Anda di halaman 1dari 4

Meledaknya Populasi Ulat Bulu yang Menyerang Perkebunan di Probolinggi Akibat dari

Ketidakseimbangan Ekosistem

Ekosistem terbentuk dari sebuah sistem ekologi yang didalamnya terdapat hubungan
timbal balik antara mahkluk hidup dengan lingkunganya. Ekosistem terbentuk dari hubungan
komponen abiotik sebagai bend tak hidup dan komponen biotik sebagai benda hidup,
sedangkan hubungan komponen biotik denan biotik disebut sebagai rantai makanan. Rantai
makanan adalah proses makan-memakan antara komponen biotik untuk memenuhi
kebutuhanya dan memenuhi sumber energi. Oleh karena itu, ekosistem dan rantai makanan
saling berketerkaitan dan tidak bisah dipisahkan. Salah satu contoh bentuk keterkaitan antara
ekosistem dan rantai makanan adalah meningkatnya populasi ulat bulu yang menyerang
perkebunan milik warga beserta tumbuhan-tumbuhan lain di Probolinggo pada tahun 2011
silam. Ulat bulu memang tidak membahayakan bagi umat manusia. Namun, jika ledakan
populasi tersebut tidak terkenadali hingga menjadi wabah, tentunya hal itu meresahkan
mayarakat yang terdampak.
Malacosoma americanum atau biasa kita kenal ulat bulu termasuk kedalam makhluk
hidup yang mengalami metamorfosis atau perubahan bentuk tiap siklus hidupnya. Dimulai
dari telur, kemudian menetas menjadi larva dalam bentuk ulat bulu, kempompong, dan yang
terakhir kupu-kupu. Dari kelima siklus hidup tersebut hanya ulat bulu lah yang merugikan
manusia. Kerugian yang dirakasan bukan hanya adanya rasa tidak nyaman akibat kehadiran
ulat bulu di lingkungan pemukiman. Namun, ulat bulu juga merugikan dengan menyerang
lahan perkebunan milik warga.
Ulat bulu sangat cocok untuk hidup dan berkembang di tanaman kebun milik warga.
Salah satu tanaman tersebut adalah pohon mangga. Pohon mangga dipilih karena memiliki
kelembapan yang pas untuk melanjutkan ke fase selanjutnya yaitu kepompong. Kabupaten
Probolinggo sebagai daerah produksi mangga terkemuka pastinya terdampak akan hal ini.
Setidaknya ada 5 kecamatan yang terdampak dan sekitar 34,644,477 pohon yang harus
ditebang untuk mengsir ulat bulu ini.
Wabah ulat bulu ini menjadi perhatian publik, pemerintah, dan praktisi ahli untuk
mengatasi dan mempelajari fenomena kasus ini. Menurut para ahli banyak sekali faktor
penyebab wabah ulat bulu yang merugikan ini terjadi. H. Soekarwo (2011) mengatakan
adanya curah hujan yang cukup tinggi ini memebuat daun daun disekitar pohon mangga
membusuk dan memunculkan organisme lain seperti larva dan ulat. Selanjutnya, daun-daun
yang tidak dibersihkan ini membusuk dan akhirnya menumpuk dibawah pohon mangga. Hal
ini menjadikan tempat di bawah pohon mangga menjadi tempat yang lembab dan cocok bagi
perkembanga larva dan ulat bulu.
Perubahan curah hujan bukanlah satu-satunya alasan. Menurut Liang Kaspe selaku
Ketua Unit Rumah Sakit Hewan dan Pendidikan Setail (2011) mengatakan bahwa wabah ini
terjadi karena ketidakseimbangnya wkosisten dalam rantai makanan di wilayah probolinggo.
Seperti populasi burung pemakan ulat dan semut kerangrang yang memiliki peran sebagai
predator alami telah berkurang. Akibatnya populasi ulat bulu ini menjadi tidak terkendali. Hal
tersebut juga sejalan seperti yang dikatakan oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengambangan
(Balitbang) Pertanian Kementrian Pertanian, Harnoyo pada tahun 2011 silam, bahwa
Dinamika peningkatan populsai ulat bulu penyebabnya kurang lebih convergent atau
memusat pada ekosisten, baik hayati mauapun non hayati. Faktor hayati yang mempengaruhi
berupa berkurangnya pemangsa alami dari ulat bulu, seperti burung, kelelawar, dan semut
rangrang, serta musuh alami lainya seperti parasitoid. Dari kedua pendapat ahli tersebut dapat
disimpulkan bahwa pokok masalah dari adanya wabah ulat bulu ini adalah ekosistem yang
berkunci pada rantai makanan.
Banyak sekali predator alami yang seharusnya dapat mengontrol populasi ulat bulu
berkuarang. Hal ini terjadi karena predator alami telah banyak diburu manusia dan
lingkungan habitanya yang dirusak. Contohnya, semut rangrang yang diperjual belikan larva
dan pupanya untuk kepentingan pakan burung peliharaan karena dipercaya dapat
mengikatkan aktivitas kicau burung. Selain itu, banyak burung yang diburu manusia, seperti
burung merpati, burung dara, burung pipit bahkan burung-burung eksotis pemakan serangga
lainya yang memegang peran penting pada rantai makanan. Faktor lainya adalah
berkurangnya pepohonan atau bahkan tidak ada pohon-pohon tinggi sebagai sarang burung
dan tempat burung berhinggap.

Pada
Pohon mangga rantai makanan
diatas terlihat
bahwa ulat

bulu merupakan konsumen pertama yang memakan produsen berupa pohon mangga, sawi,
dan tumbuhan lain. Selanjutnya ulat bulu dimakan oleh burung pipit dan juga semut. Apabila
jumlah semut menurun akibat diperjual-belikan larvanya maka populasi ulat bulu akan
meningkat karena tidak ada yang memakan ulat bulu. Begitu pula dengan burung pipit,
apabila burung pipit populasinya menurun maka populasi ulat bulu akan meningkat.
Akibatnya populasi ulat bulu yang tidak terkontrol tersebut akan merusak pohon mangga
sebagai makananya. Selanjutnya pohon mangga yang rusak tidak dapat diambil buahnya,
sehingga membuat para petani mangga merugi.
Dari pemaparan diatas dapat diketahui bahwa ekosistem sangat berkaitan dengan
rantai makanan, begitu pula sebaliknya. Salah satu fenomenanya adalah meledaknya populasi
ulat bulu yang menyerang perkebunan mangga di Probolinggo yang disebabkan oleh
ketidakseimbangan ekosistem. Ketidakseimbangan tesebut terjadi rusaknya rantai makanan
akibat dari menurunya beberapa populasi predasi sebagai pemakan ulat bulu akibat ulah
manusia. Oleh karena itu salah satu bentuk pengontrolan populasi ulat bulu dengan tidak
merusak habitat spesies predasi ulat bulu dan tidak mengurangi populasi predasi, agar rantai
makanan dan ekosistem sekitarnya menjadi stabil.
Lampiran

Anda mungkin juga menyukai