Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ubi kayu atau cassava (Manihot utilissima Pohl) merupakan salah satu

komoditas pertanian yang mendapatkan prioritas penelitian dan pengembangan

dalam program pemerintah yang diberi nama “gengsi singkong” untuk

memperkuat pangan alternatif (Kementan, 2012). Ketetapan itu dilatarbelakangi

oleh potensi ubi kayu sebagai sumber gizi dengan komposisi karbohidrat (161

Kkal), air (60%), protein, mineral, serat, kalsium, fosfat (Noerwijati dan Mejaya,

2015), penunjang diversifikasi pangan, bahan baku industry, dan menjadi

komoditi ekspor non-migas bagi Indonesia (Pramesty et al., 2017). Indonesia

menduduki posisi ke empat negara eksportir ubi kayu di dunia dengan volume

ekspor (19,9 juta ton), dibawah Nigeria (34,4 juta ton), Thailand (26,9 juta ton),

dan Brasil (26,5 juta ton) (Suherman, 2014 dalam Abdulchalek et al., 2017).

Produsi ubi kayu cenderung mengalami peningkatan dari 19.986.640 ton (2006)

menjadi 24.177.372 ton (2012) namun, pada tahun 2013 dan 2014 produksi ubi

kayu mengalami penurunan menjadi 23.936.921 ton dan 23.436.384 (Pusdantin,

2015).

Salah satu penyebab menurunnya produksi ubi kayu di Indonesia adalah

karena serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Serangga hama yang

dilaporkan menyerang tanaman singkong di lapang yaitu tungau merah, rayap,

belalang, ulat keket dan kutu putih (Kementan, 2013). Kutu putih merupakan

salah satu hama yang mengancam produksi singkong di Indonesia. Hal ini

dikarenakan serangan kutuh putih menyebabkan kehilangan hasil sekitar 30-50%

(Dwianri, 2013; Wardani, 2015). Kutu putih termasuk dalam Fillum Arthropoda,

1
Kelas Insecta, Ordo Hemiptera, Subordo Stenorrhybcha, Superfamili Coccea dan

Famili Pseudococcidae (Nurmasari, 2015). Menuruf Rauf dalam Compas.co

(2014) serangan kutu putih di Indonesia pada tahun 2014 jika dirupiahkan

mencapai Rp 900 miliar. Serangan kutu pada tanaman ubi kayu ditandai dengan

munculnya material berwarna putih dan pada permukaan daun (Nurmasari, 2015).

Kutu putih menimbulkan kerusakan tanaman karena material yang dikeluarkan

kutu putih menutupi organ tanaman sehingga menurunkan kemampuan

fotosintesis tanaman. Serangan berat menimbulkan gejala bunchytop di bagian

pucuk serta pemendekan ruas pada bagian batang singkongt, sehingga kualitas dan

kuantitas umbi ubi kayu menurun (Abdulchalek, 2016). Kutu putih merupakan

serangga hama yang memiliki kisaran tanaman inang yang luas.

William et al.,(1992) melaporkan ada 19 spesies kutu putih yang

ditemukan menyerang tanaman singkong di Amerikat Selatan. Di Indonesia

spesies kutu putih yang ditemukan menyerang tanaman singkong meliputi

Paracoccus marginatus, Ferrisia Virgata, Pseudoccu jackbeardsleyi dan

Phenacocus manihoti (Lovalini, 2016; Nurmasari, 2015). P. marginatus

merupakan hama kutu putih pada tanaman pepaya, namun hama juga ditemukan

pada tanaman singkong. Hama ini berasal dari Benua Amerika dan diperkirakan

masuk ke Indonesia pada tahun 2008 (Rauf, 2009). F.Virgata merupakan hama

yang dijumpai pada tanaman jarak pagar dan jambu mete, namun hama ini juga

mengancam tanaman singkong (Nurmasari, 2015). P .jackbeardsleyi merupakan

serangga polifag yang berasal dari Neotropical, Kanada, Amerika Serikat (Gimpel

dan Miller, 1995). P .jackbeardsleyi memiliki 47 spesies tanaman inang seperti

jeruk, jagung, cabai, singkong dan lain-lain (Guessan et al., 2014). P. manihoti

merupakan merupakan hama baru yang berpotensi menjadi ancaman di

2
pertanaman singkong di Indonesia. Pada awal tahun 1970-an, P. manihoti terbawa

masuk ke Afrika dari Brazil, Amerika Selatan yang menyebabkan kelaparan akibat

tanaman singkong gagal panen. P. manihoti ditemukan di Asia pertama kali di

Negara Thailand, dengan kehilangan hasil sekitar 30% (Muniappan et al., 2011

dalam Karyani et al., 2016).

Sampai saat ini upaya pengendalian hama kutu putih pada tanaman ubi

kayu yang dilakukan oleh petani masih bertumpu pada penggunaan insektisida.

Penggunaan pestisida secara intensif dengan konsentrasi berlebih menyebabkan

efek samping yang merugikan bagii lingkungan dan menyebabkan tingginya biaya

produksi (Nurmasari, 2015). Selain itu aplikasi insektisida juga memiliki resiko

hilangnya organisme bukan target seperti musuh alami dan menyebabkan

terjadinya resistensi serangga hama terhadap insektisida (Georghious dan Saito,

2012). Maka dari itu perlu dilakukan alternatif lain untuk mengendalikan serangan

kutu putih yang tidak menimbulkan efek samping bagi lingkungan dan petani.

Salah satu pengendalian alternatif yang telah ditelaah dan ramah lingkungan

dalam jangka panjang adalah penggunaan musuh alami. Pengendalian dengan

memanfaatkan musuh alami seperti parasitoid memberikan banyak keuntungan

karena selain aman terhadap lingkungan juga efektif menekan perkembangan

populasi hama tertentu (Hidrayani et al., 2011)

Parasitoid merupakan serangga pada fase pradewasa yang menjadi parasit

pada tubuh serangga lain (inang) yang dapat membunuh atau melemahkan

inangnya sehingga menyebabkan kematian pada inangnya (Purnomo, 2010). Salah

satu parasitoid yang dilaporkan memparasit kutu putih adalah Anagyrus lopezi

menyerang P. Manihoti dan F.Virgata (Abduchalek, et al., 2017), Acerophagus

papayae menyerang P. marginatus (Robert et al., 2015).

3
Selama ini, informasi rinci mengenai struktur komunitas kutu putih dan

parasitoid kutu putih yang berasosiasi dengan tanaman ubi kayu masih sangat

sedikit dilaporkan di Indonesia. Penelitian serta laporan mengenai struktur

komunitas kutu putih dan parasitoid yang berasosiasi dengan tanaman ubi kayu

belum pernah dilakukan di Provinsi Bali, sehingga studi tentang struktur

komunitas kutu putih dan parasitoid kutu putih yang berasosiasi dengan tanaman

ubi kayu di provinsi Bali perlu dilakukan untuk mengetahui spesies kutu putih dan

parasitoid yang berasosiasi pada tanaman ubi kayu. Struktur komunitas

merupakan suatu konsep yang mempelajari susunan atau komposisi spesies dan

kelimpahannya dalam suatu komunitas. Struktur komunitas diamati dengan

menghitung indeks nilai keragaman, keseragaman, dan dominansinya.

1.2 Rumusan Masalah

Beberapa masalah yang perlu dirumuskan dalam melaksanakan penelitian ini

antara lain :

1. Bagaimanakah struktur komunitas kutu putih dan parasitoid kutu putih yang

berasosiasi dengan tanaman ubi kayu di provinsi Bali ?


2. Bagaimanakah persentase parasitisasi parasitoid kutu putih pada masing-

masing spesies kutu putih dan indeks kesamaan parasitoid kutu putih pada

masing-masing lokasi pengambilan sampel di provinsi Bali?


3. Bagaimanakah kesesuaian spesies inang parasitoid dan tanggap fungsional

parasitoid kutu putih ?

1.3 Tujuan Penelitian

Beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

4
1. Untuk mengetahui struktu komunitas kutu putih dan parasitoid kutu putih

yang berasosiasi pada tanaman ubi kayu di provinsi Bali.

2. Untuk mengetahui persentase parasitisasi parasitoid pada masing-masing

spesies kutu putih dan indeks kesamaan parasitoid kutu putih pada masing-

masing lokasi pengambilan sampel di provinsi Bali.

3. Untuk mengetahui kesesuain spesies inang parasitoid dan tanggap fungsional

parasitoid kutu putih.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat di bidang akademis dan non

akademis.

1. Bidang akademis

a. Bagi penulis adalah untuk memperluas ilmu pengetahuan dan

pengalaman kerja di lapangan.


b. Bagi lembaga pendidikan sebagai sumber informasi mengenai

keanekaragaam kutu putih (mealybug), musuh alami (parasitoid) dan

tingkat parasitisasi parasitoid pada tanaman singkong di provinsi Bali

2.
2. Bidang non akademis
Sebagai informasi yang dapat digunakan petani sebagai pedoman

teknik pengendalian yang ramah lingkungan untuk mengendalikan kutu

putih (mealybug) di provinsi Bali.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Ubi Kayu

5
Ubi kayu merupakan tanaman perdu yang berasal dari benua Amerika

tepatnya Brazil. Ubi kayu menyebar hamper ke seluruh dunia antara lain Afrika,

Madagaskar, India dan Tiongkok (Abrori, 20016). Tanaman ubi kayu banayak

digunakan sebagai sumber pangan dan bahan baku industry (Pramesty et al.,

2017). Menurut Purwono dan Purnawati (2007) tanaman ubi kayu masuk ke

Indonesia pada tahun1852. Adapun klasifikasi tanaman bawang merah menutur

Pratama (2016) adalah sebagai berikut :

Kerajaan : Plantae

Devisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Malpighiales

Famili : Euphorbiaceace

Subfamili : Crotonoideae

Bangsa : Manihoteae

Genus : Manihot

Spesies : Manihot esculenta Crantz

Tanaman ubi kayu dapat tumbuh pada curah hujan 760 – 1.015 mm/tahun,

kelembaban udara 60-65%, penyinaran cahaya matahari 10 jam/hariserta suhu

18O C - 35O C (Abrori, 2016; Pratama, 2017; Samosir, 2016). Pada suhu di bawah

10OC pertumbuhan tanaman ubi kayu akan terhambat dan bahakan tidak akan

membentuk umbi dan curah hujan terlalu tinggi mengakibatkan terjadinya

serangan jamur dan bakteri pada batang, daun dan umbi apabila drainase kurang

baik (Pratama, 2017; Sundari, 2010). Untuk berproduksi secara maksimum

tanaman ubi kayu ditanaman pada ketinggian 150 m diatas permukaan laut (dpl)

dengan suhu 25OC - 27OC.

6
Tanaman ubi kayu dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah. Tanah yang

paling sesuai untuk tanaman ubi kayu adalah tanah berstruktur remah, gembur,

tidak terlalu liat dan kaya akan bahan organik (Abrori, 2016). Pada tanah yang

berat, perlu ditambahkan pupuk organi (Prihandana et al., 2007). Menurut

Samosir (2016) sebagaian besar pertanaman ubi kayu terdapat di daerah dengan

jenis tanah Aluvia, Latosol, Podsolik dan sebagian kecul terdapat di daerah

dengan jenis tanah Mediteran, Grumusol dan Andosol. Tanaman ubi kayu dapat

tumbuh optimal di tanah yang memiliki tingkat keasaman tanah (pH) berkisar

antara 4,5-8,0 (purwono dan Purnamawati, 2007).

Tanaman ubi kayu terdiri dari bagian batang, daun, bunga dan umbi. Batang

tanaman ubi kayu beruas-ruas, yang ketinggianyanya mecapai 3 meter lebih

dengan warna batang yang bervariasi tergantung kulit luar, namun batang yang

masih muda pada umumnya berwarna hijau dan setelah tua berubah menjadi hijau

kelabu atau coklat kelabu (Rukmana, 2000). Batang tanaman ubi kayu berlubang

yang berisi empulur berwarna putih, luna dan strukturnya seperti gabus. Tanaman

ubi kayu memiliki susunan daun berurat menjari dengan cangkap 5-9 helai. Daun

ubi kayu uang masih muda mengandung racun sianida namun masih bias

dimanfaatkan sebagai sayuran.

Tanaman ubi kayu memiliki bunga jantan dan betina yang terpisah pada

tanaman yang sama atau biasa disebut dengan bunga berumah satu. Waktu

berbunga pada saat tanaman berumur 6-18 bulan setelah tanam dan bahkan baru

dapat berbunga setelah 24 bulan setelah tanam, hal ini dipengaruhi oleh genotype

dan lingkungannya (Alves, 2002). Umbi tanaman ubi kayu terbentuk dari akar

yang berubah bentuk dan berfungsi sebagai tempat penyimpan makanan

cadangan. Bentuk umbi ubi kayu biasanya bulat memanjang, daging umbi

7
mengandung pati berwarna putiih gelap atau kuning gelap, dan tiap tanaman

menghasilkan 5-10 umbi (Rukmana, 2000).

2.2 Kutu Putih

Kutu putih singkong merupakan serangga yang termasuk dalam Filum

Arthropoda, Kelas Insecta, Ordo Hemiptera, Subordo Stenorrhyncha, Superfamili

Coccidea, dan Famili Pseudococcidae. Kutu putih memiliki lapisan lilin berwarna

putih hampir di semua bagian tubuhnya yang dikeluarkan oleh porus trilokular

pada kutikula melalui proses sekresi (Nurhayati, 2012; Wardani, 2015). Famili ini

merupakan serangga yang memiliki kisaran inang yang luas sehingga bersifat

polifag. Serangga ini menyerang beberapa jenis tanaman seperti kopi, kakao, jeruk,

manga, tebu, palem, anggrek, singkong dan berbagai tanaman buah serta tanaman

hias (Williams & Granara de Willink, 1992). Kutu putih mulai menyerang tanaman

singkong pad umur 8 minggu setelah tanam (MST) (Nurmasari, 2015). Serangga ini

pernah menyebabkan kerusakan serius pada tanaman singkong di Afrika dan Amerika

Selatan.

Kutu putih umumnya bereproduksi secara aseksual, baik secara ovivar dan

vivipara. Beberapa spesies kutu putih memiliki reproduksi vivipara dan

ovovivipar seperti Pseudococcus longispinus dan Ferrisia virgate (Williams,

1985). Selain itu ada beberapa kutu putih yang bersifat partenogenetik telitoki

yaitu keturunan yang dihasilkan adalah betina seperti Phenacoccus solani Ferris

(Williams, 1985), P. manihoti dan Phenacoccus solenopsis Tinsley (Williams,

1985; Calatayud & Le Ru,2006). Kutu putih dapat berkembang dengan optimal

pada suhu 28oC. Pada suhu diatas 35oC dan dibawah 14oC kut putih tidak dapat

berkembang (Zakaria, 2014). Kutu putih biasanya berada di batang pucuk muda

8
tanaman singkong, dibawah permukaan daun singkong dan berada didekat

pertulangan daun (Calatayud, 2006).

Menurut Williams (2004) imago betina kutu putih (Famili

Pseudococcidae) memiliki morfologi tubuh yang khas (Gambar 1). Bagian-bagian

tubuh yang dapat dijadikan pembeda untuk setiap spesies, diantaranya (Williams

& de Willink 1992; Williams & Watson 1988; Williams 2004):

1. Tubuh

Kutu putih pada umumnya memilki bentuk tubuh bulat, oval dan

memanjang. Ukuran panjang kutu putih ini sekitar 0,5-8,0 mm. Pada abdomen

bagian ventral terdapat vulva yang terletak di antara segmen VII atau VIII.

2. Mulut

Kutu putih ini mempunyai alat mulut tipe mulut bertipe menusuk dan

mengisap yang terdiri dari sebuah rostrum, sepasang stilet mandible, sepasang

stilet maksila dan sebuah labrum kecil (Rizky, 2018). Serangga ini akan

memasukan alat mulutnya ke dalam jaringan tanaman dan menghisap cairan

tumbuhan.

3. Antena

Antena merupakan organ penerima rangsangan seperti bau, rasa, raba dan panas.

Sebagian besar antenanya terdiri dari 6-9 segmen, tetapi kadang-kadang tereduksi

menjadi 2, 4, atau 5 segmen. Umumnya segmen terakhir lebih lebar dan lebih

panjang daripada segmen II dari belakang.

4. Tungkai

Tungkai merupakan bagian tubuh serangga yang digunakan untuk bergerak

dan biasanya digunakan sebagai alat berpindah tempat. Kutu putih memiliki

tungkai yang berkembang normal. Genus planococcus tidak memiliki dentikel

9
pada kuku tarsus, dan memilki porus translulen di permukaan koksa, femur atau

tibia pada tungkai belakang dan jarang pada trokanter.

4. Ostiol

Kutu putih memiliki jumlah ostiol 2 pasang, sepasang ostiol pada bagian

posterior dan sepasang pada bagian anterior yang bentuknya berupa belahan yang

terdiri dari sedikit seta dan porus trilokular. Organ ini berfungsi sebagai alat

pertahanan.

5. Cincin Anal

Organ ini terletak pada ujung abdomen bagian ventral. Cincin ini berfungsi

untuk mengeluarkan embun madu yang merupakan limbah dari pencernaan kutu

ini.

6. Porus

Umumnya famili ini memiliki 4 jenis porus yaitu:

a. Porus Trilokular.
Porus ini terdapat pada tubuh bagian ventral dan dorsal, berbentuk

segitiga, dan bentuknya akan sama pada setiap spesies yang sama. Porus

ini berfungsi untuk menghasilkan lilin


b. Lempeng Porus Multilokular.
Porus ini dapat ditemukan di sekitar vulva atau kadang-kadang terdapat

pada tubuh bagian dorsal. Porus ini berfungsi untuk membuat kantung

telur atau untuk melindungi telur-telur yang diletakkan oleh imago betina.

Spesies yang memiliki sedikit porus ini biasanya bersifat vivipar.


c. Porus Quinquelokular.
Porus ini berbentuk segi lima hanya dimiliki oleh genus Planococcus dan

Rastrococcus.
d. Porus Diskoidal.
Porus ini berupa lingkaran sederhana dan menyebar diseluruh permukaan

tubuh, kadang-kadang sebesar porus trilokular dan berbentuk cembung

10
pada segmen posterior, dorsal, dan mata. Salah satu spesies yang memilki

porus diskoidal di sekitar mata yaitu Dysmicoccus brevipes.

7. Tubular Duct.

Organ ini terdiri dari 2 bentuk yaitu: oral collar tubular duct dan oral rim

tubular duct. Oral collar tubular duct ini menghasilkan lilin untuk membentuk

kantung telur dan terdapat pada bagian ventral. Oral rim tubular duct umumnya

sering ditemukan pada serangga yang bersifat ovipar (bertelur), umumnya

bentuknya lebih besar daripada oral collar tubular duct.

8. Seta.

Bentuk seta pada famili ini bisa berbentuk kerucut, lanseolat, atau truncate.

Biasanya bentuk dan jumlah seta ini digunakan untuk mengidentifikasi spesies.

9. Vulva.

Organ ini hanya dimiliki oleh kutu putih yang telah mencapai fase imago, dan

terletak pada bagian ventral antara segmen VII dan VIII.

10 Lobus Anal.

Organ ini berbentuk bulat dan agak menonjol, terletak di sisi cincin anal dan

masing-masing lobus anal memiliki seta apikal.

11. Serari.

Organ ini hanya dimiliki oleh famili pseudococcidae dan biasanya

berjumlah 1-18 pasang serari, dan terletak di bagian sisi tubuhnya yang berfungsi

sebagai penghasil tonjolan lilin lateral. Pada bagian posterior terdapat 2 pasang

serari, yaitu serari lobus anal dan serari penultimate. Pada bagian anterior terdapat

3 pasang serari yang disebut dengan frontal, preokular, dan okular.

2.2.1 Spesies Kutu Putih

11
William et al.,(1992) melaporkan ada 19 spesies kutu putih yang ditemukan

menyerang tanaman singkong yang sebagian besar tersebar di daerah beriklim panas

dan beberapa jenis di daerah tropis. Menurut Lovalini, (2016) dan Nurmasari,

(2015) di Indonesia ada 4 spesies kutu putih yang ditemukan menyerang tanaman

singkong meliputi Paracoccus marginatus, Ferrisia Virgata, Pseudoccu

jackbeardsleyi dan Phenacocus manihoti (Abduchalek, et al., 2017).

A. Paracoccus marginatus

Kutu putih P. marginatus Williams & Granara de Willink, termasuk dalam Filum

Arthropoda, Kelas Insecta, Ordo Hemiptera, Superfamili Coccoidea, dan Famili

Pseudococcidae. P. marginatus berasal dari Benua Amerika dan diperkirakan

masuk ke Indonesia pada tahun 2008 (Rauf, 2009). Serangga ini merupakan hama

polifag (Miller et al., 1999). Di Indonesia P. marginatus awalnya ditemukan

menyerang tanaman pepaya di Kebun Raya Bogor, Jawa Barat hingga

menyebabkan ribuan pohon pepaya menurun produktivitasnya, bahkan banyak

menyebabkan kematian pada tanaman muda (Friamsa, 2009). Selain menyerang

tanaman pepaya, kutu putih P. marginatus ini dapat menyerang tanaman hias,

tumbuhan liar (gulma), dan tanaman hutan (Amarasekare et al., 2008).

P. marginatus termasuk jenis kutu-kutuan yang seluruh tubuhnya diselimuti oleh

lapisan lilin berwarna putih. Tubuh berbentuk oval dengan embelan seperti rambut-

rambut berwarna putih dengan ukuran yang pendek. Hama ini mengalami tipe

perkembangan yang berbeda antara jantan dan betina. Serangga jantan mengalami

metamorfosis sempurna (holometabola), yang terdiri dari stadium telur, nimfa, pupa

dan imago (Nurmasari, 2015). Serangga betina mengalami metamorfosis bertingkat

(paurometabola), dimana serangga betina berkembang melalui stadia telur, nimfa

instar-1, nimfa instar-2, nimfa instar-3 dan imago. Perpindahan antar stadia nimfa dan

12
imago tidak mengalami perubahan bentuk, hanya terjadi pertambahan ukuran tubuh

dan fungsi organ. Setiap pergantian stadium serangga ditandai dengan pergantian

kulit (Miller & Miller, 2002).

Menurut Miller & Miller, (2002), P. Marginatus memiliki telur berwarna hijau

kekuningan yang terbungkus dalam kantung telur (ovisac) yang memiliki panjang 3-4

kali panjang tubuh imago betina. Kantung telur terbuat dari benang-benang lilin yang

lengket, mudah melekat pada permukaan daun dan dapat diterbangkan oleh angin

(Miller & Miller 2002). Pada suhu 20-30 ºC telur mampu bertahan hingga 80-90%,

suhu optimum untuk perkembangan telur adalah 25 ºC (Amarasekare et al. 2007).

Serangga betina mampu bertelur hingga 500 butir. Telur akan menetas menjadi nimfa

stelah 10 hari (Walker et al. 2003).

Stadia nimfa pada serangga jantan dan betina memiliki ukuran yang berbeda.

Pada serangga betina instar pertama memiliki panjang tubuh kisaran 0,3-0,5 mm dan

lebar tubuh kisaran 0,2-0,3 mm. Nimfa instar kedua memiliki panjang tubuh 0,5-1,0

mm dan lebar tubuh 60,2-0,6 mm. Kutu putih pepaya instar ketiga betina memiliki

panjang 0,7-1,8 mm dan lebar tubuh 0,3-1,1 mm. Pada serangga jantan, nimfa

instar kedua jantan berwarna merah muda dan terkadang kuning, dengan panjang

tubuh 0,5-1,1 mm dan lebar tubuh 0,2-0,6 mm. Pada stadium instar ketiga hama

kutu putih pepaya jantan disebut prapupa, dengan panjang tubuh antara 0,8-1,1

mm dan lebar tubuh 0,3-0,4 mm. Stadium instar keempat serangga jantan disebut

pupa, panjang tubuh berkisar antara 0,9-1,0 mm dan lebar tubuh antara 0,3-0,4

mm Secara umum P. Marginatus instar ketiga betina ukuran tubuhnya lebih besar

dan lebih lebar dibandingkan dengan yang jantan (Miller & Miller 2002).

Imago serangga jantan P. Marginatus memiliki sepasang sayap yang berfungsi

untuk membantu saat migrasi sedangkan serangga betina tidak memiliki sayap (Miller

13
& Miller, 2002). Imago betina memiliki warna tubuh kuning sedangkan imago jantan

memiliki tubuh yang berwarna merah muda, namun terkadang kuning.

P. Marginatus merupakan serangga polifag yang memiliki tanaman inang yang

luas diantaranya pepaya, kembang sepatu, alpukat, jeruk, kapas, tomat, terong,

lada, buncis dan kacang hijau, ubi jalar, mangga, cherry, dan delima (Muniapan et

al., 2008; Walker et al., 2003). Di Indonesia, kutu putih pepaya ditemukan

menyerang 20 jenis tanaman lain selain pada tanaman pepaya (Sartiami et al. 2009).

B. Phenacocus manihoti

P. manihoti merupakan serangga yang termasuk dalam Filum Arthropoda,

Kelas Insecta, Ordo Hemiptera, Superfamili Coccidea, dan Famili Pseudococcidae.

Kutu putih P. manihoti Matile-Ferrero merupakan hama eksotik yang berasal dari

Amerika Selatan (James et al. 2000). Hama ini masuk ke Afrika pada tahun 1970-an

dan menyerang tanaman singkong yang menyebabkan kegagalan panen dan

kelaparan. Tahun 2009 P. manihoti menyebar ke Asia, yaitu pertama kali ditemukan

di Thailand (Parsa et al. 2012). Di Indonesia, P. manihoti diperkirakan sudah ada

semenjak akhir tahun 1990-an namun baru diketahui menjadi hama pada pertengahan

tahun 2010, yang menyerang pertanaman singkong di Bogor, Jawa Barat (Sartiami et

al., 2008; Muniappan et al. 2011).

P. manihoti memiliki tubuh berbentuk oval dan berwarna merah muda yang

dilapisi oleh lapisan lilin putih. Serangga ini bersifat partenogenetik yang berarti

dalam berkembang biak tidak perlu dibuahi oleh jantannya, sehingga semua

keturunan yang dihasilkan akan menjadi betina (Williams & Granara de Willink

1992). Kutu putih P. manihoti berkembang secara optimal pada suhu 28 ºC, namun

mampu hidup pada temperatur udara yang rendah yaitu 14,7 ºC. Serangga ini tidak

dapat bertahan pada suhu di atas 35 ºC (Nurmasari, 2015).

14
P. manihoti memiliki 18 pasang seta serari yang masing-masing diperluas

dengan seta yang berbentuk tumpul. Pada permukaan dorsal terdapat sedikit seta

tumpul tanpa kelompok lubang trilokular di sekeliling setanya. Porus quinquelokular

banyak terdapat pada permukaan ventral tubuhnya. Porus ini selalu berjumlah 32-68

di kepala, di area sekitar anterior lempengan klipeolabrum. Biasanya pada permukaan

dorsal ditemukan lempengan porus multilokular yang berjumlah banyak dan

terkadang terdapat juga pada bagian torak (Nurhayati, 2012). Karakter penting

lainnya yang terdapat pada P. manihoti adalah 9 segmen antena dan pada tarsus

terdapat dentikel (Williams & Granara de Wilink 1992).

Siklus hidup P. Manihoti berlangsung selama 21 hari, dari stadia tulur sampai

dengan imago. Siklus hidup P. manihoti tidak dipengaruhi oleh umur tanaman namun

siklus hidup serangga ini dapat dipengaruhi oleh varietas tanaman (Herren &

Neuenschwander, 1991). Telur P. manihoti berbentuk bulat lonjong dan berwana

kuning serta diletakkan secara berkelompok dalam kantung telur (ovisak) yang

berwarna putih. Telur P. manihoti pada tanaman singkong berukuran panjang 0.33

mm dan lebar 0.18 mm (Saputro, 2013). Imago betina mampu menghasilkan sekitar

500 telur selama hidupnya. Telur akan menetas menjadi nimfa instar-1 setelah 8 hari.

Menurut Saputro (2013), nimfa-1 P. manihoti pada tanaman singkong

berukuran panjang 0.41 mm dan lebar 0.17 mm, nimfa instar-2 memiliki panjang 0.60

mm dan lebar 0.26 mm, nimfa instar-3 memiliki panjang 0.86 mm dan lebar 0.39 mm.

Nimfa instar-1 bersifat aktif dan berperan dalam migrasi untuk membentuk koloni

baru. Perkembangan nimfa instar-1 menjadi nimfa instar-2, dan nimfa instar-2

menjadi nimfa instar-3 memerlukan waktu selama 4 hari. Perkembangan nimfa instar-

3 menjadi imago memerlukan waktu selama 5 hari. Setelah itu imago betina akan

kembali meletakan telur (Calatayud & Le Rü 2006). Perubahan antar instar ditandai

dengan adanya kulit lama (eksuvia) yang berwarna putih menempel pada permukaan

15
bawah daun atau pada bagian tanaman lainnya. Nimfa instar-1 awal tidak terlihat

adanya lapisan lilin pada tubuhnya, lapisan lilin terlihat mulai tampak jelas sejak

instar-2.

P. manihoti merupakan serangga hama yang bersifat polifag. Serangga ini

memiliki kisaran inang yang cukup luas. Menurut Miller dan Miller (2002) P.

manihoti memiliki lebih dari 25 suku tanaman yang bernilai ekonomi sebagai

inangnya, di antaranya tanaman pepaya, ubi kayu, jarak pagar, tomat, alpukat melon,

dan kembang sepatu. Selain itu, hama ini juga menyerang tanaman jambu, jagung dan

akasia.

C. Ferrisia Virgata

F. virgata atau dikenal dengan nama umum striped mealybug merupakan

salah satu spesies kutu putih yang berkembang di daerah tropis dan sub tropis.

Hama ini dapat dijumpai di Afrika, Asia dan Amerika (Kranz, et al., 1977). F.

virgata merupakan spesies kutu putih yang bersifat polifag, dimana hama ini

menyerang sekitar 150 genus dari 68 famili tanaman, terutama spesies inang dari

Fabaceae dan Euphorbiaceae. F. virgata memiliki banyak tanaman inang yang

bernilai ekonomi penting seperti alpukat, pisang, sirih, lada hitam, ubi kayu,

kacang mete, kembang kol, jeruk, kakao, kopi, dan kapas. Di Indonesia, F.

virgata ditemukan hidup pada beberapa jenis tanaman yaitu lada, lamtoro, kopi,

kakao, ubi jalar, ketela pohon, jeruk, jambu biji dan jarak pagar (Kalshoven, 1981;

Schreiner, 2000; Karmawati dan Balfas, 2008; Karmawati et al., 2008).

Imago betina F. virgata memiliki ciri yaitu adanya satu pasang filamen dari

lilin pada bagian ujung tubuh seperti ekor dengan panjang setengah dari panjang

tubuhnya, permukaan tubuh dilapisi lilin, kecuali pada bagian tengah dorsum

gundul tanpa lilin dan terdapat dua strip memanjang seperti garis di bagian sub

16
medial (Weicai Li et al.2013). Imago F. virgata berbentuk oval pipih, berwarna

abu-abu gelap hingga terang, dengan panjang tubuh 4-4.5 mm, terdapat benang

berserabut di bagian venter, lilin yang menutupi tubuhnya dapat menjadi

perlindungan diri dari predator (William & Watson 1988).

Kutu putih F. virgata berkembang secara partenogenesis. Imago betina

aktif dan mobile sepanjang hidupnya, sampai mereka mulai menghasilkan ovisak

dan bertelur. imago betina dapat menghasilkan 200–450 telur dalam waktu beberapa

jam. Sedangkan perubahan bentuk dari telur menjadi nimfa berlangsung 4–9 hari.

Untuk jantan akan menjadi imago dalam waktu 20– 60 hari setelah nimfa menetas

dan imago betina membutuhkan hanya 20–45 hari untuk menyelesaikan masa

nimfanya. Bentuk betina dan jantan dewasa cukup berbeda. Perkembangan nimfa

melalu tiga tahapan instar dengan stadium nimfa betina 43.2–92.6 hari dan lama

hidup imago mencapai 36-53 hari. Sedangkan stadium nimfa jantan sekitar 25.4

hari dengan lama hidup imago 1-3 hari (Awadallah et al. 1979; CABI 2013).

Seperti kutu putih lainnya, tahap penyebaran utama F. virgata adalah pada instar

pertama yang dapat secara alami tersebar oleh angin dan hewan. Kutu ini F.

virgata merupakan serangga hama yang berfungsi sebagai vektor virus sehingga

bagian tanaman juga dapat menjadi keriting karena terserang virus cocoa Trinidad

virus (CTV) (CAB, 2013).

D. Pseudococcus Jackbeardslyei

Kutu putih P. jackbeardsleyi (Gimpel-Miller) (Hemiptera: Pseudococcidae)

merupakan salah satu hama yang sering ditemukan pada tanaman ubi kayu. P.

jackbeardsleyi telah tersebar di seluruh wilayah negara-negara tropis dan beberapa

negara di Asia Selatan (Williams dan Watson 1988). Kutu putih ini masuk ke

Singapura pada tahun 1958, beberapa wilayah Asia Tenggara tahun 1970-an, dan

17
Maldives pada tahun 1994 (Gimpel dan Miller 1996). Kutu putih Jackbeardsley

masuk ke Indonesia tahun 1973 (Williams 2004; Muniappan 2011).

Imago betina P. jackbeardsleyi berbentuk oval, agak bulat jika terlihat dari

bagian lateral dan berwarna keabu-abuan. Seluruh tubuh imago dipenuhi filamen

lilin tipis, pada masing-masing bagian lateral terdapat 17 filamen dan pada bagian

ujung terdapat sepasang filamen yang panjangnya sekitar setengah dari panjang

tubuh dan terkadang tertutup ovisak (Shylesha 2013). Secar morfologi P.

jackbeardsleyi memiliki ciri-ciri antena yang terdiri atas 8 ruas, tungkai

berkembang baik terdapat pori translusen pada femur dan tibia tungkai belakang.

Pori diskoidal terdapat di dekat mata pada bagian sclerotised rim. serari terdiri

atas 17 pasang, serari lobus anal dengan 2 seta konikal dan terdapat banyak pori

trilokular pada sclerotised area. Serari lainnya terdapat pada area membran,

kemudian serari anterior dengan seta relatif kecil dengan 2-3 seta tambahan

Permukaan atas tubuh kutu putih dipenuhi secara merata dengan seta berukuran

kecil (Mani et al., 2013).

Biologi kutu putih ini umumnya memerlukan waktu selama sekitar satu

bulan untuk dapat menyelesaikan satu genarasi hidupnya. Imago betinanya

mampu meletakkan telur sebanyak 300 sampai 600 telur di dalam ovisak. Dalam

kondisi rumah kaca telur dapat menetas sekitar 10 hari. Nimfa yang baru keluar

dari telur mulai aktif mencari makanan, dan tubuhnya mulai mengeluarkan lilin

putih membentuk filamen untuk menutupi tubuhnya. Pertumbuhan nimfa hingga

menjadi imago betina hanya mengalami perubahan pada ukuran tubuhnya saja,

sedangkan nimfa yang akan menjadi imago jantan, setelah nimfa instar III, nimfa

akan membentuk pupa dan muncul imago jantan. Imago jantan berukuran sangat

kecil dan memiliki sepasang sayap (Mau & Kessing 2000). Kutu putih ini

18
mengeluarkan cairan seperti gula cair yang selanjutnya dapat menarik semut

hitam dan menyebabkan timbulnya jelaga pada tanaman.

2.2.2 Perbedaan Karakter P. manihoti, P. marginatus, F. virgata dan P.

Jackbeardslyei

P. manihoti, P. marginatus, F. virgate dan P. Jackbeardslyei memiliki

beberapa pernedaan karakter morfologi menurut Osborne (2010), yakni P.

manihoti memiliki Tubuh berwarna merah muda, memiliki ovisac atau kantung

telur , memiliki 18 pasang seta serari yang masing-masing diperluas dengan seta

yang berbentuk tumpul. Pada permukaan dorsal terdapat sedikit seta tumpul tanpa

kelompok lubang trilokular di sekeliling setanya. Porus quinquelokular banyak

terdapat pada permukaan ventral tubuhnya. Porus ini selalu berjumlah 32-68 di

kepala, di area sekitar anterior lempengan klipeolabrum, dan bersifat

partenogenik. P. marginatus tidak memiliki filamen di sepanjang tubuh, Tubuh

berbentuk oval dengan embelan seperti rambut-rambut berwarna putih dengan

ukuran yang pendek, memiliki telur berwarna hijau kekuningan yang terbungkus

dalam kantung telur (ovisac) yang memiliki panjang 3-4 kali panjang tubuh imago

betina. F. virgata memiliki karakter morfologi antara lain terdapat benang-benang

kecil di pinggiran tubuhnya, terdapat dua garis hitam di punggungnya, cairan

tubuh berwarna terang, tidak memproduksi ovisac, terdapat satu pasang filamen

dari lilin pada bagian ujung tubuh seperti ekor dengan panjang setengah dari

panjang tubuhnya, permukaan tubuh dilapisi lilin, kecuali pada bagian tengah

dorsum gundul tanpa lilin dan terdapat dua strip memanjang seperti garis di

bagian sub medial (Weicai Li et al.2013). Sedangkan P. Jackbeardslyei memiliki

19
ciri-ciri antena yang terdiri atas 8 ruas, tungkai berkembang baik terdapat pori

translusen pada femur dan tibia tungkai belakang. Pori diskoidal terdapat di dekat

mata pada bagian sclerotised rim. serari terdiri atas 17 pasang, serari lobus anal

dengan 2 seta konikal dan terdapat banyak pori trilokular pada sclerotised area.

Imago betina P. jackbeardsleyi berbentuk oval, agak bulat jika terlihat dari bagian

lateral dan berwarna keabu-abuan (Mani et al., 2013).

2.2.2 Gejala Serangan Kutu Putih

Secara umum gejala kerusakan yang ditimbulkan oleh kutu putih adalah

keriting pada bagian tunas daun, daun menguning, perubahan bentuk pada batang,

roset pada titik tumbuh dan kematian pada tanaman muda (Belloti et al. 2003).

Serangan berat dapat mengakibatkan daun gugur (Calatayud & Le Rü 2006).

Hama ini juga menghasilkan embun madu yang kemudian ditumbuhi cendawan

jelaga sehingga tanaman yang diserang akan berwarna hitam. Kehilangan hasil

akibat serangan kutu putih singkong dapat mencapai 68-88% bergantung pada

kultivarnya.

2.4 Parasitoid Kutu Putih

Parasitoid adalah serangga yang stadia pradewasanya menjadi parasit pada

atau didalam tubuh serangga lain, sementara imago hidup bebas mencari nektar

atau embun madu sebagai makanannya. Parasitoid merupakan salah satu musuh

alami yang sering dimanfaatkan diberbagai Negara sebagai pengendali hayati

hama kutu putih. Pengendalian hayati merupakan salah satu strategi PHT yang

menawarkan solusi pengendalian hama yang lebih ramah terhadap lingkungan

(Rauf, 2000). Ada beberapa parasitoid yang diketahui memparasit kutu putih

20
antara lain Apoanagyrus (Epidinocarsis) lopezi De Santis (Hymenoptera:

Encyrtidae) dan Allotropa sp. (Hymenoptera: Platygasteridae). Parasitoid

Allotropa sp. diketahui pernah dilepaskan di beberapa Wilayah di Afrika, tetapi

keberadaannya tidak ditemukan kembali di beberapa wilayah tempat parasitioid

tersebut dilepaskan. Sedangkan A. lopezi mampu berkembang biak dengan baik

dan mampu menurunkan populasi P. manihoti di 26 negara di Afrika

(Neuenschwander, 2001).

Sebagian besar parasitoid serangga berada dalam Ordo Hymenoptera.

Dengan subordo Symphyta (golongan Sawflies) dan Apocrita (golongan semut,

tabuhan, lebah dan parasitic wasps) (Purnomo, 2009).

2.4 Struktur Komunitas

Struktur komunitas merupakan suatu konsep yang mempelajari sususan

atau komposisi spesies dan kelimpahannya dalam suatu komunitas (Schowalter,

1994). Untuk menggamabarkan struktur komunitasm ada tiga pendekatan yang dapat

digunakan yaitu keanekaragaman spesies, kelimpahan populasi dan dominasi spesies.

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

21
Gambar 3.1 Kerangka Berpikir Penelitian

3.2 Konsep Penelitian

Struktur komunitas kutu putih dan parasitoid


kutu putih yang berasosiasi pada tanaman
singkong

22
Penelitian Lapangan

Survei pada lahan tanaman ubi kayu di


provinsi bali

Struktur komunitas kutu putih


-Keragaman
Kelimpahan
-Dominasi

Penelitian Laboratorium
Parasitoid Kutu Putih Tanggap Fungsional
(Metode Eksperimental)
-Keragaman parasitoid terhadap
Kelimpahan spesies kutu putih
-Dominasi
-Parasitisasi

Gambar 3.2 Konsep Penelitian

3.3 Hipotesis Penelitian

Beberapa hipotesis yang diajukan akan dibuktikan dalam penelitian ini.

Hipotesis-hipotesis tersebut adalah sebagai berikut :

23
1. Terdapat perbedaan struktur komunitas kutu putih (mealybug) dan

parasitoid kutu putih (mealybug) pada masing-masing lokasi di provinsi

Bali.

2. Terdapat perbedaan persentase parasitisasi parasitoid pada masing-masing

spesies kutu putih (mealybug) pada masing-masing lokasi di provinsi Bali.

3. Terdapat perbedaan kesesuaian parasitoid kutu putih pada masing-masing

spesies dan tanggap fungsional parasitoid kutu putih (mealybug) ?

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Tempat dan Waktu Penelitian

24
Penelitian ini dilakukan melalui dua tahap penelitian. Penelitian tahap

pertama dilakukan di lapang dan tahap kedua dilakukan di laboratorium.

Penelitian lapang dilaksanakan di lahan ubi kayu milik petani di Provinsi Bali,

yang bertujuan untuk mengetahui struktur komunitas kutu putih yang berasosiasi

dengan ubi kayu. Penelitian laboratorium dilaksanakan di Laboratorium

Pengelolaan Hama Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Udayana yang

bertujuan untuk mengetahui struktur komunitas parasitoid yang berasosiasi

dengan kutu putih. Penelitian dimulai pada Januari 2019 sampai dengan Maret

2018.

4.2 Alat dan Bahan.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitiap ini meliputi : mikroskop, cawan

petri, pinset, kuas, gunting, kain kasa yang memiliki ukuran 10 cm x 20 cm, kertas

label, alat pengukur ketinggian tempat (altimeter), kamera, kantong plastik

berukuran 30 cm x 45 cm, karet gelang dan gelas plastik berukuran 14 oz yang

memiliki tinggi 15 cm dengan diameter 10 cm.

Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah hama kutu putih,

tanaman ubi kayu, cairan madu dan alkohol 95 % yang digunakan untuk

mengawetkan spesimen..

4.3 Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian terdiri dari beberapa tahapan diantaranya : 1)

Persiapan Penelitian, 2) Pengambilan sampel kutu putih dari lahan, 3.) Identifikasi

kutu putih, 4) Koleksi dan Identifikasi parasitoid kutu putih, 5) Uji tanggap

fungsional parasitoid.

25
4.3.1 Persiapan Penelitian

Persiapan penelitian meliputi kegiatan penyiapan, pembelian dan

pembuatan alat dan bahan yang akan digunakan selama penelitian ini seperti

membeli gunting, menyiapkan tanaman ubi kayu, mikroskop dan lain-lain serta

mencari refrensiyang nanti dapat digunakan dalam proses identifikasi kutu putih

dan parasitoid kutu putih.

4.3.2 Pengambilan Sampel Kutu Putih Dari Lahan

Eksplorasi kutu putih dan parasitoid kutu putih diperoleh dengan cara

mengambil sampel kutu putih di beberapa lahan tanaman ubi kayu di provinsi

Bali. Penentuan sampel di masing-masing kabupaten dilakukan dengan diagonal

sampling. Metode pengambilan sampel kutu putih disetiap unit sampel dilakukan

dengan metode purposive sampel (Pangestu, 2017). Sampel yang diambil adalah

bagian tanaman singkong yang terdapat kutu putih. Sampel yang diambil

kemudian dimasukan ke dalam plastik berukuran 30 cm x 45 cm dan dilabel sesuai

dengan nama tanaman, nama tempat, ketinggian tempat dan tanggal pengambilannya.

Sampel kemudian dibawa ke Lab PHT untuk dilakukan identifikasi keragaman,

kelimpahan dan dominasi kutu putih.

4.3.3 Identifikasi Kutu Putih

Kutu putih yang telah diambil kemudian dilakukan identifikasi di lab

agar mengetahui spesies kutu putih tersebut. Identifikasi kutu putih dilakukan

dengan cara mengamati karakter morfologi seperti warna, lapisan lilin, dan seta.

Identifikasi dilakukan secara langsung dengan mata dan diamati dibawah

mikroskop agar morfologi kutu putih dapat dilihat secara jelas. Berdasarkan

karakter morfologi tersebut kemudian dicocokan dengan buku-buku, jurnal dan

26
artikel-artikel yang membahas mengenai identifikasi kutu putih, sehingga dapat

diketahui family sampai spesies masing-masing kut putih tersebut.

4.3.4 Identifikasi Parasitoid Kutu Putih

Sampel kutu putih yang telah diperoleh dilapang kemudian dimasukan

kedalam dimasukkan kedalam masing-masing gelas plastik bening berukuran 14 oz

yang memiliki tinggi 15 cm dengan diameter 10 cm. Masing-masing gelas plastic

diisini kutu putih sebanyak 20 ekor sesuai dengan spesiesnya. Selanjutnya ditutup

dengan kain kasa berukuran 20 cm x 20 cm dan diikat dengan karet gelang.

Kemudian gelas plastik diberi label sesuai dengan nama spesies, nama tempat,

ketinggian tempat dan tanggal pengambilannya. Kutu putih yang berada di dalam

gelas plastik akan dipelihara sampai parasitoid muncul. P arasitoid yang telah muncul

kemudian diambil menggunakan alat aspirator. Parasitoid yang telah diambil

kemudian diawetkan dengan cairan alcohol 80% (Noyes, 1982) untuk identifikasi

dan sebagian lagi diperbanyak untuk melakukan uji kesesuaian spesies inang dan

tanggap fungsional.

Identifikasi parasitoid dilakukan dengan cara mengamati karakter

morfologi seperti sayap, antena, dan bentuk abdomen (Peangestu, 2017).

Berdasarkan hasil identifikasi kemudian dicocokan, jurnal yang membahas

mengenai identifikasi parasitoid dan buku identifikasi parasitoid kutu daun

sehingga diketahui famili hingga genus dari masing-masing parasitoid. Buku yang

digunakan dalam proses identifikasi adalah “Hymenoptera Of The World: An

Identification Guide To Families” (Goulet and Huber, 1993) dan “Oriental

Mealybug Parasitoids of the Anagyrini (Hymenoptera Encyritdae)(Hymenoptera :

Encyrtidae) (Noyes, 1994).

27
4.3.5 Uji Kesesuaian Spesies Inang Parasitoid dan Tanggap Fungsional

Parasitoid.

Pengujian keseuaian spesies inang dilakukan dengan cara menguji

parasitoid yang ditemukan dilapangan pada beberapa spesies kutu putih. Contoh

diitemukan parasitoid A. lopezi pada spesies kutu putih P. manihoti kemudian kita

lakukan uji kesesuaan inang pada spesies kutu putih yang lain yang ditemukan

dilapangan. Pengujian dilakukan dengan cara memasukan kutu putih instar 3

sebanyak 30 individu P. manihoti, F. virgate, P. marginatus dam p. jackbeardsleyi

diinfestasikan pada daun tanaman singkong dan diletakan di gelas plastic dengan

bagian atasnya tetutup kain kasa. Selanjutnya 3 individu A. lopezi betina yang

berumur satu hari dan sudah ber kopulasi dipaparkan ke dalam kurungan selama

24 jam dan setelah itu parasitoid dikeluarkan (Karyani et al., 2016). Kutu putih

dibiarkan hidup pada daun ubi kayu dan diamati sampai imago parasitoid muncul.

Pengaruh perbedaan spesies kutu putih terhadap banyaknnya imago parasitoid

yang muncul dianalisis dengan uji Kruskal-Wallis.

Tanggap fungsional merupakanan salah satu ukuran yang digunakan untuk

menentukan keefektifan suatu parasitoid atau predator dalam pengendalian hayati

(Nelly et al., 2005). Tanggap fungsional merupakan komponen yang sangat

esensial dalam dinamika interaksi parasitoid dan inang, karena dapat memberikan

gambaran mengenai potensi parasitoid dalam mengendalikan popuulasi inangnya

(Wyckhuyset al., 2014).

Pengujian tanggap fungsional dilakukan dengan beberapa tingkat

kerapatan 5, 10, 15, 30, 35 nimfa kutu putih instar 3. Masing-masing diletakan

pada daun tanaman singkong. Kemudian dimasukan spesies parasitoid berumur

28
satu hari dan sudah ber kopulasi dipaparkan ke dalam wadah plastik selama 24

jam dan setelah itu parasitoid dikeluarkan (Karyani et al., 2016). Adapun

percobaan yang dilakukan pada penelitian ini mencakup (1) jumlah inang yang

diparasit oleh parasitoid (2) pengaruh kerapatan inang parasitoid terhadap

parasitisasi parasitoid. Kemampuan parasit parasitoid terhadap inang dihitung

berdasarkan jumlah yang terparasit oleh parasitoid tersebut.

4.4 Variabel Pengamatan

4.4.1 Keanekaragaman Spesies kutu putih dan parasitoid

Keragaman kutu putih dan parasitoid parasitoid kutu putih yang

berasosiasi dengan ubi kayu dianalisis menggunakan indeks keragaman Shannon-

Wienner. Rumus indeks keragaman Shannon – Winner (Metcalf and Luckmann,

1975) sebagai berikut :

H’ = - Σ Pi log Pi

= -Σ (ni/N log ni/N)

Keterangan :

H’ = Indeks keragaman

Pi = ni/N ( jumlah individu jenis ke I dibagi total jumlah individu).

ni = Jumlah individu jenis ke i

N = Total jumlah individu

Nilai indeks :

<1,5 : Keragaman Rendah

1,5-3,5: Keragaman Sedang

>3,5 : Keragaman Tinggi

4.4.2 Kelimpahan kutu putih

29
Kelimpahan dihitung dengan menggunakan rumus dalam Odum (1993),

yaitu:

KR = 𝑛� � � 100 %

Keterangan:

KR = Kelimpahan Relatif

ni = Jumlah individu spesies ke-i

N = Jumlah individu seluruh spesies

4.4.3 Indeks Dominasi kutu putih

Menurut Simpson (1949) dalam Odum (1993) indeks dominansi ini dapat

dihitung dengan rumus:

C = (ni/N)2

Keterangan:

C = Indeks dominansi Simpson

ni = jumlah total individu jenis ke- i

N = jumlah seluruh individu dalam total n

Pi = ni/N = sebagai proporsi jenis ke-i

4.4.4 Persentase Parasitisasi Parasitoid

Variabel yang diamati dalam Persentase parasitasi parasitoid adalah jumlah

kutu daun yang didapatkan dan jumlah kutu daun yang diindikasi terserang

parasitoid. Persentase parasitasi parasitoid menggunakan rumus dari Sasmita dan

Baehaki (1997)

30
Persentase Parasitisasi =

Persentase parasitisasi digunakan untuk menghitung kemampuan

parasitoid dalam memparasiti kutu daun (Utami et al., 2014).

4.4.5 Indeks Similaritas/ Kesamaan (IS)

Perhitungan Indeks Kesamaan spesies Sorensen dilakukan dengan

menggunakan rumus (Krebs, 1989) :

IS = 2�/�+� x 100%

Keterangan :

IS = Indeks Kesamaan Spesies-Sorensen

A = Jumlah Spesies kutu putih/parasitoid kutu putih di lokasi 1

B = Jumlah Spesies kutu putih /parasitoid kutu putih di lokasi 2

C = Jumlah spesies kutu putih/parasitoid yang sama di kedua lokasi yang

dibandingkan.

Nilai Indeks Kesamaan dibagi dalam dua kriteria yaitu jika nilai Indeks >

50% maka kesamaan spesies tinggi pada habitat yang dibandingkan dan jika nilai

indeks < 50% berarti kesamaan spesies rendah.

4.5 Analisis Data

Data penelitian hasil uji parasitisasi parasitoid kutu putih terhadap spesies

kutu putih dianalisis dengan sidik ragam menggunakan uji F pada taraf 5%.

Apabila pengaruh perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata dibandingkan

kontrol maka analisis dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf

5%. Sementara hasil penelitian tanggap fungsional dianalisis dengan tiga model

31
regresi (linear, logaritmik, dan eksponensial) untuk menetukan tipe tanggap

fungsional yang ditunjukkan oleh predator terhadap peningkatan jumlah mangsa,

berdasarkan nilai R2 terbesar dan galat baku terendah dari masing-masing

persamaan regresi tersebut. Setelah penetapan tipe tanggap fungsional tersebut

maka dilanjutkan dengan penentuan nilai a (waktu pencarian mangsa) dan Th

(waktu penangan satu mangsa) menggunakan rumus tanggap fungsional terpilih

(Holling,1959).

32
DAFTAR PUSTAKA

Abduchalek, B.2016. Kutu Putih Singkong Phenacoccus Manihoti Matile-Ferrero


(Hemiptera: Pseudococcidae):Persebaran Geografi Di Pulau Jawa Dan
Rintisan Pengendalian Hayati. Skripsi. Ipb.
Abduchalek, B., Aunu, R, & Pudjianto. 2017. Kutu Putih Singkong, Phenacoccus
Manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae): Persebaran
Geografi Di Pulau Jawa Dan Rintisan Pengendalian Hayati. J. Hpt Tropika.
Vol. 17, No. 1: 1 – 8.
Abrori.A.F. 2016. Pertumbuhan Dan Produksi Ubi Kayu (Manihot Esculentacrantz)
Pada Sistem Tumpang Sari Dengan Engkuang (Pachyrhizus Erosus L.).
Skripsi. Ipb.
Alves, A.A.C. 2002. Cassava Botany and Physiology. In Cassava : Biology,
Production and Utilization, eds Hillocks, R.J., Thresh, J.M. and Belloti,
A.C., New York CAB International, pp. 67-89.Amarasekare KG, Chong
JH, Mannion CM, Epsky ND. 2007. Effect of temperature on the biology
of Paracoccus marginatus Williams and Granara de Willink (Hemiptera:
Pseudococcidae). J. Econ. Entomol. 101(6): 1798-1804.
Amarasekare KG, Mannion KM, Osborne LS, Epsky ND. 2008. Life history of
Paracoccus marginatus (Hemiptera: Pseudococcidae) on four host plant
species under laboratory conditions. Environ Entomol. 37: 630-635.
Awadallah KT, Ammar ED, Tawfik MFS, Rashad A. 1979. Life-history of the white
mealy-bug Ferrisia virgata (CKLL.) (Homoptera, Pseudococcidae)
[abstrak]. Deutsche Entomologische Zeitschrift. [internet]. [diunduh 2014
Jun15];26(13):101111.Doi:10.1002/mmnd.19790260111.Tersediapada:http:
//onlinelibrary.wileyom/doi/10.1002/mmnd.19790260111/abstract;jsessioni
d=ED4881899D337E78395975AD8098A351.f03t02?
deniedAccessCustomisedMessage=&userIsAuthenticated=false.Kranz, J.,
H. Schumutterer and W. Koch. 1977. Diseases, pests and weeds in tropical
crops. John Wiley and Sons. New York. 9 p

33
CABI. 2008. Data sheet Invasive species compendium: Epidinocarsis lopezi.[diunduh
2014 Apr 15]. Tersedia pada: http://www.cabi.org/isc/ datasheet/21498.
Calatayud. 2006. The intrinsic rate of natural increase of an insect population. Journal
of Animal Ecology. 17 : 15-26.

Dwianri, I. 2013. Praktek Budi Daya Dan Persepsi Petani Ubi Kayu Terhadap Hama
Kutu Putih Phenacoccus Manihoti Di Kabupaten Bogor. Skripsi. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Georghiou, G. P., Saito. T. 2012. Pest Resistance To Pesticides. Plenum Press. New
York. 890p
Gimpel, W. F., Andmiller, D. R. 1996. Systematic Analysis Of The Mealybugs In The
Pseudococcus Maritimus Complex (Homoptera: Pseudococcidae). Contrib.
Entomol. Intl. Assoc. Publ. 2: 1-163
Hidrayani, R. Rusli, Dan Y. S. Lubis. 2013. Keanekaragaman Spesies Parasitoid Telur
Hama Lepidopteradan Parasitisasinya Pada Beberapa Tanaman Di
Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Jurnal Natur Indonesia. 15(1), Februari
2013: 9–14.
James B, Yaninek J, Neuenschwander P, Cudjoe A, Modder W, Echendu N, Toko M.
2000. Pest Control in Cassava Farms. International Institute of Tropical
Agriculture.
Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. PT. Ichtiar Baru-Van
Hoeve. Jakarta.
Karmawati, E. dan R. Balfas. 2008. Pengendalian kutu daun dengan pestisida nabati.
Info Tek Jarak Pagar 3(7) :27.
Karmawati, E., Widi Rukmini dan R. Balfas. 2008. Inventarisasi dan identifikasi
hama utama pada tanaman jarak pagar serta pengendaliannya secara ramah
lingkungan. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri 14(3) :
23-25.
Karyani, R, D., Nina, M., Dan Rauf, A. 2016. Pengujian Kekhususan Inang
Parasitoid Anagyrus Lopezi (De Santis) (Hymenoptera: Encyrtidae) Pada

34
Empat Spesies Kutu Putih Yang Berasosiasi Dengan Tanaman Singkong.
Jurnal Entomologi Indonesia. Vol. 13 No. 1, 30–39.
Kementrian Pertanian (Kementan), 2012. Di Akses Melalui
Ttp://Www.Ekon.Go.Id/News/Singkong-Dapat-Perkuat-Ketahanan-Pangan
Diakses 24 September 2018
Kompas.Com. 2014. Serangan Kutu Putih Bikin Indonesia Tekor Rp 900
Miliar.Https://Sains.Kompas.Com/Read/2014/09/24/2010024/Serangan.Ku
tu.Putih.Bikin.Indonesia.Tekor.Rp.900.Miliar. Diakses 2018.
Lovalini, D. 2016. Jenis dan Tingkat Serangan hama Kutu Putih dan Tungau Merah
pada tanaman Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) di Kota Padang.
Mani M, Joshi S, Kalyanasundaram M, Shivaraju C, Krishnamoorhy A, Asokan R,
Rebijith KB. 2013. A new invasive jack beardsley mealybug,
Pseudococcus jackbeardsleyi (Hemiptera: Pseudococcidae) on papaya in
India. Florida Entomologist. 96(1): 242-245.
Mau RFL, Kessing JLM. 2000. Crop knowledge master: Pseudococcusjackbeardsleyi
Gimpel and Miller [internet]. [diunduh 2014 Jun 01]. Tersedia pada:
http://www.extento.hawaii.edu/kbase/crop/type/p_jackbe.htm.
Miller DR, Williams DJ, Hamon AB. 1999. Notes on a new mealybug (Hemi-ptera:
Coccoidea: Pseudococcidae) pest in Florida and the Caribbean: the papaya
mealy bug, Paracoccus marginatus Williams and Granara de Willink.
Insecta Mundi 13 (no. 3-4): 178-181.
Miller DR, and Miller GL. 2002. Redescription of Paracoccus marginatus Willink
(Hemiptera: Coccidae: Pseudococcidae) Including Descriptions of the
Immature Stage and Adult Male. Proc. Entamol. Soc. Wash. 104: 1-23
Muniappan R, Shepard BM, Watson GW, Carner GR, Sartiami D, Rauf A, and
Hammig MD. 2008. First Report of the papaya mealy bug, Paracoccus
marginatus (Hemiptera: Pseudococcidae), in Indonesia and India. J. Agric.
Urban Entomol. 25(1): 37-40.
Muniappan R, Shepard BM, Watson W, Carner GR, Rauf A, Sartiami D, Hidayat P,
Afun JVK, Goergen G, Ziaur Rahman AKM. 2011. New records of

35
invasive insects (Hemiptera: Sternorrhyncha) in Southeast Asia and West
Africa. J Agric Urban Entomol. 26(4):167-174.
Nelly.N., Trimurti.H., Rahmat.S.,, Sahari., Damayanti.B. 2005. Tanggap Fungsional
Parasitoid Eriborus Argenteopilosus (Cameron) Terhadap Crocidolomia
Pavonana (Fabricius) Pada Suhu Yang Berbeda. Jurnal Entomologi
Indonesia. Vol. 13 No. 1, 30–39.
Neuenschwander P. 2001. Biological control of the cassava mealybug in Africa: a review.
Biological Control 21:214–229.
Noerwijati, S, K, Mejaya, I, M, J. 2015. Penampilan Tujuh Klon Harapan Ubi Kayu
Di Lahan Kering Masam. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian
Tanaman Aneka Kacang Dan Umbi Tahun 2015, Bogor, Pp. 521-527
Noyes, J. S. 1982. Collecting And Preserving Chalcid Wasps (Hymenoptera:
Chalcidoidea). Natural History. 16. 315-334.
Nurmasari, F. 2015. Keanekaragaman Kutu Putih Dan Musuh Alami Pada Tanaman
Singkong (Manihot Esculenta Crantz). Tesis. Universitas Jember.
Nurhayati,A.2012. Insidensi Cendawan Entomophthorales Pada Kutu Putih Pepaya
Dan Singkong (Hemiptera: Pseudococcidae) Di Wilayah Bogor.
Skripsi.IPB
Pangestu, W,W., 2017. Komposisi Spesies Parasitoid Kutu Daun Pada Beberapa Jenis
Tanaman Inang. Skripsi. Universitas Jember.
Parsa S, Kondo T, Winotai A. 2012. The cassava mealybug (Phenacoccus manihoti)
in Asia: first records, potential distribution, and identification key
[Internet]. Plos One. 7(10):e47675. doi: 10.1371/journal.pone.0047675.
Pramesti .F.Surya., Endang.S.R, Agustono. 2017. Analisis Daya Saing Ubi Kayu
Indonesia Di Pasar Internasional. J. Sepa. Vol.14. No.1. Hal :1-7.
[Pusdatin] Pusat Data Dan Sistem Informasi Pertanian. 2015. Outlook Ubi Kayu.
Jakarta: Kementerian Pertanian.
Purnomo, H. 2010. Pengantar Pengendalian Hayati. Yogyakarta : Penerbit Andi.
Rani Dessy Karyani1, Nina Maryana2, Aunu Rauf. 2016. Pengujian Kekhususan
Inang Parasitoid Anagyrus Lopezi (De Santis) (Hymenoptera: Encyrtidae)

36
Pada Empat Spesies Kutu Putih Yang Berasosiasi Dengan Tanaman
Singkong. Jurnal Entomologi Indonesia. Vol. 13 No. 1, 30–39
Rauf A. 2009. Pest Risk Analysis: Paracoccus Marginatus.Departemen Proteksi
Tanaman.Fakultas Pertanian Ipb, Bogor.
Rizky,M. 2018. intensitas serangan dan populasi hama utama pada ubi kayu (manihot
esculenta crantz) dengan perlakuan pupuk zincmikro. Skripsi. Universitas
Lampung
Robert W. Tairas, Max Tulung Dan Jantje Pelealu.2015. Musuh Alami Kutu Putih
Paracoccus Marginatus Williams & Granara De Willink, (Hemiptera:
Pseudococcidae) Pada Tanaman Pepaya Di Minahasa Utara. Eugenia.
Volume 21 No. 2. Hal 62-69.
Rukmana, R. 2000. Ubikayu: Budidaya dan Pascapanen. Kanisius. Yogyakarta. 82
hlm.
Samosir. R.A.2016. Tanggap Tanaman Ubi Kayu (Manihot Esculenta Crantz)
Terhadap Induksi Pembungaan Dini Akibat Jarak Waktu Penyiraman.
Skripsi. Universitas Lampung.
Sartiami D, Dadang, Anwar R, Harahap IS. 2009. Persebaran Hama Baru Paracoccus
marginatus di Propinsi Jawa Barat. Di dalam: Buku Panduan Seminar
Nasional Perlindungan Tanaman. Bogor, 5-6 Agustus 2009.
Saputro AR. 2013. Biologi dan potensi peningkatan populasi kutu putih singkong,
Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae), hama
pendatang baru di Indonesia [skripsi]. Bogor (ID): IPB.
Sartiami D, Dadang, Anwar R, Harahap IS. 2009a. Persebaran hama baru Paracoccus
marginatus di Provinsi Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta. Di dalam:
Prosiding Seminar Nasional Perlindungan Tanaman; Bogor, 5-6 Agustus
2009. Bogor: Pusat Kajian Pengendalian Hama Terpadu IPB. hlm 453-462
Schreiner, I. 2000. Striped mealybug (Ferrisia virgata (Cockerell)). ADAP 200-18.
Reissued August 2000.
Sundari.T. 2010. Pengenalan Varietas Unggul dan Teknik Budidaya Ubi Kayu.
Report No. 55. STE. Final.

37
Suherman M. 2014. Kebijakan Pengembangan Singkong Di Indonesia. Di Dalam:
Seminar Kutu Putih Vsparasitoid: Pengelolaan Hama Asing Invasive
Berbasis Ekologi. Bogor 24 September 2014.
Walker A, Hoy M, Meyerdirk D. 2003. Papaya mealybug (Paracoccus marginatus
Williams and Granara de Willink (Insecta: Hemiptera: Pseudococcidae).
Featured creatures. Entomology and Nematology Department, Florida
Cooperative Extension Service, Institut of Food and Agricultural Sciences,
University of Florida, Grainesville, FL.
Wardani N. 2015. Kutu Putih Ubi Kayu, Phenacoccus Manihoti Matile-Ferrero
(Hemiptera: Pseudo-Coccidae), Hama Invasif Baru Di Indonesia.
Disertasi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Williams Dj, Granara De Willink Mc. 1992. Mealybugs Of Central And South
America. Wallingford, Oxon, United Kingdom: Cab International.
Wyckhuys.K., Rauf.A., Ketelaar.J. 2014. Parasitoids Introduced Into Indonesia: Part
Of A Region-Wide Campaign To Tackle Emerging Cassava Pests And
Diseases. Biocontrol News And Information 35:35n–38n.
Zakaria F. 2010. Pengendalian Kutu Putih Phenacoccus manihoti, Hama “Impor”
Baru pada Tanaman Ubi Kayu.
.

38

Anda mungkin juga menyukai