Anda di halaman 1dari 36

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
MATERI I

GEJALA SERANGAN VIRUS PADA TANAMAN


BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Padi (Oryza sativa L.) merupakan komoditas tanaman pangan yang


penting di Indonesia yang menghasilkan beras. Sekitar 95% penduduk Indonesia
mengkonsumsi beras dan menjadikan beras sebagai makanan pokoknya. Beras
mengandung gizi yang cukup tinggi dan mampu mencukupi kebutuhan energi
sebesar 63% dan protein sebesar 37%. Kandungan gizi dari beras tersebut
menjadikan komoditas tanaman padi sebagai kebutuhan pangan yang sangat
penting dan juga menjadi perhatian untuk memenuhi kebutuhan beras (Norsalis,
2011).
Kondisi produksi padi pada tahun 2005-2006 masih rendah jika
dibandingkan dengan angka pertumbuhan penduduk, walaupun produktivitas padi
rata-rata telah mencapai 4,6 juta ton/ha. Barulah pada tahun 2007-2013, produksi
padi di Indonesia kembali meningkat sebesar 3,30% per tahun. Produksi dan
produktivitas padi di Indonesia 3 tahun terakhir (2013-2015) mengalami fluktuasi.
Pada tahun 2013 Indonesia mampu memproduksi padi sebesar 71,28 juta ton
gabah kering giling (GKG) dengan produktivitas sebesar 51,52 ku/ha. Pada tahun
2014 mengalami penurunan, yaitu hanya mampu memproduksi sebesar 70,85 juta
ton GKG dengan produktivitas sebesar 51,35 ku/ha. Pada tahun 2015 mengalami
peningkatan dengan produksi pada yaitu sebesar 75,36 juta ton GKG dengan
produktivitas sebesar 53,39 ku/ha (BPS, 2016).
Sumatera Barat merupakan provinsi yang memproduksi padi terbanyak di
Indonesia dan masuk kedalam urutan kedelapan dari sepuluh provinsi yang
memproduksi padi terbanyak pada tahun 2015. Produksi padi di Sumatera Barat
tahun 2015 sebanyak 2,55 juta ton GKG atau mengalami kenaikan sebanyak 31,6
ribu ton (1,25%) dibandingkan tahun 2014. Kenaikan produksi terjadi karena
kenaikan luas panen seluas 4.347 hektar (0,86%) dan produktivitas sebesar 0,19
ku/ha (0,38%). Sampai saat ini di Sumatera Barat varietas unggul Cisokan dan
IR42 yang dilepas berturut–turut tahun 1980 dan 1986 masih berkembang dan
ditanam sepanjang musim dalam hamparan yang luas. Dalam skala kecil, petani
masih menanam varietas lokal spesifik sepanjang tahun, seperti Caredek, Anak
Daro, Kuriak Kusuik, Irkasuma, Silih Baganti, Mundam, Sijunjung, Irpayung,
Saribu Gantang, dan lain-lain (Zen, 2017).
Dalam upaya peningkatan produksi padi, sering ditemui beberapa kendala.
Salah satu kendala produksi padi adalah gangguan penyakit tanaman yang
disebabkan oleh cendawan, bakteri, dan virus. Penyakit tungro merupakan salah
satu penyakit penting pada tanaman padi di Indonesia. Gejala penyakit tungro
adalah daun menguning sampai oranye dimulai dari ujung daun muda, anakan
berkurang, kerdil, dan perkembangan akar terhambat. Infeksi virus ini akan
berpengaruh pada besarnya kehilangan hasil pada tanaman padi (Azzam &
Chancellor, 2012).
Melindungi tanaman padi dari gangguan penyakit merupakan usaha yang
tidak dapat dipisahkan dari pengelolaan ekosistem pertanian padi. Produksi padi
berperan penting untuk memenuhi kebutuhan pangan dan meningkatkan
kesejahteraan, sehingga kegiatan yang berkaitan dengan perlindungan tanaman
harus ditingkatkan dalam sistem produksi (Prasetyo, 2015).
Pengendalian penyakit tanaman dengan konsep pengelolaan komponen
epidemik idealnya berpangkal pada prinsip keseimbangan lingkungan. Usaha
pengendalian penyakit tanaman padi tidak terlepas dari kegiatan manusia dalam
memanipulasi komponen lingkungan yang mempengaruhi perkembangan
penyakit itu sendiri. Komponen lingkungan tersebut diharapkan mempunyai
pengaruh yang selaras dan berlangsung secara terpadu dalam menekan
perkembangan penyakit. Teknik pengendalian seperti ini dapat diimplementasikan
melalui pemilihan varietas, penggunaan bibit bermutu, pengaturan pengairan
tanaman, dan tanam serempak dengan menerapkan teknik budidaya yang tepat
(Nuryanto et al. 2011).

B. Tujuan

Tujuan praktikum ini adalah untuk mengetahui berbagai gejala penyakit


pada tumbuhan padi (Oryza sativa) yang disebabkan oleh virus serta
pengendalian yang dapat dilakukan.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanaman Padi (Oryza sativa Linnaeus)

Padi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman budidaya yang sangat penting
karena lebih dari setengah penduduk dunia tergantung pada tanaman padi sebagai
bahan pangan pokok yang harus dipenuhi, bahkan keamanan pangan dunia juga
dipengaruhi oleh tanaman padi sebagai sumber utama pasokan beras (Yang dan
Zhang, 2010). Padi dapat diklasifikasikan kedalam kingdom Plantae, divisio
Spermathopyta, subdivision Angiospermae, kelas Monokotil, ordo Gramine,
famili Graminaceae, genus Oryza, spesies Oryza sativa L (Tripathi et al., 2011).
Morfologi Batang padi berbuku dan berongga, dari buku batang ini
tumbuh anakan atau daun. Panjang batang padi tergantung dari jenis dan
kesuburan tanah, padi dapat tumbuh setinggi 1 m - 3,8 m. Daun terdiri dari
pelepah dan helaian daun, antara pelepah dan daun terdapat ligula yang berfungsi
mencegah masuknya air kedalam pelepah daun. Bunga tanaman padi merupakan
bunga yang bertipe rumah satu berarti dalam satu bunga terdapat bunga jantan dan
bunga betina untuk melakukan penyerbukan dan pembentukan buah. Buah padi
berasal dari embrio hasil penyerbukan dan embrio berada dalam endosperm
(Purnomo, 2013).
Fase pertumbuhan tanaman padi terdapat 3 fase yaitu vegetatif,
reproduktif dan pematangan. Fase vegetatif adalah awal pertumbuhan tanaman
padi sampai dengan pembentukan malai. Benih yang direndam akan
berkecambah, akar dan tunas akan muncul sampai adanya anakan dan
pertumbuhan tanaman sampai pembentukan malai. Fase reproduktif adalah
dimulai dari pembentukan malai sampai pembungaan, malai mulai berisi dan
insiasi primordialmalai pada ujung tunas mulai tumbuh. Fase selanjutnya adalah
fase pematangan, yaitu pembungaan sampai gabah matang, fase ini mulai terisi
dengan cairan serupa larutan yang menyerupai susu, lama kelamaan akan
mengeras dan warna hijau berubah menjadi warna kuning menandakan bahwa
gabah telah matang penuh dan daun bagian atas mengering (Arafah, 2019)
B. Gejala Serangan Virus Pada Tanaman Padi

Penyakit tungro merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman padi
di Indonesia. Gejala penyakit tungro adalah warna daun menguning sampai
oranye dimulai dari ujung daun muda, anakan berkurang, kerdil, dan
perkembangan akar terhambat. Infeksi penyakit tungro disebabkan oleh dua jenis
virus yang biasanya menginfeksi secara bersamaan, rice tungro bacilliform virus
(RTBV) dan rice tungro spherical virus (RTSV) yang ditularkan oleh wereng
hijau (Nephotettix virescens) secara semipersisten (Azzam & Chancellor, 2012).
Kerdil rumput merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman padi
yang disebabkan oleh Rice grassy stunt virus (RGSV), dan ditularkan secara
persisten oleh wereng batang cokelat (WBC). Selain sebagai vektor RGSV, WBC
juga merupakan vektor dari Rice ragged stunt virus (RRSV). Penyakit kerdil
rumput yang disebabkan oleh Rice grassy stunt virus (RGSV) dilaporkan
pertama kali di Indonesia tahun 1971 dan disebut sebagai kerdil rumput tipe I,
kemudian pada tahun 2006 ditemukan penyakit kerdil rumput tipe
II. Gejala penyakit kerdil rumput diantaranya tanaman menjadi sangat
kerdil, anakan banyak, daun hijau pucat sampai kuning atau daun-daun
sempit berwarna kuning sampai oranye, dan daun sempit dengan bintik-
bintik karat kecil (IRRI, 2012).
Penyakit kerdil hampa pada padi yang disebabkan oleh Rice ragged stunt
virus (RRSV), dilaporkan pertama kali di Indonesia pada tahun 1976. Tanaman
padi yang terserang penyakit kerdil hampa mengalami hambatan
pertumbuhan (kerdil), daun menjadi berwarna gelap dengan tepi bergerigi atau
ujung memutar, dan tulang daun mengalami pembengkakan atau benjolan di
bagian bawah helai daun dan bagian luar permukaan pelepah daun.
Diagnosis penyakit kerdil tidak dapat mengandalkan hanya dari gejala
saja karena gejala yang muncul beranekaragam serta mirip dengan gejala
kekurangan unsur hara dan kekeringan. Penggunaan teknik molekuler dengan
metode polymerase chain reaction (PCR) telah dilaporkan berhasil untuk
mendeteksi virus penyebab penyakit tungro dan kerdil (Uehara-Ichiki et al.
2013).
BAB III. BAHAN DAN METODE

A. Waktu dan Tempat

Praktikum ini dilaksanakan Hari Seni pada Tanggal 6 Maret 2023 di


Laboratorium Fitopatologi Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian
Universitas Andalas.

B. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah kamera, buku identifikasi
dan alat tulis. Sedangkan, bahan yang digunakan adalah Tanaman padi yang
terkena serangan virus.

C. Cara Kerja

Melakukan Studi Kelapangan dengan melakukan pengamatan pada gejala


tanaman yang berkemungkinan terserang virus. Terlebih dahulu mencari literatur
untuk membuktikan dugaan tersebut. Kemudian dideskripsikan atau disimpulkan
dari gejala yang diamati, lalu dokumentasikan.
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Tabel 1. Hasil Pengamatan Lapangan


No Gambar Gambar Lokasi Virus yang Gejala
. Lapangan Literatur Pengambilan Menyerang Serangan
Sampel
1. Jalan RTBV ( Rice perubahan
Simpang tungro warna daun
Akhirat, bacilliform menjadi
Kuranji, virus ) dan oranye mulai
Padang RTSV ( Rice daun ke 2 dan
tungro ke 3, jumlah
spherical anakan
Sutrawati et virus ) sedikit,
al., 2019 pertumbuhan
tanaman
terhambat
2. Jalan Rice Grassy gejala kerdil,
Simpang Stunt Virus daun muda
Akhirat, (RGSV) menjadi lebih
Kuranji, kecokelatan
Padang dan kadang
terdapat daun
tua yang
menunjukkan
Dini et al., adanya daun
2015 menguning

B. Pembahasan

Hasil pengamatan yang dilakukan pada tanaman padi (Oryza sativa)


dilapangan didapatkan gejala virus Tungro dan RGSV (Rice Grassy Stunt Virus).
Kedua virus ini merupakan patogen penyebab penyakit utama pada padi yaitu
tungro dan kerdil. Virus tungro dan RGSV ditularkan oleh vektor.

Penyakit tungro disebabkan oleh dua jenis virus yang berbeda yaitu virus
bentuk batang Rice tungro bacilliform virus (RTBV) dan virus bentuk bulat Rice
tungro spherical virus (RTSV) (Agrios, 2012). Virus ini ditularkan oleh vektor
yaitu wereng hijau. Wereng hijau (Nephotettix virescens ) menularkan virus
tungro dengan efisiensi yang berbeda-beda dan Nephotettix virescens merupakan
vektor terpenting karena efisiensi penularannya paling tinggi. Kedua partikel virus
tersebut tidak bersirkulasi dalam tubuh vektor (Sutrawati et al., 2019).

Pada tanaman padi, RTSV menyebabkan gejala kerdil yang ringan dan
meningkatkan keparahan gejala yang disebabkan RTBV yaitu daun menguning
dan kerdil. N. virescens yang makan pada tanaman padi yang terinfeksi kedua
jenis virus ini dapat menularkan RTBV dan RTSV secara bersamaan ataupun
secara terpisah (Hibino et al., 1978).

Virus RGSV (Rice Grassy Stunt Virus) merupakan virus yang


menyebakan penyakit kerdil pada padi. Menurut penelitian Dini et al (2015)
menyatakan gejala penyakit kerdil hampa merupakan gejala yang dominan pada
tanaman padi di petak pengamatan. Selain gejala khas penyakit kerdil rumput dan
penyakit kerdil hampa, juga ditemukan gejala berupa gabungan gejala kerdil
rumput dan kerdil hampa pada tanaman singgang.
Virus RGSV (Rice Grassy Stunt Virus) ditularkan oleh vektor wereng
batang coklat (Nilapavarta lugens). Wereng batang coklat berperan sebagai vektor
penyakit kerdil hampa dan kerdil rumput sehingga menyebabkan kerusakan yang
lebih besar (Cabautan et al, 2009).
BAB V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Padi (Oryza sativa L.) merupakan komoditas tanaman pangan yang


penting di Indonesia yang menghasilkan beras. Dalam upaya peningkatan
produksi padi, sering ditemui beberapa kendala. Salah satu kendala produksi padi
adalah gangguan penyakit tanaman yang disebabkan oleh virus. Virus tungro dan
RGSV merupakan virus penting yang menyebabkan penyakit utama pada padi,
yaitu penyakit kerdil dan menguning.

B. Saran

Pada pengamatan yang dilakukan dapat dilakukan budidaya tanaman padi


dimulai dengan pengelolaan yang baik, menggunakan beberapa varietas tahan
tanaman padi dan menggunakan beberapa pengendalian lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Arafah, 2019. Pedoman Teknis Perbaikan Kesuburan Lahan Sawah Berbasis


Jerami. Jakarta : PT. Gramedia. 238 hlm.

Azzam, O. & Chancellor, T.C.B. 2012. The Biology, Epidemiology, and


Management of Rice Tungro Disease. Plant Disease, 86, 88-100.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2016. Produksi Padi Menurut Provinsi (ton). 1993-
2015. Sumatera Barat

Cabautan PQ, Cabunagan RC, Choi IR. 2009. Rice viruses transmitted by the
brown planthopper Nilaparvata lugens Stal. Los Banos (PH): International
Rice Research Institute.
Dini, Amelia Feryna BulanWinasa, I Wayan Hidayat, Sri Hendrastuti. (2015).
Identifikasi Virus Penyebab Penyakit Kerdil pada Tanaman Padi di
Sukamandi, Jawa Barat. Jurnal Fitopatologi Indonesia, 11(6), hal. 205–
210. Tersedia pada: https://doi.org/10.14692/jfi.11.6.205.
Hibino, H., Roechan, M., Sudarisman, S.(1978). Association of two types of
virus particles with penyakit habang (tungro disease) of rice in Indonesia.
Phytopathology, 68,1412-1416. https://doi.org/10.1094/ Phyto-68-1412
[IRRI] International Rice Research Institute. 2012. Standard Evaluation System of
Rice (SES). Manila (PH): INGER Genetic Resources Center.

Norsalis, E. 2011. Padi Gogo dan Padi Sawah. Jakarta: Yasaguna

Nuryanto, B., A. Priyatmojo, B. Hadisutrisno, dan B. H. Sunarminto. 2010.


Hubungan antara inokulum awal patogen dengan perkembangan penyakit
hawar upih pada padi varietas Ciherang. Jurnal Perlindungan Tanaman
Indonesia 16(2): 55-61.

Prasetyo, S.Y.J. 2015. Sistem peringatan dini serangan hama penyakit padi di
Jawa Tengah menggunakan GI dan GI* statistic. Jurnal Ilmiah MATRIK
17(3): 205-214.

Purnomo, S. 2013. Populasi Walang Sangit (Leptocorisa oratus Fabricus) di


Kecamatan Sabak Auh Kabupaten Siak Provinsi Riau Pada Tanaman Padi
Masa Tanam Musim Penghujan. [Skripsi]. Pekan Baru. Fakultas Pertanian
dan Peternakan. Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.39 hal.

Sutrawati, MimiSariasih, YennyPriyatiningsih, Priyatiningsih Ladja, Fausiah


T.(2019). Deteksi Virus Tungro Pada Padi Di Bengkulu. Jurnal Ilmu-Ilmu
Pertanian Indonesia, 21(2), hal. 99–102. Tersedia pada:
https://doi.org/10.31186/jipi.21.2.99-102.

Tripathi, K, K, O. P Govil, Ranjini warrier., Vibha Ahuja, 2011. Biology of Oryza


sativa L. (Rice). India: Departement of biotechnology ministry of science &
technology Government of India. 2011.

Uehara-Ichiki T, Shiba T, Matsukura K, Ueno T, Hirae M. 2013. Detection and


diagnosis of rice-infecting viruses. Front Microbiol. 4:289.

Zen, S. 2017. Penyebaran Varietas Unggul dan Produktivitas Padi Sawah di


Propinsi Sumatera Barat. Jurnal Ilmiah Tambua Universitas Mahaputra
Muhammad Yamin, Solok Sumatera Barat. Vol. VI. No. 1. Januari-April
2007: 72-78 hlm
MATERI II

PENULARAN VIRUS SECARA MEKANIS


BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mentimun (Cucumis sativus L.) merupakan salah satu jenis sayur-sayuran
yang populer hampir di semua negara, dan menjadi salah satu sayuran utama yang
dibudidayakan oleh petani di Indonesi. Mentimun cocok ditanam di lahan yang
jenis tanahnya lempung sampai lempung berpasir yang gembur dan mengandung
bahan organik. Mentimun membutuhkan pH tanah di kisaran 5,5-7,5 dengan
ketinggian tempat 0-700 di atas permukaan laut. Mentimun juga membutuhkan
sinar matahari terbuka, drainase air lancar dan bukan bekas penanaman mentimun.
Aspek agronomi penanaman mentimun tidak berbeda dengan komoditas sayuran
komersil lainnya, seperti kecocokan tanah dan tinggi tempat, serta iklim yang
sesuai meliputi suhu, cahaya, kelembaban dan curah hujan (Annisava 2015).
Produksi mentimun secara nasional dari tahun 2016 hingga tahun 2019
yaitu, 430.206 ton, 424.918 ton, 433.923 ton dan 435.973 ton serta produktivitas
mentimun secara nasional dari tahun 2016 hingga tahun 2019 yaitu, 10.19 ton/ha,
10.67, 10.89, dan 11.14 ton/ha (BPS, 2019). Produktivitas ini relatif stabil, namun
masih tergolong rendah jika dibandingkan produktivitas optimal yang mencapai
49 ton/ hektar ( Mustikawati, 2012).
Dalam proses budidaya mengalami banyak kendala yang dapat
menurunkan hasil produksi. Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya
produksi mentimun adalah serangan beberapa jenis organisme penggangu
tumbuhan (OPT) yang menyebabkan terganggunya proses fisiologis, penurunan
kualitas, dan kuantitas. OPT utama tanaman mentimun adalah virus, yang dapat
menyebabkan kegagalan panen dan kerugian secara ekonomi (Putu, 2018).
Jossey dan Babadoost (2008) melaporkan bahwa 6 jenis virus utama yang
menginfeksi famili Cucurbitaceae adalah Squash Mosaic Virus (SqMV), Zucchini
Yellow Mosaic Virus (ZYMV), Watermelon Mosaic Virus (WMV), Papaya
Ringspot Virus (PRSV), Tobacco Ringspot Virus (TRSV) dan Cucumber Mosaic
Virus (CMV). CMV dinyatakan penting karena mengakibatkan kehilangan hasil
25-100% dan CMV menginfeksi lebih dari 1200 spesies tanaman (yang berasal
dari 100 famili) baik monokotil maupun dikotil. CMV merupakan virus tanaman
yang dilaporkan sebagai patogen tular benih, virus dapat menginfeksi benih
melalui jalur infeksi sistemik virus pada seluruh jaringan tanaman hingga ke
bagian reproduksi tanaman seperti tepung sari dan ovul (Putu, 2018)
Cucumber Mosaic Virus (CMV) merupakan salah satu patogen yang
menginfeksi Cucurbitaceae. Partikel CMV berbentuk polyhedral dengan diameter
28 nm, menginfeksi lebih dari 775 spesies tumbuhan dalam 67 familia dan dapat
ditularkan oleh 75 spesies aphid. Jenis virus mosaik sistemik yang mempunyai
gejala yang khas, terdapat tiga gejala utama virus mosaik yang menyerang
tanaman budidaya, antara lain : 1) Ukuran daun berkurang dan berkerut. Buah
juga mengalami perubahan warna dan menyebabkan perubahan ukuran yang
menyebabkan tidak laku dijual dipasaran; 2) Daun terlihat menguning dan
menebal, produksi buah mengalami penurunan; 3) Nekrosis juga terjadi pada daun
yakni berbentuk spot-spot pada daun dengan berbagai ukuran. Buah pada
umumnya tidak bisa berkembang dan masak, terkadang ditemui nekrotik pada
buah tersebut. CMV tidak hanya ditularkan secara mekanis, namun melalui vektor
yakni Aphid sp., CMV dapat tertular ke tanaman lain. Lebih dari 60 spesies aphid
dapat menularkan virus CMV ke berbagai jenis tanaman (Ardiyaningsih, 2012).
Pengendalian yang dapat dilakukan seperti pengendalian hayati dengan
penyemprotan minyak mineral pada daun dapat mencegah kutu daun
memakannya. Pengendalian vektor virus dengan pestisida sintetik belum efektif,
penggunaan yang tidak sesuai anjuran pemakaian justru menimbulkan dampak
negatif seperti resistensi serangga vektor, mencemari lingkungan, matinya
organisme bukan sasaran dan residu pestisida (Ardianingsih, 2013).
B. Tujuan
Praktikum pengantar virologi tumbuhan ini bertujuan untuk mengetahui
dan mempelajari mengenai virus CMV (Cucumber Mosaic Virus) dan ada juga
TMV (Tobacco mosaic virus) yang inangnya tanaman mentimun dan dampak
serangnya, beserta gejala yg ditimbulkan. Dan bagai mana cara pembuatan SAP
tanaman sakit yang diinokulasikan ke tanaman mentimun yang sehan dan dan
dapat mengetahui bagaimana tahapan gejala virus itu dapat berkembang pada
tanaman tersebut.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanaman Mentimun
Tanaman mentimun (Cucumis sativus L.) termasuk dalam tumbuhan
merambat atau merayap ini merupakan salah satu jenis tanaman sayuran buah dari
keluarga labulabuan (Cucurbitaceae) yang sudah sangat popular diseluruh dunia
dan digemari masyarakat luas. Para ahli tanaman memastikan daerah asal tanaman
mentimun adalah India, tepatnya di Lereng Gunung Himalaya, berikut merupakan
klasifikasi tanaman mentimun : Kingdom : Plantae, Disvisi : Spermatophyta, Sub-
divisi : Angiospermae, Kelas : Dicotyledonae, Ordo : Cucurbitales Family :
Cucurbitaceae, Genus : Cucumis, Spesies : Cucumis sativa L. (Sabaruddin et al.,
2012).
Mentimun yang ditanam secara umum dapat ditanam di dataran rendah,
medium dan tinggi tergantung varietasnya. Varietas mentimun yang digunakan
adalah varietas mentimun hibrida F1 dengan nama bibit benih Roman. Benih
Roman merupakan sayuran jenis mentimun hijau hibrida F1 dari benih pertiwi.
Mentimum merupakan keluarga cucurbitacea yang berasal dari Asia Utara dan
terkenal di seluruh dunia. Tanaman ini termasuk dalam kategori tanaman semusim
yang tumbuh dengan cara menjalar dan dapat ditanam pada dataran rendah
ataupun tinggi dengan ketinggian berkisar 0 – 1000 m di atas permukaan laut
(Sabaruddin et al., 2012).
Mentimun sendiri memiliki batang yang basah, berbulu serta berbuku-
buku. Panjang atau tinggi tanamannya mencapai 50 – 250 cm dengan sulur di sisi
tangkai daun, daunnya berbentuk bulat lebar serta perakarannya tunggang tetapi
daya tembusnya relatif dangkal sekitar 30 – 60 cm (Amin, 2015).
Mentimun termasuk tanaman semusim (annual) yang bersifat menjalar
atau memanjat dengan perantaran pemegang yang berbentuk pilin (spiral).
Cabang-cabang samping yang tumbuh pada ruas kesatu hingga kelima perlu
dibuang, sedangkan cabang anakan yang tumbuh pada ruas keenam tetap
dibiarkan tumbuh (Aprilia, 2014).
B. Virus Pada Tanaman Mentimun

Cucumber Mosaic Virus (CMV) merupakan salah satu penyebab penyakit


yang menyerang tanaman Cucurbitaceae, diantaranya mentimun. CMV dapat
menurunkan hasil prodktivitas mentimmun antar 42,2-53,4%. Gejala yang
disebabkan oleh infeksi virus ini adalah tanamn menjadi belang hijau tua dan
hijau muda. CMV merupakan virus tanaman yang pertama kali diidentifikasi
sebagai penyebab penyakit yang merugikan sejak tahun 1916. Gejala penyakit
yang didominasi dengan gejala mosaik selain gejala klorosis pada daun, belang
hijau coklat, permukaan daun bergelombang, daun berlepuh hijau gelap dan
bercak hijau putih pada buah. Kejadian penyakit mosaik tersebut diduga terjadi
kareana infeksi pathogen virus. Dari hasil studi pustaka menunjukkan bahwa
dinegara-negara lainpun penyakit yang paling merusak pada tanaman mentimun
adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dan dapat menurunkan produksi baik
mutu dan bobot buah (Amin, 2014).
Menurut Blancard et al. (1991) dalam Lecoq et al. (1998), terdapat tiga
gejala utama virus mosaik yang menyerang tanaman budidaya, antara lain : 1)
Ukuran daun berkurang dan berkerut. Buah juga mengalami perubahan warna dan
menyebabkan perubahan ukuran yang menyebabkan tidak laku dijual dipasaran;
2) Daun terlihat menguning dan menebal, produksi buah mengalami penurunan;
3) Nekrosis juga terjadi pada daun yakni berbentuk spot-spot pada daun dengan
berbagai ukuran. Buah pada umumnya tidak bisa berkembang dan masak,
terkadang ditemui nekrotik pada buah tersebut. CMV tidak hanya ditularkan
secara mekanis, namun melalui vektor yakni Aphid craccivora (Putu et al., 2018)
CMV dapat ditularkan melalui kutu daun, lebih dari 80 spesies kutu daun
(Aphididae) dapat menjadi vektor CMV, diantaranya Myzus persicae dan Aphis
gossypii, kedua serangga vektor tersebut dapat menularkan virus secara non
persisten dengan tingkat penularan yang tinggi. CMV merupakan virus tanaman
yang dilaporkan sebagai patogen tular benih, virus dapat menginfeksi benih
melalui jalur infeksi sistemik virus pada seluruh jaringan tanaman hingga ke
bagian reproduksi tanaman seperti tepung sari dan ovul (Arsyiogi et al., 2014)
Virus mosaik mentimun mempunyai beberapa tanaman inang yang
termasuk kedalam banyak suku, antara lain suku mentimun (Cucurbitaceae),
sawian (Cruciferae), terungan (Solanaceae), dan kacangan (Papilionaceae). CMV
mempunyai banyak strain (varian) yang dapat menginfeksi beberapa jenis
tumbuhan yang berbeda. Virus ini diketahui mempunyai lebih dari 60 strain,
mempunyai lebih dari 800 jenis inang yang masuk kedalam 120 suku (Arsyiogi et
al., 2014)
Pada Cucurbitaceae, CMV dapat menyebabkan tanaman menjadi kerdil
mosaik kuning yang nyata pada daun, perubahan bentuk daun, pengurangan ukuran
daun dan pengurangan ruas batang yang nyata. Pada tanaman Cucurbitaceae muda,
gejala sistemik berupa pengeritingan daun, mosaik, dan perubahan ukuran daun.
Bunga tanaman Cucurbitaceae yang terinfeksi CMV dapat mengalami
ketidaknormalan dan mahkotanya berwarna kehijauan bahkan dapat mengalami gugur
bunga Gejala berat oleh CMV sebagian besar terjadi pada summer squash, labu, dan
melon sedangkan gejala ringan terjadi pada mentimun, winter squash, dan semangka
Buah yang terinfeksi CMV dapat berubah bentuk, berukuran kecil. berwarna kuning,
kasar di ujung atau pangkal dan berasa pahit (Arsyiogi et al., 2014)
CMV melakukan infeksi (penularan) secara sistemik pada banyak tanaman.
Organ atau jaringan tanaman lebih tua yang berkembang sebelum terinfeksi virus,
biasanya tidak berpengaruh terhadap virus, namun pada jaringan atau sel-sel muda
yang berkembang setelah terinfeksi virus maka dapat menyebabkan timbulnya gejala
akut. Gejala virus akan meningkat beberapa hari setelah menginokulasi, kemudian
menurun sampai pada taraf tertentu atau sampai tanamannya mati. Daya infektifnya
hilang dalam beberapa hari dan dalam beberapa jam kemudian. CMV relatif kurang
stabil dalam ekstrak tanaman (sap), serta tidak dapat bertahan pada suhu diatas 70oC
selama 10 menit (Taufik et al., 2011).
Penularan melalui biji juga bisa terjadi pada 19 species inang, termasuk gulma.
Penyebaran dan persistensinya di dalam biji gulma merupakan epidemiologi penting
bagi virus CMV. Tumbuhan parasitik dapat menjadi inang dan penyebar virus CMV.
Sedikitnya ada 10 spesis Cuscuta yang dapat menyebarluaskan virus CMV tersebut.
CMV dapat melewati musim dingin bertahan pada gulma-gulma tahunan, bunga dan
buah. Virus tersebut menetap di perakaran selama musim dingin dan akan muncul
kembali kepermukaan tanaman di musim semi (Taufik et al., 2011).
BAB III BAHAN DAN METODE

A. Waktu dan Tempat


Praktikum ini dilaksanakan Hari Seni pada Tanggal 6 Maret 2023 di
Laboratorium Fitopatologi Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian
Universitas Andalas.

B. Alat dan Bahan


Adapun alat yang digunakan dalam Praktikum yaitu Cawan petri, kuas,
tissue, polybag, mortar (penumbuk), gelas ukur dan camera handphone.
Adapun bahan yang digunakan dalam Praktikum yaitu Kutu daun,
tanaman mentimun yang terkena embun tepung, tanaman yang terserang kutu
daun, aquades, karborandum dan benih mentimun.

C. Cara Kerja

Inokulasi virus CMV pada mentimun secara mekanis. Sebelum melakukan


inokulasi terlebih dahulu ditanman tanaman mentimun yang sehat, setelah
tanaman mentimun tumbuh dilakukan inokulasi virus. Sebelum melakukan
inokulasi virus terlebih dahulu di buat SAP tanaman timun terserang Cucumber
mosaic virus (CMV) dengan cara ditimbang daun tanaman timun yang terserang
CMV setelah itu daun dicuci bersih dengan air mengalir kemudian daun digerus
sampai halus dengan menggunakan mortal dan alu selama proses penggerusan
daun ditambahkan larutan buffer phosphat, setelah halus dan di dapatkan ekstrak
dari daun timun yang terserang virus hasil gerusan disaring dengan kain kasa
kemudian di masukkan ke dalam petridih. Selanjutnya yaitu inokulasi di lapangan
dilakukan dengan cara di olesi daun tanaman sehat dengan carborondum 600
mesh dengan lembut dan searah ke seluruh permukaan daun tanaman timun yang
sehat kemudian diolesi daun dengan SAP tanaman timun yang sudah dibuat
sebelumnya dioleskan dengan embut dan searah kemudian ditunggu selama
tigapuluh detik lalu disemprotkan akuadesh. Setelah itu dilakuakn pengamatan
perubahan apa ayang terjadi dan gejala apa yang timbul.
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A.Hasil

N Perlakuan Masa Jumlah Gambar Keterangan


o inkubasi daun
bergejala
Kontrol 2 minggu -

Sebagai
pembanding

SAP 2 minggu -
bunga Tidak
menimbulkan
gejala

SAP daun 2 minggu -


Tidak
menimbulkan
gejala

C. Pembahasan

Hasil pengamatan yang dilakukakan pada tanaman mentimun(Cucumis


sativus L.) setekah dilakukannya penularan virus secara mekanis tidak
menimbulakan menimbulkan gejala pada virus CMV. Gejala penyakit yang di
sebabkan oleh virus CMV didominasi dengan gejala mosaik selain gejala klorosis
pada daun, belang hijau coklat, permukaan daun bergelombang, daun berlepuh
hijau gelap dan bercak hijau putih pada buah. Kejadian penyakit mosaik tersebut
diduga terjadi kareana infeksi pathogen virus. Dari hasil studi pustaka
menunjukkan bahwa dinegara-negara lainpun penyakit yang paling merusak pada
tanaman mentimun adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dan dapat
menurunkan produksi baik mutu dan bobot buah (Amin, 2014).
Berdasarkan hasil pengamatan yang didapatkan tanaman mentimun yang
di inikulasikan tidak menimbulkan gejala mosaik. Hal ini bisa oleh virus yang
ditularkan melaluai penularan secara mekanik tidak stabil dalam cairan SAP yang
digunakan sehingga tidak menimbulkan gejala pada tanaman mentimun yang
sudah di inokulasikan . keberhasilan penularan secara mekanik juga bergantung
pada virus , sumber inokulum. Penularan mekanik tidak akan berhasil apabila
virus terbatas pada floem yang memerlukan serangga vektor untuk bisa
menularkannya
Faktor yang menyebabkan ketidak berhasilan penulran secara mekanis ini
yaitu CMV melakukan infeksi (penularan) secara sistemik pada banyak tanaman.
Organ atau jaringan tanaman lebih tua yang berkembang sebelum terinfeksi virus,
biasanya tidak berpengaruh terhadap virus, namun pada jaringan atau sel-sel muda
yang berkembang setelah terinfeksi virus maka dapat menyebabkan timbulnya gejala
akut. Gejala virus akan meningkat beberapa hari setelah menginokulasi, kemudian
menurun sampai pada taraf tertentu atau sampai tanamannya mati. Daya infektifnya
hilang dalam beberapa hari dan dalam beberapa jam kemudian. CMV relatif kurang
stabil dalam ekstrak tanaman (sap), serta tidak dapat bertahan pada suhu diatas 70oC
selama 10 menit (Taufik et al., 2011).
BAB V. PENUTUP

A.Kesimpulan

Cucumber Mosaic Virus (CMV) merupakan salah satu penyebab penyakit


yang menyerang tanaman Cucurbitaceae, diantaranya mentimun. CMV dapat
menurunkan hasil prodktivitas mentimmun antar 42,2-53,4%. Gejala yang
disebabkan oleh infeksi virus ini adalah tanamn menjadi belang hijau tua dan
hijau muda. CMV merupakan virus tanaman yang pertama kali diidentifikasi
sebagai penyebab penyakit yang merugikan sejak tahun 1916. Gejala penyakit
yang didominasi dengan gejala mosaik selain gejala klorosis pada daun, belang
hijau coklat, permukaan daun bergelombang, daun berlepuh hijau gelap dan
bercak hijau putih pada buah. Kejadian penyakit mosaik tersebut diduga terjadi
kareana infeksi pathogen virus. Dari hasil studi pustaka menunjukkan bahwa
dinegara-negara lainpun penyakit yang paling merusak pada tanaman mentimun
adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dan dapat menurunkan produksi baik
mutu dan bobot buah

B.Saran

Berdasararkan praktium yang sudah dilakukan CMV merupakan salah


satu virus yang dapat menurukan hasil produksi tanaman menjadi menurun.
Salah satu cara yang dilakukan untuk mengurangi atau serangan dari virus CMV
ini menggunakan tanamanaman yang tahan dan juga melakukan budidaya
tanaman yang baik.
DAFTAR PUSTAKA

Amin, A. R. 2015. Mengenal budidaya mentimun melalui pemanfaatan media


informasi. J. Jupiter, 14 (1) : 66 - 71.

Aprilia, E.H. 2014. Inventarisasi dan populasi arthropoda pada pertanaman


mentimun (Cucumis sativus Linn.) di Desa Pattalassang Kabupaten Gowa.
[Skripsi] Universitas Hasanuddin. Makasar.

Aprilia, E.H. 2014. Inventarisasi dan populasi arthropoda pada pertanaman


mentimun (Cucumis sativus Linn.) di Desa Pattalassang Kabupaten Gowa.
[Skripsi] Universitas Hasanuddin. Makasar.

Arsyiogi, B., Nadrawati, N., & Tri, S. (2014). Mortalitas Aphis Craccivora
Koch.Pada Beberapa Konsentrasi Beauveria Bassiana Balsamo Pada
Tanaman Kacang Panjang (Doctoral dissertation, Universitas Bengkulu).

Putu, P. N., Farida Hanum, dan Eka Pasmidi Ariati. 2018. Kejadian Penyakit
Mosaik Dan Varietas Tahan Cucumber Mosaic Virus (CMV) Penyebab
Penyakit Mosaik pada Tanaman Mentimun.

Sabaruddin, L., S. Yadi. L. Karimuna. 2012. Pengaruh pemangkasan dan


pemberian pupuk organik terhadap produksi mentimun (Cucumis sativus
L.). J. Penelitian Agronomi. 1 (2) : 107 - 114.

Taufik, M., Rahman. A., Wahab. A., dan Hidayat. S.H. 2010. Mekanisme
Ketahanan Terinduksi oleh Plant Growth Promotting Rhizobacteria
(PGPR) pada Tanaman Cabai Terinfeksi Cucumber Mosaik Virus (CMV).
Jurnal Hortikultura. 20 (3):274-283.

Annisava A. R. dan I. Permanasari. 2015. Upaya peningkatan hasil mentimun


secara organik dengan sistem tasalampot. J. Agroekoteknologi, 6 (1) : 17 -
24.

Mustikawati, D.R. 2012. Pengendalian hama dan penyakit tanaman sayuran.


Kementerian Pertanian. Lampung.
Ardiyaningsih, Bertua, Irianto. 2012. Pengaruh dosis pupuk kandang ayam
terhadap pertumbuhan dan hasil mentimun (Cucumis sativus L.) pada
tanah ultisol. J. Bioplantae, 1 (4) : 266 - 273.
MATERI III

PENULARAN VIRUS MENGGUNAKAN


VEKTOR
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tanaman kacang panjang (Vigna sinensis L.) termasuk tanaman yang
tumbuh membelit. Banyak petani membudidayakan kacang panjang karena
menghasilkan buah atau polong yang berguna sebagai sayuran. Budidaya kacang
panjang pada umumnya dilakukan pada lahan kering yang sumber airnya dari air
hujan sehingga frekuensi dan distribusi curah hujan memegang peranan yang
sangat penting (Buludin dkk., 2012).
Tanaman kacang-kacangan dapat meningkatkan kesuburan tanah, karena
akar-akarnya bersimbiosis dengan bakteri Rhizobium yang mampu mengikat
Nitrogen (N2) dari udara. Nitrogen tersebut berfungsi untuk memperbaiki
kesuburan tanah sehingga tanah yang sudah berkurang kesuburannya dapat
diperbaiki dan ditanami kembali. Kacang panjang yang berbentuk perdu, bersifat
memanjat dengan membelit, sudah lama dibudidayakan oleh orang Indonesia.
Kacang panjang dulunya pertama kali berasal dari India dan Afrika. Kemudian
menyebar penanamannya ke daerah-daerah Asia Tropika hingga ke Indonesia
(Astri, 2013).
Pada tahun 2014, luas panen dan produksi kembali mengalami penurunan
yaitu luas panen menjadi 72.448 ha dan produksi 450.709 ton, namun
produktifitas mengalami peningkatan menjadi 6,22 ton.ha-1 . Jika dilihat pada
data tahun 2014, bahwa luas panen mengalami penurunan sementara itu
produktivitas mengalami peningkatan artinya telah terjadi peningkatan produksi
persatuan luas akibat penggunaan varietas tanaman unggul dan sistem budidaya
yang lebih efektif. Penyakit yang sering dijumpai adalah penyakit virus, yang
disebabkan oleh mosaik virus. Luas panen, produksi dan produktivitas kacang
panjang di Indonesia pada tahun 2012 - 2014 adalah pada tahun 2012 luas panen
75.739 ha, produksi sebesar 455.562 ton dengan produktivitas 6,01 ton.ha-1 ,
tahun 2013 luas panen kacang panjang meningkat sebesar 76.209 ha, namun
produksi dan produktivitas menurun masing masing produksi 450.859 ton dengan
produktivitas 5,92 ton.ha-1 menurut data dari BPS (2015) dalam Handayati et al.,
(2016).
Salah satu faktor pembatas dalam peningkatan produktivitas kacang
panjang adalah kehilangan hasil yang tinggi akibat penyakit-penyakit yang
disebabkan oleh virus. Virus merupakan patogen yang banyak dilaporkan
menginfeksi pertumbuhan tanaman kacang panjang. Beberapa virus yang
menyerang tanaman kacang panjang yaitu[ virus mosaik yang disebabkan oleh
Bean common mosaic virus (BCMV), Bean yellow mosaic virus (BYMV) dan
Cowpea aphid-borne mosaic virus (CABMV), daun kecil kacang panjang
(Cowpea witches-broom virus) dan puru akar (Meloidogyne sp.) (Anwar et al.,
2005; Haryanto et al., 2010).
A. craccivora. merupakan hama serangga penting dari tanaman kacang
panjang. Pada tanaman kacang panjang tidak ada resistensi genetik alami terhadap
serangga penghisap getah ini. Aphid merupakan hama utama pada tanaman
kacang panjang yang dapat menurunkan hasil produksi hingga 60 %. Apabila
gangguan OPT seperti hama dapat ditekan, maka hasil dari produksi dapat
ditingkatkan secara kuantitas maupun kualitasnya (Syahrawati, Hamid and
Andalas, 2010).
Aphis craccivora (Hemiptera: Aphididae) ialah hama utama pada tanaman
legum dan sebagian besar tersebar didaerah tropis dimana kacang panjang
ditanam. A. craccivora merupakan hama serangga penting dari tanaman kacang
panjang. Pada tanaman kacang panjang tidak ada resistensi genetik alami terhadap
serangga penghisap getah ini (Kamphuis et al., 2012).
Pengendalian aphid pada tingkat petani, biasanya dengan mengaplikasikan
pestisida. Pengaplikasian pestisida dilakukan sejak tanaman berumur 15-60 hari
dan interval penyemprotan 3-10 hari sekali. Dengan pengaplikasian A. craccivora
dapat dikendalikan, dan mencegah menurunnya produksi kacang panjang sekitar
15,87% . Namun pengendalian aphid dengan cara ini dinilai kurang sehat terhadap
lingkungan, peningkatan resistensi hama, dan juga keamanan konsumen
(Kamphuis et al., 2012).

B. Tujuan
Tujuan praktikum ini adalah untuk mengetahui kutu daun (Aphis
craccivora) merupakan vektor dari tanaman kacang panjang.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanaman Kacang panjang


Kacang panjang berasal dari Afrika, walaupun belum dapat dipastikan
dimana tanaman ini untuk pertama kali didomestikasi, tampaknya muncul dua
pusat keanekaragaman untuk jenis ini yang terdiri atas varietas liar dan varietas
budidaya, satu pusat di Afrika Barat (untuk kelompok kv. Unguiculata) dan yang
lainnya di India dan Asia Tenggara (untuk kelompok kv. Biflora dan kelompok
kv. Sesquipedalis). Kacang panjang termasuk dalam kingdom plantae,
subkingdom Tracheobionta, superdivisi Spermatophyta, divisi Magnoliophyta,
kelas Magnoliopsida, subkelas Rosidae, ordo Fabales, famili Fabaceae, genus
Vigna, spesies Vigna sinensis (L.) (Plantamor, 2018). Suhu tanah yang optimal
untuk menanam kacang panjang berkisar antara 18-320C dan lokasi penanaman
kacang panjang harus mendapatkan banyak sinar matahari. Tanaman kacang
panjang (Vigna sinensis) sudah lama dibudidayakan oleh orang Indonesia. Kacang
panjang berasal dari India dan Afrika. Kemudian menyebar penanamannya ke
daerah-daerah Asia Tropika hingga ke Indonesia (Astri, 2013).
Konsumen rumah tangga, mengkonsumsi kacang panjang dengan
frekuensi 2-3 kali per minggu. Produksi kacang panjang Indonesia baru mencapai
461.239 ton polong segar dari luas panen 84.798 ha, sedangkan pada tahun 2012-
2013 produksi kacang panjang masing-masing mencapai 455.615 ton dan 450.859
ton (BPS, 2013). Hal ini menunjukkan bahwa petani semakin banyak yang
berminat untuk menanam kacang panjang, sehingga target untuk memenuhi
permintaan konsumen akan sayuran kacang panjang setiap tahun dapat terpenuhi
(Puji dkk, 2013).
Pada budidaya kacang panjang, Aphis craccivora merupakan hama yang
muncul pada fase muda dan menyebabkan beberapa penyakit yang menyebaban
berkurangnya kualitas polong. Pada tanaman kacang panjang Aphis craccivora
akan menyerang bagian sulur yang masih muda (pucuk) kemudian seiring
perkembangan tanaman Aphis craccivora akan menyebar kebagian tanaman yang
lainnya seperti pucuk muda, batang, bunga, dan, dan polong (Waluyo dan
Kuswanto, 2019).
B. Virus Pada Tanaman Kacang Panjang
Tanaman Kacang panjang (Vigna sinensis L.) merupakan tanaman
hortikultura yang mudah dibudidayakan. Indonesia merupakan sentra pertanaman
kacang panjang yang mempunyai keanekaragaman genetik yang luas. Kacang
panjang termasuk sayuran yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Pertanaman
kacang panjang memiliki tingkat keanekaragaman genetik yang luas dengan
kondisi tumbuh yang cocok pada suhu antara 18-320C (Samsudin & Maharani,
2020).
Tanaman yang terinfeksi virus akan menunjukkan gejala utama mosaik
dan nekrosis, tulang daun berwarna hijau tua sedangkan daerah interveinal
menjadi hijau muda. Adanya perubahan warna daun biasanya diikuti dengan
malformasi daun berupa kerutan dan menggulung. Gejala pada tanaman umumnya
muncul 7 sampai 10 hari setelah inokulasi. Tipe gejala yang ditimbulkan
ditentukan oleh strain virus, suhu lingkungan pertanaman dan genotipe inang.
Terdapat tiga tipe gejala utama virus mosaik yang menyerang tanaman budidaya,
antara lain : 1) Ukuran daun berkurang dan berkerut. Buah juga mengalami
perubahan warna dan menyebabkan perubahan ukuran yang menyebabkan tidak
laku dijual dipasaran; 2) Daun terlihat menguning dan menebal, produksi buah
mengalami penurunan; 3) Nekrosis juga terjadi pada daun yakni berbentuk spot-
spot pada daun dengan berbagai ukuran. Buah pada umumnya tidak bisa
berkembang dan masak, terkadang ditemui nekrotik pada buah tersebut. Penyakit
utama yang banyak ditemui pada tanaman kacang panjang adalah kacang panjang
dengan gejala mosaik yang disebabkan oleh cowpea aphid-borne mosaic virus
(CAMV), virus Bean Common Mosaic Virus (BCMV) dan gejala kuning
diakibatkan Mungbean Yellow Mosaic Virus oleh (MYMV) (Damayanti dkk.,
2012).
Virus merupakan patogen yang banyak dilaporkan menginfeksi
pertumbuhan tanaman kacang panjang. Virus yang berasosiasi dan menyebabkan
mosaik kacang panjang salah satunya adalah BCMV (Bean common mosaic
virus). Penyebab penting tersebarnya penyakit ini ialah sifat BCMV yang
merupakan patogen tertular benih. Gejala infeksi BCMV pada tanaman kacang
panjang berupa daun berwarna kuning terang, penebalan pada tulang daun, dan
permukaan daun tidak rata akibat pertumbuhan urat daun tidak sebanding dengan
pertumbuhan helaian daun. Gejala infeksi BCMV yang lain berupa mosaik berupa
lepuhan, pola warna kuning dan hijau pada daun, malformasi daun, daun
menggulung, tanaman menjadi kerdil, dan polong serta biji yang dihasilkan lebih
sedikit dibandingkan dengan tanaman sehat (Flores-Estévez, 2003; Udayashankar,
2010).
Serangan BCMV pada tanaman kacang panjang ditunjukkan dengan gejala
mosaik yaitu belang pada daun seperti pola warna kuning dan hijau pada daun,
tulang daun hijau gelap, bercak dan malformasi. Gejala tersebut sama seperti
gejala yang ditunjukkan di lapangan. Tanaman yang terinfeksi menjadi kerdil,
menghasilkan sedikit polong dan polong lambat masak (Udayashankar, dkk,
2010).
Infeksi virus pada tanaman terjadi melalui berbagai cara (pelukaan halus,
serangga vektor) masuk ke dalam sel dan mampu melakukan perbanyakan
(multiplikasi). Multiplikasi RNA/DNA dan mantel proteinnya terjadi secara
terpisah yang pada akhirnya akan bersatu membentuk partikel virus baru.
Multiplikasi virus pada umumnya terjadi di dalam jaringan-jaringan muda yang
aktif melakukan metabolisme. Infeksi virus secara sistemik memungkinkan
masuknya virus ke dalam biji yang terjadi melalui infeksi sel telur (ovum)
maupun melalui tepungsari. Penularan melalui vektor biasanya dilakukan oleh
Aphididae. Vektor patogen bertindak sebagai pembawa patogen dan
menularkannya ke tumbuhan lain. Kemampuan vektor patogen untuk membawa
serta menularkan virus ke tumbuhan sehat disebut inokulativitas (Susetio, 2011).
Terdapat beberapa tahapan vektor dalam menularkan virus yaitu periode
makan atau akuisisi, periode makan inokulatif, periode laten, dan persistensi.
Penularan secara mekanik biasa dilakukan menggunakan sari air perasan atau
biasa disebut sap. Virus dapat tertular secara mekanik apabila daun terluka yang
diakibatkan karena patahnya trikhoma atau bulu daun. kemudian berkembang
menjadi mosaik kuning disertai dengan malformasi daun. Setelah itu, tulang daun
akan mengerut sehingga daun bergelombang dan permukaan daun tidak merata.
Gejala lanjut akan menunjukan lepuhan, pengerdilan, dan akhirnya layu (Susetio,
2011).
C. Kutu Daun (Aphis craccivora)
Salah satu hama penting pada tanaman kacang panjang adalah hama
daun Aphis craccivora dimana hama kutu daun tersebut termasuk kedalam Ordo :
Homoptera, Famili : Aphididae, Genus: Aphis, Spesies ; Craccivora, nama ilimiah
: Aphis craccivora. Kutu daun menyerang tanaman kacang panjang mulai fase
vegetatif sampai generatif. Aphis craccivora banyak ditemukan pada tanaman
kacang panjang, kacang buncis, dan kacang hijau. Kutu daun tersebut memiliki
kemampuan memilih makanan sehingga populasi kutu daun akan meningkat cepat
dan pada bagian tanaman yang terpilih dia akan menimbulkan kerusakan tertentu.
Tanaman kacang panjang umur 20 hst ditemukan kepadatan populasi sebanyak 80
ekor (Masuna, 2013).
Aphis craccivora berbentuk seperti buah peer, panjang sekitar 1,8-2,3 mm
dan lunak. Aphis hidup secara bergerombol pada daun dan tunas muda.
Perkembangbiakannya ada dua macam, yaitu secara seksual dan aseksual. Aphis
craccivora dewasa dapat menghasilkan 2-20 anak setiap hari dan bila keadaan
baik daur hidupnya mencapai 2 minggu. Siklus hidup A. craccivora terdiri atas
empat fase, yaitu fase larva dan nimfa, fase prapupa, dan imago dewasa. Satu
siklus bisa memakan waktu satu bulan, namun bervariasi tergantung pada
temperatur dan spesiesnya. Pada lingkungan yang sesuai berkisar 5-6 hari dengan
tingkat reproduksi mencapai 60 ekor pada iklim sedang. Telur dari hama ini
berbentuk oval dan tak terlihat dengan mata telanjang. telur akan menetas sekitar
sekitar 3 hari setelah peletakan oleh imago betina. Larva yang baru menetas akan
segera memakan jaringan tanaman. Nimfa sering berpindah ke bagian lain dari
tanaman. Dalam beberpa spesies tahap pra-pupa dan pupa tetap berada dalam
tanaman. Ukuran trips lebih pendek dan muncul 2 pasang sayap dan antena,
aktifitas makan berangsur berhenti. Fase dewasa (imago) akan bergerak lebih
cepat dibanding nimfanya, telah memiliki sayap yang ukurannya relatif panjang
dan sempit, imago ini tubuhnya berwarna kehitam-hitaman. Kutu daun ada yang
bersayap dan ada yang tidak bersayap. Kutu daun yang tidak bersayap memiliki
jumlah keturunan lebih banyak dari serangga bersayap. Siklus hidup tahunan kutu
daun yaitu tidak menghasilkan serangga jantan (pertenogenesis) yang merupakan
ciri khas kutu daun (Rismayani, dkk. 2013).
Aphis craccivora dapat menularkan lebih dari 20 virus tumbuhan, baik
secara persisten maupun nonpersisten. A. craccivora merupakan serangga vektor
yang menyebarkan beberapa virus penting pada kacang-kacangan, di antaranya
Bean common mosaic virus (BCMV) dan Cowpea aphid-borne mosaic virus
(CABMV). Gejala infeksi BCMV pada kacang panjang bervariasi mulai dari
mosaik ringan, sedang sampai berat, penebalan tulang daun dan malformasi daun.
Gejala infeksi BCMV di lapangan bergantung pada faktor lingkungan, strain
BCMV, kultivar kacang panjang dan umur tanaman saat terjadi infeksi juga
muncul berupa pemucatan tulang daun (vein clearing) pada daun-daun muda
mengakibatkan jaringan sekitarnya mengalami klorosis, kemudian akan
berkembang menjadi mosaik kuning cerah yang disertai dengan malformasi daun.
tulang daun akan mengerut sehingga daun menjadi bergelombang dan permukaan
daun tidak merata. Gejala lanjut akan menunjukan lepuhan, pengerdilan, dan
akhirnya layu (Susetio, 2011).
Tanaman inang A. craccivora terdapat pada tanaman hijau dan pohon-
pohon dari keluarga Leguminosae. A. craccivora dianggap sebagai hama tanaman
yang paling penting menyebabkan kerugian besar. A. craccivora menyesuaikan
diri dengan perubahan kondisi lingkungan, terutama pada suhu tinggi dan
tanaman inang yang berbeda. Penyesuaian utama adalah mampu berproduksi
sampai 15 generasi per tahun, fekunditas tinggi, dan menetap tidak hanya pada
tanaman hijau tetapi juga pohon. Spesies A. craccivora memungkinkan
berkembang dan menyesuaikan diri dengan kondisi baru dan tanaman baru
(Borowiak et al., 2017).
Bagian mulut terdiri atas jarum yang tajam untuk menusuk tanaman dan
mengisap cairan Sebagai vektor virus yang bersifat sistemik, serangga ini
mengisap cairan tanaman selama satu jam. Virus tersebut tetap bertahan dalam
serangga selama 10 hari dan tidak hilang dalam pergantian kulit. Semua stadia
mampu menularkan virus, tetapi nimfa lebih efektif dalam menularkan virus.
Selain menyebabkan kerusakan secara langsung, A. craccivora mensekresikan
embun madu yang menghasilkan jelaga hitam, berkembang meliputi daun dan
ranting, menyebabkan fotosintesis menjadi terhambat (Varghese dan Mathew,
2011).
BAB III METODE PRAKTIKUM

A. Waktu dan Tempat

Praktikum ini dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 17 Mei 2023 di


Laboratorium Fitopatologi Departemen Proteksi Tanaman Fakultas pertanian
Universitas Andalas.

B. Bahan Praktikum
Bahan yang digunakan dalam praktikum rearing kutu daun (Aphis
craccivora) ini adalah yaitu benih kacang panjang yang sehat, kutu daun (Aphis
craccivora), media tanam, kertas saring, air, daun keladi kecil. Sedangkan bahan
yang digunakan dalam inokulasi virus menggunakan vektor ini adalah kutu daun
hasil rearing, air, daun tanaman kacang panjang sakit dan tanaman kacang panjang
sehat.

C. Alat Praktikum
Alat yang digunakan dalam praktikum rearing kutu daun (Aphis
craccivora) ini adalah polybag, gelas plastik\cawan petri sungkup, kuas.
Sedangkan alat yang digunakan dalam inokulasi virus menggunakan
vektor ini adalah kuas kecil, cawan petri, sungkup.

D. Cara Kerja
a. Rearing Kutu Daun (Aphis craccivora)
Dilakukan penanaman benih kacang panjang, setelah itu diletakkan,
dilrtakkan 1 atau 2 lembar daun keladi kecil dalam cawan petri yang sudah dialasi
kertas saring lembab, kemudian dipindahkan kutu daun dewasa tanpa sayap ke
atas daun keladi dengan kuas yang sudah dibasahi dengan air, lalu cawan petri
ditutup. Setelah beberapa jam atau paling lama satu hari kemudian diamati dengan
menghitung nimfanya yang lahir.
b. Inokulasi Virus Menggunakan Vektor
Dipindahkan kutu daun hasil rearing ketanaman sakit (sumber inokulum).
Setelah itu diberi periode makan akuisisi selama 1-5 menit (mulai dihitung setelah
kutu daun memasukkan stiletnya dan ditandai dengan kutu daun sudah diam).
Kemudian vektor yang sudah memperoleh virus (viruliferous) dipindahkan
ketanaman sehat dan diberi periode makan secara akuisisi selama 60 detik.
Setelah itu, dibunuh vektor secara mekanis dan diamati kapan muncul gejala.
Pemindahan vektor kutu daun menggunakan kuas kecil yang dilembabkan.
DAFTAR PUSTAKA
Astri, A. 2013. Teknologi Budidaya Kacang Panjang. Penyuluh Pertanian BPTP
Borowiak-Sobkowiak, B. 2017. Effect of temperature on the biological
parameters of Aphis craccivora (Hemiptera: Aphididae) on Robinia
pseudoacacia. REDIA, 100: 65-71.
Buludin, La. O. S dan N. W. S. Suliartini. 2012. Pengaruh Residu Bahan Organik
terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Kacang Panjang (Vigna
sinensis. L) Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo. ISSN : 2087- 7706
Vol.2. Hal. 1-3.
Damayanti TA, Alabi OJ, Naidu RA, & Rauf A. 2014. Severe outbreak of a
yellow mosaic disease on the yard long bean in Bogor, West Java. Hayati
J. Biosci. 16(2): 78-82.
Flores-Estévez N., J. A. Acosta-Gallegos, L. Silva- Rosales. 2003. Bean common
mosaic virus and Bean common mosaic necrosis virus in Mexico. Plant
Dis. 87(1):21–25. DOI: h t t p : / / d x . d o i . o rg / 1 0 . 1 0 9 4 /
PDIS.2003.87.1.21.
Haryanto E, Suhartini T, & Rahayu E. 2010. Budi Daya Kacang Panjang. Penebar
Swadaya, Jakarta
Kamphuis L G, Gao L, dan Singh K B. 2012. Identification And Characterization
Of Resistance To Cowpea Aphid (Aphis craccivora Koch) In Medicago
Truncatula. 12:101
M. Mathew, C. Nair, T. Shenoy, J. Varghese. 2011. Preventive and curative
effects of Acalypha indica on acetaminophen-induced hepatotoicity. Int. J.
Green Pharm. 5 : 49-54.
Masuna, E, D., H, L, J, Tansale. H, Hetharie. 2013. Studi Kerusakan Serangan
Hama Utama Pada Tanaman Kacang Tunggak (Unguilata). Budidaya
pertanian, 9(2): 95-98. Palangka Raya. Kalimantan Tengah.
Plantamor. 2018. Kacang Panjang (Vigna sinensis). (Online).
http://plantamor.com/species/info/vigna/sinensis. Diakses pada tanggal 14
Agustus 2018.
Puji, A., M. Napitupulu, dan B. Zaevie. 2013 Respon Tanaman Kacang Panjang
(Vigna sinensis.L) terhadap Pemberian Pupuk NPK Pelangi dan Pupuk
Organik Cair Nasa. Fakultas Pertanian Universitas 17 Agustus 1945.
Samarinda
RISMAYANI, R., RUBIYO, R., & DEWI IBRAHIM, M. S. (2013). Dinamika
populasi kutu tempurung (Coccus viridis) dan kutudaun (Aphis gossypii)
pada tiga varietas kopi arabika (Coffea Arabica). Industrial Crops
Research Journal, 19(4), 159-166.
Samsudin, Maharani C. 2020. Pengaruh kultur teknis terhadap serangan hama dan
penyakit pada tanaman kacang panjang di Kecamatan Lempuing
Kabupaten Ogan KomeringIlir. Jurnal Planta Simbiosa. 68 (1): 1–12.
Susetio H. 2011. Penyakit Mosaik Kuning Kacang Panjang: Respons Varietas
Kacang Panjang (Vigna sinensis L.) Dan Efisiensi Penularan Melalui
Kutudaun (Aphis Craccivora Koch.). [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor:
Bogor.
Syahrawati M, Hamid H, dan Andalas U. 2010. Coccinellidae Predator Pada
Pertanaman Sayuran Di Kota Padang. [Diversitas] Universitas Andalas:
Padang
Udayashankar, A. C., S. C. Nayaka, H. B. Kumar, C. N. Mortensen, H. S. Shetty,
& H. S. Prakash. 2010. Establishing inoculum threshold levels for Bean
common mosaic virus strain Blackeye cowpea mosaic infection in cowpea
seed. African J. Biotech. 9 (53): 8958–8969.
Waluyo B, dan Kuswanto. 2019. Model Pendugaan Jumlah Aphid (Aphis
craccivora Koch) Secara In Situ Pada Tanaman Kacang Panjang (Vigna
sesquipedalis L. Fruwirth). 1794(1).

Anda mungkin juga menyukai