Anda di halaman 1dari 7

TUGAS TUTORIAL

EKOLOGI PERTANIAN
Asisten Praktikum : Maslikhatur Rodiyah S.U

“Identifikasi Hama Kepinding Tanah dan Pengerek Batang Padi Putih


Pada Komoditas Agroekosistem Sawah”

Oleh :
Nama : Farid Hanifan
NIM : 215040100111150

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2021
Indonesia sebagai negara agraris memiliki lahan sawah yang luas. Menurut
data dari Kementrian Agraria dan Tata Ruang/Badan Perahanan Nasional
(ART/BPN) pada tahun 2019 terhitung luas sawah di indonesia mencapai
7.463.948. Meskipun angka tersebut mengalami penurunan setiap tahunya,
setidaknya lahan sawah di Indonesia tergolong masih luas jika dibandingkan
dengan negara pengeskpor beras lainya. Lahan yang luas tersebut tidak
menutup kemungkinan akan adanya serangan hama yang dapat merusak hasil
pertanian.
Dalam suatu ekosistem sawah terdapat banyak sekali interaksi yang terjadi,
mulai dari interaksi biotik yang saling menguntungkan dan yang tidak
menguntungkan. Tidak menutup kemungkinan salah satu interaksi yang banyak
terjadi adalah interaksi biotik yang tidak menguntungkan seperti yang dilakukan
hama untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Meskipun secara alami hama
tersebut hanyalah mencari makan/nutrisi dari tanaman yang dibudidaya, hal itu
akan sangat merugikan petani karena tanaman yang diambil nutrisinya akan
rusak dan tidak dapat dipanen. Hama-hama tersebut adalah kepinding tanah
dengan nama latin Scotinophara coarctata dan penggerek batang padi putih
dengan nama latin Scirpophaga innotata. Dalam kenyataan di lapangan banyak
sekali hama-hama penybab kerusakan tanaman budidaya, dalam kasus ini
adalah tanaman padi. Namun, karena keterbatasan sumber di lapangan, maka
dalam pembahasan kali ini hanya dibatasi dua hama tersebut yang sekiranya
dapat mewakili pembahasan hama-hama lainya dalam agroekosistem sawah.
Scotinophara coarctata atau yang biasa dikenal oleh para petani dengan
Kepinding Tanah merupakan hama utama dalam peran agroekosistem sawah
(Paendong, et al. 2011). Hama tersebut memiliki populasi hama yang tinggi
dalam suatu sawah. Percobaan yang dilakukan oleh Paendong, et al (2011)
pada jurnalnya di Minahasa selatan setiap 20 kali ayunan terdapat 10,33
ayunan dan yang terendah ditemukan di Minahasa tenggara 0,67 setiap 20 kali
ayunan. Hal ini menunjukan bahwa kapinding tanah memiliki peran hama utama
dalam agroekosistem yang nantinya dapat merusak padi dan menurunkan hasil
pertanian.
Menurut Baehaki (1992) pada (Paendong, et al. 2011) di Indonesia terdapat
beberapa jenis Kepindang tanah, yakni Scotinophara coarctata, S. lurida.,
dan S. vermiculata. Ketiga jenis kepindang tanah tersebut yang memenuhi
populasi hama pada sawah di Indonesia. Hal ini berbeda dari jenis-jenis
kepindang tanah yang menyebar di beberapa daerah luar Indonesia, seperti di
Filipina yang memiliki jenis yang lebih beragam sesuai dengan ilkim dan
cuacanyanya.
Gambar 1. Kepinding Tanah (Scontinophara coarctata)
Sumber: Jurnal Ilmu Pertanian Tirtayasa

Serangga hama kepinding tanah memiliki penampakan hitam kusam dan


memiliki panjang 7-10 mm dengan lebar kurang lebih 4 mm yang termasuk jenis
kepik berwarna hitam kusam (Kalshoven, 1981;
Kartohadjono, dkk., 2009) pada (Paendong, et al. 2011). Serangga tersebut
memiliki sikluas hidup antara 36-40 hari (Tirta, 2016) dimana telur yang dibuahi
diletakan dalam batang padi secara berkelompok, dan sekelompok tersebut
sebanyak kurang lebih 30 butir per kelompok. Telur telur tersebut akan menetas
setelah 7 hari dan berkembang menjadi nimfa dengan bintik hitam dengan
warna dasar colat kekuningan. Nimfa tersebut akan hidup dan tinggal di tanamn
padi bagian pangkal padi. Nimfa tersebut akan terus berkembang sembari
menyerap makanan dari tumbuhan inangnya hingga sampai kurang lebih 7
bulan. Setelah itu Kepinding tanah akan mati.
Kepinding tanah akan mulai mengisap inangnya dalam hal ini padi setelah
menetas dari telurnya. Hama serangga tersebut akan mengisap pelepah sert
batang padi. Bagian isapan serangga ini akan membuat pelepah atau
batangnya berwarna coklat. Selanjutnya tanaman padi akan menguning dan
lambat laun akan membusuk. Setelah membusuk daun akan berubah menjadi
mengering, menggulung, dan akan mati. Apabila pengisapan terjadi pada fase
anakan maka akan menyebabkan keterhamabatan dalam pertumbuhan dan
jumlah anakan yang berkurang. namun, apabila terjadi pengisapan pada fase
bunting, makan maka akan terbentuk malai yang kerdil, gabah yang tidak ada
isinya atau hampa, dan eksresi malai yang tidak lengkap. Terlebih apabila
populasi yang tinggi, tanaman yang dihisap akan mati atau mengalami bagbum
seperti pada hopperbutn yang disebabkan oleh wareng coklat (Paendong, et al.
2011). Jika dilihat secara fisiologis, gejala kerusakan yang terlihat setelah
tanaman padi diserang kepinding tanah adalah daerah lubang hisapanya yang
berubah warna menjadi coklat, dimana bentuk gejala tersebut sama seperti
penyakit blas. Gejala selanjutnya adalah daun menjadi kering dan daunya
menggulung membujur. Sedangkan, gejala kerusakan umum yang terjadi
adalah padi sundep atau padi kerdil dan beluk padi berisi setengah atau bahkan
tidak berisi atau hampa.
Banyak sekali cara untuk mengendalikan hama kepinding tanah ini. Namun,
cara yang terbaik untuk mengedalikanya yaitu menjaga lingkungan dengan baik
agar populasi musuh alami dapat mengurangi dan mengendalikan sendiri
populasi kepinding tanah. Keuntungan yang didapatkan jika menggunakan
musuh alami adalah sifat pengendalian yang permanen dan akan terus berlanjut
dimana hal ini adalah langkah yang lebih baik ketimbang harus menyemportkan
pestisida secara berulang dan akan mencemari lingkungan dan ikut mematikan
popualasi serangga lain. Musuh alami kepinding tanah ini adalah Telenomus
triptus, T. chloropus, Pssix lacunatus, Lycosa pseudoannulata, Oxyopes javnus,
dan Micraspis crocea, Metarhixium anisopliae, dan Beauveria bassianan
(Anonim, 2009) pada (Paendong, et al. 2011). Namun, pemanfaatan musuh
alami sebagai pengendali hama kepinding tanah ini memiliki tantangan
tersendiri, yaitu harus diketahui sebelumnya jenis musuh alami kepinding tanah
pada suatu agroekosistem, sama halnya saat melakukan konservasi musuh
alami ini, sehingga pemanfaatan musuh alami dapat dilakukan apabila musuh
alami tersebut sudah ada sebelumnya di agroekosistem yang akan di tangani
penyebaran hama kepinding tanah.
Cara lain dalam pengendalian hama yang dapat dilakukan yaitu dengan
perangkap cahaya. Telah diketahui sebelumnya bahwa imago kapinding tahan
sangat menyukai cahaya dan aktif dalam malam hari. Hal ini dapat
dimanfaatkan dengan menerapkan perangkap cahaya (light trap) berupa lampu
petromak. Namun, apabila jumlah populasinya sangat banyak maka cara yang
dapat dilakukan adalh dengan menggunakan pestisida nabati berupa Beauveria
bassiana dan Metarhizium anisopliae. Apabila serangan hama sudah sangat
banyak dan menimbulkan kerusakan padi yang berat maka dapat dilakukan
dengan menggunakan pestisida kimiawi dengan menerapkan prinsip “6 tepat”
yaitu, tepat sasaran, tepat muru, tepat jenis, tepat waktu, tepat dosis, dan tepat
penggunaan. Dengan begitu pestisida kimiawai dapat berguna secara optimal
dan tidak merusak lingkungan.
Selain kepinidng tanah, hama lain yang ikut menurunkan hasil produktivitas
pertanian salah satunya adalah penggerek batang padi putih dengan nama latin

Scirpophaga innotata. Peran hama ini pada agroekosistem adalah sebagai


hama potensial saat populasinya sedikit dan dapat menjadi hama utama apabila
populasinya membludak. Berdasarkan penelitian Wahid pada tahun 2007 dalam
(Paendong, et al. 2011) pada suatu kasus di Sulawesi Tengah fase vegetatif
memiliki penyerangan yang cukup tinggi yaitu sekitar 20,66-28,99%.
Selanjutnya, setelah memasuki fase generatif sampai pada masa panen, hama
ini menyerang dengan intensitas yang terbilang rendah dengan kisaran 0,11-
2,67%. Dari kedua kasus tersebut diketahui bahwa penggerek bantang padi
putih menyerang dengan kenintensifitasan tinggi saat fase vegetatif.
Gambar 2. Penggerek Batang Padi Putih (Scirpophaga innotata)
Sumber: Jurnal Ilmu Pertanian Tirtayasa
Penggerek batang padi putih tidak hanya menyerang pada fase imago tetapi
juga menyerang pada saat fase larva. Imago yang berukuran 13-16mm ini
menyereng pada setiap fase padi mulai dari fase vegetatif, generatif hingga
masa panen. Menurut (Dewi, et al, 2001) dalam (Paendong, et al. 2011) hama
ini sudah ada semenjak pertanaman padi tanpa di pause atau biasa disebut
dengen short cycle. Dengan begitu waktu penyerangan bagi hama ini terbilang
panjang. Serangan larva ditujukan pada sisten jaringan batang padi dan jika hal
ini dilakukan pada fase generatif akan menyebabkan padi sundep atau padri
keridil. Sedangkan, apabila serangan dilakukan pada saat setelah malai padi
keluar akan menyebabkan malai mati dan bulir padi menjadi hampa. Apabila
serangan terjadi sebelum anakan maksimum maka gejala yang ditumbulkan
berupa anakan padi bertambah. Tentunya serangan tersebut sangat merugikan
petani karena padi yang mereka tanam tidak dapat tumubuh dengan baik dan
memiliki hasil padi yang sedikit.
Pengendalian populasi hama ini dapat dilakukan dengan menggunakan
perangkap cahaya (light trap). Hal ini dilakukan karena imago aktif pada malam
hari dan suka terhadap cahaya, sehingga hal ini dapat dimanfaatkan sebagai
perangkap untuk mengendalikan populasi hama. Menurut (Rahmawaisah, et al,
2020) pengendalian hama dapat dilakukan dengan melakukan penanaman
refuiga dalam ekosistem sawah. Tanaman refuiga dan tanaman berbunga yang
mengeluarkan aroma mampu mengundang kedatangn serangga parasitoid yang
menyerang telur termasuk telur dari penggerak batang padi putih. Dengan
begitu banyak sekali telur hama ini yang rusak dan gagal menetas menjadi
larva. Serangga parasitoid yang memangsa telur pengerek padi antara lain
adalah Tetrastichus schoenobii, Telenomus beneficiens, dan Trichogramma
japonicum. Serangan parasitoin tersebut dapat menyerang di berbagai keadaan,
termasuk dataran tinggi dan dataran rendah. Penggunaan parasitoid ini
merupakan penerapan dari musuh alami dari penggerek batang padi putih,
dengan menggunakan alat bantu berupa tanaman refuiga dan tanaman
berbunga yang mengeluarkan aroma.
Dari kedua hama diatas dapat diketahui bahwa setiap hama menyerang
tanaman padi pada fase yang berbeda-beda dan menimbulkan gejala yang
berbeda pula. Kedua hama tersebut memiliki peran yang berbeda pada
agroekosistem. Kepinding tanah berperan sebagai hama utama, sedankan
penggerak batang padi putih berperan sebagai hama potensial dan nantinya
dapat menjadi hama utama apabila populasinya membludak. Cara
pengendalian kedua hama tersebut pun juga berbeda. Namun, keduanya dapat
dikendalikan dengan musuh alaminya dimana kedua musuh alami tersebut
menyerang bagian yang berbeda dari kedua hama tersebut.
Daftar Pustaka

Baehaki, S. E.,. 2013. Hama penggerek batang padi dan teknologi


pengendalian. Iptek Tanaman Pangan, 8(1).
Sumayanti, H. I., 2021. Identifikasi Hama Tanaman Padi Sawah (Oryza Sativa
L.) Dan Musuh Alami Di Kecamatan Curug Kota Serang Provinsi
Banten. Jurnal Ilmu Pertanian Tirtayasa, 3(1)
Suriyanto, R.,. 2020. Efektivitas Refugia Terhadap Populasi Penggerek Batang
Padi Putih (Schirpophaga innotata) pada Sawah Tadah Hujan di Kecamatan
Malangke Barat Kabupaten Luwu Utara. Perbal: Jurnal Pertanian
Berkelanjutan, 8(2), 87-92.
Tirta, IBM. 2016. Biologi Hama Kepinding Tanah (Scotinophara carctata F.) di
Gorontalo. [Skripsi]. Universitas Negeri Gorontalo.

Anda mungkin juga menyukai