Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Suatu ekosistem memiliki hubungan saling mempengaruhi yang sangat
dinamis antara komponen yang satu dengan yang lainnya. Hubungan antara
komponen antara komponen satu dengan yang lain tidaklah sederhana dan statis,
tetapi mengalami perubahan dan sangat variatif. Populasi setiap organisme yang
menempati daerah tertentu dan berinteraksi satu dengan yang lainnya di sebut
dengan komunitas. Komunitas terdiri atas berbagai macam makhluk hidup yang
menempati suatu tempat dan membentuk hubungan interaksi saling bergantung
antara organisme yang satu dengan yang lain. Dengan demikian, makhluk hidup
maupun biotik dan abiotiknya saling ketergantungan satu sama lannya, seperti
sebatang tumbuhan dan seekor hewan akan terjadi interaksi serta bergantung
antara satu sama lainnya. Interaksi populasi terjadi karena adanya aksi-reaksi dari
faktor biotik dan abiotik yang mengakibatkan perubahan kerapatannya. Interaksi
persaingan tergantung pada kerapatannya.
Pengendalian hayati adalah penggunaan musuh alami (pemangsa,
parasitoid, dan patogen) untuk mengendalikan populasi hama. Pengendalian hama
dengan taktik atau teknologi berbasis biologi mencakup lima tipe, yaitu
pengendalian

hayati,

pestisida

mikroba,

senyawa-senyawa

kimia

yang

memodifikasi perilaku hama, manipulasi genetika populasi hama, dan imunisasi


tanaman. Sedangkan pendekatan yang digunakan di dalam pengendalian hayati
adalah pengendalian hayati klasik, pengendalian hayati augmentasi, dan
konservasi musuh alami.
Berdasarkan uraian diatas, makalah ini akan membahas lebih detail
mengenai aplikasi interaksi populasi dalam pengendalian biologis serta konsep
pengendalian biologis melalui pendekatan konservasi musuh alami yang
mencakup predator dan herbivor serta parasitisme dan parasitoidisme.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana aplikasi interaksi populasi yang dalam pengendalian biologis?
2. Bagaimana konsep predator dan herbivora serta perannya dalam
pengendalian biologis?
3. Bagaimana konsep parasitisme dan parasitoidisme serta perannya dalam
pengendalian biologis?
1.3. Tujuan
1. Mengetahui aplikasi interaksi populasi yang dapat dilakukan untuk
pengendalian biologis
2. Memahami konsep predator dan herbivore serta perannya dalam
pengendalian biologis?
3. Memahami konsep parasitisme dan parasitoidisme serta perannya dalam
pengendalian biologis?

BAB II
ISI
2.1. Aplikasi Interaksi Populasi Terhadap Pengendalian Biologis
Setiap populasi organisme yang menempati wilayah tertentu dan saling
berinteraksi di sebut dengan komunitas. Setiap organisme dalam suatu komunitas
membentuk hubungan interaksi saling bergantung antara organisme yang satu
dengan yang lain. Semua itu bertujuan untuk melakukan persaingan dalam
pemenuhan kebutuhan hidupnya dan sebagai pengendali biologis. Interaksi antar
populasi pada kajian ekologi tumbuhan yang dapat dijadikan sebagai pengendali
biologis contohnya yaitu alelopati sedangkan dalam kajian ekologi hewan terdapat
interaksi kompetisi, predasi dan simbiosis.
Kita mengenal adanya hubungan makan dan di makan yang terjadi pada
organisme dalam konsep interaksi. Hubungan tersebut dikenal dengan istilah
predasi. Selain hubungan tersebut, terdapat hubungan yang bukan merupakan
hubungan makan memakan, yaitu persaingan atau kompetisi dan hidup bersama
atau simbiosis. Hubungan simbiosis mencakup

hubungan yang sangat

menguntungkan dan ada hubungan yang sangat merugikan. Beberapa interaksi


tersebut ada yang bersifat positif (menguntungkan) dan ada yang negatif
(merugikan). Salah satu yang bersifat negatif tersebut diantaranya adalah peran
dari parasitisme dan parasitoidisme. Hubungan timbal balik antara predator dan
herbivora serta parasitisme dan parasitoidisme ini pada pemanfaatannya di
kehidupan sehari-hari dapat dimanfaatkan sebagai pengendalian biologis.
2.1.1 Alelopati
Alelopati berasal dari bahasa Yunani, allelon yang berarti "satu sama
lain" dan pathos yang berarti "menderita". Alelopati didefinisikan sebagai suatu
fenomena alam dimana suatu organisme memproduksi dan mengeluarkan suatu
senyawa alelokimia ke lingkungan dan senyawa tersebut mempengaruhi

perkembangan dan pertumbuhan organisme lain di sekitarnya. Sebagian alelopati


terjadi pada tumbuhan dan dapat mengakibatkan tumbuhan di sekitar penghasil
alelopati tidak dapat tumbuh atau mati (Rohman, 2001).
Alelopati merupakan interaksi antar populasi, dimana populasi yang satu
menghasilkan zat yang dapat menghalangi tumbuhnya populasi lain. Contohnya,
di sekitar pohon walnut (juglans) jarang ditumbuhi tumbuhan lain karena
tumbuhan ini menghasilkan zat yang bersifat toksik. Pada mikroorganisme istilah
alelopati dikenal sebagai anabiosa. Contoh jamur Penicillium sp. dapat
menghasilkan antibiotika yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri tertentu
(Rohman, 2001).
Alelokimia pada tumbuhan dibentuk di berbagai organ, akar, batang, daun,
bunga dan atau biji. Tetapi organ pembentuk dan jenis alelokimia bersifat spesifik
pada setiap spesies. Pada umumnya alelokimia merupakan metabolit sekunder
yang dikelompokkan menjadi 14 golongan, yaitu asam organik larut air, lakton,
asam lemak rantai panjang, quinon, terpenoid, flavonoid, tanin, asam sinamat dan
derivatnya, asam benzoat dan derivatnya, kumarin, fenol dan asam fenolat, asam
amino non protein, sulfida serta nukleosida. Pelepasan alelokimia pada umumnya
terjadi pada stadium perkembangan tertentu, (Michael, 1995).
Fungsi dari alelokimia dapat mengendalikan gulma dengan cara
menghambat pertumbuhan dan perkembangnnya dengan menurunkan kecepatan
penyerapan ion-ion oleh tumbuhan sehingga terjadi penurunan dalam penyerapan
unsur hara. Menghambat pembelahan sel akar tumbuhan. Menghambat respirasi
akar. Menghambat sintesis protein, menurunkan daya permeabilitas membran
pada sel tumbuhan. menghambat aktivitas enzim. Selain itu juga memperlambat
perkecambahan biji, gangguan sistem perakaran. (Tetelay, 2003)
Kuantitas dan kualitas senyawa alelopati yang dikeluarkan oleh tumbuhan
dapat dipengaruhi oleh kerapatan tumbuhan alelopat, macam tumbuhan alelopat,
saat kemunculan tumbuhan alelopat, lama keberadaan tumbuhan alelopat, habitus
tumbuhan alelopat, kecepatan tumbuh tumbuhan alelopat, dan jalur fotosintesis
tumbuhan alelopat (Tetelay, 2003)
Penelitian Aidil amar (2015), menunjukkan bahwa alelopati cairan perasan
gulma jenis alang-alang, teki, dan rumput grinting efektif dalam mengendalikan

gulma bayam duri dan jejarongan. Dalam penelitian ini, Aidil Amar menguji coba
hasil perasan gulma, alang-alang, teki, dan rumput grinting melalui 2 perlakuan,
yaitu kontrol dan

konsentrasi. Hasil perlakuan kontrol menunjukkan bahwa

setelah 21 hari gulma bayam duri dan jejarongan mengalami tingkat keracunan
tanaman. Serta perlakuan yang menggunakan konsentrasi tidak menunjukkan
pengaruh yang nyata.
Beberapa contoh dari tanaman yang dapat melakukan alelopati adalah:
Jenis tanaman

Dampak

Mimba
(Azadirachta Menghambat tanaman yang tumbuh
indica) dan

dalam jarak 5 meter.

eukaliptus

Mangga

Bubuk daun mangga kering dapat


menghambat pertumbuhan teki.

Dapat mencegah
fungi Verticillium penyebab penyakit
Brokoli

layu pada beberapa tanaman sayur,


contohnya kembang kol dan brokoli
sendiri.

Foto

Penekanan pertumbuhan gulma


Gandum

apabila gandum tersebut digunakan


sebagai tanaman pelindung.

Lantana atau
Saliara

Akar dan tunas tanaman ini dapat


mengurangi perkecambahan gulma
anggur dan gulma lainnya.

Tanaman Leucaena yang ditanam

Golongan
Leucaena,
contohnya
lamtoro

secara bersilangan dengan tanaman


pangan di dalam sistem tumpang sari
dapat

mengurangi

hasil

panen

gandum dan kunir.

(Tetelay, 2003)
2.1.2. Kompetisi
Kompetisi merupakan terjadinya persaingan antar populasi karena
adanya lebih dari satu macam organisme yang membutuhkan bahan yang sama
dari lingkungan. Sesuai dengan hukum rimba yang kuatlah yang menang dalam
kompetisi

populasi

yang

kuat

akan

memenangkan

persaingan

dalam

memperebutkan syarat untuk hidup, sedangkan yang lemah akan ditekan, dan ini
cenderung membuat populasinya menjadi lebih kecil dan memungkinkan pula
punah dengan sendirinya bila tidak mampu bersaing. Persaingan di antara dua
atau lebih populasi terhadap sumber daya alam akan menimbulkan efek yang
merugikan kedua belah pihak. Bahkan salah satu spesies yang bersaing dapat

tersingkir akibat persaingan. Persaingan ini semakin keras ketika sumber daya
alam yang diperebutkan persediaannya semakin terbatas (Kastono, 2005).
Agar suatu populasi dapat melanjutkan kehidupan, ada beberapa yang
menjadi faktor mempengaruhi kelangsungan hidup suatu populasi, diantaranya
adalah keaktifan memperebutkan ruang tempat hidup, keaktifan memperebutkan
makanan, keaktifan memperebutkan unsur hara, keaktifan memperebutkan agen
penyerbukan (Indriyanto, 2006)
Persaingan antarpopulasi dapat berakibat pada ekosistem jangka pendek
maupun jangka panjang. Persaingan jangka pendek menyebabkan perubahan
ekologi, misalnya apabila singa atau kelompok predator lainnya kalah dalam
persaingan dan akhirnya punah maka kelompok mangsa seperti kerbau, rusa dan
lainnya akan mengalami peningkatan populasi, dan hal ini tentu saja
mengakibatkan perubahan pada alam. Persaingan jangka panjang menyebabkan
terjadinya evolusi. Contohnya evolusi dari kehidupan di laut ke darat. Sel yang
berkembang di laut, menurunkan jenis hewan dan tumbuhan air yang hidup dan
berkembang biak di dalam air. Karena adanya kompetisi, organisme itu ada yang
mencoba hidup ke darat. Setelah hidup di darat terjadi kompetisi dalam
memperebutkan makanan dan tempat hidup. Beberapa populasi berusaha kembali
ke air. Dalam upaya kembali ke air itu ada yang behasil, ada pula yang tidak
berhasil. Contohnya yang berhasil adalah lumba-lumba, paus, yang sepenuhnya
hidup di air. Sedangkan yang tidak berhasil misalkan buaya (Kastono, 2005).
Penelitian Rivo Manopo (2013) menunjukkan bahwa kompetisi antara
walang sangit dan kepik hitam dalam menyerang bulir tanaman padi, walang
sangit lebih tinggi populasinya daripada kepik hitam, dikarenakan rumpun
tanaman padi sudah terlebih dahulu diserang oleh walang sangit sehingga tidak
diserang lagi oleh hama kepik hitam. Sesuai dengan teori yang dijelaskan Sembel
(1989), bahwa dua jenis spesies yang hidup dalam suatu areal yang sama dan
mengambil sumber makanan dan hidup dalam suatu tempat yang sama biasanya
tidak akan dapat hidup bersama dalam jangka waktu yang lama. Hal ini
disebabkan oleh adanya kompetisi akan makanan dan tempat sehingga terjadi
pergeseran oleh satu populasi yang mempunyai kemampuan bertahan atau

berkompetisi yang lebih kuat dari yang lain sehingga akhirnya populasi yang
lemah akan tergeser atau hilang.
2.2. Predator dan Herbivor

2.3. Parasitisme dan Parasitodisme

2.3.1 Konsep Parasitisme dan Parasitodisme


Parasitisme merupakan kondisi simbiosis yang menghadirkan satu
organisme yang mengalami keuntungan dan pihak lainnya merasa dirugikan
akibat pemanfaatan inangnya tersebut. Parasit adalah organisme yang hidup di
atas atau di dalam tubuh organisme lain (inang) yang mendapatkan makanan dari
jaringannya dan sedikit banyak menyebabkan kerugian (Kimball, 1983). Parasit
hidup pada inang yang mempunyai tempat hidup atau rumah (seperti sarang atau
liang ditanah) sehingga organisme parasit dapat meletakkan telurnya. Parasit
biasanya tidak membunuh inangnya karena inang yang hidup akan memberikan
keuntungan terhadap populasi parasit (Riyana, 2003).

Berbeda dengan parasit, parasitoid adalah suatu serangga parasitik yang


hidup pada atau di dalam tubuh suatu serangga (atau arthropoda lain) inang yang
lebih besar dengan cara menghisap cairan tubuh inang supaya dapat tumbuh dan
berkembang secara normal dan akhirnya membunuh inang tersebut (Mahrub,
1987). Parasitoid mempunyai sifat khusus yang membedakannya dengan
serangga lain dan dapat berkembang biak dialam agar tidak musnah. Perbedaan
mendasar antara parasitoid dan parasite dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Perbedaan Antara Parasit dan Parasitoid
Indikator

Parasitoid

Parasit

Asal

Dari jenis
serangga

Daya Bunuh

Satu ekor parasitoid


membunuh inang

Fase Menyerang

Hanya fase larva

Contoh

Apanteles
sp.,
Apanimerus, Nyamuk
Culex
sp.,
Scelionidae, Tetrastichus sp.
Anopheles sp., Cacing
pita (Taenia solium)

yang

sama

yaitu Dari jenis yang berbeda


(Contoh: mamalia seperti
manusia)
mampu Baru mampu membunuh
jika dalam jumlah besar
Fase larva dan dewasa

(Sumber : Juniawan, 2013)


Kajian Biologi Parasitoid
Parasitoid dikelompokkan dengan dasar perilaku bertelur betina dewasa
dan pola perkembangan larva selanjutnya (Kimball, 1983). Parasitoid pada
umumnya merupakan serangga dari ordo Hymenoptera (Ichneumonidae,
Braconidae dan Chalcidoidae) dan Diptera (Tachinidae). Mereka hidup bebas
pada waktu dewasa (bukan sebagai parasit dan hidupnya dari nektar, embun
madu, air, dan lain-lain) tetapi betinanya bertelur di dalam, pada atau dekat
serangga lain (Riyana, 2003). Larva parasitoid berkembang di dalam (atau jarang
diatas) individu inang yang masih tingkat pre-dewasa. Awalnya hanya sedikit
kerusakan yang tampak ditimbulkan terhadap inangnya, tetapi akhirnya hampir
dapat mengkonsumsi seluruh inangnya dan dengan demikian maka dapat
membunuh inang tersebut sebelum atau sesudah stadium kepompong (pupa)

sehingga yang muncul dari kepompong merupakan parasitoid dewasa, bukan


inang dewasa (Basukriadi, 2005).
Parasitoid yang ditemukan biasanya hanya satu yang berkembang dari
tiap inang, tetapi pada beberapa kejadian beberapa individu dapat hidup bersama
dalam satu inang. Parasitoid hidup bersama dengan individu inang tunggal
(seperti pada parasit), mereka tidak menyebabkan kematian segera atas inang
(seperti pada parasit), tetapi juga dapat menyebabkan kematian (seperti pemangsa)
(Basukriadi, 2005). Singkatnya, parasitoid memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Parasitoid biasanya menghancurkan inangnya selama perkembangannya.
b. Inang parasitoid biasanya termasuk dalam kelas taksonomi yang sama
(serangga)
c. Parasitoid dewasa hidup bebas sementara itu hanya stadia pra-dewasa yang
parasitik.
d. Parasitoid berkembang hanya pada satu individu inang selama stadia pradewasa.
e. Dinamika populasi parasitoid mirip dengan serangga predator.
Parasitoid

dapat

dikelompokkan

berdasarkan

jenis

inang,

urutan

menyerangnya, jumlah inang, cara menyerang, posisi dalam menyerang,


berdasarkan fase tumbuh inang yang diserang dan kompetisi antara pradewasa
parasitoid dalam tubuh inang (Basukriadi, 2005). Penjelasan lebih lengkap yaitu
sebagai berikut.
(1) Jenis Inang Parasitoid
Ada dua golongan inang parasitoid yaitu inang definitif dan inang
intermediet. Inang definitif yaitu inang yang dikenal oleh induk parasitoid dan
dimanfaatkan oleh parasitoid pra-dewasa (larva). Contohnya yaitu Trichogramma
sp. Induk Trichogramma sp. memilih telur hama penggerek padi sebagai inang
yang sudah dikenal. Induk dengan insting mampu menentukan inang yang tepat
demi kelangsungan hidup keturunan.

Gambar 2. . Trichogramma sp. (Sumber: www.opete.info)


Inang intermediet, yaitu inang yang hanya dipergunakan oleh parasiotid
pra-dewasa yang artinya induk parasiotid meletakkan telur disembarang tempat
tanpa tahu secara persis inang bagi larvanya. Contohnya yaitu lalat jatiroto
(Diatraeophaga striatalis) umumnya meletakkan telur pada lubang gerekan tanpa
diketahui apakah ada inangnya (Chilo saccarifagus) di tempat itu.

Gambar 2. Diatraeophaga striatalis (Sumber: www.opete.info)


(2) Parasitoid Berdasarkan Urutan Menyerangnya
Parasitoid berdasarkan urutan menyerangnya dibedakan atas parasitoid
pertama (primer), parasitoid kedua (sekunder), parasitoid ketiga (tertier) parasitoid
keempat (kuarter). Parasitoid primer yaitu parasitoid yang menyerang inang utama
atau hama tanaman. Parasitoid sekunder yaitu parasitoid yang menyerang
parasitoid pertama. Parasitoid tertier yaitu parasitoid yang menyerang parasitoid
kedua sedangkan parasitoid kuarter yaitu parasitoid yang menyerang parasitoid
ketiga.
(3) Parasitoid Berdasarkan Jumlah Inangnya

Berdasarkan jumlah inangnya, parasitoid dapat dibedakan menjadi dua yaitu


parasitoid polyfag dan parasitoid obligat. Parasitoid polyfag yaitu bila induknya
meletakkan telurnya pada inang yang sudah diparasitasi oleh parasitoid lain
sedangkan parasitoid obligat yaitu bila inangnya hanya satu/khusus/spesifik.
(4) Parasitoid Berdasarkan Cara Menyerangnya
Berdasarkan cara menyerangnya, parasitoid dibedakan menjadi parasitoid
soliter dan parasitoid gregarious. Parasitoid soliter yaitu jika dalam satu individu
inang hanya terdapat satu individu parasitoid yang dapat berkembang secara
normal. Contohnya yaitu Apanteles artonae pada Artona catoxantha (Ulat api
kelapa), Anastatus

dasyni pada Dasynus

piperis (Penggerek

batang

lada)

dan Xanthopimpla sp. pada Erionata trax (Ulat penggulung daun pisang).

Gambar 2.

: Apanteles artonae;

: Anastatus dasyni

: Xanthopimpla sp
(Sumber: Gomez et.al, 2014, Trisawa et.al, 2007 dan Octriana, 2010)
Parasitoid gregarious yaitu bila beberapa ekor parasitoid dapat
berkembang secara normal menjadi dewasa dalam satu individu inang (parasitoid
berasal dari jenis yang sama). Parasitoid jenis ini sering disebut parasitoid
polyembrionik karena dari satu telur menetas banyak larva parasitoid.
(5) Parasitoid Berdasarkan Posisi Dalam Menyerang
Berdasarkan posisi dalam menyerang, parasitoid dibedakan menjadi
ektoparasitoid dan endoparasitoid. Ektoparasitoid yaitu parasitoid yang seluruh
daur hidupnya ada di luar tubuh inang dengan cara menempel pada tubuh inang
(lihat Gambar 2.1a), setelah menetas lalu mengisap cairan tubuh inang. Contoh:
Campsomeris agilie (2. b), merupakan lebah parasitoid yang menyerang uret.

Lebah masuk ke dalam tanah, uret yang dijumpai lalu disengat dan diracuni (tidak
sampai mati). Telurnya lalu diletakkan di luar tubuh uret dan setelah menetas
menghisap cairan tubuh uret.

Gambar 2.1. a) Posisi Ektoparasitoid Pada Inang; b) Campsomeris agilie


( Sumber : Juniawan, 2013)
Endoparasitoid, yaitu parasitoid yang tumbuh dan berkembang di dalam
tubuh inangnya. Ada dua cara kerja dari endoparasitoid yaitu sebagai berikut:
Parasitoid yang memiliki alat peletak telur (ovipositor) akan memasukkan
telurnya ke tubuh inangnya (lihat Gambar 2.2a). Selanjutnya sebagian besar
dari fase hidupnya (fase aktif : telur dan larva) ada di dalam tubuh
inangnya. Telur parasitoid diletakkan induknya di dalam tubuh inang, setelah
menetas menjadi larva lalu menjadi pupa tetap di dalam tubuh inang, baru pada
fase imago (dewasa) membuat lubang dengan melukai dinding telur inangnya
untuk ke luar, kawin dan mengadakan investasi baru.
Parasitoid yang tidak memiliki ovipositor seperti lalat Tachinidae akan
meletakkan telurnya di luar tubuh ulat (inang) dan setelah menetas baru masuk
ke dalam tubuh ulat (lihat Gambar 2.2b).

Gambar 2.2. Posisi Entoparasitoid Pada


Inang( Sumber : Juniawan, 2013). Ket
: parasitoid
(6) Parasitoid Berdasarkan Fase Tumbuh Inang Yang Diserang

Parasitoid berdasarkan fase tumbuh inang yang diserang dibedakan atas


parasitoid telur, telur-larva, larva,

pupa/kepompong dan imago/dewasa dan

kombinasi misalnya parasit telur-larva atau larva pupa. Parasitoid telur adalah
parasitoid yang menyerang telur inangnya (lihat Gambar 2.3). Umumnya berstatus
sebagai endoparasitoid, walaupun ada yang ekto-parasitoid, terutama pada telur
yang diletakkan secara berkelompok. Terdiri atas beberapa familia, yaitu Familia
Encyrtidae , Braconidae dan Familia Trichogrammatidae. Familia Encyrtidae
merupakan parasitoid yang menyerang telur dari beberapa jenis serangga dan
kutu. Parasitoid dari familia Trichogrammatidae yaitu Trichogramma sp.,
parasitoid pada Heliothis sp. dan Artona sp. Parasitoid dari familia Braconidae
melakukan perkawinan pada sore hari. Serangga betina biasanya tingal dibawah
permukaan daun dimana inangnya berada sedangkan serangga jantan aktif
bergerak mencari parasitoid betina.

Gambar 2.3. Parasitoid telur . Ket:


imago parasitoid telur;
telur inang
terparasit (Sumber : Juniawan, 2013)
Parasitoid telur-larva (idiobiont) berkembang mulai dari telur hingga larva.
Cara hidupnya adalah tabuhan dewasa meletakkan telur pada telur inangnya
(hama). Telur inang menetas menjadi larva dan telur parasitoid terbawa larva.
Telur

parasitoid

menetas

dan

larva

inang

menjadi

imago

(dewasa).

Contoh: Chelonus sp., parasiotid pada Batrachedra arenosela. Sedangkan


parasitoid larva (lihat Gambar 2.4.) merupakan parasitoid yang meletakkan telur
pada larva inangnya, setelah menetas hidup dalam tubuh inang dan keluar lagi
ketika akan menjadi pupa. Parasitoid dari jenis ini memilih inangnya berupa larva
(ulat) dari berbagai jenis hama.
Parasitoid pupa merupakan parasitoid yang menyerang fase pupa/
kepompong dari inangnya. Contoh: Tetracticus sp. pada ulat jeruk (Papilio

memnon) dan Opius sp. pada lalat buah (Dacus sp.). Sementara itu, parasitoid
yang menyerang inang ketika fase dewasa, tidak banyak dilaporkan, namun ada
beberapa contoh berikut ini. Contoh : Aphytis chrysomphali, Aspidiotus
destructor, Comperiella unifasciata, dan Aspidiotus regidus.

Gambar 2.4. Parasitoid larva. Ket :


lalat Tachinid akan meletakkan telur
pada ulat (inang);
dua telur Thacinid pada ulat;
pupa
parasitoid larva family Braconidae disamping inang yang sudah mati;
Tawon pinggang ramping (
) sebagai parasitoid larva dari family
Ichneumonida (Sumber : Juniawan, 2013)

(7) Parasitoid Berdasarkan Hubungannya dengan Kompetisi Antar Parasitoid


Pradewasa
Parasitoid berdasarkan hubungannya dengan kompetisi antar parasitoid
pradewasa dibedakan atas kompetisi intraspesifik (superparasitisme) dan
kompetisi interspesifik (multiple parasitime). Superparasitisme yaitu pada satu
inang terdapat banyak parasitoid dari spesies yang sama sedangkan multiple
parasitisme yaitu terdapat lebih dari satu spesies parasitoid pada satu inang yang
sama.
Tipe hiperparasitisme
Parasitoid sekunder atau hiperparasitisme mempunyai beberapa tipe antara
lain sebagai berikut:

a) Langsung, yaitu suatu parasitoid meletakkan telurnya langsung pada atau di


dalam tubuh inang parasitik.
b) Tidak langsung, yaitu suatu parasitoid sekunder meletakkan telurnya di dalam
tubuh inang non-parasitik dan tidak terparasit. Biasanya telur tidak berkembang
sampai inang non parasitik ini diparasit oleh suatu parasitoid primer, yang
kemudian telur tersebut berkembang sebagai inang parasitoid sekunder.
c) Fakultatif yaitu parasitoid sekunder berkembang seperti suatu parasitoid primer
di bawah kondisi yang sesuai.
d) Obligat, yaitu parsitoid sekunder hanya dapat berkembang di dalam parasitoid
primer.
e) Autoparasitisme yaitu parasitoid yang hewan jantannya berkembang sebagai
hiperparasit (kadang-kadang terhadap parasitoid betina dari jenis yang sama)
dan yang betina berkembang sebagai parasitoid primer.
f) Kleptoparasitisme yaitu bukan hiperparasitisme yang sesungguhnya. Parasitoid
memilih menyerang inang yang telah diparasit oleh jenis parasitoid lain dan
kemudian bersaing dengan parasitoid pertama untuk mendapatkan nutrisi di
dalam inang tersebut. Kleptoparasitoid biasanya memenangkan kompetisi.
(Basukriadi, 2005)

Tipe reproduksi di dalam Hymenoptera parasitik


Semua Hymenoptera menunjukkan fenomena parthenogenesis haploid.
Telur yang tidak dibuahi berkembang secara partenogenetik menjadi keturunan
jantan haploid yang normal. Semua telur yang dibuahi berkembang menjadi
betina diploid. Mekanisme reproduksi Hymenoptera terbagi menjadi tiga tipe
reproduksi yaitu sebagai berikut:
1) Arrhenotoky merupakan tipe reproduksi dasar yaitu telur yang dibuahi
menghasilkan hewan betina dan yang tidak dibuahi menghasilkan hewan
jantan (sering disebut tipe biparental).
2) Deuterotoky merupakan tipe reproduksi dimana parasitoid betina yang tidak
kawin menghasilkan keturunan jantan dan betina (uniparental). Keturunan
jantan secara biologis dan ekologis tidak berfungsi.

3) Thelyotoky merupakan tipe reproduksi dimana hanya keturunan betina yang


dihasilkan, sedang yang jantan tidak diketahui. Kelompok ini juga disebut
uniparental.
Stadia Perkembangan Parasitoid
Stadia perkembangan parasitoid terdiri atas: telur, larva, pra-pupa, dan
pupa. Tipe telur pada parasitoid tidak sama dan banyak mengalami adaptasi dan
modifikasi. Parasitoid bisanya meletakkan telur yang telah matang didalam, pada
atau dekat inang atau larva sehingga saat menetas larva parasitoid bisa langsung
mendapatkan asupan makanan dari inag. Parasitoid memiliki dua tipe embriologi
yaitu monoembriologi dan polyembrioni. Monoembriologi yaitu parasitoid yang
memproduksi satu larva dari satu telur sedangkan polyembrioni merupakan
parasitoid yang memproduksi banyak larva dari satu telur. Ciri-ciri spesies
polyembrioni yaitu telur diletakkan dalam telur atau larva muda inang, parasitoid
berkembang sampai stadia larva instar akhir atau pupa inang, jumlah anak yang
berkembang dalam satu inang berjumlah 1000-3000 individu, proporsi jenis
kelamin anak hanya satu jenis atau campuran dengan variasi rasion jenis kelamin
yang luas.

B
C
Gambar 2.5. A: Tipe Telur Parasitoid; B: Parasitoid sedang meletakkan telur pada
inangnya; dan C: posisi telur parasitoid pada inang berupa larva (Sumber: Doutt,
1964)
Stadia larva parasitoid terdiri atas larva instar 1, larva planidium, larva
triungulin serta larva instar pertengahan dan akhir. Larva instar I berbentuk seperti
tempayak. Larva planidium merupakan larva instar I yg mempunyai setae yang
panjang dan terdapat pada toraks atau caudal dan membantu larva bergerak
menuju inang setelah menetas dari telur. Larva triungulin merupakan larva instar I
yang mempunyai tungkai beruas yang membantu untuk bergerak menuju inang
setelah menetas dari telur. Larva instar pertengahan dan akhir yaitu larva yang
pada tahap ini terjadi perubahan bentuk sangat berbeda dengan larva instar 1.

C
D
Gambar 2.6. Stadia Larva Parasitoid. A : larva instar 1; B: fase larva planidium; c:
fase larva triungulin; dan D : fase larva yang sudah matang (Sumber: Doutt, 1964)
Stadia pra-pupa parasitoid merupakan fase yang menunjukan larva instar
akhir mulai berhenti makan terutama untuk berpupa sedangkan stadia pupa
merupakan stadia yang kebanyakan larva parasitoid berpupa di dalam cocon, atau
puparium inangnya atau di dalam liang atau terowongan yg dibuat inangnya.

Gambar 2.7. Stadia

Pra-pupa dan Pupa Parasitoid Hymenoptera. Exenterus

abruptorus (atas) dan Eupelmus allynii (bawah) (Sumber: Doutt,


1964)

Kehidupan parasitoid sangat tergantung pada keberadaan atau populasi


hama sebagai inang (density dependent mortality factor), sehingga kehidupan
parasitoid dan hama tidak dapat dipisahkan karena merupakan suatu jalinan rantai
makanan yang sangat penting dalam agroekosistem (Riyana, 2003). Bila populasi
hama tinggi, maka biasanya diikuti peningkatan populasi parasitoid. Oleh karena
itu, sistem pengendalian hama harus diarahkan pada model pengelolaan hama
untuk menjaga keanekaragaman hayati sehingga ekosistem menjadi stabil yang
dibangun oleh berbagai jenis makhluk hidup, termasuk serangga hama dan musuh
alami (Basukriadi, 2005).
2.3.2 Parasitisme dan Parasitodisme dalam Pengendalian Biologis
Parasitisme dalam pengendalian biologi merupakan pemanfaatan organisme
parasit yang hidup atau menempel pada tubuh hama yang digunakan untuk
mengendalikan pertumbuhan hama tanaman. Contoh pengendalian biologis
menggunakan prinsip parasitisme dan parasitodisme adalah sebagai berikut:
(1) Pengendalian hama pada perkebunan kelapa
a. Pengendalian Sexava nubile (Stall.) menggunakan parasitoid telur Leefmansia
bicolor Waterson (Hymenoptera: Trichogrammatidae) yang diintroduksi dari
Ambon ke Sangir Talaud pada tahun 1925-1940.
b. Pengendalian

Aspidiotus

destructor

Sign

(Homoptera:

Diaspidae)

menggunakan parasitoid Aphytis chrysomphali (Hymenoptera: Aphelinidae) yang


diintroduksi dari Jawa ke Bali pada tahun 1935.
c. Pengendalian Oryctes rhinoceros (Linn.) menggunakan parasitoid Scolia
oryctophaga Coq (Hymenoptera: Scoliidae) yang diintroduksi dari Mauritius pada
tahun 1934-1936.

Gambar. Hama Perkebunan Kelapa dan Parasitoidnya (Juniawan, 2013)

(2) Pengendalian hama pada tanaman holtikultira, tanaman perkebunan


semusim dan tahunan (kubis, tebu, kapas, kopi)
a. Pengendalian

Plutella

xylostella

(Lep:

Yponomeutidae)

menggunakan

parasitoid Diadegma eucerophaga Horsm (Hymenoptera: Ichneumonidae) yang


diintroduksi dari New Zealand ke Jawa Barat pada tahun 1950.

Gambar. Plutella xylostella dan parasitoidnya Diadegma eucerophaga Horsm


(Juniawan, 2013)

b. Pengendalian Chilo spp (hama penggerek tebu), Tryporyza nivella (Lep:


Pyralidae) menggunakan Trichogramma spp. (Hymenoptera: Trichogrammatidae)
sejak tahun 1970an.

Gambar. Trichogramma spp sebagai parasitoid pada Chilo spp, Tryporyza nivella
(Juniawan, 2013)

c. Penggunaan Telenomus remus (Nixon) dalam mengendalikan hama tanaman


bawang daun Spodoptera exigua.

Gambar 2. (a) Telenomus remus; (b) Spodoptera exigua (Juniawan, 2013)

DAFTAR RUJUKAN
Amar, Aidil. 2015. Potensi Alelopati Cairan Perasan Gulma Sebagai Herbisida
Hayati Untuk Mengendalikan Gulma Pada Tanaman Kedelai. Fakultas
Pertanian Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. (Online)
(http://www.alelopati, diakses pada tanggal 18 November 2016)
Basukriadi, A. 2005. Buku Materi Pokok: Pengendalian Hayati. Jakarta:
Pusat Penerbitan Universitas Terbuka
Departemen Proteksi Tanaman IPB. Basisdata Hama dan Penyakit Tanaman.
(Online). www.opete.info (diakses pada tanggal 20 November 2016)
Doutt, R. L. 1964. Biological characteristics of entomophagous adults. p. 145
167. In Biological Controlof Insect Pests and Weeds (Paul DeBach,
editor). Chapman and Hall Ltd., London. 844 pp.
Gomez, I.C., Saaksjarv, I.E., Broad, G.R., Puhakka, L., Castillo, C., Pena, C. &
Padua, D.G. 2014. The Neotropical Species of Xanthopimpla Saussure
(Hymenoptera: Ichneumonidae: Pimplinae). Zootaxa, 3774(1): 057-073.
Juniawan. 2013. Mengenal Parasitoid. Artikel Pertanian. (Online).
http://bbppketindan.bppsdmp.pertanian.go.id/blog/mengenalparasitoid. Diakses pada tanggal 20 November 2016
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Jakarta:Bumi Aksara
Kastono. 2005. Pengantar Ekologi. UGM: Yogyakarta.
Kimball, John W. 1983. Biologi. Jakarta: Erlangga
Mahrub, E, 1987. Pengenalan Musuh Alami Hama Tanaman, Lab. Ilmu
Pengendalian Hayati, Faperta UGM, Yogyakarta
Manopo, Rivo. 2013. Padat Populasi Dan Intensitas Serangan Hama Walang
Sangit (Leptocorisa Acuta Thunb.) Pada Tanaman Padi Sawah Di
Kabupaten Minahasa Tenggara. Fakultas Pertanian,Universitas Sam
Ratulangi Unsrat Mando. Online, (http://www.portalgaruda.com, diakses
tanggal 18 November 2016).
Michael, P. 1995. Metode Ekologi untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium.
UI Press: Jakarta.

Octriana, L. 2010. Identifikasi dan Analisis Tingkat Parasitasi Jenis Parasitoid


terhadap Hama Lalat Buah Bactrocera tau pada tanaman Markisa.
J.Hort, 20(2): 179-185.
Riyana, HS. 2003. Keunikan Serangga, Remaja Rosidakarya, Bandung.
Rohman, Fatchur. 2001. Petunjuk Praktikum Ekologi Tumbuhan. JICA: Malang
Sembel, D.T. 1989. Dasar-Dasar Biologi dan Ekologi dalam Pengendalian
Serangga. Fakultas Pertanian Unsrat Manado.
Tetelay, Febian. 2003. Pengaruh Allelopathy Acacia mangium wild terhadap
Perkecambahan Benih Kacang Hijau (Phaseolus radiatus) dan Jagung
(Zea
mays).
(Online)
(http://www.geocities.com/irwantoshut/allelopathy_acacia.doc. diakses
pada tanggal 18 November 2016).
Trisawa, I., Raui, A. & Kartosuwondo, U. 2007. Biology of Anastatus dasyni Ferr.
(Hymenoptera: Eupelmida) on Egg of Dasynus piperis China (Hemiptera:
Coreidae). Journal of Bioscience, 14(3): 81-86.

Anda mungkin juga menyukai