC.
3.3.3 Metode Pelaksanaan Penanaman Eksplan
Sebelum penanaman kultur, hal yang harus diperhatikan yaitu alat dan bahan kultur
yang digunakan harus dalam keadaan steril. Eksplan yang sudah disterilisasi direndam
dengan aquades steril di dalam botol kultur yang kemudian diletakan ke dalam LAFC
beserta alat penanaman lainnya dengan tujuan untuk menjaga kesterilan alat dan bahan
yang digunakan dengan bantuan sinar UV selama 20 menit. Selain alat dan bahan kultur,
9

kondisi penanaman juga harus steril. Penanaman eksplan harus sesuai dengan prosedur
yang telah ditetapkan yaitu dengan menanam eksplan yang telah dipotong menggunakan
pisau scalpel yang kemudian di tanaman pada media kultur (media MS) secara vertikal di
dalam botol media menggunakan pinset. Setelah tertanam pada media MS, bibir botol
media kultur disterilisasi dengan cara memanaskan atau membakar di atas api bunsen dan
dilanjutkan dengan menutup plastic wraping atau alumunium foil lalu ikat menggunakan
karet gelang. Eksplan yang telah ditanam, disimpan di ruang kultur.
3.3.4 Metode Pelaksanaan Penanaman Eksplan
Tanaman eksplan Stroberi dilakukan pengamatan di mulai dua hari setelah
penanaman, dilakukan selama dua minggu atau 14 hari setelah penanaman. Pengamatan
dilakukan setiap dua hari sekali selama dua minggu dengan mengamati 10 sampel tanaman
eksplan yang ditanam. Paramater yang diamati meliputi waktu muncul kontaminasi media,
kontaminasi pada eksplan, browning, waktu muncul shoot, presentase kontaminasi media,
presentase hidup, presentase kontaminasi eksplan, jumlah shoot, dan panjang shoot.
3.4 Variabel Pengamatan
Parameter pengamatan dilakukan pada ke sepuluh tanaman eksplan yang dijadikan
sebagai objek pengamatan pada setiap perlakuan. Pengamatan dilakukan setiap dua hari
sekali dalam jangka waktu dua minggu. Berikut parameter pengamatan yang perlu
diperhatikan dalam pelaksanaan praktikum.
3.4.1 Media pada Masing-masing Konsentrasi ZPT
Berikut adalah variabel yang diamati pada media tanam pada masing-masing
konsentrasi ZPT.
a. Waktu Muncul Kontaminasi Media (HST)
Pengamatan waktu muncul kontaminasi adalah kapan waktu munculnya
kontaminasi berupa bakteri atau jamur yang tampak pada media tanaman.
Pengamatan dihitung dari hari munculnya kontaminasi setelah tanam.
b. Persentase Kontaminasi Media Tanaman
Pengamatan persentase kontaminasi dilakukan pada akhir pengamatan yaitu 2
minggu setelah tanam. Berikut adalah rumus yang digunakan untuk menghitung
persentase media yang terkontaminasi.
Mediaterkontaminasi
Persentase Kontaminasi MediaTanaman= ×100 %
Media total
10

3.4.2 Kultur Jaringan pada Masing-masing Konsentrasi ZPT


Berikut adalah variabel yang diamati pada kultur jaringan pada masing-masing
konsentrasi ZPT.
a. Persentase Hidup Eksplan
Pengamatan persentase hidup eksplan dilakukan pada akhir pengamatan yaitu 2
minggu setelah tanam. Berikut adalah rumus yang digunakan untuk menghitung
persentase hidup eksplan.
∑ Skor tiap eksplan
Persentase Hidup Eksplan= ×100 %
Jumlah eksplan × 4
Keterangan:
Nilai 1: Eksplan terkontaminasi
Nilai 2: Eksplan segar, namun tidak berkembang
Nilai 3: Eksplan segar dan berkembang namun tidak terbentuk kalus
Nilai 4: Eksplan segar dan terbentuk kalus
b. Kontaminasi pada Eksplan
Pengamatan kontaminasi pada eksplan adalah waktu munculnya kontaminasi
berupa bakteri dan jamur yang tampak pada eksplan. pengamatan dihitung dari hari
munculnya kontaminasi setelah tanam.
c. Persentase Kontaminasi pada Eksplan
Pengamatan persentase kontaminasi dilakukan pada akhir pengamatan yaitu 2
minggu setelah tanam. Berikut adalah rumus yang digunakan untuk menghitung media
yang terkontaminasi.
Eksplanterkontaminasi
Persentase Kontaminasi pada Eksplan= ×100 %
Eksplan total
d. Browning
Pengamatan browning dilakukan dengan melihat adanya warna kecoklat-
coklatan pada eksplan akibat senyawa fenol. Pengamatan dihitung dari hari
munculnya browning setelah tanam.
e. Waktu Muncul Shoot
Pengamatan waktu muncul shoot dilakukan dengan melihat munculnya shoot
atau tunas pada ekplan. Pengamatan dihitung dari hari munculnya shoot setelah
tanam
f. Jumlah Shoot per Masing-masing Botol Kultur
11

Pengamatan browning dilakukan dengan melihat jumlah shoot pada tiap botol
kultur. Pengamatan dihitung berdasarkan jumlah shoot per masing-masing botol pada
akhir pengamatan yaitu 2 minggu setelah tanam.
g. Panjang Shoot
Pengamatan browning dilakukan dengan melihat panjang shoot pada tiap botol
kultur. Pengamatan dihitung berdasarkan panjang shoot per masing-masing botol
pada akhir pengamatan yaitu 2 minggu setelah tanam.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Data
4.1.1 Media Tanam pada Masing-masing Konsentrasi ZPT
a. Waktu muncul Kontaminasi Media
Tabel 2. Waktu Muncul Kontaminasi Media

Waktu Muncul Kontaminasi Media (HST)


Perlakuan
1 3 5 7 10 12
0 ppm 0 6 8 8 8 9
1 ppm 0 8 9 11 11 11
3 ppm 0 8 8 10 10 10
5 ppm 0 7 7 10 10 10

Waktu Muncul Kontaminasi Media


12
Jumlah Kontaminasi

10
8
6
4
2
0
1 3 5 7 10 12
Hari Setelah Tanam

0 ppm 1 ppm 3 ppm 5 ppm

Gambar 1. Waktu Muncul Kontaminasi Media

Berdasarkan tabel dan grafik perlakuan 0 ppm menunjukkan waktu muncul


kontaminasi yang lebih lama dengan jumlah yang lebih sedikit dibanding perlakuan
lain. Perbedaan waktu muncul perlakuan 0 ppm dengan 1 ppm menunjukkan
perbedaan yang cukup jauh, namun jumlah kontaminasi masih menunjukkan nilai
yang besar.
b. Persentase Kontaminasi Media Tanaman
Tabel 3. Persentase Kontaminasi Media Tanaman

Perlakuan Persentase Kontaminasi Media Tanaman


Konsentrasi 0 ppm BAP 90%
Konsentrasi 1 ppm BAP 100%
Konsentrasi 3 ppm BAP 100%
Konsentrasi 5 ppm BAP 100%
13

Persentasi Kontaminasi (%)


100
Persen (%)
95

90

85
0 ppm 1 ppm 3 ppm 5 ppm
Konsentrasi

Persentasi

Gambar 2. Persentase Kontaminasi

Berdasarkan data persentase kontaminasi media tanaman pada berbagai


perlakuan konsentrasi BAP, kita dapat menyimpulkan bahwa persentase kontaminasi
media tanaman pada semua perlakuan (0 ppm, 1 ppm, 3 ppm, dan 5 ppm BAP) cukup
tinggi, dengan persentase minimum sebesar 90%. Ini menunjukkan bahwa
kontaminasi media pada semua perlakuan yang diuji memiliki tingkat keberhasilan
yang serupa dalam mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Konsentrasi 0 ppm BAP
memiliki persentase kontaminasi yang sedikit lebih rendah (90%) dibandingkan
dengan perlakuan lainnya yang memiliki persentase kontaminasi sekitar 100%.
4.1.2 Kultur Jaringan pada Masing-masing Konsentrasi ZPT
a. Persentase Hidup Eksplan
Tabel 4. Persentase Hidup Eksplan

Perlakuan Persentase Hidup


Konsentrasi 0 ppm BAP 27,5%
Konsentrasi 1 ppm BAP 25%
Konsentrasi 3 ppm BAP 25%
Konsentrasi 5 ppm BAP 25%
14

Persentasi Hidup (%)


28
27
Persen (%)
26
25
24
23
0 ppm 1 ppm 3 ppm 5 ppm
Konsentrasi

Persentasi

Gambar 3. Persentasi Hidup

Grafik persentase hidup eksplan pada minggu akhir pengamatan menunjukkan


bahwa semua perlakuan dengan berbagai konsentrasi BAP (0 ppm, 1 ppm, 3 ppm,
dan 5 ppm) memiliki tingkat persentase hidup eksplan yang sangat serupa, yaitu
sekitar 25% hingga 27,5%. Ini mengindikasikan bahwa konsentrasi BAP tidak
berpengaruh signifikan terhadap kelangsungan hidup eksplan. Dengan kata lain, tidak
ada perbedaan yang nyata dalam tingkat kelangsungan hidup eksplan antara
kelompok perlakuan dengan konsentrasi BAP yang berbeda. Hasil ini dapat
menunjukkan bahwa, dalam konteks percobaan ini, konsentrasi BAP tidak memiliki
efek yang meyakinkan terhadap tingkat kelangsungan hidup eksplan tanaman.
b. Kontaminasi pada Eksplan
Tabel 5. Kontaminasi pada Eksplan

Waktu Muncul Kontaminasi Eksplan (HST)


Konsentrasi
1 3 5 7 10 12
0 ppm 0 6 7 8 8 9
1 ppm 3 8 10 10 11 11
3 ppm 2 2 4 10 10 10
5 ppm 0 10 10 10 10 10
15

Waktu Muncul Kontaminasi Eksplan


12
Jumlah Kontaminasi 10
8
6
4
2
0
1 3 5 7 10 12
Hari Setelah Tanam

0 ppm 1 ppm 3 ppm 5 ppm

Gambar 4. Waktu Muncul Kontaminasi Eksplan

Berdasarkan tabel 5 Dapat diketahui bahwa pada perlakuan 1, 3, dan 5 ppm


memiliki waktu muncul kontaminasi pada eksplan yang berbeda beda. Dimana rata
rata kontaminasi pada eksplan muncul pada saat 5 HST dengan rata rata eksplan
yang mengalami kontaminasi pada seluruh perlakuan. Sedangkan pada 12 HST
seluruh media eksplan pada masing masing perlakuan telah mengalami kontaminasi
kecuali pada perlakuan 0 ppm. Kontaminasi pada setiap media eksplan pada masing
masing pelakuan ditandai dengan munculnya hifa jamur atau lendir dari bakteri yang
menutupi bagian media eksplan.
c. Persentase Kontaminasi pada Eksplan
Tabel 6. Persentase Kontaminasi pada Eksplan

Perlakuan Persentase Kontaminasi Eksplan


Konsentrasi 0 ppm BAP 90%
Konsentrasi 1 ppm BAP 100%
Konsentrasi 3 ppm BAP 100%
Konsentrasi 5 ppm BAP 100%
16

Persentasi Kontaminasi (%)


100

Persen (%)
95

90

85
0 ppm 1 ppm 3 ppm 5 ppm
Konsentrasi

Persentasi

Gambar 5. Persentase Kontaminasi

Berdasarkan data pada tabel 6 dapat diketahui bahwa pada perlakuan dengan
konsentrasi 1, 3, dan 5 ppm memiliki persentase kontaminasi pada eksplan terbesar
yaitu 100% yang menandakan bahwa seluruh eksplan pada akhir pengamatan
mengalami kontaminasi. Sedangkan pada konsentrasi 0 ppm memiliki persentase
kontaminasi sebesar 90% yang menandakan hanya satu eksplan yang tidak
mengalami kontaminasi hingga akhir pengamatan.
d. Browning
Tabel 7. Waktu Muncul Browning

Waktu Muncul Browning (HST)


Perlakuan
1 3 5 7 10 12
0 ppm 8 8 8 8 8 9
1 ppm 6 10 10 11 11 11
3 ppm 1 1 1 1 1 1
5 ppm 0 10 10 10 10 10

Waktu Muncul Browning


12
Jumlah Browning

10
8
6
4
2
0
1 3 5 7 10 12
Hari Setelah Tanam

0 ppm 1 ppm 3 ppm 5 ppm

Gambar 6. Waktu Muncul Browning


17

Berdasarkan pada tabel 7 Dapat diketahu bahwa waktu muncul browning


pertama kali terbesar terdapat pada perlakuan 0 ppm dengan jumlah delapan eksplan
yang mengalami browning. Sedangkan waktu muncul browning pertama kali terkecil
terdapat pada perlakuan 3 ppm dan 5 ppm. Waktu muncul browning terbesar ada
pada 12 HST dimana setiap eksplan pada setiap perlakuan mengalami browning
kecuali pada perlakuan 0 ppm terdapat satu eksplan yang tidak mengalami browning
dan pada perlakuan 3 ppm hanya satu eksplan saja yang mengalami browning.
Browning pada setiap media eksplan pada masing masing perlakuan ditandai dengan
munculnya bercak kecoklatan pada area media eksplan.
e. Waktu Muncul Shoot
Tabel 8. Waktu Muncul Shoot

Waktu Muncul Shoot (HST)


Perlakuan
1 3 5 7 10 12
0 ppm 0 0 0 0 0 0
1 ppm 0 0 0 0 0 0
3 ppm 0 0 0 0 0 0
5 ppm 0 0 0 0 0 0

Waktu Muncul Shoot


Jumlah Tanaman Muncul Shoot

1
0.8
0.6
0.4
0.2
0
1 3 5 7 10 12
Hari Setelah Tanam

0 ppm 1 ppm 3 ppm 5 ppm

Gambar 7. Waktu Muncul Shoot

Berdasarkan tabel 8 dapat diketahui bahwa waktu muncul shoot pada media eksplan
setiap perlakuan bernilai 0 atau tidak ada pertumbuhan atau pembentukan shoot pada
media eksplan. Ketidakmunculan shoot disebabkan oleh kontaminasi pada media
sehingga mengahalau pertumbuhan eksplan.
18

f. Jumlah Shoot per Masing-masing Botol Kultur


Tabel 9. Jumlah Shoot per Masing-masing Botol Kultur

Perlakuan Rata-rata Jumlah Shoot


Konsentrasi 0 ppm BAP 0
Konsentrasi 1 ppm BAP 0
Konsentrasi 3 ppm BAP 0
Konsentrasi 5 ppm BAP 0

Rata-rata Jumlah Shoot


1
0.8
0.6
Buah

0.4
0.2
0
0 ppm 1 ppm 3 ppm 5 ppm
Konsentrasi

Jumlah

Gambar 8. Rata-rata Jumlah Shoot

Grafik menunjukkan bahwa pada semua perlakuan, baik yang menggunakan


konsentrasi BAP 0 ppm, 1 ppm, 3 ppm, atau 5 ppm, tidak ada shoot (rata-rata jumlah
shoot adalah 0). Ini mengindikasikan bahwa dalam percobaan ini, tidak ada
pertumbuhan atau pembentukan shoot yang teramati pada botol kultur dalam semua
perlakuan yang diujikan. Hasil ini menunjukkan bahwa penggunaan berbagai
konsentrasi BAP dalam kondisi eksperimen ini tidak memicu pembentukan shoot pada
botol kultur. Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk potensi kegagalan
metode percobaan, kondisi pertumbuhan tanaman, atau mungkin jenis tanaman yang
digunakan.
g. Panjang Shoot
Tabel 10. Panjang Shoot

Perlakuan Rata-rata Panjang Shoot


Konsentrasi 0 ppm BAP 0
Konsentrasi 1 ppm BAP 0
Konsentrasi 3 ppm BAP 0
Konsentrasi 5 ppm BAP 0
19

Rata-rata Panjang Shoot


1
Panjang (cm) 0.8
0.6
0.4
0.2
0
0 ppm 1 ppm 3 ppm 5 ppm
Konsentrasi

Panjang

Gambar 9. Rata-rata Panjang Shoot

Berdasarkan grafik di atas menggambarkan bahwa panjang shoot tanaman


adalah variabel yang penting dalam memahami respons tanaman terhadap perlakuan
dengan konsentrasi berbeda dari BAP (Benzylaminopurine). Data yang
terdokumentasi dalam grafik menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan
dalam panjang shoot tanaman di antara kelompok perlakuan yang berbeda. Dalam
eksperimen ini, konsentrasi BAP divariasikan dari 0 ppm hingga 5 ppm, namun tidak
ada perubahan yang tampak dalam pertumbuhan panjang shoot.

4.2 Pembahasan
4.2.1 Media
Persentase Kontaminasi Media tanaman hampir secara keseluruhan mencapai pada
nilai 100%, namun pada perlakuan BAP 0 ppm menunjukkan nilai 90%. Tingginya angka
kontaminasi media disebabkan karena media rawan terserang mikroorganisme kontaminan
yang menyebabkan tanaman tidak tumbuh bahkan mati. Kontaminasi dapat disebabkan oleh
cara pembuatan media yang tidak sesuai maupun tempat penyimpanan media yang terlalu
lembab (Yasmin et al., 2018). Luas ruang kultur mempengaruhi suhu dari pendingin ruangan
(AC), semakin luas ruang kultur maka suhu semakin tinggi. Ruang yang luas bisa membuat
ruangan memiliki suhu di atas 20˚ C dan menyebabkan kontaminasi pada media tanam
(Septiani et al., 2022). Ruangan pada saat pensterilan selalu terbuka yang membuat suhu
ruang menjadi tidak optimal ditambah dengan banyaknya praktikan yang berada dalam satu
ruangan. Kontaminasi media terjadi pada hari ke tiga pengamatan dengan jumlah
kontaminasi lebih dari setengah eksplan yang ditanam. Kontaminasi terjadi disebabkan oleh
jamur dan bakteri. Kontaminasi yang dilakukan oleh jamur akan nampak di media berupa
spora seperti kapas putih, sedangkan serangan oleh bateri akan menyebabkan media
20

membentuk lendir yang berwarna kuning dan membentuk gumpalan yang basah (Andriani
dan Heriansyah, 2021). Sumber kontaminasi internal bisa berasal dari tanaman eksplan
yang tidak memadai (Karjadi dan Buchori, 2007). mikroorganisme mungkin terbawa saat
pemotongan eksplan dan menyebabkan kontaminasi pada media. Sterilisasi eksplan yang
kurang tepat dapat membawa patogen yang akan menyerang media tanam. Mikroorganisme
membutuhkan nutrisi untuk tumbuh, media MS dapat menjadi sumber nutrisi bagi jamur dan
bakteri (Oratmangun et al., 2017). Selain kaya akan nutrisi, media MS juga lembab sehingga
mendorong pertumbuhan jamur atau bakteri hingga menyebar ke seluruh permukaan media.
Kesterilian alat menjadi hal yang penting dalam kultur jaringan. Sterlisasi media
menggunakan suhu tinggi dari autoclave dapat membunuh sebagian besar mikroorganisme
yang dapat menyerang kultur jaringan. akan tetapi, terdapat beberapa bakteri yang tahan
terhadap suhu tinggi autoclave dan tahan oleh berbagai disenfektan yaitu bakteri dari genus
Bacillus. Sel bacillus akan menghasilkan endospora yang mampu bertahan pada suhu 100˚
C. (Wulandari, 2022). Media untuk kultur jaringan yang diautoclave secara singkat tidak
akan mampu membunuh bakteri ini.
4.2.2 Kultur Jaringan
a. Morfologi Eksplan
Kultur jaringan dikatakan berhasil apabila eksplan memiliki bentuk morfologi
yang bagus. Hasil tanaman dilakukan skoring sesuai dengan keadaan pada
pengamatan terakhir. Pada tabel 4 menunjukan bahwa hasil tertinggi yaitu pada
perlakuan BAP 0 sebesar 27,5% hal tersebut menunjukan dari semua jumlah eksplan
yang ditanam pada BAP 0 ada satu tanaman yang segar tapi tidak berkembang dan
pada perlakuan BAP 1,3, dan 5 memiliki hasil yang sama yaitu 25% merupakan hasil
paling rendah karena semua eksplan terkontaminasi. Hal ini menunjukan bahwa
konsentrasi BAP berpengaruh terhadap kelangsungan hidup eksplan. Zat pengatur
tumbuh BAP dapat mendukung pertumbuhan tunas tanaman dengan cara mencegah
dominasi apikal akibat aktivitas auksin endogen pada eksplan. Penambahan sitokinin
berupa BAP pada media penginduksi pembelahan sel diperkirakan dapat
mempengaruhi pertumbuhan tunas. Konsentrasi BAP eksogen yang terlalu tinggi
pada eksplan, yang diduga mengandung sitokinin endogen, dapat menghambat
pertumbuhan tanaman. Pengaruh penambahan BAP sangat bergantung pada
keadaan fisiologis eksplan yang telah mempunyai hormon endogen yang dapat
menghambat pertumbuhan eksplan itu sendiri (Sofian et al.,2018). Pengaruh ZPT
eksogen sangat bergantung pada konsentrasi hormon endogen tanaman, sehingga
21

pengaruhnya sangat bervariasi. Hormon endogen berupa auksin dapat menghambat


pertumbuhan stroberi karena berperan dalam dominasi apikal (Satriawan et al., 2021).
Faktor lain yang dapat mempengaruhi adalah keadaan kimia eksplan yaitu keadaan
kimia eksplan yang mengandung berbagai hormon endogen yang dapat menghambat
pertumbuhan eksplan itu sendiri karena peningkatan konsentrasi hormon, respon
eksplan secara in vitro juga meningkat pada tingkat tertentu dan kemudian menurun
bahkan ketika konsentrasinya meningkat (Mukherjee et al., 2018). Penggunaan
sitokinin yang terlalu kuat/berlebihan dapat memberikan efek negatif pada fase
mikropropagasi. Konsentrasi BAP yang terlalu tinggi menyebabkan
ketidakseimbangan rasio hormonal dan memperlambat pertumbuhan tunas, sehingga
tidak terjadi reproduksi tunas atau tidak terbentuk tunas baru (Nuraini et al., 2022).
Jika kandungan auksin endogen eksplan cukup tinggi. Penambahan BAP dapat
mengurangi jumlah akar karena sitokinin bertindak sebagai penghambat pembentukan
akar lateral dan menghambat efek stimulasi auksin (Noah et al., 2021). Oleh karena
itu, ZPT harus digunakan dalam konsentrasi yang benar untuk mencapai tujuan yang
dimaksudkan.
b. Penyebab Kontaminasi pada Eksplan
Seluruh eksplan pada seluruh perlakuan hormon mengalami kontaminasi pada
hari ke-3. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan mikroflora sangatlah cepat.
Penelitian Li et al. (2022), menunjukkan pertumbuhan jamur kontaminan pada 3-5 hari
secara pesat menutupi permukaan media. Kontaminasi ini dapat berasal dari media,
eksplan, peralatan, wadah kultur, lingkungan ruang kultur, ruang transfer maupun
pekerja (Hamdeni et al., 2022). Persentase kontaminan pada perlakuan BAP 1,3, dan
5 ppm mencapai 100%, sedangkan tanpa BAP mencapai 90%. Perbedaan ini tidak
menunjukkan pengaruh hormon terhadap persentase kontaminasi dengan
pertimbangan perbedaan persentase yang kecil. Adanya perbedaan tersebut
dikarenakan perbedaan perlakuan saat sterilisasi eksplan. Sterilisasi eksplan pada
BAP 0 ppm dilakukan dengan sterilisasi kloroks selama 10 menit, sedangkan BAP
1,3,5 ppm selama 3 menit. Meskipun demikian perlakuan sterilisasi eksplan tidak
sepenuhnya menghilangkan sumber kontaminan dari eksplan. Hal ini diduga karena
sumber eksplan yang secara in vivo sudah menjalin simbiosis dengan mikroorganisme
endofit. Jamur endofit merupakan jamur yang mengkolonisasi bagian dalam jaringan
tanaman pada ruang intraseluler sehingga sterilisasi permukaan yang kurang
sempurna mungkin tidak menghilangkan jamur sepenuhnya (Reis et al., 2022).
22

Banyak laporan menunjukkan bahwa sumber kontaminasi kultur in vitro berasal dari
genus Mucor, Rhizopus, Cladosporium, Aspergillus, Dictyostelium, dan
Saccharomyces yang merupakan jamur endofit (Cobrado dan Fernandez, 2016).
Bagian eksplan yang ditanam berpengaruh terhadap persentase kontaminasi. Eksplan
yang digunakan dalam praktikum merupakan organ muda dari stolon. Stolon
merupakan organ perkembangbiakan tanaman stroberi yang berada dekat dan
menempel pada tanah. Volk et al. (2022), melaporkan bahwa jenis dan jumlah jamur
endofit ini bervariasi di seluruh tanaman, namun ditemukan banyak mengkolonisasi
bagian organ tanaman dekat dengan tanah. Meskipun demikian, kontaminasi eksplan
hanya terjadi pada dua perlakuan lebih rendah dibandingkan kontaminasi media.
Kontaminasi media terjadi pada seluruh perlakuan hormon pada awal
pengamatan. Hal tersebut diduga karena aseptisitas lingkungan dan pekerja yang
tidak terjaga, maupun kontaminasi dari eksplan. Sependapat dengan Cobrado dan
Fernandez (2016), jamur mungkin datang bersama eksplan, atau menyebar melalui
udara, dan masuk ke dalam kultur. Praktikum yang dilakukan oleh banyak praktikan
saat penanaman kultur pada ruangan juga menyebabkan aseptisitas lingkungan dan
pekerja yang buruk. Terdapat korelasi antara persentase kontaminasi media dengan
kepadatan pekerja pada ruangan saat pelaksanaan kultur (Cobrado dan Fernandez,
2016). Kondisi laboratorium yang kotor khususnya pada ruangan kultur yang dipenuhi
debu juga menjadi penyebab adanya kontaminasi. Hal ini diperkuat dengan letak
ruang kultur yang bersebelahan dengan ruang steril. Sebagian besar kontaminasi
pada laboratorium terjadi karena adanya partikel udara yang membawa bakteri selama
proses kultur (Ryan, 2002). Partikel-partikel tersebut sebenarnya dapat mengendap
dengan kecepatan 1 kaki per menit, namun ketika ada pekerja yang masuk
menyebabkan pergerakan udara yang mendorong partikel kontaminan bertebaran di
ruang lab (Ryan, 2002).
c. Pengaruh Media Terhadap Pertumbuhan Eksplan
Pengaruh media dalam kultur jaringan adalah faktor kunci dalam menentukan
pertumbuhan eksplan. Media yang tidak steril atau terkontaminasi dapat memiliki
dampak yang merugikan pada eksplan. Namun sayangnya Berdasarkan tabel 3
menyatakan bahwa media pada ketiga perlakuan BAP telah terkontaminasi oleh
jamur. Pengaruh media terhadap pertumbuhan eksplan yang telah terkontaminasi
jamur dapat berdampak negatif pada eksplan dan proses kultur jaringan. Kontaminasi
jamur dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan eksplan tanaman
23

(Oratmangun et al., 2017). Hal ini dapat mengakibatkan eksplan menjadi lemah, tidak
berkembang, atau bahkan mati. Faktor sterilitas ruangan juga sangat menentukan
terhadap kontaminasi pada media. Ruangan yang sudah steril dapat saja berubah
menjadi tidak steril yang dikarenakan keluar masuknya praktikan. Kontaminasi jamur
adalah salah satu masalah yang umumnya dihadapi dalam kultur jaringan, pada tabel
3 menunjukan bahwa 100% media tanam pada setiap BAP telah terkontaminasi. Ini
terjadi ketika spora atau partikel jamur masuk ke dalam media tanam atau wadah
kultur jaringan dan mulai tumbuh di sana (Lina et al., 2013). Kontaminasi jamur sendiri
muncul pada saat fase pertumbuhan, jamur akan menyebabkan kontaminasi pada
tahap pertumbuhan. Meskipun pada masa awal setelah inokulasi tidak terjadi
kontaminasi, beberapa hari berikutnya pertumbuhan jamur terlihat (Septiani et al.,
2022).
d. Pertumbuhan Perakaran Eksplan
Seluruh kultur stroberi tidak menunjukkan pertumbuhan perakaran eksplan. Hal
ini dikarenakan adanya kontaminasi maupun browning. Pada ketiga perlakuan BAP
yakni 1, 3, dan 5 ppm mengalami kontaminasi sebesar 100%, sedangkan pada BAP 0
ppm mengalami kontaminasi 90%. Sependapat dengan Permadi et al. (2023), bahwa
kontaminasi yang tidak ditangani dengan baik dapat menurunkan kemampuan
regenerasi tanaman, pertumbuhan kalus, dan terhambatnya pertumbuhan tunas yang
berujung pada kematian eksplan. Hampir semua kultur mengalami kontaminasi karena
jamur yang mungkin merupakan jamur endofit. Sterilisasi eksplan yang terjangkit
jamur endofit belum tentu dapat mematikan jamur penyebab kontaminan. Jamur
endofit merupakan jamur yang mengkolonisasi bagian dalam jaringan tanaman pada
ruang intraseluler sehingga desinfeksi permukaan yang kurang tepat mungkin tidak
menghilangkan jamur sepenuhnya (Reis et al., 2022). Selain itu perbedaan perlakuan
pada BAP 0 ppm saat proses penanaman juga berpengaruh terhadap munculnya
browning. Perlakuan sterilisasi kloroks yang lebih lama dan tidak adanya perlakuan
asam askorbat sebelum penanaman menjadi faktor munculnya browning yang
berujung pada kematian. Antioksidan seperti asam askorbat terbukti dapat menekan
oksidasi fenolik penyebab browning (Taghizadeh dan Dastjerdi, 2020). Adanya
browning dianggap merugikan karena dapat menganggu metabolisme tanaman,
perkembangan tanaman, dan kematian eksplan (Permadi et al., 2023). Oleh karena itu
meskipun pada perlakuan BAP 0 ppm terdapat stroberi yang terhindar dari
kontaminasi, namun kondisi browning menyebabkan stroberi tidak bertumbuh.
5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan data hasil dari pengamatan disimpulkan bahwa pertumbuhan dan
perkembangan eksplan tanaman stroberi pada media tanam dengan masing masing
konsentrasi memiliki tingkat keberhasilan yang rendah dalam mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan tanaman. Tidak ada perbedaan yang nyata dalam tingkat kelangsungan
hidup eksplan antara kelompok perlakuan dengan konsentrasi BAP yang berbeda pada
media tanam. Selain itu kotaminasi pada media tanam maupun tanaman eksplan serta
browning pada tanaman mempengaruhi kematian ekspalan. Kontaminasi menjadi faktor
pembatas dalam perbanyakan tanaman secara kultur jaringan. Kontaminasi pada media
dapat berasal dari berbagai sumber baik eksternal maupun internal, faktor kontaminasi
dapat berasal dari eksplan, organisme kecil yang masuk kedalam media, botol kultur atau
alat-alat yang kurang steril , Kontaminasi didominasi dari jenis jamur yang akan nampak di
media berupa spora seperti kapas putih, sedangkan serangan oleh mikroba lain seperti
bateri akan menyebabkan media membentuk lendir yang berwarna kuning dan membentuk
gumpalan yang basah. Selain itu pertumbuhan dan perkembangan eksplan juga dipengaruhi
browning akibat sterilisasi kloroks yang lebih lama dan tidak adanya perlakuan asam
askorbat sebelum penanaman. Browning ditandandai dengan adanya warna coklat di
bagian ekspaln dan media tanam, munculnya browning dianggap merugikan karena dapat
menganggu metabolisme tanaman, perkembangan tanaman, dan kematian eksplan.
5.2 Saran
Dalam rangka untuk meningkatkan keberhasilan dari praktikum, yaitu kultur jaringan
pada eksplan tanaman stroberi. Perlu adanya perlakuan khusus dalam memilih eksplan
dengan baik, penerapan sterilisasi dengan teliti, kebersihan alat dan lingkungan kerja harus
lebih dijaga dan ditingkatkan kembali, pemilihan media yang baik karena ini merupakan
salah satu faktor penting dalam tingkat keberhasilan pertumbuhan tanaman eksplan.
Dengan mempertimbangkan dan menerapkan saran ini diharapkan kultur jaringan dapat
menjadi lebih baik, efisien, dan berhasil.
25

DAFTAR PUSTAKA

Andriani, D., & Heriansyah, P. 2021. Identifikasi Jamur Kontaminan pada Berbagai Eksplan
Kultur Jaringan Anggrek Alam (Bromheadia finlaysoniana (Lind.) Miq. Agro Bali:
Agricultural Journal, 4(2), 192-199.
Anny Dufi. 2021. Media Tanam dan Kultur Jaringan. Dinas Pertanian dan Pangan. Artikel
Ilmiah.
Arimarsetiowati, R. 2012. Kultur jaringan tanaman kopi. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao
Indonesia, 13-17.
Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. 2022. Statistik Hortikultura 2022. BPS RI. Jakarta
Basri, A. H. H. 2016. Kajian Pemanfaatan Kultur Jaringan dalam Perbanyakan Tanaman
Bebas Virus. Agrica Ekstensia, 10(1), 64–73.
Bhusare, B. P. 2022. Impact of Plant Tissue Culture (PTC) in Modern Agriculture. Modern
Concepts & Developments in Agronomy, 10(4), 1041–1043.
Cobrado, A. J., & Fernandez, A. 2016. Common Fungi Contamination Affecting Tissue-
cultured Abaca (Musa textiles Nee) during Initial Stage of Micropropagation. Asian
Research Journal of Agriculture, 1(2), 1–7.
Damayanti, L., Anggraini, N. F., Lestari, N. S., Sunarti, R. N., & Apriani, I. 2021. Optimasi
Teknik Sterilisasi Fungisida Benstar dan Dithane M-45 terhadap Kultur Jaringan
Tanaman Akasia (Acacia crassicarpa) secara In Vitro. In Prosiding Seminar Nasional
Sains dan Teknologi Terapan (Vol. 4, pp. 137-146).
Dewi, A. W. A., Darmawati, I. A. P., & Semarajaya, C. G. A. 2016. Inisiasi Kalus Embriogenik
Stroberi (Fragaria sp.) dengan Pemberian IBA (Indolebutyricacid) dan BAP
(Benzylaminopurine). E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika, 5(3), 243–253.
Dwiyani, R., Darmawati, I. A. P., Susrusa, K. B., Wirya, G. N. A. S., Gunadi, I. G. A.,
Mayadewi, N. N. A., & Fitriani, Y. Pelatihan Aklimatisasi Bibit Stroberi Hasil Kultur
Meristem Bagi Petani Stroberi Pancasari.
Hamdeni, I., Louhaichi, M., Slim, S., Boulila, A., & Bettaieb, T. 2022. Incorporation of
Organic Growth Additives to Enhance In Vitro Tissue Culture for Producing Genetically
Stable Plants. Plants, 11(22), 3087.
Herawan, T., Na'iem, M., Indrioko, S., & Indrianto, A. 2015. Kultur Jaringan Cendana
(Santalum album L.) Menggunakan Eksplan Mata Tunas. Jurnal Pemuliaan Tanaman
Hutan, 9(3), 177-188.
26

Imelda, M., Wulansari, A., & Sari, L. 2018. Perbanyakan In Vitro Pisang Kepok var. Unti
Sayang Tahan Penyakit Darah Melalui Proliferasi Tunas. Jurnal Bioteknologi &
Biosains Indonesia, 5(1), 36-44.
Karjadi, A. K., dan A. Buchory. 2007. Pengaruh komposisi media dasar, penambahab BAP,
dan pikloram terhadap induksi tunas bawang merah. Jurnal Hortikultura. 18 (1), 1 – 9.
Khotimah, K. 2016. Induksi Ketahanan Bawang Merah (Allium cepa L. Aggregatum Group)
terhadap Penyakit Moller dengan Asam Salisilat secara In Vitro dan In Vivo [Tesis,
Universitas Gadjah Mada].
Kumar, P. P., & Loh, C. S. (2012). Plant tissue culture for biotechnology. Plant
Biotechnology and Agriculture, 131–138
Lailia, L. (2014). Pengaruh Imbangan BAP dan NAA terhadap Pertumbuhan dan Hasil Dua
Kultivar Stroberi (Fragaria x ananassa Duch.). Skripsi. Universitas Gadjah Mada.
Lely Zulhaida N., Erpina Delina M., Muainah H., dan Mieke A.H. 2021. Pengaruh Arang Aktif
(Charcoal) pada Media MS untuk Meningkatkan Pertumbuhan Anggrek pada Kultur In
Vitro. Seminar Nasional dalam Rangka Dies Natalis ke-45 UNS Medan.
Li, W., Cao, G., Zhu, M., Zhang, Y., Zhou, R., Zhao, Z., Guo, Y., Yang, W., Zheng, B., Tan,
J., & Sun, Y. 2022. Isolation, Identification and Pollution Prevention of Bacteria and
Fungi during the Tissue Culture of Dwarf Hygro (Hygrophila polysperma) Explants.
Microorganisms, 10(12), Article 12.
Lina, F. R., Ratnasari, E., & Wahyono, R. 2013. Pengaruh 6-benzylamino purine (BAP) dan
6-furfuryl amino purine (Kinetin) pada media MS terhadap Pertumbuhan Eksplan
Ujung Apikal Tanaman Jati secara In Vitro. LenteraBio, 2(1), 167-178.
Linda Febriani, Gunawan, Abdul Gafur. Pengaruh Jenis Media Tanam Terhadap
Pertumbuhan Tanaman. Program Studi Biologi, Universitas Lambung Mangkurat.
Biocksperimen. 7(2).
Mahadi, I., Syafi’i, W., & Agustiani, S. 2015. Kultur Jaringan Jeruk Kasturi (Citrus
microcarpa) dengan Menggunakan Hormon Kinetin dan Naftalen Acetyl Acid (NAA).
Dinamika Pertanian, 30(1), 37-44.
Mahmound, O., & Kosar, M. 2013. Regeneration and Histological of plants Derived From
Leaf Explants In Vitro Culture of Strawberry. Agricultural Biotechnology Research
Institute of Iran.
Mastuti, R. (2017). Dasar-dasar kultur jaringan tumbuhan. Universitas Brawijaya Press.
Maya, I. 2022. TA: Otomasi dan Monitoring pada Greenhouse Pembibitan Tanaman
Strawberry Menggunakan PID (Doctoral dissertation, Universitas Dinamika).
27

Mukherjee, P.K., R. Mondal, S. Dutta, K. Meena, M. Roy, and A.B. Mandal. 2018. In vitro
micropropagation in Boehmeria nivea to generate safe planting materials for
largescale cultivation. Czech Journal of Genetics and Plant Breeding, 54(4): 183–189.
Munggarani, M., Suminar E., Nuraini A., & Mubarok S. 2018. Multiplikasi tunas meriklon
kentang pada berbagai jenis dan konsentrasi sitokinin. Jurnal Agrologia, 7(2), 80-89.
Nisa, C., & Rodinah, R. 2015. Kultur Jaringan beberapa Kultivar Buah Pisang (Musa
paradisiaca L.) dengan Pemberian Campuran NAA dan Kinetin. Bioscientiae, 2(2).
Noah, A.M., R. Casanova-Sáez, R.E.M Ango, I. Antoniadi, M. Karady, O. Novák, N.
Niemenak, and K. Ljung. 2021. Dynamics of auxin and cytokinin metabolism during
early root and hypocotyl growth in theobroma cacao. Plants, 10(5).
Nuraini, A., Aprilia, E., Murgayanti, M., & Wulandari, A. P. 2022. Pengaruh konsentrasi
Benzylaminopurine terhadap pertumbuhan eksplan tunas aksilar rami klon lokal
Wonosobo secara in vitro. Kultivasi, 21(2).
Oratmangun, K. M., Pandiangan, D., & Kandou, F. E. 2017. Deskripsi Jenis-Jenis
Kontaminan Dari Kultur Kalus Catharanthus rosues (L.) G. Don. Jurnal
MIPA, 6(1),47-52.
Oratmangun, K. M., Pandiangan, D., & Kandou, F. E. 2017. Deskripsi Jenis-Jenis
Kontaminan Dari Kultur Kalus Catharanthus roseus (L.) G. Donnaman. Jurnal
MIPA, 6(1), 47-52.
Permadi, N., Nurzaman, M., Alhasnawi, A. N., Doni, F., & Julaeha, E. 2023. Managing Lethal
Browning and Microbial Contamination in Musa spp. Tissue Culture: Synthesis and
Perspectives. Horticulturae, 9(453), Article 4.
Pratama, J., & Nilahayati, N. 2018. Modifikasi media MS dengan penambahan air kelapa
untuk subkultur I anggrek Cymbidium. Jurnal Agrium, 15(2), 96-109.
Pratomo, G. S. 2016. Pengaruh Jenis Media dengan Hormon Tumbuh NAA-BAP terhadap
Pertumbuhan dan Kandungan Flavonoid Kalus Daun Echinaceae purpurea (L.)
Moench. Jurnal Surya Medika, 1(2), 51–57.
Prihandono, P. A. 2017. Modul diklat program keahlian ganda sekolah menengah kejuruan
mata diklat kultur jaringan tanaman pangan dan hortikultura: paket keahlian agribisnis
perbenihan dan kultur jaringan tanaman.
Puspita, A. (2017). Potensi Biosida Ekstrak Akar dan Batang Pisang Kepok Untuk
Pertumbuhan Biji Kacang Hijau Secara In Vitro. Skripsi Pendidikan Biologi UMS pp. 1-
13.
28

Raisya, E., Sobarna, D. S., Nuraini, A., Mubarok, S., Suminar, E., & Akutsu, M. 2020.
Multiplikasi in Vitro Stroberi Kultivar Tochiotome dengan Penambahan Jenis dan
Konsentrasi Sitokinin untuk Perbanyakan Bibit. Jurnal Kultivasi, 19(3), 1189–1195.
Reis, J. B. A. D., Lorenzi, A. S., & do Vale, H. M. M. 2022. Methods Used for The Study of
Endophytic Fungi: A Review on Methodologies and Challenges, and Associated Tips.
Archives of Microbiology, 204(11), 675.
Rosmaina, R., Endika, R., & Zulfahmi, Z. 2021. Studi Pengaruh Media Alternatif untuk
Perbanyakan Pisang Barangan (Musa acuminata L.) secara In Vitro. Jurnal
Agroteknologi, 12(1), 33.
Rozana, A. T. 2022. Induksi kalus batang stroberi (Fragaria sp. var Sweet Charlie)
menggunakan NAA (Naphthalene Acetic Acid) secara In Vitro (Doctoral dissertation,
UIN Sunan Gunung Djati Bandung).
Ryan, J. 2002. Understanding and Managing Cell Culture Contamination. Dalam Technical
Bulletin: Life Science. Corning Incorporated. Acton.
Safitri, R. R. E., Wulandari, R. S., & Darwati, H. 2013. Penambahan ragi terhadap
multiplikasi subkultur tunas manggis (Garcinia mangostana L.) secara in vitro. Jurnal
Hutan Lestari, 1(3).
Satriawan, D., S. Nurliana, and T. Pujiyanti. 2021. Effectiveness of BAP (6-Benzyl Amino
Purine) for buds induction of nutmeg (Myristica fragrans Houtt.). Proceedings of the
3rd KOBI Congress, International and National Conferences (KOBICINC 2020),
14(Kobicinc 2020): 12– 15.
Saty, F. M., Affandi, M. I., & Prasmatiwi, F. E. 2017. Analisis Finansial dan Risiko Investasi
Teknologi Pisang Kultur Jaringan di Kabupaten Lampung Selatan. Jurnal Ilmu-Ilmu
Agribisnis, 4(3).
Septiani, A. H. I., Kusmiyati, F., & Kristanto, B. A. 2022. Efektivitas ekstrak daun pegagan
(Centella asiactica L.) sebagai anti kontaminan dalam pertumbuhan kultur jaringan
kentang (Solanum tuberosum L.) Varietas Tedjo MZ. Agroteknika, 5(1), 60-74.
Septiani, A. H. I., Kusmiyati, F., & Kristanto, B. A. 2022. Efektivitas ekstrak daun pegagan
(Centella asiactica L.) sebagai anti kontaminan dalam pertumbuhan kultur jaringan
kentang (Solanum tuberosum L.) Varietas Tedjo MZ. Agroteknika, 5(1), 60-74.
Setiawati, T., Zahra, A., Budiono, R., & Nurzaman, M. 2018. Perbanyakan In Vitro Tanaman
Kentang (Solanum tuberosum [L.] cv. Granola) dengan Penambahan Meta-Topolin
pada Media Modifikasi MS (Murashige & Skoog). Metamorfosa: Journal of Biological
Sciences, 5(1), 44–50.
29

Shofiyani, A., Purnawanto, A. M., Zahara, R., & Aziz, A. 2019. Pengaruh Berbagai Sterilan
dan Waktu Perendaman terhadap Keberhasilan Sterilisasi Eksplan Daun Kencur
(Kaempferia galanga L.)
Siregar, A. S. 2013. In Vitro Shoot Proliferation Of Strawberry Using Stem Plantlet Explant
Derived From Meristem Culture. Widyariset, 16(3), 473-480.
Sofian, A.A., E. Prihastanti, S. Widodo, and A. Suedy. 2018. Effect of IBA and BAP on shoot
growth of tawangmangu tangerine (Citrus reticulate) by in-vitro. Biosaintifika, 10(2):
379–387.
Sukmadjaja, D. 2014. Pengadaan Benih Tanaman melalui Teknik Kultur Jaringan. Bogor:
Taghizadeh, M., & Dastjerdi, M. G. 2020. Inhibition of Browning Problem during The
Callogenesis of Spartium junceum L. Ornamental Horticulture, 27(1), 68–77.
Volk, G. M., Bonnart, R., de Oliveira, A. C. A., & Henk, A. D. 2022. Minimizing The
Deleterious Effects of Endophytes in Plant Shoot Tip Cryopreservation. Applications in
Plant Sciences, 10(5), 11489.
Wulandari, E. 2022. Identifikasi Bakteri Kontaminan Pada Kultur Jaringan Bambu Jenis
Fargesia scabrida. Integrated Lab Journal, 10(02), 99-107.
Yasmin, Z. F., Aisyah, S. I., & Sukma, D. 2018. Pembibitan (Kultur Jaringan hingga
Pembesaran) Anggrek Phalaenopsis di Hasanudin Orchids, Jawa Timur. Buletin
Agrohorti, 6(3), 430-439.
LAMPIRAN

Dokumentasi Kegiatan
No. Kegiatan Dokumentasi
1. Memasukkan larutan stok dan aquades ke dalam beaker
glass.

2. Menghomogenkan larutan dalam magsnetic strirer.

3. Menambahkan sukrosa ke dalam larutan.

4. Mengukur pH larutan dengan pH meter.


31

5. Menambahkan agar-agar ke dalam larutan.

6. Memanaskan larutan media dalam oven.

7. Menuangkan larutan media dalam botol kultur.

8. Menutup botol kultur dengan plastik.


32

9. Sterilisasi botol kultur dalam autoclave.

10. Memotong dan mebersihkan bagian tanaman sebagai


eksplan.

11. Sterilisasi dengan larutan detergen dikocok selama 10


menit dilanjutkan pembilasan.

12. Sterilisasi dengan larutan kloroks dikocok selama 3 menit


dilanjutkan pembilasan.
33

13. Sterilisasi dengan larutan fungisida selama 5 menit


dilanjutkan pembilasan.

14. Memasukkan eksplan dalam botol berisi aquades steril


dalam LAFC.

15. Menyemprotkan alkohol pada tangan.

16. Sterilisasi alat menggunakan ethanol dan bunsen


34

17. Membersihkan eksplan yang akan ditanam dengan


scalpel dalam larutan asam askorbat.

18. Melakukan penanaman eksplan pada botol kultur

19. Menutup botol kultur berisi eksplan dengan plastic dan


karet.

20. Meletakkan botol kultur berisi eskplan pada rak kultur


35

21. Pengamatan eksplan hari ke-3

22. Pengamatan eksplan hari ke-5

23. Pengamatan eksplan hari ke-7

Anda mungkin juga menyukai